Bab III Analisa Masalah 3.1 Analisa Permasalahan Secara Umum Penduduk Indonesia kurang memiliki pengetahuan mengenai bencana-bencana yang sering terjadi di Indonesia. Akibatnya, kerusakan harta, benda maupun korban nyawa selalu terjadi setiap kali bencana itu terjadi. Upaya-upaya pencegahan bencana sudah dilakukan, namun karena kebiasaan, penduduk Indonesia cenderung melakukan hal-hal yang memicu terjadinya bencana. Wilayah Indonesia termasuk kawasan yang rawan gempa. Namun penduduk Indonesia ternyata masih kurang memiliki kesadaran akan kondisi geologis tersebut. Penduduk Indonesia justru membangun rumah di kawasan yang rawan gempa, dengan konstruksi bangunan yang rentan terhadap gempa. Hal inilah yang memicu timbulnya korban saat terjadinya gempa, meskipun kekuatannya relatif kecil. Penduduk yang menjadi korban biasanya akan cenderung menyalahkan pemerintah dan menuntut ganti rugi dari pemerintah. Pada akhirnya bencana tersebut akan menelan lebih banyak kerugian. Bencana yang bertubi-tubi menyebabkan pemerintah terpaksa mengeluarkan anggaran lebih untuk menutupi kerugian akibat bencana. Hingga saat ini, Aceh yang sempat terkena tsunami pada tahun 2004, belum pulih seutuhnya, sementara tempat-tempat lain yang terkena bencana juga memerlukan bantuan pemerintah. Hal ini seharusnya tidak akan terjadi, jika ada Undang Undang Bencana. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, telah dirumuskan kondisi Indonesia yang rawan bencana. Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa pemerintah Indonesia sesungguhnya telah menyadari kondisi Indonesia yang rawan gempa dan bencana alam lainnya, namun tidak gencar melakukan upaya mitigasi. Upaya mitigasi yang seharusnya menjadi tugas Bakornas PB justru lebih gencar dilakukan lembaga-lembaga non-pemerintah, bahkan lembaga Internasional seperti ODHA dan UNESCO. Pada saat gempa terjadi di Yogyakarta serta di beberapa kota besar, stasiun televisi- stasiun televisi gencar menayangkan masalah gempa dan cara penyelamatan diri, namun tayangan ini hanya sepintas. Tayangan mengenai gempa ini seakan-akan terpengaruh rating, sehingga dalam sekejap tayangan ini pun diganti dengan tayangan berita lain, dan tidak diungkit-ungkit lagi. 17 Padahal seharusnya pengetahuan mengenai gempa perlu diingat terus menerus, khususnya oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah rawan gempa. 3.2 Tinjauan Permasalahan Salah satu konsep dasar mitigasi bencana adalah “kenalilah musuhmu, bahayanya dan pengaruhnya”. Bagi penduduk Indonesia, salah satu musuh yang dimaksud adalah gempa bumi. Dalam buku Mitigasi Bencana disebutkan lebih lanjut bahwa pemahaman mengenai bahaya mencakup pemahaman mengenai: • Bagaimana bahaya itu muncul • Kemungkinan terjadi dan besarannya • Mekanisme fisik kerusakannya • Elemen dan aktivitas yang paling rentan terhadap pengaruhnya • Konsekuensi kerusakan Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, penduduk Indonesia ternyata banyak yang tidak memahami secara benar mengenai bahaya gempa. Munculnya gempa bumi sering dikaitkan dengan hal hal mistik, seperti hukuman akibat tingkah laku manusia maupun mitos-mitos seperti antaboga (dewa berbentuk naga dari mitologi Jawa). Mitos serta kepercayaan seperti itu justru lebih diingat daripada kenyataan bahwa gempa itu dikarenakan oleh aktivitas lapisan permukaan bumi, akibatnya bencana akibat gempa bumi selalu muncul bahkan pada gempa yang tidak besar. Menurut Dr. Danny Hilman Natawijaya, kemungkinan terjadi gempa bumi memang bisa diramalkan, namun sulit diketahui waktu terjadinya dalam jangka pendek. Pengetahuan mengenai gempa dan cara menyelamatkan diri diperlukan supaya masyarakat Indonesia tetap mempunyai harapan jika gempa datang sewaktu-waktu. Mekanisme kerusakan gempa terjadi karena energi getaran yang dikirimkan lewat permukaan bumi dari kedalaman, getaran menyebabkan kerusakan dan menghancurkan bangunan-bangunan, yang pada gilirannya bisa membunuh dan melukai orang-orang yang bertempat tinggal di situ. 75% kematian saat gempa bumi terjadi akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Sementara itu, konsep mitigasi lainnya adalah menyelamatkan hidup dan menghindari gangguan ekonomi. Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahaya terbesar dari gempa adalah runtuhnya bangunan yang dapat melukai penduduk setempat, sehingga menyelamatkan hidup bisa dilakukan dengan cara menghindari bangunan yang runtuh. Bangunan yang runtuh dapat dihindari ataupun dikurangi jika menggunakan material ataupun 18 konstruksi yang tepat. Bangunan yang terbuat dari kayu relatif lebih kuat daripada bangunan dari tembok, sementara penduduk Indonesia lebih banyak yang menggunakan bangunan dari tembok dengan konstruksi seadanya. Selain itu, tata ruang di wilayah pemukiman di perkotaan besar di Indonesia biasanya sangat padat, sehingga jika terjadi gempa, hampir tidak ada jalur evakuasi, karena padatnya bangunan dan resiko tertimpa banguna menjadi lebih besar. Padahal di beberapa negara lain yang rawan gempa, bangunan yang didirikan rata-rata telah menggunakan konstruksi tahan gempa. Contohnya di Negara Nepal, sudut-sudut ruangan yang terbuat dari tembok sudah dipasangi penahan dari besi. Selain itu, penduduk Indonesia yang tinggal di daerah rawan gempa perlu dibekali petunjuk penyelamatan diri. Hal yang paling sederhana dari cara penyelamatan diri adalah pergi ke tempat terbuka seperti lapangan. Namun padatnya pemukiman di Indonesia menyebabkan berkurangnya tempat terbuka yang bisa menjadi tempat evakuasi saat terjadinya gempa, yang juga dapat memuat seluruh penduduk di daerah itu. Selain itu, berkembangnya kota besar, membuat munculnya gedung-gedung bertingkat. Di gedung bertingkat, intensitas gempa bumi dapat lebih terasa, sementara itu saat terjadi gempa bumi, belum tentu orang yang berada di tingkat atas bisa langsung berlari ke tempat terbuka. Menurut Ir. Bambang W. Suwargadi, M.Sc, pada saat terjadinya gempa Nias tahun 2005, penduduk Nias banyak yang tidak bisa berdiri apalagi berlari, karena bertiarap pun tetap terguncang-guncang. Oleh karena itu, di situs FEMA (situs untuk anak-anak), instruksi penyelamatan diri saat terjadi gempa disederhanakan menjadi “drop” (tiarap), “cover” (berlindung di bawah sesuatu), dan “hold on” (berpegangan pada sesuatu) selama permukaan tanah masih bergetar. Di Indonesia sendiri, pendidikan mengenai cara pengevakuasian saat terjadinya gempa kurang dianggap penting. Informasi cara penyelamatan diri hanya diketahui sepintas lalu, sehingga saat terjadinya gempa, banyak penduduk yang tidak memiliki kesiapan menghadapi gempa bahkan tidak tahu langkah yang harus dilakukan. Mitigasi memang paling efektif dilakukan pada masyarakat yang baru saja mengalami bencana tersebut, karena masyarakat tersebut masih mengingat bahayanya, sebaliknya masyarakat yang tidak terkena bencana, bisa jadi hanya mengetahui sedikit mengenai cara penyelamatan diri, bahkan tidak tertarik sama sekali untuk mengingat cara menyelamatkan diri sendiri. Hal ini terlihat dari munculnya buku mengenai gempa setelah gempa terjadi di Yogyakarta lebih banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan buku mengenai gempa dan Tsunami Aceh, padahal gempa di Aceh jauh lebih besar dibandingkan gempa di Aceh. Hal ini dikarenakan kantor penerbitan lebih banyak yang berdomisili di Pulau Jawa, sehingga mereka lebih tanggap terhadap bencana yang terjadi di daerahnya. Begitu pula saat terjadi gempa di Jakarta, stasiun televisi lebih banyak menayangkan petunjuk penyelamatan 19 diri, daripada saat gempa terjadi di daerah lainnya. Padahal informasi gempa seharusnya dilakukan secara terus menerus dan menyeluruh ke semua daerah di Indonesia. Elemen yang paling berisiko terhadap gempa antara lain bangunan yang lemah dengan tingkat hunian tinggi, bangunan dengan konstruksinya buruk, bangunan dengan atap yang berat, bangunan berkualitas rendah, bagunan yang berlokasi di lereng atau di atas tanah yang mengalami perubahan bentuk. Gempa bumi juga dapat memicu terjadinya bencana lain seperti longsor, tsunami dan kebakaran. Tsunami diakibatkan oleh gempa bumi yang pusatnya di bawah laut yang kedalamannya kurang dari 30 km, dan kekuatan gempanya sekitar 7 moment magnitude, seperti yang terjadi di Aceh dan Pangandaran. Sementara kebakaran akibat gempa pernah terjadi di San Fransisco tahun 1906. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa upaya mitigasi gempa bumi di Indonesia dapat berupa penanaman pemahaman mengenai: • Konsep Gempa Bumi • Penyebab Gempa Bumi • Kondisi geologis Indonesia • Terjadinya gempa bumi yang susah diramalkan • Konstruksi bangunan yang tahan gempa • Pedoman penyelamatan diri saat gempa • Pentingnya jalur evakuasi dan tempat terbuka Namun dari poin-poin yang disebutkan di atas, akan muncul masalah-masalah baru jika diterapkan di Indonesia, salah satunya karena kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Kepadatan pemukiman di kota-kota besar dapat dikarenakan oleh kegiatan perekonomian yang memang terpusat di kota-kota besar. Masyarakat yang memiliki tempat tinggal di daerah padat tersebut pasti tidak mau direlokasi tanpa uang ganti yang sesuai, apalagi karena masyarakat tersebut memang bekerja di kota besar. Mahalnya harga tanah juga menyebabkan pemanfaatan tanah seluas-luasnya tanpa menyisakan tempat kosong atau terbuka untuk lokasi evakuasi. Menurut buku Gempa Jogja, Indonesia & Dunia, pemerintah juga seharusnya memberlakukan building code yaitu aturan mengenai konstruksi dan bahan bangunan yang dapat tahan gempa untuk mengurangi bencana yang dapat ditimbulkan. Selain itu, perlu juga pengaturan yang tegas mengenai pemanfaatan lahan, serta Undang Undang Bencana supaya penanganan daerah yang terkena bencana dapat lebih cepat dan tepat. Upaya terakhir dari masalah bangunan adalah dengan menggunakan asuransi gempa. Asuransi dapat digunakan untuk menutupi kerugian yang mungkin akan dialami jika terkena gempa bumi. Di Negara Jepang, asuransi ini menjadi sangat penting bagi penduduk yang tinggal di daerah 20 rawan gempa. Namun di Indonesia, tidak semua penduduk di Indonesia memahami pentingnya asuransi, dan juga tidak semua penduduk mampu membeli asuransi tersebut. Solusi berupa pembuatan RUU bencana, building code dan asuransi bencana serta relokasi penduduk dapat menjadi solusi jangka panjang, tetapi solusi-solusi ini pada dasarnya hanya mungkin dilakukan oleh penduduk tertentu. RUU bencana dan building code hanya bisa diwujudkan oleh penduduk yang memahami masalah perundang-undangan dan menyadari masalah gempa di Indonesia. Sementara Asuransi dan relokasi rumah penduduk hanya bisa dilakukan oleh warga berperekonomian menengah ke atas. Selain itu, masalah penggunaan asuransi dan perelokasian rumah biasanya menjadi urusan orang dewasa dalam suatu keluarga, anak-anak hanya menjadi pihak yang pasif, karena biasanya orang dewasa pulalah yang memiliki keuasaan dalam pengaturan ekonomi keluarga. Perekonomian keluarga yang baik pun tidak menjamin suatu keluarga merelokasi rumahnya ke daerah yang lebih aman dari gempa. Adanya pertimbangan akan fasilitas kesehatan, pendidikan dan lahan pekerjaan membuat banyak penduduk tetap bertahan di daerah perkotaan yang relatif lebih rentan terhadap bahaya gempa. Konstruksi bangunan yang tahan gempa pun diabaikan karena kesadaran masyarakat akan permasalahan gempa memang minim. Permasalahan gempa akan terus muncul jika kesadaran masyarakat tersebut memang tidak ada, sementara kesadaran tidak muncul dalam sekejap. Oleh karena itu, untuk saat ini, hal pertama yang perlu dilakukan adalah penanaman kesadaran masyarakat Indonesia. Penanaman kesadaran itu harus dilakukan sejak dini, supaya terus diingat hingga dewasa. 21 Bagan analisa target audience 3.3 Analisa SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat) Animasi sebagai solusi permasalahan di atas, memiliki SWOT sebagai berikut: 3.3.1 Strenght (kekuatan) Animasi cocok digunakan untuk membahas permasalahan gempa, karena animasi memungkinkan pengambilan adegan yang mustahil sekalipun, seperti reka-ulang gempabumi. Gempabumi merupakan bencana yang terjadi secara tiba-tiba sehingga sulit mendapatkan rekaman kejadian gempabumi yang nyata. 22 Biaya pembuatan animasi relatif lebih murah jika dibandingkan dengan biaya pembuatan film gempa, karena properti dan barang yang rusak akibat gempa tidak harus benar-benar ada, dapat dibuat lewat proses animasi. 3.3.2 Weakness (kelemahan) Kelemahan animasi ini adalah kemungkinan penggambaran yang hiperbolis sehingga kadang tidak sesuai kenyataan, atau sangat bergantung pada kemampuan animator. Penyederhanaan gambar pada animasi, terutama yang menggunakan pendekatan gambar kartun, bisa menyebabkan animasi tersebut berkesan lucu, sehingga pesan mengenai bencana yang menyeramkan justru tidak dapat disampaikan dengan baik. 3.3.3 Opportunity (peluang) Animasi hingga saat ini masih menjadi tontonan yang paling disukai oleh anak-anak yang menjadi target sasaran. Animasi juga cocok digunakan sebagai sarana mempelajari ilmu bumi yang berkaitan erat dengan gempabumi. Animasi mempermudah visualisasi prinsip lempeng tektonik. 3.3.4 Threat (ancaman) Animasi ini karena menggunakan format iklan televisi, maka durasinya juga mengikuti durasi iklan yaitu 30 detik. Durasi ini terlalu singkat untuk bisa menjelaskan permasalahan gempabumi yang rumit. 23 Opportunity Strenght Weakness • • Dapat mereka-ulang adegan yang mustahil • Biaya pembuatan kenyataan • murah Cenderung berkesan lucu • Disukai anak-anak • Disukai anak-anak • Bisa menjelaskan ilmu • Bisa menjelaskan ilmu bumi Threat Tidak sesuai • Dapat mereka-ulang bumi • adegan yang mustahil • Biaya pembuatan Tidak sesuai kenyataan • murah Cenderung berkesan lucu • Durasi singkat • Durasi singkat • Materi rumit • Materi rumit Jadi dapat disimpulkan, animasi yang tidak sesuai kenyataan dan lucu justru disukai oleh anak-anak. Dalam permasalahan ini gempabumi tidak dianggap sebagai bencana yang menakutkan dan mematikan, melainkan sebagai bencana yang lumrah terjadi dan masih bisa dihindari oleh anak-anak sekalipun. Materi yang rumit harus disederhanakan atau dibagi menjadi sub-materi yang lebih sederhana supaya dapat ditayangkan dengan durasi 30 detik saja. 24