BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (2014), menyebut usia yang telah lanjut atau lebih dikenal dengan istilah lanjut usia (lansia) adalah masa transisi kehidupan terakhir yang dijalani manusia. Masa ini sebetulnya adalah masa yang sangat istimewa karena tidak semua manusia mendapatkan kesempatan untuk melewati masa ini. Data Badan Pusat Statistika (BPS) (2014), jumlah lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa, setara dengan 8,03% dari seluruh penduduk Indonesia tahun 2014. Angka proyeksi penduduk tahun 2014, jumlah lansia di Provinsi Jawa Tengah meningkat menjadi 3,83 juta jiwa atau sebesar 11,43% dibandingkan tahun 2013 sebesar 8,9%. Data dari Dinas Kesehatan Kota Salatiga pada tahun 2015 diperkirakan jumlah lansia mencapai 61.332 orang atau 31% dari jumlah penduduk. Masa lanjut usia ini rentan sekali dengan berbagai penyakit degeneratif, salah satunya penyakit kardiovaskular. Jenis penyakit kardiovaskular yang sering sekali dialami lansia yaitu hipertensi atau tekanan darah tinggi. 1 2 Departemen Kesehatan Repubik Indonesia (2012) menyatakan hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah. Tekanan darah tinggi yang secara terus menerus menambah beban pembuluh arteri secara perlahan-lahan. Arteri mengalami proses pengerasan menjadi tebal dan kaku, sehingga mengurangi elastisitasnya. Hipertensi juga bisa mengakibatkan penyakit jantung karena jika tekanan darah tinggi dibiarkan tanpa perawatan tetap, jantung harus memompa dengan sangat kuat untuk mendorong darah ke dalam arteri, lama-kelamaan dinding otot jantung akan menjadi tebal. Sebuah jantung yang membesar abnormal adalah jantung yang tidak sehat karena jantung menjadi kaku dan irama denyutnya cenderung tidak teratur. Hal ini akan menjadikan pemompaan kurang efektif dan akhirnya akan menyebabkan kegagalan jantung (Wahyuni, 2015). Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2013) menyebutkan hipertensi merupakan silent killer, gejala dapat bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama dengan gejala penyakit lainnya. Gejala-gejalanya itu adalah sakit kepala/rasa berat di tengkuk, vertigo, jantung berdebar-debar, mudah Ielah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan mimisan. Hipertensi sering 3 ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan kesehatan, Vitahealth (2006). Data Departemen Kesehatan RI (2013) menyebut hipertensi sebagai penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Data Kementrian Kesehatan RI (2012) juga menyatakan penyakit hipertensi termasuk penyakit dengan jumlah kasus terbanyak pada pasien rawat jalan yaitu 80.615 kasus. Hipertensi merupakan penyakit penyebab kematian peringkat ketiga di Indonesia dengan CFR (Case Fatality Rate) sebesar 4,81%. Di Jawa Tengah, mengalami kenaikan jumlah penderita hipertensi pada tahun 2011, pada tahun 2010 terjadi 562,117 kasus dan pada tahun 2011 menjadi 634,860 kasus . Data-data di atas menunjukkan tingginya angka lansia dengan hipertensi. Hipertensi merupakan permasalahan serius yang perlu ditangani dengan cara yang tepat. Penanganan hipertensi sendiri dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya kecacatan dan kematian dengan mencapai dan mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Tekanan darah ini perlu dipertahankan, agar jantung tidak lebih berat dalam memompa darah ke seluruh tubuh dan tidak menimbulkan penyakit jantung. Suzanne (2001) menyatakan ada dua cara penanganan yang 4 dilakukan untuk mengobati hipertensi yaitu farmakologis dan non farmakologis. Penanganan farmakologis yaitu dengan menggunakan obat-obatan antihipertensi yang terbukti dapat menurunkan tekanan darah. Obat-obatan yang biasa digunakan dalam mengatasi hipertensi yaitu captopril dan amlodipine. Penggunaan obat-obatan ini tentu saja dapat menimbulkan efek samping, efek samping yang dapat timbul yaitu merasa lelah atau pusing, jantung berdegup kencang, merasa mual dan tidak nyaman di bagian perut, dan pergelangan kaki membengkak. Di samping pemberian obat antihipertensi yang memiliki efek samping, terdapat penanganan non farmakologi yang hampir tidak memiliki efek Penanganan hipertensi non farmalogi selanjutnya yang mencakup psikis antara lain mengurangi stress, olahraga, terapi musik, terapi tawa dan istirahat. Dari beberapa jenis penanganan hipertensi non farmakologis tersebut, salah satu yang saat ini mulai menjadi trend dilakukan adalah yoga ketawa. Kataria (2012) dalam Penny (2012) menyebut tawa merupakan tindakan paling sehat yang bisa dilakukan, obat terbaik. Salah satu jenis terapi tawa yaitu yoga ketawa. Desinta & Ramdhani (2013) menyebut terapi tawa adalah salah satu cara untuk mencapai kondisi rileks. Tertawa merupakan paduan dari peningkatan sistem saraf simpatik dan juga penurunan kerja sistem saraf parasimpatik. Peningkatannya berfungsi untuk memberikan tenaga bagi gerakan pada tubuh, 5 namun hal ini kemudian juga diikuti oleh penurunan sistem saraf simpatik yang salah satunya disebabkan oleh adanya perubahan kondisi otot yang menjadi lebih rileks, dan pengurangan pemecahan terhadap nitric oxide (senyawa kimia yang penting untuk tranportasi sinyal listrik di dalam sel-sel) yang membawa pada pelebaran pembuluh darah. Di samping tertawa, membentuk wajah dengan ekspresi tertentu juga akan mempengaruhi pengalaman emosional yang disebut dengan facial feedback hypothesis. Rutledge dan Hupka (1985) dalam Desinta & Ramdhani (2013) menyebut bahwa individu merasakan emosi bahagia pada saat membuat ekspresi wajah bahagia, sebaliknya perasaan kurang bahagiapun akan muncul apabila individu mengekspresikan wajah marah. Yoga ketawa menggunakan pendekatan perilaku melalui metode conditioning. Yoga ketawa dilakukan dengan cara mengajak klien melakukan aktivitas tertawa dengan melibatkan perilaku dan gerakan tubuh yaitu dengan melakukan latihan teknik tawa untuk memunculkan tertawa alami lewat perilakunya sendiri tanpa adanya humor. Desinta & Ramdhani (2013) menyebut bahwa individu akan berlatih melakukan gerakan motorik dan suara tertawa, yang akhirnya berakhir pada kondisi fisiologis 6 (meningkatnya sistem saraf parasimpatik dan menurunnya sistem saraf simpatis) . Para ahli percaya bahwa karena penggunaan otot-otot perut saat seseorang tertawa yang memicu pelepasan endorphine, fenomena yang juga diasosiasikan dengan olahraga, seperti berlari. Endorphine pertama kali ditemukan pada tahun 1985 sejumlah studi menyebutkan tawa melepaskan endorphine yang membuat orang merasa lebih nyaman, zat kimiawi otak yang dikaitkan dengan perasaan bahagia (Readers Digest Indonesia, 2012). Yoga ketawa tidak berbahaya untuk dillakukan oleh lansia, karena dalam pelaksanaannya tidak menggunakan alat berbahaya maupun gerakan-gerakan yang menimbulkan cedera, sehingga terapi tawa sangat aman dilakukan untuk lansia. Yoga ketawa ini dapat menimbulkan efek relaksasi, sehingga diharapkan yoga ketawa dapat menurunkan tekanan sistolik dan diastolik pada lansia yang menderita hipertensi. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wijayanti (2012) menemukan bahwa yoga ketawa pernah diterapkan untuk mengatasi stres pada mahasiswa semester akhir. Hasil dari penelitian tersebut adanya efektifitas yoga ketawa terhadap stres pada mahasiswa semester akhir. Pada penelitian kali ini, peneliti ingin meneliti tentang efektifitas yoga ketawa untuk lansia dengan 7 hipertensi pada sebuah Panti Wredha di Salatiga Jawa Tengah. Penelitian sebelumnya menggunakan mahasiswa semester akhir untuk perlakuannya, sedangkan penelitian kali ini dilakukan pada lansia dan tidak mengalami stres sehingga penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Sementara itu, hasil dari wawancara awal dengan kepala Panti Wreda Salib Putih Salatiga, ditemukan bahwa terdapat 30 lansia dan 70% lansia di sana menderita hipertensi. Data rekam medik yang didapatkan peneliti, di Panti Wredha Salib Putih banyak yang mengalami hipertensi derajat II. Selama ini, pengobatan farmakologi/obat-obatan yang diperoleh para lansia di Panti Wredha Salib Putih Salatiga yang menderita hipertensi adalah obat amlodipine yang menimbulkan efek samping seperti merasa lelah atau pusing, jantung berdegup kencang, merasa mual dan tidak nyaman di bagian perut dan pergelangan kaki membengkak. Penanganan non farmakologi seperti senam yang diadakan satu bulan sekali, bersosial dengan para penghuni wisma. Dari hal tersebut, peneliti ingin menerapkan penanganan non farmakologis dalam hal ini yoga ketawa untuk menurunkan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi grade II dan sama-sama berusia 50-80 tahun. Peneliti ingin mengetahui apakah yoga tawa efektif untuk menurunkan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi. Oleh 8 karena itu peneliti akan melakukan penelitian ini di Panti Wreda Salib Putih Salatiga. 1.2. Identifikasi Masalah Hipertensi memerlukan penanganan pengobatan secara terus menerus, dapat melalui penanganan farmakologi dan penanganan non farmakologi. Penanganan farmakologi tentunya menimbulkan efek samping. Adanya efek samping yang muncul tersebut, maka penanganan non farmakologi bisa diterapkan untuk lansia dengan hipertensi. Penanganan non farmakologi yang dapat digunakan salah satunya yaitu dengan yoga ketawa. Saat ini penanganan farmakologi di Panti Wredha Salib Putih Salatiga masih digunakan dalam penanganan utama hipertensi pada lansia dibandingkan dengan penanganan non farmakologi. Sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian di tempat tersebut dan menjadikan identifikasi masalah penelitian ini yaitu ada atau tidak efektifitas yoga ketawa untuk menurunkan tekanan darah pada lansia hipertensi derajat II di Panti Wreda Salib Putih Salatiga. Apabila setelah dilakukan perlakuan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan tidak menurunkan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi, berarti yoga ketawa tidak efektif untuk menurunkan hipertensi pada lansia. 1.3. Batasan Masalah Banyaknya faktor yang saling terkait dengan kejadian hipertensi pada lansia di Panti Wreda Salib Putih Salatiga, antara 9 lain adalah faktor usia, stres, konfik sosial di lingkungan panti, dan juga banyaknya usaha penanganan yang di lakukan oleh pihak Panti Wredha untuk mempertahankan status kehehatan lansia, membuat peneliti memberikan batasan masalah yang jelas untuk penelitian ini. Pada penelitan ini batasan masalah pada penelitian ini yaitu efektifitas yoga ketawa dapat mengetahui perubahan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik pada lansia yang menderita hipertensi derajat II setelah pre dan post pengukuran tekanan darah. Peneliti mengambil sampel dari penderita hipertensi derajat II karena peneliti ingin meneliti pada responden dengan start point/standar yang sama. 1.4. Rumusan Masalah Apakah yoga ketawa efektif untuk menurunkan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi derajat II di Panti Wredha Salib Putih Salatiga? 10 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui efektifitas yoga ketawa pada lansia yang menderita hipertensi. Tujuan Khusus a. Mengetahui perbedaan tekanan darah sebelum dan sesudah diberikan perlakuan yoga ketawa pada lansia yang menderita hipertensi derajat II di Panti Wredha Salib Putih Salatiga. 1.6. Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis 1. Bagi Institusi Keperawatan Sebagai wawasan baru dan pengembangan ilmu keperawatan. 2. Bagi Peneliti Lain Data dapat digunakan sebagai refrensi bagi penelitian lain yang sejenis. 3. Bagi Peneliti Dapat memberi pengalaman baru dalam penulisan penelitian agar peneliti tetap mempertahankan prinsip kecermatan, sistematis, kejelasan, ketelitian, dan kejujuran. Saat melaksanakan penelitian, peneliti dapat 11 mengetahui tentang keefektifan yoga ketawa secara langsung dalam menangani masalah hipertensi derajat II pada lansia. B. Manfaat Praktis . 1. Bagi Profesi Keperawatan Dapat menjadikan metode yoga ketawa menjadi terapi non farmakologi sehingga dapat diterapkan perawat untuk memberikan pelayanan asuhan keperawatan pada masalah hipertensi yang sering ditemukan pada lansia. 2. Bagi Lansia Yang Mengalami Hipertensi Yoga ketawa dapat menjadi terapi nonfarmakologi yang dipilih karena dapat membantu dalam menurunkan tekanan darah serta memberikan pilihan dalam penanganan hipertensi derajat II di Panti Wreda Salib Putih Salatiga. 3. Bagi Panti Wredha Salib Putih Salatiga Dapat memberikan informasi bahwa yoga ketawa merupakan salah satu terapi nonfarmakologi pendukung dalam menurunkan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi derajat II, sehingga status kesehatan kardiovaskuler para lansia di Panti Wreda Salib Putih Salatiga dapat ditingkatkan dan dipertahankan melalui intervensi ini. 12 4. Bagi Pemerintah Dapat menjadikan yoga ketawa sebagai alternafif penanganan non farmakologi untuk hipertensi, dan mengkaderkan beberapa anggota instansi dinas kesehatan untuk melakukan training yoga tawa dan dapat diterapkan di masyarakat. 5. Bagi Layanan Kesehatan Menjadikan yoga ketawa sebagai salah satu alternatif yang digunakan untuk mengatasi hipertensi, serta dapat memberi promosi kesehatan terkhusus untuk yoga ketawa.