Jurnal AgroBiogen 3(2):49-54 Regenerasi Pepaya melalui Kultur In Vitro Diani Damayanti1, Sudarsono2, Ika Mariska1 dan M. Herman1 1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 2 Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, Bogor ABSTRACT Papaya Regeneration by In Vitro Culture. Diani Damayanti, Sudarsono, Ika Mariska, and M. Herman. A study was conducted in the Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic Resources Research and Development to optimize papaya regeneration systems through in vitro culture. Four steps were done, i.e., callus induction, callus regeneration, root formation, and acclimatization. Explant materials used were immature embryos of papaya cv. Burung. Immature papaya embryos were cultured on different media. The best medium for embryogenic callus development was ½ MS + 10 mg/l 2.4-D + 60% sucrose + 143 mg/l adenine sulphate + 50 mg/l myo inositol + 400 mg/l glutamine, while that for callus embryo regeneration was MS + 0.5 mg/l GA3 + 0.1 mg/l kinetin + Morel and Wetmore Vitamin. Using this medium, the average of shoot formation was three shoots per explant of embriogenic callus, and the percentage of regenerated callus was 80%. The color of shoot derived from this treatment was green. Eighty percent of plants formed a complete root development using ½ MS + 0.5 mg/l paclobutrazol media. Media hull of rice and compost was the best medium for papaya plant acclimatization. The percentage of survival on that acclimatization step was 65%. Key words: Papaya, callus induction, callus regeneration, in vitro culture. PENDAHULUAN Pepaya (Carica papaya L.) merupakan buah yang banyak dikonsumsi dan termasuk buah klimaterik di mana buah cepat masak setelah dipanen. Perbaikan sifat tanaman dapat dilakukan melalui modifikasi genetik, baik dengan persilangan konvensional maupun dengan bioteknologi melalui rekayasa genetika. Kehadiran teknologi transformasi genetik memberikan wahana baru bagi pemulia tanaman untuk memperoleh tanaman transgenik yang memiliki sifat baru sesuai dengan sifat yang diinginkan seperti peningkatan mutu kualitas buah. kultur in vitro dan sistem transformasi yang kompeten, yaitu kemampuan materi genetik untuk mentrasfer gen ke dalam genom tanaman secara efisien dan stabil. Regenerasi tanaman secara in vitro dapat dilakukan melalui induksi tunas (organogenesis) atau induksi embrio somatik (embriogenesis somatik). Teknik kultur jaringan yang dapat menginduksi embrio somatik lebih diinginkan karena dapat berasal dari satu sel pada jaringan somatik yang perkembangannya serupa dengan embrio normal. Regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik mudah diregenerasikan menjadi embrio bipolar, yaitu mempunyai dua kutub yang langsung sebagai bakal tunas dan akar. Faktor yang mempengaruhi regenerasi tanaman secara in vitro telah dilaporkan antara lain: spesies tanaman, tekanan osmotik pada medium (konsentrasi sukrosa), intensitas cahaya, dan konsentrasi zat pengatur tumbuh pada medium (Lai et al. 2000, Prahardini dan Sudaryono 1992, Sunyoto et al. 2002). Menurut Ritchie dan Hodges (1993) komposisi media merupakan kondisi yang penting dalam kultur tanaman secara in vitro. Komponen media meliputi unsur hara makro, mikro, sumber karbon, vitamin, dan zat pengatur tumbuh. Setiap genotipe tanaman memiliki respon pertumbuhan yang berbeda meskipun ditumbuhkan pada media kultur yang sama, demikian juga dengan sumber eksplan tanaman sehingga diperlukan optimasi kondisi yang sesuai untuk masing-masing genotipe dan sumber eksplan. Di dalam perakitan tanaman transgenik, kompetensi untuk beregenerasi, yaitu kemampuan kalus membentuk tanaman lengkap dan kompetensi untuk ditransformasi merupakan dua kunci penting. Transformasi genetik akan berhasil dan bermanfaat apabila sudah diperoleh sistem regenerasi tanaman secara Teknik regenerasi pepaya secara in vitro dapat dilakukan dengan berbagai sumber eksplan, di antaranya embrio zigotik muda (Fitch et al. 1990), kalus hipokotil (Fitch et al. 1992, 1993) dan kalus petiol (Yang et al. 1996). Dalam penelitian tersebut efisiensi induksi embrio somatik berbeda-beda antara beberapa penelitian. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan variasi umur eksplan dan genotipe yang digunakan. Namun pada umumnya, media yang digunakan adalah media dasar MS (Murashige dan Skoog 1962), dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) untuk induksi pembentukan kalus, sedangkan untuk regenerasinya diperkaya dengan BAP dan GA3. Hak Cipta © 2007, BB-Biogen Regenerasi secara in vitro menggunakan jaringan muda (embrionik) sangat mudah untuk menghasilkan 50 JURNAL AGROBIOGEN kalus. Fitch et al. (1993) melaporkan bahwa faktorfaktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan regenerasi kalus antara lain adalah spesies tanaman, asal eksplan, macam dan konsentrasi zat pengatur tumbuh. Kenaikan konsentrasi sukrosa pada media induksi yang diperkaya 2,4-D 4,5 μM dapat meningkatkan persentase pembentukan kalus embriogenik pepaya Kapoho. Komposisi tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap spesies pepaya lain serta macam eksplan yang diregenerasikan (Ollitrault et al. 1996). Di Indonesia, Mariska (2002) telah melaporkan tentang kultur jaringan pepaya menggunakan varietas pepaya hasil persilangan pepaya Hawai dengan pepaya Bangkok, sebagai eksplan dengan 86 formulasi medium, namun menghadapi masalah, yaitu tunas tidak dapat tumbuh memanjang, roset, daun cepat menguning, dan akhirnya gugur. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan media dasar yang kaya mineral, penambahan sitokinin konsentrasi rendah, beberapa asam amino, serta anti auksin menyebabkan tunas dapat memanjang dan daun tidak menguning. Hutami et al. (2001) melaporkan formulasi media terbaik untuk induksi kalus embriogenik pepaya pada sistem regenerasi beberapa varietas pepaya adalah MS + sukrosa 30% + vitamin B5 + 2,4-D 20 mg/l, sedangkan untuk produksi embrio somatik dewasa dan bibit somatik adalah MS + sukrosa 2% + BA 0,4 mg/l + thiamin 0,1 mg/l. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh sistim regenerasi tanaman pepaya secara kultur in vitro yang optimal dengan mendapatkan media terbaik untuk (1) induksi kalus embriogenik, (2) regenerasi kalus membentuk struktur embrio somatik, (3) sistem perakaran tunas in vitro, dan (4) aklimatisasi tanaman di rumah kaca. BAHAN DAN METODE Persiapan Eksplan Bahan penelitian yang digunakan sebagai eksplan untuk induksi kalus embriogenik adalah embrio muda dari biji pepaya muda varietas Burung. Biji diambil dari buah pepaya muda, kemudian biji direndam dalam larutan fungisida (benlate 0,5 mg/l), digojok selama 1 jam. Setelah itu, di dalam laminar air flow, biji direndam dalam larutan clorox 30% dan 20% masing-masing selama 10 menit dan dilanjutkan dengan alkohol 70% selama 10 menit, kemudian biji dibilas 4-5 kali dengan akuades steril masing-masing 10 menit dan ditiriskan di kertas saring. VOL. 3 NO. 2 Induksi Kalus Embriogenik Embrio zigotik diisolasi dengan membelah biji pepaya dalam laminar air flow dan ditanam pada media induksi kalus. Embrio zigotik muda dikulturkan pada empat perlakuan media, yaitu media dasar MS dengan dua taraf formula (½ dan 1 formula) dan dua taraf 2,4D (5 dan 10 mg/l). Masing-masing perlakuan media dikombinasikan dengan penambahan sukrosa 6% + adenin sulfat 143 mg/l + myo inositol 50 mg/l + glutamin 400 mg/l. Pada setiap botol media ditanam 10 embrio zigotik muda dan diulang 10 kali setiap perlakuan. Kultur disimpan di tempat gelap. Kalus yang terbentuk disubkultur setiap 2 minggu sekali sebanyak dua kali. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan populasi kalus yang lebih banyak. Untuk pengujian kemampuan regenerasi kalus embriogenik, pengamatan dilakukan terhadap persentase embrio zigotik yang membentuk kalus dan persentase pembentukan kalus embriogenik. Persentase eksplan berkalus adalah jumlah embrio zigotik yang berkalus dibagi dengan jumlah total eksplan yang ditanam dikalikan 100%. Persentase pembentukan kalus embriogenik adalah jumlah embrio zigotik yang membentuk kalus embriogenik dibagi dengan jumlah embrio zigotik yang berkalus dikalikan 100%. Regenerasi Kalus Membentuk Struktur Embrio Somatik Regenerasi kalus membentuk struktur embrio somatik menggunakan tiga perlakuan media regenerasi, yaitu menggunakan media dasar MS yang dikombinasikan dengan tiga jenis vitamin (tanpa vitamin, vitamin MS dan vitamin Morel dan Wetmore). Masing-masing media diperkaya dengan penambahan GA3 0,5 mg/l + kinetin 0,1 mg/l. Kultur diinkubasi pada temperatur 24oC di bawah intensitas cahaya 800 lux per 16 jam/ hari sampai menghasilkan tunas. Pada setiap botol ditanam lima kalus dan diulang 20 kali setiap perlakuan. Subkultur dilakukan setiap 2 minggu. Pengamatan dilakukan terhadap persentase kalus embriogenik yang membentuk embrio somatik dan planlet. Perakaran Tunas In Vitro Tunas in vitro dikulturkan menggunakan empat perlakukan media perakaran, yaitu menggunakan media dasar MS dengan 2 taraf formula (½ dan 1 formula) dan diperkaya dengan 2 kombinasi penambahan yaitu paclobutrazol 0,5 mg/l dan IAA 0,1 mg/l + AgNO3 5 mg/l + arginin 100 mg/l. Pada setiap botol ditanam satu planlet dan diulang sebanyak 50 kali setiap perlakuan. Kultur diinkubasi pada temperatur 24oC di bawah intensitas cahaya 800 lux per 16 jam/hari sampai planlet menghasilkan akar yang cukup kuat untuk di- 2007 DAMAYANTI ET AL.: Regenerasi Pepaya melalui Kultur In Vitro aklimatisasi. Pengamatan dilakukan terhadap persentase pembentukan akar. 51 inositol 50 mg/l + glutamine 400 mg/l menghasilkan persentase pembentukan kalus tertinggi, yaitu 100% kalus dan persentase kalus embriogenik tertinggi, yaitu 80% (Tabel 1). Penggunaan media dasar MS yang diturunkan formulanya dari 1 menjadi ½ dan dikombinasikan dengan penambahan 2,4-D 10 mg/l mampu meningkatkan 2 kali lipat terhadap pembentukan kalus embriogenik. Penampilan kalus secara visual menunjukkan bahwa kalus yang terbentuk dari media ini bersifat embriogenik, globular, dan berwarna kuning kehijauan (Gambar 1b). Aklimatisasi Tanaman di Rumah Kaca Media yang digunakan untuk aklimatisasi dicampur dengan perbandingan 1 : 1 pada empat perlakuan media, yaitu (1) arang sekam dan kompos, (2) tanah, arang sekam, dan kompos, (3) tanah dan pasir, (4) tanah, pasir, dan kompos. Setiap planlet ditanam dalam polybag dan diulang 20 kali setiap perlakuan. Planlet dikeluarkan dari botol kultur, kemudian dicuci bersih dan ditanam di media dalam polybag plastik. Polybag ditutup dengan sungkup plastik dan dipelihara selama 1 minggu. Setelah tanaman cukup kuat sungkup dibuka secara bertahap dan tanaman dipindahkan ke pot berukuran besar diisi campuran tanah dan pupuk kandang serta tanaman diletakkan di rumah kaca Fasilitas Uji Terbatas (FUT). Penambahan 2,4-D sebanyak 10 mg/l mampu meningkatkan dua kali lipat pembentukan kalus embriogenik dibandingkan dengan penambahan 2,4-D sebanyak 5 mg/l. Bhojwani dan Razdan (1989) melaporkan bahwa auksin 2,4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik. Hal serupa dilaporkan oleh Fitch et al. (1993) bahwa media induksi kalus yang diperkaya dengan 2,4-D dapat meningkatkan persentase kalus embriogenik pepaya Kapoho. Hutami et al. (2001) melaporkan bahwa dari penelitian regenerasi pepaya Bangkok dan pepaya Burung diperoleh induksi kalus embriogenik tertinggi (72,16%) dan media terbaik adalah MS + sukrosa 3% + vitamin B5 HASIL DAN PEMBAHASAN Induksi Kalus Embriogenik Hasil menunjukkan bahwa media ½ MS + 2,4-D 10 mg/l + sukrosa 6% + adenin sulfat 143 mg/l + myo Tabel 1. Persentase embrio zigotik pepaya yang membentuk kalus dan kalus embriogenik. Perlakuan Persentase eksplan berkalus (%) Persentase pembentukan kalus embriogenik (%) 85 100 63 42 58,8 80 63,4 23 ½ MS + 2,4-D 5 mg/l ½ MS + 2,4-D 10 mg/l MS + 2,4-D 5 mg/l MS + 2,4-D 10 mg/l a e b f c g h d i a = biji pepaya muda (sumber eksplan embrio muda), b = kalus embriogenik, c = kalus non embriogenik, d = kalus yang membentuk tunas, e = perakaran tunas in vitro, f = tunas in vitro yang berakar sempurna, g = aklimatisasi tanaman dengan sungkup plastik, h = tanaman di media aklimatisasi, i = tanaman hasil aklimatisasi di rumah kaca. Gambar 1. Tahapan regenerasi tanaman pepaya. 52 JURNAL AGROBIOGEN + 2,4-D 20 mg/l. Sunyoto et al. (2002) melaporkan bahwa media terbaik untuk pembentukan kalus embriogenik pepaya Dampit dan Sari Rona adalah media MS yang ditambah zat pengatur tumbuh 2,4-D 0,5 ppm + BAP 1 ppm + adenosin sulfat 160 mg/l dan mampu merangsang pertumbuhan kalus embriogenik lebih cepat. Menurut Yusnita (2004), penambahan auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat seperti 2,4-D sangat dibutuhkan untuk merangsang pembelahan sel dan pembentukan kalus. Konsentrasi dan auksin yang dipilih ditentukan antara lain oleh tipe pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang diinginkan. Penggunaan auksin dengan daya aktivitas kuat seperti 2,4-D dengan konsentrasi 10 mg/l pada penelitian ini merupakan formula terbaik, efektif, dan sangat dibutuhkan untuk pembentukan induksi kalus embriogenik pepaya. VOL. 3 NO. 2 vitamin Morel dan Wetmore. Vitamin Morel dan Wetmore merupakan vitamin yang komposisinya paling lengkap dibandingkan dengan vitamin MS, yaitu mengandung kalsium pantotenat dan biotin yang dapat memacu pertumbuhan jaringan dan merupakan komponen media yang berpengaruh baik terhadap pertumbuhan kultur. Pengaruh vitamin Morel dan Wetmore dilaporkan oleh Hutami et al. (1999) pada perbanyakan in vitro tanaman nilam khimera melalui proliferasi tunas aksiler. Media dasar yang digunakan adalah media MS yang ditambah dengan vitamin Morel dan Wetmore. Media ini merupakan media optimum yang dapat memacu proliferasi tunas tanaman nilam. Penelitian ini menggunakan media dasar MS penuh yang ditambah IAA 0,1 mg/l dan AgNO3 5 mg/l, pada media perakaran menghasilkan planlet berakar 66%. Penggunaan media dasar MS penuh dan penambahan IAA dan AgNO3 dapat meningkatkan pertumbuhan meristem jaringan akar. Sedangkan pada penggunaan media ½ MS yang ditambah IAA 0,1 mg/l dan AgNO3 5 mg/l tidak menghasilkan tunas yang berakar. Regenerasi Kalus Membentuk Struktur Embrio Somatik Tanda bahwa kalus yang diregenerasikan dapat membentuk tunas antara lain terjadinya perubahan warna dari kecoklatan atau kuning menjadi putih kekuningan selanjutnya menjadi kehijauan. Perubahan warna tersebut merupakan tanda adanya morfogenesis (George 1993). Perubahan warna ini mulai tampak pada umur kalus 30 hari di media regenerasi kalus. Gambar 1 menunjukkan regenerasi pepaya secara kultur in vitro dimulai dengan pembentukan kalus embriogenik sampai mendapatkan tanaman. Adanya warna hijau pada kalus embriogenik diharapkan merupakan awal dari pembentukan struktur embrio somatik, akan tetapi pada beberapa kalus ada yang berubah warnanya menjadi coklat dan kemudian mati. Perakaran Tunas In Vitro Hasil penelitian perakaran tunas in vitro disajikan pada Tabel 3. Persentase perakaran paling tinggi 80% (40/50) dihasilkan pada media P8, yaitu menggunakan media dasar ½ MS ditambah paclobutrazol 0,5 mg/l. George dan Sherington (1984) menyatakan bahwa akar dan batang menjadi kuat bila ada anti giberelin. Ancymidol dan paclobutrazol dengan konsentrasi kecil dapat meningkatkan perakaran dan kualitas planlet. Paclobutrazol merupakan inhibitor yang dapat merangsang pembentukan perakaran pada berbagai tanaman (Davies et al. 1985). Kultur dengan paclobutrazol menjadikan tunas dan daun lebih hijau dibandingkan dengan kultur pada perlakuan media yang lain. Klorofil yang dihasilkan meningkat dengan penambahan paclobutrazol telah dilaporkan oleh Pinhero dan Fletcher (1994). Biasanya struktur kalus menggambarkan daya regenerasi membentuk tunas dan akar. Kalus yang embriogenik berwarna hijau akan membentuk fase globular (nodul-nodul), hati, torpedo, dan akhirnya menjadi embrio somatik yang berkecambah dan umumnya mempunyai kemampuan yang tinggi untuk membentuk tunas. Tabel 2 menunjukkan bahwa kalus dengan regenerasi tertinggi 63%, jumlah kalus bertunas terbanyak (60), dan rata-rata planlet per kalus (3,3), dihasilkan dari perlakuan media regenerasi, yaitu media yang menggunakan media dasar MS dengan penambahan hormon tumbuh GA3 0,5 mg/l + kinetin 0,1 mg/l + Penggunaan media ½ MS ditambah paclobutrazol 0,5 mg/l pada penelitian ini meningkatkan pembentukan akar kurang lebih tiga kali lipat dibandingkan dengan penggunaan media MS (Tabel 3). Pengenceran kandungan formula sampai dengan setengahnya dari media dasar MS memberikan hasil lebih baik di- Tabel 2. Persentase kalus beregenerasi dan jumlah planlet setiap kalus pepaya. Jenis vitamin Tanpa vitamin MS Vitamin MS Vitamin Morel dan Wetmore Persentase kalus beregenerasi (%) Jumlah planlet setiap kalus 2 44 63 2,80 2,95 3,30 2007 DAMAYANTI ET AL.: Regenerasi Pepaya melalui Kultur In Vitro 53 Tabel 3. Perakaran tunas pepaya in vitro pada empat macam media. Jumlah tunas yang diamati Media MS + paclobutrazol 0,5 mg/l ½ MS + paclobutrazol 0,5 mg/l MS+ IAA 0,1 mg/l + AgNO3 5 mg/l + arginin 100 mg/l ½ MS + IAA 0,1 mg/l + AgNO3 5 mg/l + arginin 100 mg/l 50 50 50 50 Tunas yang berakar Jumlah Persentase (%) 15 40 33 0 30 80 66 0 Organ yang diamati secara visual Akar, kalus Akar Akar Kalus Tabel 4. Jumlah eksplan pepaya yang hidup pada setiap tahapan aklimatisasi pada empat macam media. Media aklimatisasi Arang sekam + kompos Tanah + arang sekam + kompos Tanah dan pasir Tanah + pasir + kompos Jumlah eksplan awal Jumlah eksplan yang berakar sempurna Jumlah eksplan yang hidup dalam sungkup 20 20 20 20 20 20 20 20 15 5 4 3 bandingkan dengan media yang menggunakan media dasar MS penuh. Unsur N yang tinggi pada media MS (NH4+ dan NO3-) dapat menginduksi biosintesis sitokinin yang banyak berperan dalam pembentukan kalus, seperti yang terlihat pada penggunaan media perakaran MS + 0,5 mg/l paclobutrazol. Hasil penelitian Rajeevan dan Pandey (1985) menunjukkan bahwa pengenceran kandungan garam-garam mineral makro, mikro dari basal media MS dapat menghasilkan perakaran yang lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi penuh. Aklimatisasi Tanaman di Rumah Kaca Pada pengujian aklimatisasi tanaman di rumah kaca diperoleh bahwa tingkat keberhasilan tumbuh terbaik 65%, pada media, yaitu media campuran arang sekam dan kompos (Tabel 4). Menurut Murbandono (2005), Prihmantoro dan Indriani (2003) bahwa media campuran antara arang sekam dan kompos dapat bermanfaat menggemburkan, meningkatkan porositas, aerasi, dan memudahkan pertumbuhan akar tanaman. Hal ini dapat meningkatkan keberhasilan aklimatisasi tanaman. Kelembaban yang tinggi umumnya diperlukan hampir semua tanaman yang berasal dari kultur jaringan karena lapisan kutikula pada daun masih tipis, stomata belum berfungsi secara normal, serta hubungan jaringan pembuluh batang dan akar yang belum sempurna. Keadaan ini menyebabkan pada tahap aklimatisasi, tingkat kelembaban yang tinggi sangat diperlukan bagi planlet yang baru ditanam. Pada penelitian ini untuk menjaga agar kelembaban tinggi pada planlet yang baru ditanam, dilakukan dengan mengkondisikan media tumbuh dan menyungkup planlet dengan sungkup plastik (Gambar 1g). Eksplan hidup di rumah kaca Jumlah Persentase (%) 13 4 3 2 65 29 15 10 Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, semakin besar batang tanaman yang akan diaklimatisasi semakin besar pula kemungkinan tanaman dapat tumbuh baik dan sehat di rumah kaca. Tahapan yang paling penting yang harus diperhatikan adalah pada saat pemindahan tanaman dari media kultur ke media tanah, akar harus dicuci bersih dari media yang menempel pada akar karena apabila masih ada media agar yang menempel pada akar dapat menyebabkan tanaman busuk, sehingga tanaman mati. KESIMPULAN Media induksi kalus pepaya varietas Burung terbaik adalah ½ MS + 2,4-D 10 mg/l + sukrosa 6% + adenin sulfat 143 mg/l + myo inositol 50 mg/l + glutamin 400 mg/l menghasilkan kalus embriogenik tertinggi, yaitu 80%. Media regenerasi kalus MS + GA3 0,5 mg/l + kinetin 0,1 mg/l + vitamin Morel dan Wetmore mempunyai respon yang lebih baik, rata-rata 3,3 planlet per kalus. Media perakaran ½ MS + paclobutrazol 0,5 mg/l merupakan media perakaran terbaik yang menghasilkan 80% tanaman berakar. Media aklimatisasi terbaik adalah media campuran antara arang sekam dan kompos, dapat menghasilkan 65% tanaman hidup. DAFTAR PUSTAKA Bhojwani, M.K. and Razdan. 1989. Plant Tissue Culture. Theory and Practice. Elsevier, New York. Davies, T.D., N. Sankhala, R.H. Walser, and A. Upadhyaya. 1985. Promotion of adventitious root formation on cuttings by paclobutrazol. Hort. Sci. 20(5):883-884. Fitch, M.M.M., R.M. Manshardt, and D. Gonsalves. 1990. Stable transformation of papaya via microprojectile bombardment. Plant Cell Rep. 9:189-194. 54 JURNAL AGROBIOGEN Fitch, M.M.M., R.M. Manshardt, D. Gonsalves, J.L. Slightom, and John C. Sanford. 1992. Virus resistant papaya plants derived from tissues bombarded with the coat protein gene of papaya ringspot virus. Bio/Technology 10. p. 1466-1472. Fitch, J.H., R.M. Manshardt, D. Gonsalves, J.L. Sligh-tom, and John C. Sanford. 1993. High frequency somatic embryogenesis and plant regeneration from papaya hipokotil callus. Plant Cell Tiss. and Org. Cult. 32:205212. George, E.F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Eastern Press, Reading. England. George, E.F. 1993. Plant propagation by tissue culture. Part 2 in Practice. Exegetic. Lim. England. p. 1361. Hutami, S., N. Sunarlim, dan I. Mariska. 1999. Perbanyakan in vitro tanaman nilam Khimera melalui proliferasi tunas aksiler. Jurnal Bioteknologi Pertanian 3(2):47-52. Hutami, S., I. Mariska, R. Purnamaningsih, M. Herman, D. Damayanti, and T.I.R. Utami. 2001. Regeneration of papaya (Carica papaya L.) through somatic embryond genesis. Proc. of the 2 Indonesian Biotechnology Conference. Indonesian Biotechnology Consortium. Jakarta. Lai Chuo-Chun, Shyi-Dong Yeh, and Jiu-Sherng Yang. 2000. Enhancement of papaya axillary shoot proliferation in vitro by controlling the available ethylene. Botanical Bull.f Acad. Sinica 41:203-212. Mariska, I. 2002. Perkembangan penelitian kultur in vitro pada tanaman industri, pangan, dan hortikultura. Buletin Agrobio 5(2):45-50. Murashige, T. dan F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue culture. Plant Physiol. 15:473-497. VOL. 3 NO. 2 Murbandono, L.H.S. 2005. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta. Ollitrault, P., V. Allent, and F. Luro. 1996. Production of haploid embryogenic calli of clementine (Citrus reticulate Blanco) affer in situ parthenogenesis induction by irradiated pollen. Proc. Int. Soc. Citriculture. p. 913-917. Pinhero, R.G. and R.A. Fletcher. 1994. Paclobutrazol and ancimidol protect corn seedling from high and low temperature stress. Plant Growth Reg. 15:47-53. Prahardini, P.E.R. dan T. Sudaryono. 1992. Pengaruh kombinasi asam naftalen asetat dan benzyl adenine terhadap kultur pepaya kultivar dampit secara in vitro. Jurnal Hotikultura 2(4):6-12. Prihmantoro, H. dan Y.H. Indriani. 2003. Hidroponik Tanaman Sayuran Semusim untuk Hobi dan Bisnis. Jakarta. Penebar Swadaya. Rajeevan, M.S. and R.M. Pandey. 1985. Rooting and planlet development in vitro from papaya (Carica papaya L.) shoot culture. Indian J. Plant Physiol. XXIX(3):187-195. Ritchie, S.W. and T.K. Hodges. 1993. Cell culture and regeneration of transgenic plants. In Kung, S.D. (Ed.). Transgenic Plant I:147-173. Sunyoto, S. Purnono, R.T. Agus, dan T. Dedi. 2002. Regenerasi kalus embrio pepaya secara kultur in vitro. Jurnal Hortikultura 12(2):71-90. Yang, J.S., T.A. Yu, Y.H. Cheng, and S.D. Yeh. 1996. Transgenic papaya plant from Agrobacterium mediated transformation of petioles of in vitro propagated multishoot. Plant Cell Rep. 15:459-464. Yusnita. 2004. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka, Jakarta.