ME KANI SMEPE RE NCANAAN DE SAME MBANGUN DANME MBANGUNDE SA Ol eh: L al aM Kol opak i ng Ci l aApr i andedanRi l f arSy ahar bi an WORKI NGPAPER PUSATSTUDI PEMBANGUNANPERT ANI ANPEDESAAN L EMBAGAPENEL I TI ANDANPENGABDI ANKEPADAMASY ARAKAT I NSTI TUTPERT ANI ANBOGOR VOL . 1 NO. 1 J ANUARI 2016 DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... Latar Belakang .......................................................................................... Tujuan ....................................................................................................... Kerangka Konsep ...................................................................................... Citizen Participation (Partisipasi Masyarakat) ...................................... Community Driven Development.......................................................... Pengembangan Community Driven Development................................ Pengalaman Pelaksanaan CDD di Indonesia....................................... Village Driven Development................................................................. 1 1 3 3 3 4 5 6 7 BAB II. HASIL DAN KAITAN DI LAPANGAN........................................... Kaitan di Lapangan.................................................................................... 9 10 BAB III. IMPLIKASI KEBIJAKAN ............................................................. Implikasi .................................................................................................... Strategi Perencanaan Pembangunan Desa ......................................... Mekanisme Perencanaan Pembangunan Desa ................................... Mekanisme Organisasi dan Prosedur .................................................. Jadwal Perencanaan dan Penganggaran ............................................ Rekomendasi....................................................................................... 13 13 13 15 20 22 25 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 26 i DAFTAR GAMBAR Nomor 1.1. Nilai Kerjasama dalam Manajemen Pembangunan Diarahkan Desa (Village Driven Development/VDD) ....................................... 3.1. Alur Perencanaan Partisipatif Pembangunan Desa........................ 3.2. Skema Pembiayaan Campuran Pembangunan Desa..................... 3.3. Sistem Informasi dan Manajemen (SIM) Desa Berbasis Teknologi Informatika ..................................................................... 3.4. Organisasi Pengelolaan Pembangunan Desa ................................ 3.5. Ilustrasi Waktu Perencanaan dan Penganggaran........................... ii Hal 8 15 18 20 22 24 DAFTAR TABEL Nomor 1.1. Perbedaan Antara Perencanaan Interaktif dan Perencanaan Konvensional............................................................ 2.1 Hasi Kajian Lapangan...................................................................... iii Hal 4 11 BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses dan upaya yang dilakukan suatu kelompok atau masyarakat secara sistematis untuk mencapai situasi atau kondisi yang lebih baik dari kondisi aktual. Pembangunan perlu mempertimbangkan sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) yang dimiliki. Selain itu, regulasi dalam melakukan pembangunan tersebut juga harus jelas dan sesuai. Berdasarkan mandat Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, bahwa pembangunan perlu dilaksanakan secara partisipatif. Pembangunan dilakukan desa, dimana desa melakukan pengelolaan pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi. Disamping itu, selain dapat melakukan pembangunan secara mandiri oleh desa, pembangunan juga dapat melibatkan kerjasama antar desa. Hal ini dilakukan terkait dengan suatu pembangunan yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh desa baik dikarenakan oleh keterbatasan dana maupun waktu pelaksanaan. Tujuan pembangunan desa (desa membangun) adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan. Cakupan dari kegiatan pembangunan, antara lain: a) Pemenuhan kebutuhan dasar; b) Pembangunan sarana dan prasarana desa; c) Pengembangan potensi ekonomi lokal; d) Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Dimana prioritas program kegiatan yang dilakukan, yaitu: a) Peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar; b) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumberdaya lokal yang tersedia; c) Pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif; d) Pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan e) Peningkatan kualitas ketertiban ketenteraman masyarakat desa berdasarkan kebutuhan, pengelolaan pembangunannya dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat desa dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumberdaya alam desa. Dalam UU No 6 tentang Desa, pendekatan pembangunan dilakukan melalui dua konsep yaitu desa membangun dan membangun desa. Fokus pembangunan dalam desa membangun bertujuan untuk peningkatan kualitas pelayanan pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa melalui 1 pendekatan partisipatif. Perencanaan pembangunan Kabupaten dan Kota menjadi acuan dalam desa membangun. Desa membangun mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pengembangan potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumberdaya alam serta lingkungan secara berkelanjutan. Sedangkan aspek yang menjadi prioritas dalam konsep desa membangun antara lain peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumberdaya alam lokal yang tersedia, pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif, pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi, dan peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat desa berdasarkan kebutuhan masyarakat desa. Pelaksana dalam konsep desa membangun adalah pemerintah desa dan masyarakat desa dengan semangat gotong royong dan memanfaatkan kearifan lokal dan sumberdaya alam desa. Sedangkan fokus pembangunan dalam konsep membangun desa adalah peningkatan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa melalui pendekatan partisipatif dengan tata ruang Kabupaten atau Kota sebagai acuan. Konsep membangun desa mencakup penyusunan rencana tata ruang kawasan perdesaan secara partisipatif, pengembangan pusat pertumbuhan antar desa secara terpadu, penguatan kapasitas masyarakat, kelembagaan dan kemitraan ekonomi serta pembangunan infrastruktur antar kawasan. Prioritas kegiatan dan kebutuhan disusun untuk penggunaan dan pemanfaatan wilayah desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten atau Kota, pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; dan pemberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan peningkatan ekonomi. Pelaksana pembangunan dalam konsep membangun desa adalah pemerintah desa, daerah, provinsi, dan pemerintah pusat. Konsep pembangunan yang diamanatkan dalam UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa membutuhkan mekanisme perencanaan yang jelas untuk pelaksanaannya. Sehingga diharapkan dapat memberikan panduan kepada desa 2 (pemerintah dan masyarakat) dalam melakukan perencanaan, pelakasanaan, pemantauan dan evaluasi desa dalam melakukan pembangunan. Tujuan 1. Melakukan inventarisir data profil perencanaan, penganggaran, pengelolaan dan pelestarian pembangunan desa dari sumber yang tersedia pada tingkat pusat dan daerah; 2. Menyusun dokumen manajemen perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di tingkat desa; 3. Membuat mekanisme terintegrasi antara perencanaan dan penganggaran dalam pembangunan sarana dan prasarana di tingkat desa Kerangka Konsep Citizen Participation (Partisipasi Masyarakat) Partisipasi masyarakat merupakan proses dimana setiap individu memliki kesempatan untuk mempengaruhi keputusan publik (setiap individu memiliki suara dalam keputusan publik) dan menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan demokratis (Lang, 1986). Pendekatan tradisional (konvensional) saja, saat ini tidak cukup untuk menyusun suatu perencanaan. Pendekatan terintegrasi untuk menyusun perencanaan yang interaktif dengan melibatkan integrasi seluruh pemangku kepentingan terkait dalam mencari informasi yang relevan, berbagi nilai, consensus, dan pada akhirnya dapat menghasilkan aksi yang dapat dikerjakan (feasible) dan dapat diterima (acceptable). Perbedaan antara perencanaan interaktif dan perencanaan konvensional dapat dilihat pada Tabel 1.1. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu cara untuk mengurangi ketegangan dan konflik atas keputusan kebijakan publik. Perencana dan partisipasi dapat memperoleh beberapa manfaat dari proses pengikutsertaan masyarakat yang efektif. Proses perencanaan interaktif menggabungkan masukan masyarakat dalam semua tahapan proses perencanaan yang secara teori akan mengarah kepada keputusan yang lebih baik. 3 Tabel 1.1. Perbedaan Antara Perencanaan Interaktif dan Perencanaan Konvensional Perencanaan Interaktif (Interactive Planning) Perencanaan Konvensional (Conventional Planning) Mencakup informasi/feedback, konsultasi dan negosiasi Interaksi terjadi diawal dan sepanjang proses perencanaan, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan Berasumsi bahwa partisipasi terbuka mengarah kepada keputusan yang lebih baik Perencana sebagai nilai-advokat berkomitmen Fokus pada mobilisasi dukungan Rencana adalah apa yang disepakati untuk dilakukan Keberhasilan diukur dengan pencapaian kesepakatan dalam aksi Terbatas informasi/feedback; sedikit konsultasi Interaksi awal dilakukan dengan pelaksana; pemangku kepentingan yang terkena dampak tidak diikutsertakan hingga akhir proses Berasumsi bahwa informasi yang lebih baik mengarah kepada keputusan yang lebih baik Perencana sebagai nilai-tenaga ahli netral Fokus pada manipulasi data Rencana adalah apa yang harus dilakukan Keberhasilan diukur dengan pencapaian tujuan dalam perencanaan Partisipasi tentunya memerlukan arahan agar peran serta yang dilakukan efektif (Wilcox, 1994). Terdapat beberapa gagasan kunci, antara lain: 1) Level partisipasi; 2) Inisiasi dan proses; 3) Pengawasan; 4) Kekuatan dan tujuan; 5) Peran praktisi; 6) Pemangku kepentingan dan komunitas; 7) Perekanan ; 8) Komitmen; 9) Kepemilikan gagasan; dan 10)Kepercayaan diri dan kapasitas. Community Driven Development Pembangunan desa mencakup 2 (dua) pendekatan, yaitu community driven development (CDD) dan village driven development (VDD). CDD merupakan suatu pendekatan yang memberikan pengawasan terhadap keputusan perencanaan dan investasi sumberdaya alam untuk kegiatan pembangunan lokal (desa) berbasis kelompok komunitas (World Bank, 2015). CDD adalah cara untuk mengelola pembangunan, termasuk desain dan implementasi kebijakan dan proyek yang memfasilitasi akses oleh masyarakat miskin pedesaan modal sosial-kemanusiaan dan fisik (IFAD, 2015). CDD berasal dari community-based development (CBD) dengan cakupan lebih luas. Tekanan pada kontrol (pengawasan) aktual dalam pengambilan 4 keputusan dan sumberdaya proyek di hampir semua tahapan siklus proyek membedakan CDD dengan CBD. Sehingga kontrol terhadap sumberdaya menjadi faktor kunci untuk membedakan secara konseptual antara proyek CDD dengan CBD. Prinsip-prinsip pelaksanaan CDD, antara lain: 1) Transparan; 2) Partisipasi; 3) Penguatan lokal; 4) Respon-permintaan; 5) Akuntabilitas ke bawah lebih besar; 6) Peningkatan kapasitas lokal. Pelaksanaan CDD dilakukan dalam pola kemitraan bersama lembaga pendukung lainnya dimana terdapat peraturan yang jelas dan transparan, akses informasi, kesesuaian kapasitas, dukungan finansial sehingga masyarakat miskin dapat secara efektif mengatur dan mengidentifikasi prioritas masyarakat yang ditujukan terhadap masalah-masalah lokal. Pendekatan CDD dan aksi merupakan elemen penting dalam pengurangan kemiskinan yang efektif dan strategi pembangunan berkelanjutan. CDD responsif terhadap tuntutan lokal, inklusif, dan lebih hemat biaya dibandingkan dengan program LSM terpusat berbasis program. Implementasi CDD telah dilakukan terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah (dalam hal ini masyarakat miskin dipandang sebagai aset dan mitra dalam proses pembangunan), terkena dampak konflik, negara-negara dalam upaya mendukung berbagai kebutuhan yang mendesak, termasuk penyediaan air bersih dan sanitasi, bangunan sekolah dan pos kesehatan, program gizi untuk ibu dan bayi, akses jalan pedesaan, dan dukungan untuk usaha mikro. Proses pelaksanaan proyek CDD, meliputi: 1. Diawali dengan penyediaan dana langsung untuk masyarakat miskin dalam upaya pembangunan 2. Dilanjutkan dengan penetapan keputusan penggunaan dana. 3. Diakhiri dengan penyusunan perencanaan dan pembangunan proyek, serta pemantauan kemajuan proyek. Pengembangan Community Driven Development Di Indonesia, khususnya setelah disahkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan desa dibedakan berdasarkan aspek desa membangun dan membangun desa. Desa membangun bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta 5 penanggulangan kemiskinan. Salah satu cakupan dalam aspek desa membangun adalah pembangunan sarana dan prasarana desa. Dalam merealisasikan cakupan tersebut, terdapat beberapa prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan terkait yaitu peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar serta pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumberdaya lokal yang tersedia. Dalam pelaksanaan pembangunan desa, desa membangun tidak dapat terpisahkan dari membangun desa. Pelaksanaan membangun desa yang dilakukan dapat memperkuat desa membangun. Sehingga dalam proses perencanaan yang dilakukan dalam upaya pembangunan desa, tidak hanya diperlukan perencanaan desa, tetapi desa perlu mempertimbangkan kerjasama antar desa. Kerjasama antar desa dapat dilakukan dalam hal pembangunan sarana dan prasarana yang tidak mungkin dilakukan oleh desa secara sendiri, seperti jalan antar desa. Pendekatan pembangunan desa mencakup pendekatan CDD dan VDD. Pada CDD, fokus aktivitas yang dilakukan dengan prinsip partisipasi multi-pihak berbasis masyarakat antara lain penataan desa, penataan batas/ruang desa, aset desa dan musyawarah perencanaan dan dana. Sedangkan fokus aktivitas dalam VDD yang dilakukan dengan jiwa gotong royong meliputi musyawarah perencanaan dan dana, kerjasama antar desa, BUM Desa/Antar Desa ekonomi investasi desa, dan kejadian luar biasa. Pengalaman Pelaksanaan CDD di Indonesia Pengalaman CDD, yang pernah dilakukan di Indonesia adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan merupakan salah satu mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, meliputi proses perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya, hingga pelaksanaan kegiatan dan pemeliharaan. Program ini didukung dengan pembiayaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana pinjaman/hibah luar negeri dari sejumlah lembaga 6 pemberi bantuan di bawah koordinasi World Bank. Sedangkan pelaksanaan program ini sendiri di bawah binaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kementerian Dalam Negeri. Penyaluran dan pencairan dana langsung dari pusat (APBN) dan daerah (APBD) dalam program ini dilakukan melalui rekening kolektif desa di kecamatan. Dana tersebut dapat digunakan masyarakat desa sebagai hibah untuk membangun sarana/ prasarana penunjang produktivitas desa, pinjaman bagi kelompok ekonomi untuk modal usaha bergulir, atau kegiatan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Setiap penyaluran dana yang turun harus sesuai dengan dokumen yang dikirimkan ke pusat agar memudahkan penelusuran. Tim Pengelola Kegiatan (TPK) atau staf Unit Pengelola Kegiatan di tingkat kecamatan mendapatkan peningkatan kapasitas dalam pembukuan, manajemen data, pengarsipan dokumen dan pengelolaan uang/ dana secara umum, serta peningkatan kapasitas lainnya terkait upaya pembangunan manusia dan pengelolaan pembangunan wilayah perdesaan. Village Driven Development Pembangunan dijelaskan di dalam UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dilakukan secara partisipasi. Pembangunan yang dilakukan berbasis masyarakat (Community Based Development/CBD), mencakup dimensi berbagi informasi, melakukan konsultasi, aksi kolaborasi, dan pemberdayaan komunitas. Sementara dimensi pembangunan diarahkan masyarakat (Community Driven Development/CDD) mencakup aksi kolaborasi dan pemberdayaan komunitas yang dilakukan secara partisipasi. Dengan disahkannya Undang-undang No 6 Tahun 2014, CBD khususnya yang terjadi di Indonesia berkembang dalam pelaksanaannya menjadi suatu pendekatan yaitu Village Driven development (VDD). Kerjasama menjadi nilai dalam manajemen VDD, dimana dalam pengelolaan berbasis pemerintahan, proses kolaborasi yang terjadi adalah kerjasama, memberi konsultasi, memberikan instruksi dan pengelolaan sentralitas pemerintah. Sedangkan dalam pengelolaan berbasis komunitas , proses kolaborasi yang terjadi adalah saling menasehati dan saling memberi informasi dan pengelolaan swadaya komunitas. Sehingga dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan VDD, pengelolaan (manajemen) pembangunan tidak hanya 7 melibatkan masyarakat tetapi juga melibatkan partisipasi pemerintah yang dalam hal ini adalah aparatur desa. Penjelasan ini dapat dilihat pada Gambar 1.1. Saat ini yang penting dilakukan adalah memodifikasi serta merevitalisasi susunan fungsi kawasan perdesaan yang sudah ada secara partisipatif dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi sosial setempat. Pendekatan partisipatif dan aspiratif ini memungkinkan setiap individu, kelompok masyarakat dan lembaga sebagai aktor dalam simpul jejaring sosial mengembangkan kawasan perdesaan secara konkrit dan aktif serta produktif melalui mekanisme konsensus masyarakat yang dilaksanakan untuk bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Strategi ini sebagai pembangunan yang mengutamakan segi kehidupan manusia yang selanjutnya lebih dikenal dengan pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Gambar 1.1. Nilai Kerjasama dalam Manajemen Pembangunan Diarahkan Desa (Village Driven Development/VDD) 8 BAB II. HASIL DAN KAITAN DI LAPANGAN Berdasarkan kajian lapang yang dilakukan di Kabupaten Garut, Kabupaten Bireun, Kabupaten Muna, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Maros dan Kabupaten Gorontalo Utara; maka dihasilkan sebuah data dasar yang dapat dijadikan data benchmarking mengenai mekanisme perencanaan desa membangun dan membangun desa. Hasil kajian di Kabupaten Garut, Kabupaten Bireun, Kabupaten Muna, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Maros dan Kabupaten Gorontalo Utara menunjukan bahwa kegiatan perencanaan sudah berlangsung dengan baik dan sesuai dengan Permendagri No. 66 tahun 2007 di masing masing daerah. Saat ini penyelarasan mengenai Permendagri No.114 tahun 2014 masih berlangsung dan implementasinya akan dilaksanakan untuk tahun anggaran 2017. Perencanaan yang dihasilkan dalam tahun berjalan belum terintegrasi dengan skema penganggaran yang baik, sehingga perencanaan yang tersusun belum pasti dilaksanakan untuk periode pembangunan tahun selanjutnya. Hal inilah yang membuat proses implementasi ataupun pelaksanaan pembangunan desa membangun dan membangun desa sering tersendat. Hal ini dikarenakan perencanaan desa dan kawasan perdesaan yang disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat desa tidak mendapat pengawalan yang baik di tingkat legislatif dan eksekutif di level pemerintahan lanjutan (Kabupaten, Provinsi dan Pusat), sehingga kegiatan implementasi yang terjadi saat ini banyak yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat desa. Pada sektor pemeliharaan, saat ini belum ada suatu lembaga ataupun kelompok yang bertugas sebagai lembaga pemeliharaan pembangunan desa. Hal ini dirasakan penting oleh sebagian besar masyarakat desa di enam titik lokus kajian, dikarenakan banyaknya infrastruktur, sarana dan prasarana yang telah terbangun tidak dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan karena rusak dan tidak terpelihara dengan baik. Hal ini dikarenakan infrastruktur dan sarpras yang dibangun di desa tidak sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat desa, sehingga masyarakat tidak mempunyai rasa memiliki dan keinginan untuk merawat infrastruktur dan sarpras yang telah dibangun di wilayah tersebut. 9 Selain beberapa hal yang tertulis diatas, saat ini desa juga belum memiliki sebuah sistem informasi manajemen berbasis teknologi yang sangat bermanfaat untuk proses monEv (monitoring and evaluation). Sistem ini dirasa sangat bermanfaat bagi desa sebagai media komunikasi multipihak dan multi-evel di dalam membantu pengembangan mekanisme perencanaan desa membangun dan membangun desa.Berdasarkan uraian di atas diperlukan integrasi yang baik dimulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemeliharaan sampai dengan sistem informasi manajemen pada skema desa membangun dan membangun desa. (Tabel 2.1) Kaitan di Lapangan Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam hasil kegiatan lapang terkait dengan mekanisme perencanaan desa membangun dan membangun desa, dimulai dari aktivitas perencanaan, penetapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hingga pemantauan di keenam titik lokus kajian adalah sebagai berikut: Perencanaan dalam era UU No 6 tahun 2014 tentang Desa beserta peraturan yang meliputinya belum diketahui masyarakat (sosialisasi masih sangat kurang). Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab mundurnya implementasi aktivitas perencanaan desa yang sesuai dengan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa; Kurangnya kesadaran dan keingintahuan aparatur desa terhadap kemajuan termasuk regulasi baru yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sebagai contoh kelengkapan administrasi banyak yang masih dilaksanakan oleh pendamping desa (ketergantungan terhadap pendamping desa); Mekanisme perencanaan belum sesuai dengan proses penganggaran, keterlambatan informasi pagu anggaran ke desa menjadi salah satu penyebab hal ini; Mekanisme perencanaan pembangunan sudah melibatkan masyarakat tapi implementasi (realisasi) tidak sesuai dengan yang diharapkan; Mekanisme perencanaan desa membangun dan membangun desa hanya terbatas sampai pada proses perencanaan dan sebagan implementasi (pembangunan) tidak sampai pada proses pemeliharaan sarana dan prasarana desa; Kurangnya kesadaran elemen desa terhadap pemeliharaan sarana dan prasarana desa. 10 Tabel 2.1 Hasil Kajian Lapangan No 1. Kegiatan Waktu Kab. Garut Perencanaan (Permendagri No. 66 tahun 2007): Penggalian gagasan dan Sesuai dengan Awal November informasi di tingkat Permendagri 2014 dusun No. 66 Sesuai dengan Minggu ke - 2 Musyawarah Dusun Permendagri November 2014 No. 66 Sesuai dengan Musrenbang Desa Januari 2015 Permendagri No. 66 Sesuai dengan Musrenbang Kecamatan Februari 2015 Permendagri No. 66 Sesuai dengan Pertengahan Forum SKPD Permendagri Februari 2015 No. 66 Sesuai dengan Pertengahan Maret Musrenbang Kab./ Kota Permendagri 2015 No. 66 Sesuai dengan Forum SKPD Provinsi Akhir Maret 2015 Permendagri No. 66 Sesuai dengan Musrenbang Provinsi Awal April 2105 Permendagri No. 66 Sesuai dengan Musrenbang Nasional Akhir April 2015 Permendagri No. 66 Sesuai dengan Renja SKPD Mei-Juni 2015 Permendagri No. 66 Kab. Bireun Kab. Muna Kab. Toba Samosir Kab. Maros Kab. Gorut Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 Sesuai dengan Permendagri No. 66 11 Tabel 2.1 Hasil Kajian Lapangan (Lanjutan) Penyelarasan Permendagri No. 114 tahun 2014 November – Desember 2015 Sudah dilaksanakan Rencana belum bersinergi dengan anggaran 2. Sinergi penganggaran - 3. Kesesuaian pelaksanaan - 4. Pemeliharaan - 5. Sistem Informasi Manajemen Desa - Mayoritas sudah sesuai Belum ada yang memelihara secara berkala, kesadaran masyarakat cukup Belum ada SIM tapi SDM cukup baik Sudah dilaksanakan Belum dilaksanakan Rencana belum bersinergi dengan anggaran Mayoritas sudah sesuai Belum ada yang memelihara secara berkala, kesadaran masyarakat tinggi Belum ada SIM tapi SDM cukup baik Rencana belum bersinergi dengan anggaran Mayoritas belum sesuai Belum ada yang memelihara secara berkala, kesadaran masyarakat rendah Belum ada SIM dan SDM rendah Sudah sebagian dilaksanakan Rencana belum bersinergi dengan anggaran Sebagian kecil sudah sesuai Belum ada yang memelihara secara berkala, kesadaran masyarakat cukup Belum ada SIM dan SDM rencah Sudah sebagian dilaksanakan Rencana belum bersinergi dengan anggaran Mayoritas sudah sesuai Belum ada yang memelihara secara berkala, kesadaran masyarakat cukup Belum ada SIM tapi SDM sangat baik Sudah dilaksanakan Rencana belum bersinergi dengan anggaran Sebagian kecil sudah sesuai Belum ada yang memelihara secara berkala, kesadaran masyarakat cukup Belum ada SIM tapi SDM sangat baik 12 BAB III. IMPLIKASI KEBIJAKAN Implikasi Strategi Perencanaan Pembangunan Desa Dalam UU No. 23 tentang Pemerintahan Daerah dalam Bab IV mengatur tentang Urusan Pemerintahan Pemerintahan Pasal 9 sampai dengan Pasal 26 terdapat prioritas, program, kegiatan dan kebutuhan pembangunan desa dirumuskan berdasarkan penilaian kebutuhan masyarakat desa yang meliputi peningkatan kualitas dan akses terhadap layanan dasar; pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumberdaya lokal yang tersedia. Terdapat 7 (tujuh) bidang pembangunan desa yang saat ini menjadi prioritas pengembangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Berdasarkan hasil analisa di 6 lokus kajian, prioritas bidang pembangunan desa secara berurutan adalah sebagai berikut; 1) Elektrifikasi; 2) Permukiman; 3) Kesehatan; 4) Pendidikan; 5) Ekonomi; 6) Transportasi dan 7) Transportasi. Adapun beberapa alternatif strategi yang dapat dihasilkan di dalam kajian ini berdasar pada analisis lingkungan yang didorong dengan semangat partisipatif masyarakat desa berdasar pada kolaborasi metode Participatory Rural Appraisal (PRA) dan Participatory Learning and Action (PLA) diantaranya: Penguatan kapasitas kelembagaan pembangunan desa; Sinergi pembiayaan pembangunan desa dan kaderisasi desa; Pemenuhan standar minimal pelayanan (SPM) sarana dan dan prasarana desa; Kolaborasi multipihak di dalam pembangunan desa; Perencanaan pembangunan desa berbasis masyarakat; Pembangunan desa secara partisipatif; Evaluasi dan pemantauan sarana dan prasarana desa serta infrastruktur berbasis masyarakat menggunakan TI. Ketujuh alternatif strategi di atas kemudian diprioritaskan melalui Expert Choice 11, dengan menggunakan persepsi ahli di dalam penentuan prioritas strategi di dalam perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di tingkat desa. Tim ahli dipilih secara purposive sampling dan merupakan pakar yang 13 kompeten di bidang pemberdayaan masyarakat desa, sarana dan prasarana, teknik sipil, arsitektur serta perencanaan wilayah. Berdasarkan prioritas strategi yang dihasilkan perencanaan pembangunan desa secara partisipatif menjadi strategi pertama yang harus diprioritaskan. Strategi ini berbicara untuk lingkup desa dan kawasan, dimana terdapat program fasilitasi perencanaan, penganggaran, evaluasi dan perawatan sarana dan prasarana serta infrastruktur; sosialisasi peraturan sampai dengan promosi mengenai sarana dan prasarana serta infrastruktur yang dimiliki oleh desa. Dilanjutkan dengan kolaborasi multipihak di dalam pembangunan desa sebagai prioritas kedua. Hal ini dimaksudkan segala perencanaan desa memerlukan kerjasama yang saling menguatkan diantara seluruh pemangku kepentingan. Selain itu terdapat pula tim koordinasi pengelolaan kawasan perdesaan yang bertugas sebagai koordinator fasillitasi pengembangan pendampingan yang berasal dari Direktorat Jenderal. Kedua tim di tingkat kabupaten ini berfungsi sebagai penerus informasi pembangunan desa kepada tim fasilitasi pembangunan desa, sehingga kegiatan pembangunan desa serta kawasan dapat terpelihara dan terawasi dengan baik. Diperlukan juga sinergi pembiayaan untuk pembangunan desa, sehingga perencanaan yang telah ditetapkan tidak hanya terhenti sebagai dokumen saja, namun masuk ke dalam ranah eksekusi pembangunan desa secara partisipatif. Kedua kegiatan ini menjadi prioritas keempat dan kelima di dalam kajian ini. Prioritas keenam adalah pemenuhan SPM sarana dan prasarana desa, dimana terdapat standar minimal yang telah ditentukan di dalam pembangunan sarana dan prasaran di desa. Diharapkan dengan terpenuhinya SPM pembangunan sarana dan prasarana di tingkat desa, kesesuaian antara kebutuhan dan aspek sosial, ekologi dan ekonomi dapat membantu proses pemberdayaan masyarakat berkembang lebih baik lagi masa mendatang. Prioritas strategi terakhir adalah evaluasi dalam pemantauan berbasis masyarakat dengan menggunakan TI sebagai instrumen pemantauan. Hal ini didasari oleh perbantuan TI dapat mempermudah serta mempercepat alur informasi baik pengaduan, masukan dan promosi terbaru mengenai pembangunan sarana dan prasarana di tingkat desa. 14 Mekanisme Perencanaan Pembangunan Desa Mekanisme perencanaan pembangunan desa dibutuhkan dalam upaya mendukung percepatan pembangunan desa. Beberapa hal yang menjadi alasan diperlukannya mekanisme ini antara lain (Gambar 3.1): 1. Realisasi pembangunan yang dilakukan belum sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat desa; 2. Pembangunan sarana dan prasarana desa belum didukung dengan kegiatan pasca pembangunan fisik, seperti aktivitas pemeliharaan sarana dan prasarana desa; 3. Proses perencanaan belum sepenuhnya sesuai dengan proses penganggaran, masih terjadi keterlambatan dalam pendistribusian informasi terkait pagu anggaran; 4. Sosialisasi baik dari intensitas maupun jangkauan penerimaan informasi terkait regulasi pemerintah khususnya perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di desa masih sangat kurang. Gambar 3.1. Alur Perencanaan Partisipatif Pembangunan Desa Penyusunan Kegiatan pembangunan desa diawali dengan penyusunan perencanaan yang matang dan dapat direalisasikan. Penyusunan perencanaan dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat di desa. 15 Sehingga penggalian informasi secara intensif perlu dilakukan. Pendekatan partisipatif yang digunakan dalam menyusun perencanaan diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: 1. Membangun kemampuan masyarakat dalam memilah informasi yang relevan dan menggali pengetahuan yang optimal 2. Membangun kemampuan masyarakat dalam mengambil keputusan 3. Membangun kemampuan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan perencanaan 4. Membangun kemampuan masyarakat dalam menilai dan mengevaluasi kegiatan yang dilaksanakan 5. Memberikan kesempatan dan ruang bagi pihak luar untuk memahami dan melalukan interaksi dengan masyarakat 6. Memperkuat mekanisme komunikasi dan kelembagaan di dalam masyarakat 7. Data studi partisipatif yang dihasilkan berguna bagi pengelolaan kegiatan yang sedang berlangsung. Dalam pelaksanaannya, kegiatan penyusunan diawali dengan penggalian informasi yang melibatkan TPD, masyarakat desa, dan aparatur desa secara partisipatif. Kemudian hasil ini akan dibahas di dalam Musdus. Selanjutnya perencanaan akan dibahas pada tingkat desa dalam Musrenbangdes. Hasil Musrenbangdes berupa RPJMDes dan RKP Desa yang tetapkan dengan Peraturan Desa (Perdes). Proses penyusunan perencanaan perlu dikoordinasikan dengan Tim Pengelola Kawasan Perdesaan (TPKP). Hal ini dilakukan agar perencanaan desa dapat bersinergi dengan perencanaan yang ada pada tingkat kawasan. Dalam kenyataannya pembangunan suatu desa memerlukan kerjasama dengan desa lainnya. Terdapat sarana dan prasarana yang dalam pembangunannya membutuhkan kerjasama antar beberapa desa, misalnya puskesmas di bidang kesehatan, Sekolah Menengah Pertama di bidang pendidikan, jalan antar desa di bidang permukiman, dan lain sebagainya. Sehingga segala kebutuhan masyarakat desa terhadap sarana dan prasarana dapat terpenuhi. Pembahasan perencanaan tidak berhenti pada tingkat desa, tetapi secara berlanjut dibahas pada forum tingkat yang lebih tinggi, seperti Musrenbang tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Sehingga terjadi sinergitas antar sektor di tingkat pusat yang dapat mendukung upaya pembangunan desa. 16 Pada tingkat kabupaten, FPD dapat bersinergi dan berkoordinasi dengan Tim Koordinasi Pembangunan Kawasan Perdesaan (TKPKP). Dalam proses pembahasan perencanaan pada berbagai tingkat, FPD dapat membantu mengawal perencanaan pembangunan sarana dan prasarana desa yang telah disusun. Penganggaran Proses penyusunan perencanaan tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas penganggaran. Perencanaan yang telah disusun tentunya juga harus memuat anggaran yang diperlukan untuk realisasi. Penganggaran merupakan salah satu bagian dari pengelolaan keuangan desa, dimana pengelolaan ini meliputi proses perencanaan keuangan, penganggaran, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan desa. Penganggaran desa merupakan suatu metode pengalokasian sumber penerimaan (dana) dan pengeluaran desa dalam jangka waktu tertentu (biasanya 1 (satu) tahun) yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). APBDes adalah rencana keuangan tahunan pemerintah desa yang dibahas dan pembangunan disetujui bersama (musrenbang) dalam desa oleh musyawarah pemerintah perencanaan desa dan dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), serta ditetapkan dengan peraturan desa (Perdes). APBDes terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan desa. Agar perencanaan pembangunan desa tidak berhenti hanya menjadi sebuah dokumen, perlu masuk ke dalam perencanaan (RPJMDes) dan penganggaran (APBDes). Sehingga pembangunan yang telah direncanakan dapat terealisasi. Penganggaran dalam pembangunan desa dapat didukung dengan skema pembiayaan campuran atau yang dikenal dengan blending finance agar dapat bersinergi. Skema pembiayaan ini memungkinkan perencanaan dapat didukung oleh berbagai pihak. Skema pembiayaan campuran dapat dilihat pada Gambar 3.2. 17 Pemerintah Desa APBDes Perusahaan/BUMN/B UMD Dana CSR Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten) Pemerintah Pusat APBD APBN Dana Internasional Dana Dana/Program Dana Pembangunan Desa Kawasan Perdesaan Kerjasama Gambar 3.2. Skema Pembiayaan Campuran Pembangunan Desa 18 Pembangunan Perencanaan dan penganggaran yang sudah sinergi serta telah siap untuk direalisasikan dilanjutkan dengan aktivitas pembangunan fisik. Pembangunan fisik sarana dan prasarana desa didefinisikan dengan tiga kegiatan yaitu pembangunan, pemeliharaan, dan perbaikan (3P). Realisasi pembangunan tidak dapat terlepas dari kegiatan pemeliharaan dan perbaikan untuk menjaga keberadaan sarana dan prasarana yang telah dibangun sehingga tidak kehilangan fungsinya dapat digunakan oleh masyarakat secara berkelanjutan. Oleh karena itu, pembangunan, pemeliharaan, dan perbaikan merupakan satu kesatuan yang harus dipenuhi dalam realisasi pembangunan sarana dan prasarana. Pelaksanaan pemeliharaan sarana dan prasarana desa dapat didukung dengan regulasi yang dibuat pemerintah desa untuk mencegah penurunan fungsi sarana dan prasarana. Regulasi disusun sesuai dengan peraturan lokal yang berlaku serta mempertimbangkan budaya dan kebiasaan masyarakat lokal. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap keseluruhan proses perencanaan, dari mulai penyusunan, penganggaran, hingga pada pembangunan. Hal ini dapat membantu pemerintah desa dan masyarakat desa sebagai pelaku dan pemerintahan pada tingkatan yang lebih tinggi untuk dapat mengawasi dan melakukan evaluasi sehingga dapat memperbaiki kesalahan yang telah terjadi dan memberikan masukan maupun inovasi baru. Kegiatan ini dapat didukung dengan sistem teknologi informasi, sehingga memudahkan seluruh pihak untuk mengakses informasi. Desa dapat membuat Sistem Informasi dan Manajemen (SIM) berbasis teknologi informasi. Pengembangan SIM ini dapat menunjang unsur-unsur penunjang pembangunan sarana dan prasarana desa yaitu pusat data dan informasi serta unit pengaduan masyarakat (Gambar 3.3). 19 Gambar 3.3. Sistem Informasi dan Manajemen (SIM) Desa Berbasis Teknologi Informatika Mekanisme Organisasi dan Prosedur Di dalam mekanisme perencanaan desa membangun dan membangun desa, terdapat organisasi dan prosedur yang berfungsi sebagai pembatas peranan dan posisi seluruh stakeholders di dalam proses perencanaan. Sementara prosedur adalah tahapan- tahapan di dalam perencanaan yang dimulai dari penyusunan kebutuhan desa membangun sampai dengan percepatan pembangunan melalui membangun desa. Tahapan prosedur di dalam mekanisme perencanaan desa membangun meliputi: fasilitasi tim perencana pembangunan melakukan penyusunan kebutuhan pembangunan desa; melalui musyawarah desa menjadi RPJMDes hingga RKP; mensinergikan dengan sistem penganggaran; melaksanakan dengan mengutamakan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan dan kecerdasan lokal serta sumber daya alam desa; melakukan pemantauan dan evaluasi dengan penguatan pemerintah desa berbasis masyarakat; pengembangan sistem informasi desa berbasis penguatan desa; dan percepatan pembangunan melalui pembangunan kawasan perdesaan (membangun desa). Organisasi yang berperan aktif di dalam perencanaan desa membangun terdiri dari aparatur pemerintah multi-level, baik dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Selain pemerintah baik lembaga maupun dinas terkait, masyarakat juga merupakan aktor utama di dalam perencanaan ini, hal ini 20 dikarenakan inisiasi partisipatif yang berasal dari masyarakat yang sudah dikaitkan dengan penganggaran harus juga ditopang dengan regulasi pada masing masing tingkatan pemerintah. Sehingga proses implementasi sampai dengan evaluasi dan perawatan sarana dan prasarana ataupun infrastruktur yang dibangun di desa dapat terkoordinasi dengan baik. Di dalam organisasi pengelola pembangunan desa, direkomendasikan untuk dibentuk sebuah tim fasilitasi pembangunan desa yang dapat menjadi jembatan di dalam melakukan fasilitasi di tingkat desa dan mediator komunikasi ke tingkat Kabupaten. Tim fasilitasi pembangunan desa (TFPD) terdiri dari unsur elemen masyarakat terpilih dari berbagai desa. Tim ini merupakan tim yang diberikan pendampingan teknis dan fasilitasi perencanaan, penganggaran, pembangunan, evaluasi sampai dengan perawatan lanjutan sarana dan prasarana serta infrastruktur yang dilakukan oleh Direktur Jederal (Dirjen). Insentif bagi tim fasilitasi pembangunan desa dialokasikan dari dana APBD daerah. Di tingkat Kabupaten diperlukan juga sebuah forum pembangunan desa (FPD) yang terdiri dari Bupati, SKPD terkait dan TFPD. Selain itu terdapat juga tim koordinasi pembangunan kawasan perdesaan (TKPKP) di tingkat Kabupaten yang dapat diikutsertakan untuk berkoordinasi dan bersinergi di dalam pembangunan desa. Untuk tingkat desa, diperlukan juga pembentukan tim pembangunan desa (TPD) yang terdiri dari elemen masyarakat, kepala desa dan kepala BPD dimana tim ini bertugas untuk melaksanakan pembangunan di desa sesuai dengan penyampaian informasi lanjutan yang telah dilaksanakan oleh TFPD. TPD juga dapat berkoordinasi dan bersinergi dengan tim pengelola kawasan perdesaan (TPKP) apabila konteks pembangunan desa dikaitkan dengan konsep kerjasama antar desa atau kawasan perdesaan (membangun desa). Siklus ini juga memperlihatkan fasilitasi yang dilakukan Dirjen tidak hanya terhenti sampai kegiatan fasilitasi yang terdiri dari fasilitasi perencanaan, penganggaran, pembangunan saja namun juga sampai kepada kegiatan pemantauan dan perawatan sarana dan prasarana desa yang telah dibangun sampai pada jangka waktu tertentu yang telah ditentukan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.4. 21 Gambar 3.4. Organisasi Pengelola Pembangunan Desa Jadwal Perencanaan dan Penganggaran Penyusunan perencanaan pembangunan desa diawali dengan penggalian informasi dan gagasan di tingkat dusun (nama lainnya) yang dilakukan pada awal Bulan November tahun berjalan. Kemudian pada minggu kedua Bulan November tahun berjalan, hasil kegiatan tersebut dipaparkan dalam musyawarah dusun. Pada penggalian informasi dan musyawarah dusun pihak pihak yang terlibat adalah masyarakat desa, aparatur pemerintahan dusun dan desa. Musyawarah dusun dilanjutkan dengan musyawarah perencanaan dan pembangunan desa (musrenbangdes atau nama lainnya) yang dijadwalkan pada Bulan Januari tahun berikutnya. Pada musrenbangdes ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Desa untuk tahun berjalan dan dipaparkan rancangan RPJMDes dan RKP Desa untuk tahun selanjutnya. Pada kegiatan ini akan ditetapkan dana desa tahun berjalan dan perencanaan untuk tahun berikutnya. Pelaku yang terlibat di dalam kegiatan ini adalah komponen masyarakat desa; aparat desa, kelurahan dan kecamatan; BAPPEDA dan PMD serta Lembaga profesi dalam desa. Hasil keluaran dari kegiatan ini adalah dokumen program prioritas desa atau kelurahan serta sumber 22 pendanaannya; dan daftar nama delegasi untuk mengikuti musrenbang kecamatan. Pada Bulan Februari tahun berikutnya, hasil musrenbang desa dipaparkan pada tingkatan selanjutnya yaitu musrenbang tingkat kecamatan. Dimana aktor yang terlibat diantaranya delegasi desa atau kelurahan; wakil masyarakat tingkat kecamatan; aparat kecamatan; lembaga profesi; perwakilan BAPPEDA; dinas/SKPD; dan anggota DPRD dapil bersangkutan. Hasil keluaran yang dihasilkan dari kegiatan ini yaitu dokumen rencana kerja kecamatan beserta pendanaannya dan daftar nama delegasi kecamatan untuk mengikuti forum SKPD dan musrenbang Kabupaten atau Kota. Pada pertengahan bulan Februari, akan dilaksanakan Forum SKPD, yang akan dihadiri oleh delegasi kecamatan; kelompok masyarakat di tingkat Kab/Kota; Dinas SKPD di tingkat Kab/Kota; BAPPEDA Kab atau kota; Anggota DPRD Kab/Kota dan LSM atau ahli/profesional. Hasil keluaran yang dihasilkan yaitu rancangan renja SKPD berdasarkan hasil Forum SKPD yang memuat kerangka regulasi dan kerangka anggaran SKPD; kegiatan prioritas dan pendanaannya; serta daftar delegasi untuk mengikuti musrenbang Kab/Kota. Kegiatan lanjutan adalah musrenbang Kab/Kota pada pertengahan bulan maret dan dilanjutkan dengan Forum SKPD Provinsi di akhir bulan maret. Sampai akhirnya perencanaan desa dilanjutkan pada musrenbang provinsi dan pusat di bulan april tahun berjalan. Setelah kegiatan perencanaan dari desa sampai pusat selesai dilaksanakan akan diturunkan pula rencana kerja SKPD yang berkisar diantara bulan Mei – Juni tahun berjalan. 23 Gambar 3.5. Ilustrasi Waktu Perencanaan dan Penganggaran 24 Rekomendasi Berdasarkan strategi dan program yang dihasilkan, berikut adalah rekomendasi yang diberikan, antara lain: 1. Segala pembangunan yang akan dilakukan di desa dapat merujuk pada mekanisme perencanaan desa membangun dan membangun desa yang ada sebagai pedoman agar perencanaan yang dihasilkan optimal (sesuai dengan kebutuhan masyarakat) dan berpotensi untuk direalisasikan/ada alokasi anggaran untuk pelaksanaanya (applicable); 2. Perlu adanya kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan yang berkomitmen untuk bekerjasama di dalam pembangunan desa; 3. Perlu dibentuk tim fasilitasi pembangunan desa yang berfungsi sebagai jembatan informasi antara forum pembangunan desa yang akan dibentuk di tingkat Kabupaten dengan tim pembangunan desa yang akan dibentuk di tingkat desa; 4. Perlu koordinasi dan sinergi yang berkelanjutan antara tim yang dibentuk dalam lingkup desa dengan tim di lingkup kawasan yang berpotensi bekerjasama di dalam proses percepatan pembangunan desa; 5. Diperlukan sinergi pembiayaan yang dilakukan seluruh pemangku kepentingan yang bertujuan agar perencanaan yang dtetapkan tidak hanya berhenti pada bentuk dokumen saja, namun sampai pembangunan fisik sesuai dengan asas kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan aspek sosial, ekologi dan ekonomi desa; 6. Perencanaan yang telah ditetapkan harus dilanjutkan dengan pembangunan sarana dan prasarana desa yang sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan dan dillakukan secara partisipatif; 7. Pembangunan fisik desa yang akan dan telah dilaksanakan harus sesuai dengan SPM dan NSPK pembangunan sarana dan prasarana di tingkat desa; 8. Perlu dilakukan evaluasi dan pemantauan berbasis masyarakat dengan penggunaan TI sebagai instrumen penunjangnya; 9. Diperlukan regulasi yang mengikat mengenai perawatan sarana dan prasarana desa yang berlandaskan peraturan desa; 10. Perlu diciptakan sebuah sistem informasi manajemen yang dapat diakses oleh seluruh pihak secara global sebagai media promosi serta bank data desa yang ter-upadate. 25 DAFTAR PUSTAKA Abdolvand, M. A., dan Asadollahi, A. 2012. The Study of Strategic Industrial Planning for Using Model SWOT. International Journal of Academic Reasearch in Business and Social Sciences, January 2012, Vol. 2, No.1 ISSN: 2222-6990. Alshomrani, S., dan Qamar, S., 2012. Hybrid SWOT-AHP Analysis of Saudi Arabia E-Government. International Journal of Computer Applications (0975-888) Vol. 48-No.2, June 2012. Chambers, Robert. 1996. PRA (Participatory Rural Appraisal) Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisuis Cleland, I., David. 1978. Strategic Planning and Policy. Van Nostrand Reinhold, New York. Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications, Inc: California. Eriyanto. 2011. Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Lang, Kevin. 1986. Planning Analysis: The Theory of Citizen Participation di dalam Silabus Perkuliahan Planning Analysis. University of Oregon: USA. Rangkuti. F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, PT. Graedia, Jakarta Kolopaking, L.M. 2015. Pola pengembangan sumberdaya alam dalam peningkatan ekonomi kawasan perdesaan. Bahan yang disajikan dalam acara Evaluasi Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi SDA Kawasan Perdesaan. Jakarta: 11-14 November 2015 Kripendorff, Klaus. 1991. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, Rajawali Pers, Jakarta Nasdian, F.T. 2006. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor: Bagian Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. 26 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No.43 tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Republik Indonesia, Undang-Undang No.6 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia, Undang-Undang No.23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Richard L. Daft, 2010, Era Baru Manajemen,Edward Tanujaya, Edisi 9,Salemba Empat Weimer, David L. dan Aidan R. Vining. 1989. Policy Analysis: Concept and Practice. Prentice Hall International, London. Wilcox, David. 1994. Community participation and empowerment: putting theory into practice. RRA Notes (1994), Issue 21, pp. 78-82. IIED, London 27