KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH DAN POLIMORFISME GEN GH, GHRH DAN PIT-1 PADA POPULASI KERBAU DI BANTEN ROHMAT DIYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme Gen GH, GHRH dan Pit-1 pada Populasi Kerbau di Banten adalah karya saya sendiri dibawah arahan dan bimbingan para pembimbing. Karya ini belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2009 Rohmat Diyono NRP D151070051 ABSTRACT ROHMAT DIYONO. Body Measurements Characteristic and Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Population in Banten. Supervised by CECE SUMANTRI and ACHMAD FARAJALLAH. The objectives of this study were to get information about body measurements characteristic and molecular polymorphisms of Banten buffalo population consisted of Pandeglang and Lebak subpopulations. Five variables of body measurement which were body length (BL), wither height (WH), chest circumference (CC), chest depth (CD) and hip height (HH) were analyzed on body measurement study. While, three loci of growth hormone genes (GH/MspI, GHRH/HaeIII and Pit-1/HinfI) were used on molecular polymorphism study. The results showed that body measurements of Pandeglang generally was not differ from Lebak subpopulation according to t-test analysis (P>0.05). Molecular analysis showed that GH/MspI and GHRH/HaeIII loci of Banten population were polymorphic, while Pit-1/HinfI locus was monomorphic. Genetic polymorphisms of GH/MspI locus was low showed by expected heterosigosity value (He=0.0469). While, genetic polymorphisms of GHRH/HaeIII locus was higher (He=0.4908). FIS index showed negative value indicated that there was a random mating system on Banten buffalo population. FIT value for GH/MspI locus near to 0 (-0.0207) indicated that there was a balanced population according to Hardy-Weinberg principle. A bias of Hardy Weinberg principle was on GHRH/HaeIII locus showed with FIT value near to -1 (-0.7224). Population differentiation indicator, FST index showed a small value (0.0024) indicated that differentiation of Banten population to two subpopulations (Pandeglang and Lebak) only decreased a small number of genetic diversity (0.24%). Correlation analysis showed that GHRH/HaeIII genotypes was not significantly correlated with body measurements of Banten buffalo population (P>0.05). Keywords: body measurements, polymorphism, growth hormone genes, buffalo, Banten RINGKASAN ROHMAT DIYONO. Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme gen GH, GHRH dan Pit-1 pada Populasi Kerbau di Banten. Dibimbing oleh CECE SUMANTRI dan ACHMAD FARAJALLAH. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendapatkan informasi mengenai karakteristik kuantitatif ukuran-ukuran tubuh kerbau Banten (Pandeglang dan Lebak) meliputi panjang badan, tinggi pundak, lingkar dada, dalam dada dan tinggi pinggul, 2) mengidentifikasi polimorfisme gen GH, GHRH dan Pit-1 pada lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI pada populasi kerbau Banten (Pandeglang dan Lebak), dan 3) menganalisis hubungan antara ukuran-ukuran tubuh kerbau dengan polimorfisme lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit1/HinfI. Penelitian dilakukan di dua Kabupaten di Banten yaitu Pandeglang dan Lebak. Data ukuran tubuh sampel ternak kerbau sebanyak 80 ekor dari Pandeglang dan 121 ekor dari Lebak diperoleh dengan pengukuran langsung dilapangan dari bulan September sampai November 2008. Identifikasi polimorfisme lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI dilakukan dengan metode polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphisms (PCR-RFLP) dari bulan Desember 2008 sampai April 2009 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB. Karaktersitik ukuran tubuh kerbau dianalisis secara deskriptif meliputi nilai rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman. Sampel darah ternak kerbau yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 77 sampel meliputi 44 sampel dari Pandeglang dan 33 sampel dari Lebak. Analisis polimorfisme meliputi frekuensi alel dan genotipe, heterosigositas pengamatan (Ho) dan heterosigositas harapan (He), keseimbangan Hardy-Weinberg, dan nilai-nilai indeks fiksasi meliputi FIS, FIT, dan FST. Selanjutnya dilakukan analisis hubungan antara genotipe dengan ukuran-ukuran tubuh kerbau terkoreksi umur 4 sampai 5 tahun jenis kelamin betina. Analisis hubungan dilakukan dengan menggunakan uji-t. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa karakteristik kuantitatif ukuranukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak secara umum tidak berbeda (P>0.05). Lokus GH/MspI dan GHRH/HaeIII bersifat polimorfik, sedangkan lokus Pit1/HinfI bersifat monomorfik pada populasi kerbau Banten. Alel GH(-) pada lokus GH/MspI hanya ditemukan pada subpopulasi Pandeglang dengan frekuensi 0.04. Frekuensi genotipe GH(+/+) dan GH(+/-) pada subpopulasi Pandeglang adalah 0.92 dan 0.08. Pada subpopulasi Lebak, lokus GH/MspI bersifat monomorfik dengan hanya ditemukanya alel GH(+). Pada subpopulasi Pandeglang, frekuensi alel A dan B lokus GHRH/HaeIII adalah 0.41 dan 0.59, sedangkan pada subpopulasi Lebak adalah 0.43 dan 0.57. Pada subpopulasi Pandeglang, frekuensi genotipe AB dan BB lokus GHRH/HaeIII adalah 0.86 dan 0.14, sedangkan pada subpopulasi Lebak adalah 0.81 dan 0.19. Pada populasi total Banten Lokus GH/MspI mempunyai keragaman yang rendah (He = 0.0469) dan lokus GHRH/HaeIII mempunyai keragaman yang tinggi (He = 0.4908). Nilai FIS pada populasi Banten untuk semua lokus bernilai negatif yang mengindikasikan adanya pola perkawinan acak. Nilai FIT untuk lokus GH/MspI pada populasi kerbau di Banten mendekati nilai 0 (-0.0207) mengindikasikan bahwa distribusi genotipe gen tersebut memenuhi prinsip keseimbangan HardyWeinberg. Penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg terjadi pada lokus GHRH/HaeIII ditunjukkan dengan nilai FIT mendekati -1 (-0.7224). Populasi kerbau Banten mempuyai nilai FST rataan sebesar 0.0024. Nilai FST yang kecil ini mengindikasikan bahwa pemisahan populasi Banten menjadi dua subpopulasi Pandeglang dan Lebak hanya akan menurunkan keragaman genetik yang tidak signifikan yaitu sebesar 0.24%. Analisis hubungan genotipe dengan ukuranukuran tubuh hanya memungkinkan dilakukan untuk lokus GHRH/HaeIII. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa keragaman lokus GHRH/HaeIII tidak berhubungan (P>0.05) dengan ukuran-ukuran tubuh kerbau di Banten. Kata kunci: ukuran tubuh, polimorfisme, gen hormon pertumbuhan, kerbau, Banten ©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusuan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH DAN POLIMORFISME GEN GH,GHRH DAN PIT-1 PADA POPULASI KERBAU DI BANTEN ROHMAT DIYONO Tesis sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 Judul Tesis : Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme Gen GH, GHRH dan Pit-1 pada Populasi Kerbau di Banten Nama : Rohmat Diyono NRP : D151070051 Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Ketua Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si Anggota Diketahui Ketua Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Rarah Ratih A.M., DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.S. Tanggal Ujian: 14 Agustus 2009 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulisan thesis ini dapat terselesaikan. Thesis ini berjudul “Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme Gen GH, GHRH dan Pit-1 pada Populasi Kerbau di Banten”. Pemilihan judul penelitian dilatarbelakangi oleh kondisi populasi kerbau di Indonesia yang jumlahnya semakin menurun dari tahun ketahun. Padahal pada masa mendatang, ternak kerbau mempunyai potensi dalam pemenuhan kebutuhan daging. Salah satu sifat ekonomis yang penting pada ternak kerbau adalah sifat pertumbuhan. Sifat pertumbuhan dapat dikarakterisasi dengan mudah melalui pengukuran tubuh. Sifat pertumbuhan dikontrol oleh banyak gen beberapa diantaranya tergabung dalam keluarga hormon pertumbuhan (somatotropin). Harapan kedepan semoga hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang diperlukan sebagai langkah awal untuk melakukan program pemuliaan kerbau. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof.Dr.Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Dr.Ir.Achmad Farajallah, M.Si selaku pembimbing anggota dan Prof.Dr.Ir.Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc selaku penguji luar komisi. Secara khusus ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku peneliti utama yang telah membantu biaya penelitian melalui kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI dalam program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) tahun 2008. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu baik terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Akhirnya, penghargaan dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya disampaikan kepada orang tua penulis, Bapak Brahim dan Ibu Wagini (Almh) yang telah memberikan doa, dukungan moral dan materil yang tidak ternilai besarnya. Bogor, Agustus 2009 Rohmat Diyono RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Temanggung pada tanggal 11 Juli 1985 dari Bapak Brahim dan Ibu Wagini (almh). Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis terdaftar pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana IPB dengan biaya sendiri. Minat keilmuan yang diambil yaitu Genetika dan Pemuliaan Ternak. Selama kuliah penulis aktif sebagai anggota sekaligus penggerak Kelompok Tani Ternak “Ngudi Mandiri” di Desa Prangkokan, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. v PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 Latar Belakang ........................................................................... 1 Tujuan ........................................................................................ 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3 Domestikasi dan Tipe Kerbau .................................................... 3 Populasi Kerbau di Indonesia ..................................................... 4 Produktivitas dan Karakteristik Ukuran Tubuh Kerbau ............. 5 MAS (Marker Assisted Selection) .............................................. 7 Kandidat Marker Sifat Pertumbuhan........................................... 8 Gen Growth Hormone (GH) ............................................ 9 Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) ...... 10 Gen Pituitary Transcription Factor-1 (Pit-1) .................. 11 Analisis Polimorfisme Gen ........................................................ 11 MATERI DAN METODE .......................................................................... 13 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 13 Kondisi Umum Propinsi Banten.. .............................................. 13 Pengukuran Karakteristik Ukuran Tubuh …………………….. 15 Materi …………………………………………………. 15 Metode ………………………………………………… 15 Analisis Data …………………………………………... 17 Identifikasi Polimorfisme Gen GH, GHRH dan Pit-1 ................ 18 Materi ………………………………………………….. 18 Metode ………………………………………………… 19 Analisis Data …………………………………………... 21 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 24 Karakteristik Ukuran Tubuh ………………………………….. 24 Koefisien Keragaman ...................................................... 24 Ukuran-Ukuran Tubuh Terkait dengan Performa Produksi .......................................................................... 25 Pengaruh Lingkungan terhadap Ukuran Tubuh Kerbau ............ 28 Identifikasi Polimorfisme Lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI ………………………………………………… 31 Polimorfisme Lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI ……................................................................... 35 Heterosigositas dan Indeks Fiksasi ............................................ 39 Hubungan Genotipe dengan Ukuran Tubuh .............................. 42 Upaya Pemuliaan Kerbau Banten .............................................. 44 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 48 Kesimpulan ................................................................................ 48 Saran .......................................................................................... 48 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 49 LAMPIRAN ................................................................................................ 55 DAFTAR TABEL Halaman 1. Populasi kerbau berdasarkan provinsi tahun 2004 sampai 2007.............. 5 2 Sampel ternak kerbau menurut umur, jenis kelamin dan asal ternak ….. 15 3 Kriteria penentuan umur kerbau berdasarkan pergantian gigi seri ……. 4 Informasi sekuen primer yang digunakan dalam penelitian …………… 18 5 Koefisien keragaman (%) ukuran-ukuran tubuh kerbau jantan Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur ........................... 24 6 Koefisien keragaman (%) ukuran-ukuran tubuh kerbau betina Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur ........................... 24 7 Frekuensi alel, frekuensi genotipe dan keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2 dan p) pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak …………………... 37 8 Nilai heterosigositas pengamatan (Ho) dan heterosigositas harapan (He) 40 9 Heterosigositas dan indeks fiksasi pada populasi Banten ……………... 41 10 Rataan ukuran tubuh dan standar eror (x + s.e) pada setiap genotipe lokus GHRH/HaeIII yang berbeda pada kerbau Banten ………………. 42 16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta lokasi penelitian di Provinsi Banten ……………………………… 14 2 Skema pengukuran tubuh kerbau................................................................ 16 3 Perbandingan rataan panjang badan antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin........................................... 25 Perbandingan rataan tinggi pundak antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin........................................... 26 Perbandingan rataan lingkar dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin........................................... 26 Perbandingan rataan dalam dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin........................................... 27 Perbandingan rataan tinggi pinggul antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin........................................... 28 8 Perkiraan sekuen gen GH target …………………………………………. 32 9 Pola pita pemotongan gen GH Sepanjang 327 pb pada gel poliakrilamid 6%......................................................................................... 32 4 5 6 7 10 Perkiraan sekuen gen GHRH target …………………………………….. 33 11 Produk PCR gen GHRH dengan panjang sekitar 451 pb, dan pola pita pemotongan dengan enzim restriksi HaeIII pada gel poliakrilamid 6%..... 34 12 Perkiraan sekuen gen Pit-1 target ……………………………………….. 35 13 Produk PCR gen Pit-1 sepanjang 600 pb dan pola pita RFLP dengan enzim restriksi HaeIII pada gel poliakrilamid 6%. ……………………… 35 14 Struktur bibit dalam kawasan sumber bibit ................................................ 45 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2 Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 1 sampai 2 tahun... 55 Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuran-ukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 2 sampai 3 tahun .. 55 3 Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuran-ukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 3 sampai 4 tahun .. 56 4 Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuran-ukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 4 sampai 5 tahun... 56 Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuran-ukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur lebih 5 tahun ….. 57 5 6 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin jantan kelompok umur 1 sampai 2 tahun ........................................................................................................... 57 7 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 1 sampai 2 tahun ........................................................................................................... 58 8 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin jantan kelompok umur 2 sampai 3 tahun ........................................................................................................... 58 9 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 2 sampai 3 tahun ........................................................................................................... 59 10 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin jantan kelompok umur 3 sampai 4 tahun ........................................................................................................... 59 11 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 3 sampai 4 tahun ........................................................................................................... 60 12 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 4 sampai 5 tahun ........................................................................................................... 60 13 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur lebih dari 5 tahun ........................................................................................................... 61 14 Hubungan genotipe lokus GHRH/HaeIII dengan ukuran tubuh kerbau … 61 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan ternak ruminansia yang digunakan sebagai salah satu sumber mata pencaharian bagi sebagian masyarakat petani di pedesaan dan berpotensi sebagai salah satu sumber dalam pemenuhan kebutuhan daging nasional. Kerbau mampu memanfaatkan pakan bermutu rendah dan beradaptasi pada lingkungan yang cukup keras, spesifik lokasi dan sudah menyatu dengan kehidupan sosial budaya masyarakat. Populasi kerbau di Indonesia cenderung mengalami penurunan dari tahun ketahun. Pada tahun 2004 populasi kerbau mencapai 2 403 298 ekor dan pada tahun 2007 menurun 13.21% menjadi 2 085 779 ekor (Ditjen Peternakan 2008). Penurunan populasi ini hampir terjadi di semua wilayah nusantara yang merupakan basis pengembangan populasi kerbau, termasuk di Provinsi Banten. Penurunan populasi yang tidak terkontrol dikhawatirkan akan mengakibatkan hilangnya gen-gen penting yang terkait dengan daya hidup dan kemampuan reproduksi serta gen-gen yang mengontrol sifat ekonomis. Penurunan populasi kerbau disebabkan oleh semakin sempitnya lahan penggembalaan, penggunaan mesin untuk mengolah lahan pertanian dan penurunan preferensi peternak terhadap kerbau. Penurunan preferensi peternak terhadap kerbau disebabkan oleh rendahnya produktifitas kerbau dibandingkan ternak lain seperti sapi dan domba apabila dipelihara secara intensif. Upaya-upaya untuk untuk meningkatkan produktivitas kerbau oleh karenanya perlu dilakukan baik melalui perbaikan manajemen pemeliharaan maupun peningkatan mutu genetik ternak. Upaya peningkatan mutu genetik ternak dapat dilakukan melalui seleksi terhadap sifat yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Salah satu sifat ekonomis yang bernilai ekonomi tinggi yaitu sifat pertumbuhan. Upaya seleksi terhadap sifat pertumbuhan dapat dilakukan dengan mudah berdasarkan ukuran-ukuran tubuh kerbau. Ukuran-ukuran tubuh mempunyai kegunaan yang dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot badan dan menentukan harga jual ternak. Namun demikian upaya seleksi berdasarkan ukuran tubuh akan menghasilkan respon seleksi yang lambat karena variasi lingkungan yang tinggi. Terobosan baru berupa penerapan marker molekuler untuk membantu seleksi (marker assisted selection) diperlukan untuk mendapatkan respon seleksi yang lebih cepat. Metode seleksi ini dapat digunakan untuk mendeteksi sifat unggul dari seekor ternak dalam waktu yang relatif lebih cepat. Kemajuan dalam bidang biologi molekuler berupa penerapan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan restriction fragment length polymorphism (RFLP), memungkinkan upaya seleksi dapat dilakukan dengan bantuan marker molekuler yang telah terbukti mengontrol sifat ekonomis. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui dua tahap yaitu identifikasi polimorfisme gen yang mengontrol sifat ekonomis dan pencarian tipe gen (alel) yang terkait dengan sifat unggul. Kandidat gen yang dapat digunakan yaitu gen yang tergabung dalam keluarga hormon pertumbuhan diantaranya gen growth hormone (GH), growth hormone releasing hormone (GHRH), dan pituitary transcription factor (Pit-1). Gen-gen ini merupakan pengontrol sifat pertumbuhan yang keberadaan dan polimorfismenya penting untuk mendukung seleksi terhadap sifat pertumbuhan. Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa terdapat polimorfisme pada ketiga ketiga gen tersebut khususnya pada sapi yaitu pada pada lokus GH/MspI (Zhang et al. 1992), GHRH/HaeIII (Moody et al. 1995) dan Pit-1/HinfI (Wollard et al. 1994). Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan informasi mengenai karakteristik kuantitatif ukuran-ukuran tubuh kerbau Banten (Pandeglang dan Lebak) meliputi panjang badan, tinggi pundak, lingkar dada, dalam dada dan tinggi pinggul, 2. Mengidentifikasi polimorfisme gen GH, GHRH dan Pit-1 pada lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI pada populasi kerbau Banten (Pandeglang dan Lebak), 3. Menganalisis hubungan antara ukuran-ukuran tubuh polimorfisme lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI. kerbau dengan TINJAUAN PUSTAKA Domestikasi dan Tipe Kerbau Kerbau termasuk dalam sub-famili Bovinae, genus Bubalus. Menurut sejarah perkembangan domestikasi, ternak kerbau yang berkembang di seluruh dunia berasal dari daerah sekitar India. Kerbau Asia dan Eropa termasuk dalam genus Bubalis sedangkan Kerbau Afrika termasuk dalam genus Syncerus. Terdapat beberapa jenis kerbau liar yang masih dapat dijumpai, yaitu Anoa, Kerbau Mindoro, Bubalus caffer dan Kerbau Merah. Kerbau Mindoro (Buballus mindorensis) terdapat di Filipina. Kerbau ini juga bertubuh kecil, menyerupai kerbau kerdil. Buballus caffer merupakan kerbau liar yang sangat kuat terdapat di Afrika Timur, dan beberapa di daerah Afrika Barat Daya, Transvaal dan Kongo. Sesuai dengan namanya, kerbau merah berwarna merah dengan ukuran tubuh kecil, tingginya 1.2 sampai 1.5 m dan terdapat di Afrika Barat, di daerah Tsad, Niger hilir, Kongo dan Maroko Selatan. Kerbau Afrika, atau disebut juga dengan kerbau liar, terdiri atas dua subspesies, yaitu Syncerus caffer caffer dan Syncerus caffer nanus. Kerbau Afrika belum pernah mengalami proses domestikasi dan masih berupa kerbau liar atau semi liar (Kikkawa et al. 1997). Kerbau domestik (Bubalus bubalus) terdiri atas dua tipe yaitu tipe sungai (river buffalo) dan tipe rawa (swamp buffalo). Kedua tipe kerbau ini dibedakan berdasarkan pada penampakan, tingkah laku, pemanfaatan dan habitatnya. Kerbau sungai mempunyai bentuk tanduk melingkar ke bawah dan kerbau rawa mempunyai tanduk melengkung ke belakang. Kerbau sungai menunjukkan kesenangan terhadap air mengalir yang bersih, sedangkan kerbau rawa suka berkubang dalam lumpur, rawa-rawa dan air menggenang. Kerbau tipe rawa biasa digunakan sebagai ternak kerja, untuk nantinya dipotong sebagi penghasil daging dan tidak pernah sebagai penghasil susu, sedangkan kerbau sungai merupakan tipe penghasil susu (Kikkawa et al. 1997). Kerbau rawa mempunyai 24 pasang kromosom (48 kromosom), sedangkan kerbau sungai 25 pasang (50 kromosom). Menurut Chunchai (1981) selain adanya perbedaan dalam hal jumlah pasangan kromosom, ada pula perbedaan pada besarnya seks kromosom diantara kedua sub grup kerbau tersebut. Pada kerbau lumpur, besar kromosom Y tidak melebihi 1/3 dari besar kromosom X, sedangkan pada kerbau sungai besar kromosom Y mencapai sekitar ½ dari kromosom X. Jenis kerbau yang ada di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya adalah jenis kerbau rawa (swamp buffalo) yang biasanya digunakan sebagai ternak kerja dan penghasil daging. Bobot dewasa kerbau rawa rata-rata 450 sampai 650 kg untuk kerbau jantan dan 350 sampai 450 kg untuk kerbau betina Umur dewasa berkisar antara 4 sampai 5 tahun (Chantalakhana & Skunmum 2002). Populasi Kerbau di Indonesia Populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sekitar 2% dari populasi dunia. Populasi kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau lumpur dan hanya sedikit kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah yang dipelihara oleh masyarakat keturunan India dan digunakan sebagai penghasil susu. Populasi kerbau di Indonesia dari tahun 2004 sampai 2007 disajikan pada Tabel 1. Kerbau rawa yang berkembang dan dibentuk menurut agroekosistem memunculkan berbagai tipe kerbau. Di Toraja ada kerbau Tedong Bonga, di daerah Alabio ada kerbau Rawa, di Tapanuli Selatan ada kerbau Binanga, di Kalimantan Selatan ada kerbau Kalang dan di Maluku ada kerbau Moa. Disamping itu di daerah Taman Nasional Baluran didapatkan pula kerbau liar. Potensi pengembangan ternak kerbau di Indonesia cukup besar, mengingat populasi pada tahun 2007 cukup banyak sebesar 2 085 799 ekor dengan penyebaran yang tidak merata antar daerah. Populasi kerbau terbanyak ada di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Banten, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah, dengan jumalh mencapai 76.4% dari total populasi nasional (Ditjen Peternakan 2008). Tabel 1 Populasi kerbau berdasarkan provinsi tahun 2004 sampai 2007 No. Provinsi 2004 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Babel Banten Gorontalo Malut Kepri Irjabar Sulbar Total 409 071 263 435 322 692 48 417 68 159 86 528 48 976 52 203 195 149 960 122 482 5 584 110 685 7 133 156 792 136 966 5 353 14 864 38 488 14 973 27 4 637 161 504 7 900 24 294 1 503 681 139 707 0 89 2 403 298 Tahun 2005 338 272 259 672 201 421 47 799 72 852 90 300 48 539 49 219 242 148 003 123 815 5 253 54 688 7 064 154 919 139 592 4 185 16 241 40 163 13 560 27 4 461 124 760 7 926 22 604 1 261 801 135 040 0 89 329 16 15 378 2 128 491 2006 2007 371 143 261 794 211 531 51 791 72 117 86 777 48 693 36 408 143 149 444 112 963 4 990 54 198 6 775 155 166 142 257 4 079 16 560 41 435 8 810 27 4 491 129 565 7 613 23 164 1 290 756 146 453 0 16 0 0 16 157 2 166 666 390 334 189 167 192 148 50 362 72 206 90 160 51 255 38 991 83 149 030 109 004 4 761 53 364 5 988 153 822 144 981 2 222 17 100 43 096 9 091 0 4 181 120 003 6 951 25 303 1 319 759 144 944 0 68 252 1 14 833 2 085 779 Sumber: Ditjen Peternakan (2008) Produktivitas dan Karakteristik Ukuran Tubuh Kerbau Ternak kerbau memiliki kemampuan dalam hal memanfaatkan pakan yang kurang berkualitas (hijauan berprotein rendah dan serat kasar tinggi). Hal ini dimungkinkan karena karakteristik fisiologi pencernaan dan kapasitas perut ternak kerbau yang relatif besar. Ternak kerbau memiliki potensi yang relatif mudah dari kapasitas fisiologi nutrisi dan feeding behavior sehingga akan sesuai hidup pada lingkungan yang bervariasi (Suhubdy 2007). Ternak kerbau tahan terhadap tekanan dan perubahan lingkungan yang sangat ekstrim misalnya perubahan temperatur (head load) atau perubahan fenologi padang rumput. Karakteristik kerbau terhadap lingkungan menunjukkan bahwa sifat produksi dan reproduksi kerbau sangat responsif apabila habitat dan manajemen pemeliharaanya diperbaiki (Suhubdy 2007). Salah satu sifat produksi kerbau yang mempunyai nilai ekonomis penting adalah sifat pertumbuhan yang dapat dikarakterisasikan dengan ukuran tubuh. Ukuran-ukuran tubuh ternak dapat digunakan sebagai penduga yang menyeluruh dari bentuk tubuh dan deskripsi khas dari berbagai gambaran tubuh (Wiley 1981). Selanjutnya Warwick et al. (1983), bahwa ukuran-ukuran tubuh sangat berguna untuk menentukan asal-usul dan hubungan filogenetik antara spesies, bangsa dan tipe ternak yang berbeda. Karakter atau sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak gen yang aksinya bersifat aditif. Biasanya hubungan antar alel yang paling umum adalah kodominan atau dominan tidak penuh (Noor 2004). Ukuran-ukuran tubuh seperti panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada merupakan sifat kuantitatif. Karakter ini diperoleh dengan cara pengukuran. Martojo (1983) menyatakan bahwa ukuran tubuh secara kuantitatif menimbulkan perbedaan-perbedaan individu dalam populasi dan sering digunakan dalam seleksi dan sebagai petunjuk morfogenetik dari jenis ternak tertentu. Ukuran-ukuran tubuh kerbau bermanfaat untuk menduga sifat produksi misalnya bobot badan dan juga dapat digunakan sebagai parameter untuk kegiatan seleksi terhadap sifat pertumbuhan. Sifat pertumbuhan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi pada ternak termasuk ternak kerbau salah satunya adalah bobot badan. Pengukuran bobot badan masih sangat sulit dilakukan secara langsung untuk ternak besar seperti kerbau di Indonesia. Oleh karena itu, ukuran-ukuran tubuh dapat digunakan untuk menduga bobot badan kerbau. Bhattacharya (1993) menyatakan bahwa ukuran lingkar dada, tinggi badan dan panjang badan dapat digunakan untuk menduga bobot badan ternak kerbau dengan tepat. Selain untuk tujuan seleksi, informasi mengenai ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat praktis manajemen pemeliharaan kerbau di lapangan. Penggunaan ukuran-ukuran tubuh untuk pendugaan bobot badan akan sangat bermanfaat untuk sistem usaha pengembangan ternak kerbau. Bila bobot badan kerbau telah diketahui maka pemberian pakan untuk kerbau dapat diberikan secara tepat sesuai kebutuhan. Bobot badan kerbau juga dapat digunakan sebagai standar dalam menentukan harga jual kerbau. Berdasarkan bobot badan, kerbau rawa memiliki karakteristik yang spesifik tergantung lokasi tempat berkembangnya. Kerbau rawa di Thailand mempunyai bobot badan dewasa 350 sampai 650 kg (Chantalakhana & Skunmum 2002), bobot badan kerbau rawa di Cina sekitar 250 kg, di Mianmar sekitar 300 kg dan di Laos sekitar 500 sampai 600 kg (Shackleton & Harestad 2003). Bobot badan kerbau dapat diduga melalui ukuran-ukuran tubuh. Ukuran-ukuran tubuh kerbau domestik yang ada sekarang mempunyai ukuran-ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan pada awal domestikasinya. Kerbau liar dalam proses domestikasinya hanya digunakan sebagai hewan pekerja, hewan buruan serta dikebiri dan disembelih, tetapi tidak digunakan untuk tujuan pembibitan, sehingga berakibat menurunya ukuran-ukuran tubuh kerbau diberbagai negara seperti di Indonesia dan Thailand. Hal ini disebabkan oleh hilangnya gen-gen tertentu yang mempengaruhi sifat pertumbuhan (Shackleton & Harestad 2003). Oleh karena itu perlu adanya upaya seleksi untuk meningkatkan produktivitas kerbau khususnya sifat pertumbuhan. Upaya seleksi tersebut dapat dilakukan dengan mudah berdasarkan fenotipe ukuran tubuh. Selain itu, seleksi dapat juga dilakukan dengan bantuan marker molekuler yang berhubungan dengan sifat kuantitatif ukuran tubuh. Upaya seleksi dengan bantuan marker molekuler disebut dengan marker assisted selection. MAS (Marker Assisted Selection) Metode seleksi sederhana dengan menggunakan informasi fenotipik telah berhasil dilakukan untuk perbaikan produktivitas ternak. Namun demikian terdapat beberapa keterbatasan seperti perbedaan jenis kelamin dan sifat-sifat yang sulit atau mahal untuk diukur dan diamati (Vischer et al. 2000). Munculnya gagasan penggunaan MAS adalah terdapat gen yang memiliki hubungan nyata dan menjadi target secara spesifik dalam seleksi (Van der Werf 2000). Penerapan MAS adalah suatu harapan yang optimis, tetapi penerapan MAS akan lebih tepat dilakukan pada skala industri pemuliaan ternak atau industri peternakan sehingga keberhasilan penerapannya memerlukan strategi terpadu dan menyeluruh untuk skala usaha peternakan besar (Dekkers 2004). Penerapan MAS dapat dilakukan atau penting untuk kegiatan seleksi pada sifat yang mempunyai ketepatan seleksi dan heritabilitas rendah. Ketepatan seleksi diharapkan dapat lebih baik sejak periode anak bahkan pada fase embrional sekalipun (Meuwissen 2004). Penerapan MAS memerlukan sebuah marker atau penanda molekuler yang spesifik. Salah satu teknik yang telah dikembangkan dan secara luas digunakan untuk mencari marker molekuler tersebut adalah restriction fragment length polymorphisms (RFLP). Penggunaan teknik RFLP menjadi semakin intensif setelah dikembangkannya teknik amplifikasi fragmen DNA yaitu polymerase chain reaction (PCR). Kombinasi teknik PCR dan RFLP merupakan teknik pertama yang dikembangkan untuk memvisualisasikan perbedaan level DNA yang didasarkan pada penggunaan enzim pemotong (restriction enzymes) yang dapat memotong pada sekuen nukleotida spesifik (Montaldo & Herera 1998). Jumlah dan ukuran fragmen DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi, memiliki pola pita ada atau tidak ada tempat restriksi. Apabila tidak terpotong ada indikasi terjadi mutasi pada situs tersebut sehingga tidak ada variasi hasil pemotongan dan ekspresinya bersifat kodominan (Meghen et al. 1995). Hasil fragmen potongan DNA tersebut dapat divisualisasikan melalui teknik elektroforesis yang hasilnya menunjukkan ada atau tidaknya polimorfisme pada suatu individu dalam populasi (Nei & Kumar 2000). Kandidat Marker Sifat Pertumbuhan Prinsip dasar penerapan MAS adalah adanya hubungan yang kuat secara statistik antara tipe gen (alel) tertentu dengan sifat ekonomis unggul. Kebanyakan sifat-sifat ekonomis penting merupakan sifat kuantitatif yang dikontrol oleh banyak gen dan masing-masing gen memberikan sedikit kontribusi pada sifat tersebut (Noor 2004). Namun demikian, diprediksi terdapat beberapa gen utama yang memberikan kontribusi lebih pada variasi suatu sifat. Gen semacam ini disebut dengan gen mayor (major gene) yang terletak pada lokus sifat kuantitatif atau quantitative traits loci (QTL). Gen mayor yang dapat digunakan sebagai kandidat dalam program MAS yaitu apabila gen tersebut mempunyai fungsi dan pengaruh biologis yang nyata terhadap sifat kuantitatif. Salah satu sifat kuantitatif yang bernilai ekonomis pada ternak kerbau adalah sifat pertumbuhan. Sifat pertumbuhan merupakan sifat yang masih menjadi prioritas sebagai tujuan seleksi untuk ternak-ternak di Indonesia, khususnya ruminansia. Bila ditinjau dari sisi hormonal, hormon yang tergabung dalam keluarga hormon pertumbuhan (somatotropic axis) mempunyai peran yang sangat penting selama beragam fase pertumbuhan ruminasia (Owens et al. 1993). Beberapa gen yang berperan dalam proses pertumbuhan diantaranya gen growth hormone (GH), growth hormone releasing hormone (GHRH) dan pituitary transcription factor-1 (Pit-1). Gen Growth Hormone (GH) Hormon pertumbuhan sapi (bGH) merupakan sebuah polipetida yang terdiri dari 191 asam amino (Etherton & Bauman 1998). Gen GH ditranskripsikan dan diterjemahkan di kelenjar pituitari anterior. Proses transkripsi diregulasi oleh dua faktor pengikat, yaitu Pit-1 dan Prop-1. Sekresi GH oleh pituitari di stimulus oleh GH-releasing hormone yang terdapat di hipotalamus, tetapi juga dihambat oleh somatostatin yang juga disekresikan oleh hipotalamus (Giustina & Veldhuis 1998; Pfaffle et al. 1999; Fodor et al. 2006). Sintesis dan sekresi gen GH diregulasi oleh hypothalamic releasing factors dan somatotrophic transcription factors (Fodor et al. 2006). Seleksi genetik untuk meningkatkan pertumbuhan dan kualitas karkas telah dihubungkan dengan peningkatan sekresi GH oleh pituitari (Bunger & Hill 1999). Penyuntikan rekombinan hormon GH rekombinan juga mampu meningkatkan laktasi dan kualitas karkas (Etherton & Bauman 1998). Baik secara langsung ataupun tidak, gen GH melalui peran gen insulin growth factor-1 (IGF1) merupakan regulator utama dalam pertumbuhan sel somatic posnatal, stimulasi proses anabolis seperti pembelahan sel, pertumbuhan tulang dan sintesis protein. Gen GH telah digunakan sebagai kandidat gen dalam mencari keterkaitan antara genotipe dengan fenotipe pada beberapa spesies termasuk Bos taurus dan Bos indicus (Ge et al. 2003; Beauchemin et al. 2006). Pemilihan gen GH ini didasari atas fungsinya dalam proses laktasi, metabolisme karbohidrat (Ohlsson et al.1998). Pada ternak sapi, gen GH terletak pada kromosom 19, Lagziel et al. (2000) mengungkapkan bahwa polimorfisme skuen pada intron 4 dapat digunakan untuk membedakan ada atau tidaknya punuk pada sapi, yaitu Bos indicus (berpunuk) dan Bos taurus (tidak berpunuk). Perbandingan lain bangsa sapi ini, sebagai contoh adalah sapi Brahman dan Angus mempunyai perbedaan mencolok pada sifat karkasnya (Morrison 2005). Sapi Brahman memiliki kadar lemak dan konsentrasi serum yang lebih rendah dibandingkan sapi Angus pada karkasnya (Lopez et al. 2006). Beberapa penelitian tentang penggunaan polimorfisme gen yang dihubungkan dengan sifat fenotipe menunjukkan adanya pengaruh yang bersifat aditif. Namun demikian pada populasi silangan Bos indicus dan Bos taurus, genotipe yang heterosigot cenderung menunjukkan performa yang lebih superior dalam pengukuran fisiologis dan sifat produksi (Pereira et al. 2005). Mutasi basa C-G ditemukan pada kodon ke-127 gen GH sapi (GH/AluI) yang berakibat pada perubahan asam amino leusin (alel L) menjadi valine (alel V) (Lucy et al. 1991). Perubahan asam amino ini telah dihubungkan dengan beberapa sifat produksi pada ternak sapi, seperti pertumbuhan, komposisi dan kualitas karkas (Regitano et al. 1999). Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) Gen GHRH mengkodekan sebuah hormon dengan panjang sekitar 40-44 asam amino. GHRH terekspresikan pada kelenjar hipotalamus, saluran gastrointestinal, gonad, jaringan kekebalan, dan Plasenta. Fungsi utama GHRH adalah menstimulasi sekresi gen GH. Selain itu, GHRH meningkatkan konsentrasi serum GH (Lovendal et al. 1991) dan meningkatkan produksi susu (Lapierre et al. 1988). Vanderkool et al. (1995) melaporkan bahwa GHRH menstimulasi sintesis susu melalui mekanisme yang sama dengan GH. Pada ternak sapi, gen GHRH terdiri dari 5 ekson (Frohman & Kineman 1999), terletak pada kromosom 13 dan terpaut dengan mikrosatelit CSSM30 (Barendse et al. 1994). Studi tentang keragaman gen GHRH telah dilakukan pada ternak sapi jantan FH (Moody et al. 1995) dengan menggunakan PCR-RFLP HaeIII. Hasilnya menunjukkan bahwa frekuensi genotipe AA rendah (0.08) dan mampu meningkatkan persentase lemak karkas. Cheong et al. (2006) juga melaporkan keterkaitan antara polimirfisme gen GHRH dengan kualitas karkas pada sapi Korea. Hubungan polimorfisme gen GHRH/HaeIII pada produksi susu telah diteliti oleh Marek et al. (2007). Penelitian yang dilakukan pada populasi sapi perah di Polandia ini menghasilkan tiga genotipe yaitu AA, AB dan BB dengan frekuensi masing-masing 0.10; 0.37 dan 0.53, dan frekuensi alel A dan B masing-masing 0.28 dan 0.72. Sapi dengan genotipe AA mempunyai produksi susu lebih tinggi dibandingkan dengan kedua genotipe lainya. Pada Kerbau, Rajamurugan et al. (2007) melaporkan bahwa gen GHRH lokus HaeIII pada 60 ekor kerbau perah Murrah adalah monomorfik. Gen Pituitary Transcription Factor-1 (Pit-1) Gen Pit-1 yang juga dikenal dengan nama growth hormone factor 1 (GHF1) merupakan faktor transkripsi spesifik pituitari yang berperan untuk perkembangan pituitari dan ekspresi hormon pada mamalia (Cohen et al. 1997). Pit-1 merupakan anggota domain POU yang mengandung protein, yaitu kelompok regulator transkripsi yang mempunyai peran kunci dalam diferensiasi dan pembelahan sel (Mangalam et al. 1989). Secara in vivo, kebanyakan dari protein POU berperan penting dalam proses perkembangan yang terkait dengan system saraf. Pada hewan ternak, gen Pit-1 berfungsi dalam pengaturan transkripsi gen GH dan prolaktin (Bodner et al. 1988). Gen Pit-1 juga berfungsi sebagai aktivator gen-gen pituitary, termasuk gen Pit-1 itu sendiri (Chen et al. 1990) dan gen GHRH (Lin et al. 1992). Analisis Polimorfisme Gen Pemilihan gen yang akan digunakan sebagai kandidat marker untuk kegiatan seleksi, selain mempunyai hubungan biologis dan fisiologis dengan sifat kuantitatif juga disyaratkan adanya informasi polimorfisme pada gen kandidat tersebut. Teknik polymerase chain reaction (PCR) yang dikombinasikan dengan teknik restriction fragment length polymorphisms (RFLP) dapat digunakan untuk mendapatkan informasi ada atau tidaknya polimorfisme pada setiap daerah atau lokasi DNA, baik pada coding region maupun pada non-coding region (Vasconcellos et al. 2003). Ada atau tidaknya polimorfime pada gen atau lokus yang diamati dapat diketahui dari nilai frekuensi alel. Gen dikatakan bersifat polimorfik yaitu apabila salah satu alelnya mempunyai frekuensi kurang dari 99% (Nei & Kumar 2000) atau 95% (Hartl 1988). Sebaliknya, gen dikatakan monomorfik apabila tidak memenuhi kriteria polimorfik diatas. Keragaman genetik digunakan untuk menginvestigasi hubungan genetik suatu spesies antar subpopulasi. Prinsipnya adalah kemungkinan adanya alel bersama yang dimiliki antar subpopulasi yang disebabkan oleh migrasi. Alel bersama ini juga mengindikasikan adanya asal-usul atau tetua yang sama (Hartl 1988). Keragaman genetik dapat dihitung secara kuantitatif dengan menggunakan nilai frekuensi alel. Frekuensi alel adalah proporsi jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel dalam suatu populasi pada lokus yang sama (Nei & Kumar 2000). Berdasarkan nilai frekuensi alel, maka selanjutnya dapat dibandingkan perbedaan antar gen, baik didalam maupun antar populasi. Perhitungan frekuensi alel dapat dilakukan dengan mudah menurut petunjuk Nei (1987). Berdasarkan nilai frekuensi alel dan frekuensi genotipe dapat diduga nilai keragaman genetik yaitu frekuensi heterosigositas pengamatan (Ho) dan heterosigositas harapan (He) (Nei 1987). Pola perkawinan dan seleksi serta struktur populasi yang berlangsung pada populasi yang diamati dapat diduga dengan menggunakan nilai-nilai indeks fiksasi yang dikenal dengan uji-F statistic yang terdiri dari tiga parameter yaitu FIS, FIT dan FST. Nilai Indeks fiksasi dapat digunakan untuk mengetahui pola perkawinan dan pola seleksi yang terjadi di dalam populasi. Nilai indeks fiksasi bisa positif atau negatif, hal tersebut dipengaruhi oleh adanya inbreeding, seleksi dan kawin yang tidak acak. FIS dan FIT adalah korelasi antara dua gamet secara acak pada sub populasi dan populasi total, sedangkan FST adalah kolerasi antar gamet secara acak pada masing-masing subpopulasi dan digunakan untuk mengukur derajat diferensiasi genetik subpopulasi (Nei 1987). Nilai FST berkisar dari 0 sampai 1. Wright (1978) mengelompokkan nilai-nilai FST sebagai berikut: diferensiasi genetik kecil (FST 0 sampai 0.05), diferensiasi genetik moderat (FST 0.05 sampai 0.15), diferensiasi genetik besar (FST 0.15 sampai 0.25), diferensiasi genetik sangat besar (FST lebih besar dari 0.25). MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu pengambilan data ukuran-ukuran tubuh di lapangan dilanjutkan dengan analisis molekuler di laboratorium. Lokasi penelitian lapangan ditentukan dengan metode purposive sampling yaitu Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Pengambilan data ukuran tubuh dilakukan dari Bulan September sampai November 2008. Identifikasi polimorfisme lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI dilakukan di Laboratorium Zoologi, Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB dari bulan Desember 2008 sampai April 2009. Kondisi Umum Propinsi Banten Propinsi Banten terletak pada 5o7’50”-7 o1’11’’ Lintang Selatan (LS) dan 05 o1’11”-106 o’12” Bujur Timur (BT). Luas wilayah propinsi Banten yaitu 9 160.7 km2. Posisi Banten sangat strategis yaitu sebagai penghubung jalur perdagangan Sumatera-Jawa. Secara geografis, batas-batas wilayah propinsi Banten adalah sebagai berikut: - Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa - Sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda - Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia Iklim wilayah Banten dipengaruhi oleh Angin Monson dan gelombang La Nina atau El Nino. Pada saat musim penghujan (November-Maret) cuaca didominasi oleh angin barat (dari Samudera Hindia) yang bergabung dengan angin dari Asia yang melewati Laut Cina Selatan. Pada musim kemarau (AprilOktober), cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama diwilayah bagian selatan (BPS Banten 2008). Kabupaten Pandeglang Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6o21' – 7o10' Lintang Selatan (LS) dan antara 104o48 – 106o11' Bujur Timur (BT) dengan luas daerah sebesar 274 689.91 ha atau 2 747 km2. Topografi wilayah Kabupaten Pandeglang memiliki dataran yang sebagian besar merupakan dataran rendah, yaitu di daerah bagian tengah dan selatan, dengan variasi ketinggian antara 0 sampai 1 778 m di atas permukaan laut (mdpl). Suhu udara minimum dan maksimum yang terjadi di wilayah Kabupaten Pandeglang berkisar antara 22.5 oC sampai 27.9 oC dengan suhu udara rata-rata untuk dataran rendah adalah 22.9 oC, dan untuk dataran tinggi adalah 22.5 oC (BPS Banten 2008). Lokasi Penelitian: Kecamatan Cisata Kab. Pandeglang Lokasi Penelitian: Kecamatan Cibadak Kab. Lebak Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Provinsi Banten. Kabupaten Lebak Kabupaten Lebak memiliki luas 304 472 ha. Kondisi Topografi Kabupaten Lebak bervariasi antara dataran sampai pegunungan dengan ketinggian antara 0 sampai 200 mdpl di wilayah pantai selatan, ketinggian 201 sampai 500 mdpl di wilayah Lebak tengah, ketinggian 501 sampai 1000 mdpl lebih di wilayah Lebak timur dengan puncaknya Gunung Sanggabuana dan Gunung Halimun. Keadaan suhu rata-rata dataran rendah mencapai 27.9 oC dan di dataran tinggi 25 oC dengan kisaran suhu udara antara 24.5 oC sampai 29.9 oC. Rata-rata curah hujan dalam kurun waktu 13 tahun terakhir 3 089 mm/tahun (BPS Banten 2008). Pengukuran Karakteristik Ukuran Tubuh Materi Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerbau rawa (swamp buffalo). Jumlah ternak yang digunakan sebanyak 201 ekor, masing-masing 80 ekor dari Pandeglang dan 121 ekor dari Lebak. Jumlah sampel ternak kerbau menurut umur, jenis kelamin dan asal ternak, disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sampel ternak kerbau menurut umur, jenis kelamin dan asal ternak Umur ---(tahun)--1-2 2-3 3-4 4-5 >5 Jenis Kelamin Pandeglang Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina 21 19 4 3 4 4 4 3 19 80 Jumlah Lebak --- (ekor)--6 6 8 15 4 8 4 42 28 121 Jumlah 27 25 12 18 8 12 4 46 3 47 201 Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tongkat ukur dan pita ukur dalam satuan centimeter (cm). Metode Data ukuran tubuh diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan. Penentuan lokasi dan sampel dilakukan dengan metode purpossive sampling. Pada penelitian ini lokasi yang dituju yaitu Provinsi Banten, dengan pertimbangan bahwa wilayah ini telah ditetapkan sebagai daerah pengembangan ternak kerbau. Sedangkan pemilihan dua lokasi yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak juga dilakukan secara purpossive sampling yaitu tertuju pada lokasi dengan kepadatan ternak kerbau tinggi. Kerbau dikelompokkan dalam 5 kelompok umur dan jenis kelamin. Penentuan umur kerbau berdasarkan informasi dari peternak dan berdasarkan pergantian gigi seri dengan kriteria menurut Lestari (1986) yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria penentuan umur kerbau berdasarkan pergantian gigi seri Gigi Seri Umur (tahun) Belum ada gigi tetap (I0) 1 Sepasang gigi tetap (I1) 2 Dua pasang gigi tetap (I3) 3 Tiga pasang gigi tetap (I4) 4 Empat pasang gigi tetap (I5) >5 Peubah yang Diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah karakteristik fenotipe yang ada hubunganya dengan sifat kuantitatif, diantaranya adalah tinggi pundak (TP), panjang badan (PB), lingkar dada (LD), dalam dada (DD) dan tinggi pinggul (TPg). Gambar 2 Skema pengukuran tubuh kerbau, 1) panjang badan, 2) tinggi pundak, 3) lingkar dada, 4) dalam dada, dan 5) tinggi pinggul. Adapun metode pengukuran kelima kriteria tersebut adalah: 1. Tinggi pundak (TP) diukur dari permukaan tanah sampai titik tertinggi pundak (scapula) dengan menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm. 2. Panjang badan (PB) diukur dari sendi bahu (humerus) sampai tulang duduk (Tuber ischii) dengan menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm. 3. Lingkar dada (LD) diukur melingkar rongga dada dibelakang sendi bahu (Os scapula) menggunakan pita ukur dalam satuan cm. 4. Dalam dada (DD) diukur dari titik tertinggi pundak dan tulang dada, diukur dengan menggunakan tongkat ukur, satuan dalam cm. 5. Tinggi pinggul (TPg) diukur dari titik tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah, diukur dengan menggunakan tongkat ukur, satuan dalam cm. Analisis Data Analisis terhadap data ukuran-ukuran tubuh kerbau dilakukan secara statistik deskriptif, meliputi nilai rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel & Torrie 1993): n ∑x x= i =1 i n ; s= ⎛ n ⎞ ⎜ ∑ xi ⎟ n 2 ∑ xi − ⎝ i =1 ⎠ i =1 x n n −1 ; KK = Keterangan : 2 s × 100 0 0 x SE = s n = nilai rataan, xi = ukuran ke-i dari peubah X, n = jumlah contoh ternak kerbau yang diamati dalam populasi, KK = koefisien keragaman, SE = standar eror, dan s = simpangan baku. Perbandingan ukuran-ukuran tubuh antar dan dalam populasi kerbau dianalisis dengan menggunakan uji-t dengan formula sebagai berikut: th = (x 1 s x1 − x 2 ) − x2 1 1 + n1 n 2 keterangan : th = nilai hasil uji-t, x1 = nilai rataan sampel dari populasi pertama, x 2 = nilai rataan sampel dari populasi kedua, s x1 − x2 = simpangan baku gabungan, n1 = jumlah sampel dari populasi pertama, dan n2 = jumlah sampel dari populasi kedua. Analisis uji-t ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak MINITAB 14. Identifikasi Polimorfisme Gen GH, GHRH dan Pit-1 Materi Sampel Ternak Kerbau Sampel ternak kerbau yang digunakan untuk analisis keragaman lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI sebanyak 77 ekor yang terdiri dari 44 ekor dari Pandeglang dan 33 ekor dari Lebak. Pengambilan sampel dilakukan secara purpossive sampling yaitu tertuju pada lokasi dengan kepadatan ternak kerbau tinggi. Primer Primer adalah DNA utas tunggal dengan ukuran pendek, biasanya 18 sampai 25 pb (pasang basa), yang akan menempel pada DNA cetakan pada tempat yang spesifik. Pasangan primer digunakan untuk mengapit sekuen DNA target pada reaksi PCR. Informasi primer yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Informasi sekuen primer yang digunakan dalam penelitian No Lokus Sekuen primer sumber 1 GH/MspI F : 5’-CCCACGGGCAAGAATGAGGC-3’ R : 5’-TGAGGAACTGCAGGGGCCCA-3’ Mitra et al. (1995) 2 GHRH/ HaeIII F : 5’-GTAAGGATGCCAGCTCTGGGT-3’ R : 5’-TGCCTGCTCATGATGTCCTGGA-3’ Moody et al (1995) 3 Pit1/ HinfI F : 5’-AAACCATCATCTCCCTTCTTCTT-3’ R : 5’-AATGTACAATGTGCCTTCTTCTG-3’ Wollard et al (1994) Metode Beberapa tahapan yang dilakukan meliputi pengambilan sampel darah, isolasi DNA, amplifikasi gen dengan teknik polymerase chain reaction (PCR), genotiping dengan teknik restriction fragment lenght polymorphisms (RFLP), dan visualisasi pita DNA. Tahap 1. Pengambilan Sampel Darah Darah diambil dari vena jugularis sekitar 2 ml dengan menggunakan tabung vacutainer berheparin. Sampel darah tersebut selanjutnya direndam dalam etanol 95% untuk menghindari kerusakan sel-sel darah. Tahap 2. Isolasi DNA Total DNA diisolasi menggunakan metode fenol kloroform (Sambrook et al.1989). Sampel darah total yang disimpan dalam etanol 95% disentrifugasi 3500 rpm selama 5 menit. Endapan sel-sel darah yang diperoleh dicuci dengan buffer TE sebanyak 2 kali. Sekitar 100 µl sel-sel darah yang telah bebas dari etanol disuspensikan dengan 1xSTE sampai volume mencapai 350 µl. Sel-sel darah kemudian dilisis dengan 20 µl proteinase K (10 mg/ml) dan 40 µl 10% SDS. Campuran ini dikocok pelan-pelan selama 2 jam pada suhu 55 oC. Pemurnian DNA dilakukan dengan metode fenol-kloroform, yaitu dengan menambahkan 1/10 volume 5 M NaCl, 1 x volume larutan fenol, dan 1 x volume kloroform iso amil alkohol (24:1), kemudian dikocok pelan-pelan pada suhu ruang selama 2 jam. Fase DNA dipisahkan dari fase fenol dengan sentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm selama 5 menit. Molekul DNA diendapkan dengan menambahkan 1/10 x volume 5 M NaCl dan 2 x volume etanol absolut. Endapan DNA yang dihasilkan selanjutnya dicuci dengan etanol 70% kemudian diendapkan lagi dengan kecepatan 7000 rpm selama 5 menit. Sisa etanol dibuang dan diuapkan dengan menggunakan pompa vakum. DNA selanjutnya dilarutkan dengan 80 µl 80% bufer TE. Tahap 3. Amplifikasi Gen dengan Teknik PCR Teknik PCR dilakukan untuk memperbanyak (amplifikasi) fragmen gen menjadi 2n copy (n yaitu jumlah siklus PCR yang biasanya 30-35 siklus). Dengan perbanyakan ini maka fragmen gen target dapat divisualisasikan pada gel elektroforesis. Reaksi PCR dilakukan dengan volume total 25 µl dari campuran larutan yang terdiri dari 10 sampai 100 ng DNA genom, 1 U enzim taq polimerase dan 10X bufernya (New England Biolab); 2 mM dNTP mix; 2.5 mM MgCl2 dan dH2O steril. Sedangkan kondisi reaksi PCR dalam mesin thermocycler dirancang dengan suhu pradenaturasi 94 oC selama 4 menit, selanjutnya 30 siklus reaksi yang terdiri dari denaturasi 94 oC selama 10 detik, annealing (suhu spesifik primer) selama 1 menit, perpanjangan 72 oC selama 2 menit. Pemanjangan akhir pada suhu 72 oC selama 7 menit. Suhu annealing untuk primer lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII, dan Pit1/HinfI secara berurutan yaitu 62 oC, 60 oC dan 60 oC. Tahap 4. Genotiping Teknik RFLP Produk PCR selanjutnya dipotong dengan enzim restriksi yang spesifik dengan gen tersebut. Enzim restriksi yang digunakan untuk gen GH, GHRH dan Pit-1 secara berurutan yaitu MspI, HaeIII dan HinfI. Enzim restriksi MspI mengenali situs restriksi C*CGG, sedangkan enzim restriksi HaeIII dan HinfI masing-masing mengenali situs GG*CC dan G*ANTC. Kondisi pemotongan dilakukan menurut produsen enzim yaitu 2 µl produk PCR dicampur dengan 1 sampai 2 unit enzim restriksi dalam 1xBufer (New England Biolabs) dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama minimal 4 jam. Tahap 5. Visualisasi pita DNA Visualisasi pola pita hasil RFLP menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid 6% yang diikuti dengan metode pewarnaan perak (silver stainning). Gel dibuat dengan cara mencampurkan 12 ml air destilata, 4 ml larutan 5 x TBE, 4 ml larutan akrilamid 30%, 15 µl larutan TEMED, dan 160 µl APS 10%. Sebanyak 2 µl produk RFLP dicampur dengan + 6 µl loadying dye (bromthymol blue 0.01%, xilene cyanol 0.01 dan gliserol 50%). Elektroforesis dilakukan pada tegangan konstan 200 mVolt selama 40 menit. Setelah elektroforesis selesai, gel diambil untuk dilakukan pewarnaan perak. Tahapan pewarnaan perak yaitu gel dicuci secara bertahap sebagai berikut: dengan larutan CTAB 0.2 gram/200 ml air destilata selama 8 menit, air destilata selama 2 x 2 menit, 2 ml NH4OH/200 ml air destilata selama 6 menit, larutan perak nitrat (AgNO3) selama 10 menit dan air destilata selama 2 x 2 menit. Untuk memunculkan pita dalam gel, gel direndam dalam larutan yang terdiri atas Na2CO3 dan 38% formadehid. Setelah pita muncul, larutan asam asetat dituangkan untuk menghentikan aktifitas oksidasi perak oleh formadehid. Analisis Data Analisis data molekuler lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI pada populasi kerbau Banten meliputi frekuensi alel, keseimbangan HardyWeinberg, nilai heterosigositas meliputi heterosigositas pengamatan (Ho) dan heterosigositas harapan (He), dan nilai-nilai indeks fiksasi meliputi FIS, FIT dan FST. Frekuensi Alel Frekuensi alel untuk setiap lokus dihitung berdasarkan petunjuk Nei (1987) dengan formula sebagai berikut: ⎞ ⎛ ⎜ 2nii + ∑ nij ⎟ ⎟ ⎜ j ≠i ⎠ xi = ⎝ 2n Keterangan : xi = frekuensi alel, nii = jumlah genotipe dari alel ke-i, dan nij = jumlah alel ke-i terpaut alel ke-j (j≠i). Keseimbangan Hardy-Weinberg Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan chi-square (χ2) menurut Hartl (1988), sebagai berikut: (Obs − Exp) 2 X =∑ Exp i≠ j χ2 2 Keterangan: χ2 = nilai chi-square, Obs = jumlah pengamatan genotipe ke-i, dan Exp = jumlah harapan genotipe ke-i Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) Nilai heterosigositas teramati (Ho) dan heterosigositas harapan (He) dapat digunakan untuk menduga nilai koefisien inbreeding pada suatu kelompok ternak. Perhitungan nilai Ho dan He dilakukan menurut petunjuk Hartl (1988) dengan formula sebagai berikut: =∑ HHo o i≠ j N1ij , N Keterangan : Ho = heterosigositas pengamatan, N1ij = jumlah individu heterosigot pada lokus ke-1, dan N = jumlah individu yang diamati. Nilai Heterozigositas Harapan (He) HHe e = 1− n ∑P 2 1i i =1 Keterangan : He = heterosigositas harapan, P1i = frekuensi alel ke-i pada lokus ke-1, dan n = jumlah alel pada lokus-1. Indeks Fiksasi Nilai indeks fiksasi yang dikenal dengan uji F-statistik dapat digunakan untuk mengetahui sistem perkawinan dan pola seleksi pada populasi yang diamati. Indeks fiksasi terdiri atas tiga parameter yaitu FIS, FIT dan FST yang dihitung berdasarkan petunjuk Nei (1987) dengan formula sebagai berikut: FIS = X ii − xi2 2 x i − xi2 , X ii − xi2 , FIT = 2 xi − xi 2 FST = xi2 − x i 2 xi − xi Keterangan: X ii = rataan frekuensi genotipe homosigot, x i = rataan frekuensi alel yang sama, xi2 = rataan kuadrat frekuensi alel, dan 2 x i = kuadrat rataan frekuensi alel. Uji Hubungan Genotipe dengan Ukuran Tubuh Uji hubungan genotipe dengan ukuran tubuh kerbau dilakukan dengan analisis uji-t. Data ukuran-ukuran tubuh untuk uji genotipe dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu kelompok umur 2 sampai 3 tahun, 4 sampai 5 tahun, dan lebih dari 5 tahun. uji-t dilakukan dengan bantuan perangkat lunak MINITAB 14. Sebelum dilakukan uji hubungan genotipe dengan ukuran-ukuran tubuh, data ukuran tubuh dikoreksi terlebih dahulu. Adapun koreksi dilakukan melalui dua tahapan koreksi. Pertama dilakukan koreksi dengan patokan kerbau betina umur 4 sampai 5 tahun untuk setiap daerah. Kedua, data ukuran tubuh kerbau Lebak yang telah terkoreksi ke data kerbau betina umur 4 sampai 5 tahun, dikoreksi terhadap daerah Pandeglang. Koreksi data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak microsoft excel 2003. Formula koreksi data yang digunakan adalah sebagai berikut: Koreksi tahap pertama: Xi-terkoreksi = X Betina umur 4-5 tahun X Pengamatan x X pengamatan ke-i Koreksi tahap kedua: Xi-terkoreksi = X Pandeglang X Pengamatan x X pengamatan ke-i HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ukuran Tubuh Koefisien Keragaman Koefisien keragaman digunakan untuk melihat tingkat keragaman antar populasi, semakin tinggi nilai koefisien keragaman berarti populasi tersebut semakin beragam. Koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5 Koefisien keragaman (%) ukuran-ukuran tubuh kerbau jantan Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur Ukuran Tubuh PB TP LD DD TPg 1-2 11 8 11 15 8 Pandeglang Lebak --- Kelompok Umur (tahun) --2-3 3-4 4-5 >5 1-2 2-3 3-4 4-5 8 9 5 13 4 2 5 6 2 1 11 5 3 4 5 10 1 14 3 3 4 9 9 3 12 5 2 10 7 2 4 12 4 3 6 >5 - Keterangan: PB=panjang badan, TP=tinggi pundak, LD=lingkar dada, DD=dalam dada, TPg=tinggi pinggul Tabel 6 Koefisien keragaman (%) ukuran-ukuran tubuh kerbau betina Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur Ukuran Tubuh PB TP LD DD TPg Keterangan: 1-2 6 5 8 8 4 Pandeglang Lebak --- Kelompok Umur (tahun) --2-3 3-4 4-5 >5 1-2 2-3 3-4 4-5 7 4 1 5 16 9 11 7 4 8 5 3 8 7 6 8 8 4 3 5 9 9 8 7 8 9 9 7 11 10 7 5 1 8 1 4 8 7 8 4 >5 6 4 5 5 4 PB=panjang badan, TP=tinggi pundak, LD=lingkar dada, DD=dalam dada, TPg=tinggi pinggul Koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak adalah rendah yaitu dengan kisaran 1 sampai 16%. Rendahnya koefisien keragaman ini kemungkinan disebabkan oleh ukuran populasi yang diamati dan wilayah penyebaran ternak yang masih dalam kondisi agroekosistem yang sama. Secara umum, keragaman ukuran tubuh yang tinggi ditemukan pada kelompok umur 1 sampai 2 tahun baik pada kerbau jantan maupun betina. Hal ini disebakan oleh perbedaan pertumbuhan yang cepat terutama pertumbuhan kerangka tulang dan daging pada anak kerbau. Perbedaan manajemen pemeliharaan anak kerbau oleh masing-masing peternak akan berakibat pada perbedaan kecepatan pertumbuhannya. Begitu pula kemampuan induk untuk menghasilkan susu juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak kerbau prasapih. Ukuran-Ukuran Tubuh Terkait dengan Performa Produksi Ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak terkait dengan performa produksi meliputi panjang badan, tinggi pundak, lingkar dada, dalam dada, dan tinggi pinggul pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Lampiran 1 sampai 5. Analisis uji-t untuk membandingkan rataan ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak disajikan pada Lampiran 6 sampai 13. Panjang Badan Perbandingan rataan panjang badan antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 3. betina Panjang Badan (cm) Panjang Badan (cm) jantan 130 120 110 100 90 80 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 130 120 110 100 90 80 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 Kelompok Umur (tahun) Kelompok Umur (tahun) Pandeglang Lebak Gambar 3 Perbandingan rataan panjang badan antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin. Secara umum panjang badan kerbau Pandeglang dan Lebak tidak berbeda, kecuali pada kebau betina kelompok umur 4 sampai 5 tahun. Hasil analisis uji-t (Lampiran 12) menunjukkan bahwa pada kelompok umur 4 sampai 5 tahun, panjang badan kerbau Pandeglang betina (114 cm) lebih pendek (P<0.01) dibandingkan kerbau betina Lebak (125 cm). Tinggi Pundak Perbandingan rataan tinggi pundak antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 4. betina 130 Tinggi P undak (cm ) Tinggi Pundak (cm) jantan 120 110 100 90 80 1-2 2-3 3-4 4-5 130 120 110 100 90 80 1-2 >5 2-3 3-4 4-5 >5 Kelompok Umur (tahun) Kelompok Umur (tahun) Pandeglang Lebak Gambar 4 Perbandingan rataan tinggi pundak antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin. Berdasarkan Gambar 4, rataan tinggi pundak kerbau Pandeglang dan Lebak tidak berbeda, kecuali pada kebau betina kelompok umur 2 sampai 3 tahun. Pada kelompok umur 2 sampai 3 tahun, kerbau betina Pandeglang mempunyai rataan tinggi pundak (155 cm) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan rataan tinggi pundak kerbau betina Lebak (107 cm). Hal ini ditunjukkan dengan analisis uji-t pada Lampiran 9. Lingkar Dada Perbandingan rataan lingkar dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 5. betina 180 lingkar dada (cm ) Lingkar Dada (cm) jantan 170 160 150 140 130 120 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 180 170 160 150 140 130 120 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 Kelompok Umur (tahun) Kelompok Umur (tahun) Pandeglang Lebak Gambar 5 Perbandingan rataan lingkar dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin. Berdasarkan Gambar 5, ukuran lingkar dada pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin antara kerbau Pandeglang dan Lebak tidak jauh berbeda, kecuali pada kerbau betina kelompok umur 2 sampai 3 tahun. Pada kelompok umur tersebut, kerbau betina Pandeglang dan Lebak masing-masing mempunyai rataan lingkar dada sebesar 173 cm dan 152 cm. Hasil uji-t (Lampiran 9) menunjukkan bahwa rataan lingkar dada kerbau betina Pandeglang dan Lebak lelompok umur 2 sampai 3 tahun tidak berbeda. Dalam Dada Perbandingan rataan dalam dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 6. jantan betina 75 Dalam Dada (cm) Dalam Dada (cm) 75 70 65 60 55 50 45 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 70 65 60 55 50 45 1-2 Kelompok Umur (tahun) Pandeglang 2-3 3-4 4-5 >5 Kelompok Umur (tahun) Lebak Gambar 6 Perbandingan rataan dalam dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin. Berdasarkan gambar 6, rataan dalam dada pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin antara kerbau Pandeglang dan Lebak tidak berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan analisis uji-t pada Lampiran 6 sampai 13. Tinggi Pinggul Perbandingan rataan tinggi pinggul antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan hasil analisis uji-t (Lampiran 9), kerbau betina Pandeglang kelompok umur 2 sampai 3 tahun mempunyai rataan tinggi pinggul (116 cm) lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan rataan tinggi pinggul kerbau betina Lebak (107 cm). Pada kelompok umur 3 sampai 4 tahun (Lampiran 10), rataan tinggi pinggul kerbau jantan Pandeglang (118 cm) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan rataan tinggi pinggul kerbau betina Lebak (113 cm). Pada kelompok umur lebih dari 4 tahun, rataan ukuran tubuh kerbau jantan Pandeglang dan Lebak tidak dapat dibandingkan yang disebabkan karena tidak terdapatnya sampel ternak kerbau Pandeglang pada kelompok umur 4 sampai 5 tahun dan tidak terdapatnya sampel ternak kerbau Lebak pada kelompok umur lebih dari 5 tahun. Pada kelompok umur lebih dari 5 tahun, kerbau betina Pandeglang mempunyai tinggi pinggul (120 cm) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan kerbau betina Lebak (117 cm). betina 130 Tinggi Pinggul (cm) Tinggi Pinggul (cm) jantan 120 110 100 90 80 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 130 120 110 100 90 80 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 Kelompok Umur (cm) Kelompok Umur (tahun) Pandeglang Lebak Gambar 7 Perbandingan rataan tinggi pinggul antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin. Secara umum, ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak tidak berbeda kecuali pada beberapa kelompok umur dan jenis kelamin. Perbedaan ukuran-ukuran tubuh kerbau merupakan parameter sifat pertumbuhan kerbau yang merupakan sifat kuantitatif yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pengaruh Lingkungan terhadap Ukuran Tubuh Kerbau Ukuran tubuh merupakan parameter sifat pertumbuhan yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Lingkungan yang optimum diperlukan oleh kerbau untuk berbagai proses metabolisme tubuh. Pengaruh lingkungan terkait dengan pertumbuhan kerbau dibedakan menjadi pengaruh lingkungan alam dan pengaruh dari sistem produksi dan manajemen pemeliharaan. Pengaruh lingkungan alam yang meliputi iklim merupakan perpaduan unsur-unsur suhu, kelembapan dan curah hujan. Suhu sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut, semakin tinggi tempat maka suhu udara semakin rendah. Suhu lingkungan yang zona nyaman untuk pertumbuhan kerbau berkisar antara 15 sampai 21 oC dengan curah hujan 500 sampai 2 000 mm/tahun. Kerbau akan mengalami cekaman panas pada suhu diatas 24 o C (Fahimuddin 1975). Ketinggian tempat dapat mempengaruhi produktivitas kerbau baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung dapat berupa suhu. Kondisi suhu yang lebih rendah pada dataran tinggi dapat memberikan situasi lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan kerbau. Pengaruh secara tidak langsung dapat berupa ketersediaan hijauan pakan ternak, baik secara kuantitas maupun kualitasnya (Joseph 1996). Secara umum, iklim di wilayah Pandeglang dan Lebak tidak berbeda sehingga tidak akan berdampak pada perbedaan performa produksi kerbau termasuk ukuran-ukuran tubuh. Selain karena pengaruh lingkungan alam yang berupa iklim, produktivitas kerbau juga dipengaruhi oleh tatacara pengelolaan ternak meliputi tujuan dan manajemen pemeliharaan, pemberian pakan, pola perkawinan dan seleksi serta penanganan kesehatan ternak. Tujuan dan Manajemen Pemeliharaan Pada umumnya tujuan pemeliharaan kerbau baik di Pandeglang maupun di Lebak bukan merupakan usaha utama. Tujuan pemeliharaan kerbau di Kabupaten Pandeglang yang utama adalah sebagai sumber tenaga kerja untuk mengolah tanah pertanian. Tujuan pemeliharaan kerbau di Kabupaten Lebak yang paling dominan adalah sebagai sumber pendapatan atau tabungan. Kerbau dapat dijual sewaktu-waktu ketika ada kebutuhan yang keluarga yang mendesak. Pemanfaatan kerbau yang kedua yaitu sebagai sumber tenaga untuk mengolah lahan pertanian. Kondisi ini mungkin disebabkan karena lahan sawah di Lebak merupakan lahan sawah tadah hujan, yang hanya bisa ditanami padi satu tahun sekali, sehingga kebutuhan tenaga kerja kerbau untuk mengolah lahan tidak begitu banyak. Pemeliharaan kerbau di Kabupaten Pandeglang dan Lebak dilakukan secara semi intensif dan terintegrasi dengan sistem usaha tani yang sudah berlangsung secara turun temurun. Secara umum, kerbau digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari. Peternak di Pandeglang mengembalakan kerbaunya mulai pagi hari sampai sore dan dikandangkan pada malam hari. Jerami padi dan sisa hasil perkebunan sering diberikan untuk pakan pelengkap. Beberapa peternak mengintegrasikan hasil sawah dan perkebunan untuk ternaknya dan pemanfaatan kotoran kerbau untuk pertanian. Peternak di Lebak mengembalakan kerbaunya mulai jam tujuh pagi untuk merumput, kemudian dikandangkan pada jam sepuluh sampai jam dua siang dan dilepas kembali sampai jam lima sore. Pada malam hari kerbau berada di kandang. Ketersediaan rumput lapang pada lahan penggembalaan di Pandeglang lebih beragam dibandingkan di Lebak. Hal ini disebabkan jangkauan wilayah untuk penggembalaan di Pandeglang masih luas, sedangkan di Lebak wilayah jangkauan penggembalaan mulai menyempit dan sebagian besar hanya berupa sawah tadah hujan yang letaknya tidak jauh dari lokasi perkotaan. Penggembalaan kerbau dilakukan secara bersama. Pola penggembalaan bersama merupakan pola umum yang berlaku sehingga selain kerbau mendapatkan kebutuhan pakan hijauan, peternak mengharapkan adanya perkawinan dari pejantan milik peternak lain. Dilihat dari sistem perkandangan, konstruksi bangunan kandang pada daerah Pandeglang dan Lebak tidak jauh berbeda, dinding kandang terbuat dari kayu dan bambu, atap kandang dibuat dari rumbia, serta lantai kandang beralaskan tanah. Kandang kerbau di Lebak terletak secara berkelompok, yang lokasinya terpisah dari tempat pemukiman penduduk, sedangkan di Pandeglang kandang tidak terletak secara berkelompok. Ukuran kandang baik di Pandeglang maupun di Lebak rata-rata hampir sama, dengan panjang sekitar 4 sampai 5 m, lebar sekitar 3 meter dan tinggi seitar 2.5 m. Kandang yang ada digunakan untuk menampung kerbau pada berbagai tingkatan umur dan belum ada pemisahan kusus untuk kerbau yang sesuai umur. Setiap kandang mampu manampung sekitar 4 sampai 5 ekor. Pemberian Pakan Pemberian pakan didalam kandang atau sistem cut and carry, belum banyak dilakukan oleh peternak. Pakan disediakan hanya pada waktu tertentu seperti pada musim kemarau atau setelah kerbau digunakan untuk membajak. Pakan ternak kerbau baik di Pandeglang maupun di Lebak sebagian besar berasal dari rumput yang didapat saat kerbau digembalakan. Pada malam hari saat kerbau dikandangkan, sebagian peternak di Lebak memberi rumput yang telah diperolehnya pada siang hari, seperti rumput gajah dan ilalang dengan jumlah pemberian yang tidak ditentukan. Sebagian peternak di Pandeglang memberikan pakan tambahan berupa sagu dalam bentuk bongkahan dengan jumlah yang tidak ditentukan. Pola Perkawinan dan Seleksi Pola perkawinan kerbau di Banten secara umum adalah perkawinan alam yang terjadi secara acak pada saat ternak digembalakan. Perkawinan kerbau pada saat digembalakan lebih sering terjadi dalam kelompok (pemilik) yang sama. Hal ini terjadi karena ternak kerbau cenderung berkelompok menurut pemilik masingmasing. Pada setiap kelompok penggembalaan, umumnya hanya terdapat beberapa pejantan dengan perbandingan jantan betina yaitu 1: 8 sampai 12. Teknologi inseminasi buatan (IB) baik di Pandeglang maupun di Lebak, belum diaplikasikan. Penanganan Kesehatan Ternak Penanganan kesehatan ternak telah dilakukan oleh petugas kesehatan hewan dari dinas peternakan pada masing-masing daaerah di Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Penanganan kesehatan yang dilakukan terkait dengan sering munculnya penyakit kulit dan gatal-gatal yang banyak ditemukan pada kerbau Bule (albino). Selain itu juga diberikan obat-obatan lain, seperti obat cacing dan vitamin. Identifikasi Polimorfisme Lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI Amplifikasi Lokus GH/MspI Amplifikasi gen GH dilakukan dengan teknik polymerase chain reaction (PCR) dengan menggunakan sepasang primer menurut Mitra et al. (1995). Pada penelitian ini, pasangan primer yang digunakan berhasil mengamplifikasi gen GH pada kerbau dengan panjang sekitar 327 pb. Perkiraan sekuen gen GH kerbau hasil amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 8. Lokasi amplifikasi gen GH meliputi daerah intron 3 (GenBank : M57764). Gen GH kerbau (Bubalus bubalis) terletak pada kromosom 3p dengan panjang sekitar 1800 pb yang terdiri dari 5 ekson dan 4 intron (Iannuzzi et al. 1999). Pada sapi (Bos taurus) gen GH terletak pada kromosom 19q dan terdiri atas 5 ekson (Hediger et al. 1990). Primer F cccacgggcaagaatgaggcccagcagaaatcagtgagtggcaacctcggaccgaggagcaggg gacctccttcatcctaagtaggctgccccagctcccgcac*cggcctggggcggccttctccccgagg tggcggaggttgttggatggcagtggaggatgatggtgggcggtggtggcaggaggtcctcgggcg aggccgaccttgcagggctgccccagacccgcggcacccaccgaccacccacctgccagcaggac ttggagctgcttcgcatctcactgctcctcatccagtcgtggcttgggcccctgcagttcctca Primer R Gambar 8 Perkiraan sekuen gen GH target (sumber: sekuen gen GH sapi nomor akses GenBank : M57764). Genotiping Lokus GH/MspI Teknik restriction fragment length polymorphisms (RFLP) digunakan untuk mendeteksi genotipe gen GH dengan enzim restriksi MspI yang mengenali situs restriksi C*CGG. Pola pita elektroforesis lokus GH/MspI dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Pola pita pemotongan gen GH Sepanjang 327 pb pada gel poliakrilamid 6%. U = produk PCR. Gambar 9 menunjukkan pola pita pemotongan enzim MspI terhadap produk PCR gen GH sepanjang 327 pb menghasilkan dua alel yaitu GH(+) dan GH(-). Mutasi yang terjadi terletak pada basa ke-104 yaitu mutasi titk C-T pada intron 3 (Gambar 8). Gen GH dengan genotipe GH(+/+) ditunjukkan dengan potongan sempurna dengan dua fragmen yaitu 104 dan 223 pb. Genotipe GH(+/-) dengan tiga fragmen yaitu 104, 223 dan 327 pb. Genotipe GH(-/-) ditunjukkan dengan tidak terpotongnya produk PCR sepanjang 327 pb. Amplifikasi Lokus GHRH/HaeIII Pasangan primer gen GHRH pada penelitian ini berhasil mengamplifikasi gen GHRH kerbau dengan panjang sekitar 451 pb. Perkiraan sekuen gen GHRH kerbau hasil amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 10. Primer F Tgaaggatgctgctctgggtgttcttcctcgtgaccctcaccctcagcagcggctcccacggttccc tgccttcccagcctctcaggtaagcagttctgagaagagaagcaagagaggccctttgaggatgcga ctcgagctggtccccagctgggtcctcaggcagcctcccttgctcatctctgggagggtggcagact gagccccagagaggtcaccacccagccctggttccagccctctctggggacgagcagggcaaga ggcgacagaaagacctcacagagaccaagtgagcacagtcccctggg*cctcccaccccaccctt tgacctctgactccttctactaggattccacggtacgcagatgccatcttcactaacagctaccggaag gttctgggccagctgtctgcccgcaagctactccaggatatcatgaacaggca Primer R Gambar 10 Perkiraan sekuen gen GHRH target (sumber: sekuen gen GHRH sapi nomor akses GenBank: AF242855). Fragmen gen GHRH yang diamplifikasi pada penelitian ini terletak di sebagian ekson 2, intron 2 dan sebagian ekson 3. Panjang fragmen gen GHRH hasil amplifikasi pada sapi adalah 455 pb (Moody et al. 1995) dan pada babi 455 pb (Franco et al. 2005). Pada sapi (Bos taurus), gen GHRH terletak pada kromosom 13 dan keberadaanya berdekatan dengan mikrosatelit CSSM30 dan terdiri dari 5 ekson yang dipisahkan oleh 4 intron dengan panjang 9356 pb (Barendse et al. 1994). Genotiping Lokus GHRH/HaeIII Produk PCR gen GHRH dipotong dengan enzim restriksi HaeIII. Pola pita elektroforesis lokus GHRH/HaeIII dapat dilihat pada Gambar 14. Produk PCR gen GHRH sepanjang 451 pb yang dipotong dengan enzim restriksi HaeIII menghasilkan empat fragmen yang panjangnya adalah 118, 194, 94 dan 45 pb Keempat pita tersebut menunjukkan alel B (GenBank: AF242855). Berdasarkan Gambar 11, genotipe AB ditunjukkan dengan adanya lima fragmen 312, 194, 118, 94 dan 45 pb. Genotipe BB ditunjukkan dengan adanya empat fragmen yaitu 194, 118, 94 dan 45 pb. Genotipe AA gen GHRH tidak ditemukan baik pada populasi kerbau Pandeglang maupun Lebak. Mutasi titik terjadi pada basa ke-312 yang dikenali dengan enzim restriksi HaeIII pada situs restriksi GG*CC (Gambar 10). Mutasi terjadi pada intron 2 sehingga mutasi terjadi pada sekuen yang tidak ditranskripsikan (GenBank: AF242855). gel RFLP diagram RFLP Gambar 11 Produk PCR gen GHRH dengan panjang sekitar 451 pb, dan pola pita pemotongan dengan enzim restriksi HaeIII pada gel poliakrilamid 6%. Amplifikasi Lokus Pit-1/HinfI Pasangan primer gen Pit-1 yang digunakan pada penelitian ini berhasil mengamplifikasi gen Pit-1 kerbau dengan panjang sekitar 600 pb. Perkiraan sekuen gen Pit-1 kerbau hasil amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 12. Fragmen gen Pit-1 yang diamplifikasi pada penelitian ini terletak di sebagian ekson 6, dengan panjang sekitar 600 pb (Wollard et al. 1994). Pada sapi (Bos taurus) dan domba (Ovis aries) gen Pit-1 terletak pada kromosom 1. Genotiping Lokus Pit-1/HinfI Produk PCR Gen Pit-1 sepanjang 600 pb dipotong dengan enzim restriksi HinfI menghasilkan pemotongan dengan pola yang sama pada semua sampel yang dianalisis (Gambar 13). Lokus Pit-1/HinfI bersifat monomorfik pada populasi kerbau Banten. Pemotongan dengan enzim restriksi HinfI menghasilkan dua fragmen yaitu 357 dan 243 pb (genotipe BB). Pada gen Pit-1 sapi, terdapat dua alel yaitu alel A dan B sebagai akibat dari mutasi titik A-G pada ekson 6 tepatnya pada basa ke-357 yang dikenali dengan enzim restriksi HinfI pada situs restriksi G*ANTC (Gambar 12). Mutasi ini tidak mengakibatkan terjadinya perubahan asam amino (silent mutation) (Dierkes et al.1998). Primer F Gagcctacatgagacaagcatctaaatgttcaaaaaaaacttcacatttattattgttgaagagcttg gaaggtgttttcagagtctttaggtttcctttttacgttaatgctaatactaatgtttaggaaatttaacctaa cttgattttgatcatctcccttcttctttcctgccaactccccatctcccagtattgctgctaaagacgccct gagagacactttggagaacagaataagccttcctctcaggagatcctgaggatggctgaagaactaa actggagaaagaagtggtgagggtttggttttgtaaccgaagacagagagaaaaacgggtgaaaac aagcctg*aatcagagtttatttcctatttctaaggagcatcttgaatgcagataggtctcccgttgtgta acgcgagcttttctgctttccattcctttcccttctccagccaaagtagaaatcagttatttggttagcttcc aaacgtcacatcagtaatgtttgcagaagtgtttctcttctactttaaaaacaaatacaatttaaattatgtt gatgaattattctcagaaggcatattgt acattt Primer R Gambar 12 Perkiraan sekuen gen Pit-1 target (sumber: sekuen gen Pit-1 domba nomor akses GenBank : AJ549207). produk PCR pola RFLP Gambar 13 Produk PCR gen Pit-1 sepanjang 600 pb dan pola pita RFLP dengan enzim restriksi HinfI pada gel poliakrilamid 6%. Polimorfisme lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI Polimorfisme atau keragaman ditunjukkan dengan adanya dua alel atau lebih dalam suatu populasi. Gen dikatakan bersifat polimorfik (beragam) yaitu apabila salah satu alelnya mempunyai frekuensi kurang dari 99% (Nei & Kumar 2000) atau 95% (Hartl 1988). Sebaliknya, gen dikatakan monomorfik apabila tidak memenuhi kriteria polimorfik diatas. Keragaman genetik digunakan untuk menginvestigasi hubungan genetik suatu spesies antar subpopulasi. Prinsipnya adalah kemungkinan adanya alel bersama yang dimiliki antar subpopulasi yang disebabkan oleh migrasi. Alel bersama ini juga mengindikasikan adanya asal-usul atau tetua yang sama (Hartl 1988). Keragaman genetik dapat dihitung secara kuantitatif dengan menggunakan nilai frekuensi alel. Frekuensi alel adalah proporsi jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel dalam suatu populasi pada lokus yang sama (Nei & Kumar 2000). Berdasarkan nilai frekuensi alel, maka selanjutnya dapat dibandingkan perbedaan antar gen, baik didalam maupun antar populasi. Perhitungan frekuensi alel dapat dilakukan dengan mudah menurut petunjuk Nei (1987). Frekuensi Alel dan Frekuensi Genotipe Frekuensi alel, frekuensi genotipe dan keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2) untuk lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI pada subpopulasi kerbau Pandeglang dan Lebak disajikan pada Tabel 7. Lokus GH/MspI Studi tentang keragaman ketiga gen GH belum banyak dilakukan pada ternak kerbau. Lokus GH/MspI bersifat polimorfik pada subpopulasi kerbau Pandeglang dengan frekuensi alel GH(+) yang tinggi yaitu 0.96, dan frekuensi alel GH(-) sebesar 0.04. Frekuensi genotipe GH(+/+), GH(+/-) dan GH(-/-) secara berurutan yaitu 0.92, 0.08 dan 0.00. Pada subpopulasi Lebak, lokus GH/MspI bersifat monomorfik dengan hanya ditemukanya alel GH(+). Tingginya frekuensi alel GH(+) ini juga ditemukan pada beberapa populasi ternak sapi (Falaki et al.1996; Lagziel et al. 2000). Oleh beberapa peneliti, keragaman pada lokus GH/MspI ini digunakan untuk mengetahui pola distribusi alel antara bangsa sapi tidak berpunuk (Bos taurus) dan bangsa sapi berpunuk (Bos Indicus). Pada bangsa sapi Bos indicus, dijumpai frekuensi alel GH(-) yang lebih tinggi dibandingkan frekuensi alel GH(+) (Lagziel et al. 2000). Tabel 7 Frekuensi alel, frekuensi genotipe dan keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2 dan p) pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak Subpopulasi Lokus GH/MspI GHRH/HaeIII Pit-1/HinfI GH (+): 0.96 A : 0.41 A : 0.00 GH (-) : 0.04 B : 0.59 B : 0.00 GH (+/+) : 0.92 AA : 0.00 AA : 0.00 GH (+/-): 0.08 AB : 0.86 AB : 0.00 GH (-/-): 0.00 BB : 0.14 BB : 0.00 0.04 (0.834) 24.68 (0.000)** -- GH (+): 1.00 A : 0.43 A : 0.00 GH (-) : 0.00 B : 0.57 B : 0.00 GH (+/+): 1.00 AA : 0.00 AA : 0.00 GH (+/-): 0.00 AB : 0.81 AB : 0.00 GH (-/-): 0.00 BB : 0.19 BB : 0.00 0.04 (0.834) 14.33 -- Pandeglang Frekuensi alel Frekuensi genotipe χ2 (p) Lebak Frekuensi alel Frekuensi genotipe χ2 (p) (0.000)** Keterangan : ** Menunjukkan nilai χ2 yang menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg dengan P<0.01. Frekuensi alel GH(-) hanya ditemukan pada subpopulasi Pandeglang dengan frekuensi rendah sebesar 0.04. Dua alasan dapat dikaitkan dengan rendahnya frekuensi suatu alel yaitu produk mutasi terkini dan atau efek dari random genetic drift karena berbagai sebab. Bila ditinjau dari sisi pemulian ternak, rendahnya suatu alel disebabkan oleh adanya seleksi yang intensif terhadap genotipe tertentu yang merupakan kombinasi homosigot alel lainnya (alternative allele). Pada kondisi populasi kerbau di Banten, upaya seleksi tidak dilakukan secara terprogram dan tidak didasarkan pada genotipe tertentu. Rendahnya frekuensi alel GH(-) pada populasi kerbau Banten kemungkinan disebabkan oleh adanya mutasi terkini. Dugaan ini diperkuat dengan fakta bahwa daerah mutasi pada gen GH ini terletak pada daerah intron dimana frekuensi terjadinya mutasi lebih tinggi dibandingkan daerah ekson (Nei 1987). Selain itu, rendahnya frekuensi alel GH(-) juga disebabkan oleh rendahnya frekuensi genotipe heterosigot GH(+/-) (0.08) dan tidak terdapatnya genotipe homosigot GH(+/-) (0.00). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya aliran alel GH(-) dari daerah lain, mengingat bahwa populasi kerbau Banten merupakan populasi yang terbuka dengan adanya perdagangan dan pemasaran kerbau dari daerah dan pulau lain. Lokus GHRH/HaeIII Lokus GHRH/HaeIII pada populasi kerbau di Banten bersifat polimorfik, baik pada subpopulasi Pandeglang maupun Lebak. Secara umum, frekuensi alel B lebih tinggi dibanding alel A dan tidak ditemukan genotipe AA pada kedua subpopulasi. Frekuensi alel dan frekuensi genotipe lokus GHRH/HaeIII tidak berbeda jauh pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak Pada subpopulasi Pandeglang, frekuensi alel A dan B masing-masing sebesar 0.41 dan 0.59. Frekuensi genotipe AA, AB dan BB secara berurutan yaitu 0.00, 0.86 dan 0.14. Pada subpopulasi Lebak, frekuensi alel A dan B masing-masing sebesar 0.43 dan 0.57, dengan frekuensi genotipe AA, AB dan BB secara berurutan yaitu 0.00, 0.81 dan 0.19. Penelitian tentang keragaman gen GHRH belum banyak dilakukan pada populasi kerbau rawa. Pada populasi kerbau perah Murrah yang termasuk dalam kelompok kerbau sungai (riverine buffalo), lokus GHRH/HaeIII bersifat monomorfik dengan tidak ditemukanya alel A (Rajamurugan et al. 2007). Beberapa penelitian mengenai keragaman gen GHRH telah dilakukan pada ternak sapi. Kmiec et al. (2007) melaporkan keragaman lokus GHRH/HaeIII pada sapi perah Polish Red and White dengan frekuensi alel A dan B masing-masing 0.28 dan 0.72, serta frekuensi genotipe AA, AB dan BB masing-masing 0.09, 0.38 dan 0.53. Likus Pit-1/HinfI Pada penelitian ini gen Pit-1 pada populasi kerbau di Banten, yang merupakan jenis kerbau rawa, bersifat monomorfik. Berbeda dengan yang dilaporkan oleh Javanmard et al. (2005), bahwa pada populasi kerbau di Iran yang merupakan kerbau sungai (tipe perah), frekuensi alel A dan B dilaporkan sebesar 0.15 dan 0.85 serta frekuensi genotipe AA, AB dan BB masing-masing secara berurutan 0.10; 0.10 dan 0.80. Pada bangsa sapi Bos taurus, laporan mengenai keragaman gen Pit-1 yang dideteksi dengan teknik RFLP, pertama kali dikemukakan oleh Wollard et al. (1994). Frekuensi alel A gen Pit-1 pada sapi bervariasi mulai dari 0.25 (Di Stasio et al. 2002), 0.45 (Moody et al. 1995), dan 0.53 (Renaville et al. 1997). Keseimbangan Hardy-Weinberg Suatu populasi dikatakan dalam kesembangan Hardy-Weinberg yaitu jika frekuensi genotipe dan frekuensi alel selalu konstan dari generasi ke generasi berikutnya. Hal ini terjasi sebagai penggabungan gamet secara acak dalam populasi yang besar (Vasconcellous et al. 2003). Keseimbangan gen dalam populasi terjadi jika tidak ada seleksi, mutasi, migrasi dan genetic drift (Falconer & Mackay (1996). Pada penelitian ini (Tabel 3), menunjukkan bahwa frekuensi genotipe lokus GH/MspI pada subpopulasi Pandeglang tidak menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg (P>0.05). Frekuensi genotipe lokus GHRH/HaeIII pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg. Heterosigositas dan Indeks Fiksasi Heterosigositas dan Indesk Fiksasi pada Subpopulasi Pandeglang dan Lebak Keragaman genetik suatu populasi juga dapat diukur dengan nilai heterosigositas (Nei 1987). Nilai heterosigositas teramati (Ho) dan heterosigositas harapan (He) dapat digunakan untuk menduga nilai koefisien inbreeding pada suatu kelompok ternak (Hartl 1988). Nilai indeks fiksasi (FIS) dapat digunakan untuk mengetahui pola perkawinan dan pola seleksi yang terjadi di dalam populasi. Nilai indeks fiksasi bisa positif atau negatif, hal tersebut dipengaruhi oleh adanya inbreeding, seleksi dan kawin yang tidak acak (Nei 1987). Nilai Heterosigositas Pengamatan (Ho) dan Heterosigositas Harapan (He) pada subpopulasi kerbau di Pandeglang dan Lebak ditunjukkan pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui bahwa keragaman genetik pada lokus GH/MspI di Pandeglang adalah rendah yang ditunjukkan dengan nilai heterosigositas pengamatan (Ho) sebesar 0.0811. Lokus GHRH/HaeIII mempunyai keragaman genetik yang tinggi baik pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak dengan nilai heterosigositas pengamatan masing-masing 0.8636 dan 0.8125. Lokus Pit-1/HinfI bersifat monomorfik baik pada subpopulasi Pandeglang maupun Lebak. Perbedaan nilai Ho dan He pada lokus GHRH/HaeIII, baik pada populasi Pandeglang maupun Lebak. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan Hardy-Winberg pada populasi yang diamati (Tombasco et al. 2003). Hal senada juga terlihat pada Tabel 7, yang menunjukkan bahwa frekuensi genotipe pada lokus GHRH/HaeIII telah menyimpang dari kesseimbangan Hardy-Winberg (P<0.05). Tabel 8 Nilai heterosigositas pengamatan (Ho) dan heterosigositas harapan (He) Pandeglang Lokus Lebak N Ho He N Ho He GH/MspI 37 0.0811 0.0789 26 0.0000 0.0000 GHRH/HaeIII 44 0.8636 0.4963 32 0.8125 0.4901 Pit1/HinfI 44 0.0000 0.0000 33 0.0000 0.0000 0.3193 0.1898 0.2708 0.1634 Rata-Rata Heterosigositas dan Indeks Fiksasi pada Populasi Banten Nilai heterosigositas pengamatan (Ho) dan heterosigositas harapan (He) digunakan untuk menduga keragaman genetik. Heterosigositas harapan (He) merupakan penduga keragaman genetik yang tepat pada populasi hewan ternak karena perhitungannya langsung berdasarkan pada frekuensi alel (Moioli et al. 2004). Nilai indeks fiksasi FIS dan FIT digunakan untuk mengetahui pola perkawinan dan pola seleksi yang terjadi di dalam populasi, sedangkan nilai FST digunakan untuk mengetahui deferensiasi genetik antar subpopulasi. Nilai heterosigositas pengamatan (Ho), heterosigositas harapan (He) dan indeks fiksasi (FIS, FIT dan FST) pada populasi Banten ditunjukkan pada Tabel 9. Secara keseluruhan nilai heterosigositas pengamatan (Ho) pada populasi kerbau di Banten sebesar 0.2966 dan nilai heterosigositas harapan (He) sebesar 0.1792. Pebedaan yang signifikan antara nilai Ho (0.8421) dan He (0.4908) dijumpai pada lokus GHRH/HaeIII yang mengindikasikan terjadinya penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg pada lokus tersebut. Pada lokus GH/MspI tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai Ho dan He, sehingga tidak ada penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg. Pada populasi kerbau di Banten, nilai Ho lebih tinggi dibandingkan nilai He mengindikasikan bahwa belum ada kegiatan seleksi yang dilakukan secara intensif dengan menggunakan pejantan tertentu (Machado et al. 2003). Nilai FIS pada penelitian ini pada populasi Banten untuk semua lokus bernilai negatif. Nilai FIS yang bernilai negatif mengindikasikan bahwa pada populasi tersebut, sistem perkawinanya secara acak. Pada kedua lokasi di Pandeglang dan Lebak, ternak dibiarkan melakukan perkawinan sendiri pada saat ternak digembalakan. Hal ini berkaitan dengan belum adanya proses seleksi yang dilakukan oleh peternak baik di Banten dengan cara penggunaan pejantan tertentu untuk digunakan sebagai bibit. Tabel 9 Heterosigositas dan indeks fiksasi pada populasi Banten Lokus N Ho He FIS FIT FST GH/MspI 63 0.0476 0.0469 -0.0423 -0.0207 0.0207 GHRH/HaeIII 76 0.8421 0.4908 -0.7224 -0.7213 0.0007 Pit-1/HinfI 77 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Nilai FIT untuk lokus GH/MspI pada populasi kerbau di Banten mendekati nilai 0 (-0.0207). Hal ini berarti bahwa distribusi genotipe gen tersebut memenuhi prinsip keseimbangan Hardy-Weinberg. Hasil yang sama juga dapat dilihat dari nilai chi square (Tabel 7) sebesar 0.04 (P>0.05) yang menunjukkan adanya keseimbangan Hardy-Weinberg. Penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg terjadi pada lokus GHRH/HaeIII ditunjukkan dengan nilai FIT mendekati -1 (0.7224). Hal ini terjadi karena kekurangan genotipe homosigot pada lokus tersebut, tetapi bukan karena adanya seleksi yang mengarah ke peningkatan frekuensi genotipe heterosigot. Pola perkawinan berlangsung secara acak seperti ditunjukkan dengan nilai FIS yang bernilai negatif. Nilai FST menunjukkan ada atau tidaknya diferensiasi genetik antar subpopulasi. Populasi kerbau Banten yang dipisah menjadi dua subpopulasi yaitu Pandeglang dan Lebak mempuyai nilai FST rataan sebesar 0.0024. Nilai FST lebih kecil dari 0.05 mengindikasikan deferensiasi genetik yang kecil (Wright 1978), yang berarti bahwa pemisahan populasi Banten menjadi dua subpopulasi Pandeglang dan Lebak hanya akan menurunkan keragaman genetik yang tidak signifikan yaitu sebesar 0.24%. Hal ini berarti bahwa sebenarnya antara subpopulasi Pandeglang dan Lebak belum terdeferensiasi secara genetik berdasarkan lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI. Hubungan Genotipe dengan Ukuran Tubuh Pada penelitian ini analisis hubungan genotipe dengan ukuran tubuh hanya dapat dilakukan pada lokus GHRH/HaeIII. Lokus Pit-1/HinfI bersifat monomorfik dan lokus GH/MspI mempunyai sebaran genotipe yang tidak memungkinkan untuk dilakukan analisis hubungan genotipe dengan ukuran tubuh. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa genotipe lokus GHRH/HaeIII tidak berpengaruh (P>0.05) terhadap ukuran-ukuran tubuh kerbau di Banten (Tabel 10). Ukuranukuran tubuh merupakan parameter sifat pertumbuhan yang merupakan akumulasi pengaruh dari banyak gen (polygenes) dan masing-masing gen akan memberikan kontribusi yang kecil (Falconer & Mackay 1996). Lokus GHRH/HaeIII pada penelitian ini merupakan sebagian kecil dari gen, sedangkan fungsi gen GHRH terhadap sifat petumbuhan merupakan kerja gen secara keseluruhan. Tabel 10 Rataan ukuran tubuh dan standar eror (x + s.e) pada setiap genotipe lokus GHRH/HaeIII yang berbeda pada kerbau Banten Ukuran tubuh Genotipe AB BB (n=64) (n=12) Panjang badan (cm) 116.65 + 0.88 117.38 + 1.70 Tinggi pundak (cm) 114.38 + 0.54 116.69 + 1.10 Lingkar dada (cm) 169.20 + 1.30 169.50 + 3.50 Dalam dada (cm) 62.24 + 0.58 63.85 + 1.70 118.14 + 0.55 120.43 + 1.20 Tinggi pinggul (cm) Gen GHRH mengkodekan hormon GHRH yang berfungsi untuk menstimuli sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan (Baker et al. 2000). Hormon pertumbuhan berperan penting dalam fungsi pertumbuhan, reproduksi dan laktasi (Etherton & Bauman 1998). Beberapa laporan telah menunjukkan adanya hubungan antara alel-alel pada gen GHRH dengan beberapa sifat produksi ternak. Kmiec et al. (2007) menyatakan bahwa alel A pada lokus GHRH/HaeIII superior terhadap sifat produksi dan kualitas susu. Hal ini dipertegas oleh Moody et al. (1995), serta Dybus dan Grzesiak (2006) yang menyatakan bahwa alel A mempunyai hubungan dengan presentase lemak pada sapi perah Frisian Holstein. Beberapa penelitian telah melaporkan tentang hubungan antara gen GH dan Pit-1 dengan sifat produksi pada ternak. Jakaria (2008) melakukan analisis hubungan antara genotipe lokus GH/MspI pada sapi Pesisir di Sumatera Barat yang hasilnya menemukan bahwa genotipe lokus tersebut tidak memiliki hubungan yang nyata dengan sifat produksi meliputi bobot badan, panjang badan, tinggi pundak dan ligkar dada. Unanian et al. (2000) menyatakan bahwa genotipe GH(+/+) memberikan pengaruh terhadap bobot lahir dan bobot sapih pada ternak sapi. Bauchemin et al. (2006) menyatakan bahwa polimorfisme pada lokus GH/MspI ini tidak ada hubunganya dengan sifat pertumbuhan dan produksi karkas pada sapi. Gen GH berperan penting dalam fungsi pertumbuhan, reproduksi dan laktasi (Etherton & Bauman 1998). Mutasi yang terjadi pada gen GH kemungkinan akan berakibat pada perubahan fungsi fisiologis gen GH terhadap fungsi pertumbuhan dan laktasi. Mutasi pada lokus GH/MspI terjadi pada daerah intron sehingga tidak akan mengakibatkan perubahan asam amino penyusun hormon pertumbuhan. Pada hewan ternak, gen Pit-1 berfungsi dalam pengaturan transkripsi gen GH dan prolaktin (Bodner et al. 1988). Gen Pit-1 juga berfungsi sebagai aktivator gen-gen pituitary, termasuk gen Pit-1 itu sendiri (Chen et al. 1990) dan gen GHRH (Lin et al. 1992). Demikian pentingnya gen Pit-1 ini, maka mutasi yang terjadi dapat berakibat pada perubahan ekspresi protein homon yang terbentuk. Pengaruh selanjutnya yaitu kemungkinan adanya perubahan pada ekspresi fenotipe sifat produksi hewan ternak, khususnya terkait dengan sifat pertumbuhan. Renaville et al. (1997) melaporkan keragaman gen Pit-1 pada sapi FH Italia. Dilaporkan bahwa alel A, khususnya pada genotipe AB, superior terhadap alel B pada sifat produksi dan kandungan protein susu, dalam dan bentuk tubuh serta panjang kaki belakang. Terkait dengan tidak ditemukanya alel A pada populasi kerbau rawa di Banten ini, diduga bahwa alel A spesifik untuk kerbau sungai yang merupakan kerbau tipe perah. Upaya Pemuliaan Kerbau Banten Sejak dulu kerbau mempunyai peran penting bagi sebagian masyarakat petani dipedesaan di Indonesia, begitu pula dengan yang terjadi di Banten. Sistem pemeliharaan ternak kerbau tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat serta telah menyatu dengan agroekosistem setempat. Oleh karena itu, upaya pemuliaan kerbau harus melibatkan peran aktif peternak yang berada dipedesaan melalui pola pemuliaan yang berkelanjutan. Desain pola pemuliaan kerbau yang berkelanjutan dapat mengikuti skema open nucleus breeding yang telah dilakukan di Thailand sejak tahun 1981 melalui The National Buffalo Breeding and Research Programme. Tujuannya adalah diperoleh kerbau unggul yang kemudian dapat disebar ke peternak (Na-Chiangmai 2000). Skema yang sama sebenarnya dapat diterapkan di Provinsi Banten. Khusus untuk Kabupaten Pandeglang, wilayah ini telah ditetapkan sebagai salah satu sumber bibit dan wilayah pengembangan ternak kerbau. Upaya pemuliaan di daerah bibit dapat dilakukan melalui program pemuliaan pola inti terbuka (open nucleus breeding system). Pada pola ini terdapat tiga strata yaitu inti, pembiak dan kelompok ternak di pedesaan. Inti Pada pemuliaan kerbau pola inti terbuka di Banten, yang berperan sebagai inti adalah instansi pemerintah yang dibentuk atas prakarsa Pemerintah Provinsi Banten dengan dukungan penuh pemerintah pusat baik pendanaan, teknis maupun program pengembangan selanjutnya. Pihak inti ini dapat berupa UPT Daerah Dinas Peternakan Banten dan terletak di Kabupaten Pandeglang sebagai daerah sumber bibit. Bibit dasar di tingkat inti diperoleh dengan penjaringan ternak yang mempunyai kualitas terbaik dalam hal daya reproduksi, pertumbuhan, tidak mempunyai cacat fisik atau turunan, dan bebas dari segala penyakit berbahaya. Ternak yang terdapat pada inti dan merupakan kumpulan ternak terbaik (elite) dari hasil seleksi/penjaringan yang berasal dari banyak tempat harus dipelihara dengan baik tetapi tetap sesuai dengan lingkungan pengembangan nantinya. Bibit dasar inti Bibit induk Pembiak Bibit sebar Peternak/kelompok ternak Aliran pejantan Aliran betina Gambar 14 Struktur bibit dalam kawasan sumber bibit. Pada strata inti, proses pembibitan atau produksi ternak bibit dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki mutu genetik ternak. Metode yang dapat diterapkan salah satunya yaitu seleksi. Khusus untuk sifat pertumbuhan seleksi dapat dilakukan secara fenotip melalui ukuran-ukuran tubuh yang dapat dikombinasikan dengan seleksi berdasarkan marker molekuler (marker assisted selection, MAS). Penerapan MAS untuk sifat pertumbuhan sangat memungkinkan diterapkan pada strata inti karena faktor lingkungan yang sudah terkondisikan dan relatif seragam. Aplikasi MAS dapat diawali dengan berbagai penelitian untuk mencari marker spesifik terkait dengan sifat pertumbuhan unggul. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak termasuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian lain yang dimiliki pemerintah maupun swasta. Beberapa kandidat marker yang diusulkan adalah gen-gen yang tergabung dalam keluarga hormon pertumbuhan diantaranya growth hormone (GH), growth hormone receptor (GHR), growth hormone releasing hormone (GHRH), growth hormone releasing hormone-receptor (GHRH-R), insulin growth factor-1 (IGF-1) dan pituitary transcription facor-1 (Pit-1). Pencarian marker spesifik dapat diidentifikasi pada semua lokus polimorfik, khususnya pada coding region. Berdasarkan hasil penelitian ini, lokus Pit-1/HinfI tidak dapat dijadikan marker sifat pertumbuhan pada kerbau Banten karena bersifat monomorfik. Sedangkan lokus GH/MspI dan GHRH/HaeIII masih berpotensi sebagai marker karena sifatnya yang polimorfik, namun perlu penelitian lain dengan sampel yang lebih besar untuk mengetahui hubunganya terhadap ukuran-ukuran tubuh. Metode seleksi lainnya yaitu dengan menggunakan nilai pemuliaan terduga (estimated breeding value). Metode ini dapat dilakukan ketika pencatatan (recording) produktivitas kerbau pada strata inti telah berjalan dengan baik dengan data yang akurat. Selama proses peningkatan mutu genetik berlangsung, hal yang perlu dicermati adalah penekanan laju inbreeding. Pada strata inti, diharapkan intensitas seleksi untuk membentuk bibit dasar sangat ketat agar diperoleh betina-betina dan pejantan pilihan untuk dipakai sebagai materi genetik dalam proses perkembangan selanjutnya. Perkawinan ternak pada kelompok inti dilakukan dengan tetap menjaga jangan sampai terjadi inbreeding secara berlebihan, serta seleksi dilakukan dengan parameter yang jelas dan tegas. Pola inti terbuka merupakan pilihan tepat untuk menekan laju inbreeding karena adanya aliran gen dua arah. Pembiak UPT daerah kabupaten lain di Provinsi Banten atau pihak swasta dapat berperan sebagai pembiak (multiplier) yang bertugas untuk memelihara ternak bibit induk dalam kegiatan budidaya untuk meningkatkan mutu genetik dan kuantitas ternak, juga diharapkan berperan dalam pemasaran ternak dan sebagai intitusi penggerak dan pendampingan kelompok ternak kerbau yang berada pada strata dibawahnya. Kemitraan yang terjalin antara UPTD kabupaten atau pihak swasta dengan kelompok ternak yang berada dibawahnya diharapkan dapat menjadikan program pemuliaan kerbau berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Peternak dan Kelompok Ternak Peternak kerbau yang berada dipedesaan diharapkan dapat berperan secara aktif dalam kegiatan pemuliaan kerbau. Kelembagaan kelompok ternak sangat penting untuk mendukung peran aktif peternak tersebut. Melalui kelembagaan kelompok, pembinaan peternak dapat dilakukan secara terprogram dan terarah. Pembinaan kelompok ternak diperlukan untuk memperbaiki teknis budidaya dan meningkatkan produktivitas ternak kerbau. Peningkatan produktivitas tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan teknis budidaya dan manajemen pemeliharaan serta kegiatan seleksi ternak. Seleksi ternak yang dilakukan di pedesaan dapat dilakukan secara sederhana dan mudah, misalnya untuk sifat pertumbuhan dapat dilakukan melalui ukuran-ukuran tubuh. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Secara umum, ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin tidak berbeda (P>0.05). 2. Lokus GH/MspI dan GHRH/HaeIII bersifat polimorfik, sedangkan lokus Pit1/HinfI bersifat monomorfik pada populasi kerbau Banten. Pada lokus GH/MspI, alel GH(-) hanya ditemukan pada subpopulasi Pandeglang dengan frekuensi 0.04 dan frekuensi alel GH(+) sebesar 0.96. Pada subpopulasi Lebak lokus GH/MspI bersifat monomorfik. Frekuensi alel A dan B pada lokus GHRH/HaeIII yaitu 0.41 dan 0.59 pada subpopulasi Pandeglang, dan 0.43 dan 0.57 pada subpopulasi Lebak. Pada populasi Banten secara keseluruhan, Lokus GH/MspI mempunyai keragaman yang rendah (0.0469) dan lokus GHRH/HaeIII mempunyai keragaman yang tinggi (0.4908). 3. Genotipe lokus GHRH/HaeIII tidak berhubungan (P>0.05) terhadap ukuranukuran tubuh kerbau di Banten. Saran 1. Lokus GHRH/HaeIII dapat digunakan sebagai salah satu marker untuk studi keragaman populasi kerbau rawa khususnya di Banten. 2. Perlu upaya penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi polimorfisme pada lokus dan gen lain yang terkait dengan sifat pertumbuhan. DAFTAR PUSTAKA Baker AR, Izydar F, Colenbrander B, Bevers MM. 2000. Effect of growth hormone releasing hormone (GHRH) and Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) on in vitro bovine oocyte maturation. Theriogenology 53:17711782. Barendse W et al. 1994. A genetic linkage map of the bovine genome. Nat Genet 6 :227-235 Bhattacharya. 1993. Di dalam: Wiliamson WGA, Payne WJA, editor. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. [BPS Banten] Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2008. Banten dalam Angka 2008. Serang: BPS Banten Beauchemin VR, Thomas MG, Franke DE, Silver GA. 2006. Evaluation of DNA polymorphisms involving growth hormone relative to growth and carcass characteristics in Brahman steers. Genet Mol Res. 5(3):438-447. Bodner M et al. 1988. The pituitary-specific transcription factor GHF-1 is a homeobox-containing protein. Cell 55:505-518 Bunger L, Hill WG. 1999. Role of growth hormone in the genetic change of mice divergently selected for body weight and fatness. Genet Res 74: 351-360. Chantalakhana C, Skunmum P. 2002. Sustainable Smallholder Animal System in The Tropics. Bangkok: Kassetsart University Press Chen R et al. 1990. Autoregulation of the Pit-1 gene expression mediated by two cis-active promoter elements. Nature 346:583-586. Cheong HS et al. 2006. Growth hormone-releasing hormone (GHRH) polymorphisms associated with carcass traits of meat in Korean cattle. BMC Genetic 7:35 Chunnchai V. 1981. Differences of chromosome number and structure between Thai swamp buffalo and Murrah buffalo. Proceeding of the 2nd Meeting on Regional Cooperation Agreement on the Use on Nuclear Technology to Improve Domestic Buffalo Production in Asia. Chulalongkorn University, Bangkok Cohen LE, Wondisford FE, Radovick S. 1997. Role of Pit-1 in the gene expression of growth hormone, prolactin, and thyrotropin. Endocr Metab Clin North America 25:523-540. Dekkers JCM. 2004. Commercial application of marker and gene assisted selection in livestock: strategy and lesson. J Anim Sci 82 Supl: E313-E383 [Ditjenak] Direktorat Jendral Peternakan. 2008. Statistik Peternakan 2008. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI. Dierkes B, Kriegesmann B, Baumgartner BG, Brenig B. 1998. Partial genomic structure of the bovine Pit1 gene and characterization of a HinfI transition polymorphism in exon 6. Anim Genet 29:405. Di Stasio L, Brugiapaglia A, Destefanis G, Albera A, Sartore S. 2002. GH1 as candidate gene for variability of meat production traits in Piedmontese cattle. J Anim Breed Genet 120 (5): 358-361 Dybus A, Grzesiak W. 2006. GHRH/HaeIII gene polymorphism and its associations with milk production traits in Polish Black-and-White cattle. Arc Tier Dummerstorf 49 (5): 434-438. Etherton TD, Bauman DE. 1998. Biology of somatotropin in growth and lactation of domestic animals. Physiological Reviews 78: 745-761 Fahimuddin M. 1975. Domestic Water Buffalo. New Delhi: Gualab PirumuliOxford, IBH Publishing Co., GG Joupath Falaki M et al. 1996. Relationships of polymorphism for growth hormone and growth hormone receptor genes with milk production traits for Italian Holstein-Friesian bulls. J Dairy Sci 79 : 1446–1453 Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetic. Ed ke-4. Essex, England: Longman Group Ltd. Fodor M, Kordon C, Epelbaum J. 2006. Anatomy of the hypophysiotropic somatostatinergic and growth hormone-releasing hormone system minireview. Neurochem Res 31: 137-143. Franco MM, Antunes RC, Silva HD, Goulart LR. 2005. Association of Pit-1, GH and GHRH polymorphisms with performance and carcass traits in Landrace pigs. J Appl Genet 46(2):195-200. Frohman LA, Kineman RD. 2002. Growth hormone-releasing hormone and pituitary development, hyperplasia and tumorigenesis. Tren Endocr Metab 13: 299–303 Ge W, Davis ME, Hines HC, Irvin KM. 2003. Association of single nucleotide polymorphisms in the growth hormone and growth hormone receptor genes with blood serum insulin-like growth factor I concentration and growth traits in Angus cattle. J Anim Sci 81: 641-648. Giustina A, Veldhuis JD. 1998. Pathophysiology of the neuroregulation of growth hormone secretion in experimental animals and the human. Endocr Rev 19: 717-797. Hartl DL. 1988. Principle of Population Genetic. Sunderland: Sinauer Associates, Inc. Publisher Hediger R et al. 1990. Assignment of the growth hormone gene locus to 19q26 in cattle and 11q25q in sheep by in situ hybridization. Genomics 8:171-174. Iannuzi L et al. 1999. Comparative FISH mapping of six expressed gene loci to river buffalo and sheep chromosome. Cytogenet Cell Genet 84: 161-163 Jakaria. 2008. Keragaman genetik gen hormon pertumbuhan pada sapi pesisir Sumatera Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Javanmard A, Asadzadeh N, Hossein M, Banabazi, Tavakolian J. 2005. The allele and genotype frequencies of bovine pituitary specific transcription factor and leptin genes in Iranian cattle and buffalo populations using PCRRFLP. Iran J Biotechnol 3(2):104-108 Joseph G. 1996. Status asam basa dan metabolisme mineral pada ternak kerbau lumpur yang diberi pakan jerami padi dan konsentrat dengan penambahan natrium [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Kikkawa Y, Yokenawa H, Suzuki H, Amano T. 1997. Analysis of genetic diversity of domestic water buffalo and anoa based on variation on mitocondrial gene for cytocrhome b. Anim Genet 28: 195-201 Kmiec M, Luczak IK, Kulig H, Terman A. 2007. Association between GHRH/HaeIII restriction polymorphism and milk production traits in a herd of dairy cattle. J Anim Vet Adv 6 (11): 1298-1303. Lagziel A et al.. 2000. Geographic and breed distribution of an MspI PCR-RFLP in the bovine growth hormone (bGH) gene. Anim Genet 31: 210-213 Lapierre H et al. 1988. Effect of human growth hormone-releasing factor (1-29) NH2 on growth hormone release and milk production in dairy cows. J Dairy Sci 71 : 92-98 Lestari CMS. 1986. Korelasi antara umur dengan ukuran-ukuran tubuh kerbau di pegunungan dan didataran rendah pada daerah Jawa Tengah. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Diponegoro. Semarang Fakultas Peternakan Universitas Lin C, Lin SC, Chang CP, Rosenfeld MG. 1992. Pit-1 dependent expression of the receptor for growth hormone releasing factor mediates pituitary cell growth. Nature 360:765-768. Lopez R, Thomas MG, Hallford DM, Keisler DH. 2006. Case study: Metabolic hormone profiles and evaluation of associations of metabolic hormones with body fat and reproductive characteristics of Angus, Brangus, and Brahman heifers. Anim Sci 22: 273-282. Lovendahl P, Woolliams JA, Sinnett-Smith PA. 1991. Response of growth hormone to various doses of growth hormone releasing factor and thyrotropin releasing hormone administered separately and in combination to dairy calves. Can J Anim Sci 71 : 1045-1052 Lucy MH, Hauser DH, Eppard PJ, Krivi GG, Collier RJ. 1991. Genetic polymorphism within the bovine somatotropin (bST) gene detected by polymerase chain reaction and endonuclease digestion. J Dairy Sci 1 Supl 74 :284. Mangalam HJ et al. 1989. A pituitary POU-domain protein, Pit-1, activates both growth hormone and prolactin promoters transcriptionally. Genes Dev 3:946–958. Marek K et al. 2007. Associations Between GHRH/HaeIII Restriction Polymorphism and Milk Production Traits in a Herd of Dairy Cattle. J Anim and Vet Adv 6(11): 1298-1303. Martojo H. 1983. Pelestarian Sumber Daya Genetik Bangsa Ternak Asli di Indonesia. Penataran Metode Pengajaran. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM Meghen C, MacHaugh DE, Bradley DG. 1995. Genetic Characterization of West African Cattle. Departement of Genetics, Trinity College, Dublin, Ireland. Meuwissen THE, Hayes B, Goddard ME. 2001. Prediction of total genetic value using genome-wide dense marker maps. Genet 157:1819-1829 Mitra A, Schele P, Balakrisnan CR, Pirchner F. 1995. Polymorphisms at growth hormone and prolactin loci in Indian cattle and buffalo. J Anim Bred Genet 112: 71-74 Montaldo HH, Herera CAM. 1998. Use of Molekular Marker and Major Genes in The Genetic Improvement of Livestock. Chili: EJB Universidad Catolica de Valparaso. Moody DE, Pomp D, Barendse W. 1995. Restriction fragment lenght polymorphisms in amplification product in the bovine growth hormone releasing hormone gene. J Anim Sci 73: 3789 Machado MA, Schuster I, Martinez ML, Campas AL. 2003. Genetic diversity of four breed using microsatelite markers. Rev Bras De Zool 32: 93-98 Moioli B, Napolitano F, Catillo G. 2004. Genetic diversty between Peidmontese, Maremmana and Podolica cattle breeds. J Hered 95: 250-256 Morrison DG. 2005. A compilation of research results involving tropically adapted beef cattle breeds. South Coop Ser Bull 405. Na-Chiangmai A. 2000. Di dalam: Moioli B, Hokkonen JM, Galal S, Zjalic M, editor. Development of buffalo breeding scheme in Thailand. ICAR Technical Series No.4. December 2000. Nei M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a small number of individuals. Genet 89: 583-590. Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York: Columbia University Press. Nei M, Kumar S. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. New York: Oxford University Press Nei M.,Tajima F, Taneto Y. 1983. Accuracy of estimated phylogenic tress from molecular data. J Mol Evol 19: 153-170 Noor RR. 2004. Genetika Ternak. Ed ke-4. Jakarta: Penebar Swadaya Ohlsson C, Bengtsson BA, Isaksson OG, Andreassen TT. 1998. Growth hormone and bone. Endocr Rev 19: 55-79. Owens FN, Dubeski P, Hanson CF. 1993. Factor that alters the growth and development of ruminants. J Anim Sci 71:3138-3150. Pereira AP et al. 2005. Association of GH and IGF-1 polymorphisms with with growth traits in beef cattle breed. Genet Mol Biol 28:145-149 Pfaffle RW, Kim C, Blankenstein O, Kentrup H. 1999. GH transcription factors. J Pediatr Endocrinol Metab 12 Supl 1: 311-317. Rajamurugan et al. 2007. Characterization of growth hormone releasing hormone (GHRH) partial gene in buffalo. Indian J Anim Sci 77(8):749-751 Regitano LCA et al. 1999. Selection for breed specific growth hormone and IGFI alleles in a synthetic beef cattle cross, Canchim. Genet Mol Biol 22:531537. Renaville R et al. 1997. Pit-1 gene polymorphism, milk yield, and conformation traits for Italian Holstein-Friesian bulls. J Dairy Sci 80:3431–3438. Rutherberg SK, Pathak NN. 1979. Management and Feeding Buffaloes. New Delhi: Vikas Publishing House PVT Ltd. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual . Ed ke-2. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Shackleton D, Harestad A. 2003. Bovids, Buffaloes and Bison. Di dalam: M. Hutchins, editor. Grzimek’s Animal Encyclopedia. Ed ke-2. Farmington Hills: Gale groups. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. B Sumantri, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suhubdy. 2007. Strategi penyediaan pakan untuk pengembangan usaha ternak kerbau. Wartazoa 17(1):1-11. Tombasco DD et al. 2003. Candidate gene for growth traits in beef cattle crosses Bos taurus x Bos indicus. J Anim Bred Genet 120: 51 Unanian MM, Baretto CC, de Freitas AR, Cordeiro CMT, Josakhian LA. 2000. Association between growth hormone gene polymorphisms and weight traits in Nellore Novines. Rev Bras Zootec 29:1380-1386 Van der werf J. 2000. An overview of animal breeding program. Di dalam: Kinghorn B, Van der Werf J, editor. QTL Course: Identifiying and incorporating genetic marker and major genes in anial breeding programs. Armidale, Australia; University of New England. Vanderkool WK et al. 1995. Comparison of growth hormone-releasing factor and somatotropin: the somatotropic axis in lactating primiparous cows. J Dairy Sci 78 : 2140-2149 Vasconcellos LPMK, Talhari DT, Pereira AP, Coutinho LL, Reginato LCA. 2003. Genetic characterization of Aberden Angus cattle using molecular markers. Genet Mol Biol 26:133-137 Vischer P, Pong-Wong R, Whittemore C, Haley C. 2000. Impact of biotechnology on (cross) breeding programmes in pigs. Livest Prod Sci 65:57-70 Warwick EJ, Astuti JM, Harjosubroto W. 1983. Pemuliaan Ternak. Yogjakarta: Gadjah Mada Unniversity Press. Willey EO. 1981. Phylogenetics: The Teory and Practice of Phylogenetic Systematic. Canada: John Wiley & Sons Inc. Woollard J, Schimtz CB, Freeman AE, Tuggle CK. 1994. HinfI polimorphisms at the bovine Pit-1 lokcus. J Anim Sci 72: 3267 Wright S. 1978. Variability Within and Among Natural Populations. Chicago: University of Chicago Press. Zhang HM, Brown DR, Denise SK, Ax RL. 1992. Nucleotide sequence determination of bovine somatotropin allele. J Anim Genet 23:578 LAMPIRAN Lampiran 1 Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuranukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 1 sampai 2 tahun. Populasi Ukuran Tubuh Jantan PB TP LD DD TPg Betina PB TP LD DD TPg Pandeglang Rataan (cm) SE 91.48 102.76 136.84 55.19 104.00 n = 21 2.13 1.80 3.13 1.79 1.76 89.16 101.63 136.84 54.63 102.74 n =19 1.16 1.15 2.66 1.02 1.01 Lebak KK (%) 10.65 8.02 10.69 14.87 7.78 5.67 4.93 8.49 8.12 4.28 Rataan (cm) SE KK (%) 91.17 96.83 133.83 50.83 97.50 n=6 4.78 4.35 7.79 2.57 4.50 12.84 11.00 14.26 12.41 11.56 99.33 103.00 134.83 52.83 104.50 n=6 6.59 3.24 5.21 2.41 3.41 16.25 7.69 9.47 11.19 8.00 Keterangan : n = jumlah contoh ternak, PB = panjang badan, TP = tinggi pundak, LD = lingkar dada, DD= dalam dada, TPg = tinggi pinggul Lampiran 2 Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuranukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 2 sampai 3 tahun. Populasi Ukuran Tubuh Jantan PB TP LD DD TPg Betina PB TP LD DD TPg Pandeglang Rataan (cm) SE Lebak KK (%) 107.25 111.00 148.25 61.00 111.25 n=4 4.05 3.49 3.94 2.86 3.77 7.55 6.28 5.32 9.37 6.78 108.33 115.33 173.00 66.33 115.67 n =3 4.18 2.40 7.57 3.18 0.67 6.68 3.61 7.58 8.30 1.00 Rataan (cm) SE KK (%) 117.38 112.13 153.25 59.50 112.63 n=8 1.64 1.91 1.40 1.07 1.68 3.94 4.82 2.58 5.08 4.22 109.73 106.73 151.60 58.00 107.00 n = 15 2.68 1.95 3.66 1.47 2.04 9.45 7.07 9.35 9.84 7.38 Keterangan : n = jumlah contoh ternak, PB = panjang badan, TP = tinggi pundak, LD = lingkar dada, DD= dalam dada, TPg = tinggi pinggul Lampiran 3 Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuranukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 3 sampai 4 tahun. Populasi Ukuran Tubuh Jantan PB TP LD DD TPg Betina PB TP LD DD TPg Pandeglang Rataan (cm) Lebak SE KK (%) Rataan (cm) 112.75 116.50 162.25 66.50 118.00 n=4 5.33 1.44 8.16 2.87 1.47 9.45 2.48 10.06 8.64 2.49 112.50 112.50 157.50 62.75 113.25 n =4 2.40 4.27 3.01 2.75 4.52 4.26 7.59 3.83 8.76 7.98 SE KK (%) 115.75 114.00 154.50 61.25 112.75 n=4 1.11 1.78 2.10 0.48 1.49 1.92 3.12 2.72 1.56 2.65 114.13 112.25 162.75 61.75 113.50 n=8 4.37 2.45 4.75 1.51 3.17 10.83 6.17 8.26 6.91 7.89 Keterangan : n = jumlah contoh ternak, PB = panjang badan, TP = tinggi pundak, LD = lingkar dada, DD= dalam dada, TPg = tinggi pinggul Lampiran 4 Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuranukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 4 sampai 5 tahun. Populasi Pandeglang Lebak Ukuran Tubuh Rataan Rataan SE KK (%) SE KK (%) (cm) (cm) Jantan n=0 n=4 PB 119.50 3.23 5.40 TP 118.75 2.66 4.48 LD 165.50 2.99 3.61 DD 62.25 3.20 10.28 TPg 118.25 3.35 5.67 Betina PB TP LD DD TPg 113.67 112.33 165.67 61.00 116.00 n =3 0.33 3.18 2.96 3.21 1.00 0.51 4.90 3.10 9.13 1.49 125.33 118.62 173.33 65.95 116.21 n = 42 1.26 1.41 1.94 0.54 0.71 6.51 7.68 7.24 5.34 3.98 Keterangan : n = jumlah contoh ternak, PB = panjang badan, TP = tinggi pundak, LD = lingkar dada Lampiran 5 Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuranukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur lebih 5 tahun. Populasi Pandeglang Lebak Ukuran Tubuh Rataan Rataan SE KK (%) SE KK (%) (cm) (cm) Jantan n=3 n=0 PB 125.33 3.67 5.07 TP 120.33 0.89 1.27 LD 167.67 1.20 1.24 DD 69.33 1.20 3.00 TPg 119.33 2.91 4.20 Betina PB TP LD DD TPg 126.68 119.05 177.05 68.95 119.84 n = 19 1.41 0.93 1.92 1.11 0.96 4.87 3.41 4.74 7.03 3.50 126.93 118.39 174.89 67.21 116.54 n = 28 1.47 0.85 1.60 0.57 0.81 6.11 3.78 4.83 4.52 3.67 Keterangan : n = jumlah contoh ternak, PB = panjang badan, TP = tinggi pundak, LD = lingkar dada, DD= dalam dada, TPg = tinggi pinggul Lampiran 6 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin jantan kelompok umur 1 sampai 2 tahun Pandeglang Lebak n = 21 n=6 Panjang badan 91.48 (2.13) Tinggi pundak Ukuran Tubuh Nilai “t” Nilai “P” 91.17 (4.78) 0.06 0.945 102.76 (1.80) 96.83 (4.35) 1.26 0.254 Lingkar dada 136.84 (3.13) 133.83 (7.79) 0.05 0.963 Dalam dada 55.19 (1.79) 50.83 (2.57) 0.39 0.195 Tinggi pinggul 104.00 (1.76) 97.50 (4.50) 0.32 0.235 (cm) Lampiran 7 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 1 sampai 2 tahun Pandeglang Lebak n = 19 n=6 Panjang badan 89.16 (1.16) Tinggi pundak Ukuran Tubuh Nilai “t” Nilai “P” 99.33 (6.59) -1.52 0.189 101.63 (1.15) 103.00 (3.24) -0.40 0.704 Lingkar dada 136.84 (2.66) 134.83 (5.21) 0.34 0.742 Dalam dada 54.63 (1.02) 52.83 (2.41) 0.69 0.518 Tinggi pinggul 102.74 (1.01) 104.50 (3.41) -0.50 0.641 (cm) Lampiran 8 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin jantan kelompok umur 2 sampai 3 tahun Pandeglang Lebak n=4 n=8 Panjang badan 107.25 (4.05) Tinggi pundak Ukuran Tubuh Nilai “t” Nilai “P” 117.38 (1.64) -2.32 0.081 111.00 (3.49) 112.13 (1.91) -0.28 0.791 Lingkar dada 148.25 (3.94) 153.25 (1.40) -1.19 0.318 Dalam dada 61.00 (2.86) 59.50 (1.07) 0.49 0.657 Tinggi pinggul 111.25 (3.77) 112.63 (1.68) -0.33 0.756 (cm) Lampiran 9 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 2 sampai 3 tahun Pandeglang Lebak n=3 n = 15 Panjang badan 108.33 (4.18) Tinggi pundak Ukuran Tubuh Nilai “t” Nilai “P” 109.73 (2.68) -0.28 0.796 115.33 (2.40) 106.73 (1.95) 2.78 0.039* Lingkar dada 173.00 (7.57) 151.60 (3.66) 2.54 0.084 Dalam dada 66.33 (3.18) 58.00 (1.47) 2.38 0.141 Tinggi pinggul 115.67 (0.67) 107.00 (2.04) 4.04 0.001** (cm) Keterangan: * = menunjukkan rataan ukuran tubuh yang berbeda nyata (P<0.05) dan ** = berbeda sangat nyata (P<0.01) Lampiran 10 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin jantan kelompok umur 3 sampai 4 tahun Pandeglang Lebak n=4 n=4 Panjang badan 112.75 (5.53) Tinggi pundak Ukuran Tubuh Nilai “t” Nilai “P” 115.75 (1.11) -0.55 0.620 116.50 (1.44) 114.00 (1.78) 1.09 0.325 Lingkar dada 162.25 (8.16) 154.50 (2.10) 0.92 0.425 Dalam dada 66.50 (2.87) 61.25 (0.48) 1.80 0.169 Tinggi pinggul 118.00 (1.47) 112.75 (1.49) 2.50 0.049* (cm) Keterangan: * = menunjukkan rataan ukuran tubuh yang berbeda nyata (P<0.05) Lampiran 11 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 3 sampai 4 tahun Pandeglang Lebak n=4 n=8 Panjang badan 112.50 (2.40) Tinggi pundak Ukuran Tubuh Nilai “t” Nilai “P” 114.13 (4.37) -0.33 0.752 112.50 (4.27) 112.25 (2.45) 0.05 0.961 Lingkar dada 157.50 (3.01) 162.75 (4.75) -0.93 0.375 Dalam dada 62.75 (2.75) 61.75 (1.51) 0.32 0.766 Tinggi pinggul 113.25 (4.52) 113.50 (3.17) -0.05 0.965 (cm) Lampiran 12 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 4 sampai 5 tahun Pandeglang Lebak n=3 n = 42 Panjang badan 113.67 (0.33)a Tinggi pundak Ukuran Tubuh Nilai “t” Nilai “P” 125.33 (1.26)b -8.96 0.000** 112.33 (3.18) 118.62 (1.41) -1.81 0.212 Lingkar dada 165.67 (2.96) 173.33 (1.94) -2.17 0.096 Dalam dada 61.00 (3.21) 65.95 (0.54) -1.52 0.268 Tinggi pinggul 116.00 (1.00) 116.21 (0.71) -0.17 0.870 (cm) Keterangan: ** = menunjukkan rataan ukuran tubuh yang berbeda nyata (P<0.01) Lampiran 13 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur lebih dari 5 tahun Pandeglang Lebak n = 19 n = 28 Panjang badan 126.68 (1.41) Tinggi pundak Ukuran Tubuh Nilai “t” Nilai “P” 126.93 (1.47) -0.12 0.905 119.05 (0.93) 118.39 (0.85) 0.52 0.603 Lingkar dada 177.05 (1.92) 174.89 (1.60) 0.86 0.393 Dalam dada 68.95 (1.11) 67.21 (0.57) 1.39 0.177 Tinggi pinggul 119.84 (0.96) 116.54 (0.81) 2.63 0.012* (cm) Keterangan: * = menunjukkan rataan ukuran tubuh yang berbeda nyata (P<0.05) Lampiran 14 Hubungan genotipe lokus GHRH/HaeIII dengan ukuran tubuh kerbau Ukuran tubuh Genotipe Nilai “t” Nilai “P” 117.38 + 1.70 -0.39 0.704 114.38 + 0.54 116.69 + 1.10 -1.87 0.080 Lingkar dada 169.20 + 1.30 169.50 + 3.50 -0.07 0.946 Dalam dada 62.24 + 0.58 63.85 + 1.70 -0.89 0.389 118.14 + 0.55 120.43 + 1.20 -1.77 0.096 (cm) AB (n=64) BB (n=12) Panjang badan 116.65 + 0.88 Tinggi pundak Tinggi pinggul