PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepualauan yang memiliki karakteristik unik yang terdiri dari banyak pulau, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Ditinjau dari letak Astronomisnya yang o o terletak diantara 95 Bujur Timur sampai 141 Bujur Timur (BT) dan o o dari 6 Lintang Utara (LU) sampai 11 Lintang Selatan (LS), Indonesia 2 memiliki luas daratan kurang lebih 1.937.000 km , serta Zona Ekonomi 2 Ekslusif seluas 2.700.000 km dan laut teritorial area kurang lebih 21 seluas 5.176.000 km . Lebih dari itu, Indonesia kurang lebih terdiri dari 18.108 pulau besar dan pulau kecil. Garis yang mengelilingi bagian 2 luar wilayah Indonesia panjangnya sekitar 81.000 km dan 80 persen area tersebut adalah laut 2 menjadikan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang dua pertiga wilayahnya terdiri dari 3 lautan yang sangat luas. Menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, menyatakan dengan jelas bahwa Wilayah Indonesia meliputi Laut Teritorial Indonesia, Perairan Kepulauan dan Perairan Pedalaman, serta ruang udara di atas laut 1 2 3 Sefriani, 2010, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 217. Purwaka, Tomy Hendra, 1989, Indonesia Interisland Shipping: An Assesment of the Relationship of Government Policies and Quality of Shipping Services, University of Hawai, USA., Ph.D tesis, hlm. 3-5. Portal Nasional Republik Indonesia, “Geografi Indonesia”, diakses melalui http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia, pada tanggal 13 Febuari 2015. 1 teritorial, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah dibawahnya. Sebagai negara kepulauan, perairan pada khususnya merupakan elemen yang dominan yang menghubungkan satu daratan dengan daratan lainya atau dengan kata lain seluruh pulau di Indonesia. Pada umumnya perairan merupakan wilayah yang berbatasan dengan suatu negara, sehingga seringkali kejahatan yang dilakukan di wilayah laut dapat menimbulkan konflik yurisdiksi antara negara pantai dengan negara bendera kapal. Konflik yurisdiksi ini timbul berkaitan dengan adanya yurisdiksi ekstra territorial yang dimiliki oleh negara bendera dan yurisdiksi territorial yang dimiliki oleh negara pantai. 4 Melihat posisi Indonesia yang di apit oleh dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia dan potensi sumber daya kelautan, secara tidak langsung menempatkan Indonesia menjadi sangat penting bagi negara-negara dari berbagai kawasan. Banyak aktivitas pelayaran internasional yang melewati Perairaan Indonesia dan bahkan sebagian besar masyarakat Indonesia terlibat dalam pelayaran tersebut. Posisi strategis yang dimiliki oleh Indonesia tak hanya memberikan peluang besar bagi kemajuan bangsa namun juga menimbulkan permasalahan yang kompleks di bidang keamanan, pertahanan, kedaulatan negara, hukum maupun ekonomi. Permasalahan ini timbul dari adanya pihakpihak yang tak bertanggung jawab yang melakukan tindakan illegal 4 Tri Setyawantara, “Pengaturan Hukum Penanggulangan Pembajakan dan Perompakan Laut di Wilayah Perairan Indonesia” Media Hukum vol. V No. ISSN 1411- 3759, Januari- Maret, 2005. 2 demi memanfaatkan sumber daya kelautan yang kita miliki. Tidak jarang tindakan illegal ini melibatkan lebih dari satu kewarganegaraan dan alhasil konflik antar negara tak dapat terhindarkan. Tindakan illegal tersebut dapat menganggu stabilitas keamanan laut dan mengancam kedaulatan negara. Belakangan ini, aktivitas illegal di perairan meningkat, ditandai dengan banyaknya kejahatan yang terjadi baik di perairan internasional di perairan teritorial. Melihat fakta yang ada, hingga 31 Agustus 2014 Kementerian Luar Negeri Jepang mencatat 65 kasus pembajakan dan 8 kasus pembajakan terhadap kapal tengker minyak di Selat Malaka. 5 Selat Malaka terletak di antara Pantai Timur Pulau Sumatera dan Pantai Barat Semenanjung Malaysia bersambung dengan Selat Singapura di bagian Tenggara. Pintu masuk/ke luar di sebelah Barat Laut, ke/dari Samudera Hindia via Laut Andaman adalah di antara Pulau Perak (Malaysia) dan Diamond Point (Indonesia) dengan lebar sekitar 91 mil laut atau antara Penang (Malaysia) dan Ujung Thamiang (Indonesia) dengan lebar sekitar 126 mil laut. Sedangkan pintu masuk/ ke luar di sebelah Tenggara, ke/dari Samudera Pasific melalui Laut China Selatan adalah diantara Tahan Datok (malaysia) dan Tanjung Pergam (Indonesia) dengan lebar sekitar 11,1 mil laut. 5 6 6 Tribun News, “Hingga Agustus 65 Kasus Pembajakan di Semenanjung Malaka”, di akses melalui m.tribunnews.com, pada tanggal 8 Januari 2015. “Kebijakan Nasional Ri mengenai Selat Malaka”, Diakses melalui Kementerian Luar Negeri RI, Direktorat Perjanjian PolKamWil, Dinas Kelautan. 3 Pembajakan dilakukan oleh kapal-kapal asing, maupun oleh kapalkapal domestik di wilayah perairan internasional akhir-akhir ini telah menimbulkan keresahan bagi pelayaran internasional. Pembajakan 7 dapat dikategorikan ke dalam kejahatan lintas batas negara. Pelaku pembajakan dapat melibatkan orang-orang dengan kewarganegaraaan berbeda yang terorganisir, rapi, dan dikendalikan dari negara mana saja, karena itu serangan terhadap kapal dapat terjadi dimana saja dan pelaku penyerangan bisa melarikan diri kemana saja. Pembajakan merupakan tindak pidana internasional dan dianggap sebagai musuh setiap negara, sejak dahulu telah diatur berdasarkan hukum kebiasaan internasional karena dianggap mengganggu kelancaran pelayaran dan perdagangan antarbangsa. Penindakan kejahatan pembajakan tersebut, didasarkan pada berlakunya hukum internasional yang berkaitan dengan pembajakan. 8 Pengaturan oleh hukum kebiasaan internasional tersebut terbukti dari praktek yang terus menerus dilakukan oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Dalam hukum internasional, pengaturan suatu tindak kejahatan dilaut dapat dikategorikan sebagai pembajakan bilamana locus delictinya dilaut lepas telah ditentukan berdasarkan perumusan dalam Konvensi Jenewa 1958 Tentang Laut Lepas (Convention of the High 7 8 Yordan Gunawan, “Penegakan Hukum terhadap Pembajakan di Laut melalui Yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional”, Jurnal Media Hukum, Vol. 19 No. 1 , Juni 2012. Leo Dumais, 2001, Pembajakan dan Perompakan di Laut, Laporan Pelaksanaan Temu Wicara Kerjasama ASEAN Dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara, Deparlu, Jakarta, hlm. 49. 4 Seas) dan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 telah memperlihatkan adanya perkembangan pengaturan dalam hal pembajakan, tindakan yang dikategorikan sebagai pembajakan, pelaku pembajakan dan sarana yang digunakan untuk melakukan pembajakan. Perkembangan tersebut memang mencerminkan kebutuhan masyarakat internasional yang sesuai dengan kondisi dan situasi saat ini. Selain itu terkait dengan piracy, hukum internasional memandang piracy sebagai satu kejahatan internasional yang memiliki karakteristik erga omnes 9 “erga omnes are concerned with the enforceability of norms of international law, the violation of which is deemed to be an offence notonly against the state directly affected by the breach, but also against all members of the international community” Istilah erga omnes dalam hukum internasional digunakan sebagai istilah yang menunjukan sebuah kewajiban hukum yang dimiliki oleh negara terhadap masyarakat negara secara keseluruhan. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut menjadi perhatian tidak hanya negara korban, tetapi juga kepada semua anggota lain dari komunitas internasional. Pelanggaran kewajiban ini, setiap negara dibenarkan dalam mengganggil (mungkin melalui jalur hukum) tanggung jawab negara bersalah melakukan perbuatan yang melanggar norma yang diakui secara internasional. Contoh norma-norma erga omnes adalah 9 Peter Malanezuk, 1997, ed, Akehurst‟s Modern Introduction to International Law, ed. 7, New York: Routledge, hlm. 58. 5 larangan the unilateral use of force, genosida, the prohibition of slavery (perbudakan), penyiksaan (torture), diskriminasi rasial, dan termasuk pembajakan (piracy). Konsep tersebut diakui dalam keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) dalam Traction Barcelona pada 1970. 10 Dari segi regulasi nasional, telah dilakukan pemantapan landasan hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia guna melindungi kepentingan nasional di laut, antara lain dalam KUHP BAB XXIX tentang Kejahatan Pelayaran. Indonesia juga telah menerbitkan Undangundang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nation Convention on the Law of the Sea – UNCLOS) 1982 yang dalam pasalnya memuat pengaturan tentang Zona Tambahan. Di Era Globalisasi ini bentuk tindak kejahatan dilaut semakin beragam, hal ini dapat dilihat dari makin banyak tindakan kejahatan yang menggunakan perangkat canggih serta modus operandi yang semakin modern. Dari fenomena tersebut menjadikan suatu tantangan bagi negara dalam menyikapi atau menangulangi kejahatan di laut yang selalu dinamis. Dapat dilihat dari penjelasan sebelumnya bahwa ketentuan hukum yang telah ada tidak lagi relevan untuk dijadikan acuan dalam penangulangan kejahatan tersebut. Tidak dapat dipungkiri, hal ini menimbulkan kekosongan hukum. Sebagai contoh, dalam 10 “Erga Omnes”, di akses melalui http://www.miftakhulhuda.com/2010/12/erga-omnes.html, pada tanggal 13 Febuari 2015. 6 UNCLOS hanya mengklasifikasikan kejahatan pembajakan sebagai sebuah kejahatan yang terjadi di laut lepas. Oleh karena itu, melihat bentuk tindak kejahatan di laut dalam hal (piracy) yang semakin beragam (tidak hanya terjadi di laut lepas) dan banyaknya kepentingan Indonesia di laut, serta melihat dari komitmen Pemerintahan Indonesia yang baru dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Yusuf Kalla yang dimana dalam visinya akan menjadikan Indonesia sebagai “Poros Maritim” dunia, dirasa diperlukannya peningkatan perlindungan dan pengamanan guna menghindari kemungkinan pemanfaatan yang merugikan bangsa dan negara. Demikian juga ancaman dan gangguan yang mungkin timbul perlu diantisipasi agar upaya-upaya untuk memanfaatkan laut sebesarbesarnya demi terwujudnya keamanan di laut dan kesejahteraan bagi Bangsa Indonesia dapat terjaga dan terjamin, maka perlu ada penyelenggaraan penegakan hukum yang baru guna mengatasi kejahatan-kejahatan di laut yang makin beragam. Convention for Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation (Konvensi SUA) 1988 mengatur mengenai pembajakan terhadap kapal. Alasan umum munculnya konvensi ini dikarenakan banyaknya laporan tentang tindakan kejahatan yang sangat meresahkan aktivitas pelayaran internasional dan khususnya konvensi ini muncul setelah terjadinya pembajakan dan penculikan terhadap kapal 7 Achille Lauro pada tahun 1985 di perairan Mesir oleh sekelompok orang Palestina. Selain itu, pelaku juga melakukan tindak kejahatan pembunuhan terhadap penumpang kewarganegaraan Amerika. 11 Merujuk pada hal tersebut, pada November tahun 1986 Pemerintah Austria, Italy, dan Mesir memberikan suatu usulan kepada Organisasi Maritim Internasional (IMO) untuk menindaklanjuti hal tersebut dengan mempersiapkan suatu konvensi terkait penanganan tindak kejahatan yang membahayakan keselamatan maritim. Pada tahun 1988, dalam Konferensi International yang di adakan oleh IMO di Roma menghasilkan suatu konvensi untuk penegakan tindak kejahatan yang mengancam keamanan navigasi pelayaran (Konvensi SUA 1988) yang kemudian di adopsi oleh beberapa negara yang hadir dalam konferensi tersebut. Konvensi ini meliputi tindakan ilegal yang tidak tergantung pada motif, baik politis atau pribadi, yang mendorong seseorang melakukan tindakan kejahatan. Tujuan utama dari konvensi ini adalah memastikan bahwa terdapat tindakan yang sesuai diambil dalam melawan orangorang yang melakukan tindakan-tindakan tidak sesuai hukum terhadap kapal. Tindakan tersebut antara lain perampasan kapal dengan cara paksa, tindakan kekerasan terhadap orang-orang di kapal, dan tindakan 11 Nanyang University of Singapore Journal of International and Comparative Law, 1998, The Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against The Safety of Maritime Navition, hlm. 543. Diakses melalui http://law.nus.edu.sg/sybil/downloads/articles/SJICL-19982/SJICL- 1998-541.pdf, Pada 19 Juni 2015. 8 menempatkan alat-alat di atas kapal yang dapat menghancurkan atau merusak kapal tersebut. Konvensi ini mewajibkan Negara-negara peserta Konvensi untuk melakukan ekstradisi atau menghukum / pelakunya. 12 Seiring berjalannya waktu dalam menyikapi setiap perkembangan isu yang terjadi didalam IMO dalam hal ini Konvensi SUA 1988 yang dimana Negara Indonesia termasuk salah satu negara yang aktif didalamnya. Setelah melalui rapat pertemuan internal pemerintah berulang kali antara Kementerian Luar Negeri, DPR RI, Badan Keamanan Laut (BaKamLa), Polisi Air Republik Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan instansi lain yang terkait dalam menentukan sikap Negara Indonesia dalam menyikapi Konvensi SUA 1988, dimana Negara Indonesia memutuskan untuk menolak meratifikasi konvensi tersebut untuk dijadikan hukum positif Indonesia, dikarenakan dengan meratifikasi konvensi tersebut memberikan kewenangan kepada negara lain untuk menerapkan prinsip yurisdiksi universal didalam yurisdiksi hukum nasional. “NKRI HARGA MATI” hal tersebut diungkapkan Bapak Fefen Zamzari, S.H., LL.M. (salah satu DERI yang cukup fokal dan menguasai Konvensi 12 http://www.imo.org/, diakses pada tanggal 8 Januari 2015. 9 SUA 1988) dari Dinas Kelautan Direktorat PolKamwil Kementerian Luar Negeri Indonesia sebagai salah satu narasumber saya. 13