6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art

advertisement
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 State of The Art Review on Application The Feasibility of Renewable
Energy
Case Study Feasibility Analysis of Renewable Energy Supply Options for
Small to Medium-Sized Tourist Accommodationst dilakukan oleh G.J. Dalton,
D.A. Lockington dan T.E. Baldock (2009). Penelitian ini memanfaatkan beban
listrik dari tiga akomodasi yang sudah menerapkan sistem hibrida untuk energi
terbarukan. Operasional karakteristik khusus, seperti operasional 24 jam,
penyediaan kenyamanan dan tingkat kegagalan yang rendah adalah penilaian
viabilitas energi terbarukan untuk sektor ini. Kriteria untuk Net Present Cost
(NPC), faktor terbarukan dan waktu pengembalian modal menjadi penilaian yang
utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pengembalian sistem hibrida
dari energi terbarukan akan menjadi sekitar setengah jika harga solar meningkat
dan karbon pajak dilaksanakan. Ini menunjukkan bahwa energi terbarukan layak
secara teknis dan ekonomis dipergunakan untuk akomodasi pariwisata skala kecil
dan menengah.
Techno-Economic Feasibility of Grid Connected Solar PV System in
Bangladesh dilakukan oleh Alam Hossain Mondal
dan Sadrul Islam (2009).
Penelitian ini menganalisis kelayakan teknis dan ekonomi untuk sistem grid
500kW PV di Rajshahi Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya
produksi listrik untuk sistem grid PV dengan umur proyek 20 tahun dan tingkat
diskonto 10% adalah 14,51 BDT (Bangladesh Taka). Biaya ini menjadi bervariasi
6
7
antara 14,10 dan 15,25 BDT berdasarkan data radiasi matahari terendah dan
tertinggi. Hasil penelitian ini kemudian dibandingkan dengan biaya grid
connected dari pembangkit listrik diesel yang besarnya sekitar 15-18 BDT. Hasil
perbandingan tersebut menunjukkan bahwa biaya produksi per satuan unit listrik
dari grid connected PV kompetitif dengan biaya grid connected dari pembangkit
diesel. Bahkan jika mekanisme pembangunan bersih, pajak karbon dan kenaikan
harga minyak dipertimbangkan maka biaya satuan akan lebih rendah daripada
grid connected pembangkit diesel.
Design and Economic Analysis of a Stand-Alone PV System to Electrify a
Remote Area Household in Egypt dilakukan oleh Abd El-Shafy A. Nafeh (2009).
Penelitian ini menyajikan sebuah design lengkap dan analisis biaya siklus hidup
untuk sistem Photovoltaic (PV) Stand-Alone, yang dilakukan untuk satu rumah
tangga di kota Rudies Abu Semenanjung Sinai Mesir, yang letaknya terisolasi dan
terpencil serta jauh dari jaringan listrik nasional. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sistem PV yang dikembangkan untuk lokasi terpencil yang jauh dari
jaringan listrik Mesir, berada pada kisaran harga $ 0,74/kWh. Harga ini sangat
tinggi bila dibandingkan dengan biaya listrik di Mesir ($ 0,1/kWh). Akan tetapi
pada penelitian ini juga dinyatakan bahwa harga sistem PV dapat turun menjadi
$ 0,49/kWh jika biaya awal modul PV turun $ 0,1/Wp. Pada saat yang sama,
karena peningkatan dalam harga bahan bakar konvensional maka biaya listrik di
Mesir menjadi lima kali nilai saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pembangkit
sistem PV bermanfaat dan cocok untuk investasi jangka panjang, terutama jika
8
harga awal sistem PV mengalami penurunan serta didukung oleh peningkatan
efisiensi komponennya.
Faisal Ahammed dan Abdullahil Azeem (2009), melakukan penelitian
tentang An Economic Analysis of Solar PV Micro-Utility in Rural Areas of
Bangladesh. Penelitian ini menganalisis kelayakan ekonomi PV Micro-Utility di
Manikgang Bazaar Bangladesh, dengan menggunakan Net Present Value (NPV),
Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR) dan Discounted Pay
Back Period. Untuk mengatasi biaya investasi awal PV yang relatif mahal maka
diperlakukan konsep pembayaran tarif harian untuk setiap pelanggan yang
terhubung ke utility. Diasumsikan discount rate sebesar 10% untuk pertimbangan
nilai waktu uang. Hasil analisis menunjukkan bahwa NPV lebih besar dari 0 (nol),
sedangkan untuk BCR menunjukkan nilai lebih besar dari 1 (satu). Discount
payback period pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada tahun ke-11,
biaya investasi proyek akan kembali. Dari tingkat diskonto terlihat bahwa IRR
proyek lebih besar yaitu 14%, nilai ini lebih besar dari nilai biaya modal (10%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proyek PV Micro-Utility telah layak
secara ekonomi.
2.2 Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah suatu pembangkit yang
mengkonversikan energi foton dari surya menjadi energi listrik. Konversi ini
terjadi pada panel surya yang terdiri dari sel-sel surya. PLTS memanfaatkan
cahaya matahari untuk menghasilkan listrik DC (Direct Current), yang dapat
diubah menjadi listrik AC (Alternating Current) apabila diperlukan. PLTS pada
9
dasarnya adalah pencatu daya dan dapat dirancang untuk mencatu kebutuhan listrik
dari yang kecil sampai dengan yang besar, baik secara mandiri maupun hibrida.
2.2.1 Sel Surya
Sel surya tersusun dari dua lapisan semikonduktor dengan muatan yang
berbeda. Lapisan atas sel surya bermuatan negatif sedangkan lapisan bawahnya
bermuatan positif. Silikon adalah bahan semikonduktor yang paling umum
digunakan untuk sel surya. Ketika cahaya mengenai permukaan sel surya,
beberapa foton dari cahaya diserap oleh atom semikonduktor untuk membebaskan
elektron dari ikatan atomnya sehingga menjadi elektron yang bergerak bebas.
Adanya perpindahan elektron-elektron inilah yang menyebabkan terjadinya arus
listrik (Quaschning, 2005). Gambar 2.1 menunjukkan struktur dari sel surya.
Sumber : Quaschning, 2005
Gambar 2.1 Struktur Sel Surya
2.2.2 Karakteristik Sel Surya
Total pengeluaran listrik (Watt) dari sel surya adalah sama dengan
tegangan (V) operasi dikalikan dengan arus (I) operasi. Tegangan serta arus
10
keluaran yang dihasilkan ketika sel surya memperoleh penyinaran merupakan
karakteristik yang disajikan dalam bentuk kurva I-V pada gambar 2.2. Kurva ini
menunjukkan bahwa pada saat arus dan tegangan berada pada titik kerja maksimal
(Maximum Power Point) maka akan menghasilkan daya keluaran maksimum
(PMPP). Tegangan di Maximum Power Point (MPP) VMPP, lebih kecil dari
tegangan rangkaian terbuka (Voc) dan arus saat MPP IMPP, adalah lebih rendah
dari arus short circuit (Isc) (Quaschning, 2005) .
a) Short Circuit Current (Isc) : terjadi pada suatu titik dimana tegangannya adalah
nol, sehingga pada saat ini, daya keluaran adalah nol.
b) Open Circuit Voltage (Voc) : terjadi pada suatu titik dimana arusnya adalah
nol, sehingga pada saat ini pun daya keluaran adalah nol.
c) Maximum Power Point (MPP) : adalah titik daya output maksimum, yang
sering dinyatakan sebagai ”knee” dari kurva I-V.
Sumber : Quaschning, 2005
Gambar 2.2 Kurva I-V
11
2.3 Komponen-komponen PLTS
Pemanfaatan tenaga surya sebagai pembangkit tenaga listrik, umumnya
terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut :
2.3.1 Panel (Modul) Surya
Panel surya merupakan komponen yang berfungsi untuk mengubah energi
sinar matahari menjadi energi listrik. Panel ini tersusun dari beberapa sel surya
yang dihubungkan secara seri maupun paralel. Sebuah panel surya umumnya
terdiri dari 32-40 sel surya, tergantung ukuran panel (Quaschning, 2005).
Gabungan dari panel-panel ini akan membentuk suatu “Array”.
Sumber : Patel, 1999
Gambar 2.3 Hubungan Sel Surya, Panel Surya dan Array
Jenis panel surya yang terjual di pasaran saat ini, antara lain adalah :
1) Monokristal Silikon (Mono-crystalline Silicon)
Monokristal merupakan panel (modul) yang paling efisien, yaitu mencapai
angka sebesar 16-25% (Narayana, 2010).
2) Polikristal Silikon (Poly-crystalline Silicon)
Polikristal merupakan panel surya yang memiliki susunan kristal acak.
Tipe ini memiliki efisiensi sebesar 14-16% (Narayana, 2010).
12
3) Amorphous Silicon
Amorphous adalah tipe panel dengan harga yang paling murah akan tetapi
efisiensinya paling rendah, yaitu antara 9-10,4% (Narayana, 2010).
Pengoperasian maksimum panel surya sangat tergantung pada hal-hal sebagai
berikut :
1) Temperatur
Sebuah panel surya dapat beroperasi secara maksimum jika temperatur
yang diterimanya tetap normal pada temperatur 25oC. Kenaikan temperatur
lebih tinggi dari temperatur normal pada panel surya akan melemahkan
tegangan (Voc) yang dihasilkan. Setiap kenaikan temperatur panel surya 1oC
(dari 25oC) akan mengakibatkan berkurang sekitar 0,5% pada total tenaga
(daya) yang dihasilkan (Foster dkk., 2010). Untuk menghitung besarnya daya
yang berkurang pada saat temperatur di sekitar panel surya mengalami
kenaikan oC dari temperatur standarnya, dipergunakan rumus sebagai berikut :
Psaat t naik oC = 0,5% /oC x PMPP x kenaikan temperatur (oC)..........2.1
Dimana :
Psaat
o
t naik C
= daya pada saat temperatur naik oC dari temperatur
standarnya.
PMPP
= daya keluaran maksimum panel surya.
Daya keluaran maksimum panel surya pada saat temperaturnya naik
menjadi toC dari temperatur standarnya diperhitungkan dengan rumus sebagai
berikut :
PMPP saat naik menjadi toC = PMPP - Psaat t naik oC ...................................2.2
13
Dimana :
PMPP saat
o
naik menjadi t C
adalah daya keluaran maksimum panel surya
pada saat temperatur di sekitar panel surya naik menjadi t oC dari
temperatur standarnya.
Faktor
koreksi
temperatur
(Temperature
Correction
Factor)
diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :
TCF =
P MPP saat naik menjadi t oC
P MPP
.....................................2.3
Sumber : Strong, 1987
Gambar 2.4 Pengaruh Temperatur terhadap Panel Surya
2) Intensitas Cahaya Matahari
Intensitas cahaya matahari akan berpengaruh pada daya keluaran panel
surya. Semakin rendah intensitas cahaya yang diterima oleh panel surya maka
arus (Isc) akan semakin rendah. Hal ini membuat titik Maximum Power Point
berada pada titik yang semakin rendah.
14
Sumber : Strong 1987
Gambar 2.5 Pengaruh Intensitas Radiasi terhadap Panel Surya
3) Orientasi Panel Surya (Array)
Orientasi dari rangkaian panel surya (array) ke arah matahari adalah
penting, agar panel surya (array) dapat menghasilkan energi maksimum.
Misalnya, untuk lokasi yang terletak di belahan bumi Utara maka panel surya
(array) sebaiknya diorientasikan ke Selatan. Begitu pula untuk lokasi yang
terletak di belahan bumi Selatan maka panel surya (array) diorientasikan ke
Utara (Foster dkk., 2010).
4) Sudut Kemiringan Panel Surya (Array)
Sudut kemiringan memiliki dampak yang besar terhadap radiasi matahari
di permukaan panel surya. Untuk sudut kemiringan tetap, daya maksimum
selama satu tahun akan diperoleh ketika sudut kemiringan panel surya sama
dengan lintang lokasi (Foster dkk., 2010). Misalnya panel surya yang terpasang
di khatulistiwa (lintang = 0o) yang diletakkan mendatar (tilt angle = 0o), akan
menghasilkan energi maksimum.
15
Sumber : Foster dkk., 2010
Gambar 2.6 Pemasangan Panel Surya dengan Sudut Kemiringan
2.3.2 Charge Controller
Charge controller adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk
mengatur pengisian arus searah dari panel surya ke baterai dan mengatur
penyaluran arus dari baterai ke peralatan listrik (beban). Charge controller
mempunyai kemampuan untuk mendeteksi kapasitas baterai. Bila baterai sudah
penuh terisi maka secara otomatis pengisian arus dari panel surya berhenti. Cara
deteksi adalah melalui monitor level tegangan baterai. Charge controller akan
mengisi baterai sampai level tegangan tertentu, kemudian apabila level tegangan
telah mencapai level terendah, maka baterai akan diisi kembali. Charge controller
adalah indikator yang akan memberikan informasi mengenai kondisi baterai
sehingga pengguna PLTS dapat mengendalikan konsumsi energi menurut
ketersediaan listrik yang terdapat di dalam baterai.
2.3.3 Baterai
Baterai adalah komponen PLTS yang berfungsi menyimpan energi listrik
yang dihasilkan oleh panel surya pada siang hari, untuk kemudian dipergunakan
pada malam hari dan pada saat cuaca mendung. Baterai yang dipergunakan pada
PLTS mengalami proses siklus mengisi (Charging) dan mengosongkan
16
(Discharging), tergantung pada ada atau tidaknya sinar matahari. Selama ada sinar
matahari, panel surya akan menghasilkan energi listrik. Apabila energi listrik
yang dihasilkan tersebut melebihi kebutuhan bebannya, maka energi listrik
tersebut akan segera dipergunakan untuk mengisi baterai. Sebaliknya selama
matahari tidak ada, permintaan energi listrik akan disuplai oleh baterai. Proses
pengisian dan pengosongan ini disebut satu siklus baterai.
Ada dua jenis baterai isi ulang yang dapat dipergunakan untuk sistem
PLTS, yaitu baterai Asam Timbal (Lead Acid) dan baterai Nickel-Cadmium. Akan
tetapi karena memiliki efisiensi yang rendah dan biaya yang lebih tinggi,
membuat baterai Nickel-Cadmium relatif lebih sedikit dipergunakan dalam sistem
PLTS. Sebaliknya baterai Asam Timbal adalah baterai dengan efisiensi tinggi
dengan biaya yang lebih ekonomis. Hal inilah membuat baterai Asam Timbal
menjadi perangkat penyimpanan yang penting untuk beberapa tahun ke depan,
terutama untuk sistem PLTS ukuran menengah dan besar (Messenger dan Ventre,
2005).
Kapasitas baterai umumnya dinyatakan dalam Ampere hour (Ah). Nilai
Ah pada baterai menunjukkan nilai arus yang dapat dilepaskan, dikalikan dengan
nilai waktu untuk pelepasan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka secara
teoritis, baterai 12 V, 200 Ah harus dapat memberikan baik 200 A selama satu
jam, 50 A selama 4 jam, 4 A untuk 50 jam, atau 1 A untuk 200 jam. Pada saat
mendesain kapasitas baterai yang akan dipergunakan dalam sistem PLTS, penting
juga untuk menentukan ukuran hari-hari otonomi (days of autonomy).
(Polarpowerinc, 2011).
17
Suatu ketentuan yang membatasi tingkat kedalaman pengosongan
maksimum, diberlakukan pada baterai. Tingkat kedalaman pengosongan (Depth
of Discharge) baterai biasanya dinyatakan dalam persentase. Misalnya, suatu
baterai memiliki DOD 80%, ini berarti bahwa hanya 80% dari energi yang
tersedia dapat dipergunakan dan 20% tetap berada dalam cadangan. Pengaturan
DOD berperan dalam menjaga usia pakai (life time) dari baterai tersebut. Semakin
dalam DOD yang diberlakukan pada suatu baterai maka semakin pendek pula
siklus hidup dari baterai tersebut. Gambar 2.7, menunjukkan hubungan antara
DOD dengan siklus hidup baterai.
Sumber : Polarpowerinc, 2011
Gambar 2.7 Hubungan DOD dengan Siklus Hidup Baterai
2.3.4 Inverter
Inverter adalah peralatan elektronika yang berfungsi untuk mengubah arus
listrik searah (direct current) dari panel surya atau baterai menjadi arus listrik
bolak-balik (alternating current) dengan frekuensi 50Hz/60Hz. Pemilihan inverter
yang tepat untuk aplikasi tertentu, tergantung pada kebutuhan beban dan juga
tergantung pada apakah inverter akan menjadi bagian dari sistem yang terhubung
ke jaringan listrik atau sistem yang berdiri sendiri. Efisiensi inverter pada saat
pengoperasian adalah sebesar 90% (Foster dkk., 2010).
18
Berdasarkan bentuk gelombang yang dihasilkan, inverter dikelompokkan
menjadi tiga yaitu inverter dengan gelombang keluaran berbentuk square,
modified, dan true sine wave. Inverter yang terbaik adalah yang mampu
menghasilkan gelombang sinusoida murni atau true sine wave yaitu bentuk
gelombang yang sama dengan bentuk gelombang dari jaringan listrik (grid
utility).
2.4 Sistem PLTS
Sistem
PLTS
umumnya
diklasifikasikan
menurut
konfigurasi
komponennya. Pada prinsipnya ada dua klasifikasi sistem PLTS (Florida Solar
Energy Center, 2011), yaitu PLTS yang terhubung dengan jaringan listrik (PLTSGrid Connected) dan PLTS yang berdiri sendiri (Stand Alone).
2.4.1 PLTS-Grid Connected
Sistem PLTS-Grid Connected pada dasarnya adalah menggabungkan
PLTS dengan jaringan listrik (PLN). Komponen utama dalam sistem ini adalah
inverter, atau Power Conditioning Unit (PCU). Inverter inilah yang berfungsi
untuk mengubah daya DC yang dihasilkan oleh PLTS menjadi daya AC sesuai
dengan persyaratan dari jaringan listrik yang terhubung (utility grid).
Sumber: Florida Solar Energy Center, 2011
Gambar 2.8 Diagram Sistem PLTS-Grid Connected
19
Apabila penggabungan PLTS dengan jaringan listrik (PLN), dilakukan
pada sisi konsumen (setelah kWhmeter) maka diagram sistemnya dapat dilihat
pada gambar 2.9.
Sumber : Bien dkk., 2008
Gambar 2.9 Diagram Sistem Hibrida PLTS-Electric Utility
2.4.2 PLTS Berdiri Sendiri (Stand- Alone)
Sistem PLTS yang berdiri sendiri (Stand-Alone) dirancang beroperasi
mandiri untuk memasok beban DC atau AC. Jenis sistem ini dapat diaktifkan oleh
array photovoltaic saja, atau dapat menggunakan sumber tambahan energi lain,
seperti : air, angin dan mesin diesel. Baterai digunakan pada kebanyakan sistem
PLTS yang berdiri sendiri untuk penyimpanan energi. Gambar 2.10 menunjukkan
diagram dari PLTS yang berdiri sendiri.
Sumber: Florida Solar Energy Center, 2011
Gambar 2.10 Diagram Sistem PLTS Berdiri Sendiri dengan Baterai
20
2.5 Kapasitas Komponen PLTS
2.5.1 Jumlah Panel Surya
Daya (Wpeak) yang dibangkitkan PLTS untuk memenuhi kebutuhan energi,
diperhitungkan dengan persamaan-persamaan sebagai berikut (Nafeh, 2009) :
2.5.1.1 Menghitung Area Array (PV Area)
Area array (PV Area) diperhitungkan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
PV Area =
𝐸L
πΊπ‘Žπ‘£ π‘₯ πœ‚ 𝑃𝑉 π‘₯ 𝑇𝐢𝐹 π‘₯ πœ‚ 𝑂𝑒𝑑
.............……………….2.4
Dimana :
EL adalah pemakaian energi (kWh/hari).
Gav adalah insolasi harian matahari rata-rata (kWh/m2/hari).
ηPV adalah efisiensi panel surya.
TCF adalah temperature correction factor.
πœ‚ π‘œπ‘’π‘‘ adalah efisiensi inverter.
2.5.1.2 Menghitung Daya yang Dibangkitkan PLTS (Watt peak)
Dari perhitungan area array, maka besar daya yang dibangkitkan PLTS
(Watt peak) dapat diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :
P Watt peak = Area array x PSI x ηPV.............................................2.5
Dimana :
PSI (Peak Solar Insolation) adalah 1000 W/m2.
ηPV adalah efisiensi panel surya.
21
Selanjutnya berdasarkan besar daya yang akan dibangkitkan (Wpeak), maka
jumlah panel surya yang diperlukan, diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :
Jumlah panel surya =
𝑃Watt π‘π‘’π‘Žπ‘˜
PMPP ……………………..…...…2.6
Dimana :
PWatt Peak
= Daya yang dibangkitkan (Wp).
PMPP
= Daya maksimum keluaran (output) panel surya (W).
Untuk memperoleh besar tegangan, arus dan daya yang sesuai dengan
kebutuhan, maka panel-panel surya tersebut harus dikombinasikan secara seri dan
paralel dengan aturan sebagai berikut :
1) Untuk memperoleh tegangan keluaran yang lebih besar dari tegangan keluaran
panel surya, maka dua buah (lebih) panel surya harus dihubungkan secara seri.
2) Untuk memperoleh arus keluaran yang lebih besar dari arus keluaran panel
surya, maka dua buah (lebih) panel surya harus dihubungkan secara paralel.
3) Untuk memperoleh daya keluaran yang lebih besar dari daya keluaran panel
surya dengan tegangan yang konstan maka panel-panel surya harus
dihubungkan secara seri dan pararel.
Sumber : Kaltschmitt dkk., 2007
Gambar 2.11 Hubungan Panel Surya
22
2.5.2 Kapasitas Charge Controller
Charge controller diperlukan untuk melindungi baterai dari pengosongan
dan pengisian berlebih. Masukan atau keluaran untuk Charge controller
disesuaikan dengan arus (IMPP) keluaran array dan tegangan baterai,VB
(Messenger dan Ventre, 2005).
2.5.3 Kapasitas Baterai
Besar kapasitas baterai yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi energi
harian menurut Lynn (2010), dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
C=
N x Ed
V s x DOD x η
……………………………………………2.7
Dimana :
C
= Kapasitas baterai (Ah).
N
= Hari-hari otonomi (hari).
Ed
= Konsumsi energi harian (kWh).
Vs
= Tegangan baterai (Volt).
DOD = Kedalaman maksimum untuk pengosongan baterai.
η
=
Efisiensi baterai x efisiensi inverter.
2.5.4 Kapasitas Inveter
Pada pemilihan inverter, diupayakan kapasitas kerjanya mendekati
kapasitas daya yang dilayani. Hal ini agar efisiensi kerja inverter menjadi
maksimal (Foster dkk., 2010).
23
2.6 Pembangkit Listrik Tenaga Surya PT. PLN Distribusi Bali di Nusa
Penida
Pemanfaatan tenaga matahari sebagai sumber energi listrik untuk
pengadaan energi listrik PLN di Nusa Penida, dimulai pada tahun 2008. Ada dua
unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun di Nusa Penida,
yaitu unit I dengan kapasitas 32,4 kW dan unit II dengan kapasitas 30 kW.
Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010
Gambar 2.12 Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Nusa Penida
Kedua unit PLTS PLN di Nusa Penida mempergunakan sistem PLTS-Grid
Connected, yaitu menghubungkan PLTS dengan jaringan listrik PLN (Grid
Connected System) pada tegangan 20 kV.
Sumber: PT. PLN Distribusi Bali, 2010
Gambar 2.13 Sistem PLTS-Grid Connected di Nusa Penida
24
2.6.1 Komponen-komponen PLTS di Nusa Penida
Komponen-komponen PLTS PLN di Nusa Penida yang tidak dilengkapi
dengan baterai, terdiri dari panel surya dan inverter. Data teknik panel surya dan
inverter yang terpasang untuk PLTS PLN di Nusa Penida dapat dilihat pada tabel
2.1 dan tabel 2.2.
Technical Data
Tabel 2.1
Data Teknik Panel Surya BP 3150N
BP 3150N
Maximum Power (Pmax)
Voltage at Pmax (Vmp)
Current at Pmax (Imp)
Warranted min Pmax
Short-circuit current (Isc)
Open-circuit voltage (Voc)
Min bypass diode
Max series fuse
Electrical rating at STC
Warranty level
1 Panel terdapat
150 W
34,5 V
4,35 A
145,5 W
4,75 A
43,5 V
8A
15 A
1000W/m2
25-12-5
72 sel surya
Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010
Technical Data
Tabel 2.2
Data Teknik Inverter SMC 5000A
SMC 5000A
Input Values
Vdc max
Vdc Mpp
Idc max
Output Values
Vac nom
fac nom
Pac nom
Iac max
Cos φ
Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010
600 V
246-480 V
26 A
230 V
50/60 Hz
5000W
21,7
1
25
PLTS unit I dengan kapasitas 32,4 kW, dibangun dengan panel surya
sebanyak 216 buah panel dan inverter sebanyak 6 buah. Sistem satu fasa (1Ø)
PLTS ini terbentuk dari 3 rangkaian (string) yang terhubung paralel, dengan satu
rangkaian terdiri dari 12 panel surya yang terhubung secara seri. Jumlah total
panel untuk sistem 1Ø adalah sebanyak 36 panel surya yang dilayani oleh satu
inverter. Sehingga untuk sistem tiga fasa (3Ø), terdiri dari 108 panel surya dengan
9 rangkaian yang terhubung paralel.
PLTS unit II dengan kapasitas 30 kW, dibangun dengan panel (modul)
surya sebanyak 198 buah dan inverter sebanyak 6 buah. Sistem satu phasa (1Ø)
PLTS ini terbentuk dari 3 rangkaian (string) yang terhubung paralel dengan satu
rangkaian terdiri dari 11 panel surya yang terhubung secara seri. Jumlah total
panel untuk 1Ø adalah sebanyak 33 panel surya yang dilayani oleh satu inverter.
Sehingga untuk sistem tiga phasa (3Ø), terdiri dari 99 panel surya dengan 9
rangkaian yang terhubung paralel.
2.6.2 Data Produksi PLTS di Nusa Penida
Hasil pengamatan produksi harian yang dilakukan pada PLTS Unit II
tahun 2010, menunjukkan bahwa PLTS mulai berproduksi pada pukul 06.00 pagi
dengan menghasilkan energi sebesar 0,80 kWh. Menjelang siang hari mulai pukul
11.00 produksi PLTS meningkat cukup tinggi, yaitu menghasilkan energi sebesar
14 kWh. Produksi pembangkit ini mencapai puncaknya pada saat waktu
menunjukkan pukul 12.00, dengan produksi energi sebesar 19 kWh. Kemudian
menjelang sore hari mulai pukul 13.00 kWh produksi PLTS menurun, seiring
berkurangnya radiasi matahari ke bumi. PLTS PLN di Nusa Penida tidak
26
dilengkapi dengan baterai, sehingga pembangkit ini tidak akan berproduksi saat
matahari terbenam.
Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010
Gambar 2.14 Grafik kWh Produksi Harian PLTS Unit II
Tabel 2.3 menunjukkan tingkat persentase kWh produksi yang dihasilkan
oleh PLTS PLN Unit II Nusa Penida dalam rentang waktu pukul 06.00-18.00.
Tabel 2.3
Tingkat Persentase kWh Produksi Harian PLTS Unit II
Waktu
Tingkat Persentase (%) Produksi kWh Produksi PLTS
00.00-01.00
01.00-02.00
02.00-03.00
03.00-04.00
04.00-05.00
05.00-06.00
06.00-07.00
07.00-08.00
08.00-09.00
09.00-10.00
10.00-11.00
11.00-12.00
12.00-13.00
13.00-14.00
14.00-15.00
15.00-16.00
16.00-17.00
17.00-18.00
18.00-19.00
19.00-20.00
20.00-21.00
21.00-22.00
22.00-23.00
23.00-00.00
4,21
8,95
27,89
28,95
34,21
73,68
100,00
94,74
63,16
52,63
31,58
10,53
0,53
-
Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010
0,80
1,70
5,30
5,50
6,50
14,00
19,00
18,00
12,00
10,00
6,00
2,00
0,50
-
27
2.7 Data Insolasi Matahari dan Temperatur di Nusa Lembongan
2.7.1 Data Insolasi Matahari di Nusa Lembongan
Menurut Florida Solar Energy System (2011), pada dasarnya insolasi
matahari adalah radiasi matahari rata-rata yang terintegrasi terhadap waktu.
Sehingga dapat dinyatakan bahwa insolasi matahari adalah jumlah energi
matahari yang diterima oleh suatu permukaan (lokasi) tertentu, yang biasanya
dinyatakan dalam satuan kilowatthours per meter persegi (kWh/m2).
Data insolasi harian matahari untuk wilayah Nusa Lembongan selama
periode tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4
Data Insolasi Harian Matahari di Nusa Lembongan (kWh/m2/hari)
Bulan
2008
2009
2010
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Rata-rata
5,49
5,74
5,13
5,56
5,12
5,04
5,16
5,37
6,34
6,36
5,51
5,08
5,49
4,98
5,22
5,94
5,76
4,96
5,20
5,21
5,75
5,91
6,47
6,60
6,15
5,68
5,41
5,80
5,89
4,92
4,29
4,74
5,01
5,55
5,64
5,74
5,74
4,38
5,26
Sumber : NASA, 2011
2.7.2 Data Temperatur Di Nusa Lembongan
Temperatur mempengaruhi pengoperasian maksimum panel surya. Setiap
kenaikan temperatur 1oC (dari 25oC) mengakibatkan total daya yang dihasilkan
panel surya berkurang sekitar 0,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa temperatur
28
adalah salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam memperhitungkan
kapasitas daya (Wp) PLTS yang akan dibangkitkan.
Data temperatur maksimum (oC) untuk wilayah Nusa Lembongan selama
periode tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada tabel 2.5.
Tabel 2.5
Data Temperatur Maksimum di Nusa Lembongan (oC)
2008
2009
2010
Bulan
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Rata-rata
28,51
27,96
27,88
29,01
28,23
28,75
27,83
27,88
29,21
29,94
28,68
28,66
28,55
27,98
28,14
28,49
29,37
28,33
28,58
28,03
27,90
28,71
29,82
31,21
30,14
28,89
28,59
29,22
29,33
29,19
28,65
28,27
28,09
28,83
28,97
29,34
29,71
28,56
28,90
Sumber : NASA, 2011
2.8 Aspek Biaya
2.8.1 Biaya Siklus Hidup (Life Cycle Cost)
Biaya siklus hidup suatu sistem adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh
suatu sistem, selama kehidupannya. Pada sistem PLTS, biaya siklus hidup (LCC)
ditentukan oleh nilai sekarang dari biaya total sistem PLTS yang terdiri dari biaya
investasi awal, biaya jangka panjang untuk pemeliharaan dan operasional serta
biaya penggantian baterai (Kolhe dkk., 2002; Foster dkk., 2010). Biaya siklus
hidup (LCC) diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :
LCC = C + MPW + RPW ...............................................................2.8
29
Dimana :
LCC = Biaya siklus hidup (Life Cycle Cost).
C
= Biaya investasi awal adalah biaya awal yang dikeluarkan untuk
pembelian komponen-komponen PLTS, biaya instalasi dan
biaya lainnya misalnya biaya untuk rak penyangga.
MPW = Biaya nilai sekarang untuk total biaya pemeliharaan dan
operasional selama n tahun atau selama umur proyek.
RPW = Biaya nilai sekarang untuk biaya penggantian yang harus
dikeluarkan selama umur proyek. Contohnya adalah biaya
untuk penggantian baterai.
Nilai sekarang biaya tahunan yang akan dikeluarkan beberapa waktu
mendatang (selama umur proyek) dengan jumlah pengeluaran yang tetap, dihitung
dengan rumus sebagai berikut (Halim, 2009; Al-Qutub, 2010) :
P= A
(1+𝑖)𝑛 − 1
𝑖(1+𝑖)𝑛
.....................................................................2.9
Dimana :
P = Nilai sekarang biaya tahunan selama umur proyek.
A = Biaya tahunan.
i = Tingkat diskonto.
n = Umur proyek.
30
2.8.1.1 Faktor Diskonto
Perbandingan yang valid antara penerimaan-penerimaan di masa
mendatang dengan pengeluaran dana sekarang adalah hal yang sulit dilakukan
karena ada perbedaan nilai waktu uang. Masalah ini dapat diatasi dengan
menggunakan konsep nilai waktu uang (Time Value of Money). Berdasarkan
konsep tersebut maka penerimaan-penerimaan di masa mendatang didiskontokan
ke nilai sekarang sehingga dapat dibandingkan dengan pengeluaran pada saat ini.
Faktor diskonto (Discount factor) adalah faktor yang digunakan untuk
menilaisekarangkan penerimaan-penerimaan di masa mendatang sehingga dapat
dibandingkan dengan pengeluran pada masa sekarang (Halim, 2009). Sedangkan
tingkat diskonto yang digunakan untuk menilaisekarangkan penerimaanpenerimaan tersebut dapat berupa tingkat suku bunga pasar (tingkat suku bunga
bank). Adapun rumus faktor diskonto adalah sebagai berikut :
DF =
1
(1+i )n
.......................................................................2.10
Dimana :
DF = Faktor diskonto.
i
= Tingkat diskonto.
n
= Periode dalam tahun (umur investasi).
2.8.2 Biaya Energi (Cost of Energy)
Biaya energi merupakan perbandingan antara biaya total per tahun dari
sistem dengan energi yang dihasilkannya selama periode yang sama (Wengqiang
dkk., 2004). Dilihat dari sisi ekonomi, biaya energi PLTS berbeda dari biaya
31
energi untuk pembangkit konvensional (Nafeh, 2009). Hal ini karena biaya energi
PLTS, dipengaruhi oleh biaya-biaya seperti :
a) Biaya awal (biaya modal) yang tinggi.
b) Tidak ada biaya untuk bahan bakar.
c) Biaya pemeliharaan dan operasional rendah.
d) Biaya penggantian rendah (terutama hanya untuk baterai).
Perhitungan biaya energi suatu PLTS ditentukan oleh biaya siklus hidup
(LCC), faktor pemulihan modal (CRF) dan kWh produksi tahunan PLTS.
2.8.2.1 Faktor Pemulihan Modal (Capital Recovery Factor)
Faktor pemulihan modal adalah faktor yang dipergunakan untuk
mengkonversikan semua arus kas biaya siklus hidup (LCC) menjadi serangkaian
pembayaran atau biaya tahunan dengan jumlah yang sama (Kolhe dkk., 2002 ;AlQutub, 2010). Faktor pemulihan modal diperhitungkan dengan rumus sebagai
berikut :
CRF =
i(1+i)n
(1+i)n −1
.......................................................................2.11
Dimana :
CRF = Faktor pemulihan modal.
i
= Tingkat diskonto.
n
= Periode dalam tahun (umur investasi).
32
Biaya energi (Cost Of Energy ) PLTS diperhitungkan dengan rumus
sebagai berikut :
COE =
LCC x CRF
………..........………………..…………2.12
A kWh
Dimana :
COE
= Cost of Energy atau Biaya Energi (Rp/kWh).
CRF
= Faktor pemulihan modal.
A kWh = Energi yang dibangkitkan tahunan (kWh/year).
2.8.3. Teknik Analisis Kelayakan Investasi
2.8.3.1. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) menyatakan bahwa seluruh aliran kas bersih
dinilaisekarangkan atas dasar faktor diskonto (discount factor). Teknik ini
menghitung selisih antara seluruh kas bersih nilai sekarang dengan investasi awal
yang ditanamkan (Halim, 2009). Untuk menghitung Net Present Value (NPV)
dipergunakan rumus sebagai berikut :
𝑛
NPV =
NCFt
t − II ........…………………...………. 2.13
(1+i)
𝑑=1
Dimana :
NCFt
= Net Cash Flow periode tahun ke-1 sampai tahun ke-n.
II
= Investasi awal (Initial Investment).
i
= Tingkat diskonto.
n
= Periode dalam tahun (umur investasi).
Kriteria pengambilan keputusan apakah usulan investasi layak diterima
atau layak ditolak adalah sebagai berikut :
33
a) Investasi dinilai layak, apabila Net Present Value (NPV) bernilai positif (> 0).
b) Investasi dinilai tidak layak, apabila Net Present Value (NPV) bernilai negatif
(< 0).
2.8.3.2 Profitability Index (PI)
Profitability Index merupakan perbandingan antara seluruh kas bersih nilai
sekarang dengan investasi awal. Teknik ini juga sering disebut dengan model
rasio manfaat biaya (benefit cost ratio). Teknik Profitability Index dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
PI =
𝑛
NCF t (1+𝑖)−t
𝑑=1
II
………………………………...2.14
Dimana :
NCFt
= Net Cash Flow periode tahun ke-1 sampai tahun ke-n.
II
= Investasi awal (Initial Investment).
i
= Tingkat diskonto.
n
= Periode dalam tahun (umur investasi).
Kriteria pengambilan keputusan apakah usulan investasi layak diterima atau
layak ditolak adalah sebagai berikut :
a) Investasi dinilai layak, apabila Profitability Index (PI) bernilai lebih besar dari
satu (>1).
b) Investasi dinilai tidak layak, apabila Profitability Index (PI) bernilai lebih kecil
dari satu (< 1).
34
2.8.3.3 Discounted Payback Period (DPP)
Payback Period adalah periode lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
mengembalikan nilai investasi melalui penerimaan-penerimaan yang dihasilkan
oleh proyek (investasi). Sedangkan Discounted Payback Period adalah periode
pengembalian yang didiskontokan. Discounted Payback Period (DPP) dapat
dicari dengan menghitung berapa tahun kas bersih nilai sekarang (PVNCF)
kumulatif yang ditaksir akan sama dengan investasi awal.
Kriteria pengambilan keputusan apakah usulan investasi layak diterima
atau layak ditolak adalah :
a) Investasi dinilai layak, apabila DPP memiliki periode waktu lebih pendek dari
umur proyek (periode cutoff).
b) Investasi dinilai tidak layak, apabila DPP memiliki periode waktu lebih
panjang dari umur proyek (periode cutoff).
2.9 Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (Specific Fuel Consumption)
Konsumsi bahan bakar spesifik adalah parameter unjuk kerja mesin yang
berhubungan
langsung dengan
nilai
ekonomis
sebuah
mesin.
Dengan
menggunakan parameter ini maka jumlah bahan bakar yang dibutuhkan untuk
menghasilkan sejumlah daya dalam selang waktu tertentu dapat dihitung.
Berdasarkan SPLN No. 80 tahun 1989, untuk menghitung konsumsi bahan bakar
spesifik (SFC) dipergunakan rumus sebagai berikut :
SFCB =
Qf
kWh B
........................................................................2.15
35
Dimana :
SFCB = Konsumsi bahan bakar spesifik (liter/kWh).
Qf
= Jumlah bahan bakar yang dipakai (liter).
kWhB = Jumlah kWh yang dibangkitkan generator (kWh).
2.10 Regulasi Energi Terbarukan
2.10.1 Regulasi Energi Terbarukan Berbagai Negara di Dunia
Regulasi untuk mempromosikan energi terbarukan telah ada di beberapa
negara pada tahun 1980 hingga awal 1990-an, tetapi regulasi energi terbarukan
mulai banyak muncul di berbagai negara selama periode 1998-2005 (REN21,
2011). Untuk meningkatkan peranan energi terbarukan pada bauran konsumsi
energi finalnya, maka beberapa negara di dunia telah menetapkan persentase
target kebijakan penggunaan energi terbarukan hingga tahun 2020. Tabel 2.6.
menunjukkan target kebijakan energi terbarukan pada beberapa negara di dunia.
Upaya lain yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia untuk
mendorong pengembangan dan pemanfaatan sumber energi terbarukan adalah
dengan menerapkan regulasi (kebijakan) Feed-in Tariff. Mekanisme kebijakan ini
dirancang dengan menempatkan kewajiban kepada perusahaan listrik negara
untuk membeli listrik dari produsen energi terbarukan dengan harga yang
ditetapkan oleh pemerintah setempat. Tujuan dari kebijakan Feed-in Tariff adalah
untuk memberikan kepastian harga dan kompensasi biaya dalam kontrak jangka
panjang kepada produsen energi terbarukan, sehingga hal tersebut akan membantu
membiayai investasi energi terbarukan yang telah dilakukan. Di beberapa negara
penetapan Feed-in Tariff biasanya dilakukan dengan berdasarkan biaya
36
pembangkitan dari setiap penggunaan teknologi yang berbeda dan kualitas sumber
daya lokal.
Tabel 2.6
Target Energi Nasional Sumber Terbarukan 2020 di Berbagai Negara
Belgium
Bulgaria
The Czech Republic
Denmark
Germany
Estonia
Ireland
Greece
Spain
France
Italy
Cyprus
Latvia
Lithuania
Luxembourg
Hungary
Malta
The Netherland
Austria
Poland
Portugal
Romania
Slovenia
The Slovak Republic
Finland
Sweden
United Kingdom
China
Egypt
Jordan
Mali
Share of energy from
renewable sources in final
consumption of energy,
2005
Target for share for energy
from renewable sources in
final consumption of energy,
2020
2,2 %
9,4 %
6,1 %
17,0 %
5,8 %
18,0 %
3,1 %
6,9 %
8,7 %
10,3 %
5,2 %
2,9 %
34,9 %
15,0 %
0,9 %
4,3 %
0,0 %
2,4 %
23,3 %
7,2 %
20,5 %
17,8 %
16,0 %
6,7 %
28,5 %
39,8 %
1,3 %
8%
4,2 %
1,1 %
-
13 %
16 %
13 %
30 %
18 %
25 %
16 %
18 %
20 %
23 %
17 %
13 %
42 %
23 %
11 %
13 %
10 %
14 %
34 %
15 %
31 %
24 %
25 %
14 %
38 %
49 %
15 %
15 %
14 %
10 %
15 %
Sumber : European Renewable Energy Council (2011) dan REN21, 2011
37
Jerman adalah salah satu negara yang paling sukses menerapkan Feed-in
Tariff dalam pengembangan energi terbarukan. Negara ini mulai menerapkan
kebijakan Feed-in Tariff pada tahun 1990, akan tetapi kebijakan yang ditetapkan
saat itu belum efektif untuk mendorong pengembangan sumber energi terbarukan
dengan teknologi mahal seperti energi surya fotovoltaik. Feed-in Tariff tahun
1990 tersebut kemudian mengalami restrukturisasi pada tahun 2000, dengan
beberapa perubahan seperti : harga pembelian energi ditetapkan berdasarkan biaya
pembangkitan dan jaminan pembelian yang diperpanjang untuk periode 20 tahun.
Karena terbukti efektif mempercepat pengembangan sumber energi terbarukan,
maka Feed-in Tariff tahun 2000 ini kemudian diamandemenkan oleh pemerintah
Jerman pada tahun 2004. Energi surya fotovoltaik adalah salah satu energi
terbarukan yang mengalami perkembangan sangat pesat di Jerman. Ini terlihat
dari besarnya peningkatan kapasitas daya terpasang energi surya fotovoltaik di
negara tersebut, yaitu dari 2,6 GW di tahun 2006 menjadi 9,8 GW di tahun 2009
(REN21, 2011). Tabel 2.7 menunjukkan besarnya Feed-in Tariff yang diterapkan
oleh pemerintah Jerman untuk energi surya fotovoltaik.
Tabel 2.7
Tarif Energi Surya Fotovoltaik di Jerman
Letak Pemasangan
Jaminan Tahun Pembelian
Tarif ($/kWh)
Berdiri Bebas (Freestanding)
20
0,542
Di atap ( < 30kW )
20
0,703
Di atap ( < 100 kW )
20
0,688
Di atap ( > 100 kW )
20
0,661
Sumber : Peter dan Weis, 2008
38
Pemberian subsidi terhadap industri energi terbarukan di beberapa negara,
telah membuat pertumbuhan energi ini menjadi cukup signifikan. Salah satu
energi terbarukan yang saat ini mengalami perkembangan cukup pesat adalah
energi surya. Pemberian subsidi terhadap industri energi surya telah membuat
penurunan biaya produksi untuk per Wp (Wattpeak) . Ini terlihat dari penurunan
harga per Wattpeak yang berlaku di beberapa negara, seperti USA (US $ 1,76/Wp),
Spanyol, Jerman dan Inggris (US $ 1,68/Wp), Jepang (US $ 2,04/ Wp), serta Cina
dan Taiwan (US $ 1,68/ Wp) (Astawa, 2011).
Selain dengan sistem Feed-in Tariff, beberapa negara juga menerapkan
aturan subsidi dengan sistem kredit seperti sistem kredit untuk perumahan.
Bantuan pendanaan sistem ini berasal dari pihak ketiga seperti bank, dengan
jangka waktu tertentu. Adanya program insentif ini, membuat konsumen dapat
menikmati harga energi surya dengan investasi awal yang tidak memberatkan.
Biasanya penerapan sistem ini disertai dengan program Feed-in Tariff sehingga
waktu pelunasan kredit terbantukan dengan adanya pemasukan dari penjualan
listrik ke perusahaan listrik, yang pada akhirnya akan mempersingkat masa
pembayaran atau meringankan pengeluaran. Program ini sudah cukup mapan
ditemui di USA (negara bagian California) maupun Uni Eropa seperti, Jerman,
Belanda, Perancis dan Spanyol. Di negara berkembang, program kredit ini baru
tercatat telah dikembangkan oleh negara Bangladesh. Program ini bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat pedesaan atau daerah yang terisolir jaringan listrik
(Tenaga surya, 2011).
39
2.10.2 Regulasi Energi Terbarukan di Indonesia
Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia, mengacu
kepada Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional. Dalam Perpres disebutkan kontribusi EBT dalam bauran energi primer
nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17% dengan komposisi Bahan Bakar
Nabati sebesar 5%, Panas Bumi 5%, Biomasa, Nuklir, tenaga Air, tenaga Surya,
dan tenaga Angin sebesar 5% serta batubara yang dicairkan sebesar 2% (ESDM,
2011).
Kebijakan Feed-in Tariff (FiT) di Indonesia sudah mulai diterapkan dalam
skala terbatas sejak tahun 2002, yaitu melalui Kepmen ESDM No. 1122
K/30/MEM/2002. Kepmen ini mengatur tentang Pedoman Pengusahaan Pembangkit
Tenaga Listrik Skala Kecil Tersebar (PSK Tersebar, kurang dari 1 MW), badan
usaha atau koperasi dapat menjual listrik kepada PLN dari sumber energi
terbarukan dengan harga tertentu. Kepmen ini kemudian diperbaharui pada tahun
2009 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2009
tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) dari pembangkit
tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah atau
kelebihan tenaga listrik. FiT ini mewajibkan perusahaan jaringan listrik nasional
untuk membeli listrik yang dihasilkan dari sumber-sumber energi terbarukan
seperti energi surya, energi angin, biomassa, panas bumi maupun air. Pemerintah
Indonesia melalui Peraturan Menteri ESDM No. 31 Tahun 2009 telah menetapkan
kebijakan FiT untuk energi terbarukan dengan harga Rp 656/kWh jika terinterkoneksi
40
pada tegangan menengah atau Rp 1.004/kWh jika terinterkoneksi pada tegangan
rendah (ESDM, 2011).
Dalam draft Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang
Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2010-2050, pemerintah membuat kebijakan
terkait energi surya. Kebijakan-kebijakan tersebut diantaranya menerapkan
kebijakan penggunaan sel surya pada pemakai tertentu seperti industri besar,
gedung komersial, rumah mewah, serta PLN. Sejalan dengan itu, pemerintah juga
akan menggalakkan industri sistem dan komponen peralatan instalasi Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PLTS), mewujudkan keekonomian PLTS, meningkatkan
penguasaan teknologi PLTS dan surya termal dalam negeri melalui penelitian dan
pengembangan serta pembelian lisensi (ESDM, 2011).
2.11. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu metode perencanaan strategis yang
digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan (Strengths),
kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats) yang
mungkin terjadi dalam mencapai suatu tujuan dari kegiatan proyek atau usaha,
institusi atau lembaga dalam skala yang lebih luas. Untuk keperluan tersebut
diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan
internal maupun eskternal yang mempengaruhi pola strategi kegiatan proyek,
institusi atau lembaga dalam mencapai tujuan.
Analisis SWOT dilakukan dalam suatu matrik, yang memaparkan secara
jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi oleh kegiatan
proyek atau usaha dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
41
dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif
strategis seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Internal Strategic
Factors Analysis STRENGTHS (S)
External
( IFAS)
Tentukan faktor-faktor
Strategic
kekuatan internal
Factors Analysis
(EFAS)
WEAKNESSES (W)
Tentukan faktor-faktor
kelemahan internal
OPPORTUNIES (O)
STRATEGI SO
STRATEGI WO
Tentukan faktor
eksternal
Ciptakan
strategi
yang
menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang
Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
untuk
memanfaatkan
peluang
TREATHS (T)
STRATEGI ST
STRATEGI WT
Tentukan faktor
ancaman eksternal
Ciptakan
strategi
yang
menggunakan kekuatan untuk
mengatasi ancaman
Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman
peluang
Sumber : Rangkuti, 2009
Gambar 2.15 Matrik SWOT
Download