Pengembangan Kebajikan Kewargaan (Civic Virtue) dalam Masyarakat Multikultural Indonesia: Peran Pendidikan Kewarganegaraan Dikdik Baehaqi Arif1 ABSTRAK Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan (school civic education) berperan penting dalam mengembangkan budaya kewargaan (civic culture) yang diperlukan dalam rangka membangun sistem politik demokrasi. Sebagai program kurikuler pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan berorientasi untuk mempersiapkan warga negara muda agar memiliki kemampuan untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat politik. Pada masyarakat Indonesia yang multikultural, budaya kewargaan perlu dibangun di atas fondasi kebajikan kewargaan dan komitmen kewargaan berdasarkan nilai dasar Pancasila. Tulisan ini membahas peran pendidikan kewarganegaraan dalam mengembangkan kebajikan kewargaan sebagai komponen penting budaya kewargaan dalam masyarakat multikultural Indonesia. Kata Kunci: budaya kewargaan, masyarakat multikultural Indonesia, pendidikan kewarganegaraan, kebajikan kewargaan, komitmen kewargaan. Pendahuluan Realitas masyarakat multikultural (multicultural society) Indonesia tergambar dalam masukan (input) siswa dalam lingkup pendidikan. Hampir di setiap lembaga pendidikan, baik dari mulai tingkat dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi, dapat kita temui peserta didik yang memiliki karakteristik yang berbeda. kenyataan itu dilatarbelakangi oleh perbedaan kelompok suku bangsa, ras, budaya, agama, gender, maupun bahasa asal mereka. Bukan saja di lingkungan sekolah, mereka juga akan berhadapan dengan berbagai perbedaan lainnya di lingkungan sosial atau budaya mereka sehari-hari. Inilah kekayaan bangsa, sekaligus juga tantangan bagi para pendidik dalam merancang program pembelajaran yang mengakomodir keberagaman itu dengan tetap tidak melupakan fungsi dan tujuan pendidikan. Menghadapi kondisi kemajemukan itu, para pendidik perlu berpikir ulang tentang bagaimana menjalankan peran dan fungsinya dalam proses pembelajaran di kelas yang siswanya berbeda dalam suku bangsa, ras, budaya, agama, gender, maupun bahasa asal mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan tim The LIFE Center 1 Dosen pada Program Studi PPKn FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Jl. Pramuka No. 42 Sidikan Umbulharjo Yogyakarta. E-mail: [email protected] 1 dan Center for Multicultural Education di University of Washingthon, Seatle USA, merumuskan pentingnya pemahaman kembali prinsip-prinsip pembelajaran (learning princiles) untuk siswa yang multicultural. Laporan itu mengidentifikasi empat prinsip pembelajaran kontemporer yang perlu dipahami oleh penyelenggara pendidikan. 1. Learning is situated in broad socio-economic and historical contexts and is mediated by local cultural practices and perspectives. 2. Learning takes place not only in school but also in the multiple contexts and valued practices of everyday lives across the life span. 3. All learners need multiple sources of support from a variety of institutions to promote their personal and intellectual development. 4. Learning is facilitated when learners are encouraged to use their home and community language resources as a basis for expanding their linguistic repertoires. (The LIFE Center and Center for Multicultural Education, 2007) Keempat prinsip pembelajaran di atas terasa tepat dipraktikkan dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia. Para siswa perlu diajak untuk memahami lingkungan belajar yang cukup luas, dimediasi oleh praktik dan perspektif budaya lokal, yaitu budaya yang merupakan hasil cipta, karsa, dan karya, genuine manusia Indonesia. Demikian pula bahwa pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam ruang kelas sekolah yang terbatas, tetapi juga dalam kontes dan nilai yang banyak di luar sekolah. Hal demikian karena setiap pembelajar membutuhkan sumber untuk pengembangan diri dan intelektual mereka. Pada masyarakat yang multikultural, proses pembelajaran diharapkan mampu memfasilitasi peserta didik dari berbagai latar belakang untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai warga negara yang mampu menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan orang/kelompok dari berbagai latar belakang; berperilaku mengutamakan kepentingan umum; mempromosikan hak individu, keanekaragaman dan kesetaraan; menjunjung kebenaran, cinta tanah air; tidak larut dalam pengkultusan tokoh, kelompok dan partai, ras, etnik, bahasa dan agama/keyakinan; mau mengakui kekurangan dan kesalahan, mau belajar dari kekurangan dan kesalahan, tidak mudah dihegemoni dan mudah mencari kambing hitam atau memanipulasi sesuatu yang merugikan orang lain, tidak mudah berprasangka buruk kepada individu atau kelompok lain; dan kritis sesuai konteks ruang dan waktu (Arif, 2 2008). Nilai budaya itu diperlukan untuk membangun sistem politik demokrasi konstitusional, yang ditandai oleh adanya kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan, dan kepercayaan (Chamim, 2003). Dalam pada itu, pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah memerankan peran strategis dalam memfasilitasi siswa agar mampu mengembangkan nilai dan sikap yang menghargai perbedaan, baik di lingkungan sekolah, maupun pada lingkungan luar sekolah yang lebih luas untuk terwujudnya kehidupan demokratis berkeadaban berdasarkan Pancasila. Upaya di atas tidaklah hadir dengan sendirinya, tetapi mesti dirancang dan dikembangkan dengan baik agar tidak terjebak pada formalitas belaka. Siswa tidak hanya difasilitasi untuk memahami keberagaman, tetapi siswa juga harus memiliki kebajikan/akhlak kewargaan (civic virtue) yang terdiri atas watak kewargaan (civic disposition) dan komitmen kewargaan (civic commitment) sebagai dasar mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam urusan pemerintahan demi terbentuknya budaya kewargaan (civic culture) berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Perspektif Budaya Kewargaan Pemahaman tentang budaya kewargaan (civic culture) tidak bisa dilepaskan dari studi-studi tentang demokrasi. Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh Gabriel Almond dan Sydney Verba (1963). Civic culture dipahami sebagai orientasi psikologis terhadap objek sosial, atau sikap terhadap sistem politik dan terhadap diri sebagai seorang aktor politik (Mujani, 2007). Orientasi ini termasuk pengetahuan atau kepercayaan, perasaan atau afeksi, dan evaluasi atau penilaian terhadap sistem politik secara umum, input dan output politik, dan peran seseorang dalam sistem politik. Diyakini bahwa variasi di dalam orientasi dan sikap ini mempengaruhi partisipasi dan dan penerimaan terhadap sistem demokrasi, yang pada gilirannya mempengaruhi stabilitas demokrasi (Mujani, 2007). 3 Dalam pembahasannya tentang orientasi politik itu, Almond dan Verba meyakini bahwa ada tiga jenis budaya politik: budaya politik parokial (parochial), budaya politik subjek, dan budaya politik partisipan. Budaya politik parokial ditandai oleh tidak terdapatnya peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri. Hal itu terjadi karena terbatasnya diferensiasi dalam masyarakat. Pada kebudayaan ini, masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek politik yang luas, kecuali dalam batas-batas tertentu, yaitu terhadap tempat dimana ia terikat secara sempit (Kantaprawira, 1988), atau bahkan orang-orang bersikap apatis terhadap atau terasing dari sistem politik yang ada (Mujani, 2007). Budaya politik subjek cenderung menjadikan orang bersikap aktif terhadap sistem politik yang secara struktural terdiferensiasi, khususnya terhadap sisi output dari sistem ini, namun bersikap pasif terhadap sisi input dari sistem tersebut. Artinya, masyarakat menganggap bahwa dirinya tidak memiliki peran (tiadanya orientasi politik diri) dalam berbagai kebijakan yang disusun oleh suatu sistem politik dan karenanya harus diterima. Sedangkan budaya politik partisipan ditandai oleh adanya orientasi tidak hanya terhadap sistem poltik yang terdiferensiasi secara struktural, atau terhadap sisi output sistem ini, tetapi juga terhadap sisi input dari sistem bersangkutan dan terhadap diri sebagai partisipan aktif. Perpaduan budaya politik partisipasn, subjek, dan parokial diyakini memiliki pengarush positif bagi stabilitas demokrasi. Demikianlah dapat dihapami bahwa budaya kewargaan yang dikembangkan itu bukanlah sekadar budaya politik partisipan, melainkan budaya politik partisipan “plus yang lain”, kombinasi antara aktivisme dan pasifisme (Mujani, 2007). Dan kombinasi itulah yang melahirkan perilaku politik moderat, bukan radikal. Orientasinya bukanlah kepada perubahan yang bersifat revolusioner, melainkan kepada perubahan secara gradual. Itulah kultur politik demokrasi (Mujani, 2007). Budaya dan tingkah laku demokratis dipahami sebagai kompleks gabungan beberapa unsur, yaitu: keterlibatan kewargaan yang bersifat secular (secular civic 4 engagement), sikap saling percaya sesame warga (interpersonal trust), toleransi, keterlibatan politis (political engangement), dukungan terhadap system demokrasi, dan partisipasi politik (political participation) (Mujani, 2007) Elemen budaya kewargaan yang paling sentral dan perlu dikembangkan adalah kebajikan/akhlak kewargaan (civic virtue). Yang dimaksud adalah kemauan dari warga negara untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi (…the willingness of the citizen to set aside private interests and personal concerns for the sake of the common good) (Quigley & Bahmueller, 1991). Tentang hal ini Quigley dan Bahmueller meyakini bahwa kebajikan kewargaan merupakan domain psikososial individu yang secara substantif memiliki dua unsur, yaitu watak kewargaan (civic disposition) dan komitmen kewargaan (civic commitment). Watak kewargaan adalah sikap dan kebiasaan berpikir warga negara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi (…those attitudes and habit of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good of the democratic system). Sedangkan civic commitment adalah atau komitmen warga negara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap nilai dan prinsip demokrasi konstitusional (…the freely-given, reasoned commitments of the citizen to the fundamental values and principles of constitutional democracy) (Quigley & Bahmueller, 1991, p. 11). Masyarakat Multikultural Indonesia Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak perkembangan internasional pada setiap jamannya itu. 5 Cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi, yang secara substantif dan prosedural menghargai persamaan dalam perbedaan dan persatuan dalam keberagaman, secara formal konstitusional dianut oleh ketiga konstitusi tersebut. Dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat beberapa kata kunci yang mencerminkan cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi, yakni “…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” (alinea 2); “…maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” (alinea 3); “...maka disusunlah Kemerdekaan, Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, ….dst…kerakyatan yang yang berkedaulatan dipimpin oleh rakyat dengan hikmat berdasar kepada kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, ..”(alinea 4),. Kemudian dalam Mukadimah Konstitusi RIS, “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan …dst…kerakyatan…” (alinea 3); “….Negara-hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna”. Selanjutnya dalam Mukadimah UUDS RI 1950, “…dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia …dst… yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. (alinea2); “…yang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan ..dst…kerakyatan…dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia merdeka yang berdaulat sempurna” (alinea 4). Kata rakyat yang selalu disebut dalam konstitusi tersebut pasti menunjuk pada masyarakat Indonesia yang multikultural dengan seloka bhinneka tunggal ika itu. Pada tataran ideal semua konstitusi tersebut sungguh-sungguh menganut paham demokrasi dalam dan untuk masyarakat yang bersifat multikultural. Hal ini mengandung arti bahawa paham demokrasi konstitusional sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia tahun 1945 sampai saat ini merupakan landasan dan orientasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia yang bersifat multikultural. Untuk mewadahi multikulturalisme yang ada secara instrumental dalam ketiga konstitusi tersebut juga telah digariskan adanya sejumlah perangkat demokrasi seperti lembaga perwakilan rakyat, pemilihan umum yang bersifat umum, 6 langsung, bebas dan rahasia untuk mengisi lembaga perwakilan rakyat; partisipasi politik rakyat melalui partai politik; kepemimpinan nasional dengan sistem presidentil atau parlementer, perlindungan terhadap hak azasi manusia; sistem desentralisasi dalam wadah negara kesatuan (UUD 1945 dan UUDS 50) atau sistem negara federal (KRIS 49); pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; orientasi pada keadilan dan kesejahteraan rakyat; dan demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsep masyarakat multikultural (multicultural society) perlu dibedakan dengan konsep masyarakat majemuk (plural society) yang menunjukkan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa. Multikulturalisme dikembangkan dari konsep pluralisme budaya dengan menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat (Suparlan, 2005:98). Multikulturalisme ini mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat (Azra, 2006, Suparlan, 2005). Individu dalam hal ini dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya dimana mereka menjadi bagian darinya. Dengan demikian, corak masyarakat Indonesia bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Tabel 1 Transformasi Masyarakat Indonesia Bhinneka Tunggal Ika Masyarakat Majemuk (plural society) terdiri dari dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur dalam satu unit politik yang tunggal. Masyarakat Multikultural (multicultural society) sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Sumber: (Arif, 2008) 7 Perubahan cara berpikir pluralisme ke multikulturalisme yang melandasi realitas multikultural Indonesia adalah perubahan kebudayaan yang menyangkut nilai-nilai dasar yang tidak mudah diwujudkan. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai konsep multikulturalisme yang sesuai dengan konteks Indonesia, dan pemahaman itu harus berjangka panjang, konsisten, dan membutuhkan kondisi politik yang mendukung. Masyarakat baru yang merupakan pergeseran dari masyarakat majemuk ke masyarakat multikultural Indonesia yang dicita-citakan adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai yang mengatur kehidupannya sebagai warga suatu bangsa. Sebagai dasar kehidupan bernegara, Pancasila memiliki nilainilai yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara. Pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa diakui bahwa agama yang dianut oleh bangsa Indonesia merupakan sumber etika dan moral. Manusia Indonesia yang bermoral adalah manusia yang menjalankan nilai-nilai agama yang dianutnya. Di dalam sila kedua Pancasila mengandung nilai-nilai demokrasi dan HAM. Seorang manusia Indonesia hanyalah mempunyai arti di dalam kehidupan bersama manusia Indonesia lainnya untuk mewujudkan cita-cita yang diinginkan. Hal ini berarti manusia dan masyarakat Indonesia adalah manusia dan masyarakat yang humanis dan mengakui akan hak asasi manusia. Di dalam sila kelima Pancasila, yang penting ialah penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Soekarno di dalam salah satu pidatonya. Di dalam sila keempat mengandung nilai-nilai demokrasi dan pandangan populis. Kehidupan bersama masyarakat Indonesia berpihak kepada kepentingan rakyat dan bukan kepada kepentingan penguasa atau kepada segolongan masyarakat yang better off. Di dalam sila ketiga, Persatuan Indonesia, seperti yang telah dijelaskan oleh Soekarno merupakan alat dan bukan tujuan di dalam kehidupan bersama masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu berbagai kebijakan yang memaksa menghilangkan 8 kebhinnekaan masyarakat Indonesia adalah bertentangan dengan sila Persatuan Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bhinneka, dan oleh sebab itu, merupakan hak dari setiap suku bangsa untuk mengembangkan masyarakat dan budayanya, yang pada gilirannya menyumbangkan yang terbaik kepada masyarakat Indonesia. Inilah inti yang dikemukakan di dalam TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Indonesia. Profil manusia Indonesia baru itu digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 2 Profil Manusia Indonesia Baru Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Nilai-nilai yang Disandang Manusia Indonesia Nilai-nilai etika Nilai moral HAM Toleransi Kerukunan hidup antarwarga/antara agama Kerja sama global untuk kemakmuran dan perdamaian Saling menghargai perbedaan Kemauan untuk bersatu Menghormati simbol-simbol negara persatuan Rasa bangga sebagai orang Indonesia Nilai-nilai demokrasi Populis (memihak kepada kepentingan rakyat) Teknologi yang memajukan kemakmuran rakyat Rasa solidaritas sosial sebagai satu bangsa Kerja sama dalam menanggulangi masalah nasional (gotong royong) Sumber: (Tilaar, 2004) 9 Sumber Nilai/Sarana Agama yang dihayati di dalam masyarakat Indonesia Kebudayaan daerah(sukusuku Nusantara) Kesadaran hukum/negara hukum Kerja sama internasional Bahasa Indonesia Sistem pendidikan dan persekolahan Interaksi antarwarga/ antarsuku Pendidikan multikultural Berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi IPTEK Lembaga-lembaga sosial tradisional yang masih fungsional di daerah Tabel di atas menunjukkan profil manusia Indonesia, yaitu manusia Pancasila yang sedang menjadi. Profil tersebut merupakan suatu proses perwujudan nilai-nilai Pancasila yang terus berkembang. Selain itu, nilai-nilai Pancasila yang tercantum di dalam kelima sila Pancasila tersebut merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Keutuhan nilai-nilai tersebut menjiwai seluruh proses humanisasi manusia Indonesia. Di dalam proses humanisasi profil manusia Indonesia tersebut tentunya ada nilai-nilai yang mendapatkan prioritas karena tuntutan keadaan. Pendidikan Kewarganegaraan dan Kebajikan Kewargaan Bagaimana membangun kebajikan kewargaan di sekolah, terlebih pada masyarakat multicultural Indonesia? Tantangan guru pendidikan kewarganegaraan sekarang adalah menjadikan mata pelajaran itu berkhidmat kepada, dan mendorong penguatan nilai-nilai kemanusiaan karena beragam persoalan sosial budaya yang muncul karena keanekaragaman yang ada. Proses pendidikan kewarganegaraan harus bersandar secara kukuh kepada budaya Indonesia untuk melahirkan pandangan dunia, nilai-benilai, dan komitmen terhadap nilai-nilai dan keluruhan martabat manusia yang bertumpu pada kejujuran dan pertanggungjawaban. Sekolah menurut Banks sedapat mungkin mempersiapkan para siswa dari berbagai ras, etnis, budaya dan kelompok bahasa ke arah warga negara yang efektif dan merefleksikan budaya dan komunitas kewargaan (Banks, 2007). Kebutuhan untuk membina generasi yang akan datang dengan kemampuan menyusun kerangka moral imajinatif kian penting bukan saja untuk menyelesaikan persoalan dengan cara-cara yang rasional dan saling menghargai, tetapi juga penting untuk menjaga keutuhan masyarakat Indonesia yang multikultural. Perlu disadari, bahwa masyarakat multikultural Indonesia tidaklah selalu berdampak positif, melainkan tersimpan beragam potensi konflik yang sewaktu-waktu muncul. Karena itu, empati dan toleransi menjadi nilai dasar yang perlu terus dikembangkan baik dalam proses maupun sebagai output pendidikan. Membawa siswa pada persoalan 10 yang kompleks dan spektrum ruang kelas pendidikan kewarganegaraan yang luas dirasa tepat, karena sebagaimana dalam kajian Sosiologi, tindakan manusia tidak pernah terjadi dalam “pulau kosong”. Dalam konteks ini, pembinaan nilai-nilai kebajikan kewargaan tidak bisa dilepaskan dari pembentukan iklim sosial yang kondusif bagi munculnya sikap toleran, egaliter, dan partisipatif. Menurut Amin Abdullah, guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Abdullah, 2005), upaya meminimalisir konflik yang terpenting (termasuk dalam masyarakat yang multikultural) adalah melalui penanaman kesadaran kepada masyarakat akan keragaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democration values). Dan kesemua itu, dapat dilakukan melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah. Daftar Pustaka Abdullah, A. (2005). Kesadaran Multikultural: Sebuah Gerakan "Interest Minimalization" dalam Meredakan Konflik Sosial. In M. A. Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (pp. xi-xx). Yogyakarta: Pilar Media. Arif, D. B. (2008). Pengembangan Warga Negara Multikultural Implikasinya terhadap Kompetensi Kewarganegaraan. Sekolah Pascasarjana, Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Azra, A. (2006). Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme. In Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press. Banks, J. A. (2007). Educationg Citizen in a Multicultural Society (2 ed.). New York: Teachers College Press. Chamim, A. I. (2003). Civic Education di Perguruan Tinggi: Beberapa Catatan Pengalaman. In S. Malian, & S. Marzuki (Eds.), Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (pp. 5-16). Yogyakarta: UII Press. Kantaprawira, R. (1988). Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru. Mujani, S. (2007). Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Quigley, C. N., & Bahmueller, C. F. (1991). Civitas: A Framework for Civic Education. Calabasas: Center for Civic Education. 11 Suparlan, P. (2005). Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. The LIFE Center and Center for Multicultural Education. (2007). Learning in and out of School in Diverse Environment: Life-Long, Life-Wide, Life-Deep. Seatle: Center For Multicultual Education. Tilaar, H. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. 12