1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang
jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.
Dengan terbukanya arus komunikasi dan informasi serta munculnya dorongan
seksual maka remaja juga dihadapkan pada hal-hal yang mendorong
keingintahuannya akan pengalaman seksual. Masalah seksual menjadi salah satu
isu penting pada masa remaja karena masa remaja dianggap sebagai periode
peralihan dalam rentang kehidupan seseorang. Setiap periode peralihan, status
individu menjadi tidak jelas dan terdapat keraguan tentang peranan yang harus
dilakukan. Pada masa ini seorang individu berada diantara dua tahap kehidupan
yang berbeda, yaitu masa kanak-kanak (childhood) dan masa dewasa (adult life)
(Hurlock, 1999). Perubahan yang terjadi meliputi perubahan dalam arti luas,
mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Piaget dalam Hurlock,
1999). Remaja akan mengalami hal-hal yang belum pernah mereka alami
sebelumnya, seperti menstruasi, mimpi basah, dorongan seksual, rasa tertarik atau
malu terhadap lawan jenis, lebih sensitif, lebih tertutup pada orang tua,
peningkatan kebutuhan akan kebebasan, lebih banyak memperhatikan penampilan
diri dan sebagainya (Triany, 1997).
Salah satu tugas perkembangan dalam masa remaja adalah pembentukan
hubungan-hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis dan dalam
1
Universitas Sumatera Utara
memainkan peran yang tepat sesuai dengan jenis kelaminnya. Oleh karena itulah,
remaja harus memiliki konsep seks yang tepat untuk melaksanakan tugas
perkembangan tersebut dengan baik. Dorongan untuk melakukan hal ini datang
dari tekanan sosial misalnya pengaruh dari teman sebaya serta minat remaja pada
seks dan keingintahuannya tentang seks (Hurlock, 1999).
Dorongan seksual bisa diekspresikan dalam berbagai perilaku, namun
tentu saja tidak semua perilaku merupakan ekspresi dorongan seksual seseorang.
Ekspresi dorongan seksual atau perilaku seksual ada yang aman dan ada yang
tidak aman, baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Setiap perilaku seksual
memiliki konsekuensi berbeda. Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul
karena adanya dorongan seksual. Bentuk perilaku seksual bermacam-macam
mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, petting sampai
berhubungan seks (Admin, 2008).
Fenomena yang terjadi saat ini adalah bahwa hubungan seksual pranikah
lebih banyak dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Berpacaran berarti upaya
untuk mencari seorang teman dekat dan didalamnya terdapat hubungan belajar
mengkomunikasikan kepada pasangan, membangun kedekatan emosi, dan proses
pendewasaan kepribadian. Berpacaran biasanya dimulai dengan membuat janji,
kencan lalu membuat komitmen tertentu dan bila diantara remaja ada kecocokan,
maka akan dilanjutkan dengan berpacaran. Karena kurangnya informasi yang
benar mengenai pacaran yang sehat, maka tidak sedikit remaja saat berpacaran
unsur nafsu seksual menjadi dominan. Di samping itu, perkembangan jaman juga
akan mempengaruhi perilaku seksual dalam berpacaran para remaja. Hal ini
2
Universitas Sumatera Utara
misalnya dapat dilihat bahwa hal-hal yang ditabukan remaja pada beberapa tahun
yang lalu seperti berciuman dan bercumbu sekarang dibenarkan oleh remaja saat
ini. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan perilaku seks bebas.
Perubahan terhadap nilai ini misalnya terjadi dengan pandangan remaja terhadap
hubungan seks sebelum menikah. Dua puluh tahun yang lalu hanya 1,2 - 9,6
persen setuju dengan hubungan seks sebelum menikah. Sepuluh tahun kemudian
angka tersebut naik menjadi di atas 10 persen. Lima tahun kemudian angka ini
naik menjadi 17 persen yang setuju. Bahkan ada remaja sebanyak 12,2 persen
yang setuju dengan perilaku seksual pranikah, hal ini menunjukkan kurangnya
pengetahuan remaja mengenai dampak dari perilaku seksual pranikah (Potret
Remaja, 2002).
Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan resiko terhadap
berbagai masalah kesehatan reproduksi. Setiap tahun kira-kira 15 juta remaja
berusia 15 – 19 tahun melahirkan. Sekitar 4 juta melakukan aborsi dan hampir 100
juta terinfeksi penyakit menular seksual di seluruh dunia (United Nation
Population Fund, 2000). Pada masa ini juga terbentuknya pola emosi pada remaja
sehigga mereka sering tidak mampu menempatkan emosinya dan tidak mampu
berpikir secara rasional dalam mengambil keputusan.
Sebanyak 70 persen kasus HIV/AIDS ternyata sebagian terjadi akibat
penyalahgunaan narkotika yang menggunakan jarum suntik secara bergantian dan
sisanya, akibat perilaku seks bebas. Para remaja terjebak pada seks bebas karena
tidak mendapatkan informasi tentang seks secara tepat dan benar. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan beberapa lembaga selama tujuh tahun terakhir ini,
3
Universitas Sumatera Utara
perilaku seks bebas pada remaja Indonesia terus meningkat (Ardiansyah, 2008).
BKKBN pernah meneliti 8.084 remaja usia 15-24 tahun di 20 kabupaten di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. Hasilnya, 39,65 persen remaja
yang disurvei pernah berhubungan seksual dan sekitar 46,2 persen di antara
remaja itu berkeyakinan bahwa melakukan hubungan seksual satu kali tidak akan
mengakibatkan kehamilan. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita
tidak mengetahui dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali
remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika
harus menanggung resiko dari hubungan seksual tersebut (Mu’tadin, 2002)
Contoh lain mengenai penyimpangan perilaku remaja, khususnya perilaku
seksual-nya yaitu sebuah penelitian yang dilakukan oleh Centra Mitra Remaja
(CMR) Medan, Sumatra Utara, diperoleh ada lima tahapan yang sering dilakukan
oleh remaja yaitu: dating, kissing, necking, petting dan coitus. Diperoleh data
bahwa hampir 10 % remaja sudah pernah melakukan hubungan seks. Penelitian
PKBI DI Yogyakarta selama tahun 2001 me-nunjukkan data angka sebesar 722
kasus kehamilan tidak diinginkan pada remaja. Menurut Fakta HAM 2002 data
PKBI Pusat menunjukkan 2,3 juta kasus aborsi setiap tahun dimana 15 %
diantaranya dilakukan oleh remaja (belum menikah). Faktor penyebab dari
perilaku tersebut antara lain yaitu: semakin panjangnya usia remaja, informasi
tentang seks yang terbatas, melemahnya nilai-nilai keyakinan serta lemahnya
hubungan dengan orang tua (Yuwono, 2001).
Pacaran dianggap sebagai jalan masuk hubungan yang lebih dalam
lagi, yaitu hubungan seksual sebagai wujud kedekatan antara dua orang
4
Universitas Sumatera Utara
yang sedang jatuh cinta (Hanifah, 2002). Permasalahannya, banyak
remaja kurang terampil dalam berpacaran sehingga mudah terjatuh dan
terlibat dalam tindakan seksual yang tidak semestinya dilakukan remaja
yang belum menikah (Subiyanto, 2007).
Menurut Sarwono (2005) bahwa sebagian besar dari hubungan seks remaja
diawali dengan agresivitas para remaja laki-laki dan selanjutnya remaja
perempuan lah yang menentukan sampai batas mana agresivitas tersebut dapat
dipenuhi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Hanifah (2002)
yang menunjukkan bahwa ternyata remaja laki-laki cenderung mempunyai
perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, gigih, terang-terangan, serta lebih
sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Akibatnya banyak remaja
perempuan mendapat pengalaman pertama hubungan seksual pranikah dari
pacarnya. Perilaku remaja laki-laki tersebut sebagai perwujudan nilai gender yang
dipercayainya sebagai lebih dominan, yaitu laki-laki harus aktif, berinisiatif,
berani, sedangkan perempuan harus pasif, penunggu, dan pemalu.
Aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh
remaja yang berpacaran. Hal ini didukung oleh Hurlock (dalam Mayasari, 2000)
yang mengemukakan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk
ekspresi atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta. Rahman dan Hirmaningsih
(dalam Mayasari, 2000) juga mengemukakan bahwa adanya dorongan seksual dan
rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik
5
Universitas Sumatera Utara
dengan pacar. Kedekatan fisik inilah yang akan mengarah pada perilaku seksual
dalam pacaran.
Sebagian ahli mempertanyakan alasan keterlibatan remaja dalam berbagai
perilaku seksual yang membuatnya terjebak pada resiko yang berkaitan dengan
aspek sosial, emosional, maupun kesehatan. Turner dan Feldman (1996)
menemukan bahwa alasan yang melandasi perilaku remaja dalam melakukan
perilaku seksual adalah berkaitan dengan upaya-upaya
untuk pembuktian
perkembangan identitas diri; belajar menyelami anatomi lawan jenis, menguji
kejantanan, menikmati perasaan dominan, pelampiasan kemarahan (terhadap
seseorang), peningkatan harga diri, mengatasi depresi, menikmati perasaan
berhasil menaklukkan lawan jenis, menyenangkan pasangan, dan mengatasi rasa
kesepian. Berbagai kegiatan yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual
yang
pada
dasarnya
menunjukan
tidak
berhasilnya
seseorang
dalam
mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut ke
kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat dikerjakan.
Menurut Mu’tadin (2002) faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksual
pranikah pada remaja adalah faktor internal, dimana remaja yang melakukan
perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa sayang dan cinta dengan
didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya,
tanpa disertai komitmen yang jelas. Rasa sayang dan rasa cinta merupakan salah
satu bentuk emosi yang dirasakan setiap orang. Dalam kondisi seperti ini, sudah
selayaknya remaja mempunyai kecerdasan emosi untuk mengendalikan
perasaannya dan mengontrol perilakunya, sehingga terhindar dari resiko yang
6
Universitas Sumatera Utara
berat dan mengancam. Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang
paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam
menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain,
remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosi.
Weisinger (dalam May Yustika Sari, 2005) mengemukakan pengertian
kecerdasan emosi sebagai kecerdasan untuk menggunakan emosi sesuai keinginan
kita dan dapat mengendalikan perilaku dan cara berpikir yang membuat kita
mampu mencapai hasil yang baik. Kualitas kecerdasan emosi sangat penting
karena kecerdasan emosi juga akan mendukung terciptanya kemampuan
pengendalian diri atau kontrol diri. Pengendalian diri ini meliputi pengendalian
perilaku, pengendalian kognitif dan pengendalian keputusan (Averill dalam Elfisa,
1995).
Kemampuan mengontrol diri dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui
pertimbangan kognitif, sehingga dapat membawa kearah konsekuensi positif
(Lazarus, 1976). Hal ini sejalan dengan Ekowarni (1993) bahwa ketegangan
emosi yang tinggi, dorongan emosi yang sangat kuat dan tidak terkendali akan
membuat remaja sering mudah meledak emosinya dan bertindak tidak rasional.
Kecerdasan emosi ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu
untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan
baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat
mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan
waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin
7
Universitas Sumatera Utara
dengan lancar dan efektif. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu
menghibur diri ketika mengalami kesedihan, dapat mengurangi kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua
itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan
terus menerus berusaha melawan perasaan murung atau melarikan diri pada halhal negatif yang merugikan dirinya sendiri, salah satunya dengan melakukan
perilaku seksual pranikah (Goleman, 1995).
Hal ini sesuai dengan penjelasan Gottman & DeClaire (1998) bahwa
remaja yang cerdas secara emosi akan mampu memecahkan masalah mereka
sendiri maupun bersama orang lain, mampu mengambil keputusan secara mandiri,
lebih banyak mengalami sukses di sekolah maupun dalam hubungannya dengan
rekan-rekan sebaya, dan terlindung dari resiko penggunaan obat terlarang, tindak
kriminal dan perilaku seks yang tidak aman.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada
hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku seksual pada remaja.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu apakah ada hubungan
kecerdasan emosi dengan perilaku seksual pranikah pada remaja.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan kecerdasan emosi
dengan perilaku seksual pranikah pada remaja.
8
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitan
Dalam penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.
a. Manfaat teoritis
penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat bersifat pengembangan ilmu
psikologi, khususnya dibidang psikologi perkembangan. Manfaat teoritis
ini diharapkan memperkaya pengetahuan dan wacana tentang psikologi
perkembangan. Khususnya mengenai kecerdasan emosi dalam kaitannya
dengan perilaku seksual pada remaja.
b. Manfaat praktis

Bagi Remaja
: remaja diharapkan mampu memberi kesan yang
baik tentang dirinya, mengendalikan perasaan dan emosi dirinya, serta
mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi
yang ada, sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan
lancar efektif sehingga remaja dapat cerdasa secara emosi.

Bagi Orang tua
: Menambah informasi kepada orang tua tentang
pentingnya kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari terutama
pada perkembangan kecerdasan emosi anak.
E.
Sistematika Penulisan
9
Universitas Sumatera Utara
Proposal penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
BAB I
: Pendahuluan
Bab I berisi tentang uraian latar belakang masalah, identifikasi
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II
: Landasan Teori
Bab II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori tentang kecerdasan emosi, perilaku seksual pranikah dan
remaja. Dalam bab ini juga akan dikemukakan hubungan kecerdasan
emosi dengan perilaku seksual pranikah pada remaja dan juga
hipotesis penelitian.
BAB III
: Metodologi Penelitian
Bab III berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi
variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan
metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas
dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan
metode analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang
digunakan oleh peneliti dalam penelitian.
BAB IV :
Analisa dan Interpretasi Data
10
Universitas Sumatera Utara
Bab IV berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian,
dan deskripsi data penelitian.
BAB V :
Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, hasil
diskusi dan saran metodologis dan praktis.
11
Universitas Sumatera Utara
Download