JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 KEGIATAN MILITER DI ZEE DAN PELAKSANAAN HOT PURSUIT DI INDONESIA1 Kresno Buntoro Abstrak Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah suatu rezim baru yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Banyak ahli menilai bahwa ketentuan-ketentuan tentang ZEE sebagaimana tercantum dalam UNCLOS merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional dan praktik bangsa-bangsa. Negara diakui memiliki kedaulatan atas ZEE yang dimilikinya. Definisi dari hak-hak kedaulatan didefinisikan oleh para ahli dalam makna yang berbeda. Beberapa ahli mengartikan bahwa ZEE merupakan suatu hak khusus diantara kedaulatan negara dan kebebasan negara di laut lepas, dan yang lainnya berpikir bahwa status ZEE sama dengan status laut lepas dalam lingkup navigasi. Dewasa ini, aktifitas militer yang dijalankan oleh negara di ZEE menyebabkan beberapa konflik dan krisis karena kegiatan tersebut dilakukan di ZEE dari negara lain. Konflikkonflik tersebut mempertanyakan hak dan kewajiban dari negara pantai dan negara lain dalam ZEE yang terkait dengan kegiatan militer, pengumpulan data dan implementasi dari pengejaran seketika oleh otoritas militer asing di ZEE. Kata Kunci: Zona Ekonomi Eksklusif, Kegiatan Militer, Pengejaran Seketika. Abstract The Exclusive Economic Zone (EEZ) is a new regime which is regulated in the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). There are many experts consider that the provisions of EEZ as set forth in UNCLOS are parts of international customary law and states practices. It is recognized that a state has sovereign rights 1 Artikel ini juga disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “30 Tahun Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 dan Tantangan Diplomasi Kelautan Indonesia”, 13 November 2012 di Palembang. Paper ini merupakan pendapat pribadi penulis, sehingga tidak terkait dengan institusi dimana penulis bekerja. 49 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 over its EEZ. The definition of sovereign rights was defined by the experts in some different meanings. Some of the experts define that it is a special right between sovereignty of a state and the freedom of other states in high seas, and the others think that the status of EEZ is similar with the status of high seas in the scope of navigation. Nowadays, the military activity which is exercised by state in EEZ causes some conflicts and crisis because it is exercised in the EEZ by the other states. Those rising conflicts challenge the right and obligation of coastal state and the other state in EEZ related to the military activity, data collection and the implementation of hot pursuit by foreign military force in EEZ. Keywords: Exclusive Economic Zone, Military Activities, Hot Pursuit. Pendahuluan Ketentuan hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 (Law of the Sea Convention/LOSC)2 membagi wilayah negara dalam dua bagian yaitu laut/perairan wilayah suatu negaradan laut yang bukan wilayah suatu negara. Laut atau perairan yang menjadi wilayah suatu negara yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial, dimana negara pantai/kepulauan mempunyai kedaulatan.3 Sedangkan laut yang bukan merupakan wilayah suatu negara adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Landas Kontinen, laut bebas dan dasar laut dalam (deep seabed/area).4 Di masingmasing zona maritim tersebut negara pantai (kepulauan) mempunyai 2 The United Nations Conventionon the Law of the Sea, 10 December 1982, UNTS 1833 at 3 (entered into force 16 November 1994), online:United Nations <http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention. htm>[selanjutnya digunakan istilah LOSC] 3 Indonesia mengatur laut yang menjadi wilayah Indonesia dalam istilah Perairan Indonesia diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 4 Beberapa ahli dan buku memasukan “selat untuk pelayaran internasional” (strait used for international navigation) sebagai bagian dari zona maritim.Lihat Martin Tsamenyi dalam materi kuliah di Seskoal. 50 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 hak, kewajiban dan kewenangan yang berbeda-beda, demikian pula kapal ataupun wahana laut lainnya mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda pula ketika bernavigasi di zona maritim ini. ZEE merupakan rezim baru yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982. Sebagai zona maritim baru pengaturan dalam ZEE dapat dikatakan cukup banyak yaitu dalam Bab V LOSC pasal 55 sampai 75.5 Banyak ahli berpendapat bahwa pengaturan ZEE yang ada di Konvensi merupakan bagian dari international customary law dan prakteknegara-negara.6 Pengaturan utama dalam zona maritim ini antara lain hak negara pantai untuk memanfaatkan sumber daya alam, perlindungan lingkungan laut, riset ilmiah kelautan dan lain-lain. Dalam praktek negara-negara di ZEE masih banyak permasalahan7 yang muncul antara lain hubungan batas ZEE dengan landas kontinen, hubungan aktivitas di ZEE dengan landas kontinen, termasuk juga apakah rezim ZEE dan landas kontinen yang 200 mil laut adalah sama.8 5 Apabila dibandingkan dengan pengaturan tentang alur laut kepulauan yang merupakan konsep baru juga, dimana hanya diatur dalam 2 pasal, maka ZEE pengaturannya cukup lengkap. Demikian juga tentang lintas transit dan negara kepulauan diatur cukup lengkap. 6 Continental Shelf Tunisia/Lybia judgement, [1982] I.C.J. Rep. 18; Case Concerning Delimitation of the Maritime Boundary of the Gulf of Maine (Canada/United States), [1984] I.C.J. Rep. 246, 294; Sohn & Gustafson 122; 2 Restatement (Third), sec. 514 Comment a & Reporters’ , 56 & 62.; Horace B Robertson Jr, Navigation in the Exclusive Economic Zone, Virginia Journal International Law, 24:4, 865-866. 7 Permasalahan ini selalu bermula pada kepentingan negara maritim besar dan negara pantai yaitu pertentangan antara mare liberum dan mare clausum.Lihat, CE Pirtle, ‘Military Uses of Ocean Space and the Law of the Sea in the New Millennium’ (2000), 31 Ocean Developments and International Law, 7, 11. 8 Ada pendapat bahwa rezim ZEE meliputi landas kontinen selebar 200 mil laut. Dalam hal ini pengaturan ZEE dan landas kontinen selebar 200 mil laut adalah sama baik dari jaraknya, pengaturannya, dan hak/kewajiban yang dimiliki oleh negara. Dalam beberapa pasal dalam LOSC yang mengatur ZEE dan landas kontinen saling terkait. 51 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Pertentangan yang mengemuka terkait dengan kegiatan militer di ZEE negara lain adalah bagaimana hak dan kewajiban negara pantai dan negara pengguna di ZEE terkait dengan kegiatan militer, survei hidroosenaografi dan pengumpulan data/informasi intelejen. Oleh sebab itu dalam paper singkat ini akan dijelaskan hak dan kewajiban negara pantai dan negara pengguna terkait dengan aktivitas militer di ZEE; apakah yang dimaksud dengan freedom of navigation dan overflight di ZEE, apakah yang dimaksud negara kegiatan militer; dan implementasi dari hot pursuit yang dilakukan oleh kekuatan militer asing di ZEE Indonesia. Hak dan Kewajiban Negara di ZEE ZEE merupakan zona yang berada antara laut teritorial dan laut bebas. Oleh sebab itu banyak negara yang mengatakan bahwa pengaturan ZEE harus berbeda dengan pengaturan di laut bebas maupun di laut teritorial. Konsep kewenangan yang dikenal dalam ZEE ini adalah hak berdaulat (sovereign rights).9 Pengertian sovereign rights oleh banyak ahli diartikan dengan bermacam-macam, antara lain ada yang berpendapat bahwa sovereign right merupakan hak khusus yang berada diantara hak kedaulatan (sovereignty) dengan kebebasan suatu negara (freedom of high seas) di laut bebas. Selain itu ada ahli yang mengatakan bahwa jika berbicara tentang navigasi maka status hukum dari ZEE adalah sama dengan laut bebas.10 Tentu saja status hukum ZEE harus 9 Amerika berpendapat bahwa ZEE merupakan zona yang khusus diperuntukan untuk aktivitas ekonomi Negara pantai dan tidak untuk pelaksanaan hak lainnya. Lihat, Annotated Supplement To The Commander’s Handbook On The Law Of Naval Operations - NWP 9.A/FMFM 1-10. 10 White House Fact Sheet, Annex AS1-5. These “sovereign rights” are functional in character and are limited to the specified activities; they do not amount to “sovereignty” which a nation exercises over its land territory, internal waters, archipelagic waters, territorial sea (subject to the right of innocent passage for foreign vessels). International law also grants to coastal states limited “jurisdiction” in the exclusive economic zone for 52 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 dikembalikan pada ketentuan LOSC yang mengatur beberapa zona maritim antara lain: perairan pedalaman,11 perairan kepulauan,12 laut teritorial,13 zona tambahan,14 ZEE,15 landas kontinen,16 laut bebas,17 dan wilayah laut dalam18. Berdasarkan kententuan tersebut menunjukan bahwa ZEE merupakan zona tersendiri19 dan berbeda dengan laut teritorial, zona tambahan, landas kontinen dan laut bebas itu sendiri. Sehingga penerapan hak dan kewajiban suatu negara pun semestinya berbeda. Kepentingan suatu negara biasanya selalu dilindungi dengan kebijakan politik, hukum dan perlindungan fisik berupa penegakan hukum serta pengerahan/pergerakan kekuatan militer. Sebagai contohnya: kepentingan perdagangan suatu negara diikuti dengan kebutuhan akan keamanan dan keselamatan kapal pada jalur perdagangan yang antara lain dapat dilakukan dengan pengerahan kekuatan militer di jalur perdagangan tersebut.20 Pengerahan kekuatan the other purposes mentioned in the text at note 48. 2 Restatement (Third), sec. 511 Comment b at 26-27. 11 Pasal 8, dan 50, LOSC. 12 Pasal 49 LOSC. 13 Pasal 2 LOSC. 14 Pasal 33 LOSC. 15 Pasal 55 LOSC. 16 Pasal 76 LOSC. 17 Bab VII LOSC. 18 Bab XI LOSC. 19 “The exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal regime established in this Part, under whichthe rights and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedoms of other States are governed by the relevant provisions of this Convention”.Pasal 55 LOSC dengan penekanan. 20 Sejarah menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi negara biasanya akan diikuti dengan pembangunan kekuatan pertahanan. Apabila perekonomian negara sebagian bertumpu pada maritim/kelautan, pembangunan kekuatan laut lebih diutamakan.Hal ini disebabkan kekuatan laut tersebut digunakan untuk melindungan kepentingan ekonomi negara itu. 53 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 militer biasanya sangat jarang memasuki wilayah kedaulatan negara lain, akan tetapi berada di luar laut teritorial suatu negara. Hal ini sebenarnya merupakan penghormatan terhadap kedaulatan negara pantai, walaupun banyak negara beranggapan bahwa keberadaan armada/kapal perang asing yang dekat dengan wilayahnya merupakan ancaman terhadap keamanan negara tersebut. Dalam beberapa tahun ini, kegiatan militer yang dilakukan oleh negara-negara menimbulkan krisis dan konflik. Hal ini disebabkan kegiatan militer yang dilakukan oleh negara dimaksud dilakukan di ZEE negara lain.21 Dalam Bab V Pasal 56, 60 dan 61 LOSC disebutkan bahwa negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam di ZEE. Hak tersebut antara lain meliputi pula hak untuk melakukan penelitian atas sumber daya alam; hak untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam; hak untuk melakukan konservasi sumber daya alam; dan hak untuk mendirikan dan mengatur pulau buatan, instalasi dan bangunan. Selain itu dalam pasal 77 dan 80 LOSC yang mengatur tentang landas kontinen yang berada di bawah ZEE negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam antara lain: hak melakukan penelitian sumber daya alam di landas kontinen; hak melakukan eksploitasi sumber alam dari landas kontinen; hak untuk mendirikan dan mengatur pulau buatan, instalasi dan bangunan. Kegiatan pemanfaatan Lihat pertempuran North Atlantic, dimana kekuatan laut digunakan untuk melindungi konvoi kapal-kapal dagang; ekspedisi perdagangan pada abad pertengahan diikuti dengan kekuatan laut yang mumpuni. 21 Beberapa tahun yang lalu, Amerika Serikat mengembangkan doktrin “sea basing” dimana naval base Amerika Serikat digelar di tengah laut dan mempunyai mobilitas yang tinggi disesuaikan dengan pengerahan kekuatannya. Lihat, Sam, J Tangerdi, Concept, Issues, and Recommendations, Naval War College Review, Autum 2011, Vol 64, No. 4; Sea basing di www.dtic.mil/concepts/jitc_seabasing.doc, diakses tanggal 16 Januari 2013; Admiral Ven Clark, US Navy, ‘Sea Power 21, Projecting Decisive Joint Capabilities,’ diwww.navy.mil/navydata/cno/proceeding.html, diakses tanggal 16 Januari 2013. 54 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 sumber daya alam lainnya termasuk pemanfaatan energi dari angin, arus, dan ombak. Riset ilmiah kelautan dapat dilakukan di ZEE.22 Kegiatan tersebut dapat berupa pengumpulan data/informasi ilmiah, monitoring risiko dan efek polusi, dan riset ilmiah kelautan. Kegiatan riset ilmiah kelautan dapat berupa survei ataupun riset hidrografi, oseanografi, biologi laut, riset perikanan, driling, survei ilmiah geologi/geofisik, dan kegiatan riset ilmiah untuk tujuan lainnya. Apabila kegiatan tersebut dilakukan untuk tujuan komersial, banyak negara tidak menganggap kegiatan itu sebagai riset ilmiah kelautan sebagaimana diatur dalam Konvensi. Selain itu apabila riset ilmiah digunakan untuk tujuan militer tidak juga termasuk kegiatan riset ilmiah sebagaimana diatur dalam Konvensi.23 Sedangkan hak negara lain di ZEE antara lain untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut, pelayaran dan penerbangan. Khusus untuk meletakkan kabel dan pipa bawah air harus tetap melalui izin atau sesuai peraturan perundang-undangan negara lain. Khusus tentang batas maritim terkait dengan ZEE dan landas kontinen banyak negara mengisyaratkan bahwa penyelesaian batas ZEE dan landas kontinen adalah sama. Akan tetapi untuk negara yang telah menyelesaikan batas landas kontinen sebelum ada LOSC dan masih didasarkan pada Konvensi Jenewa 195824, maka ketika akan menyelesaikan batas ZEE ada kemungkinan antara garis batas ZEE dan landas kontinen berbeda (tidak berimpit). Kondisi ini tentu saja dapat dimaklumi disebabkan rezim landas kontinen yang digunakan dalam 22 Pasal 56 LOSC. Lihat, Oxman, The Regime of Warships Under the United Nations Convention on the Law of the Sea, 24 Virginia Journal International Law,. 809, 844-47 (1984); Negroponte, Current Developments in U.S. Oceans Policy, Dep’t St. Bull., Sep. 1986, 86. 24 Lihat Convention on the Continental Shelf, April 29, 1958, 15 UST. 471, 499 UNTS. 311. 23 55 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Konvensi Jenewa 1958 berbeda dengan rezim landas kontinen yang diatur dalam LOSC26. Oleh karena itu dalam kasus Indonesia akan ditemukan beberapa garis batas ZEE dan landas kontinen yang tidak berimpit, sebagai contohnya batas maritim antara Indonesia dengan Australia. Pada perjanjian batas maritim tersebut terdapat 2 (dua) garis batas maritim yang tidak berimpit yaitu garis batas landas kontinen dengan Australia yang telah ditetapkan pada tahun 197127dengan batas maritim tertentu antara Indonesia dengan Australia yang disepakati pada tahun 199728. Pada batas maritim tersebut terdapat wilayah dimana landas kontinennya berada dalam jurisdiksi Australia, akan tetapi ZEE berada dalam yurisdiksi Indonesia. 25 Freedom of Navigation dan Overflight di ZEE Pasal 58 yang menunjuk pasal 87 LOSC menyatakan bahwa kapal perang dan pesawat udara militer dari negara lain (selain negara yang memiliki ZEE) menikmati “freedom of navigation and overflight” di ZEE. Di laut bebas terdapat ketentuan yang sama tentang adanya freedom of 25 Definisi landas kontinen pada Konvensi Jeneva 1958 memberikan perumusan berdasarkan dua kriteria, pertama, yaitu kriteria geomorfologis (200 metres), dan kedua, yaitu kriteria ”Exploitability” (or, beyond that limit to where the depth of the superjacent waters admits of the exploitation). Kriteria kedua ini subjektif dan tidak ada sangkut pautnya dengan pengertian geologis landas kontinen. 26 Konsep penentuan batas landas kontinen di LOSC ditekankan pada konsep jarak, sedangkan kelanjutan alamiah (natural prolongation) digunakan ketika negara akan mengajukan klaim landas kontinen di luar 200 mil laut. 27 Lihat Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Commonwealth of Australia establishing certain Seabed Boundaries in the Area of the Timor and ArafuraSeas, Supplementary to the Agreement of 18 May 1971.Perjanjian ini disahkan/diratifikasi dengan Keppres No.66 Tahun 1972. 28 Pemerintah Indonesia dan Australia telah melalukan perundingan untuk menyelesaikan batas maritim kedua negara. Perjanjian batas maritim tersebut yang telah ditanda tangani pada tahun 1997, akan tetapi perjanjian batas maritim tersebut belum diratifikasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut belum berlaku. 56 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 navigation and overflight, permasalahannya adalah apakah pelaksanaan kebebasan pelayaran dan perbangan yang ada di ZEE dan laut bebas sama. Selain itu apa yang dimaksud dengan kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE maupun di laut bebas. Tidak ada penjelasan resmi tentang maksud dari kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE maupun di laut bebas. Sehingga banyak negara menafsirkan dan mengimplementasi sesuai dengan kepentingannya. Banyak pihak menyatakan bahwa kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE yang menunjuk kepada kebebasan di laut bebas mencakup kebebasan dalam latihan militer dan kegiatan operasional lainnya.29 Dalam Pasal 87 (1) LOSC disebutkan bahwa kebebasan pelayaran dan penerbangan dapat dinikmati oleh semua negara, akan tetapi pelaksanaan dari hak tersebut harus didasarkan pada ketentuan Konvensi.30 Selanjutnya dalam Pasal 58 (3) LOSC juga disebutkan bahwa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di ZEE, negara harus selalu mempertimbangkan kepentingan dari negara pantai dan memenuhi peraturan perundang-undangan dari negara pantai.31 Peraturan perundang-undangan dari negara pantai tersebut tidak boleh bertentangan dengan Konvesi dan hukum internasional lainnya. Berdasarkan Pasal 58 LOSC tersebut dengan jelas disebutkan bahwa pelaksanaan hak di ZEE harus selalu mempertimbangkan kepentingan 29 Lihat, J.M. VanDyke,’Military Ships and Planes Operating in the Exclusive Economic Zone of Another Country’, 28 Marine Policy (2004), 29-39; G.V. Galdorisi & A.G. Kaufman,’Military Activities in EEZ: Preventing Uncertainty and Defusing Conflict’, 32 California Western Law Journal (2001-2002), 253-301. 30 “All states enjoy the freedom of navigation and over-flight, subject to the conditions laid down by this Convention and by the other rules of international law”. 31 Meyer mengatakan bahwa “Peraturan yang dimaksud adalah peraturan terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam di ZEE”.Lihat Commander JC Meyer, USN,’ The Impact of the Exclusive Economic Zone on Naval Operations,’ (1992), 40 Naval Law Review. 57 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 negara pantai yaitu dengan selalu memperhatikan dan memenuhi peraturan perundang-undangan negara pantai. Kapal dan pesawat udara mempunyai hak untuk menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE negara lain, akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi dengan tidak mengganggu kepentingan negara pantai. Konvensi denga jelas mencoba untuk menyeimbangkan antara kepentingan negara pantai dengan negara pengguna, akan tetapi formulasi pasal, khususnya pasal 58 (1) dan pasal 87 LOSC, yang digunakan masih dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Oleh sebab itu kegiatan militer yang dilakukan di ZEE negara lain dapat dikategorikan sebagai kegiatan tidak damai dan mengganggu kepentingan negara pantai,32 sehingga kegiatan tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan ketentuan Konvensi.33 Kegiatan militer dimaksud dapat berbentuk berbagai macam antara lain latihan manuver, latihan penembakan, test senjata, latihan perang-perangan, pengumpulan data intelejen, survei hidrografi, dan oseanografi. Angkatan laut merupakan kekuatan militer yang diperuntukan untuk gelar kekuatan di mana saja baik di wilayah sendiri, wilayah negara lain, maupun di wilayah/laut bebas. Gelar kekuatan angkatan laut dapat diartikan sebagai representasi kebijakan negara, mengingat kekuatan angkatan laut yang dapat terdiri dari satuan kapal atas air, bawah air, dan pesawat udara militer, membawa bendera negara. Konsekuensi dari keberadaan itu maka suatu kekuatan angkatan laut mempunyai imunitas 32 Brazil, Bangladesh, Cape Verde, Malaysia, India, dan Pakistan telah menyatakan bahwa kegiatan militer asing di ZEE mereka harus mendapatkan izin dari negaranya. Lihat, Deklarasi dan Pernyataan pada LOSC di http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_declaration.htm diakses pada 16 Januari 2013. 33 Argumentasi yang digunakan oleh negara pantai adalah laut harus digunakan untuk perdamian yang diatur dalam preambul dan pasal 301 LOSC. 58 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 dimanapun berada.34 Sehingga kekuatan angkatan laut biasanya membawa tiga fungsi yaitu sebagai kekuatan militer (military function), fungsi diplomasi (diplomatic function) dan fungsi polisionil (constabulary function).35 Dalam praktek negara ada bermacam-macam sikap terkait dengan kegiatan militer di ZEE negara lain36, antara lain Amerika Serikat berpendapat bahwa kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE dan laut bebas adalah sama, yaitu semua kapal dapat melakukan semua aktivitas termasuk kegiatan militer dan pengumpulan informasi intelejen.37 Kegiatan-kegiatan di ZEE tidak boleh dilakukan jika bertentangan dengan ketentuan LOSC dan hukum internasional. Sedangkan ada negara lain, contohnya China berpendapat bahwa kebebasan tersebut harus berbeda disebabkan negara pantai mempunyai hak berdaulat terhadap ZEE dan kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara tidak boleh mengganggu hak negara lain, serta kegiatan di ZEE 34 Pasal 32 LOSC Lihat, Ken Booth, Navies and Foreign Policy, New York: Crane, Russak, 1977; James Cable. Gunboat Diplomacy. Basingstoke: Palgrave Macmillan, 1981. 36 Lihat, JR Crook (ed),’United States Protests Chinese Interference with US Naval Vessel, Vows Continued Operation’ in Contemporary Practice of the United States Relating to International Law (2009) 103 American Journal International, 325-351; US Department of Defense,’DOD News Briefing with Geoff Morrel from the Pentagon (11 March 2009), http://www.defence.gov/transcripts.aspx?transcriptsID=4369>diakses pada tanggal 4 Februari 2012. 37 . Pernyataan dari Ketua Delegasi Amerika pada penutupan sidang hukum laut (the Third United Nations Conference on the Law of the Sea) di Montego Bay, Jamaica tanggal 9 Desember 1982, antara lain sebagai berikut: the Convention has recognized the sovereign rights of the coastal state over the resources of the exclusive Economic Zone, jurisdiction over artificial islands, and jurisdiction over installations and structures used for economic purposes therein, while retaining the international status of the zone in which all states enjoy the freedoms of navigation, overflight, laying of submarine cables and pipelines, and other internationally lawful uses of the sea, including military operations, exercises and activities. --- etc 35 59 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 harus selalu digunakan untuk kegiatan damai.38 Terkait dengan hal tersebut semua kegiatan militer asing di ZEE China dan kegiatan yang mengganggu keamanan dan perdamaian China dilarang.39 Negara Brasil menganut paham yang hampir sama dengan China, bahwa semua kegiatan militer asing dilarang atau harus mendapat izin dari negara Brasil.40 Kegiatan yang mendapat respon keras dari Amerika adalah larangan untuk meletakkan alat dan instalasi apapun di ZEE/landas kontinen Brasil.41 Indonesia belum mempunyai kebijakan ataupun aturan yang jelas, apakah militer asing dapat melaksanakan aktivitas militernya di ZEE Indonesia atau tidak. Peraturan perundang-undangan Indonesia tidak secara jelas mengatur tentang aktivitas militer di ZEE. UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia hanya mengatur tentang hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam LOSC. Demikian juga dengan peraturan perundang-undangan lainnya tidak ada yang mengatur tentang kegiatan militer dimaksud. Oleh karena itu ketika ada armada perang negara lain berada dan melakukan aktivitas militer di ZEE Indonesia, akan sangat sulit untuk mengambil langkah-langkah operasional di lapangan. 38 Lihat, R. Xiaofeng & C. Xizhong,’A China Perspective’, 29 Marine Policy (2005), 139-146. 39 Pernyataan Delegasi China pada pertemuan informal membahas kegiatan militer dan pengumpulan data intelejen di ZEE, Bali September 2003, 40 Brazil’s position that other nations “may not carry out military exercises or manoeuvres within the exclusive economic zone, particularly when these activities involve the use of weapons or explosives, without the prior knowledge and consent” of the coastal nation. Lihat, Law of the Sea Official Records, para. 28, at 40 41 Lihat, Law of the Sea Official Records, para. 28, at 40 and U.S. statement in right of reply, 17 Law of the Sea Official Records 244, Annex AS1-2. 60 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Kegiatan Militer Asing di ZEE Indonesia Keberadaan militer asing di ZEE Indonesia dapat dalam kondisi yang bermacam-macam, antara lain melakukan provokasi dengan latihan militer, manuver di ZEE Indonesia; melaksanakan surveillance terhadap kapal-kapal ilegal yang akan memasuki wilayahnya; melaksanakan pengawalan terhadap kapal-kapal bendera negaranya; dan melaksanakan SAR. Bentuk keberadaan militer asing di ZEE Indonesia tersebut sepengetahuan Indonesia disebabkan karena ada perjanjian kerja sama ataupun mereka meminta izin/pemberitahuan; akan tetapi keberadaan mereka dapat juga tanpa izin dari Pemerintah Indonesia. Kondisi yang terakhir biasanya disebabkan posisi mereka yang menganggap bahwa ZEE masuk dalam rezim laut bebas. Tentu saja keberadaan militer asing di ZEE Indonesia dapat diartikan bahwa mereka mengganggu perdamaian dan keamanan Indonesia disebabkan ZEE Indonesia berdasarkan doktrin pertahanan Indonesia merupakan medan pertahanan utama Indonesia.42 Selain itu dari aspek ekonomi, dengan keberadaan militer asing di ZEE Indonesia, akan mengakibatkan nelayan Indonesia yang semestinya dapat mengambil ikan ataupun eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam di wilayah itu terganggu. Sesuai ketentuan LOSC, tiap–tiap negara pantai mempunyai kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap tindak pidana yang 42 Indonesia menganut indepth defence concept, dimana membagi 3 (tiga) wilayah pertahanan yaitu medan pertahanan penyanggah merupakan daerah pertahanan lapis pertama yang berada di luar garis batas ZEE; medan pertahanan utama yaitu daerah pertahanan lapis kedua mulai dari batas terluar laut teritorial sampai ZEE Indonesia; dan medan perlawanan merupakan daerah pertahanan lapis ketiga yang berada pada laut teritorial dan perairan kepulauan dalam menghadapi setiap bentuk ancaman terhadap keselamatan bangsa dan negara. Sumber Doktrin TNI AL Eka Sasana Jaya, Keputusan Kasal Nomor: Kep/07/II/2001, tanggal 23 Februari 2001. 61 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 terjadi di laut bebas. Tindak pidana itu termasuk dalam kategori “iure gentium” atau kejahatan internasional43 yang meliputi: 1. Pengangkutan budak belian44. 2. Pembajakan/Piracy di laut lepas45. 3. Perdagangan gelap obat narkotika atau bahan–bahan psikotropika46. Kewenangan negara untuk memberantas tindak pidana (kejahatan) internasional dapat dilakukan dengan mekanisme hot pursuit.47 Ketentuan hot pursuit antara lain: 1) Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang mempunyai alasan yang cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan negara itu.Pengejaran dapat dimulai dimana telah terjadi pelanggaran yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, atau ZEE negara pengejar. Pengejaran dilakukan dengan seketika, terus menerus, dan tidak terputus. 2) Hak pengejaran seketika harus berhenti setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorialnya sendiri atau negara ketiga. 3) Pengejaran hanya dapat dilakukan oleh Kapal Perang, Pesawat Udara Militer, Kapal Negara yang diberi kewenangan untuk itu. Ketentuan dalam LOSC dan hukum internasional lainnya hanya berisi hak hot pursuit yang dapat dilakukan oleh kapal perang, pesawat udara militer dan kapal negara yang diberi kewenangan. Sebagai contohnya, 43 Ada beberapa pendapat bahwa trans national organized crime (TOC) dimasukan dalam kejahatan internasional, bahkan sudah ada Konvensi tersendiri yang mengatur tentang TOC ini. Akan tetapi dalam LOSC hanya dibatasi apa yang dimaksud dengan kejahatan internasional. 44 Pasal 99, LOSC 45 Pasal 100, LOSC 46 Pasal 108, LOSC. 47 Pasal 111 LOSC. 62 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 Indonesia melalui TNI AL ataupun aparat lainnya diberi kewenangan untuk melakukan pengejaran seketika terhadap semua kapal yang melakukan pelanggaran di perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, atau ZEE Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini belum ada preseden, aturan ataupun pendapat tentang pelaksanaan hot pursuit oleh kapal perang asing di ZEE Indonesia atau mendekati wilayah Indonesia. Selain itu belum ada prosedur tetap jika ada kapal perang asing yang melakukan hot pursuit dari wilayah negara pengejar dan memasuki ZEE, zona tambahan Indonesia termasuk jika pengejaran dimaksud sampai ke laut teritorial Indonesia. Terkait dengan hal tersebut terdapat beberapa permasalahan, antara lain: pertama, apakah kapal perang negara lain boleh melakukan hot pursuit sampai ke ZEE Indonesia terhadap kejahatan internasional yang terjadi, sedangkan tidak ada kapal perang Indonesia di area itu? Kedua, prosedur apa yang harus dilakukan oleh kapal perang asing jika akan melakukan hot pursuit terhadap kejahatan internasional yang terjadi di ZEE? (pemberitahuan atau izin)? Ketiga, siapa/instansi mana yang mempunyai otoritas untuk menerima pemberitahuan atau memberikan izin terkait dengan pelaksanaan hot pursuit oleh kapal perang asing di wilayah ZEE Indonesia? Dalam hukum internasional dan LOSC, rezim laut bebas berlaku juga di ZEE jika terkait dengan pelayaran.Hal ini disebabkan di laut bebas dan ZEE berlaku freedom of navigation.48 Kewenangan negara pantai (negara kepulauan) atas ZEE nya hanya terkait dengan masalah pemanfaatan, pengelolaan terhadap sumber daya alam dan kewenangan lainnya sebagaimana ditentukan dalam LOSC.49 Ketentuan tentang ZEE dan laut bebas dalam LOSC diatur dalam bab yang terpisah, bukan berarti kedua rezim adalah berbeda satu sama lainnya, akan tetapi ada beberapa hal 48 49 Pasal 58 LOSC. Pasal 56 LOSC. 63 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 yang saling terkait, sebagai contoh konsep kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan, dan pengelolaan/konservasi lingkungan laut adalah sama pengaturannya. Oleh karena itu dalam beberapa hal pelaksanaan hak dan kewajiban negara di laut bebas dan ZEE cenderung sama khususnya dibidang pelayaran dan penerbangan. Selain itu ketiadaan aturan dalam LOSC khususnya permasalahan operasional kapal mengakibatkan berbagai penafsiran terkait dengan pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan. Ketentuan Pasal 100 LOSC menjelaskan bahwa semua negara harus bekerjasama dalam penindasan pembajakan di laut bebas atau ditempat lain manapun di luar yuridiksi suatu negara. Pasal 110 LOSC berisi tentang hak melakukan pemeriksaan terhadap kapal yang terlibat dalam pembajakan di laut bebas. Dalam LOSC tidak dijelaskan tentang kewenangan memproses hukum atau hukum mana yang akan diterapkan. Akan tetapi dalam hukum internasional tindak pidana pembajakan merupakan “iure gentium” (kejahatan internasional) yang memberikan kewenangan kepada semua negara untuk dapat memproses tindak pidana itu dan menerapkan hukum nasionalnya. Sesuai dengan posisi Indonesia selama ini khususnya tentang statement (pernyataan) bahwa tidak ada piracy (pembajakan) di Selat Malaka50 yang ada hanya armed robbery (perompakan), maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia mendefinisikan kejahatan piracy (pembajakan) merupakan tindak pidana yang terjadi di laut bebas (high seas) saja. Hal ini disebabkan bahwa Selat Malaka merupakan wilayah yang terdiri dari laut teritorial, zona tambahan, dan ZEE. Oleh karena itu di ZEE Indonesia tidak ada tindak pidana piracy (pembajakan), yang ada armed robbery (perompakan). Oleh karena itu, hot pursuit terhadap tindak pidana piracy (pembajakan) yang terjadi di ZEE Indonesia oleh kapal 50 Selat Malaka jika dilihat dari aspek zona maritim, maka di sana ada laut teritorial, zona tambahan, dan ZEE. 64 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 perang, pesawat udara militer dan kapal negara asing tidak dapat dilakukan. Akan tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pembajakan dan perompakan dapat terjadi dimana saja baik di ZEE maupun di laut bebas. Hal ini didasarkan pada kualifikasi tindak pidananya dan bukan didasarkan pada tempat kejadian tindak pidana, sehingga hot pursuit terhadap tindak pidana perompakan maupun pembajakan yang terjadi di ZEE dapat dilakukan. Kapal perang, pesawat udara militer dan kapal negara asing apabila menemukan atau menerima laporan telah terjadinya tindak pidana perompakan atau pembajakan serta kejahatan internasional lainnya di ZEE Indonesia dan tidak ada kapal perang Indonesia di daerah itu, maka mereka dapat melakukan hot pursuit untuk menangkap pelaku kejahatan dimaksud. Akan tetapi prosedur yang mungkin dapat diterapkan yaitu pemberitahuan tentang telah terjadinya tindak pidana internasional dan mereka akan melakukan pengejaran seketika. Pengejaran tersebut harus berhenti ketika akan memasuki laut teritorial Indonesia. Prosedur pemberitahuan ini tidak diatur dalam hukum nasional maupun internasional, akan tetapi hanya terobosan atau penafsiran terhadap permasalahan yang terjadi di lapangan dengan memperhatikan ketentuan hukum nasional dan internasional serta memperhatikan bahwa semua negara harus memberantas tindak pidana piracy. Dalam pendekatan hukum (legal approach) pelaksanaan hot pursuit sampai memasuki wilayah laut negara Indonesia tidak dapat dilakukan karena akan melanggar kedaulatan Negara Indonesia. Selain itu kapal perang asing yang akan memasuki wilayah Indonesia seharusnya meminta izin secara resmi terlebih dahulu kepada pemerintah Indonesia. Apabila pengejaran tetap dilaksanakan tanpa adanya izin dari pemerintah Indonesia maka kapal perang asing (pengejar) sudah melanggar kedaulatan negara Indonesia. Terkait dengan nuansa pemberantasan pembajakan/perompakan kemungkinan dapat dikerjasamakan khususnya terkait dengan 65 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 permasalah teknis di lapangan. kerja sama ini untuk memberikan batasan-batasan dan sebagai dasar bertindak bagi aparat di lapangan. Sebagai contohnya: apabila dalam rangka pelaksanaan hot pursuit kapal perang, pesawat udara atau kapal negara asing terpaksa memasuki wilayah laut Indonesia dan tidak ada kapal perang di daerah itu, maka diperlukan prosedur perizinan terhadap hal tersebut. Perizinan dapat dilakukan dengan beberapa persyaratan antara lain: maksud dan tujuan memasuki Perairan Indonesia; berapa lama akan berada di Perairan Indonesia; spesifikasi teknis kapal dan pelengkapannya. Selain itu pemberian izin harus mencantumkan batasan-batasan antara lain bahwa kapal perang pengejar harus mematuhi peraturan perundang-undangan Indonesia, kapal yang dikejar termasuk orang dan barang yang ada di atas kapal harus diproses sesuai hukum Indonesia, karena berada di wilayah Indonesia. Selain itu perizinan dimaksud dapat juga dicantumkan dalam suatu perjanjian bilateral yang bersifat reprosikal. Oleh karena itu apabila ada kapal asing yang melakukan hot pursuit sampai memasuki Perairan Indonesia dan berhasil menangkap pelakunya, maka mereka semestinya menyerahkan para pelaku, dan barang bukti kepada aparat Indonesia. Selanjutnya aparat Indonesia akan melakukan proses hukum terhadap para pelaku dan barang bukti kejahatan. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa proses penyelesaian tindak pidana ini akan menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pembuktian, disebabkan belum tentu adanya kerugian atau tercederai hukum Indonesia akan peristiwa dimaksud. Selain itu proses pembuktian akan menimbulkan kesulitan tersendiri Dalam pemberantasan perompakan dan pembajakan, prosedur pengejaran dapat dikerjasamakan, walaupun ini bukan lagi dalam konteks pelaksanaan hot pursuit. Apabila kapal perang asing dalam melaksanakan pengejaran seketika tidak sampai memasuki wilayah yurisdiksi negara Indonesia, maka kapal pengejar dapat minta bantuan kepada kapal perang Indonesia untuk melanjutkan pengejaran dan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana perompakan atau 66 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 pembajakan. Apabila pelaku tertangkap maka akan diperlakukan dan diproses sesuai dengan hukum Indonesia ataupun diserahkan kepada negara dimana tindak pidana dilakukan. Terkait dengan permasalahan perizinan, di Indonesia belum ada aturan tentang prosedur perizinan untuk kapal perang asing yang akan memasuki wilayah Indonesia dalam rangka hot pursuit. Prosedur yang ada saat ini (Keppres No 16/1971) mengatur kapal perang asing yang berencana akan memasuki/melewati wilayah Indonesia ataupun berkunjung ke Indonesia, dimana harus melengkapi security clearance dan diplomatic clearance, sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk pengurusannya. Khusus untuk kapal perang asing melakukan hot pursuit di ZEE Indonesia ataupun pengejaran sampai ke Perairan Indonesia, maka pejabat yang mempunyai otoritas operasional untuk mengizinkan ataupun tidak mengizinkan adalah Panglima TNI. Selanjutnya Panglima TNI dapat mendelegasikan kewenangan dimaksud kepada Panglima Koarmatim/bar sebagai kotama operasi. Pendapat ini merupakan penafsiran tentang kewenangan Panglima TNI yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Selain itu proses security clearance selanjutnya perlu untuk tetap dilaksanakan. Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a) LOSC tidak mengatur secara jelas kegiatan militer di ZEE. Hal ini mengakibatkan banyak negara mempunyai praktek yang berbedabeda. b) Indonesia belum mempunyai kebijakan baik politik ataupun hukum terkait dengan aktivitas militer asing di ZEE Indonesia. c) Indonesia belum mempunyai prosedur dan tata cara ketika kapal perang asing melakukan hot pursuit memasuki wilayah Indonesia, termasuk tata cara respons, pemberian perizinan, pembatasanpembatasan, serta kebijakan lainnya. 67