6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on Application The Feasibility of Renewable Energy Case Study Feasibility Analysis of Renewable Energy Supply Options for Small to Medium-Sized Tourist Accommodationst dilakukan oleh G.J. Dalton, D.A. Lockington dan T.E. Baldock (2009). Penelitian ini memanfaatkan beban listrik dari tiga akomodasi yang sudah menerapkan sistem hibrida untuk energi terbarukan. Operasional karakteristik khusus, seperti operasional 24 jam, penyediaan kenyamanan dan tingkat kegagalan yang rendah adalah penilaian viabilitas energi terbarukan untuk sektor ini. Kriteria untuk Net Present Cost (NPC), faktor terbarukan dan waktu pengembalian modal menjadi penilaian yang utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pengembalian sistem hibrida dari energi terbarukan akan menjadi sekitar setengah jika harga solar meningkat dan karbon pajak dilaksanakan. Ini menunjukkan bahwa energi terbarukan layak secara teknis dan ekonomis dipergunakan untuk akomodasi pariwisata skala kecil dan menengah. Techno-Economic Feasibility of Grid Connected Solar PV System in Bangladesh dilakukan oleh Alam Hossain Mondal dan Sadrul Islam (2009). Penelitian ini menganalisis kelayakan teknis dan ekonomi untuk sistem grid 500kW PV di Rajshahi Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya produksi listrik untuk sistem grid PV dengan umur proyek 20 tahun dan tingkat diskonto 10% adalah 14,51 BDT (Bangladesh Taka). Biaya ini menjadi bervariasi 6 7 antara 14,10 dan 15,25 BDT berdasarkan data radiasi matahari terendah dan tertinggi. Hasil penelitian ini kemudian dibandingkan dengan biaya grid connected dari pembangkit listrik diesel yang besarnya sekitar 15-18 BDT. Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa biaya produksi per satuan unit listrik dari grid connected PV kompetitif dengan biaya grid connected dari pembangkit diesel. Bahkan jika mekanisme pembangunan bersih, pajak karbon dan kenaikan harga minyak dipertimbangkan maka biaya satuan akan lebih rendah daripada grid connected pembangkit diesel. Design and Economic Analysis of a Stand-Alone PV System to Electrify a Remote Area Household in Egypt dilakukan oleh Abd El-Shafy A. Nafeh (2009). Penelitian ini menyajikan sebuah design lengkap dan analisis biaya siklus hidup untuk sistem Photovoltaic (PV) Stand-Alone, yang dilakukan untuk satu rumah tangga di kota Rudies Abu Semenanjung Sinai Mesir, yang letaknya terisolasi dan terpencil serta jauh dari jaringan listrik nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem PV yang dikembangkan untuk lokasi terpencil yang jauh dari jaringan listrik Mesir, berada pada kisaran harga $ 0,74/kWh. Harga ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan biaya listrik di Mesir ($ 0,1/kWh). Akan tetapi pada penelitian ini juga dinyatakan bahwa harga sistem PV dapat turun menjadi $ 0,49/kWh jika biaya awal modul PV turun $ 0,1/Wp. Pada saat yang sama, karena peningkatan dalam harga bahan bakar konvensional maka biaya listrik di Mesir menjadi lima kali nilai saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pembangkit sistem PV bermanfaat dan cocok untuk investasi jangka panjang, terutama jika 8 harga awal sistem PV mengalami penurunan serta didukung oleh peningkatan efisiensi komponennya. Faisal Ahammed dan Abdullahil Azeem (2009), melakukan penelitian tentang An Economic Analysis of Solar PV Micro-Utility in Rural Areas of Bangladesh. Penelitian ini menganalisis kelayakan ekonomi PV Micro-Utility di Manikgang Bazaar Bangladesh, dengan menggunakan Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR) dan Discounted Pay Back Period. Untuk mengatasi biaya investasi awal PV yang relatif mahal maka diperlakukan konsep pembayaran tarif harian untuk setiap pelanggan yang terhubung ke utility. Diasumsikan discount rate sebesar 10% untuk pertimbangan nilai waktu uang. Hasil analisis menunjukkan bahwa NPV lebih besar dari 0 (nol), sedangkan untuk BCR menunjukkan nilai lebih besar dari 1 (satu). Discount payback period pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada tahun ke-11, biaya investasi proyek akan kembali. Dari tingkat diskonto terlihat bahwa IRR proyek lebih besar yaitu 14%, nilai ini lebih besar dari nilai biaya modal (10%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proyek PV Micro-Utility telah layak secara ekonomi. 2.2 Pembangkit Listrik Tenaga Surya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah suatu pembangkit yang mengkonversikan energi foton dari surya menjadi energi listrik. Konversi ini terjadi pada panel surya yang terdiri dari sel-sel surya. PLTS memanfaatkan cahaya matahari untuk menghasilkan listrik DC (Direct Current), yang dapat diubah menjadi listrik AC (Alternating Current) apabila diperlukan. PLTS pada 9 dasarnya adalah pencatu daya dan dapat dirancang untuk mencatu kebutuhan listrik dari yang kecil sampai dengan yang besar, baik secara mandiri maupun hibrida. 2.2.1 Sel Surya Sel surya tersusun dari dua lapisan semikonduktor dengan muatan yang berbeda. Lapisan atas sel surya bermuatan negatif sedangkan lapisan bawahnya bermuatan positif. Silikon adalah bahan semikonduktor yang paling umum digunakan untuk sel surya. Ketika cahaya mengenai permukaan sel surya, beberapa foton dari cahaya diserap oleh atom semikonduktor untuk membebaskan elektron dari ikatan atomnya sehingga menjadi elektron yang bergerak bebas. Adanya perpindahan elektron-elektron inilah yang menyebabkan terjadinya arus listrik (Quaschning, 2005). Gambar 2.1 menunjukkan struktur dari sel surya. Sumber : Quaschning, 2005 Gambar 2.1 Struktur Sel Surya 2.2.2 Karakteristik Sel Surya Total pengeluaran listrik (Watt) dari sel surya adalah sama dengan tegangan (V) operasi dikalikan dengan arus (I) operasi. Tegangan serta arus 10 keluaran yang dihasilkan ketika sel surya memperoleh penyinaran merupakan karakteristik yang disajikan dalam bentuk kurva I-V pada gambar 2.2. Kurva ini menunjukkan bahwa pada saat arus dan tegangan berada pada titik kerja maksimal (Maximum Power Point) maka akan menghasilkan daya keluaran maksimum (PMPP). Tegangan di Maximum Power Point (MPP) VMPP, lebih kecil dari tegangan rangkaian terbuka (Voc) dan arus saat MPP IMPP, adalah lebih rendah dari arus short circuit (Isc) (Quaschning, 2005) . a) Short Circuit Current (Isc) : terjadi pada suatu titik dimana tegangannya adalah nol, sehingga pada saat ini, daya keluaran adalah nol. b) Open Circuit Voltage (Voc) : terjadi pada suatu titik dimana arusnya adalah nol, sehingga pada saat ini pun daya keluaran adalah nol. c) Maximum Power Point (MPP) : adalah titik daya output maksimum, yang sering dinyatakan sebagai ”knee” dari kurva I-V. Sumber : Quaschning, 2005 Gambar 2.2 Kurva I-V 11 2.3 Komponen-komponen PLTS Pemanfaatan tenaga surya sebagai pembangkit tenaga listrik, umumnya terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut : 2.3.1 Panel (Modul) Surya Panel surya merupakan komponen yang berfungsi untuk mengubah energi sinar matahari menjadi energi listrik. Panel ini tersusun dari beberapa sel surya yang dihubungkan secara seri maupun paralel. Sebuah panel surya umumnya terdiri dari 32-40 sel surya, tergantung ukuran panel (Quaschning, 2005). Gabungan dari panel-panel ini akan membentuk suatu “Array”. Sumber : Patel, 1999 Gambar 2.3 Hubungan Sel Surya, Panel Surya dan Array Jenis panel surya yang terjual di pasaran saat ini, antara lain adalah : 1) Monokristal Silikon (Mono-crystalline Silicon) Monokristal merupakan panel (modul) yang paling efisien, yaitu mencapai angka sebesar 16-25% (Narayana, 2010). 2) Polikristal Silikon (Poly-crystalline Silicon) Polikristal merupakan panel surya yang memiliki susunan kristal acak. Tipe ini memiliki efisiensi sebesar 14-16% (Narayana, 2010). 12 3) Amorphous Silicon Amorphous adalah tipe panel dengan harga yang paling murah akan tetapi efisiensinya paling rendah, yaitu antara 9-10,4% (Narayana, 2010). Pengoperasian maksimum panel surya sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut : 1) Temperatur Sebuah panel surya dapat beroperasi secara maksimum jika temperatur yang diterimanya tetap normal pada temperatur 25oC. Kenaikan temperatur lebih tinggi dari temperatur normal pada panel surya akan melemahkan tegangan (Voc) yang dihasilkan. Setiap kenaikan temperatur panel surya 1oC (dari 25oC) akan mengakibatkan berkurang sekitar 0,5% pada total tenaga (daya) yang dihasilkan (Foster dkk., 2010). Untuk menghitung besarnya daya yang berkurang pada saat temperatur di sekitar panel surya mengalami kenaikan oC dari temperatur standarnya, dipergunakan rumus sebagai berikut : Psaat t naik oC = 0,5% /oC x PMPP x kenaikan temperatur (oC)..........2.1 Dimana : Psaat o t naik C = daya pada saat temperatur naik oC dari temperatur standarnya. PMPP = daya keluaran maksimum panel surya. Daya keluaran maksimum panel surya pada saat temperaturnya naik menjadi toC dari temperatur standarnya diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut : PMPP saat naik menjadi toC = PMPP - Psaat t naik oC ...................................2.2 13 Dimana : PMPP saat o naik menjadi t C adalah daya keluaran maksimum panel surya pada saat temperatur di sekitar panel surya naik menjadi t oC dari temperatur standarnya. Faktor koreksi temperatur (Temperature Correction Factor) diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut : TCF = P MPP saat naik menjadi t oC P MPP .....................................2.3 Sumber : Strong, 1987 Gambar 2.4 Pengaruh Temperatur terhadap Panel Surya 2) Intensitas Cahaya Matahari Intensitas cahaya matahari akan berpengaruh pada daya keluaran panel surya. Semakin rendah intensitas cahaya yang diterima oleh panel surya maka arus (Isc) akan semakin rendah. Hal ini membuat titik Maximum Power Point berada pada titik yang semakin rendah. 14 Sumber : Strong 1987 Gambar 2.5 Pengaruh Intensitas Radiasi terhadap Panel Surya 3) Orientasi Panel Surya (Array) Orientasi dari rangkaian panel surya (array) ke arah matahari adalah penting, agar panel surya (array) dapat menghasilkan energi maksimum. Misalnya, untuk lokasi yang terletak di belahan bumi Utara maka panel surya (array) sebaiknya diorientasikan ke Selatan. Begitu pula untuk lokasi yang terletak di belahan bumi Selatan maka panel surya (array) diorientasikan ke Utara (Foster dkk., 2010). 4) Sudut Kemiringan Panel Surya (Array) Sudut kemiringan memiliki dampak yang besar terhadap radiasi matahari di permukaan panel surya. Untuk sudut kemiringan tetap, daya maksimum selama satu tahun akan diperoleh ketika sudut kemiringan panel surya sama dengan lintang lokasi (Foster dkk., 2010). Misalnya panel surya yang terpasang di khatulistiwa (lintang = 0o) yang diletakkan mendatar (tilt angle = 0o), akan menghasilkan energi maksimum. 15 Sumber : Foster dkk., 2010 Gambar 2.6 Pemasangan Panel Surya dengan Sudut Kemiringan 2.3.2 Charge Controller Charge controller adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk mengatur pengisian arus searah dari panel surya ke baterai dan mengatur penyaluran arus dari baterai ke peralatan listrik (beban). Charge controller mempunyai kemampuan untuk mendeteksi kapasitas baterai. Bila baterai sudah penuh terisi maka secara otomatis pengisian arus dari panel surya berhenti. Cara deteksi adalah melalui monitor level tegangan baterai. Charge controller akan mengisi baterai sampai level tegangan tertentu, kemudian apabila level tegangan telah mencapai level terendah, maka baterai akan diisi kembali. Charge controller adalah indikator yang akan memberikan informasi mengenai kondisi baterai sehingga pengguna PLTS dapat mengendalikan konsumsi energi menurut ketersediaan listrik yang terdapat di dalam baterai. 2.3.3 Baterai Baterai adalah komponen PLTS yang berfungsi menyimpan energi listrik yang dihasilkan oleh panel surya pada siang hari, untuk kemudian dipergunakan pada malam hari dan pada saat cuaca mendung. Baterai yang dipergunakan pada PLTS mengalami proses siklus mengisi (Charging) dan mengosongkan 16 (Discharging), tergantung pada ada atau tidaknya sinar matahari. Selama ada sinar matahari, panel surya akan menghasilkan energi listrik. Apabila energi listrik yang dihasilkan tersebut melebihi kebutuhan bebannya, maka energi listrik tersebut akan segera dipergunakan untuk mengisi baterai. Sebaliknya selama matahari tidak ada, permintaan energi listrik akan disuplai oleh baterai. Proses pengisian dan pengosongan ini disebut satu siklus baterai. Ada dua jenis baterai isi ulang yang dapat dipergunakan untuk sistem PLTS, yaitu baterai Asam Timbal (Lead Acid) dan baterai Nickel-Cadmium. Akan tetapi karena memiliki efisiensi yang rendah dan biaya yang lebih tinggi, membuat baterai Nickel-Cadmium relatif lebih sedikit dipergunakan dalam sistem PLTS. Sebaliknya baterai Asam Timbal adalah baterai dengan efisiensi tinggi dengan biaya yang lebih ekonomis. Hal inilah membuat baterai Asam Timbal menjadi perangkat penyimpanan yang penting untuk beberapa tahun ke depan, terutama untuk sistem PLTS ukuran menengah dan besar (Messenger dan Ventre, 2005). Kapasitas baterai umumnya dinyatakan dalam Ampere hour (Ah). Nilai Ah pada baterai menunjukkan nilai arus yang dapat dilepaskan, dikalikan dengan nilai waktu untuk pelepasan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka secara teoritis, baterai 12 V, 200 Ah harus dapat memberikan baik 200 A selama satu jam, 50 A selama 4 jam, 4 A untuk 50 jam, atau 1 A untuk 200 jam. Pada saat mendesain kapasitas baterai yang akan dipergunakan dalam sistem PLTS, penting juga untuk menentukan ukuran hari-hari otonomi (days of autonomy). (Polarpowerinc, 2011). 17 Suatu ketentuan yang membatasi tingkat kedalaman pengosongan maksimum, diberlakukan pada baterai. Tingkat kedalaman pengosongan (Depth of Discharge) baterai biasanya dinyatakan dalam persentase. Misalnya, suatu baterai memiliki DOD 80%, ini berarti bahwa hanya 80% dari energi yang tersedia dapat dipergunakan dan 20% tetap berada dalam cadangan. Pengaturan DOD berperan dalam menjaga usia pakai (life time) dari baterai tersebut. Semakin dalam DOD yang diberlakukan pada suatu baterai maka semakin pendek pula siklus hidup dari baterai tersebut. Gambar 2.7, menunjukkan hubungan antara DOD dengan siklus hidup baterai. Sumber : Polarpowerinc, 2011 Gambar 2.7 Hubungan DOD dengan Siklus Hidup Baterai 2.3.4 Inverter Inverter adalah peralatan elektronika yang berfungsi untuk mengubah arus listrik searah (direct current) dari panel surya atau baterai menjadi arus listrik bolak-balik (alternating current) dengan frekuensi 50Hz/60Hz. Pemilihan inverter yang tepat untuk aplikasi tertentu, tergantung pada kebutuhan beban dan juga tergantung pada apakah inverter akan menjadi bagian dari sistem yang terhubung ke jaringan listrik atau sistem yang berdiri sendiri. Efisiensi inverter pada saat pengoperasian adalah sebesar 90% (Foster dkk., 2010). 18 Berdasarkan bentuk gelombang yang dihasilkan, inverter dikelompokkan menjadi tiga yaitu inverter dengan gelombang keluaran berbentuk square, modified, dan true sine wave. Inverter yang terbaik adalah yang mampu menghasilkan gelombang sinusoida murni atau true sine wave yaitu bentuk gelombang yang sama dengan bentuk gelombang dari jaringan listrik (grid utility). 2.4 Sistem PLTS Sistem PLTS umumnya diklasifikasikan menurut konfigurasi komponennya. Pada prinsipnya ada dua klasifikasi sistem PLTS (Florida Solar Energy Center, 2011), yaitu PLTS yang terhubung dengan jaringan listrik (PLTSGrid Connected) dan PLTS yang berdiri sendiri (Stand Alone). 2.4.1 PLTS-Grid Connected Sistem PLTS-Grid Connected pada dasarnya adalah menggabungkan PLTS dengan jaringan listrik (PLN). Komponen utama dalam sistem ini adalah inverter, atau Power Conditioning Unit (PCU). Inverter inilah yang berfungsi untuk mengubah daya DC yang dihasilkan oleh PLTS menjadi daya AC sesuai dengan persyaratan dari jaringan listrik yang terhubung (utility grid). Sumber: Florida Solar Energy Center, 2011 Gambar 2.8 Diagram Sistem PLTS-Grid Connected 19 Apabila penggabungan PLTS dengan jaringan listrik (PLN), dilakukan pada sisi konsumen (setelah kWhmeter) maka diagram sistemnya dapat dilihat pada gambar 2.9. Sumber : Bien dkk., 2008 Gambar 2.9 Diagram Sistem Hibrida PLTS-Electric Utility 2.4.2 PLTS Berdiri Sendiri (Stand- Alone) Sistem PLTS yang berdiri sendiri (Stand-Alone) dirancang beroperasi mandiri untuk memasok beban DC atau AC. Jenis sistem ini dapat diaktifkan oleh array photovoltaic saja, atau dapat menggunakan sumber tambahan energi lain, seperti : air, angin dan mesin diesel. Baterai digunakan pada kebanyakan sistem PLTS yang berdiri sendiri untuk penyimpanan energi. Gambar 2.10 menunjukkan diagram dari PLTS yang berdiri sendiri. Sumber: Florida Solar Energy Center, 2011 Gambar 2.10 Diagram Sistem PLTS Berdiri Sendiri dengan Baterai 20 2.5 Kapasitas Komponen PLTS 2.5.1 Jumlah Panel Surya Daya (Wpeak) yang dibangkitkan PLTS untuk memenuhi kebutuhan energi, diperhitungkan dengan persamaan-persamaan sebagai berikut (Nafeh, 2009) : 2.5.1.1 Menghitung Area Array (PV Area) Area array (PV Area) diperhitungkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : PV Area = πΈL πΊππ£ π₯ π ππ π₯ ππΆπΉ π₯ π ππ’π‘ .............……………….2.4 Dimana : EL adalah pemakaian energi (kWh/hari). Gav adalah insolasi harian matahari rata-rata (kWh/m2/hari). ηPV adalah efisiensi panel surya. TCF adalah temperature correction factor. π ππ’π‘ adalah efisiensi inverter. 2.5.1.2 Menghitung Daya yang Dibangkitkan PLTS (Watt peak) Dari perhitungan area array, maka besar daya yang dibangkitkan PLTS (Watt peak) dapat diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut : P Watt peak = Area array x PSI x ηPV.............................................2.5 Dimana : PSI (Peak Solar Insolation) adalah 1000 W/m2. ηPV adalah efisiensi panel surya. 21 Selanjutnya berdasarkan besar daya yang akan dibangkitkan (Wpeak), maka jumlah panel surya yang diperlukan, diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut : Jumlah panel surya = πWatt ππππ PMPP ……………………..…...…2.6 Dimana : PWatt Peak = Daya yang dibangkitkan (Wp). PMPP = Daya maksimum keluaran (output) panel surya (W). Untuk memperoleh besar tegangan, arus dan daya yang sesuai dengan kebutuhan, maka panel-panel surya tersebut harus dikombinasikan secara seri dan paralel dengan aturan sebagai berikut : 1) Untuk memperoleh tegangan keluaran yang lebih besar dari tegangan keluaran panel surya, maka dua buah (lebih) panel surya harus dihubungkan secara seri. 2) Untuk memperoleh arus keluaran yang lebih besar dari arus keluaran panel surya, maka dua buah (lebih) panel surya harus dihubungkan secara paralel. 3) Untuk memperoleh daya keluaran yang lebih besar dari daya keluaran panel surya dengan tegangan yang konstan maka panel-panel surya harus dihubungkan secara seri dan pararel. Sumber : Kaltschmitt dkk., 2007 Gambar 2.11 Hubungan Panel Surya 22 2.5.2 Kapasitas Charge Controller Charge controller diperlukan untuk melindungi baterai dari pengosongan dan pengisian berlebih. Masukan atau keluaran untuk Charge controller disesuaikan dengan arus (IMPP) keluaran array dan tegangan baterai,VB (Messenger dan Ventre, 2005). 2.5.3 Kapasitas Baterai Besar kapasitas baterai yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi energi harian menurut Lynn (2010), dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : C= N x Ed V s x DOD x η ……………………………………………2.7 Dimana : C = Kapasitas baterai (Ah). N = Hari-hari otonomi (hari). Ed = Konsumsi energi harian (kWh). Vs = Tegangan baterai (Volt). DOD = Kedalaman maksimum untuk pengosongan baterai. η = Efisiensi baterai x efisiensi inverter. 2.5.4 Kapasitas Inveter Pada pemilihan inverter, diupayakan kapasitas kerjanya mendekati kapasitas daya yang dilayani. Hal ini agar efisiensi kerja inverter menjadi maksimal (Foster dkk., 2010). 23 2.6 Pembangkit Listrik Tenaga Surya PT. PLN Distribusi Bali di Nusa Penida Pemanfaatan tenaga matahari sebagai sumber energi listrik untuk pengadaan energi listrik PLN di Nusa Penida, dimulai pada tahun 2008. Ada dua unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun di Nusa Penida, yaitu unit I dengan kapasitas 32,4 kW dan unit II dengan kapasitas 30 kW. Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010 Gambar 2.12 Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Nusa Penida Kedua unit PLTS PLN di Nusa Penida mempergunakan sistem PLTS-Grid Connected, yaitu menghubungkan PLTS dengan jaringan listrik PLN (Grid Connected System) pada tegangan 20 kV. Sumber: PT. PLN Distribusi Bali, 2010 Gambar 2.13 Sistem PLTS-Grid Connected di Nusa Penida 24 2.6.1 Komponen-komponen PLTS di Nusa Penida Komponen-komponen PLTS PLN di Nusa Penida yang tidak dilengkapi dengan baterai, terdiri dari panel surya dan inverter. Data teknik panel surya dan inverter yang terpasang untuk PLTS PLN di Nusa Penida dapat dilihat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2. Technical Data Tabel 2.1 Data Teknik Panel Surya BP 3150N BP 3150N Maximum Power (Pmax) Voltage at Pmax (Vmp) Current at Pmax (Imp) Warranted min Pmax Short-circuit current (Isc) Open-circuit voltage (Voc) Min bypass diode Max series fuse Electrical rating at STC Warranty level 1 Panel terdapat 150 W 34,5 V 4,35 A 145,5 W 4,75 A 43,5 V 8A 15 A 1000W/m2 25-12-5 72 sel surya Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010 Technical Data Tabel 2.2 Data Teknik Inverter SMC 5000A SMC 5000A Input Values Vdc max Vdc Mpp Idc max Output Values Vac nom fac nom Pac nom Iac max Cos φ Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010 600 V 246-480 V 26 A 230 V 50/60 Hz 5000W 21,7 1 25 PLTS unit I dengan kapasitas 32,4 kW, dibangun dengan panel surya sebanyak 216 buah panel dan inverter sebanyak 6 buah. Sistem satu fasa (1Ø) PLTS ini terbentuk dari 3 rangkaian (string) yang terhubung paralel, dengan satu rangkaian terdiri dari 12 panel surya yang terhubung secara seri. Jumlah total panel untuk sistem 1Ø adalah sebanyak 36 panel surya yang dilayani oleh satu inverter. Sehingga untuk sistem tiga fasa (3Ø), terdiri dari 108 panel surya dengan 9 rangkaian yang terhubung paralel. PLTS unit II dengan kapasitas 30 kW, dibangun dengan panel (modul) surya sebanyak 198 buah dan inverter sebanyak 6 buah. Sistem satu phasa (1Ø) PLTS ini terbentuk dari 3 rangkaian (string) yang terhubung paralel dengan satu rangkaian terdiri dari 11 panel surya yang terhubung secara seri. Jumlah total panel untuk 1Ø adalah sebanyak 33 panel surya yang dilayani oleh satu inverter. Sehingga untuk sistem tiga phasa (3Ø), terdiri dari 99 panel surya dengan 9 rangkaian yang terhubung paralel. 2.6.2 Data Produksi PLTS di Nusa Penida Hasil pengamatan produksi harian yang dilakukan pada PLTS Unit II tahun 2010, menunjukkan bahwa PLTS mulai berproduksi pada pukul 06.00 pagi dengan menghasilkan energi sebesar 0,80 kWh. Menjelang siang hari mulai pukul 11.00 produksi PLTS meningkat cukup tinggi, yaitu menghasilkan energi sebesar 14 kWh. Produksi pembangkit ini mencapai puncaknya pada saat waktu menunjukkan pukul 12.00, dengan produksi energi sebesar 19 kWh. Kemudian menjelang sore hari mulai pukul 13.00 kWh produksi PLTS menurun, seiring berkurangnya radiasi matahari ke bumi. PLTS PLN di Nusa Penida tidak 26 dilengkapi dengan baterai, sehingga pembangkit ini tidak akan berproduksi saat matahari terbenam. Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010 Gambar 2.14 Grafik kWh Produksi Harian PLTS Unit II Tabel 2.3 menunjukkan tingkat persentase kWh produksi yang dihasilkan oleh PLTS PLN Unit II Nusa Penida dalam rentang waktu pukul 06.00-18.00. Tabel 2.3 Tingkat Persentase kWh Produksi Harian PLTS Unit II Waktu Tingkat Persentase (%) Produksi kWh Produksi PLTS 00.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 06.00-07.00 07.00-08.00 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 16.00-17.00 17.00-18.00 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-00.00 4,21 8,95 27,89 28,95 34,21 73,68 100,00 94,74 63,16 52,63 31,58 10,53 0,53 - Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010 0,80 1,70 5,30 5,50 6,50 14,00 19,00 18,00 12,00 10,00 6,00 2,00 0,50 - 27 2.7 Data Insolasi Matahari dan Temperatur di Nusa Lembongan 2.7.1 Data Insolasi Matahari di Nusa Lembongan Menurut Florida Solar Energy System (2011), pada dasarnya insolasi matahari adalah radiasi matahari rata-rata yang terintegrasi terhadap waktu. Sehingga dapat dinyatakan bahwa insolasi matahari adalah jumlah energi matahari yang diterima oleh suatu permukaan (lokasi) tertentu, yang biasanya dinyatakan dalam satuan kilowatthours per meter persegi (kWh/m2). Data insolasi harian matahari untuk wilayah Nusa Lembongan selama periode tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada tabel 2.4. Tabel 2.4 Data Insolasi Harian Matahari di Nusa Lembongan (kWh/m2/hari) Bulan 2008 2009 2010 Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata 5,49 5,74 5,13 5,56 5,12 5,04 5,16 5,37 6,34 6,36 5,51 5,08 5,49 4,98 5,22 5,94 5,76 4,96 5,20 5,21 5,75 5,91 6,47 6,60 6,15 5,68 5,41 5,80 5,89 4,92 4,29 4,74 5,01 5,55 5,64 5,74 5,74 4,38 5,26 Sumber : NASA, 2011 2.7.2 Data Temperatur Di Nusa Lembongan Temperatur mempengaruhi pengoperasian maksimum panel surya. Setiap kenaikan temperatur 1oC (dari 25oC) mengakibatkan total daya yang dihasilkan panel surya berkurang sekitar 0,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa temperatur 28 adalah salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam memperhitungkan kapasitas daya (Wp) PLTS yang akan dibangkitkan. Data temperatur maksimum (oC) untuk wilayah Nusa Lembongan selama periode tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada tabel 2.5. Tabel 2.5 Data Temperatur Maksimum di Nusa Lembongan (oC) 2008 2009 2010 Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata 28,51 27,96 27,88 29,01 28,23 28,75 27,83 27,88 29,21 29,94 28,68 28,66 28,55 27,98 28,14 28,49 29,37 28,33 28,58 28,03 27,90 28,71 29,82 31,21 30,14 28,89 28,59 29,22 29,33 29,19 28,65 28,27 28,09 28,83 28,97 29,34 29,71 28,56 28,90 Sumber : NASA, 2011 2.8 Aspek Biaya 2.8.1 Biaya Siklus Hidup (Life Cycle Cost) Biaya siklus hidup suatu sistem adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh suatu sistem, selama kehidupannya. Pada sistem PLTS, biaya siklus hidup (LCC) ditentukan oleh nilai sekarang dari biaya total sistem PLTS yang terdiri dari biaya investasi awal, biaya jangka panjang untuk pemeliharaan dan operasional serta biaya penggantian baterai (Kolhe dkk., 2002; Foster dkk., 2010). Biaya siklus hidup (LCC) diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut : LCC = C + MPW + RPW ...............................................................2.8 29 Dimana : LCC = Biaya siklus hidup (Life Cycle Cost). C = Biaya investasi awal adalah biaya awal yang dikeluarkan untuk pembelian komponen-komponen PLTS, biaya instalasi dan biaya lainnya misalnya biaya untuk rak penyangga. MPW = Biaya nilai sekarang untuk total biaya pemeliharaan dan operasional selama n tahun atau selama umur proyek. RPW = Biaya nilai sekarang untuk biaya penggantian yang harus dikeluarkan selama umur proyek. Contohnya adalah biaya untuk penggantian baterai. Nilai sekarang biaya tahunan yang akan dikeluarkan beberapa waktu mendatang (selama umur proyek) dengan jumlah pengeluaran yang tetap, dihitung dengan rumus sebagai berikut (Halim, 2009; Al-Qutub, 2010) : P= A (1+π)π − 1 π(1+π)π .....................................................................2.9 Dimana : P = Nilai sekarang biaya tahunan selama umur proyek. A = Biaya tahunan. i = Tingkat diskonto. n = Umur proyek. 30 2.8.1.1 Faktor Diskonto Perbandingan yang valid antara penerimaan-penerimaan di masa mendatang dengan pengeluaran dana sekarang adalah hal yang sulit dilakukan karena ada perbedaan nilai waktu uang. Masalah ini dapat diatasi dengan menggunakan konsep nilai waktu uang (Time Value of Money). Berdasarkan konsep tersebut maka penerimaan-penerimaan di masa mendatang didiskontokan ke nilai sekarang sehingga dapat dibandingkan dengan pengeluaran pada saat ini. Faktor diskonto (Discount factor) adalah faktor yang digunakan untuk menilaisekarangkan penerimaan-penerimaan di masa mendatang sehingga dapat dibandingkan dengan pengeluran pada masa sekarang (Halim, 2009). Sedangkan tingkat diskonto yang digunakan untuk menilaisekarangkan penerimaanpenerimaan tersebut dapat berupa tingkat suku bunga pasar (tingkat suku bunga bank). Adapun rumus faktor diskonto adalah sebagai berikut : DF = 1 (1+i )n .......................................................................2.10 Dimana : DF = Faktor diskonto. i = Tingkat diskonto. n = Periode dalam tahun (umur investasi). 2.8.2 Biaya Energi (Cost of Energy) Biaya energi merupakan perbandingan antara biaya total per tahun dari sistem dengan energi yang dihasilkannya selama periode yang sama (Wengqiang dkk., 2004). Dilihat dari sisi ekonomi, biaya energi PLTS berbeda dari biaya 31 energi untuk pembangkit konvensional (Nafeh, 2009). Hal ini karena biaya energi PLTS, dipengaruhi oleh biaya-biaya seperti : a) Biaya awal (biaya modal) yang tinggi. b) Tidak ada biaya untuk bahan bakar. c) Biaya pemeliharaan dan operasional rendah. d) Biaya penggantian rendah (terutama hanya untuk baterai). Perhitungan biaya energi suatu PLTS ditentukan oleh biaya siklus hidup (LCC), faktor pemulihan modal (CRF) dan kWh produksi tahunan PLTS. 2.8.2.1 Faktor Pemulihan Modal (Capital Recovery Factor) Faktor pemulihan modal adalah faktor yang dipergunakan untuk mengkonversikan semua arus kas biaya siklus hidup (LCC) menjadi serangkaian pembayaran atau biaya tahunan dengan jumlah yang sama (Kolhe dkk., 2002 ;AlQutub, 2010). Faktor pemulihan modal diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut : CRF = i(1+i)n (1+i)n −1 .......................................................................2.11 Dimana : CRF = Faktor pemulihan modal. i = Tingkat diskonto. n = Periode dalam tahun (umur investasi). 32 Biaya energi (Cost Of Energy ) PLTS diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut : COE = LCC x CRF ………..........………………..…………2.12 A kWh Dimana : COE = Cost of Energy atau Biaya Energi (Rp/kWh). CRF = Faktor pemulihan modal. A kWh = Energi yang dibangkitkan tahunan (kWh/year). 2.8.3. Teknik Analisis Kelayakan Investasi 2.8.3.1. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) menyatakan bahwa seluruh aliran kas bersih dinilaisekarangkan atas dasar faktor diskonto (discount factor). Teknik ini menghitung selisih antara seluruh kas bersih nilai sekarang dengan investasi awal yang ditanamkan (Halim, 2009). Untuk menghitung Net Present Value (NPV) dipergunakan rumus sebagai berikut : π NPV = NCFt t − II ........…………………...………. 2.13 (1+i) π‘=1 Dimana : NCFt = Net Cash Flow periode tahun ke-1 sampai tahun ke-n. II = Investasi awal (Initial Investment). i = Tingkat diskonto. n = Periode dalam tahun (umur investasi). Kriteria pengambilan keputusan apakah usulan investasi layak diterima atau layak ditolak adalah sebagai berikut : 33 a) Investasi dinilai layak, apabila Net Present Value (NPV) bernilai positif (> 0). b) Investasi dinilai tidak layak, apabila Net Present Value (NPV) bernilai negatif (< 0). 2.8.3.2 Profitability Index (PI) Profitability Index merupakan perbandingan antara seluruh kas bersih nilai sekarang dengan investasi awal. Teknik ini juga sering disebut dengan model rasio manfaat biaya (benefit cost ratio). Teknik Profitability Index dihitung dengan rumus sebagai berikut : PI = π NCF t (1+π)−t π‘=1 II ………………………………...2.14 Dimana : NCFt = Net Cash Flow periode tahun ke-1 sampai tahun ke-n. II = Investasi awal (Initial Investment). i = Tingkat diskonto. n = Periode dalam tahun (umur investasi). Kriteria pengambilan keputusan apakah usulan investasi layak diterima atau layak ditolak adalah sebagai berikut : a) Investasi dinilai layak, apabila Profitability Index (PI) bernilai lebih besar dari satu (>1). b) Investasi dinilai tidak layak, apabila Profitability Index (PI) bernilai lebih kecil dari satu (< 1). 34 2.8.3.3 Discounted Payback Period (DPP) Payback Period adalah periode lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan nilai investasi melalui penerimaan-penerimaan yang dihasilkan oleh proyek (investasi). Sedangkan Discounted Payback Period adalah periode pengembalian yang didiskontokan. Discounted Payback Period (DPP) dapat dicari dengan menghitung berapa tahun kas bersih nilai sekarang (PVNCF) kumulatif yang ditaksir akan sama dengan investasi awal. Kriteria pengambilan keputusan apakah usulan investasi layak diterima atau layak ditolak adalah : a) Investasi dinilai layak, apabila DPP memiliki periode waktu lebih pendek dari umur proyek (periode cutoff). b) Investasi dinilai tidak layak, apabila DPP memiliki periode waktu lebih panjang dari umur proyek (periode cutoff). 2.9 Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (Specific Fuel Consumption) Konsumsi bahan bakar spesifik adalah parameter unjuk kerja mesin yang berhubungan langsung dengan nilai ekonomis sebuah mesin. Dengan menggunakan parameter ini maka jumlah bahan bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah daya dalam selang waktu tertentu dapat dihitung. Berdasarkan SPLN No. 80 tahun 1989, untuk menghitung konsumsi bahan bakar spesifik (SFC) dipergunakan rumus sebagai berikut : SFCB = Qf kWh B ........................................................................2.15 35 Dimana : SFCB = Konsumsi bahan bakar spesifik (liter/kWh). Qf = Jumlah bahan bakar yang dipakai (liter). kWhB = Jumlah kWh yang dibangkitkan generator (kWh). 2.10 Regulasi Energi Terbarukan 2.10.1 Regulasi Energi Terbarukan Berbagai Negara di Dunia Regulasi untuk mempromosikan energi terbarukan telah ada di beberapa negara pada tahun 1980 hingga awal 1990-an, tetapi regulasi energi terbarukan mulai banyak muncul di berbagai negara selama periode 1998-2005 (REN21, 2011). Untuk meningkatkan peranan energi terbarukan pada bauran konsumsi energi finalnya, maka beberapa negara di dunia telah menetapkan persentase target kebijakan penggunaan energi terbarukan hingga tahun 2020. Tabel 2.6. menunjukkan target kebijakan energi terbarukan pada beberapa negara di dunia. Upaya lain yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan sumber energi terbarukan adalah dengan menerapkan regulasi (kebijakan) Feed-in Tariff. Mekanisme kebijakan ini dirancang dengan menempatkan kewajiban kepada perusahaan listrik negara untuk membeli listrik dari produsen energi terbarukan dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah setempat. Tujuan dari kebijakan Feed-in Tariff adalah untuk memberikan kepastian harga dan kompensasi biaya dalam kontrak jangka panjang kepada produsen energi terbarukan, sehingga hal tersebut akan membantu membiayai investasi energi terbarukan yang telah dilakukan. Di beberapa negara penetapan Feed-in Tariff biasanya dilakukan dengan berdasarkan biaya 36 pembangkitan dari setiap penggunaan teknologi yang berbeda dan kualitas sumber daya lokal. Tabel 2.6 Target Energi Nasional Sumber Terbarukan 2020 di Berbagai Negara Belgium Bulgaria The Czech Republic Denmark Germany Estonia Ireland Greece Spain France Italy Cyprus Latvia Lithuania Luxembourg Hungary Malta The Netherland Austria Poland Portugal Romania Slovenia The Slovak Republic Finland Sweden United Kingdom China Egypt Jordan Mali Share of energy from renewable sources in final consumption of energy, 2005 Target for share for energy from renewable sources in final consumption of energy, 2020 2,2 % 9,4 % 6,1 % 17,0 % 5,8 % 18,0 % 3,1 % 6,9 % 8,7 % 10,3 % 5,2 % 2,9 % 34,9 % 15,0 % 0,9 % 4,3 % 0,0 % 2,4 % 23,3 % 7,2 % 20,5 % 17,8 % 16,0 % 6,7 % 28,5 % 39,8 % 1,3 % 8% 4,2 % 1,1 % - 13 % 16 % 13 % 30 % 18 % 25 % 16 % 18 % 20 % 23 % 17 % 13 % 42 % 23 % 11 % 13 % 10 % 14 % 34 % 15 % 31 % 24 % 25 % 14 % 38 % 49 % 15 % 15 % 14 % 10 % 15 % Sumber : European Renewable Energy Council (2011) dan REN21, 2011 37 Jerman adalah salah satu negara yang paling sukses menerapkan Feed-in Tariff dalam pengembangan energi terbarukan. Negara ini mulai menerapkan kebijakan Feed-in Tariff pada tahun 1990, akan tetapi kebijakan yang ditetapkan saat itu belum efektif untuk mendorong pengembangan sumber energi terbarukan dengan teknologi mahal seperti energi surya fotovoltaik. Feed-in Tariff tahun 1990 tersebut kemudian mengalami restrukturisasi pada tahun 2000, dengan beberapa perubahan seperti : harga pembelian energi ditetapkan berdasarkan biaya pembangkitan dan jaminan pembelian yang diperpanjang untuk periode 20 tahun. Karena terbukti efektif mempercepat pengembangan sumber energi terbarukan, maka Feed-in Tariff tahun 2000 ini kemudian diamandemenkan oleh pemerintah Jerman pada tahun 2004. Energi surya fotovoltaik adalah salah satu energi terbarukan yang mengalami perkembangan sangat pesat di Jerman. Ini terlihat dari besarnya peningkatan kapasitas daya terpasang energi surya fotovoltaik di negara tersebut, yaitu dari 2,6 GW di tahun 2006 menjadi 9,8 GW di tahun 2009 (REN21, 2011). Tabel 2.7 menunjukkan besarnya Feed-in Tariff yang diterapkan oleh pemerintah Jerman untuk energi surya fotovoltaik. Tabel 2.7 Tarif Energi Surya Fotovoltaik di Jerman Letak Pemasangan Jaminan Tahun Pembelian Tarif ($/kWh) Berdiri Bebas (Freestanding) 20 0,542 Di atap ( < 30kW ) 20 0,703 Di atap ( < 100 kW ) 20 0,688 Di atap ( > 100 kW ) 20 0,661 Sumber : Peter dan Weis, 2008 38 Pemberian subsidi terhadap industri energi terbarukan di beberapa negara, telah membuat pertumbuhan energi ini menjadi cukup signifikan. Salah satu energi terbarukan yang saat ini mengalami perkembangan cukup pesat adalah energi surya. Pemberian subsidi terhadap industri energi surya telah membuat penurunan biaya produksi untuk per Wp (Wattpeak) . Ini terlihat dari penurunan harga per Wattpeak yang berlaku di beberapa negara, seperti USA (US $ 1,76/Wp), Spanyol, Jerman dan Inggris (US $ 1,68/Wp), Jepang (US $ 2,04/ Wp), serta Cina dan Taiwan (US $ 1,68/ Wp) (Astawa, 2011). Selain dengan sistem Feed-in Tariff, beberapa negara juga menerapkan aturan subsidi dengan sistem kredit seperti sistem kredit untuk perumahan. Bantuan pendanaan sistem ini berasal dari pihak ketiga seperti bank, dengan jangka waktu tertentu. Adanya program insentif ini, membuat konsumen dapat menikmati harga energi surya dengan investasi awal yang tidak memberatkan. Biasanya penerapan sistem ini disertai dengan program Feed-in Tariff sehingga waktu pelunasan kredit terbantukan dengan adanya pemasukan dari penjualan listrik ke perusahaan listrik, yang pada akhirnya akan mempersingkat masa pembayaran atau meringankan pengeluaran. Program ini sudah cukup mapan ditemui di USA (negara bagian California) maupun Uni Eropa seperti, Jerman, Belanda, Perancis dan Spanyol. Di negara berkembang, program kredit ini baru tercatat telah dikembangkan oleh negara Bangladesh. Program ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat pedesaan atau daerah yang terisolir jaringan listrik (Tenaga surya, 2011). 39 2.10.2 Regulasi Energi Terbarukan di Indonesia Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia, mengacu kepada Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Perpres disebutkan kontribusi EBT dalam bauran energi primer nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17% dengan komposisi Bahan Bakar Nabati sebesar 5%, Panas Bumi 5%, Biomasa, Nuklir, tenaga Air, tenaga Surya, dan tenaga Angin sebesar 5% serta batubara yang dicairkan sebesar 2% (ESDM, 2011). Kebijakan Feed-in Tariff (FiT) di Indonesia sudah mulai diterapkan dalam skala terbatas sejak tahun 2002, yaitu melalui Kepmen ESDM No. 1122 K/30/MEM/2002. Kepmen ini mengatur tentang Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil Tersebar (PSK Tersebar, kurang dari 1 MW), badan usaha atau koperasi dapat menjual listrik kepada PLN dari sumber energi terbarukan dengan harga tertentu. Kepmen ini kemudian diperbaharui pada tahun 2009 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2009 tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah atau kelebihan tenaga listrik. FiT ini mewajibkan perusahaan jaringan listrik nasional untuk membeli listrik yang dihasilkan dari sumber-sumber energi terbarukan seperti energi surya, energi angin, biomassa, panas bumi maupun air. Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri ESDM No. 31 Tahun 2009 telah menetapkan kebijakan FiT untuk energi terbarukan dengan harga Rp 656/kWh jika terinterkoneksi 40 pada tegangan menengah atau Rp 1.004/kWh jika terinterkoneksi pada tegangan rendah (ESDM, 2011). Dalam draft Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2010-2050, pemerintah membuat kebijakan terkait energi surya. Kebijakan-kebijakan tersebut diantaranya menerapkan kebijakan penggunaan sel surya pada pemakai tertentu seperti industri besar, gedung komersial, rumah mewah, serta PLN. Sejalan dengan itu, pemerintah juga akan menggalakkan industri sistem dan komponen peralatan instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), mewujudkan keekonomian PLTS, meningkatkan penguasaan teknologi PLTS dan surya termal dalam negeri melalui penelitian dan pengembangan serta pembelian lisensi (ESDM, 2011). 2.11. Analisis SWOT Analisis SWOT adalah suatu metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan (Strengths), kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats) yang mungkin terjadi dalam mencapai suatu tujuan dari kegiatan proyek atau usaha, institusi atau lembaga dalam skala yang lebih luas. Untuk keperluan tersebut diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eskternal yang mempengaruhi pola strategi kegiatan proyek, institusi atau lembaga dalam mencapai tujuan. Analisis SWOT dilakukan dalam suatu matrik, yang memaparkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi oleh kegiatan proyek atau usaha dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang 41 dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini. Internal Strategic Factors Analysis STRENGTHS (S) External ( IFAS) Tentukan faktor-faktor Strategic kekuatan internal Factors Analysis (EFAS) WEAKNESSES (W) Tentukan faktor-faktor kelemahan internal OPPORTUNIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO Tentukan faktor eksternal Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang TREATHS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT Tentukan faktor ancaman eksternal Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman peluang Sumber : Rangkuti, 2009 Gambar 2.15 Matrik SWOT