BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis umumnya menyerang paru-paru (TB paru), namun juga dapat menyerang organ yang lainnya (TB ekstra paru). Seorang penderita TB paru dapat menularkan penyakit ini melalui udara, misalkan ketika ia batuk. Tuberkulosis biasanya cenderung diderita oleh laki-laki daripada perempuan pada usia dewasa dalam kelompok usia produktif (WHO, 2012). Penyakit TB apabila tidak diobati akan meningkatkan angka kematian. Studi menunjukkan sebanyak 70% kematian dalam kurun waktu 10 tahun pada penderita TB paru BTA positif dan HIV negatif, sedangkan untuk penderita TB paru BTA negatif kultur positif sebanyak 20% kematian dalam kurun waktu 10 tahun (Tiemersma, et al., 2011). Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan dunia, khususnya di negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan WHO tahun 2007 jumlah kasus TB di Indonesia (528.000 kasus) menempati peringkat ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun, dan penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada semua kalangan usia (Depkes RI, 2005). Indonesia mengalami peningkatan dalam hal penanggulangan kasus 1 2 tuberkulosis, hal ini dibuktikan dengan turunnya jumlah kasus TB di Indonesia pada tahun 2011 menjadi peringkat keempat di dunia setelah India, China, dan Afrika Selatan (WHO, 2012). Angka ini bahkan terus mengalami penurunan hingga tahun 2013 Indonesia menempati peringkat kelima di dunia setelah India, China, Nigeria, dan Pakistan (WHO, 2014). Upaya pengendalian penyakit TB terus dikembangkan setiap tahunnya, salah satunya dengan adanya strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO sejak tahun 1995. Strategi DOTS memiliki 5 komponen kunci yaitu komitmen politis dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan, penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, pengobatan yang standar, sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif, serta sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013, keberhasilan pengobatan TB di seluruh Indonesia yaitu 90,5%, angka ini sudah berhasil melampaui target angka keberhasilan pengobatan yang ditetapkan oleh Kemenkes RI yaitu sebesar 87%. Angka keberhasilan pengobatan TB di DI Yogyakarta sendiri adalah 83,9%, sehingga angka ini masih belum memenuhi target minimal yang ditetapkan Kemenkes (Kemenkes RI, 2013). Angka keberhasilan pengobatan penyakit TB erat kaitannya dengan kepatuhan pengobatan. Kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan turut berkontribusi dalam pencapaian 3 keberhasilan terapi karena TB merupakan penyakit yang membutuhkan terapi pengobatan dalam jangka waktu yang tidak sebentar yaitu minimal selama 6 bulan. Kepatuhan didefinisikan sebagai hubungan saling percaya dimana pasien dan tenaga medis berdiskusi untuk memutuskan pilihan pengobatan yang paling tepat untuk pasien (CMSA, 2006). Tingkat kepatuhan diketahui lebih tinggi pada pasien penyakit akut dibandingkan dengan pasien penyakit kronis. Ketekunan pasien untuk tetap menjalani pengobatan pada kondisi penyakit kronis masih rendah, dan ketekunan tersebut akan makin menurun setelah 6 bulan pengobatan (Osteberg and Blaschke, 2005). Kepatuhan merupakan suatu perilaku yang kompleks dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan antara lain faktor pasien, pelayanan tenaga kesehatan, serta penyedia jasa pelayanan kesehatan. Hal ini berkaitan dengan cara pandang pasien mengenai pengobatan yang ia butuhkan. Pada kenyataannya, pasien bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Penyedia jasa pelayanan kesehatan, regimen terapi yang kompleks, dan akses pasien menuju tempat pelayanan kesehatan dapat berkontribusi dalam kepatuhan pengobatan. Hal lain yang penting adalah mengetahui kemungkinan pasien memiliki faktor resiko untuk tidak patuh, dan juga perlu diingat bahwa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan pasien dapat berubah seiring berjalannya waktu. Efek samping yang timbul akibat pengobatan kemungkinan juga dapat mengurangi keinginan pasien untuk tetap rutin menjalani pengobatannya (CMSA, 2006). 4 Jangka waktu pengobatan TB yang cukup lama menyebabkan terjadinya beberapa kemungkinan pola kepatuhan penderita yaitu penderita berobat teratur dan memakai obat secara teratur, penderita tidak berobat secara teratur (defaulting), dan penderita sama sekali tidak patuh dalam pengobatan atau putus berobat (drop out). Ketidakpatuhan pengobatan akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Oleh karena kepatuhan adalah faktor yang penting dalam pengobatan TB, maka permasalahan mengenai kepatuhan merupakan hal yang penting untuk dikaji (Hutapea, 2006). Penelitian dilakukan di Puskesmas yang berada di wilayah Kabupaten Sleman sebab Puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan primer menjadi tempat rujukan untuk pasien TB menjalani pengobatan rawat jalan hingga pengobatannya tuntas, selain itu belum ada penelitian sebelumnya mengenai kajian kepatuhan dan faktor pendukung kepatuhan terapi pasien TB di Puskesmas Kabupaten Sleman, sehingga penelitian ini dirasa perlu dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan informasi terkait kualitas pengobatan TB sehingga angka keberhasilan pengobatan dapat meningkat dan prevalensi TB dapat ditekan. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pola pengobatan pasien TB paru di Puskesmas Kabupaten Sleman? 2. Bagaimana gambaran kepatuhan pengobatan pada pasien TB paru di Puskesmas Kabupaten Sleman? 5 3. Apa saja faktor-faktor yang mendukung kepatuhan pengobatan pasien TB paru? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola pengobatan pasien TB paru di Puskesmas Kabupaten Sleman, Yogyakarta. 2. Mengetahui gambaran kepatuhan pengobatan pasien TB paru di Puskesmas Kabupaten Sleman. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mendukung kepatuhan pengobatan pasien TB paru. D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi terkini mengenai kepatuhan terapi OAT pada pasien TB paru dewasa di Puskesmas di wilayah Kabupaten Sleman. 2. Menyediakan rujukan informasi dalam upaya peningkatan kualitas terapi OAT melalui peningkatan kepatuhan terapi pasien TB paru. 3. Menjadi dasar penelitian selanjutnya di bidang kepatuhan terapi pasien TB paru. E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Tuberkulosis a. Definisi Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi menular yang menyebabkan angka kematian yang tinggi di seluruh dunia. Penyakit TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, 6 Penyakit ini umumnya menyerang paru-paru, namun dapat juga menyerang organ yang lainnya (Depkes RI, 2007). b. Epidemiologi Pada tahun 1995, diperkirakan terdapat 9 juta kasus TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-55 tahun). Seorang pasien TB dewasa diperkirakan akan kehilangan waktu kerja rata-rata 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun (Depkes RI, 2005). Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia makin memburuk, jumlah kasus TB meningkat, dan banyak kasus TB yang tidak berhasil disembuhkan, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara dari 22 negara yang termasuk dalam negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993 WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency) (Depkes RI, 2007). c. Etiologi M. tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang (basil) berukuran 1 sampai 4 mikron dengan lapisan dinding luar yang sangat tebal (Iseman, 2000). Bakteri ini tidak dapat terwarnai dengan baik menggunakan 7 pewarna Gram, sehingga harus digunakan pewarna Ziehl-Neelsen (ZN) atau pewarna fluorochrome untuk mewarnainya. Setelah ZN staining menggunakan carbol-fuchsin, mycobacteria tetap berwarna merah meskipun telah dibilas menggunakan alkohol-asam, maka dari itu ia disebut bakteri tahan asam (BTA) (Heifets, 1997). Setelah pewarnaan, pengamatan mikroskopis (smear) menunjukkan 8000 sampai 10.000 organisme per milimeter spesimen. Hasil spesimen milik pasien bisa negatif, namun tetap dapat menumbuhkan M. tuberculosis pada kultur. M. tuberculosis pada kultur mengganda tiap 20 jam, jauh lebih lambat dibandingkan dengan bakteri gram-positif maupun bakteri gram-negatif lain yang mengganda tiap 30 menit (Dipiro et al., 2008). d. Patofisiologi Seseorang dapat terinfeksi tuberkulosis karena menghirup partikel udara yang di dalamnya tercemar bakteri M. tuberculosis. Partikel udara ini dikenal dengan droplet nuclei yang mengandung 1 sampai 3 basili dan cukup kecil ukurannya (1 – 5 mm) untuk mencapai permukaan alveoli. Jalur infeksi yang lainnya adalah lewat ingesti dan luka, namun cukup jarang terjadi (Piessens and Nardell, 2000). Pada permukaan alveoli, basili yang berada dalam droplet nuclei akan ditelan oleh makrofag. Apabila makrofag ini dapat membunuh basili, infeksi tidak akan terjadi, namun apabila gagal, basili akan terus berkembang biak. Makrofag tersebut akhirnya akan pecah dan melepaskan banyak basili, dan basili ini akan ditelan kembali oleh makrofag lain. 8 Siklus fagositosis ini akan terus terjadi selama beberapa minggu. Pada fase infeksi awal, M. tuberculosis mengganda secara logaritmik (Piessens and Nardell, 2000). M. tuberculosis akan dibawa oleh makrofag ke dalam kelenjar getah bening regional di hilar, mediastinal, dan retoperitoneal, dimana proses fagositosis tadi terus berkembang. Lebih lanjut lagi, M. tuberculosis dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah, dan menginfeksi jaringan atau organ tubuh lain. Umumnya M. tuberculosis menginfeksi area apical posterior paru-paru, hal ini kemungkinan terjadi karena tingginya kandungan oksigen dan rendahnya ekspresi respon imun di area tersebut (Dipiro et al., 2008). e. Transmisi Penyakit TB ditularkan dari satu orang ke yang lainnya melalui batuk atau bersin, yang membuat M. tuberculosis tersebar di udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei) (Daley and Chambers, 2002). Sumber penularan TB adalah pasien TB dengan BTA positif. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif yang tinggi memiliki daya penularan yang lebih besar pula. Penularan umumnya terjadi apabila percikan dahak bertahan dalam suatu ruangan dalam waktu yang lama. Percikan dahak dapat bertahan dalam waktu yang lama pada kondisi ruangan yang gelap dan lembab, namun adanya paparan sinar matahari langsung dapat membunuh M. tuberculosis yang terdapat dalam percikan dahak tersebut (Depkes RI, 2007). 9 f. Tanda dan Gejala Klinis Tanda dan gejala penyakit TB tergantung pada bagian tubuh mana yang menjadi tempat tumbuh bakteri TB tersebut. Pada TB paru, gejala yang biasanya muncul antara lain batuk lebih dari 3 minggu, rasa nyeri di dada, serta betuk disertai darah. Gejala lain yang mungkin juga timbul adalah perasaan lemas, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, demam, dan berkeringat di malam hari (CDC, 2014). 2. Tata Laksana Terapi Tuberkulosis a. Diagnosis Penemuan kasus TB pada orang dewasa dilakukan secara pasif, yang berarti penjaringan tersangka penderita dilakukan pada mereka yang memepriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan angka penderita. Pemeriksaan kontak serumah juga dilakukan pada anggota keluarga yang tinggal bersama dengan seseorang yang sudah didiagnosis TB paru BTA positif (Depkes RI, 2007). Diagnosis terhadap pasien tuberkulosis dapat ditegakkan dengan 3 cara, yaitu pemeriksaan dahak, radiologi, dan tes mantoux (Kemenkes RI, 2011). 1) Pemeriksaan dahak Pemeriksaan dahak dilakukan dengan cara mengumpulkan 3 spesimen dahak dalam kurun waktu 2 hari yang berurutan yaitu sewaktu-pagi- 10 sewaktu (SPS). Hasil pemeriksaan dahak dikatakan positif apabila setidaknya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, apabila hanya ditemukan 1 spesimen yang positif maka pemeriksaan dahak SPS diulang atau pasien melanjutkan dengan pemeriksaan radiologi berupa rontgen dada. 2) Radiologi Pemeriksaan radiologi untuk penegakan diagnosis TB adalah rontgen dada (toraks). Pada hasil foto toraks posterior anterior (PA) lateral akan terlihat gambar infiltrat atau nodular terutama pada lapangan atas paru, terlihat kavitas, serta terlihat tuberkuloma atau tampak seperti bayangan (coin lesion). 3) Skin Testing TB skin test disebut juga test Mantoux, menggunakan tuberkulin purified protein derivative (PPD). Sebanyak 5 unit dosis tuberkulin PPD disuntikkan secara intra kutan pada lengan. Hasil dari uji tuberkulin biasanya dapat dilihat 48-72 jam setelah uji dilakukan. Uji tuberkulin dinyatakan positif apabila pada tempat penyuntikan timbul diameter durasi yang berukuran ≥10 mm (Iseman, 2000; Haas, 2000) 11 Suspek TB Paru1) Pemeriksaan dahak mikroskopis – Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) Hasil BTA +++ --- Hasil BTA Hasil BTA ++- --Antibiotik Non OAT 2) Tidak adaperbaik an Foto toraks dan Pemeriksaan dahak pertimbangan dokter mikroskopis Hasil BTA +++ ++--- Ada perbaikan Hasil BTA --- Foto toraks dan pertimbangan dokter TB BUKAN TB Gambar 1. Alur Diagnosis TB Paru (Kemenkes RI, 2011) b. Klasifikasi Tuberkulosis Menurut Depkes RI (2007) penyakit TB dapat diklasifikasikan berdasarkan organ tubuh yang terkena, yaitu TB paru dan TB ekstra paru. 1) Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan perenkim paru, tidak termasuk pleura dan kelenjar pada hilus. 12 2) Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, ginjal, saluran kemih, dan lain lain. c. Kategori Tuberkulosis Pasien TB dapat dikategorikan menurut hasil diagnosisnya menjadi Kategori 1, Kategori 2, dan Kategori 3 1) Kategori 1 Pasien TB yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien TB baru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat, serta pasien TB ekstra paru berat. 2) Kategori 2 Pasien TB yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien TB kambuh, pasien TB gagal, dan pasien TB yang berobat setelah lalai (after default). 3) Kategori 3 Pasien TB yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien baru TB paru BTA negatif rontgen positif dan pasien baru TB ekstra paru sakit ringan. d. Tipe Pasien Pasien dikategorikan menurut riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu: 13 1) Pasien baru Pasien baru adalah pasien belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 4 minggu. Kategori ini bisa untuk pasien dengan pemeriksaan BTA positif ataupun negatif. 2) Pasien kambuh Pasien baru adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi OAT dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, namun didiagnosis kembali dengan BTA positif. 3) Pasien gagal Pasien gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama menjalani pengobatan. 4) Pasien putus berobat Pasien putus berobat adalah pasien yang telah berobat sebelumnya dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 5) Pasien pindahan Pasien pindahan adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. e. Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutus mata rantai penularan, dan mencegah resistensi bakteri terhadap OAT. Salah satu prinsip pengobatan TB yaitu OAT tidak boleh diberikan dalam bentuk monoterapi, namun 14 harus dalam bentuk kombinasi beberapa OAT dalam jumlah dan dosis yang cukup sesuai dengan kategori pengobatan (Depkes RI, 2007). Pengobatan TB umumnya berlangsung selama 6 bulan dan diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan (WHO, 2008). 1) Tahap intensif Pengobatan TB tahap intensif merupakan tahap yang krusial karena apabila pengobatan tahap ini diberikan secara tepat, pasien biasanya menjadi tidak menular dalam waktu 2 minggu. Pada pengobatan tahap ini, pasien diharuskan untuk meminum OAT setiap hari selama 2 bulan untuk mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap OAT. Sebagian besar pasien TB dengan diagnosis awal BTA positif akan berubah menjadi BTA negatif dalam waktu 2 bulan. 2) Tahap lanjutan Tahap lanjutan diberikan dalam jangka waktu yang lebih lama daripada tahap intensif, yaitu selama 4 bulan. Tahap ini bertujuan untuk membunuh bakteri persister (dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan. Pada tahap ini, pasien mendapatkan OAT dengan jumlah yang lebih sedikit daripada tahap intensif. 3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) a. Jenis OAT Obat anti tuberkulosis (OAT) adalah obat-obatan berupa antibiotik khusus yang digunakan untuk membunuh kuman Mycobacterium. Obat anti 15 tuberkulosis yang umum digunakan sebagai lini pertama pada terapi tuberkulosis adalah Isoniazid, Rifampisin, Ethambutol, Pirazinamid, dan Streptomisin (Depkes RI, 2005). Tabel I. Pengelompokan OAT menurut WHO (WHO, 2008) Golongan obat Golongan-1 / Obat lini Obat pertama Golongan-2 Obat / Pyrazinamide (Z) Rifampicin (R) Streptomycin (S) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm) Ofloxacin (Ofx) Levofloxacin (Lfx) Moxifloxacin (Mfx) Ethionamide (Eto) Prothionamide (Pto) Cycloserine (Cs) Clofamizine (Cfz) Linezolide (Lzd) Amoxilin – Clavulanate (Amx-Clv) Para amino salisilat (PAS) Terizidone (Trd) Thioacetazone (Thz) Clarithromycin (Clr) Imipenem (Ipm) Isoniazid (H) Ethambutol (E) Kanamycin (Km) suntik/suntikan lini kedua Golongan-3 Golongan / Floroquinolone Obat bakteriostatik lini kedua Golongan-5 / Obat yang belum terbukti efikasinya dan tidak direkomendasikan oleh Golongan-4 / WHO 1) Isoniazid Isoniazid atau yang juga dikenal dengan INH adalah satu dari dua OAT yang paling penting. Obat ini sangat spesifik untuk mycobacteria, dengan kadar hambat minimum (KHM) untuk M. tuberculosis sebesar 0,01 – 0,25 µg/ml (Dipiro et al., 2008). Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, namun ada yang berpendapat bahwa isoniazid menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting penyusun dinding sel mikobakterium (Istiantoro dkk, 2009). Efek samping penggunaan isoniazid pada dosis normal (200 – 300 mg per hari) adalah jarang dan ringan (gatal-gatal, ikterus), tetapi efek 16 samping lebih sering terjadi bila dosis melebihi 400 mg, yaitu polyneuritis (radang saraf dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan). Perasaan tidak sehat, letih, dan lemah merupakan efek samping yang juga lazim terjadi. Pemberian vitamin B6 (piridoksin) 10 mg sehari bersama vitamin B1 (aneurin) 100 mg sehari berfungsi untuk menghindari reaksi toksis isoniazid (Tan dan Rahardja, 2007). 2) Rifampisin Rifampisin bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin utamanya aktif membunuh sel yang sedang tumbuh. Rifampisin bekerja dengan cara menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya rantai dalam sintesis RNA (Istiantoro dkk, 2009). Dosis oral rifampisin pada penderita TB adalah Efek samping dari rifampisin jarang terjadi jika diberikan sesuai dosis yang dianjurkan. Konsumsi rifampisin bersama-sama dengan isoniazid dapat menyebabkan penyakit kuning (ikterus). Pemantauan fungsi hati secara periodik sangat dianjurkan untuk pasien yang menggunakan rifampisisn dalam waktu yang lama. Rifampisin agak sering menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati, kejang perut dan diare. Gejala gangguan SSP dan reaksi hipersensitivitas juga merupakan efek samping lain penggunaan rifampisin (Tan dan Rahardja, 2007). 17 3) Etambutol Etambutol bersifat sebagai bakteriostatik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pemasukan (incorporation) asam mikolat ke dalam dinding sel bakteri (Istiantoro dkk, 2009). Efek samping yang terpenting adala neuritis optica yang menyebabkan gangguan penglihatan, yaitu kurang tajamnya penglihatan dan buta warna terhadap merah – hijau. Reaksi toksis akan timbul pada dosis besar yaitu di atas 50 mg/kgBB/hari, dan bersifat reversible apabila pengobatan dihentikan. Etambutol tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mempengaruhi penglihatan yang sulit dideteksi. Etambutol juga dapat menaikkan kadar asam urat dalam plasma akibat penurunan ekskresinya oleh ginjal (Tan dan Rahardja, 2007). 4) Pirazinamid Pirazinamid bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui secara pasti (Istiantoro dkk, 2009). Dosis oral pirazinamid adalah 30 mg/kgBB per hari selama 2 – 4 bulan, dan memiliki dosis maksimal 2000 mg per hari. Pada pengobatan meningitis TB, digunakan dosis 50 mg/kgBB. Efek samping pirazinamid yang sering terjadi dan cukup berbahaya adalah kerusakan hati dengan ikterus (hepatotoksisitas), terutama pada dosis di atas 2000 mg per hari. Pirazinamid menghambat pengeluaran asam urat dalam darah (hiperurisemia) dan menimbulkan serangan 18 encok (gout). Pirazinamid juga dapat menyebabkan gangguan lambung – usus, fotosensibilitas dengan reaksi kulit (menjadi merah - coklat), artralgia, demam, malaise, dan anemia, juga menurunkan kadar gula darah. Resistensi dapat terjadi dengan cepat apabila obat ini digunakan sebagai monoterapi (Tan dan Rahardja, 2007). 5) Streptomisin Streptomisin bersifat bakterisid dengan mekanisme kerja menghambat sintesis protein sel mikroba, yaitu mengubah bentuk bagian 30s ribosomal, sehingga mengakibatkan salah baca kode mRNA (Istiantoro dkk, 2009). Resorpsi streptomisin di usus sangat buruk, maka obat ini hanya diberikan lewat intra muscular (i.m.). Dosis streptomisin intra muscular 9 (i.m.) adalah 500 – 1000 mg tergantung dari usia dan berat badan. Streptomisin digunakan maksimal selama 2 bulan (Tan dan Rahardja, 2007). Efek samping dari streptomisin adalah toksik untuk organ pendengaran dan keseimbangan, oleh karena itu sebaiknya streptomisin jangan digunakan dalam jangka waktu yang lama karena dapat menyebabkan ketulian permanen (Tan dan Rahardja, 2007). 19 Tabel II. OAT lini pertama menurut Depkes RI (Depkes RI, 2007) Dosis yang direkomendasikan (mg/kg BB) Jenis OAT Sifat Harian 3x seminggu 5 10 Isoniazid (H) Bakterisid (4-6) (8-12) 10 10 Rifampisin (R) Bakterisid (8-12) (8-12) 25 35 Pirazinamid (Z) Bakterisid (20-30) (30-40) 15 15 Streptomisin (S) Bakterisid (12-18) (12-18) 15 30 Ethambutol (E) Bakteriostatik (15-20) (20-35) b. Paduan OAT Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Pengendalian TB Nasional di Indonesia adalah paduan pengobatan standar yang direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease). Program Pengendalian Tuberkulosis Nasional di Indonesia menggunakan 2 jenis paduan OAT, yaitu OAT fixed dose combination (FDC) dan OAT Kombipak. Paduan OAT FDC merupakan OAT yang berisi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet dan dosisnya telah disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Selain paduan OAT FDC, juga terdapat paduan OAT kombipak yaitu paket OAT berupa obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan Pirazinamid. Paduan OAT kombipak disediakan untuk digunakan oleh pasien yang mengalami efek samping akibat penggunaan OAT FDC (Depkes RI, 2007). 1) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) 20 Pada pasien TB kategori 1, pengobatan tahap intensif diberikan HRZE selama 2 bulan kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR yang diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Tabel III. Dosis untuk Paduan OAT FDC Kategori 1 (Kemenkes RI, 2011) Tahap intensif tiap Berat badan hari selama 56 hari Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH RHZE (150/150) (150/75/400/275) 30 – 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC 38 – 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC 55 – 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC Tabel IV. Dosis untuk Paduan OAT-Kombipak Kategori 1 (Kemenkes RI, 2011) Dosis per hari/kali Jumlah Tablet Kaplet Tablet Tablet Tahap Lama hari/kali Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol Pengobatan Pengobatan menelan @ 300 @ 450 mg @ 500 mg @ 500 mg obat mg Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56 Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48 2) Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Pada pasien TB kategori 2, tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan pemberian HRZES setiap hari, dilanjutkan 1 bulan dengan pemberian HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu. 21 Tabel V. Dosis untuk Paduan OAT FDC Kategori 2 (Kemenkes RI, 2011) Tahap Lanjutan Tahap Intensif 3 kali seminggu tiap hari Berat RH (150/150) + E RHZE (150/75/400/275) + S Badan (400) Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 2 tab 4FDC 2 tab 2FDC 30 – 37 kg 2 tab 4FDC + 500 mg streptomisin inj. + 2 tab etambutol 3 tab 4FDC 3 tab 2FDC 38 – 54 kg 3 tab 4FDC + 750 mg streptomisin inj + 3 tab etambutol 4 tab 4FDC 4 tab 2FDC 55 – 70 kg 4 tab 4FDC + 1000 mg streptomisin inj. + 4 tab etambutol 5 tab 4FDC 5 tab 2FDC 71 kg 5 tab 4FDC + 1000 mg streptomisin inj. + 5 tab etambutol Tabel VI. Dosis untuk Paduan OAT-Kombipak Kategori 2 (Kemenkes RI, 2011) Tahap pengobata n Tahap intensif (dosis harian) Tahap lanjutan (dosis 3x seminggu) Etambutol Table Table t@ t@ 250 400 mg mg Lama pengobata n Tablet Isoniasi d @ 300 mg Kaplet Rifampisi n @ 450 mg Tablet Pirazinami d @ 500 mg 2 bulan 1 bulan 1 1 1 1 3 3 3 3 4 bulan 2 1 - 1 Streptomisi n inj Jumlah hari/kal i menela n obat - 750 mg - 56 28 2 - 60 3) Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan., diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. 4) OAT sisipan (HRZE) Tahap sisipan selama 1 bulan diberikan apabila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahaknya masih BTA positif (Depkes RI, 2005). 22 Tabel VII. Dosis untuk Paduan OAT sisipan (Kemenkes RI, 2011) Berat badan 30 – 37 kg 38 – 54 kg 55 – 70 kg 71 kg Tahap intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 2 tablet 4FDC 3 tablet 4FDC 4 tablet 4FDC 5 tablet 4FDC 4. Hasil Terapi Menurut Depkes RI dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005), hasil terapi yang pasien tuberkulosis BTA positif adalah sebagai berikut: a. Sembuh Pasien sembuh adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan pada satu pemeriksaan sebelumnya. b. Meninggal Pasien meninggal adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. c. Putus Berobat (Default) Pasien putus berobat adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d. Gagal (Failure) Pasien gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 23 e. Pindah (Transfer Out) Pasien pindah adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. f. Keberhasilan pengobatan (Treatment Success) Pasien yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA positif atau biakan positif. 5. Puskesmas Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) Nomor 75 tahun 2014 yang dimaksud dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas merupakan palayanan yang menyeluruh, meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk dengan tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak dari pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia (Efendi, 2009). Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi orang 24 yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Trihono, 2005). Puskesmas memiliki wilayah kerja yang meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografi, dan keadaan infrastuktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas. Puskesmas juga perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang disebut Puskesmas Pembantu dan Puskesmas keliling untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan. Khusus kota besar dengan penduduk satu juta jiwa atau lebih, wilayah kerja Puskesmas dapat meliputi satu kelurahan. Puskesmas di ibukota kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan Puskesmas Pembina yang berfungsi sebgai pusat rujukan bagi Puskesmas Kelurahan dan juga mempunyai fungsi koordinasi (Efendi, 2009). Tiga fungsi Puskesmas yaitu: pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan yang berarti Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Puskesmas juga harus aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan Puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (Trihono, 2005). 25 Menurut Efendi (2009) Puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana teknis, Puskesmas dituntut untuk memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk keikutsertaan dalam menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan yang matang dan realistis, tata laksana kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu pada masa mendatang. Puskesmas di Kabupaten Sleman berjumlah 25 unit dan 5 diantaranya telah dilengkapi fasilitas rawat inap, yaitu Puskesmas Mlati II, Puskesmas Ngemplak I, Puskesmas Minggir, Puskesmas Kalasan, dan Puskesmas Sleman yang telah siap operasional tahun 2013. Puskesmas pembantu sebanyak 71 unit juga tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Sleman, dengan jumlah sarana pelayanan kesehatan tersebut, seluruh desa sudah memiliki sarana pelayanan kesehatan (Dinkes Sleman, 2013). 6. Kepatuhan Kepatuhan (adherence) didefinisikan sebagai perilaku pasien yang menaati semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh tenaga medis. Istilah “adherence” lebih banyak disukai, karena jika menggunakan istilah “compliance” akan merujuk pada perilaku pasien yang secara pasif mengikuti keinginan dokter dan perencanaan terapinya, bukan berdasarkan kesepakatan atau kontrak antara pasien dengan tenaga kesehatan. Tingkat kepatuhan 26 individu pasien dilaporkan sebagai persentase dosis pengobatan yang digunakan oleh pasien dalam periode tertentu (Osteberg and Blaschke, 2005). Ketekunan (persistence) dideskripsikan sebagai kemampuan pasien untuk terus melanjutkan pengobatannya seperti yang dianjurkan. Pada kasus penyakit kronis, lama pengobatan yang dianjurkan bisa selama berbulanbulan, bertahun-tahun, atau bahkan sepanjang hidup pasien. Pada beberapa kasus, pasien mengambil obat yang diresepkan pertama kali, namun pasien tidak kembali mengambil obat ketika obat yang diresepkan sebelumya telah habis. Diskusi antara tenaga kesehatan dengan pasien mengenai pengobatan yang akan dijalani oleh pasien pada saat pasien pertama kali memulai terapinya merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga agar pasien tetap tekun menjalani regimen pengobatannya (CMSA, 2006). Menurut Niven (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien adalah: a. Faktor pasien atau individu 1) Motivasi pasien untuk sembuh Motivasi atau sikap pasien yang paling kuat ada dalam diri pasien itu sendiri. Motivasi pasien untuk sembuh atau keinginan pasien untuk tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pasien dalam kontrol penyakitnya. 27 2) Keyakinan pasien Keyakinan yang dimaksud disini adalah dimensi spiritual pasien. Pasien yang berpegang teguh pada keyakinannya akan memiliki sikap yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya, sehingga pasien memiliki perilaku yang lebih baik. b. Dukungan keluarga Dukungan keluarga merupakan faktor yang paling dekat dan tidak bisa dipisahkan dari pasien. Pasien akan merasa senang dan tenteram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan diri pasien untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik. Pasien juga lebih cenderung menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya. c. Dukungan sosial Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari orang-orang terdekat selain keluarga juga merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan. Dukungan orang terdekat dapat mengurangi kecemasan yang diakibatkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi kecenderungan pasien untuk tidak patuh dalam pengobatannya. d. Dukungan petugas kesehatan Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan pasien. Dukungan petugas kesehatan 28 berguna terutama saat pasien pertama kali memulai pengobatannya. Petugas kesehatan juga dapat mempengaruhi perilaku pasien melalui cara penyampaian informasi dan pemberian apresiasi maupun reward kepada pasien yang telah menjalankan program pengobatannya dengan baik. Kepatuhan dapat diukur dengan berbagai metode yang secara umum dibagi menjadi metode pengukuran langsung (direct methods) dan metode pengukuran tidak langsung (indirect methods). Metode pengukuran langsung dapat berupa pengamatan langsung (directly observed therapy), pengukuran konsentrasi obat atau metabolitnya di dalam darah, dan deteksi konsentrasi obat di dalam darah menggunakan biological markers. Metode pengukuran tidak langsung dapat berupa patient self-reports (kuesioner), pill counts, jadwal refill obat, asesmen respon klinis pasien, electronic medication monitors, pengukuran respon fisiologis pasien (misal pengukuran denyut jantung pada pasien yang diberi beta-blocker), serta catatan sehari-hari pasien (Osteberg and Blaschke, 2005). 7. Modified Morisky Scale Pertengahan tahun 1980 an, Morisky dan tim risetnya mengembangkan sebuah kuesioner untuk dapat memprediksi kepatuhan pasien terhadap pengobatan antihipertensi. Instrumen ini telah divalidasi dalam berbagai studi dan menunjukkan hasil psikometri yang baik. Sejak saat itu, para peneliti di seluruh dunia telah mengembangkan penggunaan instrumen ini terhadap berbagai penyakit seperti diabetes dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK). Kuesioner tersebut dapat dilihat pada tabel VIII. 29 1. Tabel VIII. Original Morisky Scale (CMSA, 2006) Do you ever forget to take your medicine? Yes No 2. Are you careless at times about taking your medicine? Yes No 3. When you feel better do you sometimes stop taking your medicine? Yes No 4. Sometimes if you feel worse when you take your medicine, do you stop taking it? Yes No Penilaian Morisky Scale yaitu setiap pertanyaan yang dijawab “tidak” mendapat nilai 1, maka dari itu total nilai ada pada rentang 0 sampai 4. Pasien dengan total nilai yang tinggi diasumsikan lebih patuh dibandingkan pasien dengan nilai total yang lebih rendah. Pasien dengan nilai yang lebih rendah memiliki resiko yang lebih besar untuk berperilaku tidak patuh (CMSA, 2006). Saat pengaplikasian Original Morisky Scale pada Case Adherence Management Guidelines (CMAG), tercatat beberapa kekurangan yang potensial. Salah satu kekurangannya yaitu Original Morisky Scale tidak dapat menjelaskan ketekunan (kelanjutan jangka panjang terapi pasien), yang merupakan faktor penting dalam manajemen terapi jangka panjang penyakit kronis. Kuesioner ini juga tidak didesain untuk mengklasifikasikan pasien dalam tinggi/rendahnya tingkat motivasi dan pengetahuan. Kuesioner tersebut akhirnya dikembangkan dengan cara menambahkan 2 buah pertanyaan, sehingga disebut Modified Morisky Scale (MMS). Kuesioner MMS yang belum diterjemahkan dapat dilihat pada tabel IX. 30 Tabel IX. The Modified Morisky Scale (MMS) dalam CMAG (CMSA, 2006) Question Motivation Knowledge 1. Do you ever forget to take your medicine? Yes (0) No (1) 2. Are you careless at times about taking your Yes (0) No (1) medicine? 3. When you feel better do you stop taking your Yes (0) No (1) medicine? 4. Sometimes if you feel worse when you taking your Yes (0) No (1) medicine, do you stop taking it? 5. Do you know the long-term benefit of taking your Yes (1) No (0) medicine as told to you by your doctor or pharmacist? 6. Sometimes do you forget to refill your prescription Yes (0) No (1) medicine on time? Kuesioner MMS seluruhnya dinilai dengan skala “Ya” atau “Tidak”. Pada domain motivasi, setiap jawaban “Tidak” (pertanyaan 1, 2, 6) mendapat skor 1 dan setiap jawaban “Ya” mendapat skor 0, sehingga total skor domain motivasi ada pada rentang 0 – 3. Apabila skor total yang didapat pasien bernilai 0 – 1, maka pasien dinyatakan memiliki motivasi yang rendah, sedangkan untuk total skor >1 pasien dinyatakan memiliki motivasi yang tinggi. Pada domain pengetahuan, jawaban “Tidak” untuk pertanyaan 3 dan 4 mendapatkan skor 1, dan jawaban “Ya” mendapat skor 0. Pada pertanyaan 5, jawaban „Tidak” mendapat skor 0, dan jawaban “Ya” mendapat skor 1. Total skor yang didapat ada pada rentang 0 – 3. Apabila skor total yang didapat pasien bernilai 0 – 1, maka pasien dinyatakan memiliki pengetahuan yang rendah, sedangkan untuk total skor >1 pasien dinyatakan memiliki pengetahuan yang tinggi (CMSA, 2006). 31 Penilaian kuesioner MMS kemudian digunakan untuk menentukan kuadran kepatuhan pasien yaitu: Kuadran 1 Motivasi rendah, pengetahuan rendah. Pasien dinyatakan tidak patuh. Kuadran 2 Motivasi tinggi, pengetahuan rendah. Pasien dinyatakan memiliki kepatuhan yang tidak tetap atau berubah-ubah. Kuadran 3 Motivasi rendah, pengetahuan tinggi. Pasien dinyatakan memiliki kepatuhan yang tidak tetap atau berubah-ubah. Kuadran 4 Motivasi tinggi, pengetahuan tinggi. Pasien dinyatakan patuh. Kuesioner MMS merupakan metode self-reported evaluation sehingga memiliki keterbatasan yaitu kemungkinan terjadinya personal bias dan perbedaan interpretasi pertanyaan dalam kuesioner tersebut. Penelitian yang dilakukan selama pasien menjalani pengobatan juga dapat menghasilkan “Hawthrone Effect”, yaitu kecenderungan pasien untuk meningkatkan kepatuhannya karena pasien tahu bahwa mereka sedang diobservasi (Fairman and Motheral, 2000). F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola pengobatan, gambaran kepatuhan, dan faktor pendukung kepatuhan terapi OAT pada pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Kabupaten Sleman. Kepatuhan pasien diukur dengan kuesioner Modified Morisky Scale (MMS), sedangkan faktor pendukung kepatuhan diperoleh melalui wawancara langsung dengan pasien.