7 selektivitas mata jaring experimental crib 4 cm

advertisement
101
7
7.1
SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB
4 CM PADA CRIB SERO
PENDAHULUAN
Perairan pantai yang terdiri dari berbagai ekosistem seperti lamun, terumbu
karang, mangrove, dan muara sungai memiliki berbagai peran sebagai darerah
pemijahan, perlindungan, pembesaran, dan tempat mencari makanan. Oleh karena
itu daerah penangkapan sero di pantai dihuni oleh berbagai jenis dan ukuran biota
laut termasuk ikan yang menjadi target penangkapan. Sero yang dioperasikan
dengan ukuran tertentu jelas memiliki selektivitas tertentu dan sangat besar
kemungkinannya bervariasi menurut spesies dan habitat. Sero dengan ukuran
mata jaring tertentu dapat saja selektif terhadap salah satu jenis ikan tertentu tetapi
tidak selektif terhadap jenis ikan lainnya pada habitat tertentu. Hal ini disebabkan
perbedaan persebaran ukuran berdasarkan habitat. Sehubungan dengan hal itu
maka kajian mengenai selektivitas sero yang mengkaji secara simultan
berdasarkan jenis ikan dan habitat daerah penangkapan sero sangat penting
dilaksanakan agar dapat menentukan tingkat selektivitas sero terhadap jenis ikan
berdasarkan habitat yang ada di perairan pantai.
Kajian mengenai selektivitas sero yang ada saat ini umumnya terbatas pada
habitat tertentu saja dan sangat jarang melihat sekaligus berdasarkan jenis dan
habitat daerah penangkapan alat tangkap sero. Mengkaji selektivitas mata jaring
sero pada beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap pada 3 (tiga) tipe habitat
di perairan pantai Pitumpanua maka diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai kesesuaian ukuran mata jaring dengan lokasi pemasangan sero di pantai
sehingga dari aspek selektivitas mata jaring sero tetap ramah terhadap lingkungan.
Apalagi dalam penelitian ini secara serentak juga dilihat perbandingan hasil
tangkapan pada ketiga tipe habitat tersebut.
Hasil analisis selektivitas yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi
referensi dan pertimbangan dalam regulasi operasional sero di perairan pantai
khususnya kelayakan ukuran mata jaring dan habitat daerah pemasangannya.
Meskipun dalam penelitian ini hanya menggunakan satu jenis ukuran mata jaring,
namun dapat menunjukkan bahwa apakah ukuran yang digunakan sebaiknya
ditingkatkan agar dapat selektif terhadap salah satu atau beberapa jenis ikan yang
102
dominan tertangkap apabila sero akan dipasang di muara sungai, perairan di
sekitar mangrove atau lamun.
Pemasangan alat tangkap sero maupun penggunaan bahan alat tangkap
sero oleh nelayan di perairan pantai Pitumpanua tidak didasari pertimbangan yang
cermat. Hal ini disebabkan karena selain kurangnya sosialisasi dari pemerintah
setempat, juga karena tidak adanya dasar kebijakan yang tepat untuk pengelolaan
perikanan sero di daerah ini. Selama ini penangkapan sero di perairan pantai
Pitumpanua berlangsung terus menerus sepanjang tahun dengan menggunakan
mata jaring ukuran yang sangat kecil (0,5 cm). Bila hal tersebut dibiarkan, maka
tentunya berdampak pada berkurangnya stok sumberdaya pada masa akan datang,
karena dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil tentunya ikan-ikan muda
tidak dapat meloloskan diri untuk berkembang biak sebelum ditangkap. Parahnya
lagi karena alat tangkap ini di pasang pada daerah pantai yang merupakan daerah
pemijahan dan pembesaran bagi juvenile berbagai jenis ikan dan biota lainnya.
Kajian ini bertujuan untuk menghitung proporsi ukuran layak tangkap setiap
jenis ikan yang tertangkap pada experimental crib dan menganalisis L50%, setiap
jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua
Kabupaten Wajo Teluk Bone. Manfaat yang diharapkan yaitu sebagai dasar untuk
menentukan kebijakan pengelolaan perikanan dalam hal pengaturan mata jaring
yang selektif pada daerah penangkapan sero sehingga sumberdaya perikanan
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
7.2
METODE PENELITIAN
7.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan pembuatan desain kantong bunuhan (experimental crib)
dilakukan pada tanggal 18 Nopember 2010 – 10 Januari 2011. Experimental
fishing dilakukan pada tanggal 15 Januari – 14 Mei 2011 di perairan pantai
Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.
103
7.2.2 Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan desain experimental crib
dan experimental fishing adalah sebagai berikut :
Tabel 13 Jenis alat dan bahan yang digunakan pembuatan desain experimental
crib dan experimental fishing selama penelitian
No Alat dan bahan
Jumlah
Kegunaan
Pembuatan desain experimental crib
1
2
3
4
5
6
Jaring trawl D12x11/2
Benang trawl D9
Coban
Tali nilon no 4 dan 5
Gunting
Meteran
7,7 kg
4 rol
4 buah
4 kg
1 buah
1 buah
Desain jaring pengukuran selektivitas
Benang jahit pembuatan experimental crib
Untuk menjurai /menjahit jaring
Tali ris experimental crib
Untuk keperluan memotong benang
Untuk pengukuran
1 unit
3 unit
3 buah
2 kg
4 buah
1 buah
*
3 buah
1 unit
1 buah
*
*
*
Sebagai sarana transportasi
Experimental fishing
Mengambil hasil tangkapan
Tali kolor experimental crib
Mengukur panjang ikan
Mengukur mata jaring dan waring
Tempat hasil tangkapan yang sudah disortir
Penyimpanan hasil tangkapan
Menimbang sampel ikan per ekor
Pengambilan gambar
Mengetahui jenis ikan
Mencatat data
Digunakan di lapangan
Kegiatan experimental fishing
Perahu motor
Sero
Serok
Tali nilon no 4 dan 5
Measuring Board
Mikrometer skrup (caliper)
Plastik sample
Cool Box/kulkas
Timbangan Analitik
Kamera digital
Buku identifikasi ikan
Alat tulis/data sheet
Alat bantu lainnya
7.2.3 Percobaan Penangkapan Ikan
Kegiatan percobaan penangkapan dilakukan melalui beberapa tahapan
yaitu : tahapan desain experimental crib, tahapan pembuatan experimental crib,
tahapan pemasangan experimental crib, dan tahapan proses pengambilan hasil
tangkapan. Hasil tangkapan yang didapatkan dari experimental crib dan cover-net
dianalisis untuk melihat sejauhmana kesesuaian mata jaring yang diujicobakan
pada ketiga habitat.
7.2.3.1 Tahapan desain experimental crib
Percobaan pada alat tangkap sero ini hanya pada bagian bunuhan yang
dimodifikasi dengan cara ketiga sero yang telah ditentukan pada daerah
penangkapan berbeda diberikan experimental crib yang ukuran mata jaringnya
104
sama yaitu 4 cm yang berfungsi sebagai bunuhan percobaan sedangkan jaring
bunuhan aslinya berfungsi sebagai cover-net. Ukuran dari experimental crib
tersebut yaitu panjang dan lebar jaringnya 2 m x 2 m, sedangkan crib asli
berukuran 4 m x 5 m. Jarak dinding experimental crib dengan dinding cover-net
sebelah kiri dan kanan yaitu 0,5 m, bagian belakang 1 m dan bagian depan
berhimpit sedangkan bagian dasar atau bawah experimental crib dengan cover-net
jaraknya 0,5 m.
Gambar 17 Proses pembuatan desain experimental crib sero.
105
5 m
C r ib
a s li
1 m
2 m
E x p e rim e n t a l c rib
0 .5 m
4 m
A
2 m
0 .2 m
2 .5 m
B
3 m
0 .5 m
1 m
3 .5 m
C
0 .7 m
1 m
20 m
D
2 m
10
E
m
100 m
A = B
E
C
B = P
C = B
D = S
E = P
u n u h a n ( c r ib )
x p . C r ib
r ib a s l i
e ru t ( b e l l y )
a da n (b o d y )
a y a p ( w in g )
e n a ju
Gambar 18 Desain experimental crib pada alat tangkap sero.
7.2.3.2 Tahapan pembuatan experimental crib
Tahapan pembuatan experimental crib pada alat tangkap sero adalah
sebagai berikut :
(1) Bahan yang digunakan adalah jaring trawl yang terbuat dari polyethylen
berwarna hijau dengan ukuran mata jaring 4 cm.
(2) Semua jaring tersebut dilakukan pemotongan secara all bar dengan ukuran
setiap lembar jaring 2 m
(3) Jumlah lembaran jaring yang diperlukan untuk satu experimental crib yaitu
5 lembaran dengan ukuran yang sama besar
(4) Tiap lembaran jaring dijurai membentuk empat persegi panjang dengan
ukuran (p x l x t) 2 m x 2 m x 3 m, yang berfungsi sebagai experimental crib.
(5) Setiap pinggiran jaring yang telah digunting diberikan tali ris sebagai penguat
jaring dimana diameter tali sebesar 0,5 cm
106
(6) Pada bagian depan jaring experimental crib dan cover-netnya dibuatkan
mulut yang berfungsi sebagai pintu masuk ikan dengan lebar pintu yaitu
0,2 m
(7) Semua sudut jaring dan bagian depan jaring diberikan tali penarik yang
berfungsi untuk mengencangkan experimental crib, agar jaring tertata dengan
sempurna bila dipasang di perairan.
7.2.3.3 Tahapan pemasangan experimental crib
Tahapan pemasangan experimental crib pada bagian bunuhan sero adalah
sebagai berikut :
(1) Experimental crib yang telah dibuat dipasang pada bagian dalam bunuhan
asli dalam hal ini yang berfungsi juga sebagai cover-net yang terbuat dari
waring dengan mata jaring 0,5 cm dengan ukuran 4 m x 5 m x 3,5 m
(2) Bagian mulut experimental crib dipasang sejajar dengan mulut cover-net
(3) Tali penarik yang dipasang pada bagian bawah dan sudut experimental crib
melalui sisi cover-net, kemudian tali penarik tersebut dikencangkan dan diikat
pada tiang yang terpancang pada sisi cover-net tersebut
(4) Jaring experimental crib yang dipasang diberikan jarak, baik dari sisi depan,
belakang, kiri dan kanan serta sisi bagian bawah, agar ikan diharapkan untuk
memberikan ruang gerak untuk meloloskan diri keluar dari jaring
experimental crib bila ukuran girth maximum ikan tersebut lebih kecil dari
ukuran mata jaring dari experimental crib
(5) Jaring experimental crib dan cover net dari bagian sisi depan berhimpit dan
sisi belakang berjarak 1 m, sedangkan bagian sisi kanan dan kiri yaitu 0,5 m,
begitu pula dengan sisi bagian bawah jaraknya dari cover-net yaitu 0,5 m.
(6) Setelah proses pemasangan experimental crib telah selesai semua tali penarik
dari tiap sudut experimental crib yang melewati sisi cover-net, dikencangkan
dengan cara ditarik agar experimental crib tertata dengan sempurna atau tidak
kendur, kemudian diikat pada tiang yang telah dipasang di samping cover-net.
107
Gambar 19 Pemasangan jaring experimental crib pada alat tangkap sero.
7.2.3.4 Tahapan pengambilan hasil tangkapan
Tahapan pengambilan hasil tangkapan pada experimental crib pada bagian
bunuhan sero adalah sebagai berikut :
(1) Kegiatan pengambilan hasil tangkapan sero dilakukan hanya sekali sehari
yaitu pada pagi hari
(2) Pelaksanaan hauling dilakukan di atas bunuhan sero dengan cara yaitu semua
tali kolor baik dari tali kolor dari experimental crib (cod-end) maupun tali
cover-net dibuka secara bersamaan dengan perlahan-lahan.
(3) Mulut depan bunuhan diangkat terlebih dahulu secara bersamaan baik itu codend maupu cover-net dengan tujuan agar ikan-ikan tidak bisa lagi meloloskan
diri keluar dari tempat dimana ikan tersebut tersaring/tertahan.
(4) Perlahan-lahan kedua jaring tersebut diangkat sampai ketinggian air dalam
jaring sekitar 80 cm.
(5) Hasil tangkapan pada cod-end terlebih dahulu diambil dengan menggunakan
serok (bunre’), disusul hasil tangkapan pada cod-end sero. Hasil tangkapannya
dipisahkan.
108
(6) Setelah pengambilan hasil tangkapan selesai, jaring kembali dibuang/dipasang
untuk proses penangkapan selanjutnya.
(7) Kegiatan penangkapan berlangsung pada 3 (tiga) unit sero pada daerah
penangkapan yang berbeda.
7.2.4 Metode Pengukuran
Metode pengukuran untuk menentukan kesesuaian mata jaring sero pada
3 (tiga) daerah penangkapan dilakukan dengan cara yaitu dengan cara setiap hasil
tangkapan yang tertahan pada mata jaring (experimental crib) yang terpasang
dipisahkan dengan yang tertahan pada cover-net sero pada setiap daerah
penangkapan. Alat tangkap sero yang mempunyai hasil tangkapan banyak hanya
diambil 15% total hasil tangkapan sedangkan sero yang hasil tangkapan sedikit
semua diambil untuk keperluan analisis. Sampel yang terambil/terwakili
kemudian diidentifikasi berdasarkan jenisnya kemudian dipisahkan, apabila
sampel terlalu banyak maka sampel diawetkan sebagian dan dilakukan
pengukuran panjang total ikan dan berat ikan secara bertahap. Pengukuran
panjang ikan dengan measuring board dan berat ikan menggunakan timbangan
analitik dengan ketelitian 0,1 gram
Kegiatan penangkapan selama penelitian untuk keperluan analisis
kelayakan mata jaring dilakukan sebanyak 16 kali trip. Pengambilan hasil
tangkapan dilakukan hanya sekali seminggu selama 4 bulan pada 3 (tiga) unit sero
yang diberikan experimental crib pada masing-masing daerah penangkapan
(habitat).
7.2.5 Analisis Data
7.2.5.1 Perbandingan komposisi dan proporsi ukuran ikan layak tangkap
Untuk menghitung komposisi ukuran ikan layak tangkap yang tertahan
pada experimetal crib di setiap habitat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Hasil tangkapan sero di setiap habitat dipisahkan berdasarkan setiap jenis ikan;
2. Menghitung jumlah dan frekuensi panjang ikan yang tertangkap;
109
3. Membandingkan
ukuran
ikan
yang
tertangkap
dengan
length
at first maturity (Lmat) yang dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya;
4. Menghitung proporsi ikan yang layak tangkap berdasarkan length at first
maturity dari total ikan yang tertangkap;
5. Membuat tabel dan grafik terhadap ikan yang layak tertangkap dari setiap jenis
ikan dominan tertangkap berdasarkan habitat.
7.2.5.2 Perbandingan jumlah hasil tangkapan pada experimental crib
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian experimental crib
sero adalah rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan adalah tiga habitat
(muara sungai, mangrove, dan lamun). Ulangan adalah 16 blok waktu
penangkapan hasil tangkapan. Model matematis rancangan tersebut sebagai
berikut:
Yij = µ + Hi +Tj + εij......................................................................(7)
Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....16
Yij = Respon pengamatan pada experimental crib ke-i dan kelompok ke-j
µ = Nilai rataan umum
Hi = pengaruh experimental crib ke-i (habitat i = 1,2, dan 3);
Tj = pengaruh kelompok (blok) waktu penangkapan ke-j;
εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-I dan kelompok ke-j.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS Release
15.0. Untuk membandingkan antar habitat yang berbeda jika hasil uji F dalam
ANOVA signifikan berbeda maka digunakan uji lanjut menggunakan uji beda
rerata Tukey (Tukey’s HSD Test) (Zar 1984 dan Petersen 1985).
7.2.5.3 Analisis selektivitas mata jaring 4 cm
Analisis selektivitas mata jaring 4 cm dalam hal ini sebagai experimental
crib dari setiap unit sero didekati dengan menggunakan model logistik seperti
yang biasa dilakukan dalam kajian selektivitas trawl (Paloheimo dan Cadima
1964, Kimura 1977 dan Hoydal et al. 1982 dalam Sparre dan Venema 1999).
Pendekatan ini mengandalkan data komposisi ukuran ikan dan proporsi ikan yang
tertangkap.
110
S (L ) =
Dimana :
SL =
1
………..……………………............(8)
[1 + exp (a − b * L )]
∑ ikan dengan length L dalam exp erimental crib
∑ ikan dengan length L dalam exp erimental crib & cov er − net
……….(9)
Dari persamaan di atas dapat dituliskan kembali sebagai :
⎤
⎡1
ln ⎢
− 1⎥ = a − b * L …………………………...……..…….(10)
⎦
⎣SL
Persamaan di atas dapat mewakili garis lurus. Dengan demikian observasi
terhadap bagian yang ditahan dapat digunakan untuk menentukan kurva logistik
yang sesuai terhadap observasi-observasi tersebut. Untuk menghitung kisaran
panjang total ikan yang tertangkap pada experimental crib sero dengan peluang
tertangkap sebesar 50% dengan rumus sebagai berikut :
L50% =
a
………………………………………………..…..(11)
b
111
7.3
HASIL PENELITIAN
7.3.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib
Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan pada jaring experimental
crib alat tangkap sero yang dioperasikan pada habitat berbeda di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 15) berikut.
Tabel 15 Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan dan meloloskan diri pada
jaring experimental crib sero di habitat berbeda selama penelitian
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jenis Ikan
Rajungan
Kerong kerong
Barakuda
Kuwe
Lencam
Baronang lingkis
Baronang
Pepetek
Biji nangka
Kapas kapas
Muara (%)
Tertahan
Lolos
100,00
0,00
72,26
27,74
78,53
21,47
67,86
32,14
58,55
41,45
63,51
36,49
63,68
36,32
64,49
35,51
42,92
57,08
34,54
65,46
Habitat
Mangrove (%)
Tertahan
Lolos
100,00
0,00
71,32
28,68
62,44
37,56
68,73
31,27
62,78
37,22
61,32
38,68
59,17
40,83
62,27
37,73
34,53
65,47
40,08
59,92
Lamun (%)
Tertahan
Lolos
100,00
0,00
67,78
32,22
55,81
44,19
58,12
41,88
73,05
26,95
69,54
30,46
62,83
37,17
54,43
45,57
34,59
65,41
34,05
65,95
Adapun proporsi jumlah hasil tangkapan yang layak tangkap yang tertahan
pada experimental crib yaitu 5 (lima) jenis ikan tertangkap di atas 50,0% dari
ukuran layak tangkap dan selebihnya masih di bawah 50,0% layak tangkap
(Tabel 16 dan Gambar 20).
Tabel 16 Proporsi ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada
jaring experimental crib selama penelitian
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jenis ikan
Pepetek
Kapas-kapas
Barakuda
Kerong kerong
Biji nangka
K. rajungan
B. lingkis
Lencam
Baronang
Kuwe
Muara Sungai (%)
80,21
64,93
58,59
54,43
51,83
33,96
30,39
12,36
21,48
0
Mangrove (%) Lamun (%) Rata-rata (%)
81,47
71,75
77,81
83,51
42,59
63,68
67,39
61,11
62,36
60,14
65,35
59,97
46,40
51,72
50,00
33,33
77,97
48,42
34,02
38,46
34,29
16,39
11,43
13,39
14,79
11,52
15,93
0
0
0
112
Gambar 20 Rata-rata ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada
experimental crib selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua
Teluk Bone.
7.3.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib
Hasil perhitungan parameter kurva selektivitas dengan menggunakan
metode Sparre-Venema dengan menutupi experimental crib dengan cover-net
yaitu terlihat bahwa L50% dari setiap jenis ikan yang sama dan jenis lainnya yaitu
berbeda pada setiap habitat (Tabel 17, Gambar 21-22, dan Lampiran 28-30).
Tabel 17 Nilai L50% ± standar deviasi (SD) setiap jenis ikan berdasarkan habitat
selama penelitian
Jenis ikan
Biji nangka
Baronang lingkis
Kerong-kerong
Lencam
Pepetek
Kapas-kapas
Kuwe
Baronang
Barakuda
Muara sungai Mangrove
Lamun
Lmat
10,2 ± 0,55
10,5 ± 0,64 11,4 ± 0,48 12,0A
8,0 ± 1,48
11,9 ± 0,89 12,0 ± 0,67 17,0B
12,8 ± 1,08
13,2 ± 1,57 12,9 ± 2,41 18,0C
14,4 ± 0,84
13,4 ± 0,15 14,6 ± 0,94 18,2D
9,3 ± 0,73
9,4 ± 0,79
9,0 ± 0,95
9,0E
10,0 ± 0,42
10,1 ± 0,55 10,0 ± 0,76 10,5F
11,3 ± 1,42
12,1 ± 0,95 11,7 ± 0,70 30,0G
15,0 ± 0,90
14,8 ± 0,93 14,7 ± 0,90 21,0H
18,5 ± 1,20
17,8 ± 1,53 22,7 ± 1,24
17,3I
Keterangan :
E)
F)
Martasuganda et al. (1991)
Sjafei & Syaputra (2009)
G)
Wassef & Hady (1997)
Tharwat & Rahman (2006)
G)
H)
Situ & Sadovy (2004)
Sutomo & Juwana (1990)
H)
I)
Krajangdara (2004)
Allam et al. (2004)
E)
Pauly (1977) dalam Sjafei & Saadah (2001)
F)
113
Muara sungai
Keterangan :
A = Biji nangka
B = Baronang lingkis
Mangrove
Lamun
C = Kerong kerong
D = Kapas kapas
Gambar 21 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan biji nangka,
baronang lingkis, kerong kerong, dan kapas kapas pada daerah
penangkapan yang berbeda.
114
Muara sungai
Keterangan :
E = Biji nangka
F = Baronang lingkis
G = Kerong kerong
Mangrove
Lamun
H = Kapas kapas
I = Barakuda
Gambar 22 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan lencam, pepetek,
kuwe, baronang, dan barakuda pada daerah penangkapan yang
berbeda.
115
Nilai L50% pada kurva selektivitas setiap jenis ikan di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone selama penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang
jauh bila dibandingkan L50% setiap jenis ikan berdasarkan habitat (Gambar 19).
Keterangan :
A = Biji nangka
B = Baronang lingkis
C = Kerong kerong
D = Kapas kapas
E = Lencam
F = Pepetek
G = Kuwe
H = Baronang
116
Keterangan :
I = Barakuda
Gambar 23 Kurva selektivitas setiap jenis ikan selama penelitian di perairan
pantai Pitumpanua Teluk Bone.
117
7.4
PEMBAHASAN
7.4.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib
Jenis ikan yang dominan tertahan pada experimental sero di perairan
pantai Pitumpanua, Teluk Bone umumnya adalah ikan demersal, yaitu: (1) biji
nangka (Upeneaus sulphureus), (2) baronang lingkis (Siganus canaliculatus),
(3) kerong-kerong (Therapon jarbua), (4) kapas-kapas (Gerres kapas), (5) lencam
(Lethrinus lentjam), (6) pepetek (Leiognathus splendens), (7) kuwe (Caranx
sexfaciatus), (8) baronang (Siganus guttatus), dan (9) barakuda (Sphyraena
sphyraena) (Tabel 16). Spesies nomor 9 adalah jenis ikan pelagis. Dominasi ikan
demersal tersebut berkaitan dengan daerah pengoperasian sero, yaitu perairan
dangkal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan oleh Widodo dan Suadi (2008) bahwa
perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan
yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang
baik. Dipertegas Yusof (2002) bahwa hasil tangkapan dari perairan berkedalaman
5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia berupa 62-89 jenis ikan demersal.
Jenis ikan yang tertangkap sero ini pada umumnya memiliki aktivitas
relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan yang
tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih terkonsentrasi jika
dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis (Boer et al. 2001). Ikan barakuda yang
merupakan ikan pelagis satu-satunya dominan tertangkap di perairan pantai
Pitumpanua, kemungkinan jenis ikan ini merupakan ikan predator yang mengejar
mangsanya sehingga ikut tertangkap.
Jumlah ikan yang tertahan pada experimental crib jaring dipengaruhi oleh
berbagai faktor; salah satunya adalah bentuk tubuh ikan. Ikan yang berukuran
besar cenderung tertangkap oleh alat penangkapan ikan yang dioperasikan dengan
metode menyaring air (filtering) sehingga jika ukuran mata jaring relatif kecil
maka ragam ukuran ikan dapat menjadi lebih tinggi, yaitu mulai dari yang
berukuran kecil hingga besar. Hal ini berbeda dari alat penangkapan ikan yang
dirancang untuk menangkap ikan secara menjerat tubuh ikan (gilling), seperti
pada jaring insang. Jika ukuran ikan lebih kecil atau lebih besar dari ukuran
optimum maka peluang tertangkapnya menjadi lebih rendah sehingga ragam
ukuran menjadi lebih rendah (Nielsen dan Lampton 1983). Selain ukuran tubuh,
118
bentuk badan dan tingkah laku ikan juga merupakan faktor yang menentukan ikan
tertangkap (Pope 1975).
Tingginya proporsi hasil tangkapan yang tertahan di experimental crib
(Tabel 15) bukan berarti ikan-ikan tersebut secara biologi layak tangkap. Hal ini
lebih cenderung disebabkan oleh jenis spesies ikan yang tertangkap. Dalam
penelitian ini ada 5 spesies ikan dengan proporsi layak tangkap di atas 50,0%,
yaitu pepetek, kapas-kapas, barakuda, kerong-kerong, dan biji nangka (Tabel 16
& Gambar 20).
Tingginya proprosi pepetek yang layak tangkap disebabkan ikan ini cepat
mencapai dewasa pada ukuran yang relatif kecil (Saadah 2000 dalam Novitriana
et al. 2004). Sebaliknya, semua ikan kuwe yang tertangkap berstatus tidak layak
tangkap.
Hal ini kemungkinan disebabkan habitat ikan kuwe dewasa adalah
perairan terumbu karang atau yang lebih dalam dan perairan pantai tempat
penelitian adalah habitat untuk ikan-ikan muda, seperti dilaporkan Rudi et al.
(2011) dari penelitiannya di perairan Sabang. Ikan kuwe yang tertangkap di
perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda jauh didapatkan oleh Mardjudo (2002)
di perairan pantai Palu yang didapatkan berukuran sangat kecil, sehingga diduga
bahwa jenis ikan ini pada masa juvenil lebih banyak menghuni daerah pantai.
7.4.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib
Nilai L50% dari experimental crib bermata-jaring 4 cm untuk setiap jenis
ikan dominan tidak selalu sama pada setiap habitat (Tabel 17). Seharusnya nilai
L50% untuk suatu jenis ikan adalah sama karena spesifikasi bahan jaring
pembentuk crib. Perbedaan-perbedaan nilai tersebut kemungkinan besar
ditentukan oleh nilai-nilai proporsi ikan pada setiap kelas ukuran ikan yang
tertahan pada crib. Nilai-nilai L50% dari sembilan jenis ikan dominan umumnya
lebih kecil dari panjang (TL) ikan ketika matang gonad pertama kali (Lmat). Tujuh
dari sembilan jenis ikan tersebut memiliki Lmat kurang dari 20 cm (TL); ikan kwe
adalah ikan dengan Lmat terbesar (30 cm).
Hanya dua jenis ikan yang memiliki Lmat lebih kecil dari L50%, yaitu
pepetek dan barakuda. Hal ini berarti sero dengan crib bermata-jaring 4 cm cocok
untuk kedua jenis ikan ini karena menangkap ukuran yang layak tangkap secara
119
biologis. Kondisi hasil tangkapan ini mirip dengan hasil tangkapan pepetek di
Teluk Labuan, Banten yang didominasi oleh ikan-ikan pepetek berukuran 9,516,2 cm (lebih dari 80%), seperti dilaporakan oleh Sjafei dan Saadah (2001).
Nilai L50% experimental crib ikan biji nangka dan kapas-kapas mendekati
ukuran Lmat jenis ikan tersebut (Tabel 17). Pada ikan biji nangka, L50% pada
habitat lamun lebih besar dibandingkan pada muara sungai dan mangrove. Nilai
L50% ini hampir sama dengan yang didapatkan di perairan Teluk Palu antara 7,89,9 cm (Mardjudo 2002). Faktor penyebab perbedaan ini kemungkinan adalah
morfologi ikan yang berkaitan dengan lingkar tubuh ikan (body girth). Pada
panjang yang sama, ikan-ikan biji nangka di muara sungai dan mangrove
diperkirakan lebih ”gemuk” sehingga lebih mudah ditangkap (tidak dapat
meloloskan dibandingkan dengan yang berada di lamun. Faktor komposisi jenis
kelamin ikan tampaknya sulit dianggap sebagai penyebab perbedaan nilai L50% di
antara ketiga habitat tersebut meskipun Saputra et al. (2009) dari penelitiannya di
perairan Demak melaporkan bahwa L50% cantrang untuk biji nangka jantan adalah
15,7 cm sedangkan untuk betina adalah 16,4 cm. Penelitian di Demak ini dapat
diinterpretasikan bahwa ikan jantang lebih ”gemuk” dari ikan betina.
Nilai L50% untuk empat jenis ikan lainnya, yaitu baronang lingkis, kerongkerong, lencam, dan baronang adalah lebih rendah dari Lmat (Tabel 17). Hal ini
merupakan indikasi kuat bahwa semua jenis ikan ini tertangkap experimental sero
dalam keadaan masih muda (juvenile) sehingga dapat disimpulkan bahwa sero ini
tidak cocok bagi keempat jenis ikan tersebut. Ukuran ikan baronang lingkis yang
didapatkan di perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda dengan yang ditangkap di
perairan Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, yaitu antara 6,2-17,0 cm (Jalil et al.
2003). Kesamaan ini kemungkinan disebabkan oleh kesamaan kondisi ekologi
perairan pantai Pitumpanua dan perairan Kecamatan Bua, keduanya saling
berdekatan di Teluk Bone.
Perbedaan nilai L50% setiap habitat tidak menunjukkan perbedaan yang
terlalu tinggi (Tabel 17). Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor
parameter lingkungan perairan dan sumber makanan bagi ikan pada ketiga habitat
tersebut hampir sama. Terbukti setelah dibuatkan kurva selektivitas setiap jenis
ikan secara keseluruhan (tanpa berdasarkan habitat), nilai L50% pun diperlihatkan
120
tidak jauh berbeda yang didapatkan di ketiga habitat tersebut (Gambar 23). Hal
ini menunjukkan bahwa nilai ukuran kelas panjang ikan yang tertangkap di
perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone lebih seragam (homogen).
Penelitian ini memberikan gambaran bahwa rekomendasi tentang
spesifikasi alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan untuk suatu jenis ikan
belum tentu cocok untuk ikan lain, terutama pada perikanan yang memiliki
sumber daya yang bersifat multispecies. Berdasarkan nilai L50% dan Lmat, sero
dengan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm ini cocok untuk meloloskan ikan
pepetek dan barakuda namun tidak cocok untuk ikan-ikan lainnya. Perbaikan bisa
dilakukan lagi dengan memperbesar mata jaring sehingga nilai-nilai L50% akan
meningkat dan peluang ikan-ikan muda untuk meloloskan diri menjadi semakin
tinggi. Pilihan ukuran mata jaring ini akhirnya ditentukan oleh keberpihakan
nelayan dalam menentukan karakteristik ikan-ikan yang menjadi sasarannya
(target species). Sangat diharapkan para nelayan bersikap menyetujui ide bahwa
meloloskan ikan agar tumbuh menjadi lebih besar adalah lebih baik dari
menangkap ikan ketika masih berukuran kecil.
7.5
KESIMPULAN DAN SARAN
7.5.1 Kesimpulan
1. Hasil tangkapan sero dengan bunuhan bermata-jaring 4 cm di pantai
Pitumpanua didominasi oleh ikan pepetek, baronang lingkis, kerong kerong,
kuwe, biji nangka, baronang, lencam, kapas kapas, dan barakuda dimana lima
jenis di antaranya masing-masing memiliki kategori layak tangkap dengan
proporsi lebih dari 50%.
2. Nilai L50% experimental sero untuk ikan pepetek dan barakuda lebih besar dari
panjang ketika kedua jenis ikan ini matang gonad pertama kali.
3. Sero dengan bunuhan bermata-jaring 4 cm tidak layak dioperasikan di perairan
pantai Pitumpanua.
121
7.5.2 Saran
Alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua sebaiknya menggunakan
ukuran mata jaring lebih besar 4 cm.
Rekomendasi ukuran tersebut harus
disesuaikan dengan karakteristik hasil tangkapan yang diharapkan (target species)
oleh nelayan yang memiliki wawasan keberlanjutan sumber daya ikan.
Download