Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau

advertisement
Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil
Kesalahan Pengelolaan Wilayah
Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil:
Kebingungan Tenurial1
Ery Damayanti2
Bolot adalah seorang nelayan ikan hias di sebuah desa di Bali. Sehari-hari
pekerjaannya adalah menangkap ikan hias di sekitar desanya, dan menjualnya
pada pengumpul yang terdapat di desa yang sama. Akhir-akhir ini Bolot sering
sekali tidak terlihat bersama-sama kelompok nelayan ikan hias lainnya mencari
ikan di tempat biasa. Akhirnya diketahui bahwa Bolot baru saja menemukan
suatu daerah yang kemudian oleh kawan-kawan penyelamnya disebut ‘Bolot
Point’, suatu daerah yang tidak terlalu luas, di kedalaman 20-25 meter, di mana
koloni terumbu karang dikerumuni ribuan ikan hias beraneka warna. Mengapa
Bolot terkesan ingin menyembunyikan daerah temuannya pada teman-temannya
sesama nelayan? Jawabannya sangat sederhana: “Kalau mereka tahu, bisa-bisa
ikan di daerah itu akan cepat habis dipanen” Apakah itu berarti Bolot tidak
mempercayai teman-temannya sendiri? Dan anehnya, teman-temannya tampak
bisa mengerti alasan Bolot menyembunyikan tempat rahasianya.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa di laut, kecepatan adalah faktor utama
dalam persaingan menangguk rejeki. Apakah tidak ada pengaturan tertentu agar tidak
terjadi ajang adu cepat dalam memanen hasil laut? Sesungguhnya di beberapa daerah
tertentu yang masih menggunakan aturan adat yang kuat, pengaturan pemanfaatan
ruang maupun komoditi laut telah diatur. Hal ini merupakan turunan dari konsep
akses terbatas (closed access) yang melekat pada wilayah pesisir, laut dan pulau kecil
(P3K) dengan latar budaya dan sosial kuat, dan yang terletak cukup jauh dari
intervensi pihak luar. Namun sebagian besar wilayah P3K lainnya di Indonesia masih
menganut rejim akses terbuka (open access) yang diterjemahkan dengan prinsip
kecepatan dan juga kekuatan modal menjadi faktor penentu keberhasilan pemanenan
sumberdaya laut.
Berbagai krisis sumberdaya dan konflik yang terjadi di wilayah P3K berakar
dari ketidakjelasan aturan sampai penegakan hukum. Namun kebanyakan di
antaranya disebabkan oleh ketidakjelasan aturan daerah, karena pengaturan wilayah
laut sejauh 4 mil menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Dengan mengacu
hanya pada satu peraturan perundang-undangan, yaitu UU Perikanan3, biasanya ada
Makalah untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah
dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai
Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
1
2
Asisten Program GEF SGP Indonesia
UU Perikanan No. 9 tahun 1985 telah direvisi atas inisiatif DPR dan disahkan pada tanggal 14
September 2004. UU ini mengatur segala aktivitas perikanan baik tangkap maupun budidaya,
dengan mengacu pada kelestarian sumberdaya, lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.
Secara substansi terkesan sentralisasi karena tidak menyebut kewenangan daerah. Kebanyakan
rinciannya diatur lagi dalam Keputusan Menteri atau Peraturan Pemerintah.
3
http://www.huma.or.id
1
Ery Damayanti
persoalan yang kemudian tidak memiliki solusi karena kemudian kebijakan daerah
juga tidak memiliki aturan yang jelas.
Mengapa ini bisa terjadi? Sederhana saja, karena para pengambil keputusan
dan penyusun peraturan negeri ini tidak terlalu memahami fungsi-fungsi setiap obyek
hak dan sistem tenurial yang melekat di wilayah P3K. Oleh karena itu, tidak ada
aturan yang dibuat untuk mengatur secara rinci peruntukkan maupun penguasaan
atas ruang maupun sumberdaya yang ada di wilayah P3K secara formal oleh
Pemerintah. Belum lagi ada persoalan teknis pengawasan yang membutuhkan
investasi tinggi untuk kelengkapan peralatan maupun personel, sehingga Pemerintah
tidak mampu melakukannya secara konsisten. Konsekuensinya, setiap pemanfaat
sumberdaya di wilayah ini melakukan aktifitasnya dengan menggunakan keyakinan
yang berbeda-beda atas pemahaman penggunaan hak-hak yang melekat pada
sumberdaya maupun ruang.
Apakah yang Disebut Sistem Tenurial?
Sistem tenurial adalah sistem penguasaan atas sumber daya agraria4 dalam
suatu masyarakat. Menurut Wiradi istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian
yang membahas masalah yang mendasar dari aspek penguasaan sumber daya yaitu
mengenai status hukumnya. Dalam hal ini Ridell memaknai sistem tenurial sebagai
sekumpulan atau serangkaian hak-hak (lihat Fauzi dan Bachriadi, dalam ELSAM,
2000). Lebih jauh disebutkan bahwa pada setiap sistem tenurial, masing-masing hak
termaksud setidaknya mengandung tiga komponen, yakni:
1. Subyek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan.
2. Obyek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang
tumbuh di atas tanah, barang-barang tambang atau mineral yang berada di dalam
tanah atau perut bumi, perairan, kandungan barang-barang atau mahluk hidup
dalam suatu kawasan perairan, maupun sutau kawasan atau wilayah udara
tertentu
3. Jenis hak, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, ang
membedakan dengan hak lainnya. Dalam hal ini jenis-jenis hak merentang dari hak
milik, hak sewa, hingga hak pakai dan lain sebagainya, tergantung bagaimana
masyarakat yang bersangkutan menentukannya.
Sistem tenurial di wilayah P3K
di Indonesia biasanya berlaku atas
kesepakatan-kesepakatan adat maupun lokal karena secara kebijakan pemerintah
belum memiliki aturan yang jelas. Meskipun demikian, penerbitan ijin usaha oleh
pemerintah di wilayah tersebut tidak pernah putus diberikan. Hal ini menyebabkan
konflik terjadi baik antar masyarakat maupun antar masyarakat dan pemerintah
Kata agraria dimaksudkan tidak terbatas pada aspek pertanahan dan pertanian, namun juga
meliputi benda-benda alam dan ruang yang bersama dengan manusia membentuk suatu
ekosistem (Fauzi dan Bachriadi, 2000). Namun untuk selanjutnya, tulisan yang mencoba
membahas pengaturan tenurial sumberdaya termasuk ruang di wilayah pesisir, laut dan pulau
kecil ini akan menyebut sumberdaya P3K.
4
http://www.huma.or.id
2
Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil
maupun pengusaha luar. Konflik ini tampaknya juga sekaligus menyebabkan
tisngginya percepatan degradasi sumberdaya P3K.
Sejarah mencatat bahwa masyarakat yang hidup di wilayah P3K di manapun di
dunia biasanya menganut paham sumberdaya komunal (common resources) dalam
rangka pemanfaatan dan pengelolaan bersama pihak-pihak lainnya. Miskinnya
infrastruktur di wilayah P3K membuat sulitnya akses menuju dan keluar dari wilayah
tersebut. Oleh karena itu pengaturan berbasis kesepakatan lokal merupakan basis
pengaturan yang paling banyak ditemui di wilayah ini. Namun, dengan intervensi
pemerintah dengan menggunakan kebijakan yang tidak lengkap, ditambah
pengawasan yang lemah, maka pengaturan yang sudah berjalan di masyarakat
semakin lama menjadi melemah dan pada akhirnya di beberapa tempat sudah hilang
sama sekali. Apabila ini terjadi, biasanya pengaturan sumberdaya di wilayah yang
bersangkutan menjadi kembali ke rejim open access5.
Sumberdaya Komunal (Common resources)6dan Rejim Kepemilikan
Sumberdaya komunal (common resources) sering juga disebut dalam berbagai
tulisan ilmiah sebagai common-pool resources. Suatu sumberdaya komunal seperti
danau, laut, sistem irigasi, daerah tangkapan ikan, dan hutan, adalah sumberdaya
alam maupun buatan yang sulit untuk dilakukan pembatasan ketika para pemanfaat
sudah dapat mengaksesnya, serta konsumsi satu orang per unit-unit sumberdaya
menjadikan unit sumberdaya tersebut tidak dapat lagi diakses oleh orang lainnya.
(Ostrom, 1999). Artinya, apabila tidak dilakukan, sumberdaya yang dapat diakses oleh
banyak orang ini akan menjadi sumber konflik karena akan ada ketidak adilan dalam
mendapatkan keuntungan berdasarkan pemanfaatan akses tersebut. Orang-orang yang
memiliki faktor geografis yang strategis dengan sumberdaya tersebut harus bisa
Berbicara mengenai sumberdaya, kita tidak lepas dari yang kita kenal dengan
property rights. Neil Meyer, seorang professor di bidang pertanian, ekonomi dan
sosiologi pedesaan di University of Idaho berpendapat bahwa yang sering dirujuk
dengan istilah property adalah hak akses pemanfaatan atas sumberdaya tertentu. Di
Amerika Serikat, akses pemanfaatan dikontrol dengan empat cara, yaitu:
•
kepemilikan pribadi (private ownership)
•
akses terbuka publik (public open access)
•
akses terbatas publik (public closed access)
•
kepemilikan negara (state ownership)
Rejim open access, closed access, state management akan dibahas pada bagian Common
Resources.
5
Common Resources diterjemahkan menjadi sumberdaya komunal karena mencakup
pemanfaatan dan pengelolaan bersama dalam satu wilayah dan satuan masyarakat tertentu,
meskipun tidak berarti pihak luar tidak dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut.
6
http://www.huma.or.id
3
Ery Damayanti
Namun kemudian Neil Meyer mengkategorikan common property sebagai
bentuk ketiga dari jenis penguasaan property non negara. Menurut Meyer, selama ini
orang lebih banyak mengenal dan memahami kepemilikan privat dan publik. Padahal,
common property justru merupakan wilayah yang sangat rawan konflik, karena terdiri
dari keberadaan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki atau dikelola secara bersama
oleh masyarakat sekitar dan pemanfaat lainnya. Secara praktek, common property bisa
kontroversial bahkan kompleks karena baik kelompok maupun individu meyakini hal
yang berbeda dalam hal pengelolaan sumberdaya yang sama.
Wilayah pesisir dan laut biasanya masuk ke dalam rejim akses publik (terbuka
maupun terbatas), karena termasuk dalam kategori sumberdaya komunal. Namun
yang kerap terjadi adalah intervensi negara yang menjadikan seluruh wilayah pesisir,
laut termasuk pulau kecil sebagai obyek kepemilikan negara sehingga pengaturannya
diurus oleh negara.
Ostrom mencatat (dalam Ostrom, 1999) ada banyak bukti kegagalan yang
ditemukan ketika suatu pemerintahaan administratif mencoba mengatur suatu
sumberdaya komunal dalam cakupan wilayah yang luas. Pada tahun 1950 sampai
dengan 1960-an, masa setelah pasca perang dunia kedua, banyak negara berkembang
menasionalisasikan seluruh wilayah, yaitu tanah dan perairannya. Namun yang terjadi
adalah negara tidak mampu melakukan pengawasan karena kekurangan dana
maupun personel. Padahal, seiring dengan proses nasionalisasi tersebut, pengaturanpengaturan lokal yang sudah ada menjadi kehilangan basis legal dan secara perlahan
tidak lagi digunakan oleh masyarakat. Hal ini kemudian mengakibatkan kekosongan
pengaturan di wilayah-wilayah yang memiliki sumberdaya komunal seperti wilayah
P3K. Yang terjadi adalah ketika secara de yure melekat rejim stated management,
kenyataan yang berlaku adalah penggunaan rejim open access secara de facto. Artinya,
akibat ketidakmampuan negara menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri,
kemudian mengakibatkan perubahan sistem penguasaan yang berdampak terhadap
kelangsungan sumberdaya tersebut. Karena banyaknya wilayah P3K yang secara de
facto menjadi open access, maka terjadilah kegiatan seperti pencurian ikan oleh kapal
asing, penangkapan ikan dengan metode merusak, pengkaplingan wilayah laut untuk
usaha tertentu.
Lebih lanjut, berdasarkan pengalaman di beberapa lokasi sumberdaya komunal,
ditemukan7 bahwa:
1. Pemanfaatan berlebih dan pengrusakkan bukanlah faktor penentu maupun
penyebab utama yang harus dipertimbangkan oleh berbagai pihak pemanfaat jika
menghadapi dilema bersama (common dilemma). Para peneliti kemudian mulai
melakukan identifikasi kondisi sumberdaya komunal yang bersangkutan dan
kondisi para pemanfaat sumberdaya tersebut yang kelak berguna bagi masyarakat
lokal untuk menemukan solusi bagi dilema bersama.
2. Pemerintah nasional seringkali tidak berhasil dalam upaya merancang peraturan
yang efektif dan seragam untuk mengatur sumberdaya yang penting dalam satuan
ruang yang luas.8
Lihat tulisan Coping with Tragedies of the Common oleh Elinor Ostrom, 1999, Annual
Reviews.
7
http://www.huma.or.id
4
Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil
Temuan di atas kemudian menyampaikan pesan penting yang harus
diperhatikan oleh para pengambil kebijakan di Indonesia untuk pengaturan tenurial
wilayah P3K, yaitu:
•
Diperlukan pemahaman yang mendalam untuk mengidentifikasi kondisi suatu
sumberdaya komunal (daerah pesisir, laut maupun pulau kecil) berdasarkan
fungsi dan ketersediaannya, serta kondisi para pemanfaat yang memiliki akses
terhadap sumberdaya komunal tersebut.
•
Pemerintah harus berbesar hati untuk memberikan wewenang kepada wilayah
yang menjadi sumberdaya komunal untuk dikelola dan diatur secara bersama oleh
masyarakat lokal, demi keberlanjutan sumberdaya tersebut.
Obyek Hak Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau Kecil (P3K)
Di dalam berbagai publikasi ilmiah maupun populer, seringkali disebutkan
bahwa Indonesia adalah negara yang sangat luas, dan dua pertiga dari luas
keseluruhan adalah perairan. Dengan berbekal berbagai potensi yang disebutkan,
strategi pengelolaan sumberdaya di Indonesia hampir tidak memperhatikan kendala
yang ditimbulkan oleh keberadaan perairan dan pulau-pulau kecil di seluruh
wilayahnya. Tentu saja bukan kendala mahalnya investasi infrastruktur maupun
sistem transportasi yang harus disediakan pemerintah, tapi juga kendala dalam
menerapkan pengaturan penguasaan sumberdaya yang ada di dalam wilayah tersebut.
Jika sebelumnya telah disebutkan bahwa pemahaman akan fungsi dan
ketersediaan sumberdaya komunal dan para pemanfaatnya di wilayah P3K, maka
bagian ini akan mencoba mendeskripsikan komponen-komponen dari sumberdaya di
wilayah P3K yang dapat menjadi obyek hak.
Secara logika, wilayah P3K terdiri dari 2 komponen, yaitu ekosistem dan komoditi.
Ekosistem dengan fungsi yang berbeda-beda dalam wilayah ini dibagi menjadi9:
1. Daerah di atas 100 meter dari titik surut ke arah darat; biasanya digunakan sebagai
pemukiman, berdirinya bangunan-bangunan fungsional lainnya seperti pelabuhan,
pabrik, tempat wisata, serta lokasi sumber air tawar10.
Dalam berbagai opini ilmiah, sering disebutkan oleh para ilmuwan perikanan, bahwa tidak
mungkin dilakukan pengaturan secara parsial untuk sumberdaya komunal seperti laut, yang
salah satunya mengatur komoditi bergerak seperti ikan. Idealnya, harus ada pengaturan oleh
negara untuk satuan wilayah yang cukup luas, sehingga pendekatannya pun harus bersifat
senralistik. Namun kemudian pengalaman penunjukkan bahwa pengaturan oleh masyarakat
lokal untuk sumberdaya komunal yang kecil dapat lebih efektif atau paling tidak sama hasilnya
dengan biaya jauh lebih rendah.
8
Informasi didapat dari berbagai sumber. Sumber utama adalah Coastal Zone Management
Handbook yang ditulis oleh John R. Clark.
9
Saat ini daerah pemukiman di wilayah pesisir dan pulau kecil sudah menjorok ke arah laut.
Hal ini disebabkan karena terjadinya abrasi maupun penambahan penduduk yang tidak
terkontrol. Selain itu, wilayah pesisir dan pulau kecil sering sekali menjadi tujuan migrasi
masyarakat dari tempat lain yang sudah tidak memiliki lahan untuk hidup. Pengecualian juga
10
http://www.huma.or.id
5
Ery Damayanti
2. Mangrove; suatu ekosistem yang merujuk pada beberapa jenis pohon yang dapat
hidup di daerah dengan tanah bersalinitas dan berair asin. Selain pemanfaatan
kayu dari batang, akar dan hasil madunya, ekosistem ini merupakan habitat
berbagai jenis kerang-kerangan, kepiting, udang, ikan-ikan kecil dan menyediakan
nutrisi bagi berbagai jenis ikan yang bernilai tinggi.
3. Muara, laguna dan teluk. Ketiganya adalah ekosistem berbentuk badan air yang di
daerah pesisir yang memiliki air dangkal dan landai. Muara biasanya merupakan
pertemuan air tawar dari sungai dan air laut. Laguna merupakan badan air yang
biasanya sering ‘terpotong’ dari laut karena bentukan pasir. Teluk merupakan
badan air yang menjorok ke arah daratan sehingga biasanya digunakan untuk
menyandarkan perahu, menjadi lokasi pelabuhan. Ketiga badan air ini berperan
dalam siklus kehidupan beberapa jenis ikan dan kerang-kerangan karena sebagai
media pengantar nutrisi dan bahan organik ke laut, sebagai habitat beberapa jenis
ikan, maupun menyediakan kebutuhan dari berbagai jenis ikan migrasi.
4. Padang lamun (seagrass bed), menjadi sumber nutrisi bagi ikan-ikan konsumsi yang
bernilai penting dan beberapa jenis kerang.
5. Terumbu karang, merupakan ekosistem yang menjadi pemeran utama bagi
keanekaragaman hayati dan produktifitas laut. Ekosistem ini menjadi sumber
makanan laut bagi manusia dan penyedia makanan bagi ikan, pemecah ombak
alami untuk menghindari abrasi, serta obyek wisata menarik bagi wisatawan.
6. Pulau kecil, yang kerap dianggap sebidang tanah di atas permukaan laut
sesungguhnya merupakan ekosistem tersendiri karena kekhasan dan
keterbatasannya. Ancaman yang dihadapi pulau kecil adalah abrasi dan
persediaan air tawar (terutama untuk pulau yang berpenghuni). Fungsi pulau
kecil, selain sebagai penyedia air tawar, tempat nelayan berlindung saat badai atau
ombak tinggi, juga sebagai habitat bagi berbagai jenis burung endemik dan
migrasi.. Untuk beberapa pulau kecil tertentu, bahkan menjadi persinggahan
berbagai berbagai spesies laut migrasi seperti penyu, lumba-lumba, paus.
Perlu juga dipahami ada fungsi-fungsi ruang yang tidak terbatas pada salah
satu ekosistem tertentu, seperti:
1. Daerah penangkapan ikan (fishing ground), daerah ini bisa berada di wilayah
mangrove, terumbu karang, muara, laguna, teluk, maupun laut lepas. Hal yang
perlu diperhatikan adalah juga subyek hak yang melekat pada tiap ekosistem,
misalnya perempuan dan anak-anak yang lebih sering mencari ikan, kerangkerangan maupun bibit ikan di daerah yang dekat dengan garis pantai seperti
mangrove, estuari, laguna, sampai dengan padang lamun bahkan di wilayah
tertentu di daerah terumbu karang (ukurannya adalah lokasi tersebut dapat
dijangkau dengan berjalan kaki). Selain yang alami, ada juga lokasi yang memang
sengaja dibuat misalnya dengan pemasangan rumpon (fish aggregating device) atau
terumbu karang buatan (artifical reef) yang kemudian hak penggunaannya melekat
pada individu atau kelompok yang membuatnya.
terdapat pada beberapa wilayah yang dihuni oleh masyarakat Bajo, yang biasanya rumahrumahnya berada di atas air laut.
http://www.huma.or.id
6
Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil
2. Daerah pemijahan ikan (spawning aggregation area), yang biasanya berada di
lokasi mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuari. Mengapa daerah ini
menjadi penting, khususnya untuk perlakuan konservasi, karena menjadi daerah
reproduksi jenis-jenis ekonomis hewan laut seperti ikan, kerang-kerangan, dan
berbagai jenis udang dan kepiting.
Untuk obyek hak yang berupa komoditi, dapat sangat beragam dari mulai
yang menetap sampai dengan obyek bergerak seperti ikan pelagis. Maksud bergerak
di sini adalah apabila obyek tersebut dapat melakukan perpindahan dari satu tempat
ke tempat lain dalam jarak yang relatif jauh (migratory species seperti tuna dan
berbagai ikan pelagis lainnya). Oleh karena itu secara sederhana, terjemahan nelayan
lokal terhadap fenomena ini dikenal dengan musim (musim tongkol, musim teri, dsb).
Obyek hak berupa komoditi pasti berkorelasi dengan ruang dengan fungsi tertentu,
seperti:
1. Ikan, bisa yang dikategorikan ikan karang dengan wilayah jelajah tetap atau ikan
pelagis dengan wilayah jelajah berpindah (migrasi)
2. Kerang-kerangan
3. Udang (bisa hasil tangkapan dan budidaya)
4. Produk dari mangrove (kayu, madu, kepiting, kerang, aren)
5. Garam
6. Hasil hutan dan pohon seperti kelapa, cengkeh dan pohon produktif lainnya
Sistem Tenurial yang melekat pada wilayah P3K
Pengaturan penguasaan di wilayah P3K harus mempertimbangkan fungsi-fungsi
ekologi, sosial dan ekonomi yang terkait dengan masyarakat lokal. Oleh karena itu
identifikasi akan subyek hak, obyek hak dan jenis hak harus dilakukan melalui
pemahaman mendalam atas ketiga fungsi di atas yang melekat di wilayah tersebut.
Deskripsi berikut akan mengupas mengenai subyek hak, obyek hak dan jenis hak yang
dikeluarkan dari dasar pemahaman yang rinci tentang fungsi-fungsi wilayah P3K dan
hubungannya dengan masyarakat. Akan dilihat juga seberapa jauh kebijakan yang
dimiliki oleh Indonesia dalam memfasilitasi pengaturan tenurial wilayah ini.
Pengaturan Tenurial P3K di Indonesia
Berdasarkan UU tentang Pokok Agraria yang mengatur tentang Hak
Menguasai dari Negara sebagai perwujudan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yaitu
dicantumkan pada pasal 2 dengan 4 ayat.
-
Ayat 1:”Atas dasar ketentuan dalam, pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
-
Ayat 2: “Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk: (a) mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan,
http://www.huma.or.id
7
Ery Damayanti
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (b)
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan riang angkasa.
-
Ayat 3: “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat 2 pasal ini digunakanuntuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
-
Ayat 4: Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swastantra dan masyarakat-masyarakat hukum
adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Disusul dengan pasal 3 yang berisi tentang pelaksanaan hak-hak ulayat dan
serupa dari masyarakat yang harus sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
pasal 4 mengenai hak atas tanah, air, tubuh bumi serta ruang angkasa. Yang menarik
adalah pasal 5 ketika dikatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasionnal dan Negara. Pengaturan mengenai pengambilan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa terdapat pada pasal 8, di mana
seharusnya ada aturan turunan yang dapat menjadi acuan sistem tenurial di wilayah
P3K yang secara karakter berbeda dengan tanah dan air yang dimaksud dalam pasalpasal sebelumnya.
Dalam UU ini pada bab II, tentang Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang
Angkasa serta Pendaftaran Tanah, sedikit sekali (hampir tidak ada, karena karakter
tanah darat sangat berbeda dengan wilayah P3K) disebutkan pengaturan untuk
wilayah P3K. Meskipun disebut bahwa hak-hak atas tanah berupa hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut
hasil hutan, dan hak-hak lainnya yanga akan diatur kemudian juga berlaku pada
setiap telapak tanah di wilayah ini, namun secara fungsi-fungsi khasnya tidak
dipertimbangkan. Pada pasal 16 ayat ayat 2 disebutkan sedikit mengenai hak-hak atas
air, yaitu: hak guna air, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, yang lebih merujuk
terhadap pengaturan penggunaan air tanah dan perikanan darat.
Peraturan perundangan yang mengatur mengenai sistem tenurial secara
nasional untuk laut dapat dikatakan tidak ada, kecuali yang berhubungan dengan
fungsi-fungsi perlindungan, konservasi, dan peruntukan komersial. UU di luar UU
No. 5 th 1960, yang di dalamnya diatur mengenai beberapa aspek tentang wilayah P3K
dan sumberdayanya adalah sebagai berikut:
-
UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (memuat hutan mangrove dan daerah
konservasi di laut).
-
UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya di wilayah pesisir laut, memuat konservasi jenis biota dan ekosistem.
http://www.huma.or.id
8
Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil
-
UU No. 23 tahun 1997 tentang Keanekaragaman Hayati, memuat tentang jenis-jenis
biota yang dilindungi.
-
UU No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, memuat
penguasaan ZEE dan pengaturannya dengan negara lain yang berbatasan langsung
-
UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, memuat tentang batas teritori
dan pengaturannya untuk hubungan pemanfaatan dengan negara lain
-
Revisi UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan (yang baru disahkan dan belum
diberi nomor), memuat tentang pengaturan secara umum praktek-praktek
perikanan dari mulai penangkapan maupun budidaya sampai pengolahan
-
Revisi UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang baru disahkan
dan belum diberi nomor), memuat kewenangan wilayah laut 12 mil untuk propinsi
dan 4 mil untuk kabupaten/kota.
-
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 tahun 2000 tentang Pedoman
umum Pengelolaan Pulau-Pulau kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis
Masyarakat, memuat prinsip dan peruntukan pengelolaan termasuk pemanfaatan
pulau-pulau kecil.
-
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10 tahun 2003 tentang
Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, memuat prinsip
pengelolaan termasuk pemanfaatan wilayah pesisir.
Subyek Hak
Subyek hak dalam sistem tenurial wilayah P3K yang merujuk pada pemanfaat
sumberdaya komunal adalah:
1. Nelayan
2. Petani budidaya hasil laut (ikan, udang)
3. Petani sawah
4. Pemanen hasil bakau
5. Pemerintah daerah dengan fasilitas publik seperti pelabuhan (kapal maupun
pendaratan ikan)
6. Pemilik perahu/kapal
7. Pengusaha wisata
8. Pemilik bangunan-bangunan fungsional lainnya (seperti pabrik, dermaga terbatas
untuk usaha komersial, dll)
9. Individu (yang mempunyai kepemilikan atas lahan di pesisir maupun pulau kecil)
Untuk mengetahui jenis hak apa saja yang melekat pada wilayah P3K
berdasarkan fungsi-fungsi ruang dan komoditi terkait dengan aspek ekonomi, sosial
dan ekologi, maka dibutuhkan komitmen bersama para pemanfaat sumberdaya yang
bersangkutan. Oleh karena itu, apabila hanya menggunakan panduan mengenai jenis
hak yang ditetapkan dalam Undang-Undang, maka akan banyak sekali jenis-jenis hak
yang tidak dapat diatur. Padahal, kelompok masyarakat lokal dengan berbekal
http://www.huma.or.id
9
Ery Damayanti
pengetahuan dan pemahamannya, meskipun sederhana, telah dapat mendefinisikan
subyek hak, obyek hak maupun jenis hak sehingga juga dapat mendisain
pengaturannya bagi para pemanfaat dalam lingkup ruang yang terbatas. Jenis-jenis
hak yang melekat pada wilayah P3K, yang secara adat maupun lokal telah diatur
antara lain:
-
Hak mengumpulkan kerang-kerangan, ikan kecil dan bibit ikan bagi perempuan
dan anak di sepanjang garis pantai sampai dengan daerah terumbu karang sejauh
dapat dijangkau tanpa perahu.
-
Hak mendapatkan ikan bagi janda yang sudah ditinggal mati suaminya yang
nelayan, apabila menyongsong nelayan yang pulang melaut baik dengan perahu
maupun di pantai pendaratan ikan.
-
Hak menggunakan perahu yang sedang disandar, sepanjang tidak ada tanda
bahwa perahu tersebut akan digunakan oleh pemilik maupun orang lainnya.
-
Dan lain sebagainya
Amat mengejutkan jika diperhatikan bahwa penentuan jenis-jenis hak tersebut
sangatlah spesifik, meskipun tidak menggunakan konsep dan pemikiran ilmiah yang
telah beredar luas di kalangan para pengelola wilayah P3K.
Dalam suatu studi independen terhadap 30 kelompok nelayan tradisional,
Wilson dan kawan-kawan mencatat satu hal yang mengejutkan, bahwa pengaturan
tidak memasukkan kuota sebagai salah satu alat pembatasan (Wilson et al 1994 dalam
Ostrom, 1999):
“Seluruh aturan dan praktek yang kami temukan pada 30 kelompok masyarakat
mengatur mengenai kegiatan penangkapan ikan. Pengaturannya mencakup
pembatasan waktu menangkap ikan, lokasi penangkapan, metode tangkap, dan
musim tangkap sesuai dengan siklus kehidupan jenis ikan tertentu (misalnya
diketahui pada waktu tertentu ikan tersebut memijah, sehingga daerah tangkapan
ditutup sementara). Tidak ada satupun yang membatasi jumlah ikan dari
berbagai jenis untuk ditangkap. Kuota – konsep dan alat pengontrol tunggal
yang dianggap paling penting dalam pengelolaan secara ilmiah – menjadi tidak
penting karena memang tidak digunakan sebagai alat pengontrol bagi
pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal.”
Fakta
Dengan miskinnya panduan nasional, sementara di lain pihak pemerintah
masih bersikukuh untuk mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
penguasaan sumberdaya komunal, pengaturan tenurial di wilayah P3K tidak berjalan
sesuai fungsinya. Hal ini mengakibatkan (bahkan di wilayah-wilayah yang
menggunakan aturan adat – akibat intervensi dan tekanan dari luar) penurunan
fungsi-fungsi ekonomi, sosial dan ekologi yang begitu cepat. Dapat dibayangkan,
dengan luas perairan laut dan jumlah pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia, yang
saat ini para pemanfaatnya lebih merujuk pada rejim open access, maka kondisi wilayah
ini sarat dengan persoalan mulai dari degradasi lingkungan, kemiskinan serta konflik
http://www.huma.or.id
10
Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil
sosial dan ekonomi. Prinsip siapa cepat dan kuat, dialah yang menang betul-betul
berlaku, sehingga peran negara untuk memfasilitasi rakyatnya nyaris tidak terasa.
Pemahaman yang rendah tentang keberadaan sumberdaya komunal di wilayah
ini juga mengakibatkan para pengambil keputusan di tingkat nasional maupun pusat
selain tidak dapat melahirkan kebijakan pengaturan tenurial, juga tidak dapat
membuat perencanaan pengelolaan wilayah yang berkelanjutan. Korbannya tentu saja
para pemanfaat langsung wilayah ini, yaitu nelayan dan kelompok masyarakat lain
yang tinggal di wilayah P3K. Selain itu, dengan menggunakan keyakinan yang
berbeda-beda antar individu dan kelompok atas penguasaan, seringkali konflik yang
terjadi dapat berlangsung dalam waktu sangat lama tanpa ada penyelesaian.
Pengalaman di Beberapa Lokasi
Di dalam buku Sumber Daya Alam untuk Rakyat (ELSAM, 2000), dipaparkan
beberapa contoh pengaturan tenurial di wilayah P3K di Maluku. Masyarakat
Kepulauan Kei memiliki wilayah petuanan, yang dimiliki secara komunal. Dalam
menjaga kelangsungan sumberdaya lautnya, mereka memiliki sistem penutupan yang
disebut sasi, yaitu larangan untuk mengambil atau merusak sumberdaya alam tertentu
dalam jangka waktu tertentu pula, untuk menjaga kelestarian dan agar lebih menjamin
hasil yang lebih berlipat ganda di masa depan. Sasi meti yang merupakan jenis sasi
laut yang paling umum dan paling banyak ditemukan di Kei, yaitu penutupan satu
kawasan pasang surut dalam waktu tertentu. Salah satu alasan terpenting adalah fakta
bahwa kawasan pasang surut adalah kawasan utama sumber pangan subsisten
seluruh warga desa, terutama pada saat-saat musim paceklik atau cuaca buruk di
mana tidak mungkin melaut lebih jauh.
Untuk wilayah Jawa, degradasi pantai utara yang saat ini sudah menyebabkan
laut kehabisan ikan saat ini sudah menimbulkan berbagai persoalan sosial, seperti
banyaknya nelayan yang harus menyandarkan dayung (lihat Juwono, 1998). Hal ini
diakibatkan oleh pengaturan wilayah tangkap dan metode tangkap yang tidak jelas.
Sehingga bagi banyak nelayan tradisional, hanya ada 2 pilihan ketika metode tangkap
yang modern (baca: tidak selektif dan destruktif), mengikuti arus dengan beralih
menjadi anak buah kapal penangkap yang lebih besar, atau menyandarkan dayung
dan beralih pekerjaan. Perubahan besar terjadi pada akhir tahun 1970-an ketika trawl
mulai beroperasi di utara Jawa. Melihat keefektifan alat tersebut menangkap ikan
dalam jumlah masif, segera saja pantai utara Jawa diserbu oleh alat tersebut. Pada
tahun 1980 dikeluarkan Keputusan Presidan Nomor 39 tentang pelarangan
beroperasinya pukat harimau di semua perairan Indonesia, kecuali Laut Arafura.11
Analisa Coner Bailey (dalam Juwono, 1998), turunnya Keppres NNNNo. 30/1980 berkaitan
dengan kepentingan pemerintah untuk mendapat simpati nelayan kecil yang merupakan
mayoritas anggota Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Organisasi ini adalah
bentukan kalangan atas danmenjadi salah satu unsur Sekretaris Bersama Golongan Karya,
organisasi politik yang dominan saat itu. Tetap saja ada indikasi kepentingan politik yang
tersembunyi pada kebijakan yang dibuat. Hal ini membuat hampir setiapdkebijakan
pemerintah pada waktu itu tidak disiapkan untuk mengantisipasi konflik, namun lebih untuk
merespon konflik dan mengharapkan agar dapat menjaring simpati untuk momen tertentu
11
http://www.huma.or.id
11
Ery Damayanti
Contoh lain yang berlaku bukan di wilayah adat, adalah apa yang terjadi di
Maine, Amerika Serikat. Bagi para nelayan lobster, mereka harus masuk dalam
kelompok yang sering disebut Harbour Gank. Kelompok ini mengatur daerah tangkap
tradisional lobster serta melarang penangkapan lobster yang sedang bertelur. Apabila
sampai diketahui melanggar daerah tangkap sampai dengan 2 kali, maka alat tangkap
akan disita dan dimusnahkan secara otomatis. Untuk mengoperasikan pengawasan ini,
mereka memiliki radio komunikasi dan giliran jaga.
Peluang dan Tantangan Kebijakan Tenurial
Sesungguhnya dengan kekosongan peraturan perundangan tentang
pengaturan sistem tenurial dapat menjadi peluang bagi pembuatan aturan yang
komprehensif dan efektif. Namun hal ini hanya bisa dilaksanakan apabila ada review
menyeluruh dahulu terhadap seluruh kebijakan yang berkaitan dengan penguasaan
dig wilayah P3K. Setelah itu perlu dilakukan identifikasi terhadap seluruh obyek hak,
subyek hak maupun jenis hak di wilayah ini, sehingga dapat disusun suatu aturan
berisi panduan untuk mengatur sumberdaya komunal di wilayah P3K. Kemudian
harus disusul dengan kemauan politik pemerintah untuk menyerahkan mandat
pengaturan penguasaan ke satuan wilayah yang lebih kecil (kabupaten atau bahkan
desa, misalnya).
Saat ini, misalnya, telah terbit sejumlah peraturan, baik di tingkatan kabupaten
(Perda) maupun desa (Perdes) yang mengatur mengenai pengelolaan wilayah pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil (beberapa desa di Minahasa, kabupaten Minahasa, dan
kabupaten Bulungan, Kalimantan). Namun peraturan yang dibuat tersebut masih
sangat merujuk pada konservasi, karena memang yang dimunculkan lebih kental
adalah perspektif ekologi. Namun di beberapa tempat seperti di desa Baho dan
Saponda di Sulawesi Tenggara, tengah berlangsung proses pembuatan Peraturan Desa,
yang sudah menaruh perhatian pada perspektif sosial dan ekonomi pengaturan
penguasaan wilayah pesisir dan laut secara lokal.12
Harus diingat pula masih terbatasnya kapasitas pemerintah (baik dana
maupun personel) dalam mengimplementasikan pengawasan atas peraturanperaturan yang berlaku di kawasan P3K. Selain lebih murah, ternyata pengaturan yang
dilakukan di tingkat lokal terbukti sangat efektif karena tidak mencakup wilayah yang
sangat luas.
Dengan terpilihnya presiden baru dan rejim pemerintahan baru, untuk masa
yang akan datang belum terlambat untuk mengambil langkah-langkah kebijakan yang
berfungsi sebagai:
-
Penyelesaian konflik di masa lalu
-
Pengelolaan konflik yang baru muncul pada tahap awal
Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada laporan kegiatan transplantasi karang yang dikelola
oleh Yayasan Bahari (Kendari) yang saat ini juga sedang memfasilitasi lahirnya peraturan desa
dalam pengaturan wilayah tangkap, perlindungan laut, dan institusi keuangan lokal dalam
mengatasi permasalahan modal nelayan.
12
http://www.huma.or.id
12
Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil
-
Antisipasi untuk pengelolaan konflik di masa yang akan datang
Kekosongan peraturan perundangan yang mengatur tentang sistem tenurial
wilayah P3K bisa menjadikan penyusunan langkah-langkah kebijakan menjadi leluasa.
Namun demikian apabila tidak belajar dari pengalaman lalu, yaitu melakukan
pendalaman pemahaman dan pengetahuan dari praktek yang sudah berlangsung, dan
cukup berbesar hati untuk melibatkan komponen masyarakat sebagai pemanfaat
langsung, maka kebijakan yang akan diambil bisa menjadi hal yang lagi-lagi mubazir.
Referensi
•
Cicin-Sain, Biliana and Knecht, Robert W., 1998, Integrated Coastal and Ocean
Management: Concepts and Practices, Island Press, Washington D.C.
•
Clark, John R., 1996, Coastal Zone Management: Handbook, CRC PressLLC, Boca
Raton.
•
ELSAM, 2000, Sumber Daya Alam untuk Rakyat, ELSAM, Jakarta
•
Ostrom, Elinor, 1999, Coping with Tragedies of the Commons in Annual Reviews
(www.AnnualReviews.org)
•
Juwono, Pujo Semedi H., 1998, Ketika Nelayan Harus Sandar Dayung,
Konphalindo, Jakarta.
•
Meyer, Neil, 2000, Introduction to Property Rights: A Historical Perspective,
LGIEN Fact Sheet 2000-006
•
Revisi UU Perikanan
•
Undang-Undang No. 5 tahun1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
•
Berbagai peraturan perundangan (UU sampai dengan Perdes)
ZZYY
http://www.huma.or.id
13
Download