PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL

advertisement
PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL
SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
(Studi Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota Surakarta)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun oleh:
YULIANA PRATIWI
NIM E1A009240
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL
SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
(Studi Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota Surakarta)
OLEH
YULIANA PRATIWI
E1A009240
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Meraih
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UNSOED
Isi dan format telah disetujui,
Pada tanggal: 27 Agustus 2013
Pembimbing I/
Penguji I
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H.
NIP.19640724 199002 1 001
Pembimbing II/
Penguji II
Pranoto, S.H., M.H.
NIP. 19540305 198601 1 001
Mengetahui
Dekan,
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
Penguji III
Handri W. S ., S.H., M.H.
NIP.19581019 198702 2 001
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama
: YULIANA PRATIWI
NIM
: E1A009240
Judul Skripsi : PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN
MEDIASI
PENAL
PENYELESAIAN
SEBAGAI
PERKARA
ALTERNATIF
PIDANA
(Studi
terhadap Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota
Surakarta)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul karya sendiri dan
tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,
maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 27 Agustus 2013
YULIANA PRATIWI
NIM E1A009240
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan
semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : PERANAN ADVOKAT
DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi terhadap Penerapan Mediasi
Penal di Wilayah Kota Surakarta).
Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat meraih gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum UNSOED dan pemilihan judul ini didasarkan pada
ketertarikan penulis terhadap gagasan penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan untuk perkara-perkara tertentu yang merupakan perwujudan dari
prinsip keadilan restoratif. Selesainya penyusunan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan serta bimbingan berbagai pihak yang telah berjasa, oleh karena itu
penghargaan dan ucapan terima kasih penulis bisa haturkan kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H., M.H, selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto;
2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I / dosen
penguji I, yang telah memberikan arahan, nasihat, ilmu-ilmu dan
pengalaman yang berharga;
3. Pranoto, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing II / dosen penguji II, yang
telah membimbing, memberikan arahan, dukungan, ilmu-ilmu serta saran
dalam skripsi penulis yang sangat berharga;
4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji III yang
telah
memberikan
saran-saran
yang
membantu
penulis
dalam
menyempurnakan skripsi penulis;
5. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H.,M.Hum, selaku dosen pembimbing
akademik;
6. Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum, yang telah memberikan nasihat, ilmu,
dukungan dan pengalaman yang berharga melalui penelitiannya yang
melibatkan penulis;
7. Advokat, Polisi, dan Korban tindak pidana di wilayah kota Surakarta yang
telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengumpulan data untuk
penelitian ini;
8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
atas ilmu dan pengetahuan serta dedikasi yang telah diberikan selama ini;
9. Orang tua, kakak dan adik dari penulis yang telah memberikan dukungan,
kasih sayang dan doa yang tulus.
10. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan motivasi, dukungan, sumbangan pemikiran penulis haturkan
terima kasih.
Kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa Penulis nantikan
sebagai acuan untuk karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ini dapat
bermanfaat, baik kepada Penulis maupun kepada semua pihak. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini.
Purwokerto, 26 Agustus 2013
Penulis,
Yuliana Pratiwi
E1A009240
HALAMAN PERSEMBAHAN
Penulis memanjatkan Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, Tuhan
Semesta Alam, atas karunia, petunjuk, berkah dan kasih sayang-Nya dalam masa
perkuliahan penulis, dalam penyusunan skripsi ini, serta atas kebesaran-Nya
menciptakan dan menakdirkan keberadaan orang-orang ini dalam kehidupan
penulis:
1. Dr. Angkasa, S.H., M.H, selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto;
2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I / dosen
penguji I, yang telah memberikan arahan, nasihat, ilmu-ilmu dan
pengalaman yang berharga;
3. Pranoto, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing II / dosen penguji II, yang
telah membimbing, memberikan arahan, dukungan, ilmu-ilmu serta saran
dalam skripsi penulis yang sangat berharga;
4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji III yang
telah
memberikan
saran-saran
yang
membantu
penulis
dalam
menyempurnakan skripsi penulis;
5. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H.,M.Hum, selaku dosen pembimbing
akademik;
6. Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum, yang telah memberikan nasihat, ilmu,
dukungan dan pengalaman yang berharga melalui penelitiannya yang
melibatkan penulis;
7. Para advokat (M. Taufik, S.H, M.H., M.T Heru, S.H, M.H, M. Mohani,
S.H., Yayuk, S.H., Yusuf, S.H., Amir, S.H, M.H), Polisi dan Penyidik di
Polresta Surakarta, dan Korban tindak pidana di wilayah kota Surakarta
yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengumpulan data
untuk penelitian ini;
8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
atas ilmu dan pengetahuan serta dedikasi yang telah diberikan selama ini,
serta karyawan-karyawan yang telah memberikan warna tersendiri di
Fakultas Hukum;
9. Orang tua, Soekirno dan Siti Nurini, kakak dan adik penulis, Ratih
Sukowati, Bayu Kurniawan, Kartika Diani telah memberikan dukungan,
semangat, pelajaran hidup, kasih sayang dan doa yang tulus.
10. Rekan penelitian penulis serta keluarga Pakdhe Tjip di Surakarta, atas
perhatian, bantuan, dan kehangatan yang diberikan selama penulis
melaksanakan penelitian di Surakarta.
11. Orang terdekat, Aghan Sugandhi dan Retno Septiana, yang selalu
menemani, menghibur, memberi semangat, dan mengajarkan banyak hal.
12. Sahabat-sahabat penulis, Etta, Tiara, Widi, Feby, Upay, Aka, Finny,
Palupi, Syaikhu, Melda, Bagus, Ardi, Gilang, Mbak Nana, Mas Yogi,
Nikodemus, atas ketulusan persahabatan dan pengalaman-pengalaman
yang berharga.
13. Sahabat-sahabat kelas C, angkatan 2009, kakak-kakak angkatan dan adikadik kelas di Fakultas Hukum UNSOED, dan teman-teman seperjuangan
skripsi yang selalu memberikan dukungan, perhatian dan semangat.
14. One Big Family of “Justitia English Club” (JEC) untuk pengalaman
persahabatan dan pengalaman keorganisasian yang sangat berharga.
15. Google Search Engine yang telah membuat penulis menemukan situs dan
tulisan-tulisan yang begitu menginspirasi.
16. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan motivasi, dukungan, sumbangan pemikiran penulis haturkan
terima kasih, semoga diberkahi oleh Allah SWT.
ABSTRAK
Salah satu kritik yang ditujukan pada peradilan Indonesia adalah
penyelesaian perkara pidana yang hanya berorientasi pada penghukuman pelaku
dan tidak memperhatikan upaya pemulihan kerugian korban. Hal ini mendorong
berkembangnya konsep keadilan restoratif yang bertujuan untuk mengupayakan
pemulihan kerugian korban daripada dengan mudah memenjarakan orang. Salah
satu perwujudan dari konsep keadilan restoratif adalah mediasi penal, sebuah
gagasan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Beberapa negara seperti
Prancis, Polandia, dan Norwegia telah menerapkan dan menempatkan mediasi
penal dalam hukum positif mereka. Dalam hukum positif Indonesia tidak dikenal
adanya mediasi untuk perkara pidana, namun ternyata dalam praktik mediasi
penal sudah sering diterapkan. Hal ini terjadi karena adanya kehendak dari korban
dan pelaku serta peranan dari para penegak hukum seperti polisi dan advokat.
Menurut undang-undang bantuan hukum, jasa dan bantuan hukum yang dapat
diberikan advokat tidak hanya berupa beracara dalam persidangan, tapi juga
memberikan bantuan hukum non litigasi yang salah satu bentuknya adalah
mediasi. Jadi, advokat adalah salah satu pihak yang berperan dalam
mengembangkan gagasan dan praktik mediasi penal. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui persepsi dan perilaku advokat dalam menerapkan mediasi penal
serta mengetahui akibat hukum dari kesepakatan damai yang dicapai mediasi
penal terhadap proses penanganan perkara pidana. Berdasarkan penelitian dengan
metode yuridis-sosiologis, diketahui bahwa advokat berperan aktif dalam mediasi
penal dengan bertindak sebagai inisiator, mediator, dan fasilitator mediasi. Akibat
hukum kesepakatan mediasi penal adalah timbulnya kewajiban pelaku tindak
pidana untuk memulihkan kerugian korban dan penghentian perkara pidana pada
tingkat penyidikan. Tindakan menghentikan perkara dengan alasan mediasi
sebenarnya tidak sesuai dengan aturan KUHP dan KUHAP, namun tindakan ini
berlaku di Surakarta karena adanya kehendak korban dan pelaku yang didukung
oleh tindakan diskresi polisi yang didasarkan pada Surat Kapolri No. Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif
Dispute Resolution (ADR).
Kata Kunci: Mediasi Penal, Mediasi Pidana, Alternative Dispute Resolution,
Peranan Advokat, Sistem Peradilan Pidana, Diskresi Polisi
ABSTRACT
The criticizing have been directed to Indonesian criminal justice system
because its major interest lies in putting behind bars the offender and has no
attention for the needs of victims. This is one reason of the Restorative Justice
development that aims to repair the victim’s detrimen rather than simply jailing
someone. Penal mediation, an idea about resolving criminal matter without court,
is one of restorative justice’s realization. Some countries such us France, Poland,
and Norway already implement and legitimate penal mediation in their positive
law. Indonesian positive law doesnt recognize mediation for criminal matter but
in the practice mediation have been choosen to solve criminal matter. It is caused
by the initiative of the parties; victims, offender, police and lawyer. According to
the act about legal aid, the legal aid that can be given by the lawyer is not only
about assist their client in the court but also giving non-litigation legal aid which
one of its form is mediation. So, lawyer is one law enforcer who have important
role in develop the mediation idea and practice. This research aims to know the
perception and behaviour in implementing penal mediation and to know the legal
concequences of agreement that reached in penal mediation for the criminal
matter judgement in Surakarta. Based on the research that already implemented
with sosio-legal research, the result show that lawyers in Surakarta do the active
role in implement mediation as initiator, mediator and facilitator. The legal
concequences of penal mediation agreement are put the offender into the
responsibility to recover victim’s detrimen and stop the judgement of criminal
matter when the matter is in police investigation stage. Actually the ceasing of
criminal matter with penal mediation as the reason is contradict with the
regulation of penal code (KUHP) and criminal law procedure book (KUHAP),
but this act is always implemented in Surakarta because it’s the willing of the
society especially the victims and supported by police with their discretion
authority that based on Indonesian Police Chief’s Decision Number Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS 2009 about presiding criminal case with Alternatif
Dispute Resolution (ADR).
Keyword: Penal Mediation, Mediation for Penal Matter, Alternative Dispute
Resolution, Advocate Role, Lawyer Role, Criminal Justice System,
Discretion
HALAMAN MOTTO
“Barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan
mereka tidak akan bersedih hati” (Q.S. Al-Baqarah Ayat 38)
“Siapa yang tidak pandai mensyukuri nikmat yang sedikit maka tidak akan
mendapat nikmat yang banyak” (H.R. Muslim)
“There will be an answer, let it be”- (The Beatles)
“Sepi ing pamrih, rame ing gawe”
“One Big Family” (Justitia English Club)
“Jangan mendahului nasib.” (Andrea Hirata)
“Makna dari mencari ilmu bukanlah hanya semata-mata untuk pencapaian nilai,
prestasi ataupun karier masa depan, lebih dari itu, adalah sebagai penghargaan
pada diri dan kehidupan kita”
“Don’t worry about your future, just do your best everyday”
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah------------------------------------------------- 1
B. Perumusan Masalah------------------------------------------------------ 7
C. Tujuan Penelitian--------------------------------------------------------- 7
D. Kegunaan Penelitian ----------------------------------------------------- 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan, Fungsi, dan Asas Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana ----------------------------------- 9
2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana ----------------------- 11
3. Asas Hukum Acara Pidana ---------------------------------------- 13
B. Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
1. Pengertian dan Konsep Restorative Justice--------------------- 15
2. Perbandingan Restorative Justice dengan
Retributive Justice -------------------------------------------------- 19
C. Mediasi Penal sebagai Penyelesaian Perkara Pidana
di Luar Pengadilan
1. Pengertian Mediasi Penal------------------------------------------ 21
2. Latar Belakang dan Ide Dasar Mediasi Penal ------------------ 23
3. Prinsip Kerja Mediasi Penal -------------------------------------- 25
4. Dasar Hukum ADR atau Mediasi Penal di Indonesia -------- 29
5. Arti Penting Mediasi Penal bagi Korban dan Pelaku --------- 38
D. Diskresi Kepolisian
1. Pengertian Diskresi Kepolisian ----------------------------------- 40
2. Diskresi Kepolisian dalam Penegakkan Hukum --------------- 42
3. Hubungan Diskresi Kepolisian dengan Mediasi Penal-------- 44
E. Bantuan Hukum
1. Pengertian dan Konsep Bantuan Hukum ------------------------ 47
2. Jenis Bantuan Hukum ---------------------------------------------- 50
3. Hak Masyarakat akan Bantuan Hukum ------------------------- 53
F. Advokat dalam Penegakkan Hukum
1. Pengertian Advokat ------------------------------------------------ 54
2. Peran dan Fungsi Advokat ---------------------------------------- 54
3. Advokat sevagai Officium Nobile ------------------------------- 56
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ---------------------------------------------------- 59
B. Spesifikasi Penelitian -------------------------------------------------- 60
C. Lokasi Penelitian ------------------------------------------------------- 60
D. Sumber Data ------------------------------------------------------------ 61
E. Metode Pengumpulan Data ------------------------------------------- 62
F. Metode Penyajian Data------------------------------------------------ 62
G. Metode Penentuan Sampel-------------------------------------------- 63
H. Metode Validitas Data ------------------------------------------------ 63
I.
BAB IV
Metode Analisis Data ------------------------------------------------- 64
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Penelitian Data Sekunder------------------------------------ 66
2. Hasil Penelitian Data Primer -------------------------------------- 77
B. Pembahasan ------------------------------------------------------------- 92
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan ----------------------------------------------------------------126
B. Saran---------------------------------------------------------------------127
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pidana telah disepakati dan dibakukan sebagai bagian dari hukum
publik (algemene belangen). Dengan sifat ini, ketika seseorang melakukan suatu
tindak pidana yang merugikan kepentingan orang lain, pembalasan terhadap pelaku
tidak hanya menjadi hak dari korban tindak pidana itu, tetapi berkembang menjadi
kewajiban bersama seluruh keluarga, masyarakat dan akhirnya pembalasan tersebut
menjadi bagian dari tanggung jawab negara. Hukum Negara pun menjadi satusatunya instrument dalam menyelesaikan perkara pidana dengan prosedur yang telah
ditentukan.
Konsep tersebut sedang berlaku di Indonesia sejak diundangkannya Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana (KUHAP). Dengan konsep ini,
dimana penegakan hukum hanya bertumpu pada negara sebagai pemberi keadilan,
ternyata mengakibatkan sedikitnya peran individu dalam mengupayakan penyelesaian
perkara pidana. Pencarian keadilan dalam perkara pidana sepenuhnya bertumpu pada
sistem yang dibangun oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Padahal keadilan yang diberikan oleh negara belum tentu sesuai
dengan kehendak para pencari keadilan itu sendiri, sebab pada dasarnya setiap orang
memiliki kebutuhan dan tingkat akseptabilitas yang beragam atas rasa keadilan.
Penyelesaian perkara pidana yang hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme
yang disediakan oleh hukum Negara juga dapat menimbulkan masalah lain.
2
Meningkatnya volume dan jenis perkara yang diajukan ke pengadilan harus
berhadapan dengan kemampuan organisasi pengadilan yang terbatas baik secara
teknis maupun sumber daya manusia. Terhadap fakta ini, Yahya Harahap
mendeskripsikan kritik pada pengadilan yaitu: penyelesaian sengketa melalui litigasi
sangat lama, biaya berperkara mahal, pengadilan kerap tidak responsif, putusan
pengadilan tidak menyelesaikan masalah, dan kemampuan para hakim bersifat
generalis.1
Keadaan yang demikian memunculkan kebutuhan akan suatu mekanisme yang
mampu untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan serta menghasilkan
keputusan yang disepakati bersama. Salah satu konsep untuk mewujudkan gagasan
tersebut adalah Mediasi Penal sebagai upaya penyelesaian perkara pidana diluar
pengadilan. Di tengah permasalahan-permasalahan di atas, mediasi penal dirasa lebih
dapat mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan murah yang amat penting
untuk perlindungan hak dari korban maupun pelaku.
Mekanisme mediasi yang merupakan bagian dari alternative dispute resolution
(ADR) selama ini hanya dikenal dalam ranah hukum privat. Kini mediasi mulai
banyak dipraktikkan untuk menyelesaikan perkara pidana karena adanya pergeseran
paradigma penegakan hukum pidana dari keadilan retributif menjadi keadilan
restoratif yang pertama-tama dikembangkan di Amerika. Pada keadilan retributif,
1
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 153.
3
orientasi penyelesaian sengketa pidana adalah pembalasan terhadap pelaku dengan
penjatuhan hukuman penjara sebagai bentuk nestapa. Pada prinsip keadilan restoratif,
terdapat suatu perkembangan penyelesaian sengketa yang lebih dapat memulihkan
hak-hak korban dan mengakomodir kepentingan para pihak dengan memberikan
keadilan dan kemanfaatan.
Untuk beberapa tindak pidana, seperti pencurian, kecelakaan lalu lintas, dan
tindak pidana lain yang berdimensi perdata, keberhasilan keadilan bukan diukur
oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim, tapi sebesar apa kerugian
dipulihkan oleh pelaku. Pemahaman ini berkaitan dengan usaha-usaha pembaharuan
pidana yang sekarang sedang disusun. Konsep rancangan KUHP baru jika dipelajari
menunjukkan adanya pembaharuan yang sangat mendasar terutama dalam sistem
pemidanaan. Beberapa pembaharuan yang humanistis tanpa menghilangkan sifat
represif dari hukum pidana diantaranya; (1) lebih mengutamakan pidana denda, (2)
pidana penjara digunakan sebagai pilihan terakhir, hanya untuk tindak pidana serius
dan berbahaya, (3) adanya pedoman dalam penerapan pidana penjara.2
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, meskipun tidak ada landasan
hukumnya, namun dalam praktik sudah sering perkara pidana diselesaikan di luar
pengadilan. Padahal, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara eksplisit
memberikan aturan mediasi untuk menyelesaikan perkara pidana. Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya
2
hlm 17.
Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang, 2002,
4
melingkupi ranah hukum perdata. Fakta ini pun menimbulkan pertanyaan seperti apa
dasar pelaksanaan mediasi penal dan bagaimana mekanisme penyelenggaraan
mediasi penal?
Selama ini, upaya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dipraktikkan
melalui diskresi aparat penegak hukum, khususnya penyidik. Dalam proses
penyidikan akan ditentukan apakah sebuah perkara akan dilimpahkan ke kejaksaan
atau dihentikan. Dengan wewenang diskresinya, polisi dapat memutuskan untuk
menyelesaikan suatu perkara pidana di luar pengadilan dan polisi diharapkan dapat
bersikap bijaksana terhadap penanganan perkara pidana atau laporan tindak pidana.
Harapan agar aparat tidak menerapkan hukum secara kaku dan semata-mata
mengikuti teks dalam undang-undang makin banyak disuarakan terutama sejak
munculnya kontroversi korban pemidanaan seperti kasus ‘Kakao Minah’ dan kasus
‘Semangka Basar dan Kholil’. Selanjutnya, karena penyelesaian perkara pidana di
luar pengadilan dirasa semakin penitng dan tidak adanya Undang-undang yang
mengatur, dikeluarkanlah Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal
14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution
(ADR).
Selain peran polisi dengan diskresinya itu, pihak lain yang memiliki peranan
dalam menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan adalah advokat. Seorang
advokat haruslah selalu mengikuti perkembangan hukum, sehingga dalam
mendampingi kliennya baik sebagai korban maupun sebagai pelaku kejahatan, tidak
bisa hanya melihat perkara yang ditangani dengan sudut pandang law in book, tetapi
5
juga law in action. Pasal 4 Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 tentang Bantuan
Hukum menentukan bahwa Bantuan Hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan
hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik
litigasi maupun nonlitigasi dan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili,
membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum
Penerima Bantuan Hukum. Dengan begitu, dalam tugas dan kewajibannya, seorang
advokat tidak diharuskan untuk sampai beracara dalam persidangan. Penyelesaian
melalui mediasi penal adalah langkah awal dari tugas advokat dan merupakan salah
satu bentuk pemberian bantuan hukum.
Jadi sementara, tidak ada peraturan mengenai mediasi penal dalam hukum
positif Indonesia, advokat adalah salah satu pihak yang berperan dalam
mengembangkan gagasan dan praktik mediasi penal. Dengan berlakunya UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Bantuan Hukum, advokat memiliki peran strategis untuk
mendampingi para pihak dalam mengupayakan penyelesaian perkara di luar
pengadilan.
Masalah lain yang timbul dari praktik mediasi penal adalah mengenai
konsekuensi dari kesepakatan damai yang dicapai dalam mediasi penal. Tidak ada
kepastian apakah kesepakatan hukum itu selain mengikat para pembuatnya juga
sekaligus menghentikan perkara, ataukah tidak berpengaruh terhadap proses
pemeriksaan perkara? Ketika mediasi penal menghasilkan kesepakatan kesepakatan
namun pelaku tetap dituntut, hal inisangat dipertanyakan oleh masyarakat. Misalnya,
6
dalam kasus Andika “Kangen Band”. Perkara ‘Andika membawa Lari Gadis di
Bawah Umur (CC)’ tetap dilimpahkan ke kejaksaan meski dia sudah berdamai
dengan keluarga CC.3
Apa yang diuraikan di atas adalah masalah yang dapat timbul setelah mediasi
penal dilaksanakan dengan menghasilkan suatu kesepakatan. Dalam hukum pidana
terdapat prinsip ganti rugi tidak menghapus sifat melawan hukum dalam tindak
pidana. Selain itu, dalam hukum acara pidana, pencabutan laporan dapat dilakukan
tergantung pada tindak pidananya, apakah merupakan delik aduan atau delik biasa.
Apakah kesepakatan itu hanya menimbulkan kewajiban bagi tersangka untuk
melakukan perbuatan yang disepakati (misalnya ganti rugi), atau sekaligus membuat
pernyidik harus menghentikan pemeriksaan terhadap perkara itu? Peran aktif baik
dari aparat polisi maupun advokat berpengaruh dalam tercapainya kesepakatan yang
adil, final dan mengikat. Maka dari itu kajian mengenai penerapan mediasi penal
perlu juga diikuti kajian mengenai akibat hukum kesepakatan damai mediasi penal.
Berdasarkan latar belakang yang saya uraikan di atas, saya tertarik untuk
mengambil judul Peranan Advokat dalam Menerapkan Mediasi Penal sebagai
Penyelesaian Perkara Pidana.
B. Perumusan Masalah
3
Anonim, Andika tetap diproses Hukum meski telah berdamai dengan Pihak CC.
life.viva.co.id/news/read, diunduh pada 10 Maret 2013.
7
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah peranan advokat dalam melakukan mediasi penal pada
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan di wilayah kota Surakarta?
2. Apakah akibat hukum dari kesepakatan damai yang dihasilkan mediasi penal
terhadap proses penanganan perkara pidana?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan
bertujuan untuk:
1. Mengetahui peran advokat dalam melakukan mediasi penal sebagai
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan di wilayah kota Surakarta.
2. Mengetahui akibat hukum dari kesepakatan yang dihasilkan mediasi penal.
D. Kegunaan Penelitian
Peneliti berharap agar penulisan usulan penelitian ini dapat memberikan
kegunaan sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan saran yang
bermanfaat terhadap ilmu Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana pada
khususnya, dalam hal Mediasi Penal sebagai pembaharuan sistem peradilan
pidana, serta sebagai materi muatan untuk peraturan mengenai Mediasi Penal.
2. Kegunaan Praktis
8
Kegunaan praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi para pelaku dan korban tindak pidana, dan penegak hukum khususnya
advokat dalam menerapkan mediasi penal sebagai penyelesaian perkara
pidana.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan, Fungsi dan Asas Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Menurut Andi Hamzah, penggunaan istilah ‘hukum acara pidana’ sudah
tepat dibanding dengan istilah ‘hukum proses pidana’ atau ‘hukum tuntutan
pidana’. Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan akan
menjadi tuntutan pidana, bukan istilah strafprocesrecht yang padanannya adalah
acara pidana.
KUHAP tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi
bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan
pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan,
dan lain-lain di definisikan dalam Pasal 1.
Menurut Simons, hukum acara pidana (hukum pidana formal) mengatur
tentang bagaimana Negara melalu alat-alatnya melaksanakan haknya untuk
memidana dan menjatuhkan pidana4.
Van Bemellen memberi definisi yang lebih lengkap dan tepat karena
merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan akhirnya
saja.
Terjemahan bebas definisi van Bemellen adalah sebagai berikut5:
4
D. Simons, Beknopte Handleiding tot hek Wetboek van Strafvordering dalam Andi Hamzah,
Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 4.
10
“Ilmu hukum acara pidana ialah mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undang
pidana, yaitu; negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran, sedapat
mungkin menyidik pelaku perbuatan itu, mengambil tindakan-tindakan
yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya,
mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada
penyidikan guna dilimpahkan pada hakim dan membawa terdakwa ke
depan hakim, hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya
perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana, upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut, akhirnya
melaksanakan keputusan tentang pidana.”
Mantan ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro, juga menyatakan
pendapatnya tentang hukum acara pidana, yaitu:
“Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan hukum
pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukum pidana, jadi
jika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untuk
menuntut seseorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah soal
cara bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana,
dan oleh siapa suatu putusan putusan pengadilan harus dijalankan, hal
ini semua harus diatur dan peraturan inilah yang dinamakan hukum
acara pidana.”6
Menurut R. Soesilo, hukum acara pidana dapat diartikan secara sempit dan
luas. Hukum acara pidana memiliki arti sempit ketika hukum acara pidana hanya
meliputi; pemeriksaan pendahuluan oleh polisi dan penuntutan oleh jaksa,
pemeriksaan dan penuntutan perkara pidana dalam sidang, dan pelaksanaan
putusan hakim oleh jaksa. Sedangkan Hukum acara pidana dalam arti luas selain
5
Van Bemmelen dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta 2008, hlm 5.
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur bandung, Bandung, 1981,
hlm 15.
11
memuat tiga hal di atas, meliputi pula hal susunan, kekuasaan, peraturan
kehakiman yang yang ada hubungannya dengan penuntutan pidana 7.
Jika mengacu pada pendapat para ahli di atas dan pada KUHAP, maka
nampaknya pembicaraan mengenai hukum acara pidana akan selalu seputar
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan, dan pada akhirnya
penjatuhan sanksi oleh hakim. Jadi, dapat dikatakan penerapan mediasi penal
adalah suatu pembaharuan dalam penegakkan hukum pidana dan penanggulangan
kejahatan.
2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana
Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada pedoman
pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut 8:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”
Dalam kalimat yang sangat panjang di atas, Andi Hamzah tidak setuju
dengan bagian kalimat, ”...setidak-tidaknya-mendekati kebenaran.” Kebenaran itu
7
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP
bagi Penegak Hukum, Politeia, Bogor, 1982, hlm 6.
8
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 7.
12
harus didapatkan dalam menjalankan hukum acara pidana dan umumnya para
penulis menyebut “mencari kebenaran materil” merupakan tujuan dari hukum
acara pidana.
Mengenai fungsi hukum acara pidana, pengertian antara tujuan hukum
acara pidana dan fungsi atau tugas hukum acara pidana sering begitu saja
dicampuradukkan, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pedoman Pelaksanaan
KUHAP diatas, karena sulitnya menempatkan posisi kedamaian, kebenaran, dan
keadilan dalam hukum. Hukum yang mengatur tatanan tatanan beracara perkara
pidana itu tujuannya diarahkan pada posisi untuk mencapai kedamaian, adapun
penyelenggaraan beracara perkara pidana oleh pelaksana dengan tugas mencari
dan menemukan fakta menurut kebenaran dan selanjutnya mengajukan tuntutan
hukum yang tepat untuk mendapatkan penerapan hukum berdasarkan keadilan. 9
Dengan demikian, fungsi atau tugas dalam hukum acara pidana melalui alat
perlengkapannya adalah: (1) untuk mencari dan menemukan fakta menurut
kebenaran, (2) mengadakan penuntutan hukum dengan tepat, (3) menerapkan
hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan, dan (4) melaksanakan keputusan
secara adil.
9
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakkan Hukum
Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm 29
13
3.
Asas-asas Hukum Acara Pidana
1. Asas Legalitas
Asas pertama dalam hukum acara pidana adalah asas legalitas sebagai
padanan asas legalitas dalam hukum pidana materil. Ada perbedaan dengan
asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merumuskan:
“Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang ada sebelumnya.”
Dalam KUHP dipakai istilah perundang-undangan pidana (wettelijk
strafbepaling) yang berarti suatu peraturan yang lebih rendah dari undangundang dalam arti formil, seperti Peraturan Pemerintah dan Perda dapat
memuat rumusan delik dan sanksi pidana. Adapun dalam hukum acara pidana
dipakai istilah undang-undang (wet), sehingga hanya dengan undang-undang
suatu tindakan pembatasan hak asasi manusia seperti penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan dapat dilakukan 10.
2. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan
Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut dalam
KUHAP merupakan penjabaran dari Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 48 tahun 2009. Dalam KUHAP, sebagai
perwujudan dari asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, tersangka
atau terdakwa berhak:
- segera mendapat pemeriksaan dari penyidik (Pasal 50),
10
Andi Hamzah, op.cit., hlm 10.
14
- segera diajukan pada penuntut umum oleh penyidik (Pasal 107 ayat (3)),
- segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum (Pasal 140 ayat (1)),
- segera diadili oleh pengadilan
3. Asas Praduga Tidak bersalah (Presumption of Innocence)
Asas ini ada dalam penjelasan umum butir 3 huruf c dan sebenarnya
telah dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-undang Pokok kekuasaan Indonesia
No. 48 Tahun 2009, yang merumuskan;
“Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan
atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Asas Praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis maupun dari
teknis penyidikan dinamakan prinsip akusatur atau accusatory procedure, yang
menempatkan kedudukan tersangka/ terdakwa dalam setiap pemeriksaan:
- Adalah subjek, bukan objek, harus diperlakukan sebagai manusia yang
bermartabat,
- Yang menjadi objek pemriksaan adalah kesalahan yang dilakukan tersangka/
terdakwa.11
4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Dapat kita perhatikan Pasal 153 KUHAP merumuskan:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang
dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
11
Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan
Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm 40.
15
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”(ayat 3), “Tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan
batalnya putusan demi hukum.” (ayat 4).
Terhadap ketentuan tersebut, selain dalam perkara mengenai kesusilaan
atau terdakwanya anak-anak, sebenarnya masih ada pengecualian lain, yaitu
delik yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut
ketertiban umum (openbare orde).Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk
umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk
umum, bahkan Pasal 13 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 195 KUHAP menentukan,
“Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”
5. Semua Orang diperlakukan Sama di Depan Hakim
Negara-negara hukum yang menjunjung tinggi persamaan kedudukan di
hadapan hukum atau equality before the law pada umumnya menganut pasal
ini. Asas ini secara tegas tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) dan Penjelasan
Umum butir 3a KUHAP, yang menentukan,
”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.”
B. Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
1. Pengertian dan Konsep Restorative Justice
Selama ini upaya penanggulangan kejahatan masih menitikberatkan pada
penghukuman pelaku. Hampir seluruh tindak pidana yang ditangani oleh sistem
16
peradilan pidana berakhir dengan penjatuhan hukuman penjara. Padahal penjara
bukanlah solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah kejahatan karena tidak
selalu berhasil memberikan pendidikan dan penyadaran bagi narapidananya dan
pada akhirnya tidak berhasil mencegah bekas narapidana melakukan kejahatan
lagi. Penjatuhan pidana penjara yang tidak tepat pun dikritik sebagai sanksi yang
hanya akan menyisakan penderitaan, masalah ekonomi, dan stigma. 12
David
Lerman
mengemukakan
bahwa
sementara
orang
merasa
pemenjaraan pelaku kejahatan dapat meningkatkan keamanan, sesungguhnya ada
konsekuensi yang akan timbul disebabkan adanya stigma terhadap narapidana dan
kurangnya rasa percaya di antara masyarakat.13 Rasa curiga antar masyarakat itu
ternyata dapat memicu dilakukannya sebuah perbuatan kriminal. Rasa curiga
menimbulkan rasa takut pada masyarakat dan memutuskan untuk harus
mewaspadai bahkan jika perlu menjaga jarak dari ‘orang lain’. Semakin besar
kecurigaan itu, semakin orang menjadi individual, dan semakin rentan pula dia
terhadap ancaman kejahatan. Mengapa? Karena menurunnya rasa percaya antar
masyarakat akan melemahkan ikatan pada suatu kesatuan masyarakat. Tanpa
ikatan yang bisa memperkuat suatu komunitas masyarakat, maka akan hilang pula
kontrol sosial yang seharusnya bisa menciptakan ketertiban masyarakat dan
mencegah kejahatan.
12
Kuat Puji Prayitno. 2012. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia. Jurnal
Dinamika Hukum. Vol. 12 No.3. Universitas Jenderal Soedirman. Hal 416.
13
David Lerman, Restoring Justice, Mediation, Asghate Publishing Company, USA,
2001, hlm 591.
17
Sistem pemidanaan yang memiliki fokus yang salah dengan hanya
mementingkan tentang bagaimana menghukum dan memenjarakan seorang pelaku
tindak pidana mendorong berkembangnya paradigma penghukuman yang disebut
restorative justice. Patrialis Akbar ketika masih menjabat sebagai Menteri Hukum
dan HAM sempat mengajukan konsep penegakkan hukum yang berlandaskan
prinsip restorative justice untuk mengatasi permasalahan lemahnya sistem
peradilan pidana di negara kita.
Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk
keadilan yang berfokus pada kebutuhan korban, pelaku, serta masyarakat yang
terlibat, bukan memuaskan prinsip-prinsip hukum abstrak atau menghukum
pelaku. Korban mengambil peran aktif dalam proses, sementara pelaku didorong
untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka, untuk memperbaiki halhal yang membahayakan mereka, dengan cara meminta maaf, mengembalikan
uang yang dicuri, atau pelayanan masyarakat.
Pendekatan baru bernama restorative justice ini muncul sebagai respon
terhadap sistem pemidanaan yang fokusnya hanya mementingkan tentang
bagaimana menghukum dan memenjarakan seseorang yang melakukan tindak
pidana. Restorative justice bertujuan untuk merubah pengarahan hukum pidana
dengan merubah fokusnya pada kebutuhan korban dan perbaikan ketertiban
masyarakat daripada dengan gampangnya memenjarakan seseorang.14
14
591.
Carrie Menkel-Meadow, Mediation, Asghate Publishing Company, USA, 2001, hlm
18
Dewasa ini, kesadaran untuk tidak hanya membentuk instrument hukum
yang menfokuskan pada perlingan HAM pelaku terlihat dalam berbagai konvensi
atau deklarasi internasional. Salah satunya pada tahun 1985 melalui Declaration of
Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power, perhatian
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mulai meningkat khususnya yang berkaitan
dengan akses untuk memperoleh keadilan, hak untuk memperoleh kompensasi,
restitusi, serta bantuan-bantuan lain yang harus diatur dalam undang-undang
nasional.15
Konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak
lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku, namun
perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan
kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab. Selain itu, juga
memberikan suatu bentuk bantuan bagi pelaku untuk menghindari pelanggaran di
masa depan. Keadilan Restoratif yang mendorong dialog antara korban dan pelaku
menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
Kekuatan konsep dari restorative justice adalah penempatan korban dan
masyarakat yang berbeda dari paradigma peradilan pidana selama ini.
Penerapannya adalah suatu mekanisme informal dan non ajudikatif dalam
menangani konflik atau permasalahan kejahatan dimana pelaku, korban dan
masyarakat mengambil peranan penting dalam pengambilan keputusan. Salah satu
15
Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
2012, hlm 74.
19
bentuk mekanisme itu adalah mediasi penal yang mendorong adanya pertemuan
antara pelaku dan korban dengan dibantu seorang mediator sebagai fasilitator.
2. Perbandingan Retributive Justice dengan Restorative Justice
Munculnya ide keadilan restoratif tidak lepas dari eksistensi pandangan yang
sebelumnya telah mendominasi sistem pemidanaan, yaitu pandangan retributif
(retributive justice). Dalam retributive justice tidak terdapat tempat bagi korban
untuk masalah pemidanaan. Teori ini menekankan pada pembalasan yang
tercermin dari sanksi pidana penjara. Dalam United Nations Office for Drug
Control and Crime Prevention, dinyatakan pendekatan restorative justice telah
digunakan dalam memecahkan masalah konflik antara para pihak dan memulihkan
perdamaian di masyarakat karena pendekatan-pendekatan retributive terhadap
kejahatan dalam tahun-tahun terakhir ini dianggap sudah tidak memuaskan lagi.
Oleh karenanya menyebabkan dorongan untuk beralih kepada pendekatan
restorative justice.16
Retributive justice atau keadilan retributive adalah
teori keadilan yang
menganggap hukum itu, jika proporsional, merupakan resiko yang diterima secara
moral sebagai kejahatan, dengan penglihatan untuk manfaat kepuasan dan
psikologis yang dapat dilimpahkan ke pihak yang dirugikan, teman-teman, dan
16
United Nations Office For Drug Control and Crime Prevention, Handbook on Justice for
Victims, centre for International Crime Prevention, New York, 1999, hal. 42-43 dalam Sahuri
Lasmadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal Universitas Jambi, onlinejournal.unja.ac.id/index.php/kimih/article/download/530/484+&cd, diunduh pada 20 Mei 2012.
20
masyarakat17. Jika keadilan retributif memusatkan perhatian pada penentuan
aturan apa yang dilanggar, siapa yang melanggarnya, dan bagaimana menentukan
hukuman untuk pelaku itu, restorative justice mempertanyakan; siapa yang telah
dirugikan, bagaimana korban bisa mendapat kerugian, dan bagaimana pelaku,
masyarakat, dan sistem peradilan pidana dapat membantu memperbaiki kerugian.
Menurut David Lerman, hal itu karena a core principle of Restorative Justice
requires that you care about the needs of crime victims. 18 Jadi, prinsip dasar
Restorative Justice adalah perhatian terhadap kebutuhan korban.
Perbedaan
lainnya dijabarkan oleh Howar Zahr19:
1.
Retributive Justice
Restorative Justice
Kejahatan adalah pelanggaran system
Kejahatan
terhadap
adalah
perlukaan
individu
dan/
masyarakat
2.
Fokus pada penjatuhan hukuman
Fokus pada pemecahan masalah
3.
Menimbulkan rasa bersalah dan jera
Memperbaiki kerugian
4.
Korban diabaikan
Hak
dan
kebutuhan
korban
diperhatikan
5.
Pelaku pasif
Pelaku didorong untuk
bertanggung jawab
6.
Pertanggungjawaban pelaku adalah
Pertanggungjawaban pelaku
hukuman
adalah menunjukkan empati dan
memperbaiki kerugian
17
http://id.wikipedia.org/wiki/retributif-justice diunduh pada tanggal 16 Maret 2013
Ibid, hal. 593.
19
Howar Zahr, The Little Book of Restorative Justice, dikutip oleh Riswanto, Mediasi Penal
sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara di luar Pengadilan, Tesis, Purwokerto, 2011, hal. 95.
18
21
7.
Stigma tidak terhapuskan
Stigma dapat hilang melalui
tindakan yang tepat
8.
9.
Tidak didukung untuk menyesal dan
Didukung agar pelaku menyesal
dimaafkan
dan diberi maaf oleh korban
Proses bergantung pada aparat
Proses bergantung pada
keterlibatan orang yang
terpengaruh oleh kejadian
C. Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana di Luar
Pengadilan
1. Pengertian Mediasi Penal
Menurut Kovach, mediasi berarti, “facilitated negotiation. It process by
which a neutral party, the mediator, assist disputing parties in reaching a mutually
satisfaction solution.”20 Tom Campbell dalam International Library of Essays in
Law and Legal Theory menyatakan pemahaman yang lebih luas tentang mediasi,
“Mediation represent a political theory about the role of conflict in society, the
importance of equality, participation, self-determination and a form of leaderless
leadership in problem-solving and decision making.” 21 Artinya Mediasi mewakili
teori politis tentang peran konflik dalam masyarakat, pentingnya kesamaan
kedudukan, partisipasi, menentukan apa yang diperlukan diri sendiri, dan sebuah
bentuk dari kepemimpinan dalam menyelesaikan masalah dan mengambil
20
Kimberlee K. Kovach, Mediation Principle and Practice, dalam Suyud Margono, ADR dan
Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 59.
21
Carrie Menkel-Meadow, op.cit., hal 13.
22
keputusan. Sedangkan pengertian mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2008 adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk mencapai kesepakatan para pihak dengan dibantu mediator.
Mengenai mediasi penal (penal mediation), peristilahan dan pengertiannya
masih sangat sedikit karena wacana tentang mediasi penal baru diperkenalkan di
Indonesia. Barda Nawawi Arief sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara
lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam
istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut ”Der
Außergerichtliche Tatausgleich” (disingkat ATA) dan dalam istilah Perancis
disebut ”de mediation pénale”.
Mediasi penal menurut European Forum For Victim Service digambarkan
sebagai proses yang melibatkan kontak antara korban dengan pelaku, baik secara
langsung maupun ditengahi mediator. Proses mediasi secara umum dianggap
sebagai
isu
lebih
lanjut
dari
keadilan
restoratif.22
Keadilan
retoratif
mengedepankan konsep dialog, mediasi dan rekonsiliasi dalam penanganan suatu
tindak pidana; suatu metode yang pada prinsipnya tidak dikenal sistem peradilan
pidana, hanya dikenal dalam hukum acara perdata. Mediasi untuk perkara pidana
berupaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku melalui tanggung
jawab dan upaya perbaikan. Para pihak (pelaku, korban, dan mediator)
22
Statement On The Position Of The Victim Within The Process Of Mediation, the
Executive Committee of the European Forum for Victim Services, November 2003
23
mengidentifikasi permasalahan dan mencari akar permasalahan bersama lalu
menentukan upaya perbaikan yang diperlukan.
2. Latar Belakang dan Ide Dasar Mediasi Penal
Ada beberapa hal yang melatar belakangi wacana penggunaan mediasi
dalam masalah pidana. Menurut Barda Nawawi, latar belakang pemikirannya ada
yang dikaitkan dengan ide pembaharuan hukum ( legal reform) dan ada yang
dikaitkan dengan masalah pragmatism. Latar belakang ide penal reform itu antara
lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restrotative justice, ide
mengatasi kekakuan atau formalitas dalam system yang berlaku, ide menghindari
efek negative dari system peradilan pidana dan system pemidanaan yang ada saat
ini, khususnya dalam mencari alternative lain dari pidana penjara (alternative to
imprisonment/ alternative to custody). Latar belakang pragmatis antara lain untuk
mengurangi penumpukan perkara (the problem of court case overload), untuk
penyederhanaan proses peradilan dan sebagainya23.
Selain latar belakang teoritik di atas, kearifan local dalam hukum adat di
Indonesia yang berlandaskan alam pikiran kosmis, magis dan religious sudah lama
mengenal lembaga mediasi untuk perkara pidana, antara lain di Sumatera Selatan,
Aceh, dan Lampung.24 Bahkan di Aceh, mediasi penal sudah dituangkan dalam
Perda No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Adat yang antara lain intinya
sebagai berikut:
23
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Penerbit
Pustaka Magister, Semarang, 2008, hal 21.
24
HIlman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung,
24
Pasal 13:
Sengketa diselesaikan terlebih dahulu secara damai melalui musyawarah
adat.
Pasal 14:
- Perdamaian: mengikat para pihak;
- Yang tidak mengindahkan keputusan adat, dikenakan sanksi adat.
Pasal 15:
- Apabila para pihak tidak puas terhadap putusam adat dapat mengajukan
perkaranya ke aparat penegak hukum.
- Keputusan adat dapat dijadikan pertimbangan oleh aparat penegak
hukum.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa mediasi penal ternyata telah
dipraktikkan untuk menyelesaikan sengketa akibat dilakukannya tindak pidana
yang serius, yaitu Carok, di Madura. Perkara carok dimungkinkan untuk
diselesaikan dengan mediasi penal karena adanya nilai-nilai budaya masyarakat
Madura yang terbiasa dengan penyelesaian berdasarkan musyawaearh hingga
menghasilkan kesepakatan berupa perdamaian. Hal ini mungkin cukup
mengherankan karena dalam kasus Carok terdapat kerugian yang sangat serius
yaitu hilangnya nyawa, bukan hanya sekedar luka ringan atau hilangnya harta
benda sebagaimana dalam tindak pidana ringan. Ternyata cara masyarakat Madura
memandang carok berbeda dengan pandangan masyarakat umum yang menilai
carok semata-mata adalah tindakan pembunuhan yang sadis.
Orang Madura akan membunuh siapapun ketika harga dirinya dilecehkan,
terutama dalam kaitannya dengan pembelaan keluarga (istri) dan agama. Menurut
mereka agama jelas membolehkan membunuh orang yang mengganggu istri
mereka. Hukum Negara melalui aparat hukumnya tidak melihat hal itu sebagai hal
25
yang sangat penting karena biasanya hukum Negara tidak mempertimbangkan
nilai adat dan agama dalam kaitannya dengan penghormatan harga diri. 25
Dalam praktik peradilan pidana Indonesia pun pernah terjadi perdamaian
yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menyatakan tindak pidana yang
terbukti tidak lagi merupakan suatu kejahatan ataupun pelanggaran, dan oleh
karenanya melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum. Keputusan yang pada
waktu itu merupakan suatu terobosan hukum itu dilakukan oleh hakim Bismar
Siregar dalam kasus Ny. Ellya Dado.26
3. Prinsip Kerja Mediasi Penal
Mediasi pidana yang dikembangkan bertolak dari ide dan prinsip kerja
(working principles) sebagai berikut:.27:
a) Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung): Tugas mediator
adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong
mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa
kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal, konflik itulah yang dituju
oleh proses mediasi,
b) Berorientasi pada proses (Process Orientation): Mediasi penal lebih
berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu menyadarkan pelaku
25
Mahrus Ali, Melampaui Positivisme Hukum Negara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013,
hal 58. Wawancara dengan Riyadi, warga Pamekasan, tanggal 26 Juni.
26
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, No.46/PID/78/UT/WANITA, 17
Juni 1978. Hakim Ketua Sidang: Bismar Siregar, SH.
27
Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Mediation
- a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany
and France, http://www.iuscrim.mpg.de/ orsch/krim/traenkle_e.html
26
tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan konflikterpecahkan, ketenangan
korban dari rasa takut dicapai, dll,
c) Proses informal (Informal Proceeding - Informalität): Mediasi penal
merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis serta
menghindari prosedur hukum yang ketat,
d) Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autono-mous
Participation - Parteiautonomie/Subjektivierung.
Sementara itu Vasso Artinopoulou menyebutkan hal pertama yang harus
dipastikan dalam mediasi penal adalah persetujuan, kesadaran dan dari kedua
pihak baik korban maupun pelaku untuk menempuh penyelesaian perkara di luar
pengadilan. Dengan adanya kesadaran dari para pihak untuk menempuh jalur
mediasi, maka para pihak tidak dilihat sebagai objek prosedur hukum acara pidana
tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan
kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri
dan mencapai win-win solution berdasarkan pertimbangan sendiri.
Prinsip kerja mediasi penal di atas dianggap senada dengan ide diversi
yang merupakan salah satu model penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan,
yang terutama sering diterapkan pada perkara yang melibatkan anak.28 Dari
prinsip-prinsip tersebut berkembanglah beberapa model mediasi.
Dalam
“Explanatory memorandum” dari Rekomendasi Dewan Eropa No.R 99/ 19 tentang
28
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak di
Indonesia. Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal 70.
27
“Mediation in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal
sebagai berikut29:
a.
Model "informal mediation"
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice
personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian
informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai
kesepakatan. Mediasi ini dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat
pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh hakim. Jenis
intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.
b.
Model "Traditional village or tribal moots"
Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik
pidana di antara warganya. Model ini ada di beberapa negara yang kurang
maju di wilayah pedesaan/ pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan
bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi
inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Program
mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari
pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur
masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.
29
http://search.conduit.comMediation in-Penal-Matters html di akses 5 Maret 2013
28
c.
Model "victim-offender mediation"
Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh
mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat
berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini
dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap pemeriksaan di
kepolisian, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan.
Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap
kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah
pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak
pidana; ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe pidana tertentu. Ada
yang treutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga
untuk delik-delik berat bahkan untuk residivis.
Model Victim-Offender Mediation adalah model yang di negara kita disebut
dengan mediasi penal karena mediasi penal terutama mempertemukan antara
‘pelaku tindak pidana’ dengan ‘korban’.
d.
Model ”Reparation negotiation programmes"
Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan
yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada
saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan
rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan
perbaikan materi. Dalam mpdel ini pelaku tindak pidana dapat dikenakan
29
program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/
kompensasi.
e.
Model "Community panels or courts"
Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari
penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan
informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
f.
Model "Family and community group conferences"
Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang
melibatkan partisipasi masyarakat dalam Sistem Peradilan Pidana. Model ini
tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga
pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan
hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan
menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta
dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan
berikutnya.
4. Dasar Hukum ADR atau Mediasi Penal di Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pada prinsipnya berdasarkan
hukum positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan melalui mediasi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa hanya melingkupi ranah hukum perdata (pasal 6 Undangundang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif. Meski begitu dalam
30
beberapa peraturan dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar
pengadilan, antara lain:
a) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Menurut
undang-undang ini, batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan
sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di
bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada
orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina
atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi
dibina oleh orang tua/ wali (Pasal 5 Undang-undang Pengadilan Anak).
Ketika pelaku adalah anak berusia di bawah delapan tahun, pelaku tidak dapat
diserahkan ke pengadilan dan dimungkinkan perkara diselesaikan di luar
pengadilan melalui mekanisme mediasi.
b) Dalam hal delik yang dilakukan berupa “pelanggaran yang hanya diancam
dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/ hak menuntut
delik pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda
maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan pasal 82 KUHP ini
dikenal dengan istilah “afkoop” atau “pembayaran denda damai” yang
merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan.
c) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM yang memberi
kewenangan pada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Keppres No. 50
31
Tahun 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (Pasal
1 ayat 7, Pasal 76 ayat 1, Pasal 89 ayat 4, Pasal 96).
d) Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009
tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR).
Kekuatan hukum Surat Kapolri memang tidak setara dengan kekuatan hukum
undang-undang, namun dapat dikatakan
Surat Kapolri ini adalah aturan
pertama yang secara tegas mengatur masalah mediasi penal meskipun secara
parsial dan terbatas sifatnya. Surat kapolri ini memerintahkan penyidik untuk
menyaring perkara mana yang harus dilimpahkan ke kejaksaan dan mana
yang lebih baik diselesaikan melalui ADR sebagai perwujudan restorative
justice.
e) Kemungkinan lain ada dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor
2 Tahun 2012 menentukan pencurian dibawah Rp 2.500.000,- tidak dapat
ditahan. Dalam Pasal 1, dijelaskan bahwa kata-kata "dua ratus lima puluh
rupiah" dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP dibaca
menjadi Rp 2.500.000,00 atau dua juta lima ratus ribu rupiah. Kemudian, pada
Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan, apabila nilai barang atau uang tersebut
bernilai tidak lebih dari Rp Rp 2.500.000,- Ketua Pengadilan segera
menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal
205-210 KUHAP dan Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun
32
perpanjangan penahanan. Meski begitu pencuri tidak dibebaskan. Perkara
pencurian yang dilakukan dapat diselesaikan secara kekeluargaan lalu
diproses hukum bila tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Dengan
adanya Perma ini terdakwa yang terlibat dalam perkara tipiring, walaupun
tidak berhasil menyelesaikan perkaranya denagn mediasi, dia tidak perlu
menunggu persidangan berlarut-larut sampai ke tahap kasasi seperti yang
terjadi pada kasus Nenek Rasminah, pencurian piring yang sampai Kasasi.
Selain itu untuk mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi
beban Lembaga Pemasyarakatan.
f) Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme ADR juga dapat didasarkan
pada Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan.
Beberapa ketentuan di atas memberi kemungkinan adanya penyelesaian
perkara pidana di luar pengadilan, namum bagaimanapun juga belum secara
eksplisit dan tegas merupakan mediasi penal seperti telah diuraikan di atas.
Penyelesaian di luar pengadilan dalam ketentuan di atas belum menggambarkan
secara tegas adanya mediasi yang dapat menjadi ‘sarana pengalihan/ diversi’
untuk dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana.
Begitu pula dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM
dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa
melalui pengadilan. Terutama dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yang
meskipun memberi kemungkinan dilakukannya mediasi, namun tujuan utama
33
PERMA ini adalah memberikan peradilan yang cepat bagi pelaku dan
mengekfektifkan pidana denda, bukan semata-mata mengatur tentang mediasi
yang berorientasi pada pemulihan kerugian korban. Selain itu tidak ditentukan
dengan tegas bahwa akibat adanya mediasi itu dapat menghapuskan penuntutan
atau pemidanaan.
Sebagai bahan komparasi, di beberapa negara lain mediasi penal sudah
mendapat pengaturan yang lebih tegas. Di Austria, Jerman, Finlandia, dan
Polandia mediasi penal ditempatkan sebagai bagian dari Undang-undang
Pengadilan Anak (The Juvenile Justice Act). Di Norwegia mediasi penal diatur
secara tersendiri dalam Undang-undang Mediasi (The Mediation Act), yang
diberlakukan untuk anak-anak maupun bagi orang dewasa.30 Menurut Pasal 90 g
KUHAP Austria, penuntut umum dapat mengalihkan perkara pidana dari
pengadilan apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya, siap melakukan ganti
rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul dan apabila terdakwa.
Tindak pidana yang dapat dikenakan diversi termasuk mediasi penal, apabila
diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun penjara atau 10 tahun penjara
untuk kasus anak.
Di Perancis, berdasarkan Undang-undang No. 4 januari 1993 yang
mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code Criminal Procedure), penuntut
30
Lihat Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa
di Luar Pengadilan, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Pertanggungjawaban Hukum
Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance”, Program Doktor Ilmu UNDIP, di Inter
Continental Hotel, Jakarta, 27 Maret 2007, dikutip dalam Setya Wahyudi, Op. Cit., hal 73.
34
umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dan korban, sebelum mengambil
keputusan dituntut tidaknya seseorang. Inti Pasal 41 CCP itu ialah: penuntut
umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan pelaku)
apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat memperbaiki
kerugian korban, mengakhiri kesusahan, dan membantu rehabilitasi pelaku.
Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan, namun
apabila berhasil penuntutan diberhentikan. 31
Pengaturan mengenai mediasi penal sudah tegas dan berkembang di
banyak negara karena sebenarnya wacana mediasi penal sudah cukup lama
menjadi isu dan perhatian dunia internasional. Salah satu ide dimasukkannya
ADR dalam penyelesaian perkara pidana ada dalam dokumen penunjang Kongres
PBB ke-9 Tahun 1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana
(dokumen A/CONF.169/6).
32
Dalam dokumen ini diungkapkan perlunya semua
negara mempertimbangkan “privatizing some law enforecement and justice
function” dan “alternative dispute resolution/ADR.” (berupa mediasi, konsiliasi,
restitusi dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana. Khususnya mengenai
ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai berikut:
“The techniques of mediation, consiliation and arbitration, which have been
developed in the civil law environment, may well be more widely applicable in
31
Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France,
http://www.mediationcobference.com.au/2006///_papers/Deborah%20Macfarlane%20%20VICTIM%20OFFENDER%20MEDIATION%20IN%20FRANCE1,dOC, dikutip dalam Setya Wahyudi,
Ibid.
32
Natangsa Surbakti, Gagasan Pemberian Maaf dalam Konteks Kebijakan Pembaharuan
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis Magister Hukum UNDIP, 2003, hal 24.
35
criminal law. For example, it is possible that some of the serious problems that
complex and lengthy cases involving fraud and white collar crime pose for courts
could be reduced, if not entirely eliminated, by applying principles developed in
conciliation and arbitration hearing. In particular, if the accused is a corporation
or business entity rather than an individual person, the fundamental aim of the
court hearing must be not 21 to impose punishment but to achieve an aoutcome
that is in the interest of society as a whole and to reduce the probability of
recidivism.”
Menurut kutipan di atas, ADR yang telah dikembangkan dalam linglungan
hukum perdata, seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum
perdata. Dicontohkan misalnya, untuk perkara-perkara pidana yang mengandung
unsur “fraud” dan “white collar crime” atau apabila terdakwanya adalah
korporasi/ badan usaga. Ditegaskan pula, apabila terdakwanya adalah korporasi
atau badan usaha, maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya
tidaklah menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi
kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan
terjadinya pengulangan tindak pidana (recidive).
Di Indonesia sebenarnya juga terdapat kemungkinan diaturnya mediasi
penal dalam suatu perundang-undangan secara tegas dan mengikat. Kemungkinan
ini dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tentang
Mediasi Penal pada Pasal 111 yang merumuskan sebagai berikut:
36
(1) Penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum.
(2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga
dilakukan atas dasar:
a. putusan hakim praperadian atas dasar permintaan korban/pelapor;
b. dicapainya penyelesaian mediasi antara korban/pelapor dengan tersangka.
(3) Tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;
b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4
(empat tahun);
c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;
d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh)
tahun;
e. kerugian sudah diganti;
(4) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e hanya
berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun;
(5) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), penyidik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada
atasan penyidik.
37
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian melalui mediasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Rancangan KUHAP tersebut menunjukkan kemungkinan mediasi penal
dapat digunakan sebagai alasan penyidik menghentikan suatu perkara pidana dan
kemungkinan adanya pengaturan mekanisme mediasi penal dalam peraturan
pemerintah. Pertanyaan yang dapat muncul terhadap rancangan di atas adalah
bagaimana jika keinginan perdamaian muncul tidak pada tingkat penyidikan,
namun pada tingkat selanjutnya yaitu penuntutan dan sidang pengadilan?
Selanjutnya, sebagaimana dalam mediasi untuk perkara perdata, mediasi
penal juga memerlukan mediator yang dapat mempengaruhi efektifitas dan
keberhasilan suatu perundingan damai. Salah satu pihak yang dapat menjadi
mediator dalam mediasi penal adalah penyidik berdasarkan Surat Kapori di atas.
Selain itu advokat juga dapat berperan sebagai mediator berdasarkan pada:
a) Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008. Dalam pasal ini
ditentukan bahwa selain hakim, advokat atau akademisi hukum dapat dipilih
oleh para pihak untuk menjadi mediator. PERMA ini memang mengatur
mediasi untuk perkara perdata namun pada dasarnya tugas mediator baik
dalam upaya penyelesaian perkara perdata maupun pidana pada dasarnya
sama jadi menentukan mediator untuk mediasi penal dapat mengacu pada
peraturan mahkamah agung ini.
38
b) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Bantuan
Hukum dalam pasal 4 menentukan bahwa bantuan hukum yang dapat
diberikan advokat meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata
usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Adapun bantuan hukum
nonlitigasi ini meliputi: penyuluhan hukum; konsultasi hukum; investigasi
perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik; penelitian hukum;
mediasi;
negosiasi;
pemberdayaan masyarakat;
pendampingan di luar
pengadilan; dan/atau drafting dokumen hukum.
5. Arti Penting Mediasi penal bagi Korban dan Pelaku Kejahatan
Meningkatnya perhatian terhadap pembinaan narapidana sering ditafsirkan
sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban. Reiff
melihat kurangnya perhatian pada korban dengan mengemukakan bahwa the
problem of crime, always gets reduced to ‘what can be done about criminals’,
nobody asks, ‘what can be done about victims?’ everyones assumes the best ways
to help the victim is to catch the criminal-as though the offenderis the only source
of the victim’s trouble.33 Maksudnya peradilan pidana hanya berorientasi pada
terdakwa. Penuntut dan hakim kerap hanya fokus untuk menentukan seberat apa
pelaku harus dihukum. Pada akhirnya penjatuhan pidana penjara sebagai bentuk
33
hlm 40.
J.E. Sahetapy, Victimology Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987,
39
nestapa pun tidak selalu relevan dengan apa yang sesungguhnya dibutuhkan
korban.
Keadilan restorative justice pada dasarnya menjadi kunci pembuka
pemikiran kembali tentang posisi korban dalam suatu penyelesaian perkara pidana.
Dalam sistem peradilan pidana peran korban kerap hilang karena adanya beberapa
kelemahan sistem peradilan seperti berikut34:
a. Tindak pidana lebih diartikan sebagai penyerangan terhadap otoritas
pemerintahan dan negara dibandingkan serangan kepada korban;
b. Korban hanya menjadi bagian dari sistem pembuktian dan bukan sebagai pihak
yang berkepentingan akan proses yang berlangsung;
c. Proses peradilan hanya difokuskan pada upaya penghukuman pelaku tanpa
melihat upaya perbaikan atas kerugian yang ditimbulkan dan mengembalikan
keseimbangan dalam masyarakat;
d. Dalam penyelesaiannya, fokus perhatian hanya diarahkan pada pembuktian
kesalahan pelaku, komunikasi hanya berlangsung antara hakim dan pelaku,
dialog antara pelaku dan korban sama sekali tidak ada.
Mediasi penal menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam
menangani tindak pidana. Dalam banyak kasus tertentu, berkaitan dengan
34
Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice dan Peradilan Pro Korban, Reparasi dan
Kompensasi Korban dalam Restorative Justice, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta,
2011, hal 28.
40
aspek kerugian korban, mediasi penal yang orientasinya memulihkan hak
korban dianggap lebih dapat memenuhi kepentingan dan rasa keadilan korban.
Mediasi Penal berupaya menciptakan dialog antara pelaku dan korban
karena memperhatikan kepentingan pelaku. Pelaku didorong untuk menyadari
kesalahannya dan memahami kerugian korban. Jika pelaku sudah menyadari hal
itu dan bertekad bertanggungjawab dan berbuat baik akan mudah pembinaanya.
Pelaku akan terhindar dari stigma yang akan dia peroleh jika mendapat status
sebagai narapidana. Sanksi berupa pemulihan terhadap hak korban akan
mengembangkan tanggung jawab pelaku. Menjalani hukuman penjara memang
merupakan bentuk tanggung jawab pelaku atas kejahatannya, namun dengan
menjalani pembinaan di penjara pelaku menjalani tanggung jawab secara pasif.
D. Diskresi Kepolisian
1. Pengertian Diskresi Kepolisian
Diskresi berasal dari bahasa Inggris ”discretion“ yang menurut kamus
umum yang disusun John M Echols, dkk., berarti kebijaksanaan, keleluasaan.35
Menurut kamus hukum diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan
dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. 36 Thomas J.
Aaron menyatakan bahwa diskresi artinya suatu kekuasaan atau wewenang yang
35
hlm 185.
36
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981,
J.C.T Simorangkir, dkk., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1980, hlm 45.
41
dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinannya dan lebih
menekankan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum. Sedangkan
menurut Barker konsep dari diskresi adalah wewenang yang diberikan hukum
untuk bertindak dalam situasi khusus sesusi dengan penilaian-penilaian dan kata
hati instansi atau pengawas itu sendiri.37
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diartikan bahwa diskresi
kepolisian adalah suatu wewenang untuk mengambil suatu keputusan pada kondisi
tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi dalam kapasitas petugas
polisi, untuk menentukan tindakan dari beberapa puluhan baik legal maupun
illegal. Meskipun didasarkan atas pertimbangan dan keyakinan pribadi, diskresi itu
dilakukan bukan lepas dari ketentuan hukum tapi tetap dilakukan dalam kerangka
hukum. Dalam pembicaraan tentang diskresi kepolisian ini,
M. Faal
mencontohkan polisi dapat melakukan tindakan penangkapan atau tidak terhadap
seseorang walau ia yakin telah ada bukti-bukti permulaan. Misalnya seorang
pelajar mencuri mangga orang lain, secara yuridis formal ia telah memenuhi
unsur-unsur tindak pidana, tetapi seorang polisi yang mengetahui tindak pidana itu
tidak bertindak untuk memprosesnya, hanya menasihati lalu melepasnya.38
Tindakan polisi itu seolah-olah mengabaikan ketentuan hukum positif.
Namun apabila kita kaji lebih jauh, tindakan itu justru sesuai dengan tujuan hukum
37
Barker dikutip dalam Riswanto, 2011, Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian
Perkara di luar Pengadilan, Tesis, Purwokerto, hal. 105.
38
M. Faal, Penyaringan Tindak Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,
Jakarta, 1991, hlm 16.
42
yaitu perlindungan terhadap setiap warga Negara. Polisi tersebut memutuskan
untuk tidak memproses pelajar itu karena pertimbangan bahwa penggunaan hukum
pidana bukan satu-satunya cara untuk menanggulangi kejahatan, terlebih terhadap
anak-anak.
2. Diskresi Kepolisian dalam Penegakkan Hukum
Diskresi sebagai salah satu wewenang yang diberikan kepada Polisi
Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan upaya pencapaian penegakan
hukum, dan diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum
itu sendiri. Di negara Belanda mengenai wewenang Kepolisian dinyatakan dengan
tegas oleh pengadilan tertinggi Hooge Raad dalam arrestnya pada tanggal 19
Maret 1917 bahwa tindakan polisi dapat dianggap rechmatig (sah) walaupun
tanpa“Speciale wettelijke machtinging” (pemberian kekuasaan secara khusus oleh
undang - undang ) dengan pembatasan harus didasarkan kepada wewenang umum
(elgemene bevoegdhied) dan harus termasuk lingkungan kewajiban - kewajiban
(plichmatigheid) dari pada si petugas itu.
Di Indonesia tercantum dalam Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia pasal 18, disebutkan :
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri”.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
43
perundang – undangan, serta kode etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia”.
Wewenang untuk melakukan tindakan yang diberikan kepada POLRI
umumnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : wewenang - wewenang umum
yang mendasarkan tindakan yang dilakukan polisi dengan azas Legalitas dan
Plichmatigheid yang sebagian bersifat preventif dan yang kedua adalah wewenang
khusus sebagai wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak
hukum khususnya untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dimana
sebagian besar bersifat represif.
Tindakan yang diambil oleh polisi menurut Skolnick didasarkan kepada
pertimbangan - pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan prinsip
kelembagaan, sebagai berikut:
a.
Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada
seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan.
b.
Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional dari polisi akan lebih terjamin
apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga menimbulkan rasa
tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum.
Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh polisi maka polisi memiliki
kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana
keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan
atau diperbolehkan oleh hukum. Meski begitu, diskresi bukanlah hal yang
sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi. Untuk mencegah tindakan
44
sewenang-wenang atau arogansi petugas tersebut yang didasarkan atas
kemampuan atau pertimbangan subyektif, menurut buku Pedoman Pelaksanaan
Tugas Bintara polisi maka tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:39
1.
Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan.
2.
Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3.
Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu
gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih
besar .
4.
Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan
keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar
kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.
Selain itu penerapan diskresi oleh polisi juga harus berdasar pada asas-asas
hukum (asas kemanfaatan, kepastian dan keadilan), konsistensi dengan misi
kepolisian
sebagai
pelayan
keamanan,
tidak
sewenang-wenang,
dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum maupun moral, serta dilakukan demi
kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi maupun organisasi. 40
3. Hubungan Diskresi Kepolisian dengan Penerapan Mediasi Penal
Adanya diskresi polisi dalam bentuk penyaringan perkara itu didasarkan
pada pemikiran bahwa di dalam kenyataannya hukum itu tidak seharusnya secara
39
132
40
MABESPOLRI, 2002, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI Di Lapangan, Jakarta, hal.
Chrysnanda Dwilaksana, 2001, Corak Diskresi dalam Proses Penyidikan Kecelakaan Lalu Lintas, UI,
Jakarta, hal. 36, dikutip dalam Riswanto, Op.Cit., hal. 85.
45
membabi buta diperlakukan kepada siapapun dalam kondisi apapun persis seperti
bunyi peraturan perundang-undangan. Diskresi kerap diterapkan pada tingkat
penyidikan dengan pertimbangan agar polisi yang berada dalam barisan paling
depan dalam sistem peradilan pidana tidak disibukkan oleh tumpukan perkara
yang seharusnya dapat diselesaikan tanpa proses di pengadilan. Saat polisi
menggunakan asas diskresinya, pada tahap itulah mediasi penal dapat terjadi.
Penerapan diskresi polisi yang berkaitan dengan penyelesaian perkara
pidana di luar pengadilan dapat kita lihat dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun
2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Perpolisian Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Tugas Kapolri, yang secara umum prinsip-prinsipnya
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Sebagai strategi yaitu model perpolisian yang menegakkan pada kemitraan
sejajar antara petugas polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan
dan mengatasi masalah sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban
masyarakat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan
akan kejahatan.
2.
Sebagai falsafah, Polmas mengandung makna sutau model perpolisian yang
menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial kemanusiaan dan
menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga
dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran fungsi
kepolisian dan peningkatkan kualitas hidup masyarakat.
46
3.
Upaya penegakkan hukum lebih diutamakan kepada sasaran peningkatan
kesadaran hukum daripada penindakan.
4.
Upaya penindakan hukum merupakan alternatif tindakan paling akhir bila
upaya pemecahan masalah bersifat persuasive tidak berhasil.
5.
Penerapan konsep Alternative Dispute Resolution yaitu pola penyelesaian
masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif yaitu menetralisir
masalah selain melalui proses hukum/ non litigasi (missal perdamaian).
Penerapan mediasi penal yang didasarkan pada dikresi kepolisian pun
semakin
dikuatkan
dengan
dikeluarkannya
Surat
Kapolri
No
Pol
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus
melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Pada surat Kapolri ini ditentukan
beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR, yaitu:
- Mengupayakan penanganan kasus yang mempunyai kerugian materi kecil,
penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR;
- Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh
pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru
diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional
dan proporsional;
- Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati
norma sosial/ adat serta memenuhi asas keadilan;
47
- Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak
lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan
Polmas.
E. Bantuan Hukum
1. Pengertian dan Konsep Bantuan Hukum
Konsep bantuan hukum yang berkembang di negara kita pada hakikatnya
tidak luput dari arus perkembangna hukum yang terdapat di negara-negara yang
sudah maju. Di dunia Barat pada umumnya, pengertian bantuan hukum
mempunyai ciri yang berbeda dalam istilah yang berbeda, seperti berikut ini 41:
-
Legal Aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang
yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara yang karakteristiknya:
a.
pemberian jasa hukum dilakukan dengan cuma-cuma,
b.
bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak
mampu dalam lapisan masyarakat miskin,
c.
dengan demikian motivasi utama dalam konsep legal aid adalah
menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi
rakyat kecil yang tak berpunya dan buta hukum.
-
Legal Assistance, yang mengandung pengertian lebih luas dari legal aid
karena pada legal assistance di samping mengandung makna memberi jasa
41
Yahya Harahap, Op., Cit., hal 333.
48
bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi
advokat, yang memberi bantuan:
a. baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi,
b. maupun kepada mereka yang miskin secara cuma-cuma.
-
Legal Service, istilah ini dapat kita terjemahkan dengan ‘pelayanan hukum’.
Konsep dan makna legal service lebih luas dari konsep dan makna legal aid
atau legal assistance, karena dalam legal service terkandung makna dan
tujuan:
a.
memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya
bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam
penegakkan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang
berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber
dana dan posisi kekuasaan,
b.
dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat
yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh
aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang
dibenarkan hukum tanpa membedakan yang kaya dan miskin,
c.
di samping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak
yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal service di dalam
operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap sengketa
dengan menempuh cara perdamaian,
49
Itulah pengertian bantuan hukum yang dijumpai dalam praktek di beberapa
negara. Mereka memisahkan istilah dan konsep bantuan hukum dalam tiga pola.
Sementara di Indonesia, jarang sekali ada pembedaan istilah tersebut dalam
pemberian bantuan hukum. kalangan profesi dan praktisi biasanya hanya
mempergunakan istilah ‘bantuan hukum’.
Menurut Adnan Buyung Nasution42, bantuan hukum pada dasarnya
meliputi segala pekerjaan dan servis yang diberikan oleh seorang advokat atau
pengacara terhadap kliennya, di dalam proses peradilan. Menurut Pratno
Koesoemo43, bantuan hukum adalah bantuan yang diberikan oleh ahli hukum
kepada seseorang baik di dalam maupun di luar pengadilan yang menyangkut
hukum. Menurut Yahya Harahap44, bantuan hukum berarti pemberian jasa di
bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara,
dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan
buta hukum. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal
1 angka 9, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara
cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.
Unsur klien yang tidak mampu sebagai penerima bantuan hukum juga
ditekankan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum. Hal ini dijelaskan pada Pasal 1 angka 1, bahwa bantuan hukum adalah
42
Adnan Buyung Nasution dalam Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 27.
43
Pratno Koesoemo dalam Soerjono Soekanto, Ibid, hlm 27.
44
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan
Penuntutan). Sinar Grafika: Jakarta Jakarta, hlm 363.
50
jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada penerima bantuan hukum. Adapun yang dimaksud penerima bantuan
hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang mana hal ini di terangkan
di ayat selanjutnya.
KUHAP tidak menyebutkan secara jelas tentang pengertian bantuan
hukum. Meski begitu terdapat pengaturan bantuan hukum berkaitan dengan
pemeriksaan tersangka atau terdakwa yang dirumuskan dalam Pasal 56 KUHAP
sebagai berikut:
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata
cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Dari berbagai definisi di atas terdapat perbedaan pada bagian ruang lingkup
pemberian bantuan hukum. Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa bantuan
hukum meliputi segala jasa yang diberikan oleh pengacara terhadap kliennya di
dalam proses peradilan, sedangkan yang lain berpendapat bahwa bantuan hukum
tidak hanya diberikan oleh pengacara dalam proses pengadilan, tapi juga di luar
pengadilan. Pendapat ini sejalan dengan Pasal 4 Undang-undang No. 16 Tahun
2001 tentang Bantuan Hukum yang merumuskan:
“Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi
maupun nonlitigasi dan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi,
mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum. “
2. Jenis Bantuan Hukum
51
Pembedaan antar jenis bantuan hukum akan sangat berguna bagi penelitian
mengenai korelasi antara berbagai faktor sosial dengan jenis-jenis bantuan hukum
tersebut. Penjenisan bantuan bantuan hukum akan dapat dijadikan pedoman, untuk
melakukan penelitian terhadapnya. Atas dasar pembedaan tertentu, akan dapat
diatasi masalah-masalah pokok seperti45:
1. Pihak-pihak manakah yang dapat memberikan jenis-jenis bantuan hukum
tertentu?
2. Keahlian apakah yang diperlukan bagi penyelenggaraan dan pemberian
bantuan hukum tertentu?
3. Pihak manakah yang membiayai bantuan hukum dan bagaimana caranya?
4. Bentuk-bentuk pendekatan interdisipliner yang bagaimana yang perlu
diterapkan?
5. Pada bentuk atau jenis bantuan hukum manakah yang harus diadakan
identifikasi terhadap karakteristik pihak yang berhak untuk menerima bantuan
hukum?
Menurut Schuyt, Groenendijk dan Sloot46, dibedakan antara lima jenis
bantuan hukum, sebagai berikut:
1. Bantuan Hukum Preventif yaitu penerangan dan penyuluhan hukum kepada
warga masyarakat luas.
2. Bantuan hukum diagnostic yaitu pemberian nasihat atau konsultasi hukum.
45
K. Schuyt dalam Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 27.
46
Ibid, hal. 27
52
3. Bantuan hukum pengendalian konflik yaitu bantuan hukum yang bertujuan
untuk mengatasi masalah hukum konkrit secara aktif.
4. Bantuan hukum pembentukan hukum yang intinya adalah untuk
memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas dan benar.
5. Bantuan hukum pembaharuan hukum yang usaha-usaha untuk mengadakan
pembaharuan hukum melalui hakim atau pembentuk undang-undang.
Adapun di Indonesia ada beberapa jenis bantuan hukum yang diberlakukan,
yaitu:
1. Bantuan Hukum Konvensional.
Bantuan ini adalah sebuah tanggungjawab moral ataupun profesional bagi
para advokat atau pengacara yang sifatnya meliputi individual, bersifat
pasif juga terbatas antara pendekatan formal atau juga legal. Bentuk
bantuan hukum konvensional adalah berupa pendampingan atau pembelaan
yang terjadi di pengadilan.
2. Bantuan Hukum Konstitusional.
Bantuan ini adalah bantuan khusus untuk para masyarakat yang miskin.
Semua itu dilakukan berdasarkan kepada kerangka usaha-usaha yang lebih
luas dari sekedar pelayanan hukum di pengadilan. Bantuan hukum ini
diorientasikan ke dalam sebuah sebuah perwujudan negara hukum
berlandaskan pada prinsip demokrasi dan juga Hak Asasi Manusia.
Bantuan hukum ini berdasarkan pada sebuah kewajiban dalam kerangka
menyadarkan semua orang sebagai subyek hukum yang sama-sama
53
mempunyai hak tanpa dibedakan dengan golongan lain. sifat dari bantuan
hukum ini adalah aktif dan tidak terbatas pada setiap individu juga kepada
formal legal.
3. Bantuan Hukum Struktural
Dalam bantuan hukum yang satu ini, bantuan hukum bukan hanya sebagai
tempat pelayanan bagi masyarakat miskin tapi juga menjadi gerakan untuk
melakukan pembebasan masyarakat dari segala belenggu dalam segala
struktur dari bidang ekonomi, politik, sosial, juga yang sampai saat ini
masih banyak yang mengisyaratkan penindasan. Dalam bantuan hukum
struktural, masyarakat miskin mendapatkan berbagai macam pengetahun
tentang semua hal yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan
bersama mereka, kemudian pemberian pengertian kepada mereka tentang
apa saja kepentingan dan hak yang harus dan perlu dilindungi oleh hukum.
Konsep bantuan hukum struktural dikembangkan oleh Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan cita-cita mewujudkan negara hukum
yang penuh dan menjamin keadilan sosial. Lembaga bantuan hukum yang pernah
diketuai oleh Adnan Buyung Nasution ini ingin agar para klien yang terjerat
masalah hukum tidak sepenuhnya bergantung pada pengacara dan dapat ikut
menyelesaikan permasalahannya.
3. Hak Masyarakat akan Bantuan Hukum
54
Hak atas bantuan hukum adalah bagian dari proses peradilan yang adil dan
inherent di dalam prinsip Negara hukum dan merupakan salah satu prinsip HAM
yang telah diterima secara universal. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menjamin persamaan kedudukan di
muka hukum dan dijabarkan dalam International Covenant on Civil dan Political
Rights (ICCPR) atau Konvensi Hak Sipil dan Politik.
Begitu pentingnya jaminan akan bantuan hukum membuat hak bantuan
hukum dikategorikan sebagai non-derogable rights (hak yang tak dapat dikurangi)
dan dijamin dalam Pasal 17, 18, 19 dan 34 Undang-undang No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Hak bantuan hukum juga merupakan hak
konstitusional, yang ditunjukkan dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan ketiga UUD
1945 dengan menegaskan adanya persamaan di hadapan hukum dan pernyataan
bahwa Indonesia sebagai negara hukum. Selain itu, Undang-undang No 14 tahun
1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan perubahannya
dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009, dalam Pasal 56 menyatakan setiap
orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Akhirnya perihal hak akan bantuan hukum diatur secara khusus dalam
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Meski begitu
berdasar pada Pasal 24, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai bantuan hukum
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam undang-undang ini.
55
F. Advokat dalam Penegakkan Hukum
1. Pengertian Advokat
Menurut Black’s Law Dictionary, kata advokat berasal dari kata latin yaitu
advocare yang berarti: seseorang yang membantu, mempertahankan, membela,
membela orang lain. Seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan hukum dan
berbicara untuk orang lain di hadapan pengadilan. Seseorang yang mempelajari
hukum dan telah diakui untuk berpraktik, yang memberikan nasihat kepada klien
dan berbicara untuk yang bersangkutandi hadapan pengadilan. Seorang asisten,
penasihat, atau pembicara untuk kasus-kasus.47
Selanjutnya Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
mendefinisikan advokat dalam pasal 1 angka (1) sebagai berikut:
“Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di
dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Dengan demikian dapat
disimpulkan cakupan advokat meliputi mereka yang melakukan
pekerjaan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.”
2. Peran dan Fungsi Advokat
Peran dan fungsi advokat dapat diketahui dari definisi advokat di atas, yaitu
sebagai pemberi bantuan hukum yang dilakukan di pengadilan dan di luar
pengadilan, mencakup seluruh masalah hukum publik maupun hukum privat.
47
55.
Henry Campbel Black, Blacks’s Law Dictionary, West Publishing Co., St.Paul, 1990, hlm
56
Secara normatif, Undang-undang Advokat telah menegaskan bahwa peran advokat
adalah
penegak
hukum.
Menegakkan
hukum
lazim
diartikan
sebagai
mempertahankan hukum atau “reshtshanhaving” dari setiap pelanggaran atau
penyimpangan. Hukum diartikan dalam arti yang luas, baik hukum sebagai produk
kekuasaan publik (law as command of the sovereign).
Secara sosiologis, ada suatu jenis hukum yang mempunyai daya laku lebih
kuat dibanding hukum yang lain. Didapati hukum sebagai produk kekuasaan
ternyata tidak sesuai dengan hukum yang nyata hidup dalam masyarakat. Berdasar
fenomena tersebut, maka peran advokat dalam menegakkan hukum akan
berwujud, yaitu48:
1. Mendorong penerapan hukum yang tepat untuk setiap kasus atau perkara
2. Mendorong penerapan hukum tidak bertentangan dengan tuntutan kesusilaan,
ketertiban umum dan rasa keadilan individual dan sosial.
3. Mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus perkara,
bukan sebaliknya menempuh segala cara agar hakim tidak netral dalam
menerapkan hukum. Karena itu salah satu asas penting dalam pembelaan,
apabila berkeyakinan seorang klien bersalah, maka advokat sebagai penegak
hukum akan menyodorkan asas “clemency” atau sekedar memohon keadilan.
Banyak orang beranggapan ruang lingkup pekerjaan advokat hanya
berkaitan dengan beracara di pengadilan atau pekerjaan litigasi. Sebetulnya masih
48
Bagir Mannan, Peran Advokat Mewujudkan Peradilan Yang bersih dan Berwibawa dalam Majalah
Hukum No. 240 September 2005
57
terdapat banyak pekerjaan advokat di luar bidang litigasi, yang disebut dengan
pekerjaan non-litigasi yang meliputi pemberian pelayanan hukum (legal service),
nasihat hukum (legal advice),pendapat hukum (legal opinion), menyusun kontrak
(legal drafting), memberikan informasi hukum dan membela dan melindungi hak
asasi manusia.49 Bentuk bantuan non litigasi lain yang diatur adalah penyuluhan
hukum;
investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;
penelitian hukum;
mediasi;
negosiasi;
pemberdayaan masyarakat;
pendampingan di luar pengadilan; dan/atau drafting dokumen hukum.
Pekerjaan non-litigasi di Indonesia memiliki kesamaan dengan tugas
socilitor, yaitu mereka yang dapat melakukan pekerjaan di bidang hukum tetapi
tidak tampil di pengadilan. Agak mirip dengan hal ini, fungsi advokat di Amerika
Serikat dapat dibagi ke dalam tiga jenis: advokat yang mewakili pekerjaan di
pengadilan; advokat sebagai penasihat; advokat sebagai juru runding.
3. Advokat sebagai Officium Nobile
Tugas advokat bukanlah merupakan pekerjaan (vocation beroep), tetapi
lebih merupakan profesi. Profesi advokat disebut sebagai profesi mulia (officium
nobile) sebagaimana hakim, jaksa, dan polisi yang wajib melakukan pembelaan
kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama,
budaya, kaya-miskin, keyakinan politik dan gender. Profesi advokat ini meliputi
unsur manusia dengan kualitas dan kualifikasi tertentu yang diperlukan untuk
menjalankan tugas profesinya. Selain itu, advokat juga dapat dilihat sebagai
49
V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2011, hlm 20.
58
institusi atau organisasi profesi yang bertanggung jawab dalam mengelola profesi
advokat serta memastikan bahwa setiap advokat memiliki kualitas dan kualifikasi
yang ditentukan.50
Advokat sebagai profesi mulia yang dalam menjalankan profesinya berada
di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan
yang didasarkan pada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh
pada Kemandirian, Kejujuran, kerahasiaan, dan Keterbukaan. 51 Dalam usaha
mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan
bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga penegak
hukum lainnya seperti pengadilan, jaksa dan kepolisian. Melalui jasa hukum yang
diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan
berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk
usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka
di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan
salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.
50
Jimly Asshiddiqie, Kitab Advokat Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hlm. xi
Kuat Puji Prayitno, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Kanwa Publisher,
Yogyakarta, 2010, hlm 96.
51
59
BAB III
Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini beranjak dari hukum acara pidana dalam hal penanganan
perkara pidana melalui jalur non-litigasi atau yang mulai dikenal dengan istilah
Mediasi Penal. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis,
yaitu metode yang mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan
masyarakat yang menekankan pada pencarian keajegan-keajegan empiris dengan
konsekuensi selain mengacu pada hukum tertulis juga mengadakan observasi
terhadap tingkah laku yang benar-benar terjadi.52
Dipilihnya penelitian kualitatif ini didasarkan alasan bahwa: (1) hukum
dalam penelitian ini diartikan sebagai makna-makna simbolik sebagaimana
termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga
masyarakat; (2) agar dapat mengungkap dan mendapatkan makna yang mendalam
dan rinci terhadap obyek penelitian dari informan.53 Dalam hal ini adalah maknamakna yang akan disimak adalah mengenai bagaimana peran advokat sebagai
pemberi bantuan hukum ketika ADR (mediasi) dipilih sebagai penyelesaian
perkara pidana, lalu bagaimana peran advokat dalam menerapkan mediasi penal
itu. Selain itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyimak makna dari
52
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1998, hlm 11.
53
Sutandyo Wignyosoebroto. 2006. Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan
Metode Penelitiannya. Makalah Lokakarya. Semarang: Yayasan Dewis Sartka. hlm. 2.
60
perilaku para pihak dalam mediasi penal berkaitan dengan bagaimana penerapan
mediasi penal, apa dasar tujuannya dan seperti apa hasil serta akibat hukumnya.
Dalam penelitian ini penulis akan fokus advokat mengenai keterlibatan
mereka dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Selain itu juga pada
pihak lain yang terlibat atau pernah terlibat dalam mediasi penal yaitu penyidik,
tersangka dan korban. Dengan narasumber tersebut diharapkan akan terbuka
informasi baru yang belum pernah terungkap sebelumnya.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu
penelitian yang bertujuan menggambarkan keadaan atau gejala dari objek yang
akan diteliti.54 Deskriptif dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek
atau obyek penelitian pada saat sekarang secara utuh berdasarkan fakta-fakta yang
nampak
sebagaimana
keadaannya.
Dalam
penelitian
ini
penulis
akan
menggambarkan perilaku advokat di wilayah hukum polresta Surakarta pada saat
penerapan mediasi penal sebagai bentuk pemberian bantuan hukum non-litigasi.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan mendasar pada
alasan-alasan, kemampuan pendanaan, dan keperluan informasi. Lokasi penelitian
54
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 9.
61
akan dilakukan di kantor advokat di Surakarta, Polresta Surakarta, dan kediaman
korban.
4. Sumber Data
Sumber data utama yang digunakan dalam penelitian yuridis sosiologis
adalah data primer dan sebagai pendukung digunakan data sekunder.
a. Data primer, adalah informasi dan pendapat yang didapat langsung atau
bersumber dari mereka yang berkaitan dengan penerapan mediasi penal.
Dalam penelitian ini narasumber yang berkaitan dengan penerapan mediasi
penal terutama adalah advokat yang memberi bantuan hukum di wilayah
hukum Polresta Surakarta, baik yang berasal dari kantor Pengacara maupun
Lembaga Bantuan Hukum di Solo. Selain itu sebagai data primer didukung
oleh informasi dan pendapat dari Penyidik Reserse Kriminal Kepolisian
Resor Surakarta, tersangka dan korban yang pernah terlibat dalam penerapan
mediasi penal.
b. Data sekunder, yakni data tertulis yang bersumber dari peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, karya-karya ilmiah serta dokumen-dokumen
yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Peraturan perundangundangan meliputi undang-undang dan peraturan daerah yang meskipun
tidak secara khusus mengatur tentang mediasi penal namun relevan dengan
penerapan dan kajian mediasi penal.
62
5. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara yang
terutama dilakukan dengan advokat. Wawancara akan dilakukan secara
terarah dan mendalam. Wawancara terarah maksudnya dalam wawancara
terdapat pengarahan atau struktur tertentu dengan membatasi aspek masalah
yang dibicarakan dan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah
dipersiapkan.55 Sedangkan wawancara mendalam dimaksudkan untuk
membangkitkan pernyataan-pernyataan bebas yang dikemukakan secara
berterus terang.56
2. Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka terhadap peraturan
perundang-undangan, buku-buku literatur, karya-karya ilmiah, serta
dokumen yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
6. Metode Penyajian Data
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari narasumber penelitian melalui
wawancara maupun data pendukung akan disajikan dalam bentuk teks naratif dan
disusun secara sistematis sebagai kesatuan yang utuh.
55
56
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., hal 60.
Ibid, hal 61.
63
7. Metode Penentuan Sampel
Proses pemilihan dan cara penetapan sampel dalam penelitian ini
menggunakan purposive sampling dengan criterian based selection. Melalui
pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan criterian based
selection, maka peneliti cenderung memilih narasumber yang dianggap tahu dan
dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalah
secara mendalam. Dalam penelitian ini, yang ditentukan sebagai sebagai sampel
dalam penelitian ini adalah advokat yang dianggap tahu, dapat dipercaya dan
memiliki pengalaman seputar penerapan dan permasalahan mengenai mediasi
penal. Dari beberapa advokat yang diwawancarai, diantaranya terdapat advokat
yang menjabat sebagai ketua organisasi advokat yang dianggap tidak hanya dapat
memberikan informasi mengenai penerapan mediasi penal yang dia lakukan
sendiri tapi juga informasi mengenai isu Mediasi Penal di kalangan advokat di
Solo pada umumnya. Selain itu sampel lain yang dipilih karena berkaitan dengan
penerapan mediasi penal adalah Penyidik Reserse Kriminal Kepolisian Resor
Surakarta, korban dan tersangka.
8. Metode Validitas Data
Cara yang digunakan untuk menguji validitas, keansihan, keabsahan atau
kebenararn data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan triangulasi. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber,
yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi
64
yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.
Menurut Moleong, triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data
dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.57
9. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif,
yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut,
logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Data yang diperoleh disusun secara
sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif, dengan menggunakan
teori-teori dalam hukum pidana formil, materil dan kriminologi, kemudian diambil
simpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.
57
Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT
Remaja Rosada Karya. hal. 330.
65
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian Peranan Advokat dalam Menerapkan Mediasi Penal sebagai
Alternatif Pernyelesaian perkara Pidana (Studi Penerapan Mediasi Penal di Wilayah
Hukum Polresta Surakarta) ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis atau
sosio-legal research. Dalam penelitian ini diperlukan data primer atau data empiris
dan data sekunder. Data primer yaitu data berupa informasi dan pendapat yang
diperoleh langsung dari advokat, penyidik, korban dan tersangka. Data sekunder
diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literatur dan doktrin yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti.
Peranan advokat yang diteliti oleh penulis adalah peranan advokat dalam
menerapkan mediasi atau penyelesaian perkara pidana luar pengadilan untuk
kliennya, baik pelaku maupun korban, sebagai suatu bentuk pemberian bantuan
hukum non-litigasi. Bab ini menyajikan hasil penelitian dan analisis data baik data
primer maupun data sekunder yang diperoleh selama penelitian di lapangan di lokasi
penelitian, dengan menggunakan metode kualitatif. Data sekunder akan disajikan
terlebih dahulu untuk mengetahui dasar dari peranan advokat dalam menerapkan
mediasi penal.
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Penelitian Data Sekunder
1.1.Mediasi sebagai Bantuan Hukum Non Litigasi
66
Ruang lingkup bantuan hukum yang diatur oleh Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah meliputi bantuan
hukum litigasi dan non litigasi. Hal ini diatur dalam Pasal 4 Undang-undang
Nomor 16 tahun 2011 yang merumuskan sebagai berikut:
(1)
(2)
(3)
Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum
yang menghadapi masalah hukum.
Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara
baik litigasi maupun nonlitigasi.
Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela,
dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan
hukum Penerima Bantuan Hukum.
Baru-baru ini, perihal bantuan hukum litigasi dan non litigasi telah
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang
Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana
Bantuan Hukum. Dalam peraturan ini litigasi didefinisikan sebagai proses
penanganan Perkara hukum yang dilakukan melalui jalur pengadilan untuk
menyelesaikannya. Pemberian Bantuan Hukum secara Litigasi dilakukan oleh
Advokat yang berstatus sebagai pengurus Pemberi Bantuan Hukum dan/atau
Advokat yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum. Pasal 16 dalam
peraturan ini menentukan pemberian bantuan hukum litigasi meliputi:
a. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dan
tingkat penyidikan, dan penuntutan;
b. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses
pemeriksaan di persidangan; atau
c. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima
Bantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
67
Adapun menurut Pasal 1 ayat 9 bantuan hukum non litigasi adalah
proses penanganan Perkara hukum yang dilakukan di luar jalur pengadilan
untuk menyelesaikannya. Pemberian bantuan hukum secara non litigasi dapat
dilakukan oleh advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum
dalam lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus verifikasi dan
akreditasi. Pasal 16 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013
menentukan sebagai berikut:
Pemberian Bantuan Hukum secara Nonlitigasi meliputi kegiatan:
a. penyuluhan hukum;
b. konsultasi hukum;
c. investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;
d. penelitian hukum;
e. mediasi;
f. negosiasi;
g. pemberdayaan masyarakat;
h. pendampingan di luar pengadilan; dan/atau
i. drafting dokumen hukum.
Dari ketentuan peraturan pemerintah di atas dapat kita ketahui bahwa
mediasi adalah salah satu bentuk bantuan hukum non litigasi. Lalu apakah
relevansinya dengan penerapan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian
perkara pidana di luar pengadilan?
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan (damai) para pihak dengan dibantu oleh
mediator (Pasal 1 butir 7 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan). Berdasarkan pada rumusan pengertian mediasi, baik
pengertian menurut PERMA di atas maupun menurut para ahli yang telah
68
diuraikan pada bab sebelumnya, dapat kita simpulkan unsur-unsur mediasi
adalah :
a. merupakan suatu proses penyelesaian sengketa berdasarkan
kesukarelaan melalui suatu perundingan
b. adanya mediator yang terlibat dan diterima oleh para pihak untuk
membantu mencari penyelesaian
c. mediasi bertujuan menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima
pihak-pihak yang bersengketa.
Dari pengertian mediasi dan uraian unsur-unsur di atas, tidak
ditemukan adanya pembatasan mengenai ruang lingkup pelaksanaan mediasi
hanya untuk sengketa perdata. Selain itu, berdasarkan Pasal 4 Undang-undang
Bantuan Hukum di atas, bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan
hukum yang menghadapi masalah hukum yang meliputi masalah hukum
keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik secara litigasi maupun non
litigasi. Dengan demikian mediasi sebagai bantuan hukum non-litigasi dapat
diberikan kepada klien yang sedang menghadapi masalah hukum perdata,
pidana maupun tata usaha negara.
Satu-satunya peraturan di Indonesia yang mengatur mediasi secara
eksplisit adalah Pertauran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan dan dalam peraturan ini mediasi dimaksudkan
untuk menyelesaikan sengketa perdata. Meski begitu, dengan adanya
ketentuan Pasal 4 Undang-undang Bantuan Hukum, maka mediasi
69
dimungkinkan untuk diterapkan tidak hanya untuk masalah hukum perdata
namun juga pidana dan tata usaha negara. Hal ini memang bukan berarti Pasal
4 di atas memberi legitimasi pada Mediasi Penal, melainkan menegaskan
bahwa pemberian bantuan hukum tidak hanya sebatas memberikan pelayanan
hukum secara litigasi namun juga secara non litigasi, yang salah satu
bentuknya adalah mekanisme mediasi.
Selanjutnya, berkaitan penerapan
mediasi penal untuk menyelesaikan perkara pidana dengan peran advokat,
peran advokat dalam penelitian ini adalah dalam konteks pemberian bantuan
hukum non litigasi dalam bentuk mediasi.
1.2.Advokat sebagai Pemberi Jasa Hukum dan Bantuan Hukum
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
menentukan bahwa kriteria pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan
hukum atau organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum, terakreditasi,
memiliki kantor atau sekretariat tetap, memiliki pengurus dan memiliki
program bantuan hukum.
Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan-ketentuan undang-undang. Menurut Undang-undang Nomor 18
Tahun 2003, yang disebut dengan jasa Hukum adalah jasa yang diberikan
70
Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien (Pasal 1 ayat 2). Salah satu jasa hukum
yang diberikan advokat adalah pemberian bantuan hukum, yaitu jasa hukum
yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada klien
yang menghadapi masalah hukum, baik masalah hukum perdata, pidana
maupun tata usaha Negara. Selain itu jasa hukum dan bantuan hukum yang
dapat diberikan oleh advokat tidak hanya secara litigasi melainkan juga non
litigasi. Hal ini sesuai dengan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (9) Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, bahwa pemberian
bantuan hukum secara non litigasi (salah satunya adalah mediasi), dapat
dilakukan oleh advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum
dalam lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus verifikasi dan
akreditasi.
Jasa hukum yang berkaitan dengan mediasi atau perdamaian
dikemukakan oleh Soemarno P. Wirjanto. Menurut Soemarno P. Wirjanto,
tugas advokat ada tiga macam, yaitu:
a. Sebagai procurator, yaitu mewakili dan membantu kliennya di
dalam segala pekerjaan yang diperlukan untuk mempersiapkan
perkara pengadilan sehingga siap untuk diputus hakim;
71
b. Sebagai pleader atau pleiter, yaitu mengucapkan pledoi, presentasi
fakta-fakta, argumentasi hukum, sehingga hakim mendapat
pandangan yang tepat terhadap fakta-fakta suatu perkara dan
hukum yang berlaku untuk itu;
c. Sebagai juris-consult, yaitu memberi nasehat hukum di luar
peradilan, membantu dengan atau membuat akta-akta hukum,
perdamaian hukum dan lain-lain58.
1.3.Advokat sebagai Mediator
Advokat sebagai pemberi jasa hukum dan bantuan hukum non litigasi
dalam bentuk mediasi dimungkinkan berperan sebagai mediator. Peraturan
yang secara eksplisit mengatur advokat sebagai mediator adalah PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan. Pasal 8 Ayat 1
PERMA Nomor 1 tahun 2008 menentukan sebagai berikut:
Para pihak berhak memilih mediator diantara pilihan-pilihan
berikut ini:
a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang
bersangkutan;
b. Advokat atau akademisi hukum
c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau
berpengalaman dalam pokok sengketa;
d. Hakim majelis pemeriksa perkara;
e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d,
atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.
PERMA ini memang mengatur mediasi untuk perkara perdata namun
pada dasarnya tugas mediator baik dalam upaya penyelesaian perkara perdata
maupun pidana pada dasarnya sama jadi menentukan mediator untuk mediasi
penal dapat mengacu pada peraturan mahkamah agung ini.
58
Djoko Prakoso, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan
, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 86
72
Selanjutnya berkaitan dengan tugas mediator, Pasal 24 PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 menyatakan:
(1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati
pedoman perilaku mediator.
(2) Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada 11 Februari 2010 Ketua
Mahkamah Agung telah menetapkan Pedoman Perilaku Mediator yang
dalam Pasal 6 ayat (3) menyatakan:
“Seorang mediator yang berpotensi sebagai advokat dan rekan pada
firma hukum yang sama dilarang menjadi penasihat hukum salah satu
pihak dalam sengketa yang sedang ditangani baik selama maupun
sesudah proses mediasi.“
Jadi Pedoman Perilaku Mediator itu melarang seorang mediator untuk
menjadi penasihat hukum (advokat) dari salah satu pihak yang bersengketa
dalam mediasi. Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa jika
seorang mediator sekaligus bertindak sebagai penasihat hukum salah satu
klien dimungkinkan akan muncul konflik kepentingan. Hal ini menarik untuk
diperhatikan karena pada praktiknya seorang Advokat, dalam memberikan
Jasa Hukum kepada klient diluar persidangan, terlebih dahulu membuat surat
somasi kepada pihak lawan untuk Negosiasi guna mencari penyelesaian.
Negosiasi ini merupakan tahap tawar – menawar antara pihak – pihak yang
bersengketa, dimana pihak yang satu dalam hal ini Advokat berhadapan
73
dengan pihak kedua dan berusaha untuk mencapai titik kesepakatan tentang
persoalan tertentu yang dipersengketakan. Lalu sebagai kelanjutan proses
negosisi, advokat juga memberikan jasa hukum kepada klien dengan cara
mediasi.
1.4.Kebijakan Penerapan ADR (Mediasi) sebagai Penyelesaian Perkara
Pidana
Berkembangnya ide Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana
mendorong munculnya kebijakan penerapan Alternative Dispute Resolution
(ADR) sebagai Penyelesaian Perkara Pidana. Untuk beberapa tindak pidana
penyelesaian perkara melalui mekanisme ADR, terutama dengan mediasi,
dianggap dapat lebih memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan serta sejalan
dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Beberapa kebijakan
penerapan ADR dalam bentuk mediasi tertuang dalam beberapa peraturan di
bawah ini:
a. Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute
Resolution (ADR).
Kekuatan hukum Surat Kapolri memang tidak setara dengan
kekuatan hukum undang-undang, namun dapat dikatakan Surat Kapolri
ini adalah aturan pertama yang secara tegas mengatur masalah mediasi
penal meskipun secara parsial dan terbatas sifatnya. Surat kapolri ini
74
memerintahkan penyidik untuk menyaring perkara mana yang harus
dilimpahkan ke kejaksaan dan mana yang lebih baik diselesaikan melalui
ADR sebagai perwujudan restorative justice. Pada surat Kapolri ini
ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR,
yaitu:
- Mengupayakan penanganan kasus yang mempunyai kerugian
materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep
ADR;
- Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus
disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak
terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional;
- Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus
menghormati norma sosial/ adat serta memenuhi asas keadilan;
- Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR
agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra
produktif dengan tujuan Polmas.
b. Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Sebenarnya undang-undang ini tidak mengatur alternatif mediasi
secara tegas, namun terdapat kemungkinan mediasi dapat dilakukan
terhadap pelaku tindak pidana dnegan usia di bawah delapan tahun.
Menurut undang-undang ini, batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke
pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun.
Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali
anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila
dipandang masih dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial
apabila dipandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/ wali (Pasal 5
75
Undang-undang Pengadilan Anak). Ketika pelaku adalah anak berusia di
bawah delapan tahun, pelaku tidak dapat diserahkan ke pengadilan dan
dimungkinkan perkara diselesaikan di luar pengadilan melalui mekanisme
mediasi.
Upaya
penyelesaian
melalui
ADR
merupakan
bentuk
perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana dan pada praktiknya, di
Mojokerto, pelaku anak dengan usia di atas delapan tahun pun pernah
diupayakan penyelesaian secara mediasi. Hal ini dilakukan karena
berkembangnya konsep restorative justice dan ide diversi pemidanaan
pelaku anak.
c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM
memberi kewenangan pada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar
Keppres No. 50 Tahun 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus
pelanggaran HAM (Pasal 76 ayat 1). Mediasi adalah salah satu cara
Komnas HAM dalam menangani kasus HAM dan berkaitan dengan
pengalaman ini Komnas HAM telah menerbitkan buku berjudul ‘Belajar
dari Pengalaman: Praktik Mediasi Hak Asasi Manusia’.
Beberapa
ketentuan
di
atas
memberi
kemungkinan
adanya
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namum bagaimanapun juga
belum secara eksplisit dan tegas merupakan mediasi penal seperti telah
diuraikan dalam penelitian ini. Penyelesaian di luar pengadilan dalam
ketentuan di atas belum menggambarkan secara tegas adanya mediasi yang
76
dapat menjadi ‘sarana pengalihan/ diversi’ untuk dihentikannya penuntutan
maupun penjatuhan pidana.
Sebagai bahan komparasi, di beberapa negara lain mediasi penal sudah
mendapat pengaturan yang lebih tegas. Di Austria, Jerman, Finlandia, dan
Polandia mediasi penal ditempatkan sebagai bagian dari Undang-undang
Pengadilan Anak (The Juvenile Justice Act). Di Norwegia mediasi penal
diatur secara tersendiri dalam Undang-undang Mediasi (The Mediation Act),
yang diberlakukan untuk anak-anak maupun bagi orang dewasa.59 Menurut
Pasal 90 g KUHAP Austria, penuntut umum dapat mengalihkan perkara
pidana dari pengadilan apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya, siap
melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul.
Tindak pidana yang dapat dikenakan diversi termasuk mediasi penal, apabila
diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun penjara atau 10 tahun penjara
untuk kasus anak.
Di Perancis, berdasarkan Undang-undang No. 4 januari 1993 yang
mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code Criminal Procedure),
penuntut umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dan korban, sebelum
mengambil keputusan dituntut tidaknya seseorang. Inti Pasal 41 CCP itu
ialah: penuntut umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan
59
Lihat Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Pertanggungjawaban Hukum Korporasi
dalam Konteks Good Corporate Governance”, Program Doktor Ilmu UNDIP, di Inter Continental
Hotel, Jakarta, 27 Maret 2007, dikutip dalam Setya Wahyudi, Op. Cit., hal 73.
77
korban dan pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang
dapat memperbaiki kerugian korban, mengakhiri kesusahan, dan membantu
rehabilitasi pelaku. Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru
dilakukan, namun apabila berhasil penuntutan diberhentikan. 60
2. Hasil Penelitian Data Primer
Narasumber dalam penelitian ini adalah advokat, penyidik serta korban
suatu tindak pidana dan dilakukan di kota Surakarta. Wawancara dilakukan secara
terarah dan mendalam. Wawancara terarah maksudnya dalam wawancara terdapat
pengarahan atau struktur tertentu dengan membatasi aspek masalah yang
dibicarakan dan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan.
Sedangkan
wawancara
mendalam
dimaksudkan
untuk
membangkitkan
pernyataan-pernyataan bebas yang dikemukakan secara berterus terang.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap narasumber di kota tersebut maka
diperoleh data sebagai berikut:
2.1. Peranan Advokat dalam menerapkan Mediasi Penal sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Pidana
2.1.1 Pandangan Advokat mengenai Mediasi Penal
Dari hasil wawancara dengan advokat-advokat di Surakarta,
sebagian besar mengetahui wacana dan ide mediasi sebagai alternatif
60
Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France,
http://www.mediationcobference.com.au/2006///_papers/Deborah%20Macfarlane%20%20VICTIM%20OFFENDER%20MEDIATION%20IN%20FRANCE1,dOC, dikutip dalam Setya Wahyudi,
Ibid.
78
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Meski begitu tidak semua
mengetehui
dan
menggunakan
menerapkannya. Dalam
istilah
Mediasi
Penal
ketika
wawancara dengan penulis, M. Taufik, S.H,
M.H., mengemukakan persetujuannya pada penerapan konsep Restorative
Justice yang salah satu perwujudannya adalah berupa mekanisme mediasi
penal. Menurut M. Taufik proses peradilan pidana yang hanya berorientasi
pada pemenjaraan pelaku dengan mengabaikan kebutuhan korban adalah
sistem pemidanaan yang sudah kuno. Penegakkan hukum haruslah
memperhatikan kemanfaatan bagi para pihak. Penegakkan hukum pidana
tidak seharusnya dilakukan secara kaku persis sesuai dengan bunyi pasal,
karena hukum itu untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Penerapan
mediasi penal untuk tindak pidana tertentu tidak hanya dapat memberi
kemanfaatan bagi para pihak yang berperkara namun juga memberi
manfaat
ekonomis
bagi
Negara.
Ketika
mediasi
penal
berhasil
menyelesaikan perkara pidana, maka akan mengurangi pemenjaraan yang
berarti mengurangi juga beban biaya persidangan dan kehidupan terpidana
di penjara. Dengan pemikiran ini, M. taufik menyatakan perlunya mediasi
penal dan bahkan memungkinkan penerapannya tidak hanya untuk tindak
pidana ringan. Selain itu M. Taufik juga menyarankan agar mediasi penal
mendapat pengaturan khusus dan tegas baik dalam KUHAP yang baru
ataupun PERMA61.
61
Hasil wawancara dengan M. Taufik, S.H, M.H., Advokat DPC PERADI Kota Surakarta
79
Advokat lain, MT. Heru, S.H, M.H., Ketua DPC IKADIN,
berpendapat bahwa sudah seharusnya penyelesaian perkara pidana secara
non litigasi secara kekeluargaan selalu dicoba sebagai upaya mewujudkan
asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pihak terkait seperti
polisi pun harus memperhatikan hal ini, tidak semua perkara harus
dilimpahkan ke kejaksaan62. Harsono, S.H, M.H., juga berpendapat bahwa
dalam beberapa kasus penerapan mediasi penal dapat lebih memberi
kemanfaatan dan keadilan. Diapun sering berupaya menempuh jalur litigasi
ketika memberikan bantuan hukum baik bantuan hukum individual
maupun struktural.63 Advokat lainnya, M. Moehani, S.H., mengemukakan
bahwa upaya penyelesaian secara kekeluargaan penting untuk selalalu
ditempuh baik untuk perkara perdata mapun pidana dan M. Moehani
sendiri juga sudah memasukkan mediasi sebagai salah satu jasa pelayanan
hukumnya.64
Sementara itu, advokat Ratno, S.H., yang menyatakan tidak begitu
mengetahui dan tidak begitu menyetujui ide mediasi untuk menyelesaikan
perkara pidana di luar pengadilan. Menurut Ratno pelayanan hukum yang
dia lakukan menjunjung asas kepastian hukum sehingga dalam hal mediasi
pada hari Senin, tanggal 15 April 2013.
62
Hasil wawancara dengan M. T. Heru, S.H, M.H., Advokat dan Ketua DPC IKADIN Kota
Surakarta pada hari Rabu, tanggal 17 April 2013.
63
Hasil wawancara dengan Harsono, S.H, M.H., Advokat dan Ketua DPC PERADI Kota
Surakarta pada hari Senin 22 April 2013.
64
Hasil wawancara dengan M. Mohani,. S.H., Advokat DPC PERADI Kota Surakarta pada
hari Kamis, tanggal 18 April 2013.
80
hanya dapat diterapkan pada perkara perdata yang telah diatur secara tegas
dalam peraturan Mahkamah Agung65.
2.1.2 Peranan Advokat dalam Mediasi Penal
Hasil penelitian dengan metode wawancara terhadap beberapa
advokat dan penyidik menunjukkan bahwa Mediasi Penal di Kota
Surakarta dapat dilakukan pada saat tahap penyidikan di kepolisian
maupun sebelum tahap penyidikan, yaitu pada tahap penyelidikan atau
pada saat perkara baru dilaporkan. Baik pada tahap penyidikan maupun
sebelum penyidikan terdapat peranan advokat dalam pemilihan dan
penyelenggaraan penyelesaian perkara secara non litigasi. Peranan yang
dilakukan advokat adalah mendorong atau mengusulkan pemilihan
penyelesaian perkara secara non litigasi, menfasilitasi penyelenggaraan
mediasi penal, dan menjadi mediator.
Peran advokat dalam mendorong penerapan mediasi penal salah
satunya dilakukan pada awal tahun 2013 terjadi pencurian yang dilakukan
oleh seorang pelajar. Pelajar yang melakukan pencurian di sebuah toko ini
pun ditetapkan sebagai tersangka dan sudah sempat ditahan. Advokat M.
Taufik, S.H., yang pada waktu itu mendampingi anak ini melihat adanya
kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara non litigasi mengingat
nilai kerugian korban yang masih dapat dipulihkan serta kondisi tersangka
65
Hasil wawancara dengan Ratno,. S.H., Advokat DPC PERADI Kota Surakarta pada hari
Senin, tanggal 15 April 2013
81
yang masih anak-anak dan akan menghadapi Ujian Nasional. Pada saat
inilah pendamping hukum berperan untuk mendorong dipilihnya
penyelesaian perkara pidana secara non litigasi dikepolisian dengan cara
mengajukan usulan dan bernegosiasi dengan penyidik. Dalam penerapan
mediasi ini advokat berperan mewakili tersangka melakukan perundingan
dengan pihak toko sebagai korban dan difasilitasi oleh penyidik sebagai
mediator, hingga akhirnya tercapai kesepakatan damai.66
Selain berperan mendorong penerapan mediasi penal, advokat juga
berperan sebagai mediator terutama jika perkara belum memasuki tahap
penyidikan. Advokat M. Mohani., S.H., mengemukakan bahwa ketika
klien pertama kali datang, baik dalam perkara perdata maupun pidana,
tindakan yang pertama kali dilakukan adalah membuat somasi atau
peringatan. Dalam perkara pidana maka somasi diberikan dari pihak korban
terhadap pelaku yang isinya adalah tawaran menyelesaikan perkara melalui
mediasi. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk dari jasa hukum dan
bantuan hukum non litigasi. Selain itu peran advokat dalam menjadi
mediator juga didasarkan pada keinginan para pihak untuk berupaya
mencapai kesepakatan win-win solution melalui jalur non litigasi.67
Advokat M.T. Heru., S.H., M.H., yang juga seorang mediator
mengemukakan bahwa berdasarkan pengalamannya, spirit dari mediator
66
67
Hasil wawancara dengan M.Taufik., S.H., M.H., Op.Cit.,
Hasil wawancara dengan Advokat M. Mohani, S.H., Op. Cit.,
82
dalam mediasi penal biasanya lebih dari hakim mediator pada mediasi
perdata. Advokat yang menjadi mediator dalam mediasi penal lebih
bersikap aktif mendorong para pihak dalam merundingkan kesepakatan
damai dibanding hakim mediator yang cenderung menganggap mediasi
perdata hanya sebatas prosedur sebelum memasuki tahap sidang di
pengadilan. Hal ini juga salah satunya dikarenakan mediator dalam mediasi
penal dapat menerapkan honorarium atas jasa hukum non litigasinya itu. 68
Dalam praktiknya mediasi selalu ditempuh sebagai upaya awal
penyelesaian
perkara
pidana.
Advokat
menyarankan
penggunaan
penyelesaian di luar pengadilan kepada para pihak dan secara aktif
berperan dalam penyelenggaraan mediasi penal. Mediasi Penal biasanya
dilakukan di kepolisian, di kantor advokat atau ditempat lain sesuai
keinginan para pihak. Kantor Advokat Heru Buwono and Partners telah
memberikan jasa hukum dan bantuan hukum selama tujuh tahun dan
selama waktu itu sebanyak 60% perkara pidana dapat menemukan
diselesaikan melalui jalur non litigasi.69
Advokat Harsono., S.H., M.H., mengemukakan bahwa mediasi
penal biasanya dia terapkan sebagai bentuk pemberian bantuan hukum
struktural,
pada
kasus
tindak
pidana
lingkungan
atau
kasus
ketenagakerjaan. Dalam bantuan hukum struktural maupun individual
68
69
Hasil wawancara dengan M. T. Heru,. S.H., M.H., Op. Cit.,
Ibid.
83
advokat bertindak secara aktif mengupayakan mediasi, terutama untuk
tindak pidana yang dimensinya perdata selama perkara belum P21 yang
artinya berkas lengkap dan siap dilimpahkan ke kejaksaan. Selama belum
P21 mediasi dapat dilaksanakan setelah advokat mengusulkan alternatif
mediasi pada penyidik, lalu penyidik memberi ruang. 70 Tidak semua
advokat memasukkan mediasi penal sebagai upaya awal penyelesaian
sengketa. Menurut advokat Yusuf., S.H., advokat berperan dalam mediasi
penal ketika atas inisiatif pihak dipilih mekanisme mediasi penal dan para
pihak menyepakati untuk difasilitasi oleh advokat. Selanjutnya yang
bertindak sebagai mediator bisa advokat, polisi atau tokoh masyarakat. 71
2.1.3 Dasar Penerapan Mediasi Penal
Dalam beberapa praktik, mediasi penal dilaksanakan atas dasar
usulan advokat terhadap kliennya, baik korban maupun pelaku. Advokat
secara aktif mengupayakan penyelesaian di luar pengadilan dengan
memasukkan mediasi sebagai tahap awal penyelesaian perkara pidana. Hal
ini menurut advokat MT. Heru S.H.,M.H. perlu untuk selalu dicoba
mengingat dari manfaat dan keuntungan dari mediasi penal terhadap
penegakkan hukum, terutama terhadap korban. Selain itu jasa hukum dan
bantuan hukum yang diberikan oleh advokat seharusnya tidak hanya
70
Hasil wawancara dengan advokat Harsono,. S.H.,M.H., Advokat dan Ketua DPC PERADI
Kota Surakarta pada hari Senin, tanggal 22 April 2013.
71
Hasil wawancara dengan advokat Yusuf., S.H., Advokat LPH YAPHI dan dari DPC
PERADI Kota Surakarta pada tanggal 22 April 2013
84
sebatas mendampingi di muka persidangan.72 Setiap kasus yang akan
ditangani sebaiknya ditelaah mengenai kemanfaatan dan keadilannya
apakah lebih baik dipilih jalur litigasi atau non litigasi sebagai
penyelesaiannya. Secara kasuistis advokat akan aktif mengupayakan
penerapan mediasi penal baik dengan mengusulkannya pada korban dan
pelaku maupun pada pihak kepolisian.73
Advokat lainnya tidak selalu aktif mengusulkan mediasi penal
melainkan bergantung pada kehendak dan inisiatif para pihak baik korban
maupun pelaku. Dengan demikian dasar lain dari dilaksanakannya mediasi
penal adalah inisiatif korban dan pelaku yang lebih menghendaki jalan
damai. Menurut Misfan Fitriana, seorang korban tindak pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT), meskipun menderita kerugian dan tahu
bahwa pelaku seharusnya dapat dituntut di muka pengadilan, namun dalam
hatinya lebih menghendaki penyelesaian di luar pengadilan, dimana dirinya
dapat turut serta menentukan isi kesepakatan. 74 Selanjutnya korban atau
pelaku meminta advokat untuk membantu memfasilitasi penerapan mediasi
penal.75
Inisiatif dan kehendak dari para pihak seringkali masih bergantung
pada kebijaksanaan pihak kepolisian. Terlebih jika perkara sudah sampai
72
Hasil wawancara dengan MT. Heru., Op.Cit.
Disarikan dari hasil wawancara M. Taufik., S.H.,M.H dan M. Mohani., S.H., Op.Cit.
74
Hasil wawancara dengan Misfan Fitriana, korban tindak pidana KDRT, di Semanggi,
Surakarta, pada hari Senin, 22 April 2013.
75
Hasil wawancara dengan M. Mohani., S.H., Op. Cit.
73
85
pada tahap pemeriksaan di penyidikan dan berkas sudah siap untuk
dilimpahkan ke kejaksaan. Dengan begitu salah satu dasar dilaksanakannya
mediasi penal adalah diskresi polisi. Ketika suatu perkara dinilai lebih
mendapat kemanfaatan dan keadilan bila diselesaikan dengan mediasi
penal, pelaku menyatakan siap bertanggung jawab dan korban memerlukan
pemulihan kerugian, maka polisi dapat memutuskan untuk melakukan
penyelesaian di luar pengadilan.76 Keputusan polisi yang demikian itu juga
merupakan
implementasi
dari
Surat
Kapolri
No.
Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan
Kasus melalui Alternatif Dispute Resolution yang menginstruksikan polisi
untuk menerapkan mekanisme ADR untuk tindak pidana tertentu.
(tambahin yang bukan residivis)
Jadi, penerapan mediasi penal di Surakarta bedasarkan pada usulan
dari advokat yang mendampingi klien, inisiatif para pihak (korban dan
pelaku), dan wewenang diskresi polisi.
2.1.4 Perkara Pidana yang diselesaikan melalui Mediasi Penal
Dalam berbagai diskusi mengenai ide mediasi penal, mekanisme ini
dimaksudkan sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana yang
mengakibatkan kerugian ringan. Tindak pidana yang direkomendasikan
76
Hasil wawancara dengan Ari Suwarwono, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta pada hari
Jumat, 19 April 2013.
86
untuk diselesaikan melalui mediasi penal biasanya adalah pencurian ringan
dan kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
terhadap advokat, penyidik dan korban di Surakarta, ternyata tindak pidana
yang telah diselesaikan melalui mediasi penal cukup bervariasi. Salah satu
tindak pidana yang selalu mendapat perhatian untuk dicoba diselesaikan
dengan mediasi penal adalah pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal
362 KUHP dan 363 KUHP, terutama jika pelakunya adalah anak-anak.
Pada awal tahun 2013 terjadi pencurian yang dilakukan oleh
seorang pelajar. Pelajar inipun ditetapkan sebagai tersangka dan sudah
sempat ditahan di Polres Karanganyar. Berdasarkan pada Pasal 56
KUHAP, tersangka ini pun mendapat penasihat hukum. Advokat M.
Taufik, S.H., yang pada waktu itu mendampingi anak ini melihat adanya
kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara non litigasi mengingat
nilai kerugian korban yang masih dapat dipulihkan serta kondisi tersangka
yang masih anak-anak dan akan menghadapi Ujian Nasional. Selanjutnya
advokat ini mendorong dipilihnya penyelesaian perkara pidana secara non
litigasi dikepolisian dengan cara mengajukan usulan dan bernegosiasi
dengan penyidik. Selanjutnya advokat berperan mewakili tersangka
melakukan perundingan dengan pihak toko sebagai korban dan difasilitasi
87
oleh penyidik yang menyaksikan proses mediasi, hingga akhirnya tercapai
kesepakatan damai.77
Penyidik di Polresta Surakarta membenarkan bahwa ketika seorang
terlapor atau bahkan tersangka mengakui kesalahannya dan korban
menghendaki, mediasi penal bisa diterapkan. Menurut AKP Ari
Suwarwono, selain adanya kehendak para pihak, karakteristik perkara yang
dapat diupayakan untuk diselesaikan melalui ADR adalah 78:
a. Tindakan pidana ringan dengan ancaman pidana penjara
paling lama tiga bulan, atau tindak pidana yang
mengakibatkan kerugian tidak terlalu besar;
b. Pelaku bukan residivis;
c. Proses mediasi melibatkan pihak ketiga yang dipilih para
pihak dan melibatkan sistem sosial di masyarakat;
d. Adanya pengawasan dari pimpinan, agar mediasi tidak
disalahgunakan menjadi ‘jalan damai yang melawan
hukum (seperti suap dari pelaku)’.
Advokat juga dapat berperan sebagai mediator dalam mediasi penal
jika para pihak memilih atau menyepakati. Salah satu perkara pidana yang
telah diselesaikan dengan mediasi penal dimana advokat menjadi mediator
adalah perkara pelecehan. Dalam kasus ini seorang remaja putri yang
77
Hasil wawancara dengan M. Taufik, S.H, M.H., Op.Cit.
Hasil wawancara dengan AKP Suwarwono, S.H, M.H., Wakasat Reskrim Polresta
Surakarta, Jumat, 19 April 2013.
78
88
menjadi korban pelecehan teman lelakinya meminta bantuan hukum pada
advokat MT. Heru, SH., M.H. Korban yang merasa marah ingin pelaku
mendapat sanksi namun korban ini malu jika harus menjalani persidangan.
Akhirnya mekanisme mediasi penal pun ditempuh dengan difasilitasi oleh
advokat. Mediasi penal dilaksanakan di luar pengadilan dan telah mencapai
kesepakatan damai yang mengharuskan pelaku melakukan beberapa
tindakan pertanggungjawaban.79 Advokat lain yang berperan dalam mediasi
penal sebagai mediator adalah Mohani, S.H. Perkara yang ditangani adalah
kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaian satu pihak mengakibatkan
pihak lain mengalami luka berat dan kerugian yang besar.
Perkara pidana lainnya yang telah diselesaikan dengan mediasi
penal dengan melibatkan peran advokat adalah perkara penggelapan yang
diancam dengan Pasal 372 KUHP. Tindak pidana penggelapan ini
dilakukan oleh seorang pengacara terhadap kliennya pada tahun 2013.
Sebelum diselesaikan melalui jalur litigasi, advokat Harsono, S.H., M.H
yang juga ketua PERADI DPC Surakarta mengupayakan mediasi untuk
pengacara itu dan korbannya. Mediasi penal pun berhasil diselenggarakan
dan mencapai kesepakatan untuk memulihkan kerugian korban. 80 Kasus
penggelapan lain yang terjadi pada tahun 2012 juga diselesaikan melalui
mediasi penal ketika kasus ini baru saja dilaporkan ke Polresta Surakarta.
79
80
Hasil wawancara dengan MT. Heru., S.H., M.H., Op.Cit.
Hasil wawancara dengan advokat Harsono, S.H., M.H., Op.Cit
89
LSM Pengabdian Hukum YAPHI juga telah menerapkan mediasi
penal terhadap perkara KDRT yang terjadi pada tahun 2010. Mediasi penal
yang dilakukan menghasilkan kesepakan damai antara korban Misfan
Fitriana dengan Wiji Winarno. Setelah kesepakatan damai dicapai,
advokat Yayuk S.H., masih mendampingi korban untuk melakukan
pencabutnya laporan sehingga perkara tidak diteruskan ke persidangan. 81
2.2.Akibat Hukum Kesepakatan yang dicapai dalam Mediasi Penal terhadap
Proses penanganan Perkara Pidana
Data penelitian mengenai penerapan mediasi penal menunjukkan di
setiap kesepakatan perdamaian yang dibuat para pihak terdapat kesamaan
mengenai isi kesepakatan. Kesepakatan perdamaian itu biasanya berisi:
a. Kewajiban pelaku untuk mengakui dan meminta maaf secara terbuka
atas kesalahan yang diperbuat;
b. Bentuk pertanggungjawaban pelaku untuk memulihkan kerugian
korban (biasanya dengan pembayaran ganti rugi);
c. Pernyataan dari korban bahwa dia tidak akan melanjutkan perkara ke
proses hukum dan segera mencabut laporan tindak pidana ke polisi. 82
Advokat Yusuf S.H., M.H., menyatakan bahwa kesepakatan damai
dalam mediasi penal kasus KDRT yang dia tangani mengikat para pihak
81
Disarikan dari wawancara dengan advokat Yusuf S.H dan Yayuk S.H di Kantor Lembaga
Pengabdian Hukum YAPHI di Surakarta, pada hari Selasa, 23 April 2013.
82
Disimpulkan berdasarkan wawancara dengan para advokat, penyidik, korban, serta surat
kesepakatan damai yang dihasilkan dari mediasi penal di Solo, pada hari Jumat, 10 Mei 2013.
90
untuk melaksanakan isi dari kesepakatan. Tidak hanya itu, dibuatnya dan
ditandatanganinya surat kesepakatan oleh para pihak juga menghentikan
proses penanganan tindak pidana karena dicabutnya laporan tindak pidana
KDRT itu. Menurut Yusuf S.H., pencabutan laporan dan penghentian
penangan perkara seharusnya tergantung dari tindak pidananya apakah
termasuk delik biasa atau delik aduan. Kalau delik aduan, berdasarkan Pasal
75 KUHP pengaduan tindak pidana dapat ditarik kembali dalam waktu tiga
bulan setelah diajukan. Sedangkan untuk delik biasa seperti pencurian dan
penggelapan, meskipun telah dilakukan perdamaian tidak menghentikan
proses penuntutan di pengadilan. Namun pada praktiknya ketika korban dan
pelaku mencapai kesepakatan perdamaian, kesepakatan yang telah dibuat
diajukan ke kepolisian lalu proses penyidikan dihentikan. Yusuf sendiri
berpendirian bahwa meskipun sebagai advokat mendukung dan menerapkan
mediasi penal, bukan berarti proses penuntutan dipaksakan untuk berhenti.
Kesepakatan
perdamaian
yang
akibat
hukumnya
secara
otomatis
menghentikan penyidikan dan penuntutan baru ada dalam semangat KUHAP
yang baru, sedangkan dalam hukum positif sekarang tidak ada aturan seperti
itu.83
Advokat Harsono S.H., menceritakan bahwa mediasi penal yang dia
tangani mencapai kesepakatan yang dianggap sebagai win-win solution bagi
83
Hasil wawancara dengan Yusuf S.H., Op.Cit.,
91
kedua belah pihak. Harsono S.H., mengemukakan bahwa konsekuensi dari
kesepakatan itu adalah:
1. Pelaku diwajibkan melakukan suatu tindakan pertanggungjawaban
untuk memulihkan kerugian korban penggelapan;
2. Laporan terhadap polisi dicabut sehingga perkara tidak sampai
diselesaikan melalui jalur litigasi.
Jadi menurut beliau akibat hukum dari kesepakatan itu adalah
berakhirnya perkara pidana dengan dicabutnya laporan ke polisi. Meski begitu
dia tidak memungkiri bahwa pada prinsipnya ganti rugi tidak mengahapuskan
ancaman pidana pada delik biasa ini sehingga proses hukum harus terus
dilanjutkan dengan penuntutan. Dan sebenarnya jika berdasar pada norma
hukum pidana tersebut, kontribusi dari kesepakatan mediasi penal mungkin
hanya sebatas meringankan putusan hakim.84
AKP Ari Suwarwono, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta
menyatakan bahwa benar pada prinsipnya ganti rugi tidak menghapus sifat
melawan hukum pada tindak pidana dan kesepakatan damai tidak
menghentikan proses hukum. Namun ketika dalam praktik kesepakatan
mediasi penal itu berakibat pada ditutupnya pemeriksaan perkara pidana,
pidana.
Ketika
pertanggungjawaban
para
pihak
perbuatan
telah
pidana
menyepakati
tanpa
pengadilan, maka telah selesai pula perkara itu.
84
Hasil dengan advokat Harsono., S.H., M.H., Op.Cit.
melalui
suatu
bentuk
proses
sidang
92
Berkaitan dengan proses penanganan perkara pidana setelah adanya
kesepakatan damai, AKP Ari mengemukakan bahwa saat ini sudah diperlukan
suatu peraturan tegas mengenai pelaksanaan mediasi penal beserta akibat
hukumnya. Bahkan dia berpendapat ada baiknya kesepakatan yang dicapai
dalam mediasi penal yang dibuat oleh para pihak dan disaksikan oleh
penyidik membuat perkara itu menjadi nebis in idem ketika kemudian hari
perkara itu dilaporkan kembali oleh salah satu pihak. Hal itu dimaksudkan
untuk mewujudkan kepastian hukum dan menjaga kewibawaan hukum.
B. Pembahasan
1. Peranan Advokat dalam Menerapkan Mediasi Penal sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Pidana
Soerjono Soekanto berpendapat, peranan adalah aspek dinamis
kedudukan seseorang. Apabila seseorang menjalankan kedudukannya, maka
dia telah menjalankan suatu peranan.85 Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pengertian peranan seperangkat tindakan yang diharapkan dimiliki
oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.86 Berdasarkan pengertian
diatas, peranan advokat dalam menerapkan mediasi penal dapat diartikan
sebagai serangkaian tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh advokat
85
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 2010.
86
Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta, balai Pustaka, 1988, hlm. 667.
93
sebagai orang yang berkedudukan di masyarakat sebagai pemberi jasa dan
bantuan hukum dalam menerapkan mediasi penal.
Dalam membicarakan penerapan mediasi penal, sepintas advokat
tampak seperti bukan pihak yang tugasnya tidak berkaitan langsung dengan
mediasi penal. Memang, dapat dikatakan polisi sebagai ujung tombak proses
peradilan pidana adalah pihak utama yang memiliki wewenang (wewenang
diskresi) dan pengaruh terhadap penerapan mediasi penal. Namun jika dikaji
berdasarkan undang-undang advokat dan undang-undang bantuan hukum,
sebenarnya advokat memiliki peran penting dalam penyelsaian perkara secara
non litigasi dan tugas advokat tidak dapat dikatakan hanya sebatas tugas
litigasi. Litigasi adalah proses penanganan Perkara hukum yang dilakukan
melalui jalur pengadilan untuk menyelesaikannya.
Seringkali orang beranggapan bahwa jasa hukum dan bantuan hukum
yang diberikan advokat hanya sebatas beracara di pengadilan atau dengan kata
lain hanya melakukan pekerjaan litigasi. Sebetulnya terdapat banyak
pekerjaan advokat di luar bidang litigasi, yang disebut dengan jasa hukum dan
bantuan hukum non litigasi. Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003,
yang disebut dengan jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa
memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain
untuk kepentingan hukum klien (Pasal 1 ayat 2). Sedangkan bantuan hukum
94
adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada
lien yang tidak mampu (Pasal 1 ayat 9).
Jasa hukum maupun bantuan hukum yang diberikan advokat tidak
hanya meliputi jasa hukum dan bantuan hukum litigasi namun juga non
litigasi. Pengertian bantuan hukum non litigasi dirumuskan dalam Pasal 1 ayat
9 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum sebagai
berikut:
‘‘Bantuan hukum non litigasi adalah proses penanganan perkara
hukum yang dilakukan di luar jalur pengadilan untuk
menyelesaikannya.“
Pemberian bantuan hukum secara non litigasi dapat dilakukan oleh
advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dalam lingkup
Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus verifikasi dan akreditasi. Mengenai
bantuan hukum non litigasi yang dapat diberikan oleh advokat, Pasal 16 ayat
2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 menentukan sebagai berikut:
Pemberian Bantuan Hukum secara Nonlitigasi meliputi kegiatan:
a. penyuluhan hukum;
b. konsultasi hukum;
c. investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;
d. penelitian hukum;
e. mediasi;
f. negosiasi;
g. pemberdayaan masyarakat;
h. pendampingan di luar pengadilan; dan/atau
i. drafting dokumen hukum.
95
Meskipun diatur secara tegas dalam undang-undang beserta peraturan
pelaksanaanya, implementasi bantuan hukum non litigasi belum sepopuler
bantuan hukum litigasi. Pemberian bantuan hukum non litigasi sebetulnya
sama pentingnya dengan pemberian bantuan hukum litigasi karena keadilan
yang dicari oleh masyarakat tidak hanya dapat didapatkan melalui proses
persidangan melainkan juga melalui proses penyelesaian perkara di luar
pengadilan. Dengan begitu advokat sebagai pendamping masyarakat dalam
mencari akses keadilan diharapkan tidak hanya bertumpu pada proses litigasi
dalam meberikan jasa dan bantuan hukum. Ketika alternatif penyelesaian
perkara pidana di luar pengadilan diabaikan, proses menyelesaikan perkara
dan pemulihan kerugian korban akan berlangsung lama bahkan terhenti.
Kenyataan ini terjadi pada kasus ‘Pelanggaran Hak Cipta Bowo Leksono vs
LPPM UNSOED‘. Dalam kasus ini advokat yang menjadi kuasa hukum
Bowo Leksono melaporkan LPPM kepada polisi atas tuduhan pelanggaran
hak cipta pada film karya Bowo. Kasus yang dilaporkan pada tahun lalu itu
hingga kini tidak mengalami perkembangan. Hal ini tentu tidak sejalan
dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Adalah hak dari setiap warga negara untuk melaporkan suatu tindak
pidana jika merasa dirugikan. Meski begitu, jika para pihak dalam kasus ini
(pelapor,
terlapor,
advokat
dan
polisi)
terlebih
dahulu
menempuh
penyelesaian secara non litigasi, kemungkinan besar kesepakatan damai telah
dicapai. Dibandingkan menunggu pengadilan membuktikan unsur-unsur
96
pelanggaran hak cipta, akan lebih bermanfaat jika para pihak dipertemukan
dan pihak yang merasa dirugikan dapat mengemukakan hak nya yang
terlanggar. Dengan mengupayakan penyelesaian perkara pidana melalui jalur
non litigasi, advokat tidak hanya telah memberi jasa dan bantuan hukum non
litigasi namun juga telah turut mewujudkan peradilan cepat, sederhana, dan
biaya ringan.
Berdasarkan penelitian dengan metode wawancara, advokat di
Surakarta menerapkan mediasi sebagai bentuk dari pemberian jasa hukum dan
bantuan hukum. Untuk perkara pidana, sebagian besar advokat di Surakarta
menyatakan setuju dengan ide mediasi penal dan menerapkannya untuk
menyelesaikan perkara pidana sebagai perwujudan dari konsep Restorative
Justice. Selain itu mediasi penal selalu ditempuh sebagai alternatif
penyelesaian perkara pidana terutama untuk kasus-kasus yang berdimensi
perdata, misalnya penggelapan yang berawal dari bisnis. Diantara beberapa
advokat yang menerapkan mediasi penal, ada yang sudah menerapkan sejak
tahun 2004 dan dari semua kasus pidana yang ditangani, 60 % dapat
diselesaikan secara non litigasi. Selain itu, mediasi penal juga diterapkan
ketika advokat memberikan bantuan hukum struktural, misalnya dalam kasus
tindak pidana lingkungan, yang merugikan sekelompok masyarakat.
Dalam penerapan mediasi penal, menurut M.T Taufik, S.H, M.H,
advokat berperan secara aktif. Bentuk dari berperan secara aktif antara lain
sebagai inisiator yang mengusulkan penerapan mediasi penal sebagai
97
alternatif penyelesaian perkara pidana pada korban, pelaku, dan penyidik.
Tindakan ini dilakukan setelah advokat mempertimbangkan jenis tindak
pidana yng dilakukan oleh pelaku, siapa dan bagaimana kondisi pelaku,
bagaimana sifat kerugian korban dan kehendak korban.
Peran aktif semacam ini salah satunya dilakukan ketika terjadi perkara
pencurian yang dilakukan oleh seorang pelajar SMP yang akhirnya ditahan di
Polres Karanganyar. Advokat yang menjadi penasihat hukum tersangka ini
mempertimbangkan besarnya kerugian korban serta kondisi pelaku yang akan
menghadapi ujian nasional. Advokat ini pun akhirnya bertindak aktif
mengusulkan pada polisi untuk menerapkan mediasi penal lalu akhirnya
melakukan mediasi dengan korban pencurian. Akhirnya mediasi yang
dilakukan menghasilkan kesepakatan yang dibuat oleh pihak pelaku dan
korban. Polisi akan memutuskan untuk menyelesaikan perkara melalui
mekanisme ADR (mediasi penal) dengan syarat tindak pidana merupakan
tindak pidana ringan, pelkau bukan residivis, dan tentu harus ada kesediaan
dari para pihak.
Peran aktif lain yang dilakukan oleh advokat adalah menjadi mediator
dalam mediasi penal. Sesuai dengan Pasal 8 Ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun
2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan, advokat dapat bertindak
menjadi mediator dalam suatu mediasi. Peran ini terutama dilakukan jika
mediasi penal terjadi sebelum tahap penyidikan. Mediasi penal biasanya
terjadi sebelum tahap penyidikan ketika korban datang kepada advokat
98
meminta jasa hukum. Sebelum advokat mendampingi korban membuat
laporan kepada pihak polisi, advokat akan mengusulkan penyelesaian perkara
pidana secara non litigasi dan menfasilitasi penerapan mediasi sekaligus
menjadi mediator. Tahap ini selalu ditempuh oleh sebagian besar advokat baik
terhadap perkara perdata maupun pidana. Jika yang disepakati menjadi
mediator adalah pihak selain advokat, maka advokat akan berperan sebagai
fasilitator yang menfasilitasi, mempersiapkan dan menyelenggarakan mediasi
penal.
Mediasi penal akan diterapkan pada tahap penyidikan ketika advokat
masuk sebagai penasihat hukum tersangka berdasarkan pasal 54 KUHAP
tentang hak tersangka atas bantuan hukum. Jika mediasi penal dilaksanakan
pada tahap ini maka yang menjadi mediator biasanya tokoh masyarakat atau
polisi. Ketika polisi menjadi mediator, advokat bertindak aktif membantu
pelaksanaan mediasi.
Peranan advokat baik sebagai mediator maupun sebagai pengusul
sangat berpengaruh pada diterapkan atau tidaknya mediasi penal terutama
dalam tingkat penyidikan. Hal ini dikarenakan pihak kepolisian tidak
bertindak aktif mengupayakan penyelesaian
perkara pidana melalui
mekanisme ADR. Menurut Ari Suwarwono, Wakasat Reskrim Polresta
Surakarta, bagaimanapun juga penerapan konsep Restorative Justice dalam
bentuk mediasi penal tergantung pada kehendak para pihak terutama korban.
Fokus Restorative Justice adalah memberikan perhatian pada posisi korban
99
yang menderita kerugian. Ketika korban merasa karena kerugian yang
dideritanya itu pelaku pantas diadili di pengadilan, maka penerapan mediasi
penal tidak dapat dipaksakan.87 Jadi mengenai inisiatif diadakannya mediasi
penal, polisi yang menangani perkara pidana di Polresta Surakarta tidak
bertindak secara aktif, melainkan tergantung pada kehendak para pihak.
Ketika penggunaan mediasi sudah disepakati pun polisi tidak selalu aktif
menjadi mediator melainkan menunjuk pihak ke tiga lainnya untuk menjadi
mediator.
Peran sebagai inisiator, mediator dan fasilitator dilakukan oleh
advokat sebagai bentuk pemberian bantuan hukum non litigasi. Namun peran
dalam mediasi penal tidak selalu mereka lakukan secara cuma-cuma. Advokat
biasanya tidak memungut bayaran ketika para pihak adalah orang tidak
mampu dan ketika mereka berperan sebagai inisiatior. Ketika mereka menjadi
inisiator, biasanya penyelenggaraan mediasi dilakukan di kepolisian dengan
polisi atau tokoh masyarakat sebagai mediator. Advokat biasanya menerapkan
biaya jasa hukum apabila mereka menjadi mediator dan fasilitator, seperti
yang dilakukan advokat M.T Heru, S.H, M.H. Menurut M.T Heru, biaya
dapat diterapkan karena advokat secara aktif mendorong dan mengusahan
87
Hasil wawancara dengan AKP Ari Suwarwono S.H., M.H., Wakasat Reskrim Polresta
Surakarta, pada hari Jumat, 19 April 2013.
100
keberhasilan
mediasi,
serta
adanya
biaya
yang
diperlukan
untuk
penyelenggraan mediasi.88
Perkara pidana yang pernah diselesaikan melalui mediasi penal dengan
melibatkan peran advokat diantaranya adalah:
1. Kasus pencurian (Pasal 362 KUHP).
Pada tahun 2013 bulan Maret, terjadi pencurian yang
dilakukan oleh seorang pelajar disebuah toko. Pelajar ini tertangkap
dan akhirnya ditahan di Polres Karanganyar. Advokat M. Taufik,
S.H, M.H., yang menjadi penasihat hukum anak ini melihat dampak
yang diderita oleh korban pencurian masih sangat mungkin
dipulihkan dan anak ini lebih baik dibina dengan cara lain selain
pemenjaraan. Terlebih lagi anak ini akan menghadapi ujian
nasional. Advokat pun membicarakan kemungkinan dan manfaat
mediasi penal untuk kasus ini dengan polisi dan akhirnya perkara
ini berhasil diselesaikan melalui mediasi penal. Mediasi yang terjadi
antara pihak pelaku diwakili advokat dengan pihak toko sebagai
korban dan dimediasi oleh polisi ini telah mencapai kesepakatan
damai.
2. Kasus Pelecehan Seksual
88
Hasil wawancara dengan M.T. Heru Buwono, S.H, M.H, advokat dan Ketua IKADIN DPC
Surakarta, Rabu, 18 April 2012, di Surakarta.
101
Perkara ini ditangani oleh advokat M.T. Heru, S.H, M.H.,
yang dimintai pendampingan oleh seorang wanita sebagai korban.
Korban ini menginginkan pertanggungjawaban dari pelaku namun
merasa malu jika harus menghadapi sidang untuk kasus ini.
Advokat melayangkan somasi pada pelaku yang isinya ajakan
melakukan penyelesaian secara kekeluargaan untuk membicarakan
akibat perbuatan pelaku melecehkan korban di jalan dengan meraba
dan memegang daerah pinggang serta pantat korban secara paksa
sambil berkomentar tidak senonoh. Jadi korban yang didampingi
oleh penasihat hukum belum sampai melaporkan kasus ini ke
kepolisian. KUHP sebenarnya tidak mengenal istilah ‘pelecehan
seksual’, melainkan perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 289
sampai dengan 296 KUHP. Menurut R. Soesilo, Pasal 289 dapat
ditujukan kepada perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan yang
semuanya dalam lingkungan nafsu berahi, misalnya cium-ciuman,
memegang- megang anggota badan yang vital seperti kemaluan,
atau buah dada, pantat. Selain itu unsur penting dari pelecehan
seksual adalah adanya ketidakmauan atau penolakan terhadap
bentuk-bentuk
perhatian
yang
bersifat
seksual,
termasuk
berkomentar atau bersiul dalam lingkup nafsu seksual. Jika
dilaporkan, pelaku dapat diancam dengan Pasal 289. Perkara ini
telah berhasil diselesaikan melalui mediasi penal dan dengan
102
kemauan pelaku mengakui kesalahan, meminta maaf, serta
bertanggung jawab, perkara ini tidak jadi dilaporkan pada polisi.
3. Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT, pelaku
diancam dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga)
Kasus ini ditangani oleh advokat Yayuk, S.H., dari Lembaga
Pengabdian Hukum YAPHI Surakarta. Perkara ini sudah mancapai
tahap pemeriksaan di penyidikan. Di tengah-tengah proses
pemeriksan saksi, korban menghendaki penyelesaian di luar
pengadilan dengan suaminya dan meminta bantuan advokat untuk
menfasilitasi. Polisi pun juga turut memberi ruang untuk
menyelenggarakan mediasi dan akhirnya perkara ini diselesaikan
melalui mediasi penal. Isi dari kesepakatan damai salah satunya
adalah kesediaan korban untuk tidak meneruskan proses hukum dan
mencabut laporan di kepolisian.
4. Kasus Penggelapan (372 KUHP)
Beberapa praktik mediasi untuk kasus penggelapan menurut
advokat didasarkan pada pertimbangan bahwa kasus ini memiliki
dimensi perdata. Mediasi penal untuk kasus ini pernah diterapkan
untuk perkara penggelapan yang dilakukan oleh seorang advokat dan
advokat yang berperan menerapkan mediasi penal ini adalah Harsono,
S.H, M.H, advokat sekaligus Ketua DPC PERADI. Selain itu mediasi
103
penal untuk perkara penggelapan juga diterapkan pada kasus yang
dilakukan seorang warga Laweyan dan diterapkan di Polresta
Surakarta.
5.
Kasus Kecelakaan Lalu Lintas
Kasus kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh kelalaian
seorang pengendara motor pernah beberapa kali diselesaikan melalui
mediasi penal oleh advokat M. Mohani, S.H, M.H. Sebelum pelaku
diperkarakan
di
pengadilan,
cara
penyelesaian
menggunakan
mekanisme mediasi penal ditempuh dan akhirnya menghasilkan
kesepakatan damai.
6.
Penganiayaan Ringan
Kasus ini ditangani oleh advokat Yusuf, S.H., dari Lembaga
Pengabdian Hukum YAPHI Surakarta. Mediasi penal diupayakan
sebelum pihak korban yang merupakan warga Laweyan melaporkan
pelaku ke polisi, mengingat akibat yang ditimbulkan (luka) tidak
terlalu serius dan pelaku bersedia bertanggung jawab, serta mengingat
hubungan bertetangga antara korban dan pelaku. Upaya mediasi
beberapa kali dilakukan advokat YAPHI terutama untuk perkara
pidana yang pelakunya adalah anak-anak.
Berbagai diskusi dan kajian mengenai mediasi penal seringkali
mengemukakan bahwa perkara pidana yang telah dan dapat diselesaikan
secara non litigasi adalah tindak pidana dengan pelaku anak, tindak pidana
104
ringan seperti pencurian ringan, tindak pidana yang berdimensi perdata, serta
kasus-kasus yang termasuk dalam kategori delik aduan. Perkara-perkara
pidana yang telah diselesaikan melalui peranan advokat di Surakarta ternyata
tidak hanya meliputi perkara pidana dengan pelaku anak. Sebagian besar
perkara pidana yang diselesaikan dengan mediasi penal adalah perkara dengan
orang dewasa yang juga memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab.
Selain itu, upaya penyelesaian melalui mediasi penal juga tidak hanya
ditempuh oleh advokat terhadap tindak pidana ringan dan perkara delik aduan.
Pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan sepuluh tahu jika kekerasan
yang dilakukan mengakibatkan korban jatuh sakit. Ancaman pidana ini
menunjukkan bahwa KDRT bukan merupakan tindak pidana ringan dan
kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku KDRT juga bisa merupakan kerugian
serius terhadap korban baik kerugian fisik maupun psikis korban.
Penggelapan dan pelecehan seksual juga sebenarnya bukan merupakan
kategori tindak pidana ringan.
Sebagian advokat memang berpendapat bahwa mediasi penal tidak
hanya dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara ringan seperti pencurian
ringan tapi juga perkara serius seperti korupsi yang dilakukan oleh seorang
kepala desa misalnya. Bagi seorang koruptor tingkat desa, sanksi sosial dari
masyarakat desa sesungguhnya sudah cukup berat, dan akan lebih bermanfaat
bagai masyarakat desa apabila pelaku mengembalikan kerugian desa daripada
105
menjalani hukuman penjara.89 Pada faktanya, beberapa perkara pidana serius
diselesaikan melalui mediasi penal karena pihak korban sendiri juga
menghendaki penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Jika dianalisis, pemilihan mediasi penal untuk menyelesaikan perkara
pidana baik perkara ringan maupun serius didasarkan pada pertimbangan
mengenai sifat dari perkara itu. Perkara-perkara yang diselesaikan melalui
jalur non litigasi merupakan perkara yang berkaitan erat dengan para pihak,
artinya pelaku dan korban lebih banyak memiliki urusan dengan perkara itu
dibandingkan dengan perkara pidana lain yang (sebagian besar) menjadi
urusan negara karena mengganggu ketertiban dan ketentraman seperti
pembunuhan dan perampokan. Sifat tersebut ada dalam perkara KDRT,
penggelapan, pencurian, kecelakaan lalu lintas, pencurian dan penganiayaan
ringan, dimana korban lebih menghendaki untuk menyelesaikan sendiri
‘urusannya’ itu dengan korban dan advokat serta menghendaki pelaku
bertanggungjawab dalam bentuk lain, bukan penjara.
Fakta mengenai kehendak korban dan inisiatif advokat untuk
menerapkan
mediasi
sebagai
alternatif
penyelesaian
perkara
pidana
menunjukkan bahwa masyarakat berkeyakinan keadilan yang mereka cari
tidak hanya dapat diberikan oleh Sistem Peradilan Pidana (SPP) dengan
segala prosedurnya. Ada banyak cara dan tempat untuk mendapatkan
89
2013.
Hasil Wawancara dengan M. Taufik, advokat DPC PERADI Surakarta, Senin, 15 April
106
keadilan, peradilan pidana hanya salah satu cara dan tempat yang dapat
ditempuh. Marc Galenter menyebut hal ini dengan “Justice in many rooms.”
Ketika SPP tidak dapat memberikan keadilan yang diharapkan, atau sebelum
korban mencari keadilan dari SPP, maka mereka yang bermasalah dapat
mencari alternative lain yang bisa memenuhi harapan itu.90 Selain ini
kehendak para pihak dalam memilih mediasi penal juga dipengaruhi oleh pola
pikir masyarakat (terutama masyarakat desa) yang masih merasa asing dan
takut ketika menghadapi perkara hukum berikut lembaga peradilannya seperti
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Terlebih lagi bagi masyarakat yang
masih memegang kuat prinsip hukum adat mengenai penyelesaian masalah
secara kekeluargaan. Untuk tindak pidana ringan, misalnya pencurian,
pertanggungjawaban yang berlaku dalam masyarakat adat biasanya mengganti
segala kerugian korban atau cukup mengembalikan saja barang yang dicuri
itu.
Masyarakat adat yang telah mengenal lembaga mediasi, salah satunya
mediasi untuk perkara KDRT, salah satunya adalah masyarakat adat Atoin
Meto, dalam menyelesaikan kasus KDRT diselesaikan secara adat dengan
pemberian Opat. Pada umumnya pola penyelesaiannya didahului oleh
informasi dari pihak korban (keluarga) teristimewa pihak istri terhadap
keluarga pelaku (suami) bahwa telah terjadi KDRT. Setelah itu para pihak
90
Marc Galenter, Justice in Many Rooms: Courts, Private Ordering, and Indegenous Law,
Journal of Legal Pluralism No 19, dikutik dalam Agus Raharjo, Mediasi sebagai Basis dalam
Penyelesaian Perkara Pidana, Mimbar Hukum, Vol.20, Nomor 1, 2008, hlm. 101.
107
akan duduk bersama (tok tabua he taloitan), untuk membicarakan bagaimana
baiknya penyelesaiannya. Penyelesaian KDRT sebagaimana kasus pidana
pada umumnya, memiliki acara (hukum acara) yang paten, artinya jika ada
lasi (masalah) maka pelaku (amoet lasi) harus memberikan denda (opat).
Untuk urusan Opat, dapat disesuaikan dengan komunikasi para pihak (Lamber
Missa, 2010:134). 91
Data yang diperoleh dari hasil penelitian (tesis) Lamber Missa yang
berjudul Studi Kriminologi Penyelesaian KDRT Di Wilayah Kota Kupang
Propinsi NTT menyebutkan bahwa pada umumnya kasus KDRT lebih
cenderung diselesaikan secara non justitia, jarang sekali sampai ke tingkat
Pengadilan, sekalipun tingkat penanganannya sudah sampai pada P.21, tapi
biasanya masih ada kemungkinan kasus tersebut akan diselesaikan dengan
damai, sehingga pada akhirnya hanya satu atau dua kasus saja yang sampai ke
Pengadilan. Dari data kasus KDRT di Polresta Kupang Tahun 2004 s/d 2007
terdapat 27 kasus KDRT hanya 8 yang P.21 dan 11 kasus diselesaikan secara
non justitia.92
Model mediasi penal yang dipakai dalam penyelesaian perkara-perkara
di atas adalah model ‘victim-offender mediation’ dimana korban dan pelaku
91
Liliana dan Krismiyarsi, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan melalui Mediasi Penal
sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 8 No.1
Mei, 2012, hlm. 59.
92
Lamber Nisa, Studi Kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga di
Wilayah Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur, dalam Liliana dan Krismiyarsi, Ibid.
108
dipertemukan untuk mencapai kesepakatan win-win solution dengan
melibatkan mediator yang ditunjuk atau disepakati para pihak, dapat berasal
dari pejabat formal, advokat, bahkan tokoh masyarakat. Dengan mekanisme
ini ketika korban dan pelaku sama-sama merasakan keuntungan ini, maka
hubungan mereka yang sempat retak dapat diperbaiki serta memperkecil
kemungkinan timbulnya dendam. Keuntungan terutama didapat oleh korban,
antara lain tidak merasakan tekanan berperkara di pengadilan, tidak perlu
mengikuti tahap-tahap persidangan yang kerap memakan waktu berbulanbulan, mendapat kesempatan lebih besar untuk mengemukakan apa yang
dibutuhkannya berkaitan dengan kerugian yang diakibatkan pelaku, serta
dimungkinkan menghilangkan trauma karena terlibat secara langsung
mengupayakan
penyelesaian
dan
secara
langsung
menerima
pertanggungjawaban dari pelaku.
Keuntungan bagi pelaku antara lain terhindar dari pidana penjara yang
dapat membuat dia memiliki riwayat kejahatan dan stigma dari masyarakat.
Stigmatisasi ini pada dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif,
yang berturut-turut menghasilkan stigma lagi. Hal ini karena dengan resminya
orang dipenjara, identitas orang tersebut terganggu atau rusak. Lalu orang itu
kehilangan pekerjaannya dan hali ini selanjutnya akan menempatkan orang itu
109
di luar lingkungan teman-temannya, kemudian stigmatisasi itu dapat
menyingkirkan orang itu dari longkungan yang benar. 93
2. Akibat Hukum Kesepakatan Mediasi Penal terhadap Proses Penanganan
Tindak Pidana
Pada mediasi perdata, kesepakatan perdamaian yang dikuatkan dengan
akta perdamaian akan memiliki kekuatan eksekutorial. Dengan berhasilnya
upaya perdamaian itu, suatu perkara perdata pun selesai penanganannya dan
tidak dilanjutkan pada penyelesaian perkara secara litigasi. Lalu bagaimana
dengan kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal? Dengan tidak adanya
suatu peraturan yang mengatur tata cara mediasi penal, maka tidak ada pula
ketentuan yang tegas mengenai akibat hukum dari kesepakatan mediasi penal
terhadap proses penanganan perkara pidana. Untuk menjawab hal ini kita
dapat terlebih dahulu mengacu pada prinsip-prinsip hukum pidana mengenai
pencabutan laporan dan pengaduan tindak pidana.
2.1 Akibat Hukum Kesepakatan Mediasi Penal terhadap Proses Penanganan
Perkara Pidana menurut KUHP dan KUHAP
Pertanyaan mengenai apakah sebenarnya akibat hukum dari mediasi
penal mulai sering dipertanyakan masyarakat sejak munculnya kasus
‘Andhika Kangen Band’ membawa lari gadis di bawah umur (CC)’. Selama
93
hlm. 81.
Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penrbit Alumni, Bandung, 1992,
110
Andhika ditahan, diupayakan penyelesaian melalui mediasi dengan keluarga
CC. Akhirnya dicapai sebuah kesepakatan yang berisi pemberian maaf dari
pihak CC dan tindakan pertanggungjawaban Andhika dengan diketahui oleh
pihak kepolisian. Selanjutnya, perkara tetap dilimpahkan ke kejaksaan dan
Andhika tetap harus menjalani proses penuntutan meskipun CC sendiri telah
menyatakan tidak mau melanjutkan proses penuntutan.
Kenyataan tersebut dirasa mengherankan bagi banyak pihak, namun
sebenarnya polisi meneruskan proses hukum terhadap Andhika karena
undang-undang menentukan demikian.
Menurut KUHAP, perdamaian
bukanlah salah satu alasan yang dapat menghentikan proses penyidikan.
Alasan penghentian penyidikan telah diatur secara limitatif pada Pasal 109
ayat (2) KUHAP, yaitu:
a.
Tidak diperoleh bukti yang cukup;
b.
Peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana;
c.
Penghentian penyidikan demi hukum.
Selain itu, tindak pidana yang diatur dalam undang-undang
Perlindungan Anak itu bukanlah merupakan delik aduan. Berkaitan dengan
penghentian penanganan perkara pidana, perlu kita perhatikan norma hukum
pidana tentang delik aduan dan delik biasa. Delik aduan artinya delik yang
hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang
menjadi korban tindak pidana. Hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang
111
mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan
yang hanya dituntut atas pengaduan. Dalam delik aduan penuntutan terhadap
delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada
pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu
perdamaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 75 KUHP yang
merumuskan:
“Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam
waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 75 KUHP, setelah pengaduan diajukan
bila pengaduan ditarik setelah 3 bulan, maka pengaduan tersebut tidak dapat
dicabut kembali. Namun demikian sehubungan dengan pencabutan pengaduan
yang melampaui waktu tersebut, ada perkembangan menarik berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 1600 K/PID/2009 yang
menyatakan pada pokoknya sebagai berikut:
“… walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 bulan, yang
menurut pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutan
itu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana
tersebut telah pulih karena perdamaian yang terjadi antara pelapor
dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui,
karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya
lebih besar dari pada bila dilanjutkan”.
Lebih lanjut, MA dalam putusan tersebut juga menyatakan:
112
“Bahwa ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang
disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai
pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik
juga merepresentasikan terganggunnya, bahkan mungkin terputusnya
hubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungan
kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian
konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.”
Jadi, laporan tindak pidana dapat dicabut dan proses penanganan
perkara pidana dapat dihentikan apabila tindak pidana yang telah diselesaikan
melalui mediasi penal adalah delik aduan. Sedangkan pada delik biasa,
laporan tindak pidana tidak dapat dicabut dan meskipun sudah ada
kesepakatan perdamaian, penyidik tetap dapat meneruskan proses penyidikan.
Selain itu, kita perhatikan ketentuan dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d
Pasal 85) KUHP tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan
Menjalankan Pidana. Peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut
yang diatur secara umum dalam Bab VIII Buku I KUHP adalah:
1 Telah ada putusan hakim yang tetap (de kracht van een rechterlijk
gewisjde) mengenai tindakan (feit) yang sama (Pasal 76);
2 Terdakwa meninggal (Pasal 77);
3 Perkara tersebut daluwarsa (Pasal 78);
4 Terjadi penyelesaian di luar persidangan (Pasal 82) (khusus untuk
pelanggaran yang diancam dengan pidana denda).
Sepanjang unsur-unsur pidana dalam dalam suatu tindak pidana telah
terpenuhi, maka pelaku dapat dituntut dengan pasal penggelapan tersebut
karena pengembalian dana hasil penggelapan tidaklah termasuk dalam alasan
113
penghapusan hak menuntut/peniadaan penuntutan sebagaimana diatur dalam
KUHP.
2.2 Akibat Hukum Kesepakatan Mediasi Penal terhadap Proses Penanganan
Perkara Pidana di Surakarta
Hasil menelitian menunjukkan dalam kesepakatan yang dicapai dalam
mediasi penal di Surakarta selalu ada point kesediaan dari pihak korban untuk
mencabut laporan ke pihak kepolisian dan menyatakan tidak akan
melanjutkan proses penuntutan. Dengan demikian, pada praktik mediasi penal
di Surakarta, akibat hukum dari kesepakatan mediasi penal adalah:
1.
Mengharuskan pelaku melakukan suatu tindakan untuk
memulihkan kerugian korban; dan
2.
Berakibat dihentikannya proses penanganan perkara pidana.
Yang dimaksud dengan proses penanganan tindak pidana adalah
proses penanganan pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP yang meliputi
penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, pemeriksaan di muka
pengadilan dan penjatuhan putusan oleh hakim. Ketika suatu tindak pidana
yang sedang diperiksa di tahap penyidikan telah diselesaikan para pihak
melalui mediasi penal, yang dilakukan kemudian adalah dicabutnya laporan
tindak pidana oleh korban dan penyidikan perkara dihentikan. Penghentian
114
perkara ini disebut dengan istilah ‘perkara dibekukan’ oleh penyidik di
Surakarta.94
Pada sub bab sebelumnya telah penulis uraikan ketentuan hukum
mengenai dapat tidaknya suatu laporan tindak pidana dicabut dan dapat
tidaknya mediasi menghentikan penanganan perkara pidana. Dengan
berdasarkan pemahaman mengenai ketentuan-ketentuan di atas mari kita
analisis penghentian penanganan perkara pidana di Surakarta.
Berkaitan dengan penghentian perkara pidana perlu kita perhatikan
norma hukum pidana tentang delik aduan dan delik biasa. Delik aduan artinya
delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang
yang menjadi korban tindak pidana. Hal ini diatur dalam Bab VII KUHP
tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatankejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Dalam delik aduan penuntutan
terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan
(korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut
laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah
terjadi suatu perdamaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 75 KUHP
yang merumuskan:
“Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam
waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.”
94
Wawancara dengan AKP Ari Suwarwono, S.H, M.H, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta,
Jumat, 19 April 2013
115
Berdasarkan ketentuan Pasal 75 KUHP, setelah pengaduan diajukan
bila pengaduan ditarik setelah 3 bulan, maka pengaduan tersebut tidak dapat
dicabut kembali. Namun demikian sehubungan dengan pencabutan pengaduan
yang melampaui waktu tersebut, ada perkembangan menarik berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 1600 K/PID/2009 yang
menyatakan pada pokoknya sebagai berikut:
“… walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 bulan, yang
menurut pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutan
itu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana
tersebut telah pulih karena perdamaian yang terjadi antara pelapor
dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui,
karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya
lebih besar dari pada bila dilanjutkan”.
Lebih lanjut, MA dalam putusan tersebut juga menyatakan:
“Bahwa ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang
disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai
pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik
juga merepresentasikan terganggunnya, bahkan mungkin terputusnya
hubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungan
kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian
konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.”
Kita kembali pada penghentian penanganan perkara pidana yang
didasarkan pada kesepakatan mediasi penal di Surakarta. Pencabutan laporan
terjadi pada praktik mediasi penal perkara
KDRT yang ditangani oleh
advokat Yusuf, S.H., dan advokat Yayuk, S.H. Korban KDRT, Misfan
Fitriana, meskipun menderita kerugian dan tahu bahwa pelaku seharusnya
dapat dituntut di muka pengadilan, namun karena merasa rasa keadilannya
116
sudah cukup terpenuhi dengan kesepakatan mediasi penal, Misfan tidak
menginginkan pelaku dituntut. Dengan adanya kesediaan pelaku untuk
melakukan beberapa tindakan pertanggungjawaban, Misfan merasa lebih baik
perkara KDRT ini dihentikan.95 Tindak Pidana KDRT yang dihentikan
penanganannya ini merupakan delik aduan yang diatur dalam Pasal 51 dan 52
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Dengan begitu, maka tindakan itu tidak bertentangan dengan
norma-norma hukum pidana yang diuraikan di atas.
Lalu bagaimana jika pencabutan laporan dilakukan pada tindak pidana
yang bukan merupakan delik aduan?
Penghentian penanganan perkara pada delik biasa terjadi pada perkara
penggelapan (Pasal 372 KUHP), pencurian (Pasal 362), pelecehan seksual dan
perkara kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh kelalaian.96 Beberapa
tindak pidana tersebut adalah delik biasa yang laporannya tidak dapat dicabut
meskipun sudah ada kesepakatan perdamaian. Sepanjang unsur-unsur pidana
dalam pasal tersebut telah terpenuhi, maka pelaku dapat dituntut dengan pasal
penggelapan tersebut karena pengembalian dana hasil penggelapan tidaklah
termasuk dalam alasan penghapusan hak menuntut/peniadaan penuntutan
95
Hasil wawancara dengan Misfan Fitriana, korban tindak pidana KDRT, di Semanggi,
Surakarta, pada hari Senin, 22 April 2013.
96
Perkara pidana yang telah diselesaikan melalui mediasi penal dengan peranan advokat M.
Taufik, advokat M.T. Heru Buwono, advokat M. Mohani, advokat Yusuf, advokat Yayuk, dan advokat
Harsono, serta yang diselesaikan melalui mediasi di kepolisian.
117
sebagaimana diatur dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d Pasal 85) KUHP
tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana.
Peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut yang diatur secara
umum dalam Bab VIII Buku I KUHP adalah:
1. Telah ada putusan hakim yang tetap (de kracht van een rechterlijk
gewisjde) mengenai tindakan (feit) yang sama (Pasal 76);
2. Terdakwa meninggal (Pasal 77);
3. Perkara tersebut daluwarsa (Pasal 78);
4. Terjadi penyelesaian di luar persidangan (Pasal 82) (khusus untuk
pelanggaran yang diancam dengan pidana denda).
Berdasarkan kajian terhadap beberapa norma di atas, dapat kita
simpulkan bahwa pencabutan laporan terhadap delik biasa yang telah
mencapai kesepakatan mediasi penal sesungguhnya bertentangan dengan
norma hukum pidana dan hukum acara pidana.
AKP Ari Suwarwono,
Wakasat Reskrim Polresta Surakarta menyatakan bahwa benar pada
prinsipnya ganti rugi tidak menghapus sifat melawan hukum pada tindak
pidana dan kesepakatan damai tidak menghentikan proses hukum. Namun
ketika dalam praktik kesepakatan mediasi penal itu berakibat pada ditutupnya
pemeriksaan perkara pidana, hal ini dipengaruhi oleh spirit menerapkan
Restorative Justice, dimana tujuan dari penyelesaian perkara pidana tidak
berfokus pada upaya pemenjaraan tapi upaya pemulihan kerugian korban oleh
pelaku.97 Selain itu, bagi para pihak dan polisi, (terutama bagi korban dan
97
Hasil wawancara dengan AKP Ari Suwarwono S.H., M.H., Wakasat Reskrim Polresta
Surakarta, pada hari Jumat, 19 April 2013.
118
pelaku) menghentikan perkara pidana adalah suatu prosedur yang lazim
bahkan seharusnya dilakukan setelah pelaku dan korban telah mencapai
kesepakatan damai. Para pihak kepolisian menyebut hal itu dengan istilah
perkara ‘dibekukan’.
Kesepakatan damai yang dihasilkan oleh mediasi penal akan
berkekuatan hukum bagi para pihak (pelaku dan korban) berdasarkan asas
pacta sunt servanda bahwa perjanjian itu merupakan undang-undang bagi
pembuatnya sehingga harus dipatuhi (Pasal 1338 KUHPerdata). Namun
advokat M. Taufik, S.H, M.H,98 menyatakan kesepakatan damai itu
sesungguhnya tidak mengikat bagi penyidik atau menimbulkan kewajiban
bagi penyidik untuk mengehentikan penyidikan. Meskipun telah melakukan
suatu tindakan pertanggungjawaban yang dikehendaki korban, pelaku tetap
dapat dituntut sampai dijatuhi putusan oleh hakim. Hanya saja, adanya
kesepakatan damai mungkin dapat meringankan hukuman yang dijatuhkan
oleh hakim. Hal ini pun pernah terjadi dalam praktek peradilan pidana di
Indonesia. Dalam kasus Ny. Ellya Dado, (dikenal dengan “Kasus Ny. Elda”),
dilakukan perdamaian selagi pelaku menjalani proses penyidikan dan
penuntutan. Akhirnya “perdamaian” digunakan sebagai pertimbangan untuk
menyatakan bahwa tindak pidana yang terbukti tidak lagi merupakan suatu
98
Hasil wawancara dengan advokat M. Taufik., S.H., M.H, advokat DPC PERADI Surakarta,
di Surakarta pada hari Senin, 15 April 2013.
119
kejahatan ataupun pelanggaran, dan oleh karenanya Bismar Siregar, S.H,
selaku Hakim Ketua melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum. 99
Keputusan hakim yang demikian adalah suatu bentuk hukum progresif
yang sebenarnya di kemudian hari dapat menjadi yurisprudensi untuk perkara
yang sama. Dalam tata hukum Indonesia, tindakan hakim yang membuat
peraturan sendiri atau menemukan kaidah hukum yang baru dalam
menyelesaikan suatu perkara yang diadilinya karena tidak diatur secara jelas
dalam undang-undang dapat dibenarkan.
Pada praktiknya perkara dihentikan karena advokat dan penyidik
dalam kasus-kasus tertentu tersebut meyakini jika perkara dihentikan akan
memberikan kemanfaatan dan keadilan yang lebih besar dari pada bila
dilanjutkan, meskipun bisa dikatakan bertentangan dengan asas kepastian
hukum. Ketika kesepakatan damai telah dicapai namun proses penuntutan
tetap dilanjutkan, maka hal ini akan sangat dipertanyakan oleh para pihak
khususnya korban dan pelaku.
Norma hukum pidana dan hukum acara pidana memang menentukan
bahwa mediasi penal tidak menghapuskan kewenangan menuntut. Namun
tidak semua masyarakat yang menghadapi perkara hukum paham akan
ketentuan pencabutan laporan untuk delik aduan atau delik biasa serta
ketentuan tentang alasan-alasan diperbolehkannya penghentian penyidikan.
99
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, No. 46/PID/78/UT/ WANITA, 17
Juni 1978. Hakim ketua sidang : Bismar Siregar, SH.
120
Yang mereka pahami adalah dengan adanya kesepakatan damai yang dibuat
oleh para pihak (dimana salah satu isi kesepakatan biasanya berupa kesediaan
korban untuk tidak melanjutkan laporan tindak pidana), maka perkara pidana
itu pun selesai. Dilanjutkannya proses penuntutan terhadap perkara yang telah
mencapai kesepakatan damai pun akan menuai polemik dari masyarakat
seperti yang terjadi pada ‘Kasus Andhika Mahesa ‘Kangen Band’ membawa
Lari Gadis di Bawah Umur (CC)’. Perkara ini tetap dilimpahkan ke kejaksaan
meski dia sudah berdamai dengan keluarga CC. CC sebagai korban
menyatakan sudah mencapai kesepakatan damai dengan Andhika dan
mengajukan bentuk pertanggungjawaban yang harus dijalani andhika, namun
ternyata Andhika masih harus menjalani sidang sampai mendapat putusan dari
hakim.
Adanya pertentangan dengan norma hukum acara pidana juga terdapat
pada dikeluarkannya Surat Perintah Pengehentian Penyidikan (SP3) pada
perkara yang diselesaikan dengan mediasi penal. Merujuk pada bunyi Pasal 1
butir 2 KUHAP, pengertian penyidikan dirumuskan sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian
menurut cara yang diatur dalam
serta mengumpulkan bukti yang
tentang tindak pidana yang
tersangkanya.”
tindakan penyidik dalam hal dan
undang-undang ini untuk mencari
dengan bukti itu membuat terang
terjadi dan guna menemukan
Jika dalam penyidikan suatu perkara pidana ternyata berdasarkan fakta
dan ketentuan bahwa perkara itu bukanlah suatu tindak pidana, maka penyidik
121
wajib menghentikan penyidikan, lalu memberitahukan itu pada penuntut
umum, tersangka dan keluarganya. Adapun alasan penghentian penyidikan
telah diatur secara limitatif pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:
a. Tidak diperoleh bukti yang cukup;
b. Peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana;
c. Penghentian penyidikan demi hukum.
Diantara ketiga alasan yang ditentukan oleh KUHAP itu, tidak kita
temukan alasan penghentian penyidikan karena perdamaian atau mediasi
penal. jadi tindakan penghentian perkara yang didasarkan pada perdamaian
dapat dikatakan bertentangan dengan norma hukum acara pidana. Mengenai
hal ini pihak kepolisian berpendapat bahwa tindakan itu adalah suatu
penerapan diskresi polisi yang didasarkan pada pertimbangan sosial dan
kemanfaatan. Diskresi kepolisian adalah suatu wewenang untuk mengambil
suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan
pribadi dalam kapasitas petugas polisi, untuk menentukan tindakan dari
beberapa pilihan baik legal maupun illegal.
Tindakan polisi yang menjadikan kesepakatan mediasi penal sebagai
dasar penghentian perkara sekilas tampak seperti mengabaikan ketentuan
hukum positif. Namun apabila dikaji lebih jauh, tindakan itu justru sesuai
dengan tujuan hukum yaitu perlindungan terhadap setiap warga Negara. Polisi
tersebut memutuskan untuk tidak memproses suatu perkara karena
pertimbangan bahwa penggunaan hukum pidana bukan satu-satunya cara
122
untuk menanggulangi kejahatan, terlebih terhadap dalam kasus pencurian
yang pelakunya adalah anak-anak.
100
Wewenang diskresi ini pun didukung
dengan adanya Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute
Resolution.
Akibat hukum mediasi penal terhadap proses penanganan perkara
pidana tidaklah diatur dalam KUHAP karena mediasi penal sendiri pun tidak
dikenal dalam KUHP maupun KUHAP. Menjadikan kesepakatan mediasi
penal sebagai alasan penghentian penanganan perkara pidana telah menjadi
semacam hukum tidak tertulis di Surakarta. Menurut bentuknya, hukum
dibedakan menjadi hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tidak tertulis
(unstatutery law or unwritten law) adalah hukum yang masih hidup dalam
keyakinan masyarakat tetapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti
suatu peraturan perundang-undangan.101 Berlakunya suatu hukum tidak
tertulis ini bertitik tolak pada keyakinan bahwa undang-undang yang berlaku
secara positif (hukum tertulis) tidak akan pernah betul-betul lengkap untuk
memenuhi segala kehidupan hukum masyarakat karena kebutuhan masyarakat
yang semakin kompleks, berubah, dan berbeda-beda.
100
M. Faal, Penyaringan Tindak Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,
Jakarta, 1991, hlm 16.
101
Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1979, hlm. 70.
123
Kebijakan menghentikan perkara pidana tersebut dapat dikatakan
sebagai pengisi kekosongan hukum dalam memutuskan suatu akibat hukum
kesepakatan mediasi penal secara in concreto. Artinya kebijakan itu berlaku
antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara tertentu. Inisiatif
para pihak dalam memilih mediasi penal sebagai penyelesaian perkara pidana
di Surakarta adalah suatu fenomena dan gejala sosial yang mengarah pada
pembaharuan
hukum
acara
pidana.
Pembaharuan
disini
maksudnya
pembaharuan yang berkaitan dengan kesadaran mengenai pemulihan kerugian
korban dan efektifitas pemenjaraan bagi pelaku, terutama pelaku yang masih
anak-anak.
Perhatian terhadap korban terutama timbul karena selama ini
peradilan ditengarai kurang memenuhi rasa keadilan karena korban hanya
ditempatkan sebagai bagian dari pembuktian tindak pidana, bukan sebagai
pihak yang berkepentingan.
Selanjutnya menurut advokat Yusuf, S.H, seringnya ditemui kehendak
para pihak untuk menyelesaikan perkara pidana dengan mediasi dan
diterimanya tindakan penghentian perkara itu dapat menjadi sumber bahan
pembangunan hukum, bahkan telah sejalan dengan semangat KUHAP yang
baru. Dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal
111 merumuskan sebagai berikut:
124
(1) Penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan
tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
(2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat juga dilakukan atas dasar:
a. putusan hakim praperadian atas dasar permintaan korban/pelapor;
b. dicapainya penyelesaian mediasi antara korban/pelapor dengan
tersangka.
(3) Tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;
b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat tahun);
c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;
d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70
(tujuh puluh) tahun;
e. kerugian sudah diganti;
(4) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e
hanya berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun;
(5) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepada atasan penyidik.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian melalui
mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dapat kita lihat dalam Rancangan KUHAP yang merupakan ius
constituendum itu dimungkinkan adanya mediasi penal pada tingkat
125
penyidikan sebagai alasan penyidik menghentikan suatu perkara pidana dan
juga diatur secara limitatif tentang tindak pidananya. Selain itu ide mediasi
penal sebagai alasan hapusnya kewenangan melakukan penuntutan juga
terkandung dalam kebijakan konsep KUHP tahun 2008 tentang gugur atau
hapusnya kewenangan menuntut tindak pidana, sebagaimana tertuang dalam
Pasal 145 yang menentukan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika: (d)
Penyelesaian di luar proses; (e) Maksimum pidana denda dibayar dengan
sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana
denda paling banyak kategori ll; (f) Maksimum pidana denda dibayar dengan
sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.102
Jika rancangan peraturan itu kelak diberlakukan, mungkin satu hal
yang dapat dipertanyakan adalah bagaimana jika ditingkat penyidikan para
pihak tidak melakukan mediasi penal, tetapi kesadaran itu muncul pada
tingkat penuntutan atau sidang pengadilan, apakah mediasi penal dapat
dilakukan? Hal ini mungkin dapat menjadi bahan kajian selanjutnya mengenai
penerapan mediasi penal.
102
hlm. 320.
Umi Rozah, Hukum Pidana dalam Perspektif , Bali, Penerbit Pustaka Larasan, 2012,
126
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Peranan yang dilakukan advokat dalam menerapkan mediasi penal merupakan
bentuk dari pemberian jasa hukum dan bantuan hukum non litigasi terhadap
kliennya. Dalam mediasi penal advokat berperan sebagai:
a. Inisiator, yaitu sebagai pihak yang memprakarsai penerapan mediasi penal
untuk menyelesaikan suatu perkara pidana dan mengusulkannya kepada
para pihak (korban, pelaku, penyidik).
b. Mediator, yaitu sebagai pihak ketiga yang memimpin dan menengahi
jalannya perundingan secara netral berdasarkan pilihan atau kesepakatan
para pihak.
c. Fasilitator, yaitu sebagai pihak yang membantu proses penerapan mediasi
penal dengan cara mempersiapkan dan mengusulkan materi kesepakatan,
mempersiapkan tempat, waktu serta para pihak yang diperlukan untuk
hadir dalam proses mediasi.
2. Akibat hukum dari kesepakatan yang dihasilkan dari mediasi penal adalah:
1. Timbulnya kewajiban pelaku untuk bertanggungjawab memulihkan
kerugian korban.
127
2. Dihentikannya proses penanganan perkara pidana, dalam hal perkara sudah
sampai
tahap
penyidikan,
kesepakatan
mediasi
penal
berakibat
dihentikannya penyidikan. Tindakan ini sebenarnya tidak sesuai dengan
norma hukum pidana dan acara pidana, namun dijadikannya kesepakatan
damai sebagai dasar penghentian penyidikan sudah menjadi semacam
hukum tidak tertulis yang didasarkan pada wewenang diskresi polisi.
B. Saran
Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang
diajukan dalam penelitian ini. Saran-saran tersebut adalah:
1. Peran aktif advokat dalam menerapkan mediasi penal dapat membantu
tercapainya kemanfaatan dan keadilan bagi penyelesaian perkara pidana.
Meski
begitu tindakan itu perlu mendapat pengawasan dari organisasi
advokat agar mediasi penal benar-benar diterapkan karena alasan kemanfaatan
bagi para pihak dan pemulihan kerugian bagi korban sebagai perwujudan
Restorative Justice, bukan dimanfaatkan sebagai alat untuk pelaku ‘mangkir’
dari pertanggungjawaban pidana.
2. Pengawasan juga harus dilakukan oleh pimpinan terhadap tindakan
penghentian perkara yang dilakukan penyidik agar diskresi polisi yang
dilakukan benar-benar untuk keadilan dan kemanfaatan masyarakat, jangan
sampai menjadi celah untuk ‘suap agar pelaku bebas dari jeratan hukum’,
jangan sampai ke arah penghentian penyidikan yang tidak sah yang dapat di
praperadilan kan.
128
3. Rancangan KUHAP yang memuat aturan perdamaian sebagai alasan
penghentian perkara perlu segera diundangkan.
4. Sosialisasi mengenai peristilahan dan penerapan mediasi penal perlu
ditingkatkan.
Daftar Pustaka
1. Buku
Ali, Mahrus. 2013. Melampaui Positivisme Hukum Negara. Aswaja Pressindo:
Yogyakarta.
Arief, Barda Nawawi. 2008. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar
Pengadilan. Pustaka Magister: Semarang.
Faal, M. 1991. Penyaringan Tindak Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian).
Pradnya Paramita: Jakarta.
Hadikusuma, Hilman. 1979. Hukum Pidana Adat. Alumni: Bandung.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana. Sinar Grafika: Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa. Citra Aditya Bakti: Bandung.
------------------------. 2001. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan). Sinar Grafika: Jakarta.
Margono, Suyud. 2004. ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum.
Ghalia Indonesia: Jakarta.
Meadow, Carie-Menkel. 2001. Mediation. Asghate Publishing Company: USA.
Poernomo, Bambang. 1993. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana
dan Penegakkan Hukum Pidana. Liberty: Yogyakarta.
Sahetapy, J.E. 1987. Victimology Sebuah Bunga Rampai. Pustaka Sinar Harapan:
Jakarta.
Prayitno, Kuat Puji. 2010. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum. Kanwa
Publisher: Yogyakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sumur bandung:
Bandung.
Rahardjo, Satjipto. 1977. Aneka Persoalan Hukum dan Mayarakat. Penerbit Alumni:
Bandung.
Riswanto, 2009. Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana di
Luar Pengadilan, Tesis, Purwokerto.
Santoso, Muhari Agus. 2002. Paradigma Baru Hukum Pidana. Averroes Press:
Malang.
Sinaga, V. Harlen. 2011. Dasar-dasar Profesi Advokat. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis. Ghalia
Indonesia: Jakarta.
Soemitro, Ronny H. 1998. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia
Indonesia: Jakarta.
Sunarso, Siswanto. 2012. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Sinar Grafika:
Jakarta.
Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana
menurut KUHAP bagi Penegak Hukum). Politeia: Bogor.
Tim Departemen Kriminologi Fisip UI. 2011. Reparasi dan Kompensasi Korban
dalam Restorative Justice System. LPSK: Jakarta Pusat.
Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem
Peradilan Anak di Indonesia. Genta Publishing: Yogyakarta.
2. Jurnal dan Internet
Kuat Puji Prayitno. 2012. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif
Yuridis Filosofis dalam Penegakkan Hukum In Concreto). Jurnal Dinamika
Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto,
Volume 12 No.3.
Lasmadi, Sahuri. Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal
Fakultas
Hukum
Universitas
Jambi,
onlinejournal.unja.ac.id/index.php/kimih/article/download/530/484+&cd, diunduh
pada 20 Mei 2012.
Tedjosaputro, Liliana dan Krismiyarsi. 2012. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
Melalui Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana
KDRT.
Jurnal
Kriminologi
Indonesia,
Volume
8
No.1
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/1081/993, diunduh pada 5
Juni 2013.
Anonim, 15 Februari 2013. Andika Tetap diproses Hukum Meski telah Berdamai
dengan Pihak CC. life.viva.co.id/news/read, diunduh pada 10 Maret 2013.
---------, Pengertian Keadilan Retributif. http://id.wikipedia.org/wiki/retributifjustice, diunduh pada tanggal 16 Maret 2013.
Vasso Artinopoulou. Victim Offender in Family Violance Cases: The Greek
Experience.http://bunmegelozez.easyhosting.hu/dok/20091427_eloadasok/ar
tinopoulou_workshop3.ppt_2009., diunduh pada 2 maret 2013.
3. Kamus
Henry Campbel Black. 1990. Blacks’s Law Dictionary. West Publishing Co.:St.Paul.
John M. Echols dan Hassan Shadily. 1981. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia:
Jakarta.
J.C.T Simorangkir, dkk. 1980. Kamus Hukum. Aksara Baru: Jakarta.
4. Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
------------, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP).
------------, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
------------, Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
------------, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM.
------------, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.
------------, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
------------, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
------------, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor: 1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
International Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR) atau Konvensi Hak
Sipil dan Politik.
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Kehidupan Adat
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Perpolisian Masyarakat..
Surat Kapolri No Pol B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang
Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).
Download