BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Yaghtin (2013), melakukan penelitian tentang efek perlakuan panas terhadap sifat magnetik dari sebuah soft-magnetic composite (SMC-s) dengan dilapisi Al2O3. Penelitian ini menggunakan metode sol-gel, proses pembebanan sebesar 800 MPa dengan menggunakan cetakan berbentuk tabung, diameter tabung sebesar 10 mm dan panjangnya sebesar 20 mm. Kemudian diberi perlakuan annealing dengan suhu 673K dan 873K, setelah itu dilakukan penahanan suhu selama 1 jam pada proses ini. Pengujian struktur mikro menggunakan SEM dan Xray EDS yang berguna untuk mengetahui tampilan permukaan dari lapisan serbuk. Hasil yang didapatkan yaitu pelapisan alumina dengan metode sol-gel dapat menyeragamkan partikel serbuk. Dari pengujian EDS juga terlihat bahwa lapisan alumina mempunyai stabilitas thermal yang tinggi. Selain itu efek perlakuan annealing dapat meningkatkan permeabilitas pada rentang frekuensi rendah sampai menengah. Dengan dilakukannya pelapisan alumina juga berpengaruh terhadap stabilitas frekuensi dari permeabilitas magnet yang semakin baik dibandingkan dengan serbuk tanpa pelapisan pada saat temperatur annealing. Dari hasil energy losses juga diketahui bahwa perlakuan annealing dengan lapisan serbuk alumina dapat menurunkan rugi histerisis, tetapi juga dapat meningkatkan eddy current. Streckova (2013), melakukan penelitian tentang pembuatan softmagnetic composite (SMC-s) dari 3 macam jenis serbuk komposit yang berbeda partikel feromagnetiknya: serbuk besi ASC 100,29, serbuk FeSi dan serbuk vitroperm (Fe73Cu1Nb3Si16B7). Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mempersiapkan SMCs dengan optimal, baik sifat mekanik maupun magnetiknya untuk aplikasi pada teknologi difrekuensi menengah. Serbuk Fe, FeSi dan vitroperm (Fe73Cu1Nb3Si16B7) digunakan sebagai bahan dasar ferro-magnetic untuk pembuatan soft-magnetic dari komposit. Resin fenol- 4 5 formaldehida dicampur dengan silika atau boron kemudian disintesis melalui proses sol-gel, yang kemudian digunakan sebagai electroinsulating spacer antar celah partikel feromagnetik. Termal degradasi kedua resin disintesis kemudian dianalisis. Campuran kimia silika atau borat ester tersebut dianalisa menggunakan FTIR (Fourier transform infrared) spektrometri. Morfologi dan struktur mikronya diamati dengan menggunakan SEM dan optical microscope (OM). Kedua jenis hibrida organik-anorganik resin tersebut dicampur dengan fenolik baik nanopartikel silika atau boron yang digunakan untuk membuat sebuah lapisan isolasi tipis sempurna meliputi partikel feromagnetik. FTIR spektrometri dikonfirmasi penggabungan silika atau boronnya ke dalam matriks polimer, yang terwujud melalui meningkatnya stabilitas termal dari resin hybrid diverifikasi oleh termo gravimetridiferensial scanning calorimetri (TG-DSC) analisis. Serbuk dipadatkan ke dalam silinder dalam bentuk toroidal untuk pengujian sifat mekanik, listrik dan magnetik. Distribusi seragam resin antara partikel feromagnetik itu dapat dibuktikan atau dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron (SEM) analisis. Xie (2013), melakukan penelitian untuk mengembangkan sebuah magnet yang mempunyai densitas fluks magnetik yang tinggi dan untuk mengurangi rugi-rugi dari serbuk besi magnet tersebut. Penelitian dilakukan dengan cara memberi lapisan pada bagian serbuk yang masih murni/bersih dengan bermacam-macam ukuran. Lapisan Zn3(PO4)2 diberikan pada permukaan serbuk besi setelah proses perlakuan phospat. Pemberian lapisan tidak hanya membuat fluk magnetik dari serbuk menjadi baik tetapi juga meningkatkan ketahanan elektrik dari core magnet dengan mengurangi rugi eddy current, yang dapat terjadi pada jarak yang lebih luas. Dengan penambahan perlakuan annealing setelah proses penekanan kompaksi dapat memunculkan densitas fluks magnetik dari core magnetik. Akan tetapi, dengan melakukan pemberikan suhu annealing diatas 200°C pada spesimen dapat menyebabkan ikatan partikel antar serbuk menjadi berubah, yang berakibat pada berkurangnya ketahanan elektrik core magnetik tesebut. Hasil 6 penelitian menunjukkan bahwa hasil magnetisasi dari core magnetik serbuk sudah cukup baik, dengan komposisi perbandingan serbuk 2:1, perlakuan phospat selama 90 detik dan temperatur annealing 200°C. 2.2. Dasar Teori 2.2.1. Magnet 2.2.1.1. Pengertian Magnet Magnet atau magnit adalah logam yang dapat menarik besi atau baja dan memiliki medan magnet. Asal kata magnet diduga dari kata magnesia yaitu nama suatu daerah di Asia kecil. Menurut cerita di daerah itu sekitar 4.000 tahun yang lalu telah ditemukan sejenis batu yang memiliki sifat dapat menarik besi atau baja atau campuran logam lainnya. Benda yang dapat menarik besi atau baja inilah yang disebut magnet. Satuan intensitas magnet menurutsistem metrik Satuan Internasional (SI) adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnetik adalah weber (1 weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi. (Suryatin, 2008) Setiap magnet memiliki dua kutub, yaitu: utara dan selatan. Kutub magnet adalah daerah yang berada pada ujung-ujung magnet dengan kekuatan magnet yang paling besar berada pada kutub-kutubnya. Benda dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan sifat kemagnetannya yaitu benda magnetik dan benda non-magnetik. Benda magnetik adalah benda yang dapat ditarik oleh magnet, sedangkan benda non-magnetik adalah benda yang tidak dapat ditarik oleh magnet. (Suryatin, 2008) Pada logam yang bukan magnet, magnet elementernya mempunyai arah yang tidak teratur sehingga efeknya saling meniadakan, yang mengakibatkan tidak adanya kutub-kutub magnet pada ujung logam. Kutub magnet adalah daerah yang berada pada ujung-ujung magnet dengan kekuatan magnet yang paling besar berada pada kutub-kutubnya. 2.2.1.2. Medan Magnet Medan magnet adalah daerah di sekitar magnet yang masih merasakan adanya gaya magnet. Arah medan magnetik suatu ruangan 7 didefinisikan sebagai arah yang ditunjukkan oleh kutub utara jarum kompas yang diletakkan di sekitar medan magnet tersebut. (Afza, 2011) Dalam medan magnet terdapat momen magnetik, momen magnetik menunjukkan dua buah kutub magnet yang berlawanan +m dan –m terpisah sejauh l, satuan momen magnetik dalam SI adalah Am2. Besarnya momen magnetiknya ( ⃗⃗ ) dapat dirumuskan: ⃗⃗ = m l ́ (2.1) dengan ⃗⃗ adalah sebuah vektor dalam arah vektor unit berarah dari kutub negatif ke kutub positif. Arah momen magnetik dari atom bahan non magnetik adalah acak sehingga momen magnetik resultannya menjadi nol. Sebaliknya di dalam bahan-bahan magnetik, arah momen magnetik atomatom bahan itu teratur sehingga momen magnetik resultan tidak nol. Seperti yang terlihat pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 di bawah ini. (Afza, 2011) Gambar 2.1 Arah momen magnetik bahan non magnetik Gambar 2.2 Arah momen magnetik bahan magnetik Sedangkan kuat medan magnet ( ⃗ ) pada suatu titik yang berjarak r dari m1 didefinisikan sebagai gaya persatuan kuat kutub magnet, dengan r adalah jarak titik pengukuran dari m. ⃗ mempunyai satuan A/m dalam SI. Sedangkan untuk kuat medan magnet dapat dituliskan sebagai berikut: ⃗ = = (2.2) (Sumber: Afza, 2011) 8 2.2.1.3. Bahan Magnetik Bahan magnetik adalah bahan yang terpengaruh oleh medan magnet berupa penyearahan dipol-dipol magnetik pada bahan (magnetisasi) yang memenuhi hubungan: M = Xm . H Keterangan: (2.3) M = Magnetisasi yang timbul pada bahan Xm = Suseptibilitas magnetik bahan H = Kuat medan magnet yang diberikan pada bahan (Sumber: Callister, 2007) Nilai suseptibilitas magnetik untuk masing-masing material berbedabeda. Ada beberapa jenis material magnetik dilihat dari sifat-sifatnya, antara lain: a. Diamagnetik Diamagnetik adalah bahan yang tidak dapat dipengaruhi oleh medan magnet. Material diamagnetik ini mempunyai nilai suseptibilitas magnetik Xm negatif dan sangat kecil, beberapa material yang termasuk golongan ini adalah timah, tembaga, intan, emas, air raksa, perak, hidrogen (1 atm) dan nitrogen. (Tipler, 1996) Bahan ini memiliki resultan medan magnet atomis 21 masing-masing sama dengan nol. Jika diletakkan pada medan magnet maka jumlah fluks magnet di dalam bahan akan berkurang karena fluks magnet bahan ditolak oleh fluks magnet luar. Bahan diamagnetik memiliki nilai μ sedikit lebih kecil daripada μ0. Hal ini disebabkan oleh atom-atom bahan diamagnetik yang tidak memiliki momen dipole. (Giancoli, 2006) b. Paramagnetik Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing-masing atom atau molekulnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet atomis total seluruh atom atau molekul dalam bahan nol, hal ini disebabkan karena gerakan atom atau molekul acak, sehingga resultan medan magnet atomis masing-masing atom saling meniadakan. Di bawah pengaruh 9 medan magnet eksternal, mereka mensejajarkan diri karena torsi yang dihasilkan. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar. Seperti yang terlihat pada Gambar 2.3 di bawah ini. (Afza, 2011) Gambar 2.3 Arah domain-domain dalam bahan paramagnetik sebelum diberi medan magnet luar. Bahan paramagnetik jika diberikan medan magnet luar, elektronelektronnya akan berusaha sedemikian rupa hingga resultan medan magnet atomisnya searah dengan medan magnet luar. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar. Gambar 2.4 Arah domain dalam bahan paramagnetik setelah diberi medan magnet luar. Dalam material ini hanya ada sedikit spin elektron yang tidak berpasangan, sehingga material ini sedikit menarik garis-garis gaya. Dalam material paramagnetik, medan B yang dihasilkan akan lebih besar dibanding dengan nilainya dalam hampa udara. Suseptibilitas magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada dalam rentang 10-5 sampai 10-3 m3/kg, sedangkan untuk permeabilitasnya adalah μ>μ0. Contoh dari bahan paramagnetik: alumunium, magnesium dan wolfram. (Halliday, 1998) 10 c. Feromagnetik Material feromagnetik merupakan material yang memiliki banyak spin elektron yang tidak berpasangan dan masing-masing spin elektron yang tidak berpasangan ini akan menimbulkan medan magnetik, sehingga medan magnet total yang dihasilkan oleh satu atom menjadi lebih besar. Contoh material yang termasuk feromagnetik adalah besi murni, kobalt dan nikel. Sifat bahan ferromagnetik biasanya terdapat dalam bahan ferit. Ferit merupakan bahan dasar magnet permanen yang banyak digunakan dalam industri-industri elektronika, seperti dalam loudspeaker, motor-motor listrik, dynamo, kompas dan KWH- meter. (Halliday, 1998) 2.2.1.4 Sifat Magnetik Bahan Sifat magnetik suatu bahan terjadi karena adanya orbital dan spin elektron serta interaksi antara elektron yang satu dengan elektron yang lain. Suatu bahan yang ditempatkan pada medan magnet luar dengan intensitas magnetik (H), terjadi magnetisasi (M) serta terjadi induksi magnet (B) yang dapat dituliskan pada persamaan 2.4 berikut: B = µ0 H + µ0 M (2.4) Keterangan: µ0 = permeabilitas magnet (Wb/Am) B = rapat fluks magnetik (Tesla) H = kuat medan magnet (A/m) M = magnetisasi yang timbul pada bahan (A/m) (Sumber: Callister, 2007) Hubungan antara magnetisasi (M), intensitas magnetik (H), dan induksi magnetik (B) dapat dilihat dari kurva histerisis. Sebuah loop histerisis menunjukkan hubungan antara kerapatan fluks induksi magnetik (B) dan gaya magnet/intensitas magnetik (H). Semakin besar nilai H maka semakin besar pula medan magnet B. Deskripsi secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut: 11 Gambar 2.5 Kurva Histerisis - Pada titik a menunjukkan hampir seluruh domain magnetik adalah selaras dan peningkatan pada medan magnetik akan meningkatkan sedikit dari fluks magnetik. Maka pada titik ini bahan mengalami titik jenuh magnetik (magnetisasi saturasi). - Ketika nilai H direduksi menjadi nol, kurva akan bergerak dari titik a ke titik b. Pada titik ini, dapat dilihat bahwa beberapa fluks magnetik tetap berada pada bahan meskipun gaya magnetisasi nol. Hal ini disebut titik retensivitas atau retentivity pada grafik yang menunjukkan remanen atau tingkat magnetisasi sisa dalam bahan. Retensivitas didefinisikan sebagai magnetisasi yang tersisa ketika H telah hilang. Ini menunjukkan kemampuan magnetisasi bahan saat diberi medan luar (H). Jika nilai retensivitas besar maka sifat kemagnetannya semakin kuat. - Pada titik c fluks magnetik mengalami pengurangan sampai ke nilai nol dan disebut titik koersivitas pada kurva. Koersivitas atau coercivity (Hc) merupakan besarnya medan yang diperlukan untuk membuat kemagnetannya = 0. Semakin besar Hc maka sifat kemagnetannya akan semakin kuat. - Selanjutnya pada titik d, kekuatan magnetik meningkat pada arah negatif sehingga bahan mengalami magnetisasi jenuh (magnetisasi saturasi) tetapi 12 pada arah yang berlawanan. Nilai H berkurang sampai nol dan kurva dibawa menuju titik e. - Pada titik f nilai H mengalami kenaikan kearah positif sedangkan nilai B mengalami penurunan ke titik nol sehingga dari titik f kembali ke titik jenuh (magnetisasi saturasi). 2.2.1.4.1 Sifat magnetik bahan meliputi: a). Induksi remanen (Br) Induksi remanen adalah induksi magnetik yang tertinggal dalam sirkuit magnetik (besi lunak) setelah ditiadakan/dihilangkan pengaruh bidang magnetiknya. Ketika arus dialirkan pada sebuah kumparan yang melilit besi lunak maka terjadi orientasi pada partikel-partikel yang ada dalam besi. Orientasi ini mengubah/mengarahkan pada kutub utara dan selatan. Untuk satuan unitnya dalam SI adalah Tesla (T) atau Wb/m2, sedangkan dalam satuan British adalah Gauss (G). (Asyer, 2007) b). Permeabilitas magnet (μ) Daya hantar atau permeabilitas magnet (diberi lambang μ) adalah parameter bahan yang menentukan besarnya fluks magnetik. Untuk menghitung nilai permeabilitas magnet pada suatu bahan dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut: µ = B/H (2.5) Keterangan: µ = permeabilitas magnet (Wb/Am) B = rapat fluks magnetik (Tesla) H = kuat medan magnet (A/m) (Sumber: Callister, 2007) Rasio perbandingan antara rapat fluks magnetik dengan kuat medan magnet disebut dengan permeabilitas, nilai rasio perbandingan antara rapat fluks magnetik dengan kuat medan magnet yang tinggi di kurva histerisis menunjukkan bahwa magnetisasi mudah terjadi karena diperlukan medan magnet yang kecil untuk menghasilkan rapat fluks yang tinggi (induksi), dan 13 sebaliknya jika nilai rasio perbandingan antara rapat fluks magnetik dengan kuat medan magnet rendah pada kurva histerisis maka magnetisasi sulit untuk dilakukan. Sedangkan untuk mencari nilai permeabilitas relatif dari bahan magnetik dapat dihitung menggunakan rumus berikut: µr = µ/µ0 Keterangan: (2.6) μ = permeabilitas magnet (Wb/Am) μo = permeabilitas vacuum (Wb/Am) μr = permeabilitas relatif (Wb/Am) (Sumber: Callister, 2007) c. Medan Koersifitas (Hc) Medan koersivitas atau gaya koersivitas yaitu medan gaya yang diperlukan untuk menghilangkan induksi remanen setelah melalui proses induksi elektromagnetik. Dari besarnya koersivitas inilah yang menentukan magnet tergolong pada jenis soft-magnetic atau hard-magnetic. Untuk bahan yang memiliki koersivitas yang besar (Hc> 1 kA/m) disebut hard-magnetic, sedangkan untuk bahan yang memiliki koersivitas kecil (Hc< 1 kA/m) disebut soft-magnetic. Besarnya nilai koersivitas dapat diketahui dari kurva histerisis, yang memiliki satuan ampere-turn/meter (A/m). (Asyer, 2007) 2.2.1.5. Hard-magnetic dan soft-magnetic Penggolongan ini berdasarkan kekuatan medan koersifnya dimana soft-magnetic atau material magnet lunak memiliki medan koersif yang lemah sedangkan material magnet kuat atau hard-magnetic materialnya memiliki medan koersif yang kuat. Hal ini lebih jelas digambarkan dengan kurva histerisis. Kurva histerisis adalah kurva hubungan intensitas magnet (H) terhadap medan magnet (B). (Asyer, 2007) Diagram histerisis pada gambar 2.6 menunjukkan kurva histerisis untuk material magnetik lunak, pada gambar (a) dan material magnetik keras pada gambar (b). H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam spesimen tersisa magnetisme residual Br, yang sering 14 disebut induksi remanen, dan diperlukan medan magnet Hc yang disebut gaya koersif, yang harus diterapkan dalam arah berlawanan untuk meniadakannya. (Asyer, 2007) Gambar 2.6 histerisis material magnet (a) Material lunak, (b) Material keras Antara soft-magnetic dan hard-magnetic dapat dilihat perbedaannya dari variabel koersivitasnya. Bahan dengan koersivitas tinggi memiliki sifat kemagnetan yang kuat dan untuk menghilangkan sifat ini diperlukan intensitas magent (H) yang besar. Pada umumnya soft-magnetic memiliki permeabilitas tinggi dan koersivitas rendah (Hc<1000 A/m), sedangkan hardmagnetic memiliki permeabilitas rendah dan koersivitas tinggi (Hc>1000 A/m). (Asyer, 2007) Magnet lunak adalah material yang mudah dimagnetisasi serta mudah pula mengalami demagnetisasi. Magnet lunak merupakan pilihan tepat untuk penggunaan pada arus bolak-balik atau frekuensi tinggi, karena dapat mengalami magnetisasi dan demagnetisasi berulang kali selama selang waktu satu detik. Spesifikasi yang agak kritis untuk magnet lunak adalah; induksi jenuh (tinggi), medan koersif (rendah), dan pemeabilitas maksimum (tinggi). Rasio perbandingan antara rapat fluks magnetik dengan kuat medan magnet disebut dengan permeabilitas. (Afza, 2011) 15 Nilai rasio perbandingan antara rapat fluks magnetik dengan kuat medan magnet yang tinggi di kurva histerisis menunjukkan bahwa magnetisasi mudah terjadi karena diperlukan medan magnet yang kecil untuk menghasilkan rapat fluks yang tinggi (induksi), dan sebaliknya jika nilai rasio perbandingan antara rapat fluks magnetik dengan kuat medan magnet rendah pada kurva histerisis maka magnetisasi sulit untuk dilakukan. (Afza, 2011) Tabel 2.1 Sifat berbagai magnet lunak (Afza, 2011) Induksi jenuh Bahan magnet 2 Medan koersif, Permeabilitas relatif, Bs (V.det/m ) -Hc (A/m) Besi murni (kps) 2,2 80 5.000 Kern transfomator 2,0 40 15.000 Permalloy, Ni-Fe 1,6 10 2.000 0,2 0,2 100.000 0,4 30 1.200 0,3 30 700 µr (Maksimum) Superpermalloy, Ni-Fe-Mo Ferroxcube A, (Mn,Zn) Fe2O4 Ferroxcube B, (Ni,Zn) Fe2O4 Kerapatan dari bahan ferit lebih rendah dibandingkan logam-logam lain dengan ukuran yang sama. Oleh karena itu nilai saturasi dari bahan ferit relatif rendah yang menguntungkan untuk dapat dihilangkan. Nilai kerapatan ferit dapat dilihat dalam Tabel 2.1, dan nilai perbandingan dengan material megnetik yang lain. (Afza, 2011) 16 2.2.2. Metode pembuatan magnet 2.2.2.1. Proses metalurgi serbuk Metalurgi serbuk merupakan salah satu pemilihan cara pembuatan untuk menghasilkan suatu komponen. Metalurgi serbuk merupakan suatu bidang ilmu yang mempelajari mengenai proses yang berkaitan dengan serbuk logam meliputi pembuatan (fabrikasi) dari serbuk logam itu sendiri, karakteristik serbuk, hingga konversi serbuk logam menjadi suatu komponen produk. Prinsip metalurgi serbuk adalah memadatkan serbuk logam menjadi bentuk yang dinginkan dan kemudian memanaskannya dibawah temperatur leleh. Sehingga partikel-partikel antar logam dapat memadu karena adanya mekanisme transportasi massa akibat difusi atom antar permukaan partikel. Keuntungan proses metalurgi serbuk didalam pembuatan material magnetik adalah kemampuan penyesuaian properties atau sifat magnet ke aplikasi dengan mengontrol material dan parameter proses. Kendala yang dihadapi dalam teknik metalurgi serbuk ini adalah produk yang dihasilkan biasanya akan mengandung porositas yang dapat menurunkan kekuatan dari sifat mekanisnya. (Asyer, 2007) 2.2.2.2 Compacting (Kompaksi/Penekanan) Penekanan adalah suatu proses pembentukan atau pemampatan serbuk sehingga mempunyai bentuk tertentu dan mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengalami proses selanjutnya. Terdapat beberapa metode penekanan, diantaranya, penekanan dingin (cold compaction) dan penekanan panas (hot compaction). Proses kompaksi yang dilakukan adalah dengan metode satu arah. Pada penekanan satu arah, punch bagian atas bergerak menekan ke bawah. (Aini, 2008) Gambar 2.7 Proses kompaksi dengan penekanan satu arah 17 2.2.2.3.Proses Perlakuan Panas Pra-olahan merupakan salah satu proses yang harus dilakukan sebelum masuk dalam pirometalurgi bijih. Adapun tujuan dari proses ini adalah mengubah senyawa logam menjadi bentuk senyawa lain yang lebih sesuai untuk proses berikutnya, menjadikan mineral pengotor tidak larut dalam leaching agents, mengubah senyawa bijih sehingga bersifat mudah larut dalam leaching agents. Proses pra-olahan dilakukan pada temperatur tinggi sebelum mencapai titik leleh. Pada proses ini bijih mengalami dua perubahan baik perubahan bentuk ataupun perubahan sifat. Pra-olahan merupakan persiapan bijih secara kimia. (Afza, 2011) Ada beberapa macam proses pada pra-olahan, yaitu: a. Drying, proses penghilangan kandungan air yang terdapat dalam bijih atau free moisture dengan cara evaporasi atau penguapan, terjadi pada temperatur yang tidak terlalu tinggi. b. Kalsinasi, proses penghilangan kandungan air kristal pada suatu bijih (inherent moisture), temperatur yang digunakan dalam proses ini lebih tinggi dari pada proses drying tetapi tidak melebihi temperatur lelehnya, dan juga tanpa adanya penambahan reagen. Proses ini sering disebut juga dengan proses dekomposisi termal. c. Roasting (pemanggangan), proses pemanasan bijih tanpa terjadinya peleburan dalam proses ini, disertai dengan penambahan reagen (gas) dengan tujuan mengubah senyawa-senyawa yang terkandung menjadi senyawa yang sesuai untuk proses selanjutnya. Jenis roasting: 1. Roasting Oksidasi 2. Roasting reduksi 3. Roasting khlorinasi atau khloridisasi 4. Roasting khusus d. Aglomerasi, proses penggumpalan dari material halus atau slimed akibat over grinding menjadi lebih besar ukurannya agar apabila dimasukan ke dalam blast furnace tidak terbang bersama gas buang sehingga loses yang 18 terjadi seminimal mungkin dan tidak menyumbat saluran pembuangan, yang terdiri dari beberapa jenis yaitu: 1. Bricket, penggumpalan dengan menggunakan cetakan tekan dengan atau tanpa perekat, menjadikan material halus seperti briket. 2. Nodulizing, penggumpalan dengan menggunakan tanur putar, yang disertai proses kalsinasi sehingga terjadi peleburan sebagian, material halus dibentuk seperti nodula-nodula. 3. Sintering, pelelehan dari sebagian komponen yang terkandung di dalam bijih sehingga terbentuk gumpalan, material halus dibentuk lebih besar. 4. Peletizing, penggumpalan bijih yang menghasilkan bola-bola kecil (1-3 cm). Digunakan jika ukuran partikel sangat halus dan sulit untuk disinter. Biasanya ditambah dengan perekat dan air, material halus dibentuk seperti pelet dengan ukuran tertentu. Tidak semua unsur yang ada di alam terdapat dalam bentuk oksida atau senyawa murni. Ada juga yang membentuk ikatan dengan air kristal. Hal yang seperti ini tidak diinginkan dalam industri karena akan memerlukan energi dan biaya yang lebih besar lagi. Oleh karena itu untuk menghilangkan ikatan air kristal pada senyawa karbonat (contoh : CaCO3.NH2O) dan hidrat maka perlu dilakukan proses kalsinasi yang juga merupakan salah satu proses yang ada di pra-olahan. (Afza, 2011) Proses kalsinasi digunakan pada banyak proses pada industri peleburan besi baja dan logam lainnya. Karena digunakan sebagai fluks, yaitu sebagai pengikat pengotor-pengotor yang muncul pada proses peleburan besi baja dan logam lainnya, sehingga hasil dari peleburan akan terbebas dari pengotor-pengotor yang tidak diinginkan. (Afza, 2011) 2.2.3 Karakterisasi Untuk mengetahui sifat-sifat dan kemampuan suatu material maka perlu dilakukan pengujian dan analisis. Beberapa jenis pengujian dan analisis yang dibahas untuk keperluan penelitian ini antara lain: pengujian sifat fisis 19 (densitas, porositas, kekuatan magnet), analisa struktur dengan menggunakan alat uji SEM (Scanning Electron Microscope), dan untuk menganalisa struktur kristal dengan menggunakan alat uji XRD (X-Ray Diffraction). (Afza, 2011) 2.2.3.1 Sifat Fisis 2.2.3.1.1 Densitas Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material atau juga sering didefinisikan sebagai perbandingan antara massa (m) dengan volume (v) dalam hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut: ρ= (2.7) Keterangan: ρ = densitas (kg/m3) m = massa sampel (kg) v = volume sampel (m3) (Sumber: Ristic, 1979) 2.2.3.1.2 Kekuatan magnet Magnet memiliki daya tarik menarik dan daya tolak menolak jika didekatkan di antara kutub-kutub magnet. Daya tarik menarik ini diakibatkan oleh medan magnet, dan menghasilkan medan magnet. Hal ini terjadi ketika arus mengalir pada sebuah konduktor, pertama kali diamati oleh Oersted pada tahun 1819. Medan magnet juga dapat dihasilkan dari magnet tetap. Pada saat itu tidak ada arus yang mengalir, akan tetapi gerak orbital dan spin elektron (dinamakan “Amperican currents”) bahan magnet tetap yang telah melalui proses magnetisasi terlebih dahulu dengan menggunakan medan magnet luar. (Afza, 2011) Untuk bahan magnet BaO6Fe2O3, dimana variasi kandungan dari setiap unsur sangat mempengaruhi sifat bahan tersebut, baik dari kekuatan materialnya maupun daya tarik dari bahan magnet tersebut. Daya tarik ini dipengaruhi oleh ukuran butir pada bahan yang terbentuk. Ukuran-ukuran butir yang terbentuk ini tergantung pada proses pertumbuhan kristal yang 20 terjadi ketika pembuatan material. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa semakin kecil butiran yang terbentuk pada material maka semakin besar kekuatan magnet untuk menarik atau menolak (medan magnet remanen), hal ini terjadi karena adanya interaksi antar butiran tesebut. (Afza, 2011) Setelah bahan magnet terbentuk dengan ukuran butiran dan struktur kristal tertentu kemudian dilakukan proses magnetisasi, yaitu memberikan medan magnet luar agar memiliki medan magnet sendiri atau permanen. Perlu diketahui bahwa pada saat bahan magnet terbentuk menjadi kristal itu belum memiliki daya tarik terhadap logam. Setelah diberi medan magnet luar bahan baru akan memiliki medan magnet, cara pemberian medan magnet ini dilakukan secara perlahan-lahan, sehingga sampai pada kondisi tertentu (saturasi). Kemudian pemberian medan magnet ini diturunkan secara perlahan sampai suatu nilai saturasi tertentu dengan arah medan magnet yang berlawanan, dan pada akhirnya bahan akan memiliki daya tarik pada logam. (Afza, 2011) Gambar 2.8 Alat Vibrating Sample Magnetometer (VSM) tipe OXFORD VSM 1.2 H (BATAN) Untuk mengukur sifat magnetik tersebut alat yang digunakan yaitu VSM. Alat VSM merupakan salah satu jenis peralatan yang digunakan untuk mempelajari sifat magnetik bahan, dengan menggunakan alat ini dapat diperoleh informasi mengenai besaran-besaran sifat magnetik sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva histerisis, sifat magnetik bahan sebagai akibat perubahan suhu, dan sifat magnetik sebagai fungsi sudut pengukuran/kondisi anisotropik bahan. (Afza, 2011)