101 7 7.1 SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB 4 CM PADA CRIB SERO PENDAHULUAN Perairan pantai yang terdiri dari berbagai ekosistem seperti lamun, terumbu karang, mangrove, dan muara sungai memiliki berbagai peran sebagai darerah pemijahan, perlindungan, pembesaran, dan tempat mencari makanan. Oleh karena itu daerah penangkapan sero di pantai dihuni oleh berbagai jenis dan ukuran biota laut termasuk ikan yang menjadi target penangkapan. Sero yang dioperasikan dengan ukuran tertentu jelas memiliki selektivitas tertentu dan sangat besar kemungkinannya bervariasi menurut spesies dan habitat. Sero dengan ukuran mata jaring tertentu dapat saja selektif terhadap salah satu jenis ikan tertentu tetapi tidak selektif terhadap jenis ikan lainnya pada habitat tertentu. Hal ini disebabkan perbedaan persebaran ukuran berdasarkan habitat. Sehubungan dengan hal itu maka kajian mengenai selektivitas sero yang mengkaji secara simultan berdasarkan jenis ikan dan habitat daerah penangkapan sero sangat penting dilaksanakan agar dapat menentukan tingkat selektivitas sero terhadap jenis ikan berdasarkan habitat yang ada di perairan pantai. Kajian mengenai selektivitas sero yang ada saat ini umumnya terbatas pada habitat tertentu saja dan sangat jarang melihat sekaligus berdasarkan jenis dan habitat daerah penangkapan alat tangkap sero. Mengkaji selektivitas mata jaring sero pada beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap pada 3 (tiga) tipe habitat di perairan pantai Pitumpanua maka diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kesesuaian ukuran mata jaring dengan lokasi pemasangan sero di pantai sehingga dari aspek selektivitas mata jaring sero tetap ramah terhadap lingkungan. Apalagi dalam penelitian ini secara serentak juga dilihat perbandingan hasil tangkapan pada ketiga tipe habitat tersebut. Hasil analisis selektivitas yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi referensi dan pertimbangan dalam regulasi operasional sero di perairan pantai khususnya kelayakan ukuran mata jaring dan habitat daerah pemasangannya. Meskipun dalam penelitian ini hanya menggunakan satu jenis ukuran mata jaring, namun dapat menunjukkan bahwa apakah ukuran yang digunakan sebaiknya ditingkatkan agar dapat selektif terhadap salah satu atau beberapa jenis ikan yang 102 dominan tertangkap apabila sero akan dipasang di muara sungai, perairan di sekitar mangrove atau lamun. Pemasangan alat tangkap sero maupun penggunaan bahan alat tangkap sero oleh nelayan di perairan pantai Pitumpanua tidak didasari pertimbangan yang cermat. Hal ini disebabkan karena selain kurangnya sosialisasi dari pemerintah setempat, juga karena tidak adanya dasar kebijakan yang tepat untuk pengelolaan perikanan sero di daerah ini. Selama ini penangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua berlangsung terus menerus sepanjang tahun dengan menggunakan mata jaring ukuran yang sangat kecil (0,5 cm). Bila hal tersebut dibiarkan, maka tentunya berdampak pada berkurangnya stok sumberdaya pada masa akan datang, karena dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil tentunya ikan-ikan muda tidak dapat meloloskan diri untuk berkembang biak sebelum ditangkap. Parahnya lagi karena alat tangkap ini di pasang pada daerah pantai yang merupakan daerah pemijahan dan pembesaran bagi juvenile berbagai jenis ikan dan biota lainnya. Kajian ini bertujuan untuk menghitung proporsi ukuran layak tangkap setiap jenis ikan yang tertangkap pada experimental crib dan menganalisis L50%, setiap jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo Teluk Bone. Manfaat yang diharapkan yaitu sebagai dasar untuk menentukan kebijakan pengelolaan perikanan dalam hal pengaturan mata jaring yang selektif pada daerah penangkapan sero sehingga sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. 7.2 METODE PENELITIAN 7.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan pembuatan desain kantong bunuhan (experimental crib) dilakukan pada tanggal 18 Nopember 2010 – 10 Januari 2011. Experimental fishing dilakukan pada tanggal 15 Januari – 14 Mei 2011 di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone. 103 7.2.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan desain experimental crib dan experimental fishing adalah sebagai berikut : Tabel 13 Jenis alat dan bahan yang digunakan pembuatan desain experimental crib dan experimental fishing selama penelitian No Alat dan bahan Jumlah Kegunaan Pembuatan desain experimental crib 1 2 3 4 5 6 Jaring trawl D12x11/2 Benang trawl D9 Coban Tali nilon no 4 dan 5 Gunting Meteran 7,7 kg 4 rol 4 buah 4 kg 1 buah 1 buah Desain jaring pengukuran selektivitas Benang jahit pembuatan experimental crib Untuk menjurai /menjahit jaring Tali ris experimental crib Untuk keperluan memotong benang Untuk pengukuran 1 unit 3 unit 3 buah 2 kg 4 buah 1 buah * 3 buah 1 unit 1 buah * * * Sebagai sarana transportasi Experimental fishing Mengambil hasil tangkapan Tali kolor experimental crib Mengukur panjang ikan Mengukur mata jaring dan waring Tempat hasil tangkapan yang sudah disortir Penyimpanan hasil tangkapan Menimbang sampel ikan per ekor Pengambilan gambar Mengetahui jenis ikan Mencatat data Digunakan di lapangan Kegiatan experimental fishing Perahu motor Sero Serok Tali nilon no 4 dan 5 Measuring Board Mikrometer skrup (caliper) Plastik sample Cool Box/kulkas Timbangan Analitik Kamera digital Buku identifikasi ikan Alat tulis/data sheet Alat bantu lainnya 7.2.3 Percobaan Penangkapan Ikan Kegiatan percobaan penangkapan dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu : tahapan desain experimental crib, tahapan pembuatan experimental crib, tahapan pemasangan experimental crib, dan tahapan proses pengambilan hasil tangkapan. Hasil tangkapan yang didapatkan dari experimental crib dan cover-net dianalisis untuk melihat sejauhmana kesesuaian mata jaring yang diujicobakan pada ketiga habitat. 7.2.3.1 Tahapan desain experimental crib Percobaan pada alat tangkap sero ini hanya pada bagian bunuhan yang dimodifikasi dengan cara ketiga sero yang telah ditentukan pada daerah penangkapan berbeda diberikan experimental crib yang ukuran mata jaringnya 104 sama yaitu 4 cm yang berfungsi sebagai bunuhan percobaan sedangkan jaring bunuhan aslinya berfungsi sebagai cover-net. Ukuran dari experimental crib tersebut yaitu panjang dan lebar jaringnya 2 m x 2 m, sedangkan crib asli berukuran 4 m x 5 m. Jarak dinding experimental crib dengan dinding cover-net sebelah kiri dan kanan yaitu 0,5 m, bagian belakang 1 m dan bagian depan berhimpit sedangkan bagian dasar atau bawah experimental crib dengan cover-net jaraknya 0,5 m. Gambar 17 Proses pembuatan desain experimental crib sero. 105 5 m C r ib a s li 1 m 2 m E x p e rim e n t a l c rib 0 .5 m 4 m A 2 m 0 .2 m 2 .5 m B 3 m 0 .5 m 1 m 3 .5 m C 0 .7 m 1 m 20 m D 2 m 10 E m 100 m A = B E C B = P C = B D = S E = P u n u h a n ( c r ib ) x p . C r ib r ib a s l i e ru t ( b e l l y ) a da n (b o d y ) a y a p ( w in g ) e n a ju Gambar 18 Desain experimental crib pada alat tangkap sero. 7.2.3.2 Tahapan pembuatan experimental crib Tahapan pembuatan experimental crib pada alat tangkap sero adalah sebagai berikut : (1) Bahan yang digunakan adalah jaring trawl yang terbuat dari polyethylen berwarna hijau dengan ukuran mata jaring 4 cm. (2) Semua jaring tersebut dilakukan pemotongan secara all bar dengan ukuran setiap lembar jaring 2 m (3) Jumlah lembaran jaring yang diperlukan untuk satu experimental crib yaitu 5 lembaran dengan ukuran yang sama besar (4) Tiap lembaran jaring dijurai membentuk empat persegi panjang dengan ukuran (p x l x t) 2 m x 2 m x 3 m, yang berfungsi sebagai experimental crib. (5) Setiap pinggiran jaring yang telah digunting diberikan tali ris sebagai penguat jaring dimana diameter tali sebesar 0,5 cm 106 (6) Pada bagian depan jaring experimental crib dan cover-netnya dibuatkan mulut yang berfungsi sebagai pintu masuk ikan dengan lebar pintu yaitu 0,2 m (7) Semua sudut jaring dan bagian depan jaring diberikan tali penarik yang berfungsi untuk mengencangkan experimental crib, agar jaring tertata dengan sempurna bila dipasang di perairan. 7.2.3.3 Tahapan pemasangan experimental crib Tahapan pemasangan experimental crib pada bagian bunuhan sero adalah sebagai berikut : (1) Experimental crib yang telah dibuat dipasang pada bagian dalam bunuhan asli dalam hal ini yang berfungsi juga sebagai cover-net yang terbuat dari waring dengan mata jaring 0,5 cm dengan ukuran 4 m x 5 m x 3,5 m (2) Bagian mulut experimental crib dipasang sejajar dengan mulut cover-net (3) Tali penarik yang dipasang pada bagian bawah dan sudut experimental crib melalui sisi cover-net, kemudian tali penarik tersebut dikencangkan dan diikat pada tiang yang terpancang pada sisi cover-net tersebut (4) Jaring experimental crib yang dipasang diberikan jarak, baik dari sisi depan, belakang, kiri dan kanan serta sisi bagian bawah, agar ikan diharapkan untuk memberikan ruang gerak untuk meloloskan diri keluar dari jaring experimental crib bila ukuran girth maximum ikan tersebut lebih kecil dari ukuran mata jaring dari experimental crib (5) Jaring experimental crib dan cover net dari bagian sisi depan berhimpit dan sisi belakang berjarak 1 m, sedangkan bagian sisi kanan dan kiri yaitu 0,5 m, begitu pula dengan sisi bagian bawah jaraknya dari cover-net yaitu 0,5 m. (6) Setelah proses pemasangan experimental crib telah selesai semua tali penarik dari tiap sudut experimental crib yang melewati sisi cover-net, dikencangkan dengan cara ditarik agar experimental crib tertata dengan sempurna atau tidak kendur, kemudian diikat pada tiang yang telah dipasang di samping cover-net. 107 Gambar 19 Pemasangan jaring experimental crib pada alat tangkap sero. 7.2.3.4 Tahapan pengambilan hasil tangkapan Tahapan pengambilan hasil tangkapan pada experimental crib pada bagian bunuhan sero adalah sebagai berikut : (1) Kegiatan pengambilan hasil tangkapan sero dilakukan hanya sekali sehari yaitu pada pagi hari (2) Pelaksanaan hauling dilakukan di atas bunuhan sero dengan cara yaitu semua tali kolor baik dari tali kolor dari experimental crib (cod-end) maupun tali cover-net dibuka secara bersamaan dengan perlahan-lahan. (3) Mulut depan bunuhan diangkat terlebih dahulu secara bersamaan baik itu codend maupu cover-net dengan tujuan agar ikan-ikan tidak bisa lagi meloloskan diri keluar dari tempat dimana ikan tersebut tersaring/tertahan. (4) Perlahan-lahan kedua jaring tersebut diangkat sampai ketinggian air dalam jaring sekitar 80 cm. (5) Hasil tangkapan pada cod-end terlebih dahulu diambil dengan menggunakan serok (bunre’), disusul hasil tangkapan pada cod-end sero. Hasil tangkapannya dipisahkan. 108 (6) Setelah pengambilan hasil tangkapan selesai, jaring kembali dibuang/dipasang untuk proses penangkapan selanjutnya. (7) Kegiatan penangkapan berlangsung pada 3 (tiga) unit sero pada daerah penangkapan yang berbeda. 7.2.4 Metode Pengukuran Metode pengukuran untuk menentukan kesesuaian mata jaring sero pada 3 (tiga) daerah penangkapan dilakukan dengan cara yaitu dengan cara setiap hasil tangkapan yang tertahan pada mata jaring (experimental crib) yang terpasang dipisahkan dengan yang tertahan pada cover-net sero pada setiap daerah penangkapan. Alat tangkap sero yang mempunyai hasil tangkapan banyak hanya diambil 15% total hasil tangkapan sedangkan sero yang hasil tangkapan sedikit semua diambil untuk keperluan analisis. Sampel yang terambil/terwakili kemudian diidentifikasi berdasarkan jenisnya kemudian dipisahkan, apabila sampel terlalu banyak maka sampel diawetkan sebagian dan dilakukan pengukuran panjang total ikan dan berat ikan secara bertahap. Pengukuran panjang ikan dengan measuring board dan berat ikan menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 gram Kegiatan penangkapan selama penelitian untuk keperluan analisis kelayakan mata jaring dilakukan sebanyak 16 kali trip. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan hanya sekali seminggu selama 4 bulan pada 3 (tiga) unit sero yang diberikan experimental crib pada masing-masing daerah penangkapan (habitat). 7.2.5 Analisis Data 7.2.5.1 Perbandingan komposisi dan proporsi ukuran ikan layak tangkap Untuk menghitung komposisi ukuran ikan layak tangkap yang tertahan pada experimetal crib di setiap habitat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Hasil tangkapan sero di setiap habitat dipisahkan berdasarkan setiap jenis ikan; 2. Menghitung jumlah dan frekuensi panjang ikan yang tertangkap; 109 3. Membandingkan ukuran ikan yang tertangkap dengan length at first maturity (Lmat) yang dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya; 4. Menghitung proporsi ikan yang layak tangkap berdasarkan length at first maturity dari total ikan yang tertangkap; 5. Membuat tabel dan grafik terhadap ikan yang layak tertangkap dari setiap jenis ikan dominan tertangkap berdasarkan habitat. 7.2.5.2 Perbandingan jumlah hasil tangkapan pada experimental crib Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian experimental crib sero adalah rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan adalah tiga habitat (muara sungai, mangrove, dan lamun). Ulangan adalah 16 blok waktu penangkapan hasil tangkapan. Model matematis rancangan tersebut sebagai berikut: Yij = µ + Hi +Tj + εij......................................................................(7) Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....16 Yij = Respon pengamatan pada experimental crib ke-i dan kelompok ke-j µ = Nilai rataan umum Hi = pengaruh experimental crib ke-i (habitat i = 1,2, dan 3); Tj = pengaruh kelompok (blok) waktu penangkapan ke-j; εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-I dan kelompok ke-j. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA). Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS Release 15.0. Untuk membandingkan antar habitat yang berbeda jika hasil uji F dalam ANOVA signifikan berbeda maka digunakan uji lanjut menggunakan uji beda rerata Tukey (Tukey’s HSD Test) (Zar 1984 dan Petersen 1985). 7.2.5.3 Analisis selektivitas mata jaring 4 cm Analisis selektivitas mata jaring 4 cm dalam hal ini sebagai experimental crib dari setiap unit sero didekati dengan menggunakan model logistik seperti yang biasa dilakukan dalam kajian selektivitas trawl (Paloheimo dan Cadima 1964, Kimura 1977 dan Hoydal et al. 1982 dalam Sparre dan Venema 1999). Pendekatan ini mengandalkan data komposisi ukuran ikan dan proporsi ikan yang tertangkap. 110 S (L ) = Dimana : SL = 1 ………..……………………............(8) [1 + exp (a − b * L )] ∑ ikan dengan length L dalam exp erimental crib ∑ ikan dengan length L dalam exp erimental crib & cov er − net ……….(9) Dari persamaan di atas dapat dituliskan kembali sebagai : ⎤ ⎡1 ln ⎢ − 1⎥ = a − b * L …………………………...……..…….(10) ⎦ ⎣SL Persamaan di atas dapat mewakili garis lurus. Dengan demikian observasi terhadap bagian yang ditahan dapat digunakan untuk menentukan kurva logistik yang sesuai terhadap observasi-observasi tersebut. Untuk menghitung kisaran panjang total ikan yang tertangkap pada experimental crib sero dengan peluang tertangkap sebesar 50% dengan rumus sebagai berikut : L50% = a ………………………………………………..…..(11) b 111 7.3 HASIL PENELITIAN 7.3.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan pada jaring experimental crib alat tangkap sero yang dioperasikan pada habitat berbeda di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 15) berikut. Tabel 15 Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan dan meloloskan diri pada jaring experimental crib sero di habitat berbeda selama penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jenis Ikan Rajungan Kerong kerong Barakuda Kuwe Lencam Baronang lingkis Baronang Pepetek Biji nangka Kapas kapas Muara (%) Tertahan Lolos 100,00 0,00 72,26 27,74 78,53 21,47 67,86 32,14 58,55 41,45 63,51 36,49 63,68 36,32 64,49 35,51 42,92 57,08 34,54 65,46 Habitat Mangrove (%) Tertahan Lolos 100,00 0,00 71,32 28,68 62,44 37,56 68,73 31,27 62,78 37,22 61,32 38,68 59,17 40,83 62,27 37,73 34,53 65,47 40,08 59,92 Lamun (%) Tertahan Lolos 100,00 0,00 67,78 32,22 55,81 44,19 58,12 41,88 73,05 26,95 69,54 30,46 62,83 37,17 54,43 45,57 34,59 65,41 34,05 65,95 Adapun proporsi jumlah hasil tangkapan yang layak tangkap yang tertahan pada experimental crib yaitu 5 (lima) jenis ikan tertangkap di atas 50,0% dari ukuran layak tangkap dan selebihnya masih di bawah 50,0% layak tangkap (Tabel 16 dan Gambar 20). Tabel 16 Proporsi ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada jaring experimental crib selama penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jenis ikan Pepetek Kapas-kapas Barakuda Kerong kerong Biji nangka K. rajungan B. lingkis Lencam Baronang Kuwe Muara Sungai (%) 80,21 64,93 58,59 54,43 51,83 33,96 30,39 12,36 21,48 0 Mangrove (%) Lamun (%) Rata-rata (%) 81,47 71,75 77,81 83,51 42,59 63,68 67,39 61,11 62,36 60,14 65,35 59,97 46,40 51,72 50,00 33,33 77,97 48,42 34,02 38,46 34,29 16,39 11,43 13,39 14,79 11,52 15,93 0 0 0 112 Gambar 20 Rata-rata ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada experimental crib selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. 7.3.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib Hasil perhitungan parameter kurva selektivitas dengan menggunakan metode Sparre-Venema dengan menutupi experimental crib dengan cover-net yaitu terlihat bahwa L50% dari setiap jenis ikan yang sama dan jenis lainnya yaitu berbeda pada setiap habitat (Tabel 17, Gambar 21-22, dan Lampiran 28-30). Tabel 17 Nilai L50% ± standar deviasi (SD) setiap jenis ikan berdasarkan habitat selama penelitian Jenis ikan Biji nangka Baronang lingkis Kerong-kerong Lencam Pepetek Kapas-kapas Kuwe Baronang Barakuda Muara sungai Mangrove Lamun Lmat 10,2 ± 0,55 10,5 ± 0,64 11,4 ± 0,48 12,0A 8,0 ± 1,48 11,9 ± 0,89 12,0 ± 0,67 17,0B 12,8 ± 1,08 13,2 ± 1,57 12,9 ± 2,41 18,0C 14,4 ± 0,84 13,4 ± 0,15 14,6 ± 0,94 18,2D 9,3 ± 0,73 9,4 ± 0,79 9,0 ± 0,95 9,0E 10,0 ± 0,42 10,1 ± 0,55 10,0 ± 0,76 10,5F 11,3 ± 1,42 12,1 ± 0,95 11,7 ± 0,70 30,0G 15,0 ± 0,90 14,8 ± 0,93 14,7 ± 0,90 21,0H 18,5 ± 1,20 17,8 ± 1,53 22,7 ± 1,24 17,3I Keterangan : E) F) Martasuganda et al. (1991) Sjafei & Syaputra (2009) G) Wassef & Hady (1997) Tharwat & Rahman (2006) G) H) Situ & Sadovy (2004) Sutomo & Juwana (1990) H) I) Krajangdara (2004) Allam et al. (2004) E) Pauly (1977) dalam Sjafei & Saadah (2001) F) 113 Muara sungai Keterangan : A = Biji nangka B = Baronang lingkis Mangrove Lamun C = Kerong kerong D = Kapas kapas Gambar 21 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong kerong, dan kapas kapas pada daerah penangkapan yang berbeda. 114 Muara sungai Keterangan : E = Biji nangka F = Baronang lingkis G = Kerong kerong Mangrove Lamun H = Kapas kapas I = Barakuda Gambar 22 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan lencam, pepetek, kuwe, baronang, dan barakuda pada daerah penangkapan yang berbeda. 115 Nilai L50% pada kurva selektivitas setiap jenis ikan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone selama penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang jauh bila dibandingkan L50% setiap jenis ikan berdasarkan habitat (Gambar 19). Keterangan : A = Biji nangka B = Baronang lingkis C = Kerong kerong D = Kapas kapas E = Lencam F = Pepetek G = Kuwe H = Baronang 116 Keterangan : I = Barakuda Gambar 23 Kurva selektivitas setiap jenis ikan selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. 117 7.4 PEMBAHASAN 7.4.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib Jenis ikan yang dominan tertahan pada experimental sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone umumnya adalah ikan demersal, yaitu: (1) biji nangka (Upeneaus sulphureus), (2) baronang lingkis (Siganus canaliculatus), (3) kerong-kerong (Therapon jarbua), (4) kapas-kapas (Gerres kapas), (5) lencam (Lethrinus lentjam), (6) pepetek (Leiognathus splendens), (7) kuwe (Caranx sexfaciatus), (8) baronang (Siganus guttatus), dan (9) barakuda (Sphyraena sphyraena) (Tabel 16). Spesies nomor 9 adalah jenis ikan pelagis. Dominasi ikan demersal tersebut berkaitan dengan daerah pengoperasian sero, yaitu perairan dangkal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan oleh Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Dipertegas Yusof (2002) bahwa hasil tangkapan dari perairan berkedalaman 5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia berupa 62-89 jenis ikan demersal. Jenis ikan yang tertangkap sero ini pada umumnya memiliki aktivitas relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih terkonsentrasi jika dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis (Boer et al. 2001). Ikan barakuda yang merupakan ikan pelagis satu-satunya dominan tertangkap di perairan pantai Pitumpanua, kemungkinan jenis ikan ini merupakan ikan predator yang mengejar mangsanya sehingga ikut tertangkap. Jumlah ikan yang tertahan pada experimental crib jaring dipengaruhi oleh berbagai faktor; salah satunya adalah bentuk tubuh ikan. Ikan yang berukuran besar cenderung tertangkap oleh alat penangkapan ikan yang dioperasikan dengan metode menyaring air (filtering) sehingga jika ukuran mata jaring relatif kecil maka ragam ukuran ikan dapat menjadi lebih tinggi, yaitu mulai dari yang berukuran kecil hingga besar. Hal ini berbeda dari alat penangkapan ikan yang dirancang untuk menangkap ikan secara menjerat tubuh ikan (gilling), seperti pada jaring insang. Jika ukuran ikan lebih kecil atau lebih besar dari ukuran optimum maka peluang tertangkapnya menjadi lebih rendah sehingga ragam ukuran menjadi lebih rendah (Nielsen dan Lampton 1983). Selain ukuran tubuh, 118 bentuk badan dan tingkah laku ikan juga merupakan faktor yang menentukan ikan tertangkap (Pope 1975). Tingginya proporsi hasil tangkapan yang tertahan di experimental crib (Tabel 15) bukan berarti ikan-ikan tersebut secara biologi layak tangkap. Hal ini lebih cenderung disebabkan oleh jenis spesies ikan yang tertangkap. Dalam penelitian ini ada 5 spesies ikan dengan proporsi layak tangkap di atas 50,0%, yaitu pepetek, kapas-kapas, barakuda, kerong-kerong, dan biji nangka (Tabel 16 & Gambar 20). Tingginya proprosi pepetek yang layak tangkap disebabkan ikan ini cepat mencapai dewasa pada ukuran yang relatif kecil (Saadah 2000 dalam Novitriana et al. 2004). Sebaliknya, semua ikan kuwe yang tertangkap berstatus tidak layak tangkap. Hal ini kemungkinan disebabkan habitat ikan kuwe dewasa adalah perairan terumbu karang atau yang lebih dalam dan perairan pantai tempat penelitian adalah habitat untuk ikan-ikan muda, seperti dilaporkan Rudi et al. (2011) dari penelitiannya di perairan Sabang. Ikan kuwe yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda jauh didapatkan oleh Mardjudo (2002) di perairan pantai Palu yang didapatkan berukuran sangat kecil, sehingga diduga bahwa jenis ikan ini pada masa juvenil lebih banyak menghuni daerah pantai. 7.4.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib Nilai L50% dari experimental crib bermata-jaring 4 cm untuk setiap jenis ikan dominan tidak selalu sama pada setiap habitat (Tabel 17). Seharusnya nilai L50% untuk suatu jenis ikan adalah sama karena spesifikasi bahan jaring pembentuk crib. Perbedaan-perbedaan nilai tersebut kemungkinan besar ditentukan oleh nilai-nilai proporsi ikan pada setiap kelas ukuran ikan yang tertahan pada crib. Nilai-nilai L50% dari sembilan jenis ikan dominan umumnya lebih kecil dari panjang (TL) ikan ketika matang gonad pertama kali (Lmat). Tujuh dari sembilan jenis ikan tersebut memiliki Lmat kurang dari 20 cm (TL); ikan kwe adalah ikan dengan Lmat terbesar (30 cm). Hanya dua jenis ikan yang memiliki Lmat lebih kecil dari L50%, yaitu pepetek dan barakuda. Hal ini berarti sero dengan crib bermata-jaring 4 cm cocok untuk kedua jenis ikan ini karena menangkap ukuran yang layak tangkap secara 119 biologis. Kondisi hasil tangkapan ini mirip dengan hasil tangkapan pepetek di Teluk Labuan, Banten yang didominasi oleh ikan-ikan pepetek berukuran 9,516,2 cm (lebih dari 80%), seperti dilaporakan oleh Sjafei dan Saadah (2001). Nilai L50% experimental crib ikan biji nangka dan kapas-kapas mendekati ukuran Lmat jenis ikan tersebut (Tabel 17). Pada ikan biji nangka, L50% pada habitat lamun lebih besar dibandingkan pada muara sungai dan mangrove. Nilai L50% ini hampir sama dengan yang didapatkan di perairan Teluk Palu antara 7,89,9 cm (Mardjudo 2002). Faktor penyebab perbedaan ini kemungkinan adalah morfologi ikan yang berkaitan dengan lingkar tubuh ikan (body girth). Pada panjang yang sama, ikan-ikan biji nangka di muara sungai dan mangrove diperkirakan lebih ”gemuk” sehingga lebih mudah ditangkap (tidak dapat meloloskan dibandingkan dengan yang berada di lamun. Faktor komposisi jenis kelamin ikan tampaknya sulit dianggap sebagai penyebab perbedaan nilai L50% di antara ketiga habitat tersebut meskipun Saputra et al. (2009) dari penelitiannya di perairan Demak melaporkan bahwa L50% cantrang untuk biji nangka jantan adalah 15,7 cm sedangkan untuk betina adalah 16,4 cm. Penelitian di Demak ini dapat diinterpretasikan bahwa ikan jantang lebih ”gemuk” dari ikan betina. Nilai L50% untuk empat jenis ikan lainnya, yaitu baronang lingkis, kerongkerong, lencam, dan baronang adalah lebih rendah dari Lmat (Tabel 17). Hal ini merupakan indikasi kuat bahwa semua jenis ikan ini tertangkap experimental sero dalam keadaan masih muda (juvenile) sehingga dapat disimpulkan bahwa sero ini tidak cocok bagi keempat jenis ikan tersebut. Ukuran ikan baronang lingkis yang didapatkan di perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda dengan yang ditangkap di perairan Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, yaitu antara 6,2-17,0 cm (Jalil et al. 2003). Kesamaan ini kemungkinan disebabkan oleh kesamaan kondisi ekologi perairan pantai Pitumpanua dan perairan Kecamatan Bua, keduanya saling berdekatan di Teluk Bone. Perbedaan nilai L50% setiap habitat tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu tinggi (Tabel 17). Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor parameter lingkungan perairan dan sumber makanan bagi ikan pada ketiga habitat tersebut hampir sama. Terbukti setelah dibuatkan kurva selektivitas setiap jenis ikan secara keseluruhan (tanpa berdasarkan habitat), nilai L50% pun diperlihatkan 120 tidak jauh berbeda yang didapatkan di ketiga habitat tersebut (Gambar 23). Hal ini menunjukkan bahwa nilai ukuran kelas panjang ikan yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone lebih seragam (homogen). Penelitian ini memberikan gambaran bahwa rekomendasi tentang spesifikasi alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan untuk suatu jenis ikan belum tentu cocok untuk ikan lain, terutama pada perikanan yang memiliki sumber daya yang bersifat multispecies. Berdasarkan nilai L50% dan Lmat, sero dengan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm ini cocok untuk meloloskan ikan pepetek dan barakuda namun tidak cocok untuk ikan-ikan lainnya. Perbaikan bisa dilakukan lagi dengan memperbesar mata jaring sehingga nilai-nilai L50% akan meningkat dan peluang ikan-ikan muda untuk meloloskan diri menjadi semakin tinggi. Pilihan ukuran mata jaring ini akhirnya ditentukan oleh keberpihakan nelayan dalam menentukan karakteristik ikan-ikan yang menjadi sasarannya (target species). Sangat diharapkan para nelayan bersikap menyetujui ide bahwa meloloskan ikan agar tumbuh menjadi lebih besar adalah lebih baik dari menangkap ikan ketika masih berukuran kecil. 7.5 KESIMPULAN DAN SARAN 7.5.1 Kesimpulan 1. Hasil tangkapan sero dengan bunuhan bermata-jaring 4 cm di pantai Pitumpanua didominasi oleh ikan pepetek, baronang lingkis, kerong kerong, kuwe, biji nangka, baronang, lencam, kapas kapas, dan barakuda dimana lima jenis di antaranya masing-masing memiliki kategori layak tangkap dengan proporsi lebih dari 50%. 2. Nilai L50% experimental sero untuk ikan pepetek dan barakuda lebih besar dari panjang ketika kedua jenis ikan ini matang gonad pertama kali. 3. Sero dengan bunuhan bermata-jaring 4 cm tidak layak dioperasikan di perairan pantai Pitumpanua. 121 7.5.2 Saran Alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua sebaiknya menggunakan ukuran mata jaring lebih besar 4 cm. Rekomendasi ukuran tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik hasil tangkapan yang diharapkan (target species) oleh nelayan yang memiliki wawasan keberlanjutan sumber daya ikan.