250 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN

advertisement
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
5.1
Simpulan
Penelitian ini berupaya untuk menemukan jawaban terhadap pokok masalah
yakni “Bagaimana penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia melakukan unjuk santun
dalam berbahasa Indonesia”. Masalah tersebut dirinci dalam pertanyaan penelitian (1)
Indikator kebahasaan apa
yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur
dwibahasawan dalam unjuk kesantunan? (2) Bagaimana strategi yang digunakan
penutur dan lawan tutur dwibahasawan dalam unjuk kesantunan? (3) Prinsip-prinsip
apa yang diperhatikan oleh penutur dan lawan tutur dalam berunjuk santun? (4) Nilainilai kearifan lokal apa yang digunakan penutur dan lawan tutur dwibahasawan
Sunda-Indonesia dalam berunjuk kesantunan?
Setelah melakukan kajian dengan menggunakan metode analisis kontekstual
naturalistik terhadap tuturan penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dari aspek
kebahasaan yang meliputi kesesuaian pilihan kata, kesantunan menggunakan kalimat,
dan penggunaan intonasi serta strategi dan kearifan lokal dalam penunjukan
kesantunan diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Indikator kebahasaan yang disepakati dan ditetapkan oleh penutur
dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk santun berbahasa Indonesia
adalah:
a.
Kata yang sesuai dan halus, artinya kata tersebut memiliki nilai rasa
bahasa yang secara khas kedaerahan bermakna penghormatan dan
penghalusan sesuai dengan budaya daerah. Merujuk pada pernyataan itu,
kata dan atau kelompok kata yang dimaksud ada yang berbentuk kata
yang tidak sesuai dengan norma bahasa, namun ada pula bentuk yang
sengaja dilakukan oleh penutur dengan melakukan campur kode antara
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
250
251
bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda. Contoh kata “kasepuhan” yang
dirasakan oleh penutur lebih bernilai rasa halus daripada kata “tokoh
masyarakat”. Kata “mangga” dirasakan lebih bernilai rasa halus daripada
menggunakan kata “silahkan”.
b.
Kalimat literal tidak langsung, artinya kalimat yang digunakan
oleh
penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia adalah kalimat yang tidak
langsung tertuju pada maksud kalimat itu. Kalimat literal tidak langsung
disamping berkonsekuensi pada kalimat tersebut merupakan kalimat
panjang, kalimat tersebut juga memiliki makna implisit sehingga
memerlukan penafsiran yang harus mendalam dari mitra tutur. Misalnya
seorang penutur yang meminta kesediaan waktu dari mitra tutur untuk
menerima
dirinya
bersilaturahmi
akan
menyatakan
“Maaf
Pak
mengganggu, barangkali ada waktu, kapan saya bisa bersilaturahmi?”
(dituturkan oleh seorang mahasiswa yang mau bimbingan dengan
dosennya).
c.
Lagu tutur (langgam) hormat, artinya lagu tersebut bernada mengalun
dengan tekanan tidak keras, pelafalan mengalami pemanjangan pada akhir
kata dan berjeda lambat. Dalam bahasa Sunda, lagu tutur (langgam)
hormat disebut lentong santun. Dari tiga unsur kebahasaan sebagai
penentu kesantunan, lagu tutur (langgam) hormat (intonasi) dalam tuturan
merupakan penentu utama penunjukan kesantunan berbahasa Indonesia
oleh penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia untuk aspek kebahasaan.
Lagu tutur inilah yang akan memunculkan “keberterimaan” mitra tutur
terhadap tuturan dari pihak penutur. Keberterimaan inilah hakikat isi
komunikasi yang santun.
2. Strategi yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dwibahasawan SundaIndonesia dalam berunjuk santun berbahasa Indonesia terdiri atas penggunaan
norma, penggunaan ragam bahasa dan relevansi. Strategi ini dikelompokkan
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
252
menjadi dua jenis, yakni (1) strategi bahasa dan (2) strategi cara. Strategi
bahasa dilakukan melalui
a. menggunakan kalimat literal tidak langsung;
b. melakukan campur kode dan alih kode;
c. menggunakan ungkapan baik ungkapan dalam bahasa daerah Sunda
(babasan), pribahasa Sunda (paribasa) maupun ungkapan dan
pribahasa dalam bahasa Indonesia.
Strategi cara berunjuk santun berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh
penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia adalah
a. menggunakan fatis (basa-basi);
b. melakukan perendahan diri – peninggian martabat mitra tutur;
c. mengangkat kearifan lokal bidang bahasa.
Strategi kesantunan dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam dimensi budaya
adalah strategi yang dinamakan trirasa yakni.
a. Raba rasa, adalah ungkapan yang dapat diartikan sebagai upaya
memahami keadaan perasaan orang lain;
b. Balik rasa, merupakan ungkapan yang diartikan sebagai upaya
introspeksi diri yang dilakukan oleh seseorang sehingga ia akan
berprinsip kondisi yang dirasakan oleh orang lain akan dirasakan pula
oleh penutur; dan
c. Genah rasa, adalah ungkapan yang memiliki makna senang, enak, yang
timbul karena bahasa yang digunakan memiliki kepatutan dan
kelayakan.
3. Prinsip-prinsip kesantunan yang harus digunakan dan diterima oleh penutur
dan mitra tutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk santun adalah
“penghormatan dan peninggian martabat mitra tutur” (permufakatan).
Disamping itu disepakati pula penjagaan dan penghormatan martabat diri
melalui “keberterimaan” terhadap bentuk dan makna tuturan. Bentuk tuturan
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
253
merujuk pada kata dan kalimat yang jelas untuk diterima dan dipahami
karena memiliki nilai kehalusan, makna tuturan merujuk pada maksud dan
tujuan yang jelas yang terkandung dalam tuturan.
4. Kearifan lokal dalam bidang bahasa yang diangkat dan digunakan oleh
penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam menunjukkan kesantunan
berbentuk ungkapan dan pribahasa yang memiliki nilai-nilai
a. Pernyataan bijaksana sebagai falsafah kehidupan (Sunda = wawaran
luang), contoh Silih asah silih asih silih asuh;
b. Pendorong berperilaku baik (Sunda = pangjurung laku hade), contoh
Hade ku basa goreng ku basa; dan
c. Pencegah perilaku salah (Sunda = panyaram lampah salah), contoh Ulah
getas harupateun;
5.2
Implikasi
Bahasa merupakan nikmat Allah yang manusiawi dan komunikatif. “Allah
mengajarkan (manusia) pandai berbicara” (Al-Qurat surat Ar-rahman ayat 4). Dengan
bahasa kita bisa berkomunikasi dengan sesama dan dengan bahasa pula kita berpikir
untuk membuat kehidupan ini lebih maju dalam bingkai “Silih asih, silih asah, silih
asuh”. Bahasalah yang akan membawa kekehidupan ini tentram atau sebaliknya
sebuah bangsa bisa hancur karena bahasa.
Berbahasa berarti menggunakan bahasa untuk saling menyampaikan dan
menerima pesan antara penutur dan mitra tuturnya. Pesan sebagai isi komunikasi dan
penutur akan diterima dan ditindkalanjuti oleh mitra tutur jika komunikasi
berlangsung lancar karena tidak terhambat oleh penentu keharmonisan komunikasi.
Salah satu penentu keberhasilan (kelancaran) komunikasi itu adalah penutur
menggunakan cara berkomunikasi yang diterima oleh mitra tutur. Hal yang dimaksud
adalah santun berbahasa. Dengan memperhatikan kesantunan berbahasa pelaku
komunikasi yang saling menghormati, saling menjaga martabat diri, saling
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
254
menyampaikan dan menerima pesan dengan menaati norma kebahasaan dan nilai
sosial kemasyarakatan yang berlaku dan dipelihara oleh masyarakat.
Kesantunan tak terbatas siapa pelaku komunikasi, kapan berkomunikasi,
dimana berkomunikasi dan bagaimana situasi komunikasi. Seseorang anak harus
santun kepada orang tuanya, gurunya, teman sebayanya, orang yang lebih tinggi
usianya, demikian juga sebaliknya. Orang tua harus santun kepada anaknya
(sekaligus memberi contoh), guru harus santun kepada anak didiknya (mendidik),
seseorang yang lebih tua harus santun kepada yang lebih muda, seseorang harus
santun pula pada teman sebayanya. Kesantunan tidak akan merendahkan martabat diri
seseorang, malah sebaliknya, kesantunan dalam berbahasa akan menempatkan diri
orang tersebut pada karakter (santun) yang terpuji.
Kapan dan dimana berkomunikasi menuntut kita memahami dan menerapkan
konsep bahasa yang “baik”. Bahasa yang baik diartikan sebagai bahasa yang
pemakaiannya memperhatikan situasi dan kondisi pemakaiannya. Bahasa yang santun
adalah bahasa yang memperhatikan tempat dan waktu komunikasi. Setting and scene
sebagai salah satu indikator kesantunan menurut Dell Hymes (1978) mengacu pada
tempat dan waktu terjadinya komunikasi. Dengan begitu bahasa yang baik adalah
bahasa yang santun.
Bangsa Indonesia terdiri atas suku bangsa yang majemuk dengan bahasa dan
budaya satu sama lain berbeda. Kenyataan terdapatnya perbedaan tersebut jangan
sampai mengurangi nilai-nilai kesantunan karena dapat dipastikan setiap bahasa
mempunyai piranti kesantunan bahasa dan budaya masing-masing yang menjungjung
tinggi nilai-nilai budaya yang terkait dengan pilar-pilar karakter (santun) baik yakni:
1) mencintai Allah dan ciptaan-Nya; 2) memiliki kemandirian dan tanggung jawab; 3)
menjungjung nilai kejujuran; 4) melaksanakan amanah; 5) bersikap horamt/ santun;
6) memiliki rasa percaya diri, kreatif dan ulet; 7) memiliki jiwa kepemimpinan dan
keadilan; 8) bersikap rendah hati; dan 9) bertoleransi pada sesama.
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
255
Santun dalam berbahasa artinya menggunakan nila-nilai yang benar tentang
bahasa
dan
memperhatikan
kebaikan
serta
norma
kemasyarakatan
dalam
berkomunikasi, lingkungan sosial budaya masyarakat yang mempengaruhi pemakaian
bahasa. Kegiatan berbahasa akan terkait dengan lingkungan sosial budaya dan
kesantunannya akan terkait dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya.
Lingkungan sosial budaya merasakan betapa perlunya anggota masyarakat santun
dalam berbahasa. Dengan kesantunan, lingkungan sosial budaya akan beroleh
keharmonisan
dalam
berkomunikasi,
kerukunan
dalam
bermasyarakat,
dan
kenyamanan dalam berkehidupan.
Masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kepribadian/karakter (santun)
berbahasa santun akan merasakan kesantunan sebagai bagian penting dan proses
pendidikan, khususnya pendidikan formal. Sekolah berada dalam lingkungan
masyarakat bahkan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Jawaban siapa yang ada di
sekolah (siswa, guru, karyawan, pimpinan) mengisyaratkan bahwa sekolah juga
merupakan institusi sosial. Untuk itu “sekolah harus menjadi gambaran (miniatur)
dan masyarakat lingkungannya” (Sauri, 2006). Sistem pendidikan di sekolah harus
mampu menjadikan siswa memiliki kecerdasan emosional disamping kecerdasan
intelektual. Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu kecerdasan emosional
yang harus dimiliki oleh siswa selama dan sesudah mengikuti pendidikan.
Komunikasi yang diharapkan dalam pendidikan adalah komunikasi yang berlangsung
dalam suasana edukatif sehingga akhirnya siswa dapat berkomunikasi yang
memperhatikan norma dan nilai yang berlaku. Bahasa yang komunikatif dan
memberikan nilai positif bagi penutur dan mitra tuturnya disebut juga bahasa santun.
Dengan demikian, pendidikan barus bisa mewujudkan pendidikan berbahasa santun.
Kesantuan sebagai salah satu tujuan pendidikan bahasa belum menunjukkan
pencapaian hasil yang membanggakan. Bahkan ironisnya, kesantunan dalam bahasa
mengalami pengikisan. Orang tua sering mengeluhkan anaknya menggunakan bahasa
yang tidak menunjukkan kesantunan, demikian guru juga merasakan siswa-siswanya
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
256
belum bisa membedakan mana bahasa santun dan mana bahasa yang tidak santun.
Dalam tanyangan telivisi tak jarang kita lihat, orang-orang terhormat (pejabat
pemerintah) kurang bahkan tidak menunjukkan kesantunan ketika berbahasa.
Kesantunan dalam berbahasa dapat dibentuk dan diwujudkan dalam proses
pendidikan (pembelajaran) yang tidak hanya melibatkan pihak sekolah (siswa, guru)
melainkan juga pelibatan lingkungan masyarakat. Untuk ini diperlukan strategi yang
terus menerus dikembangkan secara komprehensif dan terpadu. Sauri (2006:72)
berpendapat “pengembangan strategi pendidikan berbahasa santun diartikan sebagai
upaya mendayagunakan potensi yang dimiliki sekolah seperti kurikulum, guru,
metode dan situasi edukatif guna mewujudkan kesantunan berbahasa di kalangan
warga sekolah”.
Hal yang akan menjadi penanda pertama karakter (santun) seseorang yang
bisa diamati adalah penggunaan bahasanya. Kebenaran seseorang dalam berbahasa
(tidak
berbohong),
kedermawanan
(memberikan
keuntungan),
kebaikan
(memperhatikan situasi) dan kehalusan dalam berbahasa akan menunjukan bahwa
pemakai bahasa itu mempunyai satu sisi karakter (santun) yang positif yakni
“santun”.
Berbahasa bukan hanya sekedar menuturkan bunyi-bunyi yang bermakna ke
dalam rentetan kata dan kalimat agar dipahami oleh orang lain. Perbuatan berbahasa
melibatkan aspek mental yang bertemali dengan sikap dan perilaku komunikasi.
Dalam tataran bahasa, kita mengenal adanya komponen sikap bahasa yakni kesetiaan
berbahasa, kebanggaan berbahasa, kesadaran adanya norma bahasa. Pemakaian
bahasa yang tidak melibatkan aspek mental (sikap) akan menjadikan bahasa sebagai
pemicu terjadinya berbagai masalah kemanusiaan seperti yang dapat kita temukan
sekarang (dekadensi moral). Orang tua menyatakan keanehan dan kegundahannya
karena anak-anaknya bersikap, berbahasa, dan berperilaku kasar kepada temanteman, saudara, bahkan kepada orang tuanya sendiri. Guru-guru di sekolah pun
merasa prihatin karena siswa-siswanya kurang mempunyai sikap hormat ketika
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
257
berkomunikasi di sekolah. Masyarakat sering dibuat resah oleh tawuran siswa dan
perkelahian masal akibat bahasa yang digunakan bersifat saling mengejek. Demikian
adanya pemakaian bahasa yang menunjukan karakter (santun).
Bahasa, karakter, dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Pendidikan bahasa
yang mengesampingkan karakter akan menjadikan lulusan yang tidak berkarakter
positif sehingga berkemungkinan berpengaruh terhadap martabat bangsa. Lickona
(2001) mengungkapkan sepuluh tanda sebuah bangsa sedang menuju jurang
kehancuran, yakni 1) meningkatnya kekerasan dikalangan remaja; 2) penggunaan
kata dan bahasa yang memburuk; 3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindak
kekerasan; 4) meningkatnya perilaku merusak diri; 5) semakin kaburnya pedoman
moral baik dan buruk; 6) menurunnya etos kerja; 7) semakin rendahnya rasa hormat
kepada orang tua dan guru; 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan negara; 9)
membudayanya ketidakjujuran; dan 10) adanya saling curiga dan kebencian diantara
sesama. Kalau semua ciri itu kita perhatikan, pada hakikatnya semua itu bermula dari
pemakaian bahasa yang tidak berkarakter (santun). Bahasa yang tidak berkarakter
(santun) bisa saja bersumber dari pendidikan bahasa yang tidak menghubungkan
bahasa dan pembelajarannya dengan pendidikan karakter (santun).
Perlunya pendidikan karakter (santun) seakan-akan tak pernah berhenti
dibicarakan, dibahas dalam berbagai kesempatan baik dalam situasi formal akademis
maupun dalam pembicaraan-pembicaraan atau tulisan-tulisan di media masa. Hampir
semuanya berpendapat bahwa karakter (santun) bangsa ini telah mengalami
dekandensi sehingga disana-sini muncul perilaku anak bangsa yang tidak lagi sesuai
dengan norma dan nilai keagamaan, etika sosial, dan nila-nilai pendidikan yang
dijadikan sebagai kerangka dasar acuan dalam bersikap dan berprilaku. Dari berbagai
masalah karakter (santun) yang muncul, pendidikan dijadikan sebagai “tersangka”
yang harus bertanggung jawab atas kemerosotan moral dan hilangnya karakter
(santun) bangsa yang selama ini terkenal oleh bangsa lain sebbagai bangsa yang
beradab. Pendidikan “dituduh” telah gagal dalam mengemban misinya sehingga
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
258
dinyatakan tidak mampu lagi melahirkan generasi yang bisa membangun dirinya dan
bangsanya melalui kecerdasan akademik, kekuatan spiritual, dan kebaikan karakter
(santun).
Pendidikan karakter (santun) bukan merupakan sesuatu yang baru dalam
pendidikan kita. Kita tidak boleh lupa apa yang dikatakan Kihajar Dewantara tentang
tujuan pendidikan dan fungsi pendidikan sebagaimana tersirat pada pasal 3 UU No.
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional “Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter (santun) serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jadi,
wacana publik selama ini tentang pendidikan karakter (santun) sebenarnya bukan
sesuatu yang baru.
Selama ini pembahasan-pembahasan pendidikan karakter (santun) seolah-olah
menjadi objek bahasan pendidikan nilai, pendidikan moral, dan kewarganegaraan,
padahal sebetulnya harus merupakan pendidikan integratif apalagi dalam pendidikan
formal disekolah-sekolah. Bahasa dan pendidikan bahasa harus mampu memberikan
kontribusi pada pendidikan karakter (santun) karena karakter (santun) itu sendiri
seperti yang dikemukakan oleh Art-Ong (Makalah Human Values Integrated
Instructional Model “dapat dibentuk melalui pendidikan/pembelajaran”). Guru mesti
membentuk karakter (santun) yang baik pada diri siswa. seorang yang berkarakter
(santun) adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan
yaitu kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang dan tanpa kekerasan. Nilai-nilai
tersebut terkait dalam tuntutan berbahasa dan pembelajarannya, yakni santun
berbahasa dan pembelajaran bahasa yang santun.
Pendidikan bahasa santun pada masyarakat tidak berbatas empat dinding kelas
yang dilaksanakan di sekolah. Pada dasarnya pendidikan berbahasa santun adalah
pembentukan dan atau pengubahan karakter peserta didik. Model yang bisa dijadikan
sebagai alternatif dalam melakanakan pendidikan bahasa santun dilakukan melalui
langkah-langkah
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
259
1. Pengertian + pemahaman;
2. Pembelajaran + pembinaan;
3. Pemodelan + peneladanan;
4. Pelatihan + pembiasaan.
Pengertian dimaksudkan sebagai proses mengartikan konsep-konsep yang
bersifat teoretis praktis. Sekaitan dengan pendidikan kesantunan, pengertian yang
bersifat pengetahuan diharapkan dimiliki oleh peserta didik sebagai dasar atau
pondasi untuk kemampuan berbahasa santun. Dengan demikian dalam konteks
pendidikan berbahasa santun yang dipentingkan bukan hafal teori-teori santun
berbahasa melainkan memiliki pengetahuan-pengetahuan praktis untuk bisa
berbahasa santun. Pemahaman merupakan penyerta pengertian. Dengan memahami
pesertas didik akan memiliki kesadaran sehingga timbul atau terbentuk sikap positif
terhadap kesantunan berbahasa. Sikap inilah yang akan menjadi dasar untuk perilaku
berbahasa santun.
Pembelajaran berbahasa santun harus diupayakan untuk mengoptimalkan
potensi yang ada dalam peserta didik karena setiap individu mempunyai potensi yang
bisa dikembangkan sehingga bisa diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan.
Sekaitan dengan pendidikan berbahasa santun, pembalajaran merupakan proses yang
bisa dibentuk sesuai dengan kemampuan masing-masing individu dalan berbahasa.
Pembelajaran berbahasa santun harus dilakukan melalui penambahan porsi kegiatan
melalui proses pembinaan. Proses pembinaan lebih diarhakna pada penanaman sikap
positif terhadap bahasa yang dipelajari di samping menumbuhkembangkan keinginan
untuk lebih tau dan lebih bisa.
Proses pendidikan bahasa santun tidak cukup mengandalkan hal-hal yang
bersifat teori dan pengetahuan melainkan harus diupayakan terwujudnya sebuah
model yang akan dijadikan sebagai contoh perilaku. Dalam konteks pendidikan
berbahasa santun pemodelan merupakan hal yang sangat penting karena
memungkinkan peserta didik tidak mengalami verbalisme. Tanpa adanya model yang
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
260
nyata sebagai contoh penggunaan berbahasa santun dalam berbagai konteks, peserta
didik hanya akan bisa menghafal dan mengetahui teori berbahasa santun tetapi tidak
bisa mengaplikasikannya dalam pemakaian bahasa yang sebenarnya. Model dalam
pendidikan bahasa santun harus merupakan sosok yang patut dijadikan teladan. Oleh
karena itu, peneladanan harus dilakukan setelah pemodelan. Dengan adanya
peneladanan, peserta didik akan tumbuh kepercayaannya sehingga akan menajdikan
yang bersangkutan memiliki keyakinan bahwa yang sedang dilakukannya merupakan
hal yang positif dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya.
Langkah berikutnya adalah pelatihan dan pembiasaan. Kemampuan berbahasa
merupakan kemampuan yang akan dimiliki seseorang melalui proses berlatih. Dalam
konteks pendidikan kesantunan berbahasa, peserta didik diberi kesempatan yang
sangat leluasa untuk melakukan latihan yang didasari oleh stimulus penggunaan
bahasa yang santun. Latihan yang dimaksud dalam konteks ini adalah latihan yang
terstruktur dan berkesinambungan. Pelatihan tidak akan memberi perubahan yang
sangat signifikan tanpa diikuti oleh pembiasaan. Proses berbahasa pada hakikatnya
adalah proses membiasakan bertutur dengan pola-pola bahasa yang diketahui oleh
penuturnya. Bahasa merupakan serangkaian kebiasaan, oleh karena itu dalam konteks
pendidikan bahasa yang santun harus diciptakan lingkungan yang memungkinkan
pesertad didik dapat membiasakan kemampuan-kemampuan berbahasa yang
dimilikinya.
Sistematika kegiatan pendidikan berbahasa santun dapat dikemukakan sebagai
berikut.
1. Penentuan tujuan pendidikan;
2. Penentuan konteks penggunaan bahasa;
3. Penentuan materi pendidikan;
4. Penentuan metode pendidikan;
5. Penentuan media pendidikan;
6. Penentuan sumber pendidikan;
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
261
7. Penentuan langkah-langkah pendidikan;
8. Penentuan penilaian sikap;
9. Penentuan penilaian unjuk kerja.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya sadar dan berencana untuk
mencapai tujuan. Pernyataan ini akan memberikan makna bahwa pendidikan
berbahasa santun harus didasari oleh adanya kesadaran, pentingnnya penggunaan
bahasa santun dalam berkomunikasi. Proses pendidikan yang dimaksud harus
dilaksanakan secara berencana karena pendidikan berbahasa santun jangan sampai
memunculkan peserta didik yang kurang bisa menggunakan hasl belajarnya dalam
kepentingan pemakaian bahasa sesungguhnya. Pendidikan berbahasa santun harus
bertujuan untuk mewujudkan peserta didik (masyarakat) yang mampu berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa-bahasa yang diterima oleh masyarakat karena bahasa
tersebut sesuai dengan norma bahasa itu dan sesuai pula dengan nilai-nilai sosial
budaya masyarakat tempat digunakannya bahasa itu.
5.3
Rekomendasi
Penelitian yang telah menghasilkan deskripsi karakteristik kemampuan
penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia dalam berunjuk santun berbahasa Indonesia
merekomendasikan hal-hal berikut:
1. Kehidupan bermasyarakat keberlangsungannya sangat ditentukan oleh
keberhasilan komunikasi antara penutur dengan mitra tutur. Keberhasilan
komunikasi ini ditentukan oleh pemahaman dan penggunaan bahasa yang
santun. Oleh karenanya, untuk mewujudkan kesantuanan dalam berbahasa
hendaknya penutur dan mitra tutur memperhatikan norma bahasa dan nilainilai sosial budaya masyarakat yang berlaku dan diterima oleh masyarakat.
2. Penutur dan mitra tutur hendaknya menggunakan kata, kalimat, dan intonasi
yang mengindikasikan
penunjukan kesantunan sehingga mitra tutur
menunjukan simpati pada penutur.
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
262
3. Penutur dan mitra tutur (masyarakat) hendaknya berkomunikasi melalui
bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Perlukah bertutur, dengan siapa bertutur, bagaimana cara bertutur.
b. Dalam berkomunikasi hendaknya pelaku komunikasi memperhatikan
strategi “raba rasa”, “balik rasa”, “genah rasa”.
4. Budaya daerah memiliki nilai-nilai kebaikan yang telah tertanam dan
dipeliharaa
oleh
masyarakatnya.
Nilai-nilai
kebaikan
ini
harus
diimplementasikan dalam kehidupan modern sekarang karena memiliki
kearifan lokal dalam bidang bahasa berisi fatwa-fatwa atau petuah kepada
masyarakat budaya itu agar berbudi pekerti baik dan berbahasa dengan santun.
Penutur
dwibahasawan
Sunda-Indonesia
harus
paham
berikutnya
mengaplikasikan kearifan lokal dalam bidang bahasa sebagai berikut.
a. Hade ku basa goreng ku basa;
b. Kudu bisa silih asih, silih asah, silih asuh;
c. Sangkan cageur, bageur, bener, pinter, tur singer.
5. Penelitian sejenis yang akan mengembangkan penelitian ini akan memperkaya
khasanah keilmuan dan konsep kesantunan yang masih belum memiliki
kebakuan. Oleh karenanya sangat dinantikan keterwujudannya.
R HENDARYAN, 2015
EKSPRESI KESANTUNAN DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR DWIBAHASAWAN
SUNDA-INDONESIA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Download