SATU KATA - Kalteng Kemenag

advertisement
SATU KATA
Oleh : Amrullah
Saudara, bagaimana perasaan anda, jika dalam sebuah forum terbuka, secara
ketus dikatakan (maaf) “bungul“ oleh si Polan ?. Jawabnya tentu beragam, mungkin
salah satunya adalah sedih. Sedih karena sebagai warga negara Indonesia yang hidup
normal dan terdidik, tentunya wajar jika merasa sedih mendengar pernyataan si Polan
yang begitu tega berkata demikian terhadap sesamanya. Namun sebagai insan beriman
dan berpendidikan, kita tidak perlu reaktif menanggapi pernyataan si Polan tersebut
Norma agama telah memberikan tuntunan untuk mengucap kalimat istigfar tasbih
tahmid dan takbir, sebagai hamba yang lemah, kita wajib (selalu) memohon ampunan
kepada Al Khaliq, karena sesungguhnya kesucian pujian dan kebesaran hanyalah milik
Allah azza wa jalla.
Kata “ bungul “ berasal dari bahasa Banjar (Kalsel) yang berarti “ bodoh “ atau “
jahil “, maksudnya “ tidak memiliki pengetahuan “. Kata “ bungul “ sering disepadankan
dengan beberapa kata, yakni : (maaf) “ gila “ atau “ miring “, artinya “ pikiran yang tidak
normal “, ; (maaf) “ sinting “, artinya “ pikiran yang tidak stabil “, ; (maaf) “ buntat “
artinya “ tidak dapat berpikir “ atau “ otak yang keras seperti batu “, (maaf) “ tambuk “
artinya “ busuk “ atau pikiran yang kotor “. Istilah “ bungul “ biasanya dipergunakan
untuk menggambarkan “ suatu kebodohan “ atau “ keadaan kebodohan “, yaitu keadaan
ketika seseorang “ tidak memiliki pemikiran “ atau “ suatu perilaku yang menyimpang
dari adat kebiasaan “.
Menurut pendapat para ahli, “ bungul “ disebabkan oleh suatu penyakit yang
menutupi atau mengganggu akal, sehingga akal tidak mampu menangkap suatu objek
dengan benar, dan disertai oleh kebingungan dan kekacauan pikiran. Jadi pengertian
dari orang “ bungul “ kurang lebih adalah : “ Orang yang tidak memiliki pemikiran,
disebabkan oleh suatu penyakit yang mengganggu atau menutupi akalnya, sehingga
yang bersangkutan tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk “. Seseorang dapat
diketahui sebagai orang yang “ bungul “ dari gejala yang terjadi pada perbuatan atau
perkataannya yang menurut kebiasaan tidak benar dan tidak normal (Dahlan 1996).
Dalam kesempatan ini perlu disuarakan keprihatinan penulis tentang
penggunaan kata “ bungul “ yang kerap kali dilontarkan dalam berkomunikasi resmi
saat jam dinas. “ Bungul “ itu menggambarkan suatu keadaan (dalam hal ini pikiran)
manusia yang statis, dimana karena suatu sebab (penyakit), akalnya yang merupakan
kekuatan yang dipersiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya, yang mengakibatkan perkembangan kepribadiannya agak “
terhambat “ atau “ tumpul “. Dan sesungguhnya (pula) “ bungul “ itu bukanlah sifat
bawaan atau sifat dasariah (fitrah) manusia sejak azali.
Menyebut seseorang sebagai “ bungul “ adalah cara bicara yang khas bagi suatu
cara berpikir yang dapat memahami hubungan antara manusia hanya menurut pola
kekuasaan semata : ada yang berkuasa yang memaksakan kehendaknya, dan yang
lainnya lemah, maka dikuasai dan dicampakkan. Pernyataan “ ikam bungul “ secara
implisit menunjukan pandangan yang rendah terhadap manusia. Hubungan antara si
Polan yang menyebut “ bungul “ dengan orang yang disebut sebagai “ bungul “ adalah
hubungan antara subjek dan objek, sejajar dengan hubungan antara raja yang bengis
dengan rakyat kecil yang tidak berdosa, setara dengan hubungan antara pihak yang
berdaulat dan berkuasa disatu pihak, dan pihak yang pasif di pihak lain. Sikap gemar
berkata “ bungul “ kepada orang lain mengingatkan kita akan sikap penguasa lalim
yang gemar berkata kasar terhadap rakyat jelata dizaman dahulu kala, sama juga
seperti sikap mental mandor perkebunan yang hobi berteriak garang kepada para
pekerja di era kolonialisme. Namun di era postmodern ini sudah tidak zamannya lagi
mengucap kata “ bungul “ kepada sesama manusia. Kita dilarang keras mengucap kata “
bungul “ kepada sesama manusia, karena mengucap kata “ bungul “ kepada sesama
manusia sama dengan menghina derajat kemanusiaan itu sendiri. Secara normatif, kita
dilarang mengejek, menghina, merendahkan derajat sesama manusia dengan segala
variannya. Hal itu telah diatur berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa
tentang Hak Azasi Manusia (pasal 1, 4 dan 5 - Deklarasi HAM PBB 1948), yang jika
dilanggar akan mendapat sanksi berupa pengucilan dari pergaulan masyarakat global.
Terlebih menurut syariat Islam, tindakan semisal itu adalah salah satu bentuk
pengingkaran terhadap ciptaan Allah, dan pengingkaran terhadap ciptaan Allah
menurut terminologi tasawuf termasuk dalam katagori kufur, insan yang kufur jika
tidak bertaubat akan mendapat balasan berupa penghinaan setimpal di yaumil
mahsyar. Menurut hukum adat, mengucap kata “ bungul “ kepada orang lain
merupakan sebuah pantangan, karena itu sama dengan melecehkan harkat sesama
anggota masyarakat, yang jika dilanggar akan mendapat sanksi moral dari masyarakat
adat. Dalam interaksi organisasi modern, mengucap kata “ bungul “ kepada sejawat
adalah tindakan pelanggaran terhadap kode etik, yang sanksinya telah diatur secara
jelas tegas dalam
Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga organisasi
bersangkutan.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa dengan sikap seperti itu, si Polan
yang selalu meneriakkan kata “ bungul “ itu (biasanya) justeru menjadi sumber dari
begitu banyak keresahan kesukaran dan aneka problema dilingkungan tempat tinggal
dan tempat kerja, hal itu disebabkan kepongahannya menginfut semua potensi yang
berasal dari mitra kerja disekelilingnya, serta kegagalannya menyediakan suatu saluran
komunikasi terbuka dari segala sisi untuk kemajuan organisasi. Oleh karena itu,
bagaimanapun juga akan selalu banyak manfaatnya bagi semua pihak (terutama
manager) jika bersedia untuk mendengarkan suara hati stafnya, serta mendorong untuk
berbicara secara terbuka dan jujur dari anggota organisasinya. Dalam teori komunikasi
organisasi dikatakan bahwa, bagi manager bukan saja perlu untuk recepsif atau
bersikap terbuka dan santun saat berinteraksi ataupun untuk menyampaikan perintah,
tapi hendaknya juga selalu aktif menggali informasi ide dari para karyawannya (James
Barbara 240) . Sebab hanya dengan komunikasi yang lancar - efektif dan responsif
antar semua karyawan, maka proses umpan balik dan adanya saling kesepahaman antar
pekerja untuk pencapaian visi dan misi sebuah organisasi akan terwujud,
Berdasarkan pada makna dan penjelasan diatas, tentunya tidak seorangpun yang
ingin dilahirkan sebagai orang “ bungul “. Tidak seorangpun ingin dalam perjalanan
hidupnya menjadi “ bungul “. Seseorang tidak rela dikatakan sebagai orang “ bungul “
oleh pihak lain. Dan seseorang tidak akan pernah berniat mengatakan pihak lain sebagai
orang “ bungul “. Itu semua disebabkan karena kata “ bungul “ menunjukan suatu
kejumudan, kegelapan, tidak produktif, dan (menurut tata krama masyarakat yang
beradap) berkonotasi pelecehan atau penghinaan terhadap harkat dan martabat
kemanusia. Oleh karena itu, meskipun terdapat alasan substansial dan bukti empiris
untuk mengatakan seseorang itu “ bungul “, namun kata “ bungul “ tetaplah tidak lazim
dipergunakan dalam bahasa verbal. Seorang manager tidak pernah terpikir hendak
berkata “ bungul “ kepada karyawannya, karena tugas manager adalah membina
kualitas sumber daya karyawan sebagai salah satu aset terpenting organisasi. Orang
tua tidak akan pernah mengatakan “ bungul ‘ kepada anaknya, karena ia ingin anaknya
menjadi orang yang cerdas. Seorang guru tidak boleh mengucapkan kata “ bungul “
kepada muridnya, karena tugas guru membimbing muridnya menjadi pintar. Seorang
atasan sangat tidak etis jika mulutnya mengeluarkan kata “ bungul “ kepada
bawahannya, karena salah saatu tugas seorang atasan adalah mendorong peningkatan
kualitas kinerja para stafnya. Pendek kata, atas dasar, situasi dan kondisi apapun, tidak
ada istilah kata “ bungul “ dalam pergaulan sehari hari. Disamping itu, seseorang tidak
akan pernah rela, jika dirinya ataupun anggota keluarganya dikatakan “ bungul “ oleh
orang lain. Apalagi jika dia memang tidak “ bungul “.
Meskipun demikian, orang “ bungul “ tidak selamanya terus menjadi “ bungul “.
Orang “ bungul “ dapat menjadi pintar, karena sebagaimana penyakit lainnya, penyakit
yang menyebabkan “ bungul “ sesungguhnya dapat disembuhkan. Berkaitan dengan
masalah tersebut, menurut kaum sufi, manusia terbagi kepada :
Pertama. “ Orang yang tidak tahu, dan tahu kalau ia tidak tahu “ ( la yadri wa
yadri annahu la yadri). Inilah orang “ bungul “ atau bodoh sederhana (jahil basith) yang
mudah diobati, yaitu dengan pembelajaran.
Kedua. “ Orang yang tahu, dan ia
tidak tahu bahwa dia tahu “ (yadri wala yadri annahu yadri). Kaum sufi mengibaratkan
orang ini tertidur, maka itu harus dibangunkan dan disadarkan akan kelebihannya yang
bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain. Ketiga. “ Orang yang tahu dan
dia tahu bahwa dia tahu “ (yadri wa yadri annahu yadri). Orang ini tergolong kaum
bijaksana (al hukama) yang harus diikuti dan dimintai pendapat wawasannya
(Nurcholish Madjid, 94)
Juga sebaliknya, tidak selamanya orang pintar terus menjadi pintar, orang pintar
dapat berbalik menjadi orang “ bungul “. Orang yang pintar jika tidak memberdayakan
akalnya secara cerdas akan berobah menjadi orang “ bungul “. Dalam banyak kasus
sering terjadi, orang yang dulunya sholeh, pintar dan jujur, setelah (disebabkan) masuk
kedalam lingkungan dan sistem yang baru, haluan hidupnya berangsur bergeser dari
tujuan semula, kepribadiannya terombang ambing tak terkendali, jati dirinya menyusut
180 derajat untuk kemudian terseret menjadi kufur alias “ bungul “, bahkan “ bungul ”
banget. Orang yang semula pintar, lalu terserang “ virus “, kemudian berobah menjadi
orang “ bungul “, biasanya digolongkan kedalam penyakit yang sangat sulit untuk
disembuhkan jika hanya mengandalkan terapi konvensional. Para ahli hikmah
menyebutnya dengan “ orang yang tidak tahu, dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu (la
yadri wala yadri annahu la yadri), penyakit ini lebih dikenal dengan nama “ bungul
kuadrat “ atau “ jahil murakkab “. Disebut “ bungul kuadrat “, karena selain “ bungul “,
yang bersangkutan juga tidak tahu akan kebodohannya.
Salah satu tanda dari “ bungul kuadrat “ (menurut para alim ulama) ialah orang
yang mempunyai kebiasaan berkata kasar dan berbuat zalim terhadap sesama makhluk
Tuhan. Kebiasaan berkata kasar dan berbuat zalim itu telah tertanam sedemikian kuat
dalam dirinya sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian dan wataknya.
Dia juga kagum terhadap pendapat dan perbuatannya, yang memandang semua
keunggulan hanya ada pada diri dan kelompoknya, dan tidak melihat beban (cacat)
baginya. Yang memastikan semua kebenaran hanya untuk diri dan kelompoknya
sendiri. Dengan lain perkataan, dia tidak lagi merasakan berkata kasar dan berbuat
kezaliman sebagai kebiasaan, karena dia melakukannnya dengan begitu saja, tanpa
sadar, otomatis, dingin, dan tanpa beban. Jadi berkata kasar dan berbuat kezaliman
telah menjadi ” mereknya “, seolah olah “merek “ itu telah tertanam secara alami sejak
ia lahir (Nurcholish Madjid 94)
Dalam kehidupan sehari hari, orang “ bungul “ dengan segala model dan
karekternya memang ada dalam lingkungan kita. Untuk itu diperlukan solusi cerdas
guna mengembalikan kekuatan akal mereka, agar dapat berdaya dan dinamis sesuai
fitrahnya, sebagaiamana sifat azalinya saat diciptakan Allah, bukan dengan cara
menghina atau mencampakannya. Dilain pihak, sebagai sesama makhluk ciptaan Allah,
kita wajib menghormati dan memperlakukan mereka secara manusiawi dan
proporsional, mereka mempunyai hak hidup secara layak, mereka juga mempunyai hak
menikmati hasil pembangunan sebagaimana masyarakat lainnya, keberadaan mereka
bukan untuk dilecehkan atau diasingkan dalam pergaaulan publik, keberadaan mereka
justeru untuk “ dicerahkan “ denga iman dan ilmu. Orang yang tercerahkan adalah
mereka yang bersikap “ inklusif “, yakni mereka yang suka mendengarkan, memahami,
menerima dan mengikuti Firman Allah, Sabda Nabi SAW dan tausiah dari ahli hikmah.
Orang yang tercerahkan akan menjadi pewaris, pioneer dan penegak panji peradaban
Pengalaman sehari hari membuktikan bahwa lontaran kata tersebut sering
membawa “mudlarat”, berpotensi memicu fitnah dan dendam kusumat, bahkan konflik
sosial horizontal, terutama pada masyarakat paternal. Oleh karena itu, kepada para
sejawat di Kankemenag Kab Barsel dan sahabat lainnya, yang acap kali disebut “ bungul
“ oleh si Polan, demi menghindari kontra pruduktif yang dapat berakibat fatal – maka
sesungguhnya pernyataan si Polan tersebut tidak perlu dilayani. Mari kita beri
kesempatan kepada pihak berkompeten yakni Kakanwil Kemenag Prov Kalteng untuk
menindak lanjutinya secara komprehensif dan profesional. Menurut hemat penulis,
sepatutnya “ para korban” pernyataan si Polan tersebut bersikap :
Pertama. Muhasabah dan rendah hati.
Saat kita mendengar kata muhasabah berdasarkan kerendahan hati, yang
terbayang biasanya adalah sikap orang yang tidak berani, cepat cepat mengalah kalau
berhadapan dengan orang yang berkedudukan tinggi, suka menjilat, tidak sanggup
mengambil dan membela suatu pendirian, merendahkan diri dan lain sebagainya. Akan
tetapi, sikap sikap ini sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan muhasabah
berdasarkan kerendahan hati. Muhasabah dengan kerendahan hati tidak berarti bahwa
kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita melihat diri kita seada kita. Kerendahan
hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Orang yang
bersikap rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan juga kekuatannya.
Tetapi ia tahu bahwa banyak hal yang dikagumi orang lain padanya bersipat kebetulan
saja. Ia sadar bahwa kekuatannya dan juga kebaikannya terbatas. Tetapi ia telah
menerima diri. Ia tidak gugup atau sedih karena ia bukan seorang manusia super. Maka
ia adalah orang yang tahu diri dalam arti yang sebenarnya.
Justeru karena itu ia kuat. Ia tidak mengambil posisi berlebihan yang sulit
dipertahankan kalau ditekan. Ia tidak perlu takut bahwa kelemahannya “ketahuan”. Ia
sendiri sudah mengetahuinya dan tidak menyembunyikannya.
Dalam bidang moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan
keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan
penilaian moral terbatas. Jadi bahwa penilaian kita masih jauh dari sempurna karena
hati kita belum jernih. Oleh karena itu kita tidak akan memutlakkan pendapat moral
kita. Dengan rendah hati kita betul betul bersedia untuk memperhatikan dan
menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita
sendiri. Kita sadar bahwa kita tidak tahu segala galanya dan bahwa penilaian moral kita
sering digelapkan oleh pengaruh emosi emosi dan ketakutan ketakutan yang masih ada
dalam diri kita.
Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan
justeru prasyarat kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah
menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela untuk
diperhatikan orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan tidak berani
untuk membuka diri dalam dialog kritis. Kerendahan hati menjamin kebebasan dari
pamrih dalam keberanian. Tidak pernah kita akan menyesuaikan diri dengan suatu
desakan atau tekanan untuk melakukan sesuatu yang kita yakini akan merugikan orang
lain atau bertentangan dengan tanggung jawab kita. Tetapi kita sadar bahwa penilaian
kita terbatas. Maka kita tidak memutlakannya. Apabila situasi memang sebenarnya
belum jelas, atau dalam hal hal yang kurang penting, atau yang hanya menyangkut diri
kita saja, kita bersedia untuk menerima, menyetujui dan kemudian mendukung
pendapat orang lain. Kita tidak merasa kalah kalau pendapat kita tidak menang. Justeru
orang yang rendah hati sering menunjukan daya tahan yang paling besar apabila betul
betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting,
dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya
sebagai tangung jawabnya (FMS 148-149)
Kedua. Cukup ucapkan satu kata kepada si Polan tersebut, yakni “salam”. Itulah kata
yang dianjurkan oleh junjungan kita - baginda Nabi Muhammad SAW, Nabi dan Rasul
akhir zaman. wallahu ‘alam
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kankemenag Kab. Barito Selatan Kalimantan
Tengah
Download