Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku

advertisement
i
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN
PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA
OLEH
GUNEVIELLA FEBRELIAN WINNIARTHY
802008008
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
i
i
ii
iii
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN
PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA
Guneviella Febrelian Winniarthy
Berta Esti Ari Prasetya
Enjang Wahyuningrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
iv
i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara kecerdasan emosi
dengan perilaku prososial. Sampel yang digunakan adalah pelajar SMA Kristen Satya
Wacana salatiga dan berusia 15 – 18 tahun. Teknik sampling yang digunakan incidental
sampling. Jumlah sampel yang digunakan berjumlah 172 orang (kelas X dan kelas XI).
Metode pengumpulan data pada variable kecerdasan emosi diadopsi dari Schutte (1998)
yang didasarkan pada teori Salovey (2007) yang memiliki lima aspek kecerdasan emosi
yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Pada
variable perilaku prososial di adopsi berdasarkan skala yang di susun oleh Carlo dan
Randall (2002). Adapun aspek perilaku prososial dari Carlo dan Randall (2002)
diantaranya altruism, compliance, emotional, dire, anonymous dan public. Hasil
penelitian ini diperoleh nilai korelasi product moment rxy = 0,466 ; p = 0,000 (p < 0,05)
yang berarti terdapat hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi terhadap
perilaku prososial pada remaja. Nilai koefisien determinasi sebesar 21,8 % artinya
kecerdasan emosi memberikan sumbangan terhadap munculnya perilaku prososial
remaja sebesar 21,8 % dan sisanya 78,2 % ditentukan oleh faktor-faktor lain.
Kata kunci : Perilaku prososial, kecerdasan emosional.
i
ABSTRACT
This study aims to investigate the relationship between emotional intelligence and
prosocial behavior. The sample used was a high school student Kristen Satya Wacana
Discourse Salatiga and aged 15-18 years. The sampling technique used incidental
sampling. The number of samples used were 172 people (class X and XI). The method
of collecting data on emotional intelligence variable adopted from Schutte (1998) which
is based on the theory Salovey (2007) which has five aspects of emotional intelligence
is self-awareness, self-regulation, self-motivation, empathy and social skills. The
variable prosocial behavior in the adoption by the scale collated by Carlo and Randall
(2002). The prosocial behavior aspects of Carlo and Randall (2002) including altruism,
compliance, emotional, dire, anonymous and public. The results of this study showed
the value of the product moment correlation r xy = 0.466 ; p = 0.000 (p < 0.05), which
means that there is a positive and significant relationship between emotional
intelligence on prosocial behavior in adolescents. Value of determination coefficient of
21.8 % means that emotional intelligence contributes to the emergence of adolescence
prosocial behavior by 21.8 % and the remaining 78.2 % is determined by other factors.
Keywords : Prosocial behaviour, emotional intelligence.
ii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Saat ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa masyarakat
pada kehidupan yang serba praktis dan individual, sehingga kepedulian sosial antar
individupun menjadi berkurang. Sears (1991) menyatakan bahwa masing-masing
individu bukanlah semata-mata makhluk tunggal yang mampu hidup sendiri, melainkan
sebagai makhluk sosial yang sangat bergantung pada individu lain. Seseorang dikatakan
berperilaku
prososial
jika
individu
tersebut
menolong
individu
lain
tanpa
memperdulikan motif-motif si penolong, timbul karena adanya penderitaan yang
dialami oleh orang lain dalam bentuk aktivitas: saling membantu, saling menghibur,
persahabatan, penyelamatan, pengorbanan, kemurahan hati, dan saling membagi.
Fenomena menurunnya perilaku prososial ini juga terjadi pada remaja di
lingkungan SMA Kristen Satya Wacana Salatiga. Berdasarkan hasil wawancara peneliti
di bulan Juli 2014 dengan 10 siswa di SMA Kristen Satya Wacana, semisal saat ada
seorang teman yang berkeinginan meminjam buku catatan, tidak ada teman yang
meminjamkan buku catatan yang diinginkan, dengan alasan dirinya bukanlah teman
dekatnya. Selain itu juga rendahnya perilaku prososial remaja di sana juga ditunjukkan
saat ada temannya yang sakit hanya teman-teman terdekat saja yang menjenguknya,
sedangkan lainnya tidak perduli. Hal tersebut bila tidak diatasi maka bisa menyebabkan
semakin rendahnya sikap prososial remaja terhadap orang lain.
Eisenberg dan Wang (dikutip Santrock, 2007) mengemukakan bahwa seseorang
dikatakan memiliki perilaku prososial bila dirinya 1memiliki kepedulian terhadap
keadaan dan hak orang lain, perhatian dan empati pada orang lain serta berbuat sesuatu
1
yang memberikan manfaat bagi orang lain. Perilaku prososial dapat memberikan
pengaruh bagaimana individu melakukan interaksi sosial.
Sears (1991) memberikan pemahaman mendasar bahwa masing-masing individu
bukanlah semata-mata makhluk tunggal yang mampu hidup sendiri, melainkan sebagai
makhluk sosial yang sangat bergantung pada individu lain, individu tidak dapat
menikmati hidup yang wajar dan bahagia tanpa lingkungan sosial. Seseorang dikatakan
berperilaku
prososial
jika
individu
tersebut
menolong
individu
lain
tanpa
memperdulikan motif-motif si penolong, timbul karena adanya penderitaan yang
dialami oleh orang lain yang meliputi saling membantu, saling menghibur,
persahabatan, penyelamatan, pengorbanan, kemurahan hati, dan saling membagi.
Individu yang memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan tindakan
prososial, biasanya memiliki karakteristik kepribadian salah satunya yakni memiliki
kecerdasan emosi (Wilson dan Petruska dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006).
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya perilaku prososial adalah
kecerdasan emosional
yang dimiliki oleh individu. Hal ini
sejalan dengan hasil
penelitian Sabiq dan Djalali (2012), ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan
emosi, kecerdasan spiritual dengan perilaku prososial. Hal ini juga dibuktikan dengan
hasil penelitian Asih dan Pratiwi (2010) bahwa kecerdasan emosi dan empati sangat
mempengaruhi perilaku prososial seseorang. Seseorang yang secara emosional cerdas
akan cepat dapat mengenali emosi yang sedang dialaminya, dan dengan segera dapat
mengelola emosi yang muncul (Mathews dkk, 2002). Potensi tersebut akan berdampak
pada kemampuan menyelesaikan permasalahan dengan baik dan memaksimalkan
kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan. Sedangkan tidak adanya kompetensi
tersebut dapat menyebabkan kekacauan dalam kejiwaan yang dapat berupa depresi
2
(Smith dan Blackwood, 2004). Ketidakmampuan mengelola emosi akan menyebabkan
seseorang jatuh pada keadaan emosi negatif, hal ini terkait erat dengan peningkatan
derajat depresi (Verstraeten, 2008). Berdasarkan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya,
peneliti ingin membuktikan bagaimana kaitan antara kecerdasan emosi dengan perilaku
prososial yang terjadi pada remaja awal usia 15 - 18 tahun di SMA Kristen Satya
Wacana ini. Rendahnya perilaku prososial yang ditunjukkan para remaja di SMA
tersebut, maka peneliti berkeinginan mengambil sampel pada remaja awal. Pada usia
ini diasumsikan remaja memasuki tahapan identitas dan kekacauan diri yang merupakan
tahapan dalam psikososial dari Erik Erikson dimana pada tahap ini sebagai penentu
perkembangan emosi di masa dewasa nantinya. Dengan kata lain kecerdasan emosi
yang dimiliki pada remaja awal cenderung masih rendah.
Kartono (1995) mengartikan kecerdasan emosi sebagai suatu keadaan atau kondisi
mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional. Oleh karena itu, pribadi
yang bersangkutan tidak lagi menampilkan perilaku emosional seperti pada masa kanakkanak. Arbadiati dan Kurniati (2007) mengatakan bahwa individu yang memiliki
kecerdasan emosi pasti memiliki kemampuan dalam merasakan emosi, mengelola dan
memanfaatkan emosi secara tepat sehingga memberikan kemudahan dalam menjalani
kehidupan sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu peneliti berkeinginan untuk meneliti
lebih jauh bagaimana hubungan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada
remaja awal di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian ini dengan merumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah ada hubungan
3
yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada
remaja di Salatiga?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan
kecerdasan emosional dengan perilaku prososial pada remaja di Salatiga.
TINJAUAN PUSTAKA
Kecerdasan Emosional
Pengertian Kecerdasan Emosional
Seseorang yang telah mencapai kecerdasan emosi dapat mengendalikan emosinya.
Emosi yang terkendali menyebabkan orang mampu berpikir secara lebih baik, melihat
persoalan secara objektif (Walgito, 2004).
Salovey (2007) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Hurlock (1999) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai tidak meledaknya emosi
di hadapan orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk
mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima.
Jadi dari teori–teori di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan individu untuk bertindak secara tepat dalam menyelesaikan permasalahan,
mampu mengendalikan luapan emosi dan mampu mengantisipasi secara kritis setiap
permasalahan sesuai dengan situasi dan kondisi.
4
Ciri -ciri Kecerdasan Emosional
Menurut Salovey (dikutip Goleman, 2000) ada lima ciri-ciri dalam kecerdasan
emosional yaitu:
a. Kesadaran diri.
Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya
untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang
realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
b. Pengaturan diri.
Kemampuan dalam menangani emosi diri sedemikian sehingga berdampak
positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan
emosi.
c. Motivasi.
Kemampuan
menggunakan
hasrat
diri
yang
paling
dalam
untuk
menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu diri mengambil
inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan
dan frustasi.
d. Empati.
Kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu
memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
5
e. Keterampilan sosial.
Kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang
lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan
lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan
memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja
sama dan bekerja dalam tim.
Jersild (dalam Sobur, 2003) menjelaskan ciri-ciri individu yang memiliki
kecerdasan emosi, antara lain:
a. Penerimaan diri yang baik.
Individu yang memiliki kematangan emosi akan dapat menerima kondisi fisik
maupun psikisnya, baik secara pribadi maupun secara sosial.
b. Kemampuan dalam mengontrol emosi.
Dorongan yang muncul dalam diri individu untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dikendalikan dan diorganisasikan ke arah yang baik.
c. Objektif.
Individu akan memandang kejadian berdasarkan dunia orang lain dan tidak
hanya dari sudut pandang pribadi.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang
memiliki kecerdasan emosional adalah: mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi,
memotivasi diri sendiri, dan mengenali emosi orang lain. Adapun peneliti mengambil
ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan emosional ini didasarkan pada teori Salovey
karena teori yang dikemukakannya sudah melingkupi dari teori-teori lainnya.
6
Perilaku Prososial
Pengertian Perilaku Prososial
Baron dan Byrne (2005), menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu
tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu
keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut dan mungkin
bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong. Aronson et al (2005)
menyatakan perilaku prososial adalah melakukan perbuatan apapun yang bertujuan
menguntungkan orang lain.
Yuniardi (2004) mendefinisikan perilaku prososial merupakan kesediaan orangorang untuk membantu atau menolong orang lain yang ada dalam kondisi distress
(menderita) atau mengalami kesulitan. Faturochman dan Pratikto (2012) juga
menyatakan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi positif pada
orang lain.
Berdasarkan beberapa penjelasan dari teori di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang memiliki konsekuensi positif dengan
cara memberi bantuan pada orang lain secara materiil ataupun psikologis demi
meningkatkan kesejahteraan orang lain.
Faktor-faktor Perilaku Prososial
Secara umum, faktor-faktor perilaku prososial dapat dibagi menjadi beberapa
faktor (Eisenberg et al, 2006) yaitu:
a. Faktor genetis.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zahn-Waxler et al (dalam Eisenberg et
al, 2006) terhadap anak kembar menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan
dari faktor genetis terhadap munculnya perilaku prososial pada anak hingga anak
7
berusia 20 bulan. Setelah anak tumbuh lebih dewasa, perilaku prososial lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
b. Faktor budaya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perilaku prososial lebih sering muncul
pada daerah yang lebih menghargai nilai prososial dan komunal seperti daerah
Aitutaki, Jawa dan suku Papago di Arizona. Sementara pada daerah lain seperti Ik
(Uganda) dan Alorese (pulau di Jawa bagian timur) perilaku prososial lebih jarang
muncul dan sebaliknya perilaku kekerasan yang lebih sering muncul. Hal itu dapat
terjadi kemungkinan karena adanya perbedaan nilai tiap budaya yang terkait dengan
perilaku prososial sehingga mempengaruhi proses sosialisasi awal dari perilaku
prososial di budaya tersebut.
c. Faktor keluarga.
Banyak faktor dalam keluarga yang dilaporkan dapat memengaruhi
kemunculan perilaku prososial pada seseorang. Beberapa di antaranya adalah
struktur keluarga, ukuran keluarga, urutan kelahiran dan pengasuhan orangtua.
Dalam penelitian yang dilakukan Rehberg dan Richman (dalam Eisenberg et al,
2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa anak usia prasekolah dari keluarga
tanpa ayah menunjukkan perilaku memberikan rasa nyaman kepada teman sebaya
yang lebih tinggi dari pada anak dari keluarga utuh.
Penelitian mengenai pengaruh ukuran keluarga terhadap perilaku prososial
anak juga menunjukkan hasil yang beragam. Penelitian mengenai ukuran jumlah
anggota keluarga dan perilaku prososial dari Zaff et al (dalam Eisenberg et al, 2006)
juga menunjukkan bahwa anak dari ukuran jumlah anggota keluarga yang lebih
besar cenderung lebih sering menjadi sukarelawan dan lebih cenderung
8
menunjukkan perilaku menolong dan berbagi dalam kehidupan sehari-hari. Hal
tersebut kemungkinan terjadi karena adanya tuntutan terhadap anak untuk lebih
terlibat dalam tugas rumah tangga.
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa urutan kelahiran juga memiliki
pengaruh dalam munculnya perilaku prososial. Menurut Sharma (dalam Eisenberg
et al, 2006), anak pertama terutama anak perempuan akan cenderung menunjukkan
perilaku memberi kepada teman yang lebih tinggi. Perilaku prososial anak pertama
juga ditemukan lebih sering muncul dibandingkan adik-adiknya pada hubungan
saudara kandung.
Hasil-hasil penelitian tentang pengasuhan orangtua juga banyak ditemukan
memiliki pengaruh terhadap perilaku prososial anak. Anak cenderung memunculkan
perilaku menolong yang lebih tinggi jika dirinya menghabiskan lebih banyak waktu
dan melakukan banyak aktivitas bersama orangtua (Eberly dan Montemayor dalam
Eisenberg et al, 2006). Selain itu, penelitian lain menyatakan bahwa reaksi yang
cepat dari ibu terhadap kebutuhan anaknya yang berusia 9 bulan akan memprediksi
kemunculan empati dan prosocial responsiveness ketika anak berusia 22 bulan (Van
der Mark et al, dalam Eisenberg et al, 2006).
d. Faktor kemampuan kognitif dan sosiokognitif.
Beberapa ahli menyatakan bahwa kemampuan kognitif dan sosio kognitif anak
dapat mempengaruhi kemunculan perilaku prososial anak, di antaranya perspective
taking skill dan penalaran moral perilaku prososial (Batson, Eisenberg dan Hoffman
dalam Eisenberg et al, 2006). Perspective taking skill adalah kemampuan seseorang
untuk berfikir dari sudut pandang orang lain dan juga memahami perasaan serta
pemikiran orang lain (Santrock, 2007). Hoffman (dalam Eisenberg et al, 2006) juga
9
menyatakan
bahwa
perspective
taking
skill
pada
anak
penting
dalam
mengembangkan kemampuan anak untuk membedakan distress dirinya dan orang
lain serta untuk memahami reaksi emosional orang lain. Kemampuan itulah yang
akhirnya dapat meningkatkan perilaku prososial anak.
Penalaran moral perilaku prososial menurut Shaffer (dalam Eisenberg et al,
2006) adalah proses berfikir yang dilakukan seseorang dengan mempertimbangkan
keuntungan atau kerugian yang akan didapat, sebelum akhirnya membuat keputusan
dalam perilaku menolong berbagi atau memberikan rasa nyaman pada orang lain.
e. Faktor kepribadian dan disposisi.
Beberapa aspek kepribadian, terutama yang berhubungan dengan temperamen,
memiliki hubungan dengan perilaku prososial. Faktor – faktor yang termasuk di
dalamnya adalah keramahan dan self esteem. Keramahan ditemukan memiliki
hubungan yang lebih tinggi dengan kemunculan perilaku prososial yang sifatnya
lebih spontan dan ditujukan kepada orang yang tidak dikenal serta dalam setting
yang juga tidak dikenal dibandingkan dengan perilaku prososial kepada anggota
keluarga di rumah.
Selain itu, ditemukan pula terdapat hubungan yang positif antara self esteem
anak dan kecenderungan prososial mereka. Penelitian yang dilakukan pada anak
kelas empat Sekolah Dasar hingga SMA ditemukan bahwa anak yang sering
memunculkan perilaku prososial memiliki konsep diri yang positif, memiliki self
efficacy yang tinggi, dan cenderung memiliki skema diri yang prososial.
Berdasarkan teori di atas maka faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku
prososial di antaranya faktor genetis, budaya, keluarga, kemampuan kognitif dan sosio
10
kognitif serta kepribadian dan disposisi. Adapun kecerdasan emosional termasuk juga
pada faktor kepribadian.
Aspek – aspek Perilaku Prososial
Tipe perilaku prososial yang dibuat oleh Carlo dan Randall (2002) dalam jurnal The
Development of a Measure of Prosocial Behaviors for Late Adolescent, menjelaskan
bahwa ada 6 aspek perilaku prososial yaitu:
1. Altruism: yaitu tindakan seseorang menolong karena simpati bila melihat korban
sangat membutuhkan pertolongan.
2. Compliant: yaitu tindakan seseorang menolong bila diminta bantuan (verbal maupun
non verbal).
3. Emotional: yaitu tindakan seseorang menolong bila situasi sangat emosional bagi
penolong.
4. Public: yaitu tindakan seseorang menolong untuk mendapatkan penghargaan dari
orang lain.
5. Anonymous: yaitu tindakan seseorang menolong dengan tidak memberitahu identitas
(korban tidak tahu identitas penolong).
6. Dire: yaitu tindakan seseorang menolong secara langsung dalam situasi krisis.
Perilaku prososial pada anak memiliki tiga bentuk (dalam Eisenberg et al, 2006),
yaitu :
1. Berbagi, yaitu perilaku yang dilakukan ketika anak memberikan barang
kepunyaannya kepada orang lain atau memperbolehkan orang lain menggunakan
barang kepunyaannya secara sementara.
2. Menolong, yaitu perilaku yang dilakukan ketika anak berusaha untuk meringankan
kebutuhan non emosi orang lain.
11
3. Memberi rasa aman, yaitu perilaku yang dilakukan ketika anak berusaha
meringankan kebutuhan emosi orang lain.
Berdasarkan penjelasan dari beberapa teori di atas maka aspek-aspek yang
mempengaruhi perilaku prososial peneliti ambil dari teori Carlo dan Randall (2002) di
mana menurut peneliti, aspek perilaku prososial dari Carlo dan Randall (2002) sudah
cukup mewakili dari seluruh teori yang ada. Adapun aspek perilaku prososial di
antaranya altruism, compliant, emotional, public, anonymous dan dire.
Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Prososial pada Remaja
Fenomena menurunnya perilaku prososial pada remaja saat ini banyak terlihat dari
rendahnya perilaku tolong menolong pada remaja. Perilaku prososial dapat diartikan
sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong
orang lain tanpa memperdulikan motif–motif si penolong (Sears, 1991). Perilaku
prososial (Myers dalam Sarwono, 2002)
merupakan tingkah laku positif yang
menguntungkan atau membuat kondisi fisik/psikis orang lain menjadi lebih baik yang
dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengharapkan imbalan dari orang lain.
Ada beberapa faktor penyebab menurunnya perilaku prososial pada remaja, salah
satunya adalah kecerdasan emosi. Menurut penelitian dari Husada (2013) bahwa
seorang remaja yang dapat berperilaku sosial karena dirinya memiliki kecerdasan emosi
yang tinggi, di samping faktor pola pengasuhan orangtua yang demokratis. Selain itu,
menurut Bradberry dan Luc (2006) juga dinyatakan bahwa seseorang dengan
kecerdasan emosional yang tinggi cenderung membentuk kompetensi seseorang dalam
menyadari emosi yang dimilikinya, mampu mengelola emosinya dan mampu mengelola
konflik
antar
personal.
Kemampuan
tersebut
12
berdampak
pada
kemampuan
menyelesaikan
permasalahan
dengan
baik
dan
memaksimalkan
kemampuan
penyesuaian diri dengan lingkungan.
Penelitian Rufaida (2009) menunjukkan hasil bahwa ada hubungan positif yang
sangat signifikan antara tingkat kecerdasan emosi dengan perilaku prososial. Seseorang
yang memiliki kecerdasan emosional yang baik dapat mengendalikan emosinya. Emosi
yang terkendali menyebabkan orang mampu berfikir secara lebih baik, melihat
persoalan secara objektif (Walgito, 2004). Hasil penelitian dari Haryati (2013) juga
menunjukkan bahwa seseorang yang matang emosinya dan memiliki religiusitas yang
baik cenderung menunjukkan perilaku prososial yang tinggi.
Hipotesis
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka peneliti merumuskan hipotesis
sebagai berikut: Ada hubungan positif dan signifikan antara Kecerdasan Emosional
dengan Perilaku Prososial pada Remaja.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan berdasarkan analisisnya adalah penelitian
kuantitatif.
Metode Pengumpulan Data dan Alat Ukur
Pengumpulan data yang digunakan untuk kedua variabel penelitian ini adalah
metode skala:
1. Skala Kecerdasan Emosi
Pengukuran skala Kecerdasan Emosi peneliti adopsi berdasarkan skala yang
disusun oleh Schutte (1998) yang didasarkan pada teori Salovey (dalam Goleman,
13
2001). Skala Kecerdasan Emosi dari Schutte ini memiliki validitas internal
consistency replication dengan koefisien Cronbah Alpha sebesar 0,87, dan koefisien
reliabilitas dengan test-retest reliability sebesar 0,78 (Schutte 1998:173).
Berdasarkan hasil analisis reliabilitas dari program SPSS 10.0 terhadap skala
kecerdasan emosional dalam penelitian ini diperoleh hasil validitas internal tiap
aitem terhadap total (di luar aitem yang dikorelasikan) sebagaimana ditunjukkan
oleh koefisien Corrected Item-Total Correlation. Validitas internal tiap aitem pada
33 aitem skala Kecerdasan Emosional ternyata ada 2 aitem memiliki koefisien
korelasi kurang dari 0,300 yaitu aitem no X14 sebesar – 0,110 dan aitem no X18
sebesar 0,177. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kedua aitem tersebut
dikeluarkan dari proses analisis selanjutnya. Setelah dianalisis ulang terhadap 31
aitem skala Kecerdasan Emosional hasilnya menunjukkan koefisien korelasi
Corrected Item-Total Correlation berkisar antara: 0,303 - 0,611 dan koefisien
reliabilitas Cronbah Alpha pada 31 aitem skala Kecerdasan Emosional sebesar
0,889.
2. Skala perilaku prososial
Pengukuran skala perilaku prososial peneliti adopsi berdasarkan skala yang di
susun oleh Carlo dan Randall (2002). Adapun aspek perilaku prososial dari Carlo
dan Randall (2002) diantaranya altruism, compliance, emotional, public, anonymous
dan dire. Skala perilaku prososial dari Carlo dan Randall ini memiliki validitas
aitem (internal consistency) dengan koefisien Cronbah Alpha berkisar antara 0,62 0,88, dan koefisien reliabilitas dengan test-retest reliability sebesar 0,60, 0,75, 0,72,
0,80, 0,73, dan 0,60 (Carlo dan Randall, 2002:41).
14
Berdasarkan hasil analisis reliabilitas dengan program SPSS 10.0 terhadap
skala Perilaku Prososial diperoleh hasil validitas internal tiap aitem terhadap
total (di luar aitem yang dikorelasikan) sebagaimana ditunjukkan oleh koefisien
Corrected Item-Total Correlation. Validitas internal tiap aitem pada 23 aitem skala
Perilaku
Prososial
menunjukkan
koefisien
korelasi
Corrected
Item-Total
Correlation berkisar antara: 0,372 - 0,733. dan koefisien reliabilitas Cronbah Alpha
pada 23 aitem skala Perilaku Prososial sebesar 0,917.
Hasil validitas dan reliabilitas yang demikian ini berarti skala Kecerdasan
Emosional dan Perilaku Prososial adalah valid (sah atau sahih) dan reliabel (atau
dapat dipercaya) untuk instrument penelitian.
Sampel dan Teknik Sampling
Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pelajar SMA Kristen Satya Wacana di
Salatiga yang berusia 15 - 18 tahun. Asumsinya adalah pada usia ini remaja memasuki
tahapan identitas dan kekacauan diri yang merupakan tahap dalam psikososial dari Erik
Erikson di mana tahapan ini sangat menentukan perkembangan emosi di masa
dewasanya nanti. Jumlah populasi pelajar SMA Kristen Satya Wacana di Salatiga
adalah 457 pelajar yang terdiri dari 6 kelas X, 6 kelas XI, dan 5 Kelas XII. Sampel
dalam penelitian ini adalah responden yang diambil dari populasi tersebut dengan
menggunakan teknik sampling berikut ini.
Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu teknik
penentuan sampel berdasarkan kriteria sampel yang sudah ditentukan (Sugiyono, 2007,
h.59). Dalam penelitian ini yang dijadikan sampel adalah Kelas X dan Kelas XI yang
15
terdiri dari 2 Kelas Budaya dan Bahasa (BB), 2 Kelas IPS, dan 3 Kelas Matematika dan
IPA (MIA). Ketujuh kelas ini ditentukan secara insidental berdasarkan perolehan ijin
pengambilan data yang diberikan/ ditunjukkan oleh pihak sekolah SMA Kristen Satya
Wacana di Salatiga.
Pengolahan Data
Data hasil skala kecerdasan emosi dan skala perilaku prososial yang telah diisi
oleh responden diskoring 1 hingga 5 yaitu: STS (Sangat Tidak Sesuai), TS (Tidak
Sesuai), N (Netral), S (Sesuai), SS (Sangat Sesuai). Pemberian skor bergerak dari
rentang nilai satu (STS) sampai dengan lima (SS) untuk aitem-aitem favourable,
sedangkan untuk aitem-aitem unfavourable pemberian skor bergerak dari lima (STS)
sampai dengan nilai satu (SS).
Data penelitian hasil skoring diolah secara analisis statistik dengan program
Statistical Packages for Social Sciences (SPSS) 17.0 for Windows. Analisis data dalam
penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan: koefisien validitas dan reliabilitas, statistik
deskriptif, uji linearitas, uji normalitas dan uji hipotesis (uji korelasi).
HASIL PENELITIAN
Data penelitian ini diambil pada tanggal 5 Februari 2015 di SMA Kristen Satya
Wacana di Salatiga kelas X.BB dengan jumlah 30 pelajar, kelas X.MIA.1 dengan
jumlah 27 pelajar, kelas X.MIA.3 dengan jumlah 28 pelajar, kelas X.IS.1 dengan jumlah
27 pelajar, kelas XI.BB dengan jumlah 22 pelajar, kelas XI.MIA.3 dengan jumlah 29
pelajar dan kelas XI.IS.2 dengan jumlah 26 pelajar. Jadi jumlah responden yang diberi
angket penelitian ini adalah 189 orang.
Alat pengambil data yang digunakan adalah Skala Kecerdasan Emosional
sebanyak 33 aitem dan Skala Perilaku Prososial sebanyak 23 aitem. Sebelum meminta
16
subjek untuk mengisi skala, peneliti memberitahukan petunjuk pengisian skala tersebut.
Selama pengisian skala, peneliti menunggu subjek sampai selesai. Setelah subjek sudah
selesai mengisi skala, peneliti mengumpulkan hasil skala yang telah diisi.
Data dalam penelitian ini dianalisis statistik dengan menggunakan program SPSS
17.0 for Windows. Sebelum dianalisis data disortir yang tidak memenuhi syarat
dikeluarkan dari data seperti usia subjek kurang dari 15 tahun atau lebih besar dari 18
tahun. Hasilnya menghasilkan 172 data subjek yang memenuhi syarat dijadikan sampel
penelitian untuk dianalisis.
Deskripsi Statistik Penelitian
Analisis data deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek
penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subjek yang
diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis. Berdasarkan skor yang
didapat, maka diperoleh gambaran umum mengenai hubungan antara regulasi diri
dengan kecenderungan adiksi game online pada remaja. Berdasarkan hasil analisis,
diperoleh mean empirik, mean hipotetik sebagai berikut :
Variabel
Kecerdasan
emosi
Perilaku
prososial
Tabel 1
Gambaran umum Skor Variabel-variabel penelitian
Statistik
Hipotetik
Empirik
Skor minimal
31
82
Skor maksimal
155
138
Mean
93
115,98
Standart Deviation
15,5
12,83
Skor minimal
23
57
Skor maksimal
115
113
Mean
69
81,82
Standart Deviation
11,5
13,41
Sumber : Data primer yang diolah, 2015
17
Deskripsi variabel Kecerdasan Emosional
Berdasarkan nilai mean dan standard deviasi disusunlah kategorisasi subjek
penelitian untuk tiap variabel. Tujuan dari kategorisasi adalah untuk menempatkan
individu ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu
kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 2007:107).
Tabel 2
Kategorisasi variabel Kecerdasan Emosi
Jumlah
Kategori
Jenjang
subjek
Bobot
Sangat Rendah
≤ 62
22
12,79%
Rendah
62 < X ≤ 77,5
18
10,47%
Sedang
77,5 < X ≤108,5
50
29,07%
Tinggi
108,5< X ≤124
82
47,67%
Sangat Tinggi
X > 124
0
Total
0%
100%
Berdasarkan kategorisasi kecerdasan emosi dapat dilihat bahwa Me = 115,98; Mh =
93 dan SDh = 15,5 artinya kecerdasan emosi yang dimiliki remaja di SMA Kristen
Satya Wacana dalam kategori tinggi dan yang lainnya tersebar dalam level sedang
sebanyak 29,07%, level rendah sebanyak 10,47% dan level sangat rendah 12,79%.
Deskripsi variable Perilaku Prososial
Hasil analisis distribusi frekuensi subjek untuk variabel Perilaku Prososial
dipaparkan dalam Tabel 3.
18
Tabel 3
Kategorisasi variabel Perilaku Prososial
Jumlah
Kategori
Jenjang
subjek
Bobot
Sangat Rendah
≤ 46
12
6,98%
Rendah
46 < X ≤ 57,5
24
13,95%
Sedang
57,5 < X ≤80,5
53
30,81%
Tinggi
80,5< X ≤92
69
40,12%
Sangat Tinggi
X > 92
14
8,14%
Total
100%
Berdasarkan kategorisasi perilaku prososial dapat dilihat bahwa Me = 81,82; Mh =
69 dan SDh = 11,5 artinya perilaku prososial yang dimiliki remaja di SMA Kristen
Satya Wacana dalam kategori tinggi dan yang lainnya tersebar dalam level sedang
sebanyak 30,81%, level rendah sebanyak 13,95% dan level sangat rendah 6,98%,
level sangat tinggi 8,14%
Hasil Uji Asumsi
Hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan
metode analisis
Korelasi Product Moment dari Pearson. Sebelum menguji kebenaran hipotesis
penelitian ini dilakukan uji asumsi sebagaimana dipersyaratkan dalam menggunaan
statistik parametrik yaitu Korelasi Product Moment. Uji asumsi yang dimaksud adalah
uji normalitas dan uji linearitas.
Uji Normalitas
Data tiap variabel penelitian ini diuji dengan menggunakan program uji normalitas
sebaran. Perhitungan normalitas sebaran dilakukan dengan menggunakan teknik analisis
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test (K-SZ) dari program SPSS 17.0.
19
Tabel 4. Uji normalitas Variabel Kecerdasan Emosional dan Perilaku Prososial
N
Normal
Parameters(a,b)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Kecerdasan Emosional
172
115,9767
Mean
Perilaku Prososial
172
81,8198
12,82813
13,40538
0,100
0,048
0,099
0,095
-0,100
1,311
-0,099
1,297
0,064
0,069
Std. Deviation
Most Extreme
Differences
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a Test distribution is Normal.
b Calculated from data.
Sumber : Data primer diolah, 2015
Uji normalitas pada variabel Kecerdasan Emosional menghasilkan koefisien K-SZ
sebesar 1,311 dengan p = 0,064 ( p>0,05). Uji normalitas pada variabel Perilaku
Prososial menghasilkan koefisien K-SZ sebesar 1,297 dengan p = 0,069 (p>0,05).
Berdasarkan uji normalitas tersebut dapat disimpulkan bahwa distribusi dari kedua
variabel tersebut adalah tersebar secara normal.
Uji Linearitas
Tujuan dari uji linearitas untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel
penelitian. Hubungan yang linear menggambarkan bahwa perubahan pada satu variabel
cenderung diikuti oleh perubahan pada variabel lain dengan membentuk garis linear.
Hasil pengujian statistik Anova Linearity dengan program SPSS 17.0 dipaparkan pada
tabel Anova berikut ini.
20
Tabel 5. Uji Linearitas Variabel Kecerdasan Emosional terhadap Perilaku
Prososial
ANOVA Table
Sum of
Squares
Kecerdasan
Emosional*
Perilaku
Prososial
Between
Groups
Mean
Square
df
F
Sig.
(Combined)
11646,315
49
237,680
1,520
0,034
Linearity
6683,798
1
6683,798
42,730
0,000
Deviation from
Linearity
4962,517
48
103,386
0,661
0,948
Within Groups
19083,098 122
156,419
Total
30729,413 171
Sumber : Data primer diolah, 2015
Uji linearitas variabel Kecerdasan Emosional terhadap variabel Perilaku Prososial
menghasilkan nilai F penyimpangan linearitas sebesar 0,661 dengan nilai signifikansi =
0,948 (α > 0,05 atau p > 0,05)) pada deviation from linearity sehingga dapat dibuktikan
bahwa pada taraf kepercayaan 95% persebaran variabel Kecerdasan Emosional terhadap
variabel Perilaku Prososial tidak terjadi penyimpangan secara signifikan terhadap
sebaran linearitas.
Hasil Uji Hipotesis dan Interpretasi
Hasil analisis Korelasi Product Moment dari Pearson dengan program SPSS 17.0
antara variabel Kecerdasan Emosional dan variabel Perilaku Prososial menunjukkan
koefisien korelasi rxy = 0,466 pada taraf signifikansi 0,000 (p < 0,05) sebagaimana
tampak pada tabel 6.
21
Tabel 6. Korelasi Variabel Kecerdasan Emosional dan Perilaku Prososial
Correlations
Kecerdasan Emosional
Pearson Correlation
Kecerdasan
Emosional
Sig. (2-tailed)
1
0,466**
.
0,000
N
Perilaku
Prososial
Perilaku Prososial
172
Pearson Correlation
0,466**
Sig. (2-tailed)
0,000
N
172
1
.
172
172
** Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed).
Sumber : Data primer diolah, 2015
Berdasarkan hasil analisis korelasi pada tabel 6 tersebut, terbukti secara statistik
bahwa terdapat hubungan korelasional yang positif dan signifikan antara variabel
Kecerdasan Emosional dan Perilaku Prososial pada remaja, sebagaimana ditunjukkan
dengan hasil koefisien korelasi rxy = 0,466 pada signifikansi = 0,000 (p < 0,05). Ini
berarti hipotesis yang menyatakan ada hubungan positif dan signifikan antara
Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Prososial pada Remaja diterima.
Dengan diterimanya Hipotesis tersebut bermakna semakin tinggi skor Kecerdasan
Emosional yang dimiliki remaja maka semakin tinggi pula
kecenderungan skor
Perilaku Prososialnya. Demikian juga sebaliknya semakin rendah skor Kecerdasan
Emosional yang dimiliki remaja maka semakin rendah pula kecenderungan skor
Perilaku Prososialnya. Ini berarti hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis penelitian
yang diajukan sebelumnya.
Untuk melihat seberapa besar sumbangan efektif variabel Kecerdasan Emosional
terhadap kecenderungan mempengaruhi Perilaku Prososial dapat dilihat dari koefisien
determinan dari hasil analisis Regresi dengan program SPSS 17.0 yang ditunjukkan nilai
22
R Square sebesar 0,218. Ini berarti Kecerdasan Emosional memberikan sumbangan
efektif terhadap kecenderungan Perilaku Prososial sebesar 21,8%, dan sisanya 78,2%
ditentukan oleh faktor-faktor lain.
Pembahasan Hasil Penelitian
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa ada hubungan korelasional yang
positif
dan signifikan
antara Kecerdasan Emosional dan Perilaku Prososial pada
remaja, sebagaimana ditunjukkan dengan hasil koefisien korelasi rxy = 0,466; dan
signifikansi = 0,000 (p < 0,05). Hubungan korelasional positif dan signifikan ini berarti
semakin tinggi Kecerdasan Emosional yang dimiliki remaja maka semakin tinggi pula
kecenderungan Perilaku Prososial. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah
Kecerdasan Emosional yang dimiliki remaja maka semakin rendah pula kecenderungan
Perilaku Prososial. Hasil penelitian ini berarti sesuai dengan hipotesis penelitian yang
diajukan sebelumnya.
Berdasarkan tingkat signifikansi yang dimiliki untuk uji dua sisi yaitu nilai
signifikansi = 0,000 (p < 0,01) berarti ada hubungan korelasi positif antara Kecerdasan
Emosional terhadap kecenderungan Perilaku Prososial pada remaja adalah sangat
signifikan. Dengan kata lain, tingkat kepercayaan dari kesimpulan berdasarkan hasil
penelitian ini bahwa ada hubungan korelasi positif antara Kecerdasan Emosional
terhadap kecenderungan Perilaku Prososial pada remaja 99% adalah benar dan dapat
dipercaya.
Hal ini menunjukkan bukti secara statistik bahwa hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hasil penelitian Asih dan Pratiwi (2010)
menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi dan empati sangat mempengaruhi perilaku
prososial seseorang.
Seseorang yang secara emosional cerdas akan cepat dapat
23
mengenali emosi yang sedang dialaminya, dan dengan segera dapat mengelola emosi
yang muncul (Mathews dkk, 2002). Potensi tersebut akan berdampak pada kemampuan
menyelesaikan
permasalahan
dengan
baik
dan
memaksimalkan
kemampuan
penyesuaian diri dengan lingkungan. Sedangkan tidak adanya kompetensi tersebut dapat
menyebabkan kekacauan dalam kejiwaan yang dapat berupa depresi (Smith dan
Blackwood, 2004). Ketidakmampuan mengelola emosi akan menyebabkan seseorang
jatuh pada keadaan emosi negatif, hal ini terkait erat dengan peningkatan derajat depresi
(Verstraeten, 2008).
Husada (2013) menyimpulkan bahwa seorang remaja dapat berperilaku sosial
karena dirinya memiliki kecerdasan emosi yang tinggi di samping faktor pola
pengasuhan orangtua yang demokratis. Hasil penelitian Rufaida (2009) menunjukkan
bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara tingkat kecerdasan emosi
dengan perilaku prososial. Seseorang memiliki kecerdasan emosional yang baik dapat
mengendalikan emosinya. Emosi yang terkendali menyebabkan orang mampu berfikir
secara lebih baik, melihat persoalan secara objektif (Walgito, 2004). Juga hasil
penelitian Haryati (2013) menunjukkan bahwa seseorang yang matang emosinya dan
memiliki religiusitas yang baik akan menunjukkan perilaku prososial yang tinggi.
Hal ini juga sejalan dengan teori Bradberry dan Luc (2006) yang menyatakan
bahwa seseorang dengan kecerdasan emosional tinggi akan membentuk kompetensi
seseorang dalam menyadari emosi yang dimilikinya, sehingga mampu
mengelola
emosinya dan mampu mengelola konflik antar personal. Kemampuan tersebut
berdampak pada kemampuan menyelesaikan permasalahan dengan baik dan
memaksimalkan kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan.
24
Salovey (2007) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. Hurlock (1999) juga
mengatakan bahwa kecerdasan emosi sebagai tidak meledaknya emosi di hadapan
oranng lain melainkan
menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk
mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Kecerdasan
emosi menurut Salovey (2007) memiliki lima aspek yaitu kesadaran diri, pengaturan
diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Kecerdasan emosi pada remaja di
penelitian ini tergolong tinggi yang ditunjukkan dengan distribusi subjek cenderung
berkategorisasi Tinggi Ini berarti remaja di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga ini
rata-rata memiliki kemampuan kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan
ketrampilan sosial yang cukup baik.
Perilaku prososial pada remaja juga tergolong tinggi, hal ini
dapat dilihat
dengan distribusi subjek cenderung berkategorisasi Tinggi ini berarti remaja memiliki
keinginan menolong orang lain yang cukup tinggi. Eisenberg dan Wang (dikutip
Santrock, 2007) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan memiliki perilaku prososial
bila dirinya memiliki kepedulian terhadap keadaan dan hak orang lain, perhatian dan
empati pada orang lain serta berbuat sesuatu yang memberikan manfaat bagi orang lain.
Perilaku prososial dapat memberikan pengaruh bagaimana individu melakukan interaksi
sosial
Hasil penelitian ini memberi harapan baru bagi para orang tua yang memiliki
anak remaja bahwa mayoritas para remaja ternyata berperilaku prososial meningkat,
dalam arti mereka melakukan berbagai bentuk perencanaan atau tindakan untuk
25
menolong orang lain tanpa memperdulikan motif-motif si penolong (Sears, 1991).
Mayoritas mereka (Sarwono, 2002) bertingkah laku positif yang menguntungkan atau
membuat kondisi fisik/psikis orang lain menjadi lebih baik yang dilakukan atas dasar
sukarela tanpa mengharapkan imbalan dari orang lain. Hasil ini sekaligus membuktikan
ketidakbenaran adanya fenomena yang menyatakan menurunnya perilaku prososial pada
remaja saat ini banyak terlihat dari rendahnya perilaku tolong menolong pada remaja.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis uji hipotesis dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara Kecerdasan Emosional dengan
Perilaku Prososial pada remaja. Korelasi positif ini bermakna semakin tinggi
Kecerdasan Emosional yang dimiliki remaja maka semakin tinggi pula kecenderungan
Perilaku Prososialnya. Demikian sebaliknya, semakin rendah Kecerdasan Emosional
yang dimiliki remaja maka semakin rendah pula kecenderungan Perilaku Prososialnya.
Jadi hasil penelitian ini terbukti sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan.
Saran
1. Bagi Remaja
Remaja perlu meningkatkan kecerdasan emosionalnya agar perilaku
prososialnya juga meningkat. Untuk meningkatkan kecerdasan emosional dirinya
dapat dilakukan dengan cara menyadari emosi yang dimiliki dan mengendalikan
atau mengelola emosinya sehingga mampu berfikir secara lebih baik dan dapat
melihat segala persoalan secara objektif, serta mampu mengelola konflik antar
personal. Di samping itu, Remaja diharapkan dapat lebih mengembangkan perilaku
26
prososialnya dengan memiliki kesadaran diri, memiliki rasa empati, serta melatih
ketrampilan sosialnya dengan teman sebaya.
2. Bagi Guru
Para guru diharapkan tetap memberikan perhatian dan dukungan kepada
remaja (pelajar) dengan mengajak remaja untuk saling berdialog antar guru dan
siswa, guru dapat memahami karakteristik dari setiap siswanya terutama siswa yang
bermasalah serta lebih mengutamakan sharing dan diskusi dalam memecahkan
permasalahan pada siswa yang bermasalah.
3. Bagi Peneliti berikutnya
Peneliti lain yang tertarik meneliti kecerdasan emosional dan perilaku
prososial, dapat mengkaji faktor-faktor lainnya seperti: konsep diri, pola pengasuhan
orangtua, tipe kepribadian, motivasi diri, kepercayaan diri, self esteem, self efficacy,
skema diri, atau meneliti variabel yang sama dengan setting sasaran remaja dengan
latar pendidikan luar sekolah atau remaja dengan latar belakang sosial budaya yang
beragam.
27
DAFTAR PUSTAKA
Aronson, L. (2005). Morality Play. Psychology Today. Academic Research Library. 38
(1). 26.
Asih, G.Y., & Pratiwi, M.M.S. (2010). Perilaku Prososial Ditinjau dari Empati dan
Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus. Vol.1, No.1,
Desember 2010 (33-42).
Arbadiati, C & Kurniati, T. (2007). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan
Kecenderungan Problem Focused Coping pada Sales. Pesat, Vol. 2 No. 2.
Azwar, S. (2004). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi kedua. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
-------.(2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baron, R.A & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh. jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
Bierhof, H.W. (2002). Social Psycholoy a Modular Course: Prosocial Behaviour. New
York: Psychology Press.
Bradberry, T.R. & Luc, D.S. (2006). Ability versus skill-based assessment of emotional
intelligence. Psicothema, vol. 18, pp 59-66.
Carlo, R & Randall, B.A.(2002). The Development of a Measure of Prosocial Behavior
for Late Adolescents. Journal of Youth and Adolescence, 31, 1 (February 2002),
pp. 31-44.
Dayakisni, T & Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. Edisi revisi. Malang: UMM Press.
Davidoff, L.L. (1991). Psikologi Suatu Pengantar (edisi ke-2). Jilid 2. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Eisenberg, N., Guthrie, I.K., Murphy, B.C., Shepard, S.A., Cumberland, A & Carlo, G.
(2006). Consistency and Development of Prosocial Dispositions: A Longitudinal
Study. Child Development, 70:1360-1372.
Faturochman & Pratikto, P. (2012). Kepercayaan diri, Kematangan emosi, Pola asuh
orangtua demokratis dan Kenakalan remaja. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia.
Vol. 1. No.2. September 2012.
Goleman, D. (2001). Kecerdasan Emosional untuk Mencapai Puncak Pretasi.
Terjemahan Widodo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Haryati, T.D. (2013). Kematangan Emosi, Religiusitas dan Perilaku Prososial Perawat
di Rumah Sakit. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 2. No. 2. Hal 162-172.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Husada, A.K. (2013). Hubungan Pola Asuh Demokratis dan Kecerdasan Emosi dengan
Perilaku Prososial pada Remaja. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 2, No.
3, hal. 266-277.
Irianto, A (2010). Statistik: Konsep Dasar, Aplikasi dan Pengembangannya. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
28
Kartono. K (1995). Hygiene Mental. Bandung: Mandar Maju.
Mahmud. (2003). Hubungan antara Gaya Pengasuhan Orangtua dengan Tingkah Laku
Prososial Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 11. No.1.
Mathews, G., Zeidner M. & Roberts, R.D. (2002). Emotional Intelligence: Science and
Myth. Massachusetts: The MIT Press.
Monks, F.J & Knoers, A.M.P. (1996). Psikologi Perkembangan (edisi keenambelas).
Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.
Ngermanto, A. (2003). Quantum: QUOTIENT: Cara Praktis Melejitkan SQ, EQ, sq
yang harmonis. Bandung: Nuansa.
Osho. (2008). Emotional Learning (Belajar Efektif Mengelola Emosi: Mengubah
ketakutan, kemarahan, dan kecemburuan menjadi energy. Yogyakarta: BAC.
Radke-Yarrow M, Zahn-Waxler C, & Chapman M. (1983). Children’s prosocial
dispositions and behavior. Handbook of child psychology: Vol. 4. Socialization,
personality, and social development. (7th ed.). New York: John Wiley.
Rufaida, A. F. (2009). Hubungan Antara Tingkat Kematangan Emosi dengan Tingkah
Perilaku Prososial Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang. Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang.
Sarwono, W.S.(2002). Psikologi Lingkungan. Jakarta: CV Remaja Karya.
Sabiq, Zamzani & Djalali, M. As’ad. (2012). Kecerdasan emosi, Kecerdasan spiritual
dan Perilaku Prososial Santri Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Pamekasan.
Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 1.No. 2. Hal. 53-65. September 2012.
Salovey, P. (2007). Emotional Intelligence: Key Reading On The Mayer and Salovey
Model. Port Chester: New York, pp: 1-18.
Santrock, J.W. (2007). Remaja. Edisi kesebelas. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Schutte, N.S. (1998). Development and Validation of Measure of Emotional
Intelligence. Journal of Personality and Individual differences. Vol. 25, pp: 167177.
Sears, O.D., Freedman, A & Paplau, A.L. (1991). Psikologi Sosial. Jilid dua. Jakarta:
Erlangga.
Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Sugiyono. (2007). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfa Beta.
Smith, D.J. & Blackwood, D.H.R. (2004). Depression in young adults. Psychiatry
Bulettin. United Kingdom: University of Edinburgh, no. 10, pp: 2-14.
Verstraeten, K., Vasey, M., Raes, F. & Bijttebier P. (2008). Temperament and risk for
depressive symptoms in adolescence: mediation by rumination and moderation by
effortful control. Journal of Abnormal Child Psychology, no. 37, vol. 3, pp: 349361.
Walgito, B. (2004). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi offset.
Yuniardi, S.(2004). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.
29
Download