BAB 2 LANDASAN TEORI

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Ijarah
Secara bahasa ijarah digunakan sebagai nama bagi al-ajru yang berarti
"imbalan terhadap suatu pekerjaan" (‫ )ااء ا‬dan "pahala" (‫ )ااب‬Dalam
bentuk lain, kata ijarah juga biasa dikatakan sebagai nama bagi al-ujrah yang berarti
upah atau sewa (‫)ااء‬. Dalam perkembangan kebahasaan berikutnya, kataijarah itu
dipahami sebagai "akad" (‫)ا‬, yaitu akad (pemilikan) terhadap berbagai manfaat
dengan imbalan (‫ )ا ا ض‬atau akad pemilikan manfaat dengan
imbalan. Ijarah sebagai jual beli jasa yang bisa disebut upah mengupah, yakni
nmengambil
manfaat
dari
tenaga
manusia,
ada
pula
yang
mengatakan
bahwa ijarah itu jual beli kemanfa’atan dari suartu barang atau disebut dengan sewa
– menyewa. Dari definisi ijarah, bahwa ijarah di bagi menjadi dua yaitu ijarah atas
jasa dan ijarah atas benda.
Ijarah adalah suatu jenis akad mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan
hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa atau upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda pendapat dalam
mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah ialah:
ٌْ ُ ُ ْ ِ ُ !
ُ ْ ِْ #َ %ٍ َ َ ْ &َ %ٍ &َ ُْْ &َ ‫)ْ َد ٍة‬
ُ ْ &َ *
َ &ِ *
ِ ْ َ ْ‫ْ ا‬+َ ,
ْ ُ ْ‫ َ ِة ا‬ِ ‫ض‬
ٍ َْ ِ
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan sengaja
11
dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.”
2. Menurut Malikiyah ijarah ialah:
%ُ َ ِ ,
ْ #َ ِ .َ َ+/ْ‫َ ا‬
َ %ِ َ َ ْ &َ 0 &ِ ‫ َد‬1‫ ا‬2
ِ ْ َ ‫ن ا ْ َ ْ ُْ َو‬
َ1
َ
“Nama bagi akad- akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan
untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
3. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.
4. Menurut Muhammad Al- Syarbini al- Khatib bahwa yang dimaksud dengan
ijarah ialah pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat- syarat.
5. Menurut istilah fiqih, ijarah ialah pemberian hak pemanfaatan dengan syarat
ada imbalan.
2.1.1. Dasar Hukum Ijarah
Ibn Rusyd menegaskan bahwa semua ahli hukum Islam, baik salaf
maupun khalaf, menetapkan boleh terhadap hukum ijarah. Kebolehan tersebut
didasarkan pada landasan hukum yang sangat kuat yang terdapat dalam Al-Qur'an
dan Sunnah. Dasar hukum ijarah adalah sebagai berikut :
1. Al Qur’an
Di dalam surat Al-Baqaraħ ayat 233 disebutkan tentang izin terhadap
seorang suami memberikan imbalan materi terhadap perempuan yang
menyusui anaknya. Lengkapnya ayat tersebut berbunyi:
12
Gambar 2.1. Surat Al-Baqarah ayat 233
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih
(sebelum
dua
tahun)
dengan
kerelaan
keduanya
dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
2. Al Hadits
Nabi Muhammad SAW sendiri, selain banyak memberikan penjelasan
tentang anjuran, juga memberikan teladan dalam pemberian imbalan (upah)
terhadap jasa yang diberikan seseorang. Hadis Nabi yang diriwayatkan
13
oleh Imam Al-Bukhariy, Muslim dan Ahmad dari Anas bin Malik
menyuruh memberikan upah kepada tukang bekam. Hadis tersebut
berbunyi:
6‫ ا‬7 6‫ل ا‬9‫ ر‬%;< ‫ل ?> أ‬. @ 6‫ ا‬AB‫ * &! ر‬CD‫* أ‬
L‫@ )روا‬-‫ا‬E *& ‫ا‬F ‫ وأ& أه@ أن‬# *& ‫;)ع‬I &J >9‫@ و‬
(?‫> وأ‬,&‫ري و‬F;‫ا‬
"Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah SAW berbekam dengan Abu
Thayyibah. Kemudian beliau menyuruh memberinya satu sha' gandum dan
menyuruh keluarganya untuk meringankannya dari beban kharaj". (HR. AlBukhari, Muslim, dan Ahmad).
3. Al ijma’
Landasan ijmanya adalah kesepakatan seluruh ulama, tidak ada
seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, walaupun ada
beberapa yang berbeda pendapat, tetapi itu tidak dianggap. Berdasarkan
ijma’ atau kesepakatan Ulama’ tentang ijarah, Sesuai dengan riwayat Imam
Ahmad, Abu Dawud, dan Nasai bahwa umat islam pada masa sahabat telah
berijma' bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
2.1.2. Rukun Ijarah dan Syarat Ijarah
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSNMUI/IV2000 tanggal
13 April 2000 Tentang Pembiayan Ijarah ditetapkan rukun dan syarat ijarah.
Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah :
1. Mu’jar (barang yang disewakan) adalah Objek akad.
14
2. Mu’jir (yang menyewakan) adalah pihak pemilik yang menyewakan asetdan
Musta’jir (orang yang menyewa) adalah pihak yang menyewa aset dan
mu’jir/muajir (pemilik). Terdiri atas pemberi sewa yaitu lessor, pemilik aset,
Lembaga Keuangan Syariah dan penyewa yaitu Lessee, pihak yang
mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah.
3. Sighat (ijab dan qabul)adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang
berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent,
dengan cara penawaran dari pemilik aset (lembaga keuangan syariah) dan
penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).Persyaratan shighaħ
dalam ijarah juga sama dengan persyaratan shighah dalam jual beli.
Akad ijarah tidak sah bila antara ijab dan qabul tidak bersesuain,seperti tidak
bersesuain antara objek akad dan batas waktu.
Ijab disyaratkan harus jelas maksud dan isinya, baik berupa ungkapan
lisan, tulisan, isyarat maupun lainya, harus jelas jenis akad yang dikehendaki,
begitu pula qobul harus jelas maksud dan isinya akad. Dalam persoalan lafal
teknis ijarah itu sendiri, mayoritas ulama Hanafiyyah mengatakan harus
dilakukan
dengan
lafal al-ijaraħ dan
dan al-ikrah dengan
berbagai
perubahannya. Begitu juga dalam hal sewa-menyewa harus digunakan
perkataan sewa menyewa atau kata lain yang disertai indikasi yang
menunjukkan secara jelas maksud milik atas manfa’at dengan suatu imbalan.
4. Upah dan manfaat (Ma'qûd 'alayh ) dari penggunaan aset dalam ijarah adalah
objek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi
sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
15
Syarat Ijarah adalah sebagai berikut :
1. Baligh dan berakal
Dengan
syarat
berakal
ini,
yaitu ahliyatul
aqidaini (
cakap
berbuat). tidak sah akad ijarah yang dilakukan orang gila dan anak, baik ia
sebagai penyewa atau orang yang menyewakan, agar akad tersebut berlaku
mengikat dan menimbulkan konsekwensi hukum, ulama Syafi'iyyah dan
Hanabilah, untuk sahnya Ijarah, hanya mengemukakan satu syarat untuk
pelaku akad, yaitu cakap hukum (baligh dan berakal). Dalam pasal 1320
KUH Perdata Indonesia telah dijelaskan bahwa salah satu syarat dari suatu
perjanjian adalah adanya kecakapan dari orang yang melakukan perikatan.
Syarat dalam KUH perdata sama dengan syarat tamyis dari rukun pertama
akad dalam hukum islam.
2. Menyatakan kerelaan (keridhaan) untuk melakukan akad ijarah
Agar akad ijarah yang dilakukan sah, seperti juga dalam jual beli,
disyaratkan kedua belah pihak melakukan akad tersebut secara suka rela,
terbebas dari paksaan dari pihak manapun. Akad tersebut dilakukan atas dasar
paksaan, maka akad tersebut tidak sah. Sementara ijarah itu sendiri termasuk
dalam kategori tijarah, dimana di dalamnya terdapat unsur pertukaran harta.
Kalau dalam akad itu terkandung unsur paksaan, maka akad itu termasuk
dalam kategori akad fasid, berdasarkan Al-Qur’an Surat An-Nisa’ 29:
Gambar 2.2. Surat An-Nissa ayat 29
16
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”. QS. an-Nisa' (4) : 29
3. Barang yang diakadkan
Istilah teknis yang digunakan untuk benda yang di-ijaraħ-kan juga
beragam. Selain disebut dengan al-ma`jur isim maf'ul dari al-ajr, ia juga biasa
disebut dengan al-mu`jar, dan al-musta`jar. Maksudnya adalah sesuatu yang
diberikan dalam akad ijarah. Barang atau pekerjaan yang diakadkan tersebut
secara spesifik harus memenuhi persyaratan berikut:
a. Objek yang di-ijarah-kan dapat diserah terima baik manfaat
maupun bendanya, Maka tidak boleh menyewakan sesuatu yang
tidak dapat diserahterimakan. Untuk objek yang tidak berada
dalam majlis akad, dapat dideskripsikan dengan suatu keterangan
yang dapat memberikan gambaran mengenai objek. Dan orang
yang menyewakan dapat menyerahkan barang yang disewakan
kepada penyewa.
b. Manfaat dari objek yang di-ijarah-kan harus sesuatu yang
dibolehkan oleh syara’. Artinya, benda yang di-ijarah-kan itu
termasuk klasifikasi harta mutaqawwim. Seperti menyewa sawah
untuk ditanami, menyewa rumah untuk didiami daan tidak
melakukan ijarah terhadap perbuatan maksiat.
c. Manfaat dari objek yang akan di-ijarah-kan harus diketahui
sehingga perselisihan dapat dihindari. Pengetahuan kedua belah
17
pihak terhadap objek akad itu sendiri juga sangat menentukan
adanya kerelaan kedua belah pihak.
d. Obyek ijarah harus diketahui dengan jelas bentuk, ukuran, sifat,
tempat. Untuk penentuan ukuran, ukuran berat dan jarak (gram,
liter, meter dan sebagainya), bilangan (ekor untuk hewan, buah
untuk benda lain dan sebagainya).
e. Diketahui batas waktunya, awal dan akhirnya. Penentuan batas
waktu ini, biasanya mengikuti pemenggalan waktu yang diketahui
secara umum, seperti jam, hari, minggu, bulan, tahun dan
sebagainya. Imbalan terhadap benda yang disewa, harus
ditentukan batas waktunya. Menurut sebagian ulama Syafi'iyyah,
mensyaratkan batasan waktu sewa, agar tidak menyebabkan
ketidaktahuan waktu yang wajib dipenuhi.
f. Objek Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)
nya. Benda tersebut dapat dimanfa’atkan berulang kali tanpa
mengakibatkan
kerusakan
zat
dan
pengurangan
zatnya,sampai waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam
akad.
4. Upah atau Imbalan
Selain disebut ujrah, upah atau sewa dalam ijarah terkadang juga
disebut dengan al-musta`jar yaitu harta yang diserahkan pengupah kepada
pekerja sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan yang dikehendaki akad
ijarah.Untuk sahnya ijarah, sesuatu yang dijadikan sebagai upah atau imbalan
harus memenuhi syarat berikut:
18
a. Upah atau imbalan adalah sesuatu yang dianggap harta dalam
pandangan syari'at (mal mutaqawwim) dan diketahui secara jelas
jumlah, jenis dan sifatnya. Sesuatu yang berharga atau dapat
dihargai dangan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
b. Upah atau imbalan bukan manfaat atau jasa yang sama dengan
yang disewakan. Misalnya imbalan sewa rumah dengan sewa
rumah, upah mengerjakan sawah dengan mengerjakan sawah.
Dalam pandangan ulama Hanafiyyah, syarat seperti ini bisa
mengantarkan kepada praktIk riba. Dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Nasaiy dari Sa’ad Ibnu Abi Waqqash ia
berkata:
‫للا لوسر نأ صاقو نبا دعس نع‬L ‫للا ىلص‬L ‫ل ع‬. >9‫@ و‬: ‫ْي‬Dُ /‫ُآ‬
!ِ‫> * َذ‬9‫ @ و‬6‫ ا‬7 6‫ل ا‬9‫َ ر‬Iَ َ ‫ع‬
ِ ْ‫* ا َر‬
َ &ِ .‫َا‬,
َ ‫رْض ِ َ ا‬1
َ‫ا‬
‫ق‬
ٍ ‫ أوْ َو َر‬V
ٍ ‫ َه‬Wَ ِ َ Iَ ِ ْ D ‫َ أن‬Dَ &َ ‫اور( َوَا‬L ‫ دمحأ‬, ‫)ىئ اسنلاو دوادوبأ‬
“Dulu kami biasa menyewakan tanah dengan bayaran hasil dari
bagian tanah yang dekat dengan sungai dan tanah yang banyak
mendapat air. Maka Rasulullah SAW melarang kita dari itu, dan
menyuruh kita untuk menyewakan tanah dengan bayaran emas
atau perak.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Nasyaiy)
c. Jika menyewa barang, maka uang sewa dibayar pada akad sewa,
kecuali ada bila dalam akad ditentukan lain.
2.1.3. Jenis-jenis Ijarah
Pembagian ijaraħ biasanya dilakukan dengan memperhatikan objek ijarah
tersebut. Ditinjau dari segi objeknya, akad ijarah dibagi ulama fiqih menjadi dua
macam, yaitu:
19
1. Ijarah manfaat (Al-Ijarah ala al-Manfa’ah), hal ini berhubungan dengan sewa
jasa, yaitu memperkerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa
yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut musta’jir, pihak pekerja
disebut ajir, upah yang dibayarkan disebut ujrah. Misalnya, sewa menyewa
rumah, kendaraan, pakaian dan lain-lain. Dalam hal ini mu’jir mempunyai
benda-benda tertentu dan musta’jir butuh benda tersebut dan terjadi
kesepakatan antara keduanya, di mana mu’jir mendapatkan imbalan tertentu
dari musta’jir dan musta’jir mendapatkan manfaat dari benda tersebut.
2. Ijarah yang bersifat pekerjaan (Al-Ijarah ala Al-‘Amal), hal ini berhubungan
dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari
aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa.
Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) di bisnis konvensional.
Artinya, ijarah ini berusaha mempekerjakan seseorang untuk melakukan
sesuatu. Mu’jir adalah orang yang mempunyai keahlian, tenaga, jasa dan lainlain, kemudian musta’jir adalah pihak yang membutuhkan keahlian, tenaga
atau jasa tersebut dengan imbalan tertentu. Mu’jir mendapatkan upah (ujrah)
atas tenaga yang ia keluarkan untuk musta’jir dan musta’jir mendapatkan
tenaga atau jasa dari mu’jir. Misalnya, yang mengikat bersifat pribadi adalah
menggaji seorang pembantu rumah tangga, sedangkan yang bersifat serikat,
yaitu sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang
banyak. (Seperti; buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang
sepatu.
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan
syari’ah, sedangkan ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi
atau pembiayaan di perbankan syari’ah. Selain dua jenis pembagian di atas,
20
dalam akad ijarah juga ada yang dikenal dengan namanya akad al-ijarah
muntahiya bit tamlik (sewa beli), yaitu transaksi sewa beli dengan perjanjian
untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi
ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa. Dalam akad ini musta’jir samasama dapat mempergunakan obyek sewa untuk selamanya. Akan tetapi keduanya
terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut ada dalam akad yang dilakukan di awal
perjanjian. Karena akad ini sejenis perpaduan antara akad jual beli dan akad
sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan penyewa
atas barang yang disewa melalui akad yang dilaksanakan kedua belah pihak.
2.2. PSAK 107 Akuntansi Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu aset dalam
waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan aset. Ijarah muntahiyah bittamlik adalah ijarah dengan wa’ad
perpindahan kepemilikan obyek ijarah pada saat tertentu. Nilai wajar adalah jumlah
yang dipakai untuk mempertukarkan suatu aset antara pihak-pihak yang berkeinginan
dan memiliki pengetahuan memadai dalam suatu transaksi dengan wajar (arms
length transaction). Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan aset berwujud atau
tidak berwujud. Umur manfaat adalah suatu periode dimana aset diharapkan akan
digunakan atau jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh
dari aset. Wa’ad adalah janji dari satu pihak kepada pihak lain untuk melaksanakan
sesuatu.
2.2.1. Karakteristik PSAK 107
Ijarah merupakan sewa-menyewa obyek ijarah tanpa perpindahan risiko dan
manfaat yang terkait kepemilikan aset terkait, dengan atau tanpa wa’ad untuk
21
memindahkan kepemilikan dari pemilik (mu’jir) kepada penyewa (musta’jir) pada
saat tertentu.
Perpindahan kepemilikan suatu aset yang diijarahkan dari pemilik kepada
penyewa, dalam ijarah muntahiyah bittamlik, dilakukan jika seluruh pembayaran
sewa atas objek ijarah yang dialihkan telah diselesaikan dan obyek ijarah telah
diserahkan kepada penyewa dengan membuat akad terpisah secara:
a) Hibah
b) penjualan sebelum akad berakhir sebesar sebanding dengan sisa cicilan sewa
atau harga yang disepakati
c) penjualan pada akhir masa ijarah dengan pembayaran tertentu sebagai
referensi yang disepakati dalam akad atau
d) penjualan secara bertahap sebesar harga tertentu yang disepakati dalam akad.
Pemilik dapat meminta penyewa untuk menyerahkan jaminan atas ijarah
untuk menghindari risiko kerugian. Jumlah, ukuran, dan jenis obyek ijarah harus
jelas diketahui dan tercantum dalam akad.
2.2.2. Pengakuan dan Pengukuran PSAK 107
1. Akuntansi Pemilik (Mu'jir)
a. Biaya Perolehan
Obyek ijarah diakui pada saat obyek ijarah diperoleh sebesar biaya
perolehan. Biaya perolehan obyek yang berupa aset tidak berwujud mengacu
ke PSAK 19: Aset Tidak Berwujud.
22
b. Penyusutan
Obyek ijarah, jika berupa aset yang dapat disusutkan atau
diamortisasi, sesuai dengan kebijakan penyusutan atau amortisasi untuk aset
sejenis selama umur manfaatnya (umur ekonomis).
Kebijakan
penyusutan
atau
amortisasi
yang
dipilih
harus
mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa
depan dari obyek ijarah. Umur ekomonis dapat berbeda dengan umur teknis.
Misalnya, mobil yang dapat dipakai selama 10 tahun diijarahkan dengan akad
ijarah muntahiyah bittamlik selama 5 tahun. Dengan demikian umur
ekonomisnya adalah 5 tahun.
Pengaturan penyusutan obyek ijarah yang berupa aset tetap sesuai
dengan PSAK 16: Aset Tetap dan amortisasi aset tidak berwujud sesuai
dengan PSAK 19: Aset Tidak Berwujud.
c. Pendapatan dan Beban
Pendapatan sewa selama masa akad diakui pada saat manfaat atas aset
telah diserahkan kepada penyewa. Piutang pendapatan sewa diukur sebesar
nilai yang dapat direalisasikan pada akhir periode pelaporan. Pengakuan
biaya perbaikan obyek ijarah adalah sebagai berikut:
a) biaya perbaikan tidak rutin obyek ijarah diakui pada saat
terjadinya
b) jika penyewa melakukan perbaikan rutin obyek ijarah dengan
persetujuan pemilik, maka biaya tersebut dibebankan kepada
pemilik dan diakui sebagai beban pada saat terjadinya dan
c) dalam ijarah muntahiyah bittamlik melalui penjualan secara
bertahap, biaya perbaikan obyek ijarah yang dimaksud dalam
23
huruf (a) dan (b) ditanggung pemilik maupun penyewa sebanding
dengan bagian kepemilikan masing-masing atas obyek ijarah.
d) Biaya perbaikan obyek ijarah merupakan tanggungan pemilik.
Perbaikan tersebut dapat dilakukan oleh pemilik secara langsung
atau dilakukan oleh penyewa atas persetujuan pemilik.
d. Perpindahan Kepemilikan
Pada saat perpindahan kepemilikan objek ijarah dari pemilik kepada penyewa
dalam ijarah muntahiyah bittamlik dengan cara:
a) hibah, maka jumlah tercatat objek ijarah diakui sebagai beban
b) penjualan sebelum berakhirnya masa, sebesar sisa cicilan sewa atau
jumlah yang disepakati, maka selisih antara harga jual dan jumlah
tercatat objek ijarah diakui sebagai keuntungan atau kerugian
c) penjualan setelah selesai masa akad, maka selisih antara harga jual
dan jumlah tercatat objek ijarah diakui sebagai keuntungan atau
kerugian atau
d) penjualan objek ijarah secara bertahap, maka:
I.
selisih antara harga jual dan jumlah tercatat sebagian objek
ijarah yang telah dijual diakui sebagai keuntungan atau
kerugian; sedangkan
II.
bagian objek ijarah yang tidak dibeli penyewa diakui sebagai
aset tidak lancar atau aset lancar sesuai dengan tujuan
penggunaan aset tersebut.
24
2. Akuntansi Penyewa (Musta'jir)
a. Beban
Beban sewa diakui selama masa akad pada saat manfaat atas aset telah
diterima. Utang sewa diukur sebesar jumlah yang harus dibayar atas
manfaat yang telah diterima. Biaya pemeliharaan obyek ijarah yang
disepakati dalam akad menjadi tanggungan penyewa diakui sebagai beban
pada saat terjadinya.
Biaya pemeliharaan obyek ijarah, dalam ijarah muntahiyah bittamlik
melalui penjualan obyek ijarah secara bertahap, akan meningkat sejalan
dengan peningkatan kepemilikan obyek ijarah.
b. Perpindahan Kepemilikan
Pada saat perpindahan kepemilikan objek ijarah dari pemilik kepada
penyewa dalam ijarah muntahiyah bittamlik dengan cara:
a. hibah, maka penyewa mengakui aset dan keuntungan sebesar nilai
wajar objek ijarah yang diterima
b. pembelian sebelum masa akad berakhir, maka penyewa mengakui
aset sebesar pembayaran sisa cicilan sewa atau jumlah yang
disepakati
c. pembelian setelah masa akad berakhir, maka penyewa mengakui
aset sebesar pembayaran yang disepakati; atau
d. pembelian objek ijarah secara bertahap, maka penyewa mengakui
aset sebesar biaya perolehan objek ijarah yang diterima.
c. Jual dan Ijarah
Transaksi jual-dan-ijarah harus merupakan transaksi yang terpisah dan
tidak saling bergantung (ta’alluq) sehingga harga jual harus dilakukan
25
pada nilai wajar. Jika suatu entitas menjual obyek ijarah kepada entitas
lain dan kemudian menyewanya, maka entitas tersebut mengakui
keuntungan atau kerugian pada periode terjadinya penjualan dalam
laporan laba rugi dan menerapkan perlakuan akuntansi penyewa.
Keuntungan atau kerugian yang timbul dari transaksi jual dan ijarah
tidak dapat diakui sebagai pengurang atau penambah beban ijarah. Jika
suatu entitas menyewakan lebih lanjut kepada pihak lain atas aset yang
sebelumnya disewa dari pemilik, maka entitas tersebut menerapkan
perlakuan akuntansi pemilik dan akuntansi penyewa dalam PSAK ini.
Perlakuan akuntansi penyewa diterapkan untuk transaksi antara entitas
(sebagai penyewa) dengan pemilik, dan perlakuan akuntansi pemilik
diterapkan untuk transaksi antara entitas (sebagai pemilik) dengan pihak
penyewa lanjut.
2.2.3. Penyajian dan Pengungkapan PSAK 107
Pendapatan ijarah disajikan secara neto setelah dikurangi beban-beban yang
terkait, misalnya beban penyusutan, beban pemeliharaan dan perbaikan, dan
sebagainya. Pemilik mengungkapkan dalam laporan keuangan terkait transaksi ijarah
dan ijarah muntahiyah bittamlik, tetapi tidak terbatas, pada:
a. penjelasan umum isi akad yang signifikan yang meliputi tetapi tidak
terbatas pada
b. keberadaan wa’ad pengalihan kepemilikan dan mekanisme yang
digunakan (jika ada wa’ad pengalihan kepemilikan)
c. pembatasan-pembatasan, misalnya ijarah
d. agunan yang digunakan (jika ada);
26
nilai perolehan dan akumulasi penyusutan untuk setiap kelompok aset ijarah
dan keberadaan transaksi jual dan ijarah (jika ada).
Penyewa mengungkapkan dalam laporan keuangan terkait transaksi ijarah
dan ijarah muntahiyah bittamlik, tetapi tidak terbatas, pada:
a. penjelasan umum isi akad yang signifikan yang meliputi tetapi tidak
terbatas pada:
i.
total pembayaran
ii.
keberadaan wa’ad pemilik untuk pengalihan kepemilikan dan
mekanisme yang digunakan (jika ada wa’ad pemilik untuk
pengalihan kepemilikan)
iii.
pembatasan-pembatasan, misalnya ijarahlanjut;
iv.
agunan yang digunakan (jika ada)
b. keberadaan transaksi jual-dan-ijarah dan keuntungan atau kerugian yang
diakui (jika ada transaksi jual dan ijarah).
2.2.4. Tanggal Efektif dan Penarikan PSAK 107
Pernyataan ini berlaku untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan
entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2009. Penerapan lebih dini
dianjurkan. Jika entitas menerapkan Pernyataan ini untuk periode yang dimulai
sebelum 1 Januari 2009, maka fakta tersebut harus diungkapkan.
Pernyataan ini menggantikan PSAK 59: Akuntansi Perbankan Syariah, yang
berhubungan dengan perlakuan akuntansi untuk pengakuan, pengukuran, penyajian
dan pengungkapan atas transaksi ijarah.
27
2.3. Pengertian Sukuk
Sukuk bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah sukuk
sudah dikenal sejak abad pertengahan yang lalu. Umat Islam menggunakannya dalam
konteks perdagangan internasional di berbagai wilayah yang dikuasai oleh
pemerintahan Islam. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk ataupun sakaik.
Pengertian yang tepat untuk sukuk adalah suatu sertifikat investasi.
Sukuk dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen
yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan
aktivitas komersial lainnya. Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki
concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah
yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi
sesuatu
yang
lazim
dipergunakan
dalam
transaksi
dunia
perbankan
kontemporer.Sukuk merupakan surat berharga dengan prinsip syariah.
Para pemilik sukuk menanggung seluruh biaya perawatan dan kerusakan dari
aset yang dimilki berdasarkan proporsi kepemilikan mereka. Dalam struktur yang
ada di dalam sukuk, investor dari sukuk akan mendapatkan keuntungan sebagai
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari aset yang melandasi sukuk. Sebagai
konsekuensi keuntungan yang didapatkan oleh investor sukuk harus dibagi kepas
sesama investor sukuk tersebut.
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Intitutions
(AAOIFI), secara umum sukuk didefinisikan sebagai sertifikat dengan nilai yang
sama yang mewakili bagian kepemilikan yang sepenuhnya terhadap aset yang nyata
(tangible). Dengan manfaat dan jasa atau kepemilikan dari aset suatu proyek ataupun
investasi yang khusus.
28
Pengertian sukuk dapat menunjukkan sifat-sifat sukuk yang disimpulkan
sebagai berikut :
1. Sukuk dapat diperdagangkan. Sukuk dapat diperdagangkan di pasar modal
karena sukuk mewakili pihak yang memiliki suatu aset secara jelas.
Manfaat dari aset tersebut dan dapat diperdagangkan pada harga pasar.
2. Sukuk dapat diperingkatkan. Sebagai surat berharga di pasar modal, maka
sukuk dapat diperingkat oleh lembaga pemeringkat international, seperti
Moody’s dan Standard & Poor’s.
3. Sukuk dapat ditambah. Sebagai tambahan terhadap aset utama dan juga
kegiatan bisnis, maka sukuk dapat dijaminkan dengan aset lain yang sesuai
syariah.
4. Sukuk memiliki fleksibilitas terhadap hukum. Sukuk dapat distriktur dan
juga ditawarkan secara nasional dan internasional.
2.3.1. Karakteristik Sukuk
Instrumen sukuk pada prinsipnya mirip seperti obligasi konvensional, dengan
perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil
sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction)
berupa sejumlah aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk dan adanya aqad atau
perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain
itu, sukuk harus distruktur secara syariah agar instrumen keuangan ini aman dan
terbebas dari riba,gharar, dan maysir. Karakteristik sukuk secara internasional,
yaitu:
1. merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat
(beneficial title);
29
2. pendapatan berupa imbalan (kupon), margin, dan bagi hasil, sesuai jenis
aqad yang digunakan;
3. terbebas dari unsur riba,gharar, dan maysir;
4. penerbitan melalui special purpose vehicle (SPV);
5. memerlukan underlying asset;
6. penggunaan proceeds harus sesuai prinsip syariah.
Di indonesia, penerbitan sukuk dilakukan melalui negara, dengan adanya
instrumen Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diterbitkan dengan prinsip
syariah. SBSN merupakan bukti atas penyertaan aset dari surat berharga syariah
negara yang diterbitkan serta dibeli oleh investor individu ataupun lembaga.
2.3.2. Pengertian Sukuk Ijarah
Sukuk Ijarah merupakan surat berharga yang merepresentasikan kepemilikan
penyertaan atas asset yang disewakan. Sukuk ini memberikan hak kepada para
pemegangnya untuk mendapatkan uang sewa serta hak untuk mengalihkan
kepemilikan berdasarkan penyertaan yang mereka miliki tanpa mempengaruhi hak si
penyewa, dengan kata lain sukuk ini dapat diperjual belikan. Aset yang mengikuti
pada kontrak sewa beli dimana return akan diberikan pada pemegang sukuk.
Sukuk ijarah merupakan sukuk yang memiliki tingkat fleksibilitas yang
tinggi. Pembayaran dari sewa ijarah tidak akan berkaitan dengan periode
pengambilan manfaat oleh penyewa. Tingkat fleksibilitas ini dapat dipakai untuk
mengubah bentuk-bentuk yang berbeda dari tingkat kontrak dan sukuk dapat
disesuaikan untuk suatu tujuan yang berbeda dari pihak penerbit dan juga investor
sukuk.
30
Sukuk ijarah memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Sukuk dengan akad ijarah sangat penting bahwa aset yang disewa
maupun jumlah yang disewa diketahui dengan jelas oleh para pihak yang
terkait dalam kontrak ijarah kedua belah pihak. Hal ini disebutkan dalam
standar AAOIFI yang berkaitan dengan sukuk ijarah. Pihak yang
melakukan penjualan aset yang disewa asalkan hal tersebut tidak
menghalangi penyewa untuk dapat merasakan manfaat aset yang disewa.
2. Kontrak sewa-menyewa dalam akad ijarah harus ditetapkan secara jelas,
baik dalam bentuk sewa beli, maupun bila terjadi kemungkinan
perubahan di masa depan. Termasuk dalam hal ini adalah kemungkinan
terjadinya perubahan tingkat return yang mungkin akan terjadi terhadap
sukuk tersebut.
3. Dalam sukuk ijarah, berbagai pengeluaran yang berhubungan dengan
karakter utama dari aset tetap menjadi menjadi tanggung jawab dari
pemilik aset tersebut, sementara pengeluaran yang berhubungan dengan
operasional menjadi tanggung jawab dari pihak penyewa. Sebagai
akibatnya, tingkat pendapatan dari sukuk ijarah bisa menjadi tidak pasti.
Meskipun begitu, kegiatan sewa menyewa ini dapat disetujui oleh pihakpihak yang terkait dengan kegiatan tersebut, di mana terdiri dari dua
bagian. Satu bagian untuk pembayaran kepada pihak lain, dan bagian
yang lain lagi sebagai pembayaran pada rekening yang dilakuka oleh
penyewa untuk biaya-biaya tertentu yang berhubungan dengan pemilik
aset.
31
4. Dalam penerbitan sukuk ijarah, pihak SPV perlu diciptakan untuk
melakukan pembelian aset dari pihak yang melakukan pengeluaran sukuk
kepada investor. Dengan begitu dapat dimungkinkan adanya dana untuk
melakukan pembayaran atas pembelian aset tersebut. Aset tersebut lalu
dapat disewakan kepada pihak pemerintah atau juga pihak lain yang akan
menggunakannya. Pihak penyewa akan melakukan pembayaran sewa
kepada SPV yang selanjutnya akan melakukan pembayaran return kepada
para investor sukuk.
Dalam sukuk ijarah, dikenal konsep sukuk ijarah dengan kontrak jual dan
sewa kembali (sale and leaseback). Konsep jual dan sewa kembali dipandang tidak
bertentangan secara syariah, dan merupakan salah satu bukti bahwa akad ijarah juga
bersifat fleksibel.
Sukuk ijarah memiliki kontrak yang mendasarinya adalah ijarah yaitu sewa
menyewa (leasing), ketentuan transaksi bisnis syariah yang membedakannya dengan
ketentuan transaksi bisnis konvensional, kegiatan sukuk ijarah tidak boleh
bertentangan dengan syariah seperti :
a. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan
yang dilarang.
b. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan
dan asuransi konvensional.
c. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan
makanan dan minuman haram.
d. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan
barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat
(Fatwa No. 20 DSN-MUI/IV/2001). Selain itu, keuntungan yang akan
32
dibagikan oleh penerbit sukuk ijarah harus bersumber dari hasil
usaha/pengelolaan sukuk ijarah itu sendiri.
Untuk dapat melakukan kontrak sukuk berbasis ijarah, para investor, penerbit
sukuk dan pihak terkait lainnya wajib memenuhi sejumlah persyaratan tertentu.
Pertama, kedua belah pihak yang akan melakukan akad harus berkemampuan dan
berakal. Kedua, akil baligh sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Asy Syafi'i dan
Hambali. Sehingga berakad dengan anak kecil dinyatakan tidak sah. Kemudian, agar
transaksi berbasis ijarah tersebut menjadi sah (valid), diperlukan pula sejumlah
ketentuan tambahan.
Pertama, adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan akad
sebagaimana Firman Allah SWT pada Surah An-Nisa ayat 29. Kedua, mengetahui
secara sempurna manfaat dari barang yang menjadi objek akad antara lain untuk
mencegah terjadinya perselisihan.
Ketiga, barang atau asset yang menjadi objek
akad dapat dimanfaatkan sesuai dengan kriteria, realita dan syara. Imam Hanafi
menambahkan bahwa menyewakan barang yang tidak dapat dibagi (tidak dalam
keadaan lengkap) tidak dapat diperbolehkan, sebab manfaat kegunaannya tidak dapat
ditentukan. Keempat, aset tersebut sudah jelas, nyata dan dimiliki penerbit sukuk
sehingga dapat disewakan untuk diambil manfaatnya.
Menyewakan binatang buruan (masih dalam perburuan), tanah tandus atau
menyewakan binatang lumpuh yang tidak dapat diserahkan tidak dibenarkan secara
syariah karena tidak mendatangkan kegunaan yang menjadi obyek dari akad ini.
Terakhir, sewa-menyewa yang dilakukan bukan untuk sesuatu yang diharamkan.
Menyewakan asset yang akan digunakan untuk memproduksi minuman keras, tempat
berjudi, dan tempat yang diharamkan tidak dibenarkan dalam syariah dan kontrak
ijarah yang dilakukan menjadi ijarah fasid.
33
Hal terakhir yang spesifik dan layak diketahui dari sukuk ijarah adalah
kontrak ini dapat diperjualbelikan di pasar modal dengan harga yang ditentukan oleh
kekuatan pasar. Kegiatan ekonomi, investasi serta risiko yang berhubungan dengan
kesanggupan penyewa untuk membayar harga sewa serta biaya penjaminan dan
pemeliharaan asset menentukan harga sukuk ijarah di pasar keuangan. Namun
demikian, sukuk ijarah menawarkan bentuk surat berharga suatu yang fleksible dan
marketable dibandingkan jenis sukuk lainnya. (Muhammad Fadlillah)
2.4. Ijarah dalam Hukum Perdata Indonesia
Dalam hukum positif di Indonesia bahwa sewa-menyewa sudah diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dari mulai pasal 1548 KUH Perdata sampai
dengan pasal 1600 KUH perdata. Dalam pasal
1548 dijelasakan bahwa Sewa-
menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri
untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu
tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut
terakhir itu. Orang dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik yang tetap maupun
yang bergerak.
Dalam hukum perdata Indonesia, bahwa perjanjian yang sah adalah
perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Menutut ketentuan pasal 1320 KUH perdata, syarat sah perjanjian adalah:
1. adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian,
2. adanya kecakapan,
3. adanya suatu hal tertentu (objek),
4. adanya causa yang halal
34
Dalam hukum perdata Indonesia, sarat sah perjanjian hampir sama dengan rukun
dan syarat dari akad ijarah atau sewa-menyewa, sehingga perjanjian yang tidak
memenuhi syarat-syarat tersbut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh
pihak-pihak yang membuatnya. Apabila sampai suatu ketika terjadi suatu sengketa,
maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal. Dalam KUH
perdata Indonesia dijelaskan dalam pasal 1598, jika setelah berakhirnya suatu sewa
yang dibuat tertulis, penyewa tetap menguasai barang sewa dan dibiarkan
menguasainya, maka akibat-akibat sewa yang baru diatur menurut ketentuan pasal
yang lalu.
Peraturan tentang sewa-menyewayang termuat dalam bab ketujuh dari buku III
BW. Berlaku untuk segala macam sewa-menyewa, mengenai semua jenis barang,
baik bergerak maupun tak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang
tidak memakai waktu tertentu, oleh karena "waktu tertentu" bukan syarat mutlak
untuk perjanjian sewa-menyewa. Tentang harga-sewa kalau dalam jual beli harga
harus berupa uang, karena kalau berupa barang perjanjiannya bukan jual-beli lagi
tetapi menjadi tukar-rnenukar, tetapi dalam sewa- menyewa tidaklah menjadi
keberatan bahwa harqa-sewa itu berupa barang atau jasa.
Adapun hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima sewa yang telah
ditentukan, sedangkan Pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban :
1. menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa,
2. memelihara barang yang disewakan sedemikian hingga itu dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksudkan,
3. memberikan kepada penyewa kenikmatan tenteram dari barang yang
disewakan selama berlangsungnya persewaan.
35
Sedangkan hak dari penyewa adalah menerima barang yang disewakan dalam
keadaan baik, bagi penyewa ada dua kewajiban utama, yaitu:
1. memakai barang yang disewa dengan baik, sesuai dengan tujuan yang
diberikan kepada barang itu menurut perjanjian-sewanya,
2. membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut
perjanjian.
36
Download