BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah
Lokasi penelitian merupakan daerah operasi penambangan nikel milik PT
ANTAM. Tbk dengan kontraktor PT Minerina Bhakti dan PT Dian Nickel
Mining yang mulai beroperasi pada bulan September tahun 2005, terletak di
daerah Moronopo, Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi
Maluku Utara.
Lokasi penelitian ini dapat ditempuh dari Jakarta melalui jalur sebagai
berikut:
a. Jakarta – Ternate dapat ditempuh melalui jalur udara dalam waktu 4-5
jam, tergantung dari tempat transit pesawat udara, adapun terdapat 2 rute
transit yaitu (Jakarta – Makasar – Ternate) dan (Jakarta – Makasar –
Menado – Ternate).
b. Ternate – Buli dapat ditempuh melalui jalur darat, laut, maupun jalur
udara. Adapun untuk jalur darat (Ternate – Sofifi – Buli) dapat ditempuh
selama ± 7 jam, dimana dari Ternate sampai Sofifi menggunakan perahu
dan dari Sofifi menuju Buli menggunakan jalur darat ± 6 jam dengan
kondisi jalan relatif sulit dilalui baik dalam keadaan kering maupun
hujan. Untuk jalur laut dapat ditempuh ± 24 jam dengan jadwal pelayaran
tiga kali dalam seminggu. Sedangkan untuk jalur udara dapat ditempuh
selama ± 45 menit menggunakan pesawat udara dengan jenis Cassa 212
dengan jadwal penerbangan 4 - 6 kali penerbangan dalam seminggu.
c. Buli – Moronopo dapat ditempuh melalui jalur darat dan jalur laut, jalur
darat dapat ditempuh selama ± 1.5 jam menggunakan kendaraan roda
empat, melalui Mabapura. Sedangkan jalur laut dapat ditempuh selama ±
45 menit menggunakan perahu kecil (bodi)
6
2.2 Kondisi Geografi Daerah Penelitian
Secara geografis, daerah operasi penambangan Nikel Moronopo terletak
pada garis lintang 0o17’00’’ LU – 0o40’00’’ LU dan garis bujur 128o4’50’’
BT – 128o41’00’’ BT (gambar 2.1). Secara administratif, wilayah Moronopo
terletak di kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku
Utara. Adapun areal penambangan yang dimiliki oleh perusahaan PT.
ANTAM, Tbk melalui izin eksploitasi KW 997PP0443 (KP BULI) dengan
areal seluas 39.040 Ha dan KW99PP0113 (KP WATILEO) dengan areal
seluas 12.280 Ha, termasuk di dalamnya blok Tanjung Buli, blok Moronopo
(blok A & blok P4P5) dan blok Sangaji. Menurut badan planologi kehutanan,
daerah Moronopo termasuk kedalam kawasan Hutan Produksi Terbatas dan
kawasan Areal Penggunaan Lain dengan berdasarkan surat Dirjen Geologi
dan Sumber Daya Mineral no 0953/2903/DJG 2002 tertanggal 21 Februari
2002.
Gambar 2.1: Peta lokasi penelitian secara geografis (Microsoft Encarta 2005)
7
2.2.1 Topografi
Topografi daerah kuasa pertambangan Moronopo dan sekitarnya
merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian dari permukaan laut
antara 0 sampai 650 meter, dan dengan kemiringan lereng dari landai
hingga curam. Daerah pertambangan ini berada pada wilayah yang
berdekatan dengan garis pantai dan terdapat beberapa punggungan
besar dengan kemiringan lereng yang curam. Seperti yang terlihat
pada gambar 2.2, semakin kearah pantai maka topografi akan semakin
curam.
Pada daerah ini juga terdapat sungai besar yaitu sungai Sangaji yang
mengalir ke arah barat daya, dan beberapa sungai kecil yang mengalir
pada lembah dengan kemiringan yang curam.
8
N
E
W
S
0
meter
1000
PT. MINERINA BHAKTI
PERTAMBANGAN NIKEL MORNOPO
PETA SURVEY TOPOGRAFI
KETERANGAN
25
Kontur topografi (interval 20 m)
Sungai
INDEKS
Lokasi Pengamatan
Gambar 2.2 Peta Topografi daerah Moronopo (PT. Minerina Bhakti Moronopo)
9
2.2.2 Iklim dan Curah Hujan
Dilihat dari letak geografisnya daerah Moronopo termasuk ke dalam
iklim Tropis, dicirikan dengan curah hujan yang tinggi, dan suhu yang
panas pada siang hari dikarenakan daerahnya dekat dengan garis
pantai.
Berdasarkan data curah hujan tahun 2002 - 2007 curah hujan tertinggi
terjadi pada bulan Juli yaitu 235 mm dan curah hujan terendah terjadi
pada bulan September yaitu 123 mm (gambar 2.4). Hal ini
ditunjukkan dengan banyaknya hari hujan yang terjadi pada bulan
tersebut, yaitu rata-rata hari hujan untuk bulan Juli sebanyak 20, dan
pada bulan September sebanyak 12 hari hujan (gambar 2.3).
Adapun detil rata-rata curah hujan dan jumlah hari hujan tiap bulan
untuk periode tahun 2002 – 2007 dapat dilihat pada grafik dibawah
ini:
Gambar 2.3 Grafik Rata-rata hari hujan tiap bulan untuk periode 2002 – 2007
daerah Moronopo (Sumber data: PT. Yudistira (tahun 2002-2005);
PT. Minerina Bhakti Moronopo (tahun 2006-2007)).
10
Gambar 2.4 Grafik Rata-rata curah hujan tiap bulan untuk periode 2002 – 2007
daerah Moronopo (Sumber data: PT. Yudistira (tahun 2002-2005); PT.
Minerina Bhakti Moronopo (tahun 2006-2007)).
2.2.3 Vegetasi
Vegetasi yang dominan pada daerah penambangan Moronopo
sangat bervariasi, dimana terdapat pembagian tipe komunitas vegetasi
berdasarkan perbedaan elevasi tempat tumbuh. Adapun komunitas
yang pertama adalah vegetasi yang terdapat pada daerah sepanjang
garis pantai yaitu vegetasi mangrove dan vegetasi hutan pantai,
dengan tempat tumbuh berupa lumpur dan pasir. Vegetasi yang
terdapat pada level ini adalah mangrove (bakau), pandan, kelapa, dan
pohon nyamplung.Sedangkan komunitas vegetasi kedua merupakan
vegetasi hutan pegunungan, pada level ini tumbuhan tumbuh pada
tanah yang mengandung mineral logam, dimana vegetasi yang tumbuh
didominasi oleh tumbuhan berdaun jarum seperti Kenari Hutan, Bayu
Besi, Kayu Kina, Bintang Samudra, Cemara, Pinus Irian, Bintagor,
Gaharu, Linggua, dan beberapa merupakan tumbuhan kecil berdaun
lebar. Selain tumbuhan berdaun jarum pada level ini juga tumbuh
tumbuhan tidak berkayu seperti pandan, alang-alang, pakis, pinang,
kantong semar, dan anggrek. (Sumber: Laporan Analisis Dampak
11
Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Rencana Pengembangan
Bijih Nikel pada Kuasa Pertambangan PT. ANTAM Tbk, Kab.
Halmahera Timur).
Untuk vegetasi didaerah sekitar penambangan masih berupa hutan
asli dengan ditumbuhi pohon-pohon dari ukuran sedang hingga tinggi
(vegetasi hutan pegunungan), dan tumbuh dengan jarak yang rapat.
12
2.3 Geologi Regional Daerah Penelitian
Secara geologi dan tektonik kepulauan Halmahera terbentuk dari pertemuan 3
lempeng, Eurasia, Pasifik, dan Indo Australia atau merupakan suatu
konfigurasi busur kepulauan sebagai hasil pertumbukan lempeng di bagian
barat Pasifik. Hal ini dicirikan dengan adanya “double arc system” yang
dibuktikan dengan adanya vulkanik pada daerah lengan Barat dan non
vulkanik pada daerah lengan Timur.
Secara garis besar penjabaran mengenai geologi regional untuk kawasan
Halmahera dibagi menjadi 3 bagian
2.3.1 Geomorfologi
Daerah Halmahera yang meliputi Halmahera bagian tengah, deretan
pulau di sebelah barat, dan beberapa pulau kecil di sebelah timurnya
dibagi menjadi 3 mendala fisiografi (T. Apandi dan D. Sudana, 1976).
Halmahera bagian tengah yaitu termasuk sebagian dari lengan utara,
sebagian dari lengan selatan, sebagian dari lengan timur laut, dan
seluruh lengan tenggara.
Lengan timur laut dan lengan tenggara Halmahera, termasuk beberapa
pulau kecil di sebelah timurnya, merupakan Mendala Fisiografi
Halmahera Timur. Lengan utara dan lengan selatan membentuk
Mendala Fisiografi Halmahera Barat, dan deretan pulau di sebelah
baratnya merupakan Busur Kepulauan Gunung Api Kuarter yang
membentuk Mendala Busur Kepulauan. Semua mendala fisiografi ini
berhubungan erat dengan mendala geologinya (gambar 2.5).
Bagian terbesar Mendala Fisiografi Halmahera Timur terdiri dari
pegunungan berlereng curam dengan torehan sungai yang dalam dan
sebagian bermorfologi karst. Morfologi pegunungan berlereng curam
merupakan cerminan batuan ultrabasa, batuan sedimen, serta batuan
gunung api Oligo-Miosen dan yang lebih tua. Morfologi karst terdapat
pada daerah batu gamping, baik yang berumur Paleosen-Eosen, OligoMiosen maupun Miosen-Paleosen. Batuan sedimen Miosen-Pliosen
13
membentuk morfologi dengan perbukitan yang relatif lebih rendah dan
lerengnya yang lebih landai daripada batuan yang lebih tua.
Hubungan antara Mendala Halmahera Timur dan Mendala Halmahera
Barat berupa jalur tektonik yang kuat berbatuan sedimen Neogen.
Perlipatan kuat dan persesaran terdapat pada jalur ini.
Mendala Busur Kepulauan merupakan deretan pulau di sebelah barat
Halmahera yang membentuk busur kepulauan gunung api Kuarter.
Sebagian besar pulaunya berbentuk kerucut gunung api yang masih
bekerja, seperti Gamalama, G. Tidore, dan G. Makian.
14
Tmob
U
Tmpw
Tmob
Qht
Qpk
Qht
Tmob
Ub
Qhv
Ub
Qhv
Tmpt
Qhv
Qhv
Tmpw
Tmob
Qhv
Tmob
Tmr
Tmpo
Qi
Tmpo
Ks
Tmob
KETERANGAN
Batuan Sedimen
Qi
Tmpw
Batuan Gunung Api
Batugamping Terumbu
Qhv
Batuan Gunungapi Holosen
Formasi Weda / Ruta
Qht
Tufa
Tmpt
Formasi Tingteng
Qpk
Formasi Koyasa
Kayasa
Formasi
Tped
Formasi Dorosagu
Tpec
Konglomerat
Tmr
Tmob
Batuan Beku
Ub
Ks
Komplek Batuan Ultrabasa
Formasi Bacan
oN/Hal geo
PETA GEOLOGI REGIONAL DAERAH HALMAHERA
Gambar 2.5 Peta geologi regional daerah Halmahera (Sumber : PT ANTAM Tbk Unit Geomin)
15
2.3.2 Stratigrafi
Berdasarkan peta geologi lembar Ternate, Maluku Utara (T.Apandi &
D. Sudana) daerah Halmahera terdiri dari Mendala geologi Halmahera
timur, Mendala geologi Halmahera barat dan Busur Kepulauan gunung
api kuarter, dimana untuk mendala geologi yang berbeda akan
menunjukkan perbedaan dalam jenis batuan dan tektoniknya (gambar
2.6).
Mendala geologi Halmahera timur, terbentuk dari Satuan Batuan Ultra
basa dan satuan batuan beku basa yang mengintrusi satuan batuan ultra
basa serta batuan beku intermediat yang mengintrusi kedua batuan
sebelumnya. Adapun satuan batuan ultra basa ini merupakan satuan
batuan penyusun tertua untuk mendala geologi Halmahera Timur.
-
Satuan Batuan Ultra Basa ini terdiri dari batuan serpentinit,
piroksenit, dan dunit. Dengan ciri khas berwarna hitam kehijauan,
getas, terbreksikan, mengandung asbes dan garnierit. Pada satuan
ini teramati batuan metasedimen dan rijang, posisinya terjepit
diantara sesar di dalam batuan ultra basa. Adapun satuan batuan ini
dinamakan
sebgai
formasi
Watileo
(Bessho,
1944),
dan
hubungannya dengan satuan batuan yang lebih muda berupa bidang
ketidakselarasan atau berupa sesar naik.
-
Satuan Batuan Beku Basa ini terdiri dari batuan grabro piroksin,
gabro hornblende, dan gabro olivine, tersingkap di dalam komplek
satuan Batuan Ultra Basa. Adapun satuan batuan ini dinamakan seri
Wato-wato (Bessho, 1944).
-
Satuan Batuan Intermediate ini terdiri dari batuan diorit kuarsa dan
diorit hornblende, tersingkap juga dalam komplek batuan ultra
basa. Selain itu teramati sejumlah retas andesit dan diorit yang
tidak terpetakan, berhubungan dengan kuarsa dan pirit di daerah
Formasi Bacan.
16
Batuan tertua ini, ditutupi oleh Formasi Dodaga yang berumur kapur
secara tidak selaras, dan tersusun oleh serpih berselingan dengan
batugamping coklat muda dan sisipan rijang. Selain itu ditutupi oleh
batuan yang berumur Paleosen – Eosen yaitu formasi Dorosagu, Satuan
Konglomerat dan satuan Batu Gamping.
-
Satuan Batu gamping ini berumur Paleosen – Eosen dan dipisahkan
dengan batuan yang lebih tua (ultra basa) oleh ketidakselarasan dan
dengan batuan yang lebih muda oleh sesar, tebal
-
400 meter.
Formasi Dorosagu ini terdiri dari batu pasir berselingan dengan
serpih merah, batugamping. Formasi ini berumur Paleosen-Eosen.
Hubungan dengan batuan yang lebih tua (ultrabasa) berupa
ketidakselarasan dan sesar naik, tebal
250 meter. Formasi ini
identik dengan Formasi Saolat (Bessho, 1944).
-
Satuan Konglomerat ini tersusun oleh batuan konglomerat dengan
sisipan batupasir, batulempung dan batubara. Satuan ini berumur
Kapur Atas dan tebalnya > 500 meter. Hubungannya dengan
batuan yang lebih tua (ultra basa) dan batuan yang lebih muda
(Formasi Tingteng) adalah ketidakselarasan sedangkan dengan
satuan Batugamping hubungannya menjemari.
Setelah rumpang pengendapan sejak Eosen Akhir-Oligosen Awal, baru
terjadi aktivitas gunung api selama Oligosen Atas-Miosen Bawah,
membentuk rempah-rempah yang disatukan sebagai Formasi Bacan.
-
Formasi Bacan ini tersusun oleh batuan gunung api berupa lava,
breksi, dan tufa dengan sisipan konglomerat dan batupasir. Dengan
adanya sisipan batupasir maka dapat diketahui umur Formasi
Bacan yaitu Oligosen-Miosen Bawah. Dengan batuan yang lebih
tua (Formasi Dorosagu) dibatasi oleh bidang sesar sedangkan
dengan batuan yang lebih muda (Formasi Weda) dengan bidang
ketidakselarasan. Sebaran batuan gunung api Formasi Bacan ini
terhampar luas baik di Mendala Halmahera Timur maupun
17
Mendala Halmahera Barat. Bersamaan dengan pengendapan
Formasi Bacan, diendapkan pula batugamping Formasi Tutuli.
Formasi ini berumur Oligosen-Miosen Bawah, kontak dengan
Formasi Weda berupa sesar, dan identik dengan Formasi Parepara
(Bessho, 1944).
Setelah rumpang pengendapan Miosen Bawah Bagian Atas, terbentuk
cekungan luas yang berkembang sejak Miosen Atas-Pliosen. Pada
cekungan tersebut diendapkan Formasi Weda, Satuan Konglomerat dan
Formasi Tingteng.
-
Formasi Weda ini terdiri dari batu pasir berselingan dengan napal,
tufa, konglomerat, dan batugamping, berumur Miosen TengahAwal Pliosen, bersentuhan secara tidak selaras dengan Formasi
Kayasa yang berumur lebih muda dan hubungannya secara
menjemari dengan Formasi Tingteng.
-
Satuan Konglomerat ini terdiri dari batuan ultra basa, basal, rijang,
diorit dan batusabak tebal
100 meter, menutupi satuan batuan
ultra basa secara tidak selaras, diduga berumur Miosen TengahAwal Piosen. Apabila dilihat letak statrigrafinya batuan ini
kemungkinan merupakan anggota Formasi Weda.
-
Formasi Tingteng ini terdiri dari batu gamping hablur dan batu
gamping pasiran dengan sisipan napal dan batupasir berumur Akhir
Miosen-Awal Pliosen, tebal
600 meter.
Setelah pengendapan Formasi Tingteng terjadi pengangkatan pada
Kuarter, sebagaimana ditunjukan oleh batugamping terumbu, di pantai
daerah lengan timur Halmahera.
18
Gambar 2.6 Stratigrafi Pulau Halmahera (sumber: Unit Geomin PT. ANTAM Tbk)
19
2.3.3 Tektonik
Pulau Halmahera dan pulau-pulau di sekitarnya merupakan suatu
konfigurasi busur kepulauan sebagai hasil tabrakan lempeng di bagian
barat Pasifik. Daerah ini dicirikan oleh Double Arc System, yaitu sistem
busur pegunungan ganda, dibuktikan oleh pegunungan vulkanik di
lengan barat dan pegunungan non- vulkanik di lengan timur. Secara
geologi dan tektonik, Halmahera cukup unik karena terbentuk akibat
pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, Pasifik dan IndoAustralia (gambar 2.7). Di bagian selatan Halmahera terdapat zona sesar
Sorong yang merupakan strike slip fault (JA Katili, 1974). Sepanjang
zona sesar ini Halmahera bergerak ke arah barat bersamaan dengan
lempeng Indo-Australia (Hamilton, 1979).
Gambar 2.7 Tektonik Indonesia Timur (Sumber : PT ANTAM Tbk Unit Geomin)
20
Kegiatan tektonik kemungkinan dimulai pada Kapur akhir dan awal
Tersier yang ditandai adanya batulempung berumur Kapur dan batuan
ultrabasa pada konglomerat Formasi Dorosagu. Ketidakselarasan antara
batuan berumur Paleosen–Eosen yaitu Formasi Dorosagu dengan batuan
lebih muda terjadi kira-kira pada Eosen Akhir sampai Oligosen Awal,
mencerminkan kegiatan tektonik yang diikuti kegiatan gunung api
terbentuk Formasi Bacan. Pensesaran naik mungkin terjadi pada
peristiwa tektonik Eosen–Oligosen. Struktur pada peta terbentuk pada
peristiwa tektonik berikutnya terutama yang terjadi pada akhir Pliosen
dan awal Pleistosen. Hal ini tampak dari sesaran batuan yang lebih tua ke
atas Formasi Weda, yang berumur Mio–Pliosen. Peristiwa tektonik
terakhir (Holosen) berupa pengangkatan seperti yang ditunjukan oleh
terumbu terangkat dan sesar normal yang memotong batugamping
terumbu.
2.4 Geologi Lokal Daerah Penelitian
Daerah Moronopo merupakan suatu wilayah kuasa pertambangan
eksploitasi dan merupakan bagian dari fisiografi Halmahera Timur. Dimana
fisiografi daerah Moronopo sebagian besar terdiri dari pengunungan dengan
lereng yang curam hingga sedang dan sebagian berrmofologi karts. Morfologi
dengan ciri khas ini merupakan suatu cerminan sebaran batuan ultrabasa yang
mempunyai ketinggian 50 -600 meter diatas permukaan laut, serta berupa
dataran aluvial yang terdapat disekitar sungai Sangaji.
Daerah ini didominasi oleh batuan Ultramafik dan mafik yang terdiri dari
peridotit dan dunit, dimana pada satuan ini sering dijumpai fragmen –
fragmen dari gabro dan basalt yang tertanam pada serpentin. Dunit berwarna
hijau – hijau kekuningan, dengan ukuran butir halus – sedang, komposisi
mineral yaitu olivin 85%, piroksen 10% dan mineral aksesoris 5%. Mineral
garnierit dan krisopras ditemukan berupa fragmen- fragmen dalam laterit atau
mengisi rekahan pada batuan. Batuan peridotit berwarna abu-abu gelap
dengan tekstur kristalin, faneritik dan kadang-kadang terbreksikan dan
21
mengalami serpentinsasi, dengan komposisi piroksen 80%, olivin 15% dan
mineral aksesoris sebanyak 5%.
Struktur geologi di Moronopo berupa kekar dan sesar berarah Barat Laut –
Tenggara searah dengan pantai. dimana batuan yang tersesarkan berupa
peridotit, gabro basalt, dan serpentinit.
22
408000
409000
B.III/a6
410000
B.III/b6
411000
B.III/c6
412000
413000
414000
PETA GEOLOGI REGIONAL
MORONOPO
B.III/d6
89500
89500
B.III/a5
B.III/b5
B.III/c5
B.III/d5
0m
88700
500m
1000m
1500m
88700
LEGENDA:
B.III/a4
B.III/b4
B.III/c4
B.III/d4
87900
87900
B.III/a3
B.III/b3
B.III/c3
B.III/d3
87100
Map Index:
87100
C.IV
B.IV
TANJUNGBULI
B.III/a2
B.III/b2
B.III/c2
MABAPURA
B.III/d2
P. GEE
B.III
C.III
MORONOPO
86300
P. PAKAL
BLOK-A
86300
B.II
BIII/c1
WAILUKUM
BIII/d1
PT ANEKA TAMBANG Tbk
85500
UNIT GEOMIN
85500
TIM EKSPLORASI NIKEL BULI
ACTIVITY MAP ON MORONOPO 2005
BII/c10
BII/d10
Diukur
408000
409000
410000
411000
412000
413000
: Tim Eksplorasi Nikel Buli
Tanggal
:
Diperiksa :
Skala
:
Disetujui :
Lembar
: Mornopo
414000
Gambar 2.8 Peta geologi regional Moronopo (Sumber: PT ANTAM, Tbk Unit Geomin).
23
2.5 Kegiatan Operasi Penambangan
Metode penambangan yang diterapkan pada daerah penelitian adalah
metode tambang terbuka dengan open cut. Kegiatan penambangannya
disesuaikan dengan topografi, sifat fisik lapisan, ketebalan lapisan tanah
penutup, serta badan bijih, dan bergantung pada teknologi yang digunakan
untuk penambangan. Dalam kegiatan penambangannya digunakan alat dozer
D65P berfungsi untuk striping tanah penutup, membuat jalan tambang, serta
mengeraskan jalan, excavator PC-300 yang berfungsi sebagai alat gali serta
memasukkan ore (limonit, saprolit dan bed rock) ke dalam articulated dump
truck HM-400 yang memiliki kapasitas 25 ton, dump truck Nissan Diesel
dengan kapasitas 12 ton.
Kegiatan produksi penambangan dilakukan secara konvensional yaitu
dengan mengambil ore pada front kemudian diangkut menuju transito, pada
transito ini dilakukan sampling dimana sampelnya disebut dengan sampel
produksi ETO (Exportable Transit Ore). Setelah ore terkumpul pada transito
kemudian diangkut menuju grizzly untuk disaring dimana untuk boulder
dengan ukuran > 20 cm akan dikategorikan sebagai waste, adapun setelah
disaring kemudian dilakukan sampling kedua disebut dengan sampel produksi
EFO (Exportable Fine Ore), dan kemudian ore ini diletakkan pada stockyard
sesuai dengan nilai kadarnya. Apabila ada pemesanan maka dilakukan proses
pengapalan, dimana pada kegiatan ini digunakan alat angkut dump truck
nissan diesel. Untuk setiap 5 dump truck (5 ritase) diambil 1 sampel, disebut
dengan sampel pengapalan. Dari sampel pengapalan ini akan dipreparasi dan
dianalisa kadar serta moisture content-nya. Metode sampling yang digunakan
pada operasi penambangan nikel pada perusahaan PT. Minerina Bhakti
Moronopo berlandaskan pada Japanese Industrial Standard (JIS).
24
Adapun gambaran umum kegiatan penambangan yang dilakukan, dapat dilihat
pada gambar 2.9 dibawah ini:
Perencanaan Tambang
Clearing & Striping
Sampling (Grab
Sampling) & Analisa
Sampling ETO & Analisa
Penanganan Tanah Pucuk dan
LapisanTanah Penutup
Penggalian & Pemuatan
Penumpukan di
Transito (ETO)
Penanganan Unspecification Ore
> pengangkutan
Sampling EFO & Analisa
Penyaringan
(grizzly)
Penanganan Oversize
Pemuatan & Pengangkutan
Stockyard
Sampling & Analisa
Pengapalan
Gambar 2.9 Diagram Alir Kegiatan Penambangan pada Daerah Penelitian
25
Download