hubungan budaya dan lingkungan pada situs-situs

advertisement
Slamet Sujud Purnawan Jati, Hubungan Budaya dan Lingkungan …
33
HUBUNGAN BUDAYA DAN LINGKUNGAN PADA SITUS-SITUS
GUA PRASEJARAH DI JAWA TIMUR
Slamet Sujud Purnawan Jati
Jurusan Sejarah FIS UM
Abstract: This research wants to try on explaining distribution of prehistoric cave
sites in East Java and studies about relation between sites and environment as
resource. Thus, this research does not study one site in detail, but it covers all
prehistoric cave sites which be found in East Java areas. Trough this study, it will be
tried to learn relationship between one site with another site with environment, and
interpret how the past human made decision to choose location as settlement place
and human activities life.
Key words: relationship, culture, site, environment
Sudah cukup banyak penelitian dilakukan
oleh para ahli terhadap situs-situs gua
prasejarah di wilayah Jawa Timur. Namun
demikian belum banyak yang mengaitkan
dengan aspek lingkungan. Selama ini banyak
penelitian lebih menitik-beratkan perhatian
pada pengkajian atas dimensi bentuk
(formal) dan dimensi waktu (temporal).
Sedangkan pengkajian atas dimensi ruang
(spatial) belum begitu ditonjolkan. Penelitian
tersebut cenderung kepada perkara-perkara
morfologi, tipologi, dan kronologi, serta
belum begitu banyak memerhatikan konteks
lingkungannya.
Sejak masa lalu manusia telah
memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal ini tercermin dari
bukti-bukti arkeologi yang diperoleh, baik
yang berbentuk artefak (artifact), ekofak
(ecofact), fitur (feature), dan situs (site).
Namun disadari bahwa bukti-bukti arkeologi
yang sampai kepada kita memiliki keterbatasan baik kuantitas maupun kualitas
(Mundardjito, 1986). Oleh karena itu untuk
dapat menjelaskan kehidupan manusia masa
lalu tidak hanya dibutuhkan pengkajian atas
artefak semata-mata, tetapi pengkajian yang
luas atas tinggalan arkeologi, tidak saja pada
hanya satu situs, namun tinggalan arkeologi
dalam skala ruang yang lebih luas, yaitu
benda-benda arkeologi dan situs-situs yang
tersebar dalam wilayah atau kawasan. Untuk
itu diperlukan pendekatan yang makro, yaitu
pendekatan kawasan disertai dengan kesadaran yang tinggi akan keterkaitan antar
situs, baik secara ekologis, geografis maupun
fungsional.
Oleh kerana itu studi tentang
hubungan timbal balik antara manusia,
budaya, dan lingkungan alam masa lalu
merupakan topik yang tetap aktual, menarik,
dan perlu dikembangkan dalam disiplin ilmu
arkeologi. Bahkan untuk dapat mengetahui
dan memahami hubungan tersebut, pada
dasawarsa terakhir ini ada kecenderungan
para ahli arkeologi Indonesia menerapkan
suatu pendekatan yang dikenal dengan kajian
arkeologi-ruang.
Arkeologi-ruang merupakan salah
satu studi khusus dalam bidang arkeologi
yang lebih menekankan pada pengkajian
dimensi ruang (spatial), yakni untuk
mengetahui dan memahami berbagai hal
mengenai perilaku dan gagasan keruangan
masyarakat masa lalu. Studi ini menyoroti
persebaran dari benda-benda dan situs-situs
arkeologi, kemudian hubungan antara benda
dengan benda dan antara situs dengan situs,
34 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010
serta hubungan antara benda dan atau
lingkungan fisiknya sebagai sumberdaya
(Mundardjito,1993).
Dengan
demikian
arkeologi-ruang tidak hanya mengkaji
hubungan lokasional atau keruangan antara
artefak, tetapi juga dengan dan antara
bentuk-bentuk data arkeologi yang lain
seperti struktur atau fitur (feature), situs, dan
lingkungan fisik yang dimanfaatkan sebagai
ruang sumberdaya (resource space) (Clarke,
1977).
.
Tujuan Penelitian
Perubahan lingkungan pada kala
plestosen akhir menyebabkan manusia
bermukim di gua-gua sebagai bentuk
penyesuaian barunya (Soejono, 2010). Hasil
penelitian arkeologi selama ini menunjukkan
bahwa cara kehidupan dalam gua-gua alam
di Indonesia diperkirakan muncul pada kala
pasca plestosen atau awal holosen. Kala
pasca plestosen dimulai kira-kira 10.000
tahun yang lalu, setelah berakhirnya masa
glasial terakhir. Berakhirnya masa glasial
tersebut mengakibatkan beberapa perubahan
penting, terutama perubahan lingkungan
yang membawa konsekuensi pada perubahan
kehidupan manusianya. Kala ini di Indonesia
disejajarkan
dengan
masa
mesolitik
(Heekeren, 1972) atau masa berburu dan
mengumpul
makanan
tingkat
lanjut
(Soejono, 2010).
Terpilihnya gua sebagai tempat
hunian merupakan produk pengetahuan dan
pengalaman manusia bahwa gua merupakan
tempat ideal untuk bermukim, selain itu
bagaimana manusia berupaya memanfaatkan
lingkungan fisiknya berdasarkan pandangan
dan pengetahuan tentang lingkungan
tersebut. Pemilihan gua-gua alam oleh
manusia (sekelompok manusia) sebagai
tempat bermukim dan melakukan aktivitas
hidupnya pada masa prasejarah, tampaknya
berkaitan dengan upaya mengeksploitasi
sumberdaya
alam
untuk
memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik yang berkenaan
dengan perolehan makanan dan perlindungan
diri maupun penempatan dirinya di muka
bumi. Pada jaman prasejarah, lokasi situs
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Hal ini disebabkan karena manusia
prasejarah cenderung untuk memanfaatkan
atau melakukan strategi subsistensi pada
daerah-daerah yang dekat dengan air dan
sumber makanan. Lingkungan dengan
sumber alam yang melimpah akan menarik
manusia untuk menempatinya (Clark 1960,
Butzer 1976, Soebroto 1995).
Apabila gagasan tersebut diatas
diterapkan untuk menduga kemungkinan
pemilihan gua-gua prasejarah di Jawa Timur
sebagai tempat bermukim dan tempat
melakukan aktivitas hidupnya, maka potensi
sumberdaya lingkungan di sekitar gua-gua
tersebut tentunya cukup menjamin. Akan
tetapi, ternyata tidak semua gua di Jawa
Timur dalam lingkup Industri Tulang
Sampung (Sampung Bone Industry) pernah
dimukimi oleh menusia. Ada pertimbangan
manusia di dalam memilih gua sebagai
tempat bermukim.
Hasil penelitian arkeologi selama
ini juga memberi petunjuk bahwa corak
kehidupan manusia pada kala awal holosen
masih melanjutkan corak kehidupan dari kala
sebelumnya, yaitu sebagai pemburu dan
peramu, walupun tidak menutup kemungkinan telah melakukan aktivitas pertanian
tingkat awal. Untuk itu mereka harus
melakukan penyesuaian baru. Hal ini tampak
dari munculnya alat-alat baru sebagai bentuk
adaptasi dengan lingkungan yang baru pula.
Salah satu budaya yang mengandung alatalat baru tersebut adalah Industri Tulang
Sampung (Sampung Bone Industry). Nama
Industri Tulang Sampung ini dipergunakan
untuk menyebut himpunan temuan arkeologi
pada situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur
(Heekeren 1972).
Bertolak dari uraian tersebut, ada
sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji
berkenaan dengan keterkaitan aspek budaya
Slamet Sujud Purnawan Jati, Hubungan Budaya dan Lingkungan …
dan aspek lingkungan. Maka masalah umum
yang dipilih dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: mengkaji
hubungan antara budaya dan lingkungan
pada situs-situs gua prasejarah di Jawa
Timur. Sejalan dengan masalah umum itu,
pertanyaan yang diajukan dalam penelitian
ini adalah: bagaimana hubungan antara
pemilihan gua sebagai tempat bermukim
(dalam hal ini lokasi situs) dengan potensi
sumberdaya lingkungan, khususnya ditinjau
dari variabel sumberdaya abiotik; sejauh
mana variabel lingkungan berhubungan
dengan lokasi situs, dengan kata lain apakah
keletakan situs - situs gua mempunyai
kecenderungan untuk terletak pada nilai-nilai
kelas tertentu dari variabel lingkungan
tersebut; dan akhirnya, bagaimana pola
hubungan antara budaya dan lingkungan
pada situs-situs gua prasejarah di Jawa
Timur.
.
Metode Penelitian
Secara garis besar penelitian tentang
hubungan budaya dan lingkungan pada situssitus gua prasejarah di Jawa Timur ini akan
mengikuti dua tahap penelitian, yaitu tahap
penyusunan kerangka pikir dan tahap
operasional. Tahap penyusunan kerangka
pikir meliputi perumusan masalah, konsep,
identifikasi sampel, dan menyusun dugaan
(Singarimbun dan Effendi 1982, Mundardjito
1986). Setelah masalah dirumuskan, maka
untuk memperjelas batasan masalah yang
akan diteliti dan proses analisis yang akan
dilakukan, perlu dikemukakan penjelasan
mengenai konsep yang digunakan. Dalam
penelitian ini konsep yang harus dijabarkan
adalah konsep budaya dan konsep
lingkungan. Kedua konsep yang memerhatikan hubungan timbal balik antara manusia
dan lingkungannya, dapat dipakai untuk
menjelaskan perilaku manusia dalam
beradaptasi dengan lingkungannya.
Dalam beberapa hal lingkungan
dipandang sebagai aspek yang bersifat statis,
35
serta hanya merupakan tempat manusia
melakukan interaksi dan aktivitas hidupnya,
tanpa memperhitungkan kemungkinan bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Walaupun lingkungan berpengaruh terhadap perilaku manusia atau
budayanya, namun tidak berarti kondisi ini
bersifat deterministik. Oleh karena itu pada
tahap operasionalnya, penelitian dengan cara
pandang ekologis semacam ini, perlu
menerapkan suatu pendekatan yang dalam
arkeologi dikenal dengan nama pendekatan
determinan ekologi (ecological determinant
approach) (Baumhoff 1963, Thomas 1979),
yang pada intinya menitikberatkan pada
analisis keragaman pola sebaran situs.
Pendekatan determinan ekologi ini (bukan
ecological determinism) tidak menganggap
bahwa suatu lingkungan fisik mendeterminasi atau menentukan seluruh aspek
kebudayaan, tetapi memandang bahwa
sekumpulan faktor lingkungan tertentu dalam
suatu daerah memungkinkan pemilihan dan
penempatan aktivitas hidup pada situs-situs
arkeologi tersebut (Mundardjito 1993).
Setelah konsep yang dikemukakan
diberi batasan pengertian, maka langkah
selanjutnya adalah pembentukan dugaan.
Dalam penelitian ini dugaan dilandasi oleh
anggapan bahwa pendukung situs-situs gua
prasejarah di Jawa Timur (pendukung
Industri Tulang Sampung) telah melakukan
strategi adaptasi dengan memanfaatkan guagua alam dan sumberdaya lingkungannya
melalui hasil-hasil budayanya. Demikian
pula pola persebaran situs-situs gua
prasejarah di daerah penelitian dianggap
berhubungan dengan pola persebaran
sumberdaya alam masa lalu secara bervariasi,
dan melahirkan pola-pola hubungan yang
bervariasi pula. Oleh karena itu diduga ada
pola hubungan antara budaya dan lingkungan
pada situs-situs gua prasejarah di Jawa
Timur.
Tahap operasionalisasi merupakan
proses empiris penelitian yang meliputi
36 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010
pengumpulan data, pengolahan data, dan
penyimpulan hasil pengolahan data. Setelah
dugaan terbentuk, tahap berikutnya adalah
pengumpulan data. Sumber data yang
diperlukan adalah data budaya dan data
lingkungan. Pada aspek budaya, data-data
yang perlu diperhatikan dan dikumpulkan
adalah data lokasional atau keletakan setiap
situs (nama administrasi, nama situs, nama
dusun, desa, dan koordinat situs). Melalui
data inilah maka dibuatlah peta persebaran
situs.
Sedangkan
data
sumberdaya
lingkungan yang dimanfaatkan dalam
penelitian ini adalah data lingkungan fisik
atau abiota masa sekarang dengan anggapan
dasar bahwa pada prinsipnya keadaan
lingkungan fisik masa sekarang dapat
dijadikan dasar untuk memberikan gambaran
teentang keadaan lingkungan masa lalu. Data
lingkungan fisik yang perlu diperhatikan dan
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:
ketinggian tempat, kelerengan, bentuk lahan,
jenis tanah, batuan, kemampuan tanah, dan
jarak situs ke sungai atau mata air terdekat
(Mundardjito, 1993).
Pengumpulan data budaya dan data
lingkungan tersebut diatas dapat dilakukan
melalui pengumpulan data kepustakaan dan
data lapangan. Dalam upaya untuk
mendapatkan data lokasional situs di daerah
penelitian dilakukan penelusuran terhadap
sejumlah sumber pustaka, serta peta yang
ada, baik peta topografi, geomorfologi, dan
peta administrasi, yang kemudian dicocokkan keberadaannya dengan kenyataan
dilapangan.
Sementara itu data yang digunakan
sebagai dasar pengkajian variabel-variabel
sumberdaya lingkingan fisik di daerah
penelitian diperoleh melalui sejumlah peta
distribusi sumberdaya alam (tematis) dengan
pemeriannya. Peta tersebut antara lain peta
topografi, peta geologi, peta hidrologi, peta
ketinggian tampat, peta jenis tanah, dan peta
kemampuan tanah. Dalam upaya mengetahui
hubungan lokasional situs-situs dengan
lingkungan fisik, maka peta-peta tematis
yang bervariasi skalanya perlu disesuaikan
sehingga diperoleh peta-peta dengan skala
yang sama.
Berpatokan pada peta-peta yang
ada dan digabungkan dengan hasil pengamatan lapangan, maka dibuatlah petapeta tematis (peta persebaran sumberdaya
lingkungan) sesuai dengan tujuan penelitian.
Untuk mengkaji hubungan antara lokasi
situs-situs dengan lokasi satuan sumberdaya
lingkungan, analisis dilakukan dengan
teknik penumpangan (overlay technique)
(Mundardjito 1993). Teknik ini dilakukan
dengan cara penumpangan peta persebaran
situs-situs gua pada peta persebaran
sumberdaya lingkungan. Peta persebaran
situs diuji secara berulang pada setiap
variabel lingkungan di daerah penelitian
(satuan ketinggian tempat, kemampuan
tanah, kelerengan, bentuk lahan, jenis tanah,
jenis batuan, kemampuan tanah, serta sungai
dan mata air). Dari hasil tumpangan ini dapat
dijadikan dasar interpretasi mengenai pola
hubungan situs dengan variabel sumberdaya
lingkungan. Dengan cara demikian akan
diperoleh gambaran tentang pola hubungan
antara situs dengan setiap satuan lingkungan,
lingkungan fisik mana yang mempunyai
hubungan kuat dengan persebaran situs dan
variabel lingkungan mana yang kurang kuat.
Dengan demikian akan diketahui pula
perilaku manusia masa lalu di dalam memilih
lokasi situs sebagai tempat bermukim dan
melakukan aktivitas hidupnya.
Setelah melalui tahap pengolahan
data, langkah selanjutnya adalah tahap
penyimpulan hasil pengolahan. Dari hasil
kesimpulan tersebut diharapkan nantinya
dapat terlihat adanya pola hubungan tertentu
antara budaya dan lingkungan pada situssitus gua prasejarah di Jawa Timur.
Slamet Sujud Purnawan Jati, Hubungan Budaya dan Lingkungan …
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Persebaran Situs Arkeologi
Dari hasil penelusuran pustaka,
peta, serta survei permukaan terhadap situssitus gua prasejarah di daerah penelitian,
maka dapat dilihat bahwa persebaran situssitus gua prasejarah di Jawa Timur meliputi
daerah administrasi kecamatan Sampung
(Ponorogo), Dander (Bojonegoro), Punung
(Pacitan), Wuluhan (Jember), dan Semanding
(Tuban). Pada umumnya gua-gua di daerah
kapur tersebut menghadap ke suatu lembah
dan dialiri anak-anak sungai yang kemudian
bergabung pada sungai yang lebih besar.
Berikut ini akan diuraikan gambaran
mengenai keadaan beberapa situs pada
masing-masing kelompok situs.
a. Kelompok Sampung (Ponorogo)
Kelompok Sampung meliputi gua
Lawa, Pertapan, Manuk, Sulur, Macan,
Ngalen, Layah, Dlongsor, Tutup, dan Nuton.
Sebagian besar gua ini terletak pada suatu
perbukitan kapur bernama Gunung Angel,
yang termasuk ke dalam daerah Dusun
Boworejo, Desa Sampung, Kecamatan
Sampung, Kabupaten Ponorogo. Gua-gua ini
berada pada sisi selatan sebuah perbukitan
kapur yang terpisah dari pegunungan kapur
Sewu di sebelah selatannya. Perbukitan
kapur ini merupakan batas barat dataran
rendah Madiun dimana mengalir beberapa
sungai yang kemudian tergabung dalam kali
Madiun. Bagian utara perbukitan ini diliputi
oleh material erupsi gunung berapi tua
Gunung Kukusan yang berada di lereng
selatan Gunung Lawu (Es, 1930). Di sebelah
timurnya terdapat Gunung Wilis. Di antara
gua-gua alam tersebut, hanya Gua Lawa
yang banyak ditemukan tinggalan-tinggalan
arkeologi prasejarah. Sementara Gua
Pertapan dan Manuk hanya sedikit ditemukan benda-benda arkeologi. Sedangkan
gua-gua lainnya relatif hanya sedikit sekali
adanya temuan benda-benda arkeologi.
37
b. Kelompok Dander (Bojonegoro)
Kelompok Dander meliputi Gua
Lawang, Lawa, Pule, Munggah, Pawon,
Grajen, Payung, Gogor, dan Sumur. Gua-gua
tersebut terletak di Desa Sumberarum,
kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro.
Kelompok gua ini terletak pada bukit kapur
Dander yang merupakan rangkaian bukit
kapur Kendeng (Kendeng Anticline) dan
berada pada ketinggian antara 75 meter
hingga 125 meter dari permukaan air laut. Di
sebelah utara daerah ini terdapat lembah Kali
Bengawan Solo yang termasuk dalam Zona
Randublatung, dengan jaringan anak sungainya (Bemmelen 1949, Heekeren 1972).
Di Gua Lawang pernah dilakukan
penggalian oleh van Stein Callenfels bersama
van Es. Hasil penggalian tersebut hanya
dilaporkan dalam garis besarnya saja.
Lapisan budaya yang diperoleh di gua
tersebut tidak cukup tebal untuk dapat
dibedakan dalam tahap-tahap budaya.
Namun demikian beberapa temuan berhasil
didapatkan antara lain berupa sudip dari
tulang dan tanduk, mata panah dari batu,
pecahan-pecahan gerabah, manik-manik,
rahang dan gigi manusia (Hoop 1941).
c. Kelompok Punung (Pacitan)
Lokasi kelompok Punung berada di
kawasan Gunung Sewu (Pegunungan Seribu)
yang merupakan bagian dari pegunungan
Selatan Jawa. Secara administratif daerah ini
terletak di Kecamatan Punung, Kabupaten
Pacitan. Daerah ini tersusun oleh batu
gamping koral dan tufaan berumur Miosen,
dan yang mengalami pengangkatan di kala
Plestosen Tengah (Sartono 1964, Semah
1990). Melalui proses erosi dan karstisifikasi
tercipta ribuan bukit karst (asal penamaan
sebagai Gunung Sewu) yang diselang-selingi
lembah dan dataran sempit. Di beberapa
tempat terdapat cekungan (doline) tergenang
air yang membentuk danau atau telaga yang
sebagian tidak pernah kering. Sungai-sungai
mengalir di sela-sela bukit dan sering
38 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010
memasuki terowongan bawah tanah untuk
kemudian bermuara ke samudera Hindia.
Patut dicatat bahwa penelitian
terhadap gua atau ceruk yang telah dilakukan
selama ini umumnya menghasilkan karakter
tinggalan yang sama. Baik dari Song Agung,
Song Keplek, Song Terus maupun Song
Dono, unsur budaya yang paling menonjol
adalah sisa industri litik dan industri tulang.
Stereotipe tinggalan di atas diperkuat oleh
data permukaan hasil eksplorasi terhadap
gua-gua dan ceruk lain di sekitar Gunung
Sewu.
d. Kelompok Wuluhan (jember)
Kelompok Wuluhan meliputi Gua
Sodong, Marjan, Macan, Gelatik, dan Lawa.
Lokasi gua kelompok Wuluhan berada di
kawasan kaki utara Gunung Watangan, yang
secara administratif termasuk dalam wilayah
Desa
Lojejer,
Kecamatan
Wuluhan,
Kabupaten Jember. Keadaan geografis
kelompok ini berada pada lingkungan daerah
perbukitan kapur selatan yang saat ini daerah
sekitarnya merupakan kawasan hutan jati. Di
sebelah utara dan barat daerah ini terbentang
dataran rendah Lumajang yang subur.
Sebelah baratnya dibatasi oleh beberapa
bukit kapur yang diteruskan dengan dataran
rendah yang bergabung dengan pantai Puger,
sedangkan bagian selatan dibatasi Gunung
Watangan. Kira-kira 700 meter di sebelah
utara kawasan ini terdapat Kali Kepel yang
merupakan batas selatan dari Desa Lojejer.
Sungai ini merupakan anak Kali Bedadung
yang mengalir menuju ke Samudera
Indonesia sehingga daerah sepanjang sungai
ini merupakan daerah subur.
yang dialiri Kali Bengawan Solo dan anakanak sungainya, sedangkan di sebelah
utaranya berupa daerah pesisir Laut Jawa.
Keberadaan gua-gua pada kelompok
Semanding ini pertama kali diketahui
berdasarkan keterangan J.H. Houbolt yang
kemudian mendorong Willems melakukan
penelitian di Gua Gede dan Gua Kandang di
Desa Gedongombo, Kecamatan Semanding,
Kabupaten Tuban, pada bulan Maret dan
April 1938. Selama ekskavasi di Gua Gede
diperoleh temuan berupa alat-alat tulang dan
mata panah batu. Sementara di gua kandang
kebanyakan ditemukan alat-alat dari kulit
kerang dan ekofak kerang.
Penelitian Willems selanjutnya
ditujukan ke beberapa gua di wilayah yang
sama. Gua-gua yang diteliti yaitu Gua Cilik,
Bale, Pawon, Bagong, Peturon, Butul, dan
Gua Panggung. Seluruh temuan artefak dari
batu, tulang, dan kerang ditemukan dalam
keadaan bercampur, baik di lapisan atas
maupun di lapisan bawah. Di antara temuantemuan tersebut artefak dari kulit kerang
merupakan temuan terbanyak (oudheid
kundige verslag 1939).
Heekeren
(1972)
melakukan
pengamatan terhadap temuan-temuan artefak
hasil penelitian Willems yang disimpan di
Museum Nasional Jakarta. Dari pengamatannya, Heekeren menyimpulkan bahwa sudip
dari situs gua kelompok Semanding ini
menunjukkan sendi (condyle) pada pangkalnya. Mata panah batu dikerjakan baik pada
satu sisi (monofasial) maupun kedua sisinya
(bifasial). Dalam koleksi tersebut ditemukan
pula cukup banyak serpibilah yang tidak
teretus.
e. Kelompok Semanding (Tuban)
Kelompok ini terdiri atas beberapa
gua yang terdapat di Kecamatan Semanding,
Kabupaten Tuban. Gua-gua ini berada pada
rangkaian bukit kapur yang tergabung dalam
Zona Rembang (Bemmelen 1949). Di
sebelah selatannya terbentang dataran rendah
2 Persebaran Sumberdaya Lingkungan
Kondisi lingkungan fisik daerah
Jawa Timur merupakan daerah berbukitbukit yang terdiri dari 3 jajaran pegunungan
kapur yang diselingi oleh zona sinklin.
Menurut R.W. van Bemmelen (1949) ketiga
pegunungan kapur tersebut adalah: (1)
Slamet Sujud Purnawan Jati, Hubungan Budaya dan Lingkungan …
Antiklorium Rembang dengan zona sinklin
Randublatung, (2) Antiklorium Kendeng
dengan gugusan pegunungan kapur antiklin
Bangil, bukit tuf Semongkrong, Pegunungan
Ringgit Besar, serta Gunung Baluran, dan (3)
Pegunungan Sewu di pantai selatan dengan
zona depresi yang cukup luas yaitu subzona
Ngawi dan subzona Blitar.
Sementara itu, Pannekoek (1949)
membagi daerah Jawa Timur menjadi 3
kelompok berdasarkan fisiografinya. Pembagian tersebut adalah: (1) kelompok zona
utara (lipatan), (2) kelompok zona tengah
volkanik, dan (3) kelompok zona plato
selatan.
Kelompok zona utara (lipatan)
terdapat di bagian utara Jawa Timur. Zona ini
dibagi menjadi 2 sub-zona, yaitu perbuklitan
Rembang (Rembang-Hills) di sebelah utara
dan Igir pegunungan Kendeng (KendengRidge) di sebelah selatan. Arah kedua subzona ini adalah barat-timur. Di antara kedua
pegunungan
terebut
terdapat
depresi
memanjan, yang disebut sub-zona sinklin
Randublatung.
Kelompok zona tengah vulkanik
menempati bagian tengah Jawa Timur,
membujur dengan arah barat-timur. Zona
tengah di Jawa Timur ini dapat dibagi
menjadi 3 sub-zona, yaitu sub-zona Ngawi,
Solo, dan Blitar. Sub-zona Ngawi adalah
depresi sinklinal yang berbatasan dengan
Pegunungan Kendeng. Sementara sub-zona
Solo dibentuk oleh sederetan volkan kuarter
dengan dataran antar pegunungan. Sedangkan sub-zona Solo dengan zona plato selatan
(Bemmelen, 1949).
Kelompok zona plato selatan
terdapat di bagian selatan Jawa timur. Zona
ini sebagian besar merupakan topografi karst
bergelombang, yang mempunyai kemiringan
ke arah selatan, dengan ketinggian yang
sangat bervariasi antara 150 hingga 700
meter di atas permukaan laut. Zona ini
membujur dari Wonosari di sebelah barat
hingga Banyuwangi di sebelah timur.
39
Permukaan zona plato selatan
adalah bagian dari suatu hampir rata
(peneplain) yang terangkat dan terlipat
menjadi depresi yang luas dan kulminasi.
Penyusunnya terdiri atas batuan miosen tua
dan batu gamping miosen muda. Sebagai
akibat dari pengangkatan itu daerah yang
tersusun oleh batu gamping berkembang
menjadi daerah bertopografi karst dengan
penyaluran bawah permukaan. Permukaan
plato berubah berubah menjadi bukit-bukit
berbentuk kerucut karst yang disebut
Pegunungan
Seribu
(Gunung
Sewu)
(Soetoto, 1986).
Daerah Jawa Timur yang letaknya
berkisar antara 110o 15’ BT-144o 30 BT dan
6o30’ LS-8o 45’ LS mempunyai lingkungan
yang agak berbeda dengan propinsi lainnya
di Jawa. Berdasarkan keletakannya, maka
lingkungan daerah Jawa Timur termasuk
daerah tropik. Pada umumnya daerah tropik
tertutup oleh hutan hujan tropik abadi.
Namun ternyata daerah Jawa Timur
mempunyai sifat hutan yang agak berbeda.
Apabila Jawa Barat dan Jawa Tengah
mempunyai bentang vegetasi hutan hujan
tropis, maka daerah yang terbentang dari
perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur hingga
Nusa Tenggara Timur serta Sulawesi Selatan
dan Tenggara merupakan daerah yang
bentang vegetasinya berupa hutan tropik
musiman atau mansoon tropical forest
(Ripley 1979).
Meskipun dalam keaneka-ragaman
fauna dan flora hutan musiman kurang
dibandingkan dengan hutan hujan tropik
abadi (Whitmore 1978), tetapi hutan
musiman menyediakan kemudahan dan
menjadi lingkungan yang ideal bagi
kehidupan manusia. Lingkungan demikian
ternyata menyediakan pilihan yang cukup
luas untuk digarap. Bentuk geomorfologi
daerah ini memungkinkan penggarapan
lingkungan dari lembah-lembah sungai
hingga bukit-bukit kapur berhutan.
40 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010
Gambaran mengenai penyebaran
sumberdaya lingkungan di daerah penelitian
dapat diperoleh dari berbagai peta tematis
baik yang diterbitkan oleh Direktorat
Geologi Bandung, U.S. Army Map Service
dan Direktorat Topografi TNI-AD, Lembaga
Penelitian Tanah Bogor, Kanwil Badan
Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur,
Direktorat Agraria Propinsi Jawa Timur,
Bappeda maupun Kantor Pertanahan
Kabupaten Dati II, terutama pada tiap-tiap
daerah penelitian yang meliputi wilayah
Kecamatan Sampung (Ponorogo), Dander
(Bojonegoro), Punung (Pacitan), Wuluhan
(Jember), dan Semanding (Tuban). Keadaan
fisik daerah penelitian ini banyak ditentukan
oleh ketinggian tampat, kelerengan, bentuk
lahan, jenis tanah, batuan, kemampuan tanah,
serta sungai dan mata air. Pemerian berikut
ini mencakup faktor-faktor lingkungan fisik
pada tiap-tiap kelompok daerah penelitian.
a. Ketinggian Tempat
Data mengenai ketinggian tempat
di daerah penelitian diperoleh dari peta
ketinggian tempat yang disusun oleh Kanwil
Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa
Timur, serta berdasarkan garis-garis kontur
dan angka-angka titik ketinggian yang
terdapat dalam peta topografi terbitan U.S.
Army Map Service (Washington DC) dan
Direktorat Topografi TNI-AD. Data ketinggian tempat tersebut dapat pula diketahui
dari hasil pengukuran sendiri di lapangan
dengan menggunakan alat ukur yang disebut
altimeter. Pada umumnya tidak banyak
perbedaan antara angka ketinggian dari
sumber peta dengan hasil pengukuran ketika
survei di lapangan. Berdasarkan sumber peta
dan hasil pengukuran diketahui bahwa angka
ketinggian di daerah penelitian cukup
bervariasi.
b. Kelerengan
Data tentang kelerengan atau
kemiringan permukaan lahan di daerah
penelitian diperoleh dari peta kemampuan
tanah hasil survei Direktorat Agraria Propinsi
Jawa Timur, atau dengan mengukur perbedaan ketinggian dan jarak antar tempat
yang terdapat dalam peta topografi. Menurut
klasifikasi Direktorat Agraria, daerah
penelitian terdiri atas 4 macam satuan
kelerengan, yaitu: (1) daerah berkelerengan
kurang dari 2% atau daerah datar (golongan
D), (2) daerah berkelerengan antara 2--15 %
atau daerah landai (golongan C), (3) daerah
berkelerengan antara 15--40% atau daerah
miring (golongan B), dan (4) daerah
berkelerengan lebih dari 40% atau daerah
terjal (golongan A).
c. Bentuk Lahan
Dalam kajian geomorfologi, uraian
mengenai satuan bentuk lahan ini akan
didasarkan pada beberapa aspek, antara lain:
(1) asal pembentukannya seperti bentukan
asal gunung api atau fluvial, (2) konfigurasi
permukaan bumi seperti dataran atau bukit,
(3) ukuran kuantitatif seperti ketinggian dan
kelerengan, (4) proses geomorfologi yang
terjadi seperti pelapukan, erosi, atau gerakan
massa, dan (5) hubungan antara bentuk lahan
dengan unsur lingkungan lainnya seperti
tanah, batuan, air, vegetasi, dan penggunaan
lahan (Verstappen, 1983, Mangunsukarjo,
1986). Dalan pemberian nama satuan bentuk
lahan ini digunakan istilah yang dapat
mencerminkan informasi tentang kriteria
tersebut diatas.
Berdasarkan asal pembentukannya,
daerah penelitian dapat dibedakan ke dalam 5
satuan geomorfologi, yaitu: (1) bentukan asal
gunung api, (2) bentukan asal struktural, (3)
bentukan asal denudasional, (4) bentukan
asal fluvial, dan (5) bentukan asal solusional.
Kelima satuan utama geomorfologi tersebut
dapat dirinci lagi menjadi 13 satuan bentuk
lahan sebagai berikut: (1) lereng bawah
gunung api, (2) pegunungan plato, (3)
dinding terjal, (4) lembah lurus, (5) lereng
kaki perbukitan denudasional, (6) perbukitan
Slamet Sujud Purnawan Jati, Hubungan Budaya dan Lingkungan …
terkikis sedang, (7) dataran aluvial, (8)
dataran banjir, (9) tanggul alam, (10) dataran
fluvio-koluvial, (11) perbukitan tertoreh kuat,
(12) perbukitan berlembah lebar, dan (13)
kerucut ideal (Sartono, 1964)
.
d. Tanah
Data mengenai jenis-jenis tanah di
daerah penelitian diperoleh dari peta jenis
tanah yang disusun oleh Lembaga Penelitian
Tanah Bogor bekerja sama dengan Kanwil
Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa
Timur. Di daerah penelitian terdapat 9 jenis
tanah yang digolongkan atas dasar sistem
Klasifikasi Tanah Nasional atau Sistem
Lembaga Penelitian Tanah Bogor (menurut
Terms of Reference Tipe Pemetaan Tanah
Lembaga Penelitian Tanah 1980), dan sistem
klasifikasi tanah FAO/UNESCO dan USDA
Soil Taxonomy. Kesembilan jenis tanah
tersebut adalah: (1) aluvial, (2) grumosol, (3)
litosol, (4) regosol, (5) mediteran, (6)
kompleks mediteran-litosol, (7) kompleks
mediteran-grumosol, (8) kompleks latosollitosol, dan (9) kompleks gleisol-aluvial.
e. Batuan
Batuan mempunyai kaitan erat
dengan unsur sumberdaya lingkungan yang
lain. Batuan atau litologi merupakan unsur
yang sangat penting sebagai ciri bentuk
lahan. Adanya perbedaan batuan pada suatu
daerah akan mencirikan kenampakan bentuk
lahan yang berbeda pula dengan karakteristik
dalam proses geomorfologinya. Di samping
itu, batuan juga merupakan unsur penting
dalam proses terbentuknya tanah. Berbagai
jenis tanah yang terdapat di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh bahan induk yang menyusunnya. Batuan dapat pula memberikan
informasi karakteristik tata air yang terdapat
di suatu daerah. Selain menentukan kualitas
air baik air permukaan maupun air tanah,
batuan juga menentukan berbagai jenis
vegetasi yang tumbuh diatasnya.
41
Data mengenai jenis-jenis batuan di
daerah penelitian diperoleh berdasarkan petapeta geologi yang disusun oleh Direktorat
Geologi Bandung bekerja sama dengan
Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi
Jawa Timur. Atas dasar peta tersebut diperoleh keterangan bahwa di daerah
penelitian sekurang-kurangnya terdapat 11
macam formasi batuan, yaitu: (1) aluvium,
(2) batu kapur, (3) vulkanik kuarter muda,
(4) vulkanik kuarter tua, (5) dasit,(6) granit,
(7) fasies sedimen miosen, (8) fasies batu
gamping miosen, (9) fasies sedimen pliosen,
(10) fasies sedimen plestosen, (11) fasies
batu gamping plestosen.
f. Kemampuan Tanah
Data mengenai kemampuan tanah
di daerah penelitian diperoleh atas dasar peta
kemampuan tanah yang disusun oleh Kanwil
Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa
Timur. Di daerah penelitian terdapat berbagai
macam kondisi kemampuan tanah. Berdasarkan pembagian yang dilakukan
Direktorat Tataguna Tanah, kondisi kemampuan tanah tersebut dapat diklasifikasikan atas 4 unsur, yaitu: (1) kadalaman efektif
tanah (solum), yaitu yang ketebalannya lebih
dari 90 cm (golongan A), antara 60 cm
hingga 90 cm (golongan B), antara 30 cm
hingga 60 cm (golongan C), dan kurang dari
30 cm (golongan D); (2) tekstur tanah, yaitu
yang berbutir sedang atau lempung
(golongan 1), berbutir halus atau liat
(golongan 2), dan berbutir kasar atau pasir
(golongan 3) ; (3) drainase, yaitu yang
dicirikan oleh ketiadaan genangan air
(golongan a), kadang-kadang tergenang
(golongan b), dan keberadaan genangan air
(golongan c); serta (4) erosi, yaitu yang
ditandai oleh ketiadaan erosi (golongan T),
dan keberadaan aktivitas erosi (golongan E).
atas dasar peta dan penggolongan tersebut
dapat diketahui bahwa di daerah penelitian
terdapat 17 macam satuan kemampuan tanah
yaitu: A1aT, A1aE, A1bT, A2aT, B1aT,
42 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010
B2aT, B2aE, C1aT, C1aE, C2aT, C2aE,
D1aT, D1aE, D2aT, D2aE, D3aT, dan D3aE.
g. Sungai dan Mata Air
Daerah daerah Jawa Timur mempunyai sumber air permukaan seperti sungai,
danau, dan mata air yang cukup potensial.
Beberapa sungai di daerah ini merupakan
sungai yang airnya mengalir atau tersedia
sepanjang tahun (perennial stream), dan
mempunyai akses yang cukup besar terhadap
kehidupan masyarakat. Sementara yang
lainnya merupakan sungai yang mengalir
secara musiman atau periodik (intermittent
stream), yaitu sungai yang akan mengalirkan
air permukaan bila musim hujan datang dan
akan kering kembali jika musim kemarau
terjadi berkepanjangan (Mundardjito 1993).
Adapun data mengenai sungai dan mata air
di daerah penelitian dapat diperoleh dari peta
topografi terbitan U.S. Army Map Service
(Washington DC) dan Direktorat Topografi
TNI-AD, serta peta hidrologi baik yang
diterbitkan oleh Kanwil Badan Pertanahan
Nasional Propinsi Jawa Timur maupun
Direktorat Geologi Tata Lingkungan
Bandung.
3. Hubungan Budaya dan Lingkungan
Salah satu kajian yang tidak kalah
penting dalam studi arkeologi adalah kajian
hubungan antara manusia dan lingkungan,
dengan menerapkan strategi penelitian
keruangan. Kajian semacam ini berusaha
mengungkapkan pengetahuan tentang adanya
hubungan tersebut, dan hubungan semacam
apa yang telah terjadi pada masa itu. Di
antara perkara yang sering terjadi adalah
berkenaan
dengan
cara
pemanfaatan
sumberdaya lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan manusia, baik yang berkaitan
dengan perolehan makanan, perlindungan
diri, maupun penempatan dirinya di muka
bumi (Trigger 1968, Binford 1983)..
Hubungan semacam itu dapat
diketahui melalui sumber data arkeologi
berupa artefak, ekofak, dan situs, serta data
lingkungan. Dalam kajian hubungan budaya
(situs) dan lingkungannya, maka pokok
perhatian diberikan pada keletakan situs
sebagai satuan pengamatan. Di daerah
penelitian, situs-situs yang dikaji merupakan
situs-situs gua prasejarah. Situs seperti ini
akan mempunyai data keletakan yang asli
sebagai variabel yang akan diolah dan
dikorelasikan dengan variabel sumberdaya
lingkungan.
Untuk mengetahui hubungan antara
situs dengan sumberdaya lingkungan
dibutuhkan data lokasi situs-situs dan
keletakannya pada berbagai sumberdaya
lingkungan. Untuk mendapatkan data
keragaman tersebut dilakukan dengan cara
memetakan lokasi situs-situs gua, dan
kemudian diteruskan dengan pemetaan
satuan-satuan sumberdaya lingkungan di
daerah penelitian secara menyeluruh.
Selanjutnya dengan menumpangkan 2
macam peta yaitu peta persebaran situs gua
dan peta persebaran satuan sumberdaya
lingkungan, maka akan diperoleh data
mengenai keletakan situs-situs gua pada
satuan-satuan
sumberdaya
lingkungan
(Mundardjito 1993). Penggabungan dari 2
macam peta tersebut menghasilkan data
tentang hubungan lokasional antara situssitus gua dengan bermacam sumberdaya
lingkungan yang bervariasi pula potensinya.
Frekuensi keletakan situs-situs gua pada
setiap variabel sumberdaya lingkungan
menunjukkan derajat dari hubungan tersebut,
yang selanjutnya dapat digunakan untuk
menjawab pertanyaan tentang variabel
sumberdaya lingkungan mana yang kurang
atau tidak ditempati situs.
Upaya tersebut di atas dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana hubungan
antara budaya (situs) dengan variabel
sumberdaya lingkungan. Hubungan tersebut
dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
memahami berbagai hal mengenai perilaku
dan gagasan mereka dalam memanfaatkan
Slamet Sujud Purnawan Jati, Hubungan Budaya dan Lingkungan …
sumberdaya lingkungan di sekitar mereka,
yang boleh jadi sebagai upaya adaptasi
manusia terhadap lingkungan fisiknya.
Situs-situs gua prasejarah sebanyak
54 tidak tersebar secara merata di seluruh
daerah penelitian. Sebagian besar situs gua
terletak pada daerah-daerah yang sumberdaya lingkungannya relatif baik, yaitu pada
ketinggian tempat kurang dari 200 meter di
atas permukaan air laut dan pada lahan
berjarak kurang dari 1000 meter dari aliran
sungai. Akan tetapi, sebagian besar situs
berada pada daerah-daerah yang sumberdaya
lingkungannya relatif cukup baik, yaitu pada
kelerengan antara 2—15%, pada bentuk
lahan pegunungan plato, kerucut ideal, dan
perbukitan berlembah lebar, serta pada lahan
dengan kemampuan tanah B1aT. Sementara
sebagian besar situs cenderung terletak pada
lahan dengan sumberdaya lingkungan relatif
kurang baik, yaitu pada lahan dengan jenis
tanah kompleks mediteran-litosol, pada lahan
dengan kandungan batugamping atau
batukapur, dan pada daerah berjarak lebih
dari 2000 meter dari lokasi mata air. Dengan
demikian dalam hal ini dapat terjadi bahwa
suatu situs yang mempunyai potensi relatif
tinggi dalam suatu variabel sumberdaya
lingkungan, belum tentu mempunyai potensi
relatif tinggi dalam variabel lainnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa suatu situs
mempunyai variabel sumberdaya lingkungan
yang potensinya berbeda dengan situs-situs
lain.
Data empirik yang dikemukakan di
atas dapat menunjukkan hubungan antara
budaya
(situs)
dengan
sumberdaya
lingkungannya. Sebagian besar situs gua
cenderung terletak pada lahan dengan
ketinggian tempat kurang dari 200 meter di
atas permukaan air laut. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa manusia pada masa lalu
tampaknya cenderung memilih tempattempat yang berelevasi relatif rendah sebagai
tempat bermukim dan beraktivitas, karena
daerah semacam ini mempunyai jenis
43
vegetasi dan fauna yang lebih beragam
dibandingkan daerah berelevasi relatif tinggi.
Pada variabel kelerengan, sebagian
besar situs gua berada pada satuan
kelerengan antara 2—15%. Seperti diketahui
bahwa terbentuknya gua dapat terjadi pada
bagian lereng bukit, pada kaki bukit bagian
atas, atau pun pada kaki bukit bagian bawah
yang berbatasan dengan daerah dataran.
Manusia pada masa lalu tampaknya
cenderung untuk memilih daerah berkelerengan antara 2—15% sebagai tempat
bermukim dan beraktivitas. Daerah dengan
kelerengan seperti ini mempunyai permukaan
tanah landai hingga menuju daerah dataran
yang berada di depan situs-situs gua tersebut.
Pada daerah ini mempunyai drainase tanah
sedang, dan air permukaan (run off water)
akan mengalir agak lambat tanpa menimbulkan erosi yang berarti. Daerah
semacam ini cukup memberikan keleluasaan
orang untuk bergerak dibanding dengan
daerah yang berkelerengan terjal. Kemungkinan mereka juga memanfaatkan lahan
datar di depan gua huniannya sebagai ruang
sumberdaya (resource space) dan sebagai
pusat kegiatannya sehari-hari, terutama
dalam aktivitas berburu dan mengumpulkan
makanan (Clark 1977, Mundardjito 1993).
Pada variabel bentuk lahan, banyak
situs gua terletak pada satuan bentuk lahan
pegunungan plato, kerucut ideal, dan
perbukitan berlembah lebar. Bentuk lahan
semacam ini merupakan bentuklahan yang
paling banyak diminati sebagai tempat
bermukim dan tempat kegiatan bagi sebagian
besar masyarakat pada masa lalu. Bentuk
lahan seperti ini merupakan daerah yang
berfisiografi mulai dari yang relatif datar,
landai hingga berbukit, serta menghadap ke
suatu lembah datar yang luas berupa dataran
aluvial yang subur dan dialiri sungai. Daerah
yang demikian memungkinkan penggarapan
lingkungan dari dataran atau lembah-lembah
sungai hingga bukit-bukit kapur berhutan.
Proses-proses geomorfologi yang terjadi
44 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010
pada bentuk lahan tersebut relatif tidak
berbahaya. Bahkan bermukim pada lahan
semacam ini dapat terhindar dari bencana
alam seperti kemungkinan adanya banjir dari
beberapa sungai. Di samping itu, kondisi
topografi semacam ini memungkinkan
manusia untuk lebih mudah berpindah,
bergerak, atau menjelajah dalam melakukan
aktivitasnya untuk mendapatkan makanan.
Pada variabel jenis tanah, sebagian
besar situs gua berada pada satuan jenis
tanah kompleks mediteran-litosol. Di daerah
penelitian, jenis tanah ini mempunyai bahan
induk campuran batukapur, napal, dan tuf
volkan. Tanah ini sebenarnya merupakan
tanah yang relatif kurang subur. Akan tetapi,
lahan dengan jenis tanah seperti ini bila
memperoleh air secukupnya dapat dimanfaatkan sebagai tanah tegalan, dan dapat
menumbuhkan tanaman bahan pangan.
Bahkan lahan tersebut dapat digunakan
sebagai pembudidayaan jenis tanaman
pangan tertentu seperti umbi-umbian.
Bahkan apabila manusia pendukung situs gua
tersebut mempunyai daya jelajah tinggi atau
catchment areanya luas, maka mereka selain
dapat memanfaatkan lahan tersebut, dapat
pula mengeksploitasi lahan subur di depan
gua yang merupakan lembah datar yang luas
berupa dataran aluvial dan dialiri beberapa
sungai (Vita-Finzi & Higgs, 1970).
Pada variabel batuan, terlihat
bahwa situs-situs gua banyak dijumpai pada
lahan dengan kandungan batuan sedimen dan
batu kapur atau batu gamping (limestone).
Hal ini dapat dipahami karena gua banyak
berkembang pada batuan yang mudah
mengalami proses pelarutan seperti pada batu
kapur tersebut. Kenampakan kawasan yang
sebagian besar bertopografi karst ini secara
umum menggambarkan daerah yang
mempunyai potensi sumberdaya lingkungan
rendah. Akan tetapi, fase-fase pembentukan
daerah pegunungan kapur menunjukkan
bahwa kawasan ini memiliki dukungan
berupa keberadaan bukti-bukti kapur yang
berfungsi sebagai akumulator air atau
recharge area dan lembah subur antar bukit
(Bates & Jackson 1985). Bahkan apabila
manusia penghuninya memiliki daya jelajah
tinggi, selain dapat memanfaatkan lahan
tersebut, mereka dapat pula mengeksploitasi
lingkungan pendukung di sekitar gua yang
umumnya lebih subur sebagai catchment
areanya (Vita-Finzi & Higgs, 1970). Apalagi
gua-gua tersebut menghadap suatu lahan
subur yang terbentuk dari batuan aluvium
dan batuan volkanik, serta dialiri beberapa
sungai.
Selanjutnya pada variabel kemampuan tanah, frekuensi situs tinggi pada
daerah yang mempunyai satuan tanah B1aT.
Lahan semacam ini memiliki kedalaman
efektif tanah antara 60 cm hingga 90 cm,
tekstur tanahnya berbutir sedang, tidak
tergenang air, dan tidak ada aktivitas erosi.
Daerah semacam ini selain dapat digunakan
sebagai tempat bermukim dan melakukan
aktivitas hidup, dapat pula dimanfaatkan
sebagai lahan tegalan yang dapat ditumbuhi
tanaman pangan.
Sementara itu, banyak situs yang
terletak pada jarak kurang dari 1000 meter
dari aliran sungai. Hal ini dapat diperkirakan
bahwa sungai pada masa lalu itu dapat
memenuhi kebutuhan dasar manusia,
terutama untuk kehidupan dan keperluan
sehari-hari. Lingkungan alam sekitar sungai
cenderung dipilih sebagai tempat bermukim
atau tempat untuk melakukan aktivitas hidup
manusia karena lingkungan tersebut menyediakan keanekaragamansumber makanan,
bahan untuk alat, dan sumber air yang
mereka butuhkan untuk kelangsungan
hidupnya.
Sebaliknya banyak situs gua justru
terletak jauh dari mata air, yaitu pada jarak
lebih dari 2000 meter. Banyaknya situs gua
yang berada jauh dari mata air ini
menunjukkan bahwa keletakan situs tidak
berkorelasi dengan lokasi mata air, tetapi
berkaitan erat dengan letak sungai. Hal ini
Slamet Sujud Purnawan Jati, Hubungan Budaya dan Lingkungan …
dapat ditafsirkan bahwa kemungkinan sungai
yang ada pada masa itu sudah dapat
memenuhi kebutuhan hidup bagi manusia
penghuni gua tersebut. Perlu dikemukakan
bahwa alternatif sumber air lain yang dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia adalah daerah danau, muara
sungai, atau pantai (laut) yang ada di sekitar
gua. Daerah-daerah tersebut merupakan
daerah yang mampu menyediakan sumber
bahan makanan sepanjang tahun.
Di samping berkenaan dengan
upaya mengeksploitasi sumberdaya lingkungan eksternal, terpilihnya gua sebagai
tempat hunian merupakan produk pengetahuan dan pengalaman manusia bahwa
gua merupakan tempat ideal untuk bermukim, yang dapat melindungi mereka dari
segala macam gangguan, serta memberi rasa
nyaman dan aman (Clark 1960). Oleh karena
itu hanya gua-gua yang layak hunilah yang
akan dijadikan tempat bermukim. Ada
pertimbangan dari manusia di dalam memilih
gua-gua tertentu sebagai tempat hunian.
Selain pertimbangan umum berupa faktor
lingkungan eksternal, manusia juga memerhatikan faktor lingkungan internal atau
kondisi fisik gua itu sendiri. Gua-gua yang
dihuni pada umumnya mempunyai karakteristik sebagai berikut: gua terletak relatif
sejajar atau di atas permukaan tanah, ukuran
luas gua memadai, ruangan gua mendapat
penyinaran matahari yang cuckup, ruangan
gua tidak begitu lembab, sirkulasi udara
dalam ruangan gua cukup baik, dan lantai
gua relatif rata yang sebagian besar tersusun
dari material tanah atau minimal campuran
tanah dan batuan.
Penutup
Penelitian ini tidak lain merupakan
suatu upaya untuk dapat merekonstruksi
cara-cara hidup manusia masa lalu yang
berdiam pada situs-situs gua prasejarah di
Jawa Timur. Penelitian yang merupakan
studi awal terhadap sejumlah situs gua ini
45
dilakukan melalui kajian hubungan budaya
dan lingkungannya, dengan cara menerapkan
strategi penelitian keruangan. Meskipun
pengolahan dan interpretasi data dalam
tulisan ini masih terbatas, namun dari hasil
penelitian inilah dapat diperoleh keterangan
mengenai lokasi situs, persebaran, serta
korelasi antara situs dengan lingkungan
fisiknya sebagai sumberdaya. Hubungan
tersebut tentu saja berkenaan dengan
pemanfaatan sumberdaya lingkungan untuk
memenuhi kebutuhan manusia, baik dalam
hal perolehan makanan, perlindungan diri,
ataupun penempatan dirinya di muka bumi.
Dalam perspektif ekologi, kebudayaan dipandang sebagai hasil kemampuan
manusia untuk dapat beradaptasi (adaptability) terhadap lingkungan. Adaptasi
dalam konteks arkeologi dapat dijelaskan
melalui hubungan antara tinggalan arkeologi
(situs dan budayanya) dengan lingkungannya. Situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur
dapat digunakan sebagai petunjuk cara
adaptasi terhadap lingkungannya. Suatu
bentuk lingkungan tertentu akan mengakibatkan bentuk adaptasi yang tertentu pula.
Hal ini menunjukkan bahwa peranan faktor
lingkungan tidak dapat dipisahkan dengan
perkembangan suatu kelompok manusia.
Oleh karena manusia pada masa prasejarah
masih sangat menggantungkan hidupnya
pada alam, maka hubungan yang begitu
dekat antara manusia dengan lingkungan
membawa konsekuensi bahwa manusia harus
senantiasa beradaptasi dengan lingkungan
yang ditempati. Budaya yang dihasilkan
menunjukkan bentuk kearifan manusia dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan
sekitarnya.
Keberadaan situs, persebarannya,
dan korelasinya dengan lingkungan menunjukkan daerah yang digarap manusia cukup
luas, yaitu pada daerah hutan hujan tropis,
padang rumput, dataran rendah, tepian
sungai, dan daerah pesisir. Kenyataan ini
membuktikan bahwa pendukung situs gua di
46 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketiga, Nomor 1, Juni 2010
daerah ini menggarap lingkungan yang amat
beragam. Selain area sekitar gua, perluasan
kea rah dataran alluvial dan pesisir pantai
menimbulkan asumsi bahwa terjadi perluasan
territorial ekonomi sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan hidup.
Daftar Rujukan
Bates, R.L. & Jackson, J.A. (eds.). 1985.
Glossary of Geology. Virginia:
American Geological Institute.
Baumhoff,
M.A.
1963.
Ecological
Determinants
of
Aboriginal
California Populations. American
Archaeology and Ethnology 49
(hlm155-236). Berkeley: University
of California.
Bemmelan, R.W. van. 1949
The Geology
of Indonesia: General Geology of
Indonesia
and
Adjacent
Archipelagoes. Vol. I-A The Hague:
Government Printing Office
Binford, L.R. 1983. In Pursuit of the Past.
New York: Thames and Hudson.
Butzer, K.W. 1976. Environment and
Archaeology: An Introduction to
Pleistocene Geography. Chicago:
Aldine Publishing Company.
Clark, G. 1960. Archaeology and Society.
London: Metheun.
Clarke,
D.L.
(Ed.).
1977.
Spatial
Archaeology. London: Academic
Press.
Es, L.J.C. van. 1930. The Prehistoric
Remains of the Sampoeng Cave,
Residency Ponorogo. Proceedings
Fourth Pacific Congress, Java 1929,
Vol. III, Biological Papers. BataviaBandoeng.
Heekeren, H.R. van. 1972. The Stone Age of
Indonesia. VKI 61 (Second revised
edition). The Hague: Martinus
Nijhoff.
Hoop, A.N.J. Th. A. Th van der. 1941.
Catalogus
der
Praehistorisch
Verzameling. Bandoeng: A.C. Nix
and Co.
Mangunsukardjo,
K.
1986.
Peranan
Geomorfologi dalam Perencanaan
Tata Ruang Menyongsong Tahun
2000. Yokyakarta: Fak. Geografi
UGM-IGEGAMA.
Mundardjito. 1986. Penalaran InduktifDeduktif dalam Arkeologi. PIA IV
(hlm197-203). Jakarta: Puslitarkenas.
_________. 1993. Pertimbangan Ekologi
dalam Penempatan Situs Masa
Hindu-Buda di Daerah Yokyakarta:
Kajian Arkeologi Ruang Skala
Marko.
Disertasi.
Jakarta:
Universitas Indonesia.
Oudheidkundige Verslag. 1939. Opsporing
en Onderzoek. Oudheidkundige
Verslag 1938 (hlm 8-9), Plaat 17-20.
Batavia: Kon. Drukkerij de Unie.
Pannekoek, A.J. 1949. Outline of the
Geomorphology of Java. TAG Vol.
LXVI. Leiden: E.J. Brill.
Ripley, S.D. 1979. Alam dan Margasatwa
Asia Tropik. a.b. Banu Iskandar.
Jakarta: Tira Pustaka.
Sartono, S. 1964. Stratigraphy and
Sedimentation of the Eastern most
Part of Gunung Sewu (East Java).
Publikasi Teknik Seri Geologi Umum
No. 1 (hlm 68-83). Bandung:
Direktorat Geologi, Departemen
Perindustrian Dasar/ Pertambangan.
Semah, F. 1990. Mereka Menemukan Pulau
Jawa. Jakarta: Puslitarkenas.
Singarimbun, M. & Effendi, S. (Eds.). 1982.
Metode Penelitian Survei. Jakarta:
LP3ES.
Soebroto,Ph. 1995. Pola-pola Zonal Situssitus Arkeologi. Berkala Arkeologi
Th. XV-Edisi Khusus: (hlm133-138).
Yogyakarta: Balai Arkeologi.
Soejono, R.P. 2010. Jaman Prasejarah di
Indonesia.
Dalam:
M.D.
Slamet Sujud Purnawan Jati, Hubungan Budaya dan Lingkungan …
Poesponegoro dan N. Notosusanto
(Eds.), Sejarah Nasional Indonesia
Jilid I. Jakarta: P.N. Balai Pustaka.
Soetoto. 1986. Geologi Sebagian Daerah
Kali Gridulu Kabupaten Pacitan,
Jawa
Timur
Berdasarkan
Interpretasi Citra Landsat dan Foto
Udara. Tesis. Yokyakarta: UGM.
Thomas, D.H.. 1979. Archaeology. New
York: Holt, Rinehart and Winston.
Trigger, B.G. 1968. The Determinant of
Settlement Patten. Dalam: K.C.
Chang (Ed.), Settlement Archaeology
(hlm 53-78). Palo Alto: National
Press.
Verstappen, H. Th. 1983. Applied
Geomorphology: Geomorphological
47
Surveys
for
Environmental
Management. Amsterdam: Elseivier
Scientific Publishing Company.
Vita-Finzi, C. & Higgs, E.S. 1970.
Prehistoric Economy on the Mount
Carmel Area of Palestina: Site
Catchment Analysis. Proceedings of
the Prehistoric Society 36 (hlm. 137). London.
Whitmore, T.C. 1978. The Forest
Ecosystems of Malaysia, Singapore,
and Brunei: Discription Functioning
and Research Needs. Tropical Forest
Ecosystem: (hlm 641-653). Paris:
UNESCO.
Download