i HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA OLEH GUNEVIELLA FEBRELIAN WINNIARTHY 802008008 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 i i i ii iii HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA Guneviella Febrelian Winniarthy Berta Esti Ari Prasetya Enjang Wahyuningrum Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 iv i ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku prososial. Sampel yang digunakan adalah pelajar SMA Kristen Satya Wacana salatiga dan berusia 15 – 18 tahun. Teknik sampling yang digunakan incidental sampling. Jumlah sampel yang digunakan berjumlah 172 orang (kelas X dan kelas XI). Metode pengumpulan data pada variable kecerdasan emosi diadopsi dari Schutte (1998) yang didasarkan pada teori Salovey (2007) yang memiliki lima aspek kecerdasan emosi yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Pada variable perilaku prososial di adopsi berdasarkan skala yang di susun oleh Carlo dan Randall (2002). Adapun aspek perilaku prososial dari Carlo dan Randall (2002) diantaranya altruism, compliance, emotional, dire, anonymous dan public. Hasil penelitian ini diperoleh nilai korelasi product moment rxy = 0,466 ; p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti terdapat hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada remaja. Nilai koefisien determinasi sebesar 21,8 % artinya kecerdasan emosi memberikan sumbangan terhadap munculnya perilaku prososial remaja sebesar 21,8 % dan sisanya 78,2 % ditentukan oleh faktor-faktor lain. Kata kunci : Perilaku prososial, kecerdasan emosional. i ABSTRACT This study aims to investigate the relationship between emotional intelligence and prosocial behavior. The sample used was a high school student Kristen Satya Wacana Discourse Salatiga and aged 15-18 years. The sampling technique used incidental sampling. The number of samples used were 172 people (class X and XI). The method of collecting data on emotional intelligence variable adopted from Schutte (1998) which is based on the theory Salovey (2007) which has five aspects of emotional intelligence is self-awareness, self-regulation, self-motivation, empathy and social skills. The variable prosocial behavior in the adoption by the scale collated by Carlo and Randall (2002). The prosocial behavior aspects of Carlo and Randall (2002) including altruism, compliance, emotional, dire, anonymous and public. The results of this study showed the value of the product moment correlation r xy = 0.466 ; p = 0.000 (p < 0.05), which means that there is a positive and significant relationship between emotional intelligence on prosocial behavior in adolescents. Value of determination coefficient of 21.8 % means that emotional intelligence contributes to the emergence of adolescence prosocial behavior by 21.8 % and the remaining 78.2 % is determined by other factors. Keywords : Prosocial behaviour, emotional intelligence. ii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Saat ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa masyarakat pada kehidupan yang serba praktis dan individual, sehingga kepedulian sosial antar individupun menjadi berkurang. Sears (1991) menyatakan bahwa masing-masing individu bukanlah semata-mata makhluk tunggal yang mampu hidup sendiri, melainkan sebagai makhluk sosial yang sangat bergantung pada individu lain. Seseorang dikatakan berperilaku prososial jika individu tersebut menolong individu lain tanpa memperdulikan motif-motif si penolong, timbul karena adanya penderitaan yang dialami oleh orang lain dalam bentuk aktivitas: saling membantu, saling menghibur, persahabatan, penyelamatan, pengorbanan, kemurahan hati, dan saling membagi. Fenomena menurunnya perilaku prososial ini juga terjadi pada remaja di lingkungan SMA Kristen Satya Wacana Salatiga. Berdasarkan hasil wawancara peneliti di bulan Juli 2014 dengan 10 siswa di SMA Kristen Satya Wacana, semisal saat ada seorang teman yang berkeinginan meminjam buku catatan, tidak ada teman yang meminjamkan buku catatan yang diinginkan, dengan alasan dirinya bukanlah teman dekatnya. Selain itu juga rendahnya perilaku prososial remaja di sana juga ditunjukkan saat ada temannya yang sakit hanya teman-teman terdekat saja yang menjenguknya, sedangkan lainnya tidak perduli. Hal tersebut bila tidak diatasi maka bisa menyebabkan semakin rendahnya sikap prososial remaja terhadap orang lain. Eisenberg dan Wang (dikutip Santrock, 2007) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan memiliki perilaku prososial bila dirinya 1memiliki kepedulian terhadap keadaan dan hak orang lain, perhatian dan empati pada orang lain serta berbuat sesuatu 1 yang memberikan manfaat bagi orang lain. Perilaku prososial dapat memberikan pengaruh bagaimana individu melakukan interaksi sosial. Sears (1991) memberikan pemahaman mendasar bahwa masing-masing individu bukanlah semata-mata makhluk tunggal yang mampu hidup sendiri, melainkan sebagai makhluk sosial yang sangat bergantung pada individu lain, individu tidak dapat menikmati hidup yang wajar dan bahagia tanpa lingkungan sosial. Seseorang dikatakan berperilaku prososial jika individu tersebut menolong individu lain tanpa memperdulikan motif-motif si penolong, timbul karena adanya penderitaan yang dialami oleh orang lain yang meliputi saling membantu, saling menghibur, persahabatan, penyelamatan, pengorbanan, kemurahan hati, dan saling membagi. Individu yang memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan tindakan prososial, biasanya memiliki karakteristik kepribadian salah satunya yakni memiliki kecerdasan emosi (Wilson dan Petruska dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya perilaku prososial adalah kecerdasan emosional yang dimiliki oleh individu. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sabiq dan Djalali (2012), ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual dengan perilaku prososial. Hal ini juga dibuktikan dengan hasil penelitian Asih dan Pratiwi (2010) bahwa kecerdasan emosi dan empati sangat mempengaruhi perilaku prososial seseorang. Seseorang yang secara emosional cerdas akan cepat dapat mengenali emosi yang sedang dialaminya, dan dengan segera dapat mengelola emosi yang muncul (Mathews dkk, 2002). Potensi tersebut akan berdampak pada kemampuan menyelesaikan permasalahan dengan baik dan memaksimalkan kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan. Sedangkan tidak adanya kompetensi tersebut dapat menyebabkan kekacauan dalam kejiwaan yang dapat berupa depresi 2 (Smith dan Blackwood, 2004). Ketidakmampuan mengelola emosi akan menyebabkan seseorang jatuh pada keadaan emosi negatif, hal ini terkait erat dengan peningkatan derajat depresi (Verstraeten, 2008). Berdasarkan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, peneliti ingin membuktikan bagaimana kaitan antara kecerdasan emosi dengan perilaku prososial yang terjadi pada remaja awal usia 15 - 18 tahun di SMA Kristen Satya Wacana ini. Rendahnya perilaku prososial yang ditunjukkan para remaja di SMA tersebut, maka peneliti berkeinginan mengambil sampel pada remaja awal. Pada usia ini diasumsikan remaja memasuki tahapan identitas dan kekacauan diri yang merupakan tahapan dalam psikososial dari Erik Erikson dimana pada tahap ini sebagai penentu perkembangan emosi di masa dewasa nantinya. Dengan kata lain kecerdasan emosi yang dimiliki pada remaja awal cenderung masih rendah. Kartono (1995) mengartikan kecerdasan emosi sebagai suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional. Oleh karena itu, pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan perilaku emosional seperti pada masa kanakkanak. Arbadiati dan Kurniati (2007) mengatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi pasti memiliki kemampuan dalam merasakan emosi, mengelola dan memanfaatkan emosi secara tepat sehingga memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu peneliti berkeinginan untuk meneliti lebih jauh bagaimana hubungan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada remaja awal di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian ini dengan merumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah ada hubungan 3 yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada remaja di Salatiga? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku prososial pada remaja di Salatiga. TINJAUAN PUSTAKA Kecerdasan Emosional Pengertian Kecerdasan Emosional Seseorang yang telah mencapai kecerdasan emosi dapat mengendalikan emosinya. Emosi yang terkendali menyebabkan orang mampu berpikir secara lebih baik, melihat persoalan secara objektif (Walgito, 2004). Salovey (2007) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. Hurlock (1999) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai tidak meledaknya emosi di hadapan orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Jadi dari teori–teori di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk bertindak secara tepat dalam menyelesaikan permasalahan, mampu mengendalikan luapan emosi dan mampu mengantisipasi secara kritis setiap permasalahan sesuai dengan situasi dan kondisi. 4 Ciri -ciri Kecerdasan Emosional Menurut Salovey (dikutip Goleman, 2000) ada lima ciri-ciri dalam kecerdasan emosional yaitu: a. Kesadaran diri. Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. b. Pengaturan diri. Kemampuan dalam menangani emosi diri sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi. c. Motivasi. Kemampuan menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu diri mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. d. Empati. Kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. 5 e. Keterampilan sosial. Kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. Jersild (dalam Sobur, 2003) menjelaskan ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan emosi, antara lain: a. Penerimaan diri yang baik. Individu yang memiliki kematangan emosi akan dapat menerima kondisi fisik maupun psikisnya, baik secara pribadi maupun secara sosial. b. Kemampuan dalam mengontrol emosi. Dorongan yang muncul dalam diri individu untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dikendalikan dan diorganisasikan ke arah yang baik. c. Objektif. Individu akan memandang kejadian berdasarkan dunia orang lain dan tidak hanya dari sudut pandang pribadi. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan emosional adalah: mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, dan mengenali emosi orang lain. Adapun peneliti mengambil ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan emosional ini didasarkan pada teori Salovey karena teori yang dikemukakannya sudah melingkupi dari teori-teori lainnya. 6 Perilaku Prososial Pengertian Perilaku Prososial Baron dan Byrne (2005), menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong. Aronson et al (2005) menyatakan perilaku prososial adalah melakukan perbuatan apapun yang bertujuan menguntungkan orang lain. Yuniardi (2004) mendefinisikan perilaku prososial merupakan kesediaan orangorang untuk membantu atau menolong orang lain yang ada dalam kondisi distress (menderita) atau mengalami kesulitan. Faturochman dan Pratikto (2012) juga menyatakan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi positif pada orang lain. Berdasarkan beberapa penjelasan dari teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang memiliki konsekuensi positif dengan cara memberi bantuan pada orang lain secara materiil ataupun psikologis demi meningkatkan kesejahteraan orang lain. Faktor-faktor Perilaku Prososial Secara umum, faktor-faktor perilaku prososial dapat dibagi menjadi beberapa faktor (Eisenberg et al, 2006) yaitu: a. Faktor genetis. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zahn-Waxler et al (dalam Eisenberg et al, 2006) terhadap anak kembar menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari faktor genetis terhadap munculnya perilaku prososial pada anak hingga anak 7 berusia 20 bulan. Setelah anak tumbuh lebih dewasa, perilaku prososial lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. b. Faktor budaya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perilaku prososial lebih sering muncul pada daerah yang lebih menghargai nilai prososial dan komunal seperti daerah Aitutaki, Jawa dan suku Papago di Arizona. Sementara pada daerah lain seperti Ik (Uganda) dan Alorese (pulau di Jawa bagian timur) perilaku prososial lebih jarang muncul dan sebaliknya perilaku kekerasan yang lebih sering muncul. Hal itu dapat terjadi kemungkinan karena adanya perbedaan nilai tiap budaya yang terkait dengan perilaku prososial sehingga mempengaruhi proses sosialisasi awal dari perilaku prososial di budaya tersebut. c. Faktor keluarga. Banyak faktor dalam keluarga yang dilaporkan dapat memengaruhi kemunculan perilaku prososial pada seseorang. Beberapa di antaranya adalah struktur keluarga, ukuran keluarga, urutan kelahiran dan pengasuhan orangtua. Dalam penelitian yang dilakukan Rehberg dan Richman (dalam Eisenberg et al, 2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa anak usia prasekolah dari keluarga tanpa ayah menunjukkan perilaku memberikan rasa nyaman kepada teman sebaya yang lebih tinggi dari pada anak dari keluarga utuh. Penelitian mengenai pengaruh ukuran keluarga terhadap perilaku prososial anak juga menunjukkan hasil yang beragam. Penelitian mengenai ukuran jumlah anggota keluarga dan perilaku prososial dari Zaff et al (dalam Eisenberg et al, 2006) juga menunjukkan bahwa anak dari ukuran jumlah anggota keluarga yang lebih besar cenderung lebih sering menjadi sukarelawan dan lebih cenderung 8 menunjukkan perilaku menolong dan berbagi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena adanya tuntutan terhadap anak untuk lebih terlibat dalam tugas rumah tangga. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa urutan kelahiran juga memiliki pengaruh dalam munculnya perilaku prososial. Menurut Sharma (dalam Eisenberg et al, 2006), anak pertama terutama anak perempuan akan cenderung menunjukkan perilaku memberi kepada teman yang lebih tinggi. Perilaku prososial anak pertama juga ditemukan lebih sering muncul dibandingkan adik-adiknya pada hubungan saudara kandung. Hasil-hasil penelitian tentang pengasuhan orangtua juga banyak ditemukan memiliki pengaruh terhadap perilaku prososial anak. Anak cenderung memunculkan perilaku menolong yang lebih tinggi jika dirinya menghabiskan lebih banyak waktu dan melakukan banyak aktivitas bersama orangtua (Eberly dan Montemayor dalam Eisenberg et al, 2006). Selain itu, penelitian lain menyatakan bahwa reaksi yang cepat dari ibu terhadap kebutuhan anaknya yang berusia 9 bulan akan memprediksi kemunculan empati dan prosocial responsiveness ketika anak berusia 22 bulan (Van der Mark et al, dalam Eisenberg et al, 2006). d. Faktor kemampuan kognitif dan sosiokognitif. Beberapa ahli menyatakan bahwa kemampuan kognitif dan sosio kognitif anak dapat mempengaruhi kemunculan perilaku prososial anak, di antaranya perspective taking skill dan penalaran moral perilaku prososial (Batson, Eisenberg dan Hoffman dalam Eisenberg et al, 2006). Perspective taking skill adalah kemampuan seseorang untuk berfikir dari sudut pandang orang lain dan juga memahami perasaan serta pemikiran orang lain (Santrock, 2007). Hoffman (dalam Eisenberg et al, 2006) juga 9 menyatakan bahwa perspective taking skill pada anak penting dalam mengembangkan kemampuan anak untuk membedakan distress dirinya dan orang lain serta untuk memahami reaksi emosional orang lain. Kemampuan itulah yang akhirnya dapat meningkatkan perilaku prososial anak. Penalaran moral perilaku prososial menurut Shaffer (dalam Eisenberg et al, 2006) adalah proses berfikir yang dilakukan seseorang dengan mempertimbangkan keuntungan atau kerugian yang akan didapat, sebelum akhirnya membuat keputusan dalam perilaku menolong berbagi atau memberikan rasa nyaman pada orang lain. e. Faktor kepribadian dan disposisi. Beberapa aspek kepribadian, terutama yang berhubungan dengan temperamen, memiliki hubungan dengan perilaku prososial. Faktor – faktor yang termasuk di dalamnya adalah keramahan dan self esteem. Keramahan ditemukan memiliki hubungan yang lebih tinggi dengan kemunculan perilaku prososial yang sifatnya lebih spontan dan ditujukan kepada orang yang tidak dikenal serta dalam setting yang juga tidak dikenal dibandingkan dengan perilaku prososial kepada anggota keluarga di rumah. Selain itu, ditemukan pula terdapat hubungan yang positif antara self esteem anak dan kecenderungan prososial mereka. Penelitian yang dilakukan pada anak kelas empat Sekolah Dasar hingga SMA ditemukan bahwa anak yang sering memunculkan perilaku prososial memiliki konsep diri yang positif, memiliki self efficacy yang tinggi, dan cenderung memiliki skema diri yang prososial. Berdasarkan teori di atas maka faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku prososial di antaranya faktor genetis, budaya, keluarga, kemampuan kognitif dan sosio 10 kognitif serta kepribadian dan disposisi. Adapun kecerdasan emosional termasuk juga pada faktor kepribadian. Aspek – aspek Perilaku Prososial Tipe perilaku prososial yang dibuat oleh Carlo dan Randall (2002) dalam jurnal The Development of a Measure of Prosocial Behaviors for Late Adolescent, menjelaskan bahwa ada 6 aspek perilaku prososial yaitu: 1. Altruism: yaitu tindakan seseorang menolong karena simpati bila melihat korban sangat membutuhkan pertolongan. 2. Compliant: yaitu tindakan seseorang menolong bila diminta bantuan (verbal maupun non verbal). 3. Emotional: yaitu tindakan seseorang menolong bila situasi sangat emosional bagi penolong. 4. Public: yaitu tindakan seseorang menolong untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain. 5. Anonymous: yaitu tindakan seseorang menolong dengan tidak memberitahu identitas (korban tidak tahu identitas penolong). 6. Dire: yaitu tindakan seseorang menolong secara langsung dalam situasi krisis. Perilaku prososial pada anak memiliki tiga bentuk (dalam Eisenberg et al, 2006), yaitu : 1. Berbagi, yaitu perilaku yang dilakukan ketika anak memberikan barang kepunyaannya kepada orang lain atau memperbolehkan orang lain menggunakan barang kepunyaannya secara sementara. 2. Menolong, yaitu perilaku yang dilakukan ketika anak berusaha untuk meringankan kebutuhan non emosi orang lain. 11 3. Memberi rasa aman, yaitu perilaku yang dilakukan ketika anak berusaha meringankan kebutuhan emosi orang lain. Berdasarkan penjelasan dari beberapa teori di atas maka aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku prososial peneliti ambil dari teori Carlo dan Randall (2002) di mana menurut peneliti, aspek perilaku prososial dari Carlo dan Randall (2002) sudah cukup mewakili dari seluruh teori yang ada. Adapun aspek perilaku prososial di antaranya altruism, compliant, emotional, public, anonymous dan dire. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Prososial pada Remaja Fenomena menurunnya perilaku prososial pada remaja saat ini banyak terlihat dari rendahnya perilaku tolong menolong pada remaja. Perilaku prososial dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa memperdulikan motif–motif si penolong (Sears, 1991). Perilaku prososial (Myers dalam Sarwono, 2002) merupakan tingkah laku positif yang menguntungkan atau membuat kondisi fisik/psikis orang lain menjadi lebih baik yang dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengharapkan imbalan dari orang lain. Ada beberapa faktor penyebab menurunnya perilaku prososial pada remaja, salah satunya adalah kecerdasan emosi. Menurut penelitian dari Husada (2013) bahwa seorang remaja yang dapat berperilaku sosial karena dirinya memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, di samping faktor pola pengasuhan orangtua yang demokratis. Selain itu, menurut Bradberry dan Luc (2006) juga dinyatakan bahwa seseorang dengan kecerdasan emosional yang tinggi cenderung membentuk kompetensi seseorang dalam menyadari emosi yang dimilikinya, mampu mengelola emosinya dan mampu mengelola konflik antar personal. Kemampuan tersebut 12 berdampak pada kemampuan menyelesaikan permasalahan dengan baik dan memaksimalkan kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan. Penelitian Rufaida (2009) menunjukkan hasil bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara tingkat kecerdasan emosi dengan perilaku prososial. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik dapat mengendalikan emosinya. Emosi yang terkendali menyebabkan orang mampu berfikir secara lebih baik, melihat persoalan secara objektif (Walgito, 2004). Hasil penelitian dari Haryati (2013) juga menunjukkan bahwa seseorang yang matang emosinya dan memiliki religiusitas yang baik cenderung menunjukkan perilaku prososial yang tinggi. Hipotesis Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: Ada hubungan positif dan signifikan antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Prososial pada Remaja. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan berdasarkan analisisnya adalah penelitian kuantitatif. Metode Pengumpulan Data dan Alat Ukur Pengumpulan data yang digunakan untuk kedua variabel penelitian ini adalah metode skala: 1. Skala Kecerdasan Emosi Pengukuran skala Kecerdasan Emosi peneliti adopsi berdasarkan skala yang disusun oleh Schutte (1998) yang didasarkan pada teori Salovey (dalam Goleman, 13 2001). Skala Kecerdasan Emosi dari Schutte ini memiliki validitas internal consistency replication dengan koefisien Cronbah Alpha sebesar 0,87, dan koefisien reliabilitas dengan test-retest reliability sebesar 0,78 (Schutte 1998:173). Berdasarkan hasil analisis reliabilitas dari program SPSS 10.0 terhadap skala kecerdasan emosional dalam penelitian ini diperoleh hasil validitas internal tiap aitem terhadap total (di luar aitem yang dikorelasikan) sebagaimana ditunjukkan oleh koefisien Corrected Item-Total Correlation. Validitas internal tiap aitem pada 33 aitem skala Kecerdasan Emosional ternyata ada 2 aitem memiliki koefisien korelasi kurang dari 0,300 yaitu aitem no X14 sebesar – 0,110 dan aitem no X18 sebesar 0,177. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kedua aitem tersebut dikeluarkan dari proses analisis selanjutnya. Setelah dianalisis ulang terhadap 31 aitem skala Kecerdasan Emosional hasilnya menunjukkan koefisien korelasi Corrected Item-Total Correlation berkisar antara: 0,303 - 0,611 dan koefisien reliabilitas Cronbah Alpha pada 31 aitem skala Kecerdasan Emosional sebesar 0,889. 2. Skala perilaku prososial Pengukuran skala perilaku prososial peneliti adopsi berdasarkan skala yang di susun oleh Carlo dan Randall (2002). Adapun aspek perilaku prososial dari Carlo dan Randall (2002) diantaranya altruism, compliance, emotional, public, anonymous dan dire. Skala perilaku prososial dari Carlo dan Randall ini memiliki validitas aitem (internal consistency) dengan koefisien Cronbah Alpha berkisar antara 0,62 0,88, dan koefisien reliabilitas dengan test-retest reliability sebesar 0,60, 0,75, 0,72, 0,80, 0,73, dan 0,60 (Carlo dan Randall, 2002:41). 14 Berdasarkan hasil analisis reliabilitas dengan program SPSS 10.0 terhadap skala Perilaku Prososial diperoleh hasil validitas internal tiap aitem terhadap total (di luar aitem yang dikorelasikan) sebagaimana ditunjukkan oleh koefisien Corrected Item-Total Correlation. Validitas internal tiap aitem pada 23 aitem skala Perilaku Prososial menunjukkan koefisien korelasi Corrected Item-Total Correlation berkisar antara: 0,372 - 0,733. dan koefisien reliabilitas Cronbah Alpha pada 23 aitem skala Perilaku Prososial sebesar 0,917. Hasil validitas dan reliabilitas yang demikian ini berarti skala Kecerdasan Emosional dan Perilaku Prososial adalah valid (sah atau sahih) dan reliabel (atau dapat dipercaya) untuk instrument penelitian. Sampel dan Teknik Sampling Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah pelajar SMA Kristen Satya Wacana di Salatiga yang berusia 15 - 18 tahun. Asumsinya adalah pada usia ini remaja memasuki tahapan identitas dan kekacauan diri yang merupakan tahap dalam psikososial dari Erik Erikson di mana tahapan ini sangat menentukan perkembangan emosi di masa dewasanya nanti. Jumlah populasi pelajar SMA Kristen Satya Wacana di Salatiga adalah 457 pelajar yang terdiri dari 6 kelas X, 6 kelas XI, dan 5 Kelas XII. Sampel dalam penelitian ini adalah responden yang diambil dari populasi tersebut dengan menggunakan teknik sampling berikut ini. Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kriteria sampel yang sudah ditentukan (Sugiyono, 2007, h.59). Dalam penelitian ini yang dijadikan sampel adalah Kelas X dan Kelas XI yang 15 terdiri dari 2 Kelas Budaya dan Bahasa (BB), 2 Kelas IPS, dan 3 Kelas Matematika dan IPA (MIA). Ketujuh kelas ini ditentukan secara insidental berdasarkan perolehan ijin pengambilan data yang diberikan/ ditunjukkan oleh pihak sekolah SMA Kristen Satya Wacana di Salatiga. Pengolahan Data Data hasil skala kecerdasan emosi dan skala perilaku prososial yang telah diisi oleh responden diskoring 1 hingga 5 yaitu: STS (Sangat Tidak Sesuai), TS (Tidak Sesuai), N (Netral), S (Sesuai), SS (Sangat Sesuai). Pemberian skor bergerak dari rentang nilai satu (STS) sampai dengan lima (SS) untuk aitem-aitem favourable, sedangkan untuk aitem-aitem unfavourable pemberian skor bergerak dari lima (STS) sampai dengan nilai satu (SS). Data penelitian hasil skoring diolah secara analisis statistik dengan program Statistical Packages for Social Sciences (SPSS) 17.0 for Windows. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan: koefisien validitas dan reliabilitas, statistik deskriptif, uji linearitas, uji normalitas dan uji hipotesis (uji korelasi). HASIL PENELITIAN Data penelitian ini diambil pada tanggal 5 Februari 2015 di SMA Kristen Satya Wacana di Salatiga kelas X.BB dengan jumlah 30 pelajar, kelas X.MIA.1 dengan jumlah 27 pelajar, kelas X.MIA.3 dengan jumlah 28 pelajar, kelas X.IS.1 dengan jumlah 27 pelajar, kelas XI.BB dengan jumlah 22 pelajar, kelas XI.MIA.3 dengan jumlah 29 pelajar dan kelas XI.IS.2 dengan jumlah 26 pelajar. Jadi jumlah responden yang diberi angket penelitian ini adalah 189 orang. Alat pengambil data yang digunakan adalah Skala Kecerdasan Emosional sebanyak 33 aitem dan Skala Perilaku Prososial sebanyak 23 aitem. Sebelum meminta 16 subjek untuk mengisi skala, peneliti memberitahukan petunjuk pengisian skala tersebut. Selama pengisian skala, peneliti menunggu subjek sampai selesai. Setelah subjek sudah selesai mengisi skala, peneliti mengumpulkan hasil skala yang telah diisi. Data dalam penelitian ini dianalisis statistik dengan menggunakan program SPSS 17.0 for Windows. Sebelum dianalisis data disortir yang tidak memenuhi syarat dikeluarkan dari data seperti usia subjek kurang dari 15 tahun atau lebih besar dari 18 tahun. Hasilnya menghasilkan 172 data subjek yang memenuhi syarat dijadikan sampel penelitian untuk dianalisis. Deskripsi Statistik Penelitian Analisis data deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis. Berdasarkan skor yang didapat, maka diperoleh gambaran umum mengenai hubungan antara regulasi diri dengan kecenderungan adiksi game online pada remaja. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh mean empirik, mean hipotetik sebagai berikut : Variabel Kecerdasan emosi Perilaku prososial Tabel 1 Gambaran umum Skor Variabel-variabel penelitian Statistik Hipotetik Empirik Skor minimal 31 82 Skor maksimal 155 138 Mean 93 115,98 Standart Deviation 15,5 12,83 Skor minimal 23 57 Skor maksimal 115 113 Mean 69 81,82 Standart Deviation 11,5 13,41 Sumber : Data primer yang diolah, 2015 17 Deskripsi variabel Kecerdasan Emosional Berdasarkan nilai mean dan standard deviasi disusunlah kategorisasi subjek penelitian untuk tiap variabel. Tujuan dari kategorisasi adalah untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 2007:107). Tabel 2 Kategorisasi variabel Kecerdasan Emosi Jumlah Kategori Jenjang subjek Bobot Sangat Rendah ≤ 62 22 12,79% Rendah 62 < X ≤ 77,5 18 10,47% Sedang 77,5 < X ≤108,5 50 29,07% Tinggi 108,5< X ≤124 82 47,67% Sangat Tinggi X > 124 0 Total 0% 100% Berdasarkan kategorisasi kecerdasan emosi dapat dilihat bahwa Me = 115,98; Mh = 93 dan SDh = 15,5 artinya kecerdasan emosi yang dimiliki remaja di SMA Kristen Satya Wacana dalam kategori tinggi dan yang lainnya tersebar dalam level sedang sebanyak 29,07%, level rendah sebanyak 10,47% dan level sangat rendah 12,79%. Deskripsi variable Perilaku Prososial Hasil analisis distribusi frekuensi subjek untuk variabel Perilaku Prososial dipaparkan dalam Tabel 3. 18 Tabel 3 Kategorisasi variabel Perilaku Prososial Jumlah Kategori Jenjang subjek Bobot Sangat Rendah ≤ 46 12 6,98% Rendah 46 < X ≤ 57,5 24 13,95% Sedang 57,5 < X ≤80,5 53 30,81% Tinggi 80,5< X ≤92 69 40,12% Sangat Tinggi X > 92 14 8,14% Total 100% Berdasarkan kategorisasi perilaku prososial dapat dilihat bahwa Me = 81,82; Mh = 69 dan SDh = 11,5 artinya perilaku prososial yang dimiliki remaja di SMA Kristen Satya Wacana dalam kategori tinggi dan yang lainnya tersebar dalam level sedang sebanyak 30,81%, level rendah sebanyak 13,95% dan level sangat rendah 6,98%, level sangat tinggi 8,14% Hasil Uji Asumsi Hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan metode analisis Korelasi Product Moment dari Pearson. Sebelum menguji kebenaran hipotesis penelitian ini dilakukan uji asumsi sebagaimana dipersyaratkan dalam menggunaan statistik parametrik yaitu Korelasi Product Moment. Uji asumsi yang dimaksud adalah uji normalitas dan uji linearitas. Uji Normalitas Data tiap variabel penelitian ini diuji dengan menggunakan program uji normalitas sebaran. Perhitungan normalitas sebaran dilakukan dengan menggunakan teknik analisis One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test (K-SZ) dari program SPSS 17.0. 19 Tabel 4. Uji normalitas Variabel Kecerdasan Emosional dan Perilaku Prososial N Normal Parameters(a,b) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kecerdasan Emosional 172 115,9767 Mean Perilaku Prososial 172 81,8198 12,82813 13,40538 0,100 0,048 0,099 0,095 -0,100 1,311 -0,099 1,297 0,064 0,069 Std. Deviation Most Extreme Differences Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a Test distribution is Normal. b Calculated from data. Sumber : Data primer diolah, 2015 Uji normalitas pada variabel Kecerdasan Emosional menghasilkan koefisien K-SZ sebesar 1,311 dengan p = 0,064 ( p>0,05). Uji normalitas pada variabel Perilaku Prososial menghasilkan koefisien K-SZ sebesar 1,297 dengan p = 0,069 (p>0,05). Berdasarkan uji normalitas tersebut dapat disimpulkan bahwa distribusi dari kedua variabel tersebut adalah tersebar secara normal. Uji Linearitas Tujuan dari uji linearitas untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel penelitian. Hubungan yang linear menggambarkan bahwa perubahan pada satu variabel cenderung diikuti oleh perubahan pada variabel lain dengan membentuk garis linear. Hasil pengujian statistik Anova Linearity dengan program SPSS 17.0 dipaparkan pada tabel Anova berikut ini. 20 Tabel 5. Uji Linearitas Variabel Kecerdasan Emosional terhadap Perilaku Prososial ANOVA Table Sum of Squares Kecerdasan Emosional* Perilaku Prososial Between Groups Mean Square df F Sig. (Combined) 11646,315 49 237,680 1,520 0,034 Linearity 6683,798 1 6683,798 42,730 0,000 Deviation from Linearity 4962,517 48 103,386 0,661 0,948 Within Groups 19083,098 122 156,419 Total 30729,413 171 Sumber : Data primer diolah, 2015 Uji linearitas variabel Kecerdasan Emosional terhadap variabel Perilaku Prososial menghasilkan nilai F penyimpangan linearitas sebesar 0,661 dengan nilai signifikansi = 0,948 (α > 0,05 atau p > 0,05)) pada deviation from linearity sehingga dapat dibuktikan bahwa pada taraf kepercayaan 95% persebaran variabel Kecerdasan Emosional terhadap variabel Perilaku Prososial tidak terjadi penyimpangan secara signifikan terhadap sebaran linearitas. Hasil Uji Hipotesis dan Interpretasi Hasil analisis Korelasi Product Moment dari Pearson dengan program SPSS 17.0 antara variabel Kecerdasan Emosional dan variabel Perilaku Prososial menunjukkan koefisien korelasi rxy = 0,466 pada taraf signifikansi 0,000 (p < 0,05) sebagaimana tampak pada tabel 6. 21 Tabel 6. Korelasi Variabel Kecerdasan Emosional dan Perilaku Prososial Correlations Kecerdasan Emosional Pearson Correlation Kecerdasan Emosional Sig. (2-tailed) 1 0,466** . 0,000 N Perilaku Prososial Perilaku Prososial 172 Pearson Correlation 0,466** Sig. (2-tailed) 0,000 N 172 1 . 172 172 ** Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed). Sumber : Data primer diolah, 2015 Berdasarkan hasil analisis korelasi pada tabel 6 tersebut, terbukti secara statistik bahwa terdapat hubungan korelasional yang positif dan signifikan antara variabel Kecerdasan Emosional dan Perilaku Prososial pada remaja, sebagaimana ditunjukkan dengan hasil koefisien korelasi rxy = 0,466 pada signifikansi = 0,000 (p < 0,05). Ini berarti hipotesis yang menyatakan ada hubungan positif dan signifikan antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Prososial pada Remaja diterima. Dengan diterimanya Hipotesis tersebut bermakna semakin tinggi skor Kecerdasan Emosional yang dimiliki remaja maka semakin tinggi pula kecenderungan skor Perilaku Prososialnya. Demikian juga sebaliknya semakin rendah skor Kecerdasan Emosional yang dimiliki remaja maka semakin rendah pula kecenderungan skor Perilaku Prososialnya. Ini berarti hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan sebelumnya. Untuk melihat seberapa besar sumbangan efektif variabel Kecerdasan Emosional terhadap kecenderungan mempengaruhi Perilaku Prososial dapat dilihat dari koefisien determinan dari hasil analisis Regresi dengan program SPSS 17.0 yang ditunjukkan nilai 22 R Square sebesar 0,218. Ini berarti Kecerdasan Emosional memberikan sumbangan efektif terhadap kecenderungan Perilaku Prososial sebesar 21,8%, dan sisanya 78,2% ditentukan oleh faktor-faktor lain. Pembahasan Hasil Penelitian Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa ada hubungan korelasional yang positif dan signifikan antara Kecerdasan Emosional dan Perilaku Prososial pada remaja, sebagaimana ditunjukkan dengan hasil koefisien korelasi rxy = 0,466; dan signifikansi = 0,000 (p < 0,05). Hubungan korelasional positif dan signifikan ini berarti semakin tinggi Kecerdasan Emosional yang dimiliki remaja maka semakin tinggi pula kecenderungan Perilaku Prososial. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah Kecerdasan Emosional yang dimiliki remaja maka semakin rendah pula kecenderungan Perilaku Prososial. Hasil penelitian ini berarti sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan sebelumnya. Berdasarkan tingkat signifikansi yang dimiliki untuk uji dua sisi yaitu nilai signifikansi = 0,000 (p < 0,01) berarti ada hubungan korelasi positif antara Kecerdasan Emosional terhadap kecenderungan Perilaku Prososial pada remaja adalah sangat signifikan. Dengan kata lain, tingkat kepercayaan dari kesimpulan berdasarkan hasil penelitian ini bahwa ada hubungan korelasi positif antara Kecerdasan Emosional terhadap kecenderungan Perilaku Prososial pada remaja 99% adalah benar dan dapat dipercaya. Hal ini menunjukkan bukti secara statistik bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hasil penelitian Asih dan Pratiwi (2010) menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi dan empati sangat mempengaruhi perilaku prososial seseorang. Seseorang yang secara emosional cerdas akan cepat dapat 23 mengenali emosi yang sedang dialaminya, dan dengan segera dapat mengelola emosi yang muncul (Mathews dkk, 2002). Potensi tersebut akan berdampak pada kemampuan menyelesaikan permasalahan dengan baik dan memaksimalkan kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan. Sedangkan tidak adanya kompetensi tersebut dapat menyebabkan kekacauan dalam kejiwaan yang dapat berupa depresi (Smith dan Blackwood, 2004). Ketidakmampuan mengelola emosi akan menyebabkan seseorang jatuh pada keadaan emosi negatif, hal ini terkait erat dengan peningkatan derajat depresi (Verstraeten, 2008). Husada (2013) menyimpulkan bahwa seorang remaja dapat berperilaku sosial karena dirinya memiliki kecerdasan emosi yang tinggi di samping faktor pola pengasuhan orangtua yang demokratis. Hasil penelitian Rufaida (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara tingkat kecerdasan emosi dengan perilaku prososial. Seseorang memiliki kecerdasan emosional yang baik dapat mengendalikan emosinya. Emosi yang terkendali menyebabkan orang mampu berfikir secara lebih baik, melihat persoalan secara objektif (Walgito, 2004). Juga hasil penelitian Haryati (2013) menunjukkan bahwa seseorang yang matang emosinya dan memiliki religiusitas yang baik akan menunjukkan perilaku prososial yang tinggi. Hal ini juga sejalan dengan teori Bradberry dan Luc (2006) yang menyatakan bahwa seseorang dengan kecerdasan emosional tinggi akan membentuk kompetensi seseorang dalam menyadari emosi yang dimilikinya, sehingga mampu mengelola emosinya dan mampu mengelola konflik antar personal. Kemampuan tersebut berdampak pada kemampuan menyelesaikan permasalahan dengan baik dan memaksimalkan kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan. 24 Salovey (2007) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. Hurlock (1999) juga mengatakan bahwa kecerdasan emosi sebagai tidak meledaknya emosi di hadapan oranng lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Kecerdasan emosi menurut Salovey (2007) memiliki lima aspek yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Kecerdasan emosi pada remaja di penelitian ini tergolong tinggi yang ditunjukkan dengan distribusi subjek cenderung berkategorisasi Tinggi Ini berarti remaja di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga ini rata-rata memiliki kemampuan kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial yang cukup baik. Perilaku prososial pada remaja juga tergolong tinggi, hal ini dapat dilihat dengan distribusi subjek cenderung berkategorisasi Tinggi ini berarti remaja memiliki keinginan menolong orang lain yang cukup tinggi. Eisenberg dan Wang (dikutip Santrock, 2007) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan memiliki perilaku prososial bila dirinya memiliki kepedulian terhadap keadaan dan hak orang lain, perhatian dan empati pada orang lain serta berbuat sesuatu yang memberikan manfaat bagi orang lain. Perilaku prososial dapat memberikan pengaruh bagaimana individu melakukan interaksi sosial Hasil penelitian ini memberi harapan baru bagi para orang tua yang memiliki anak remaja bahwa mayoritas para remaja ternyata berperilaku prososial meningkat, dalam arti mereka melakukan berbagai bentuk perencanaan atau tindakan untuk 25 menolong orang lain tanpa memperdulikan motif-motif si penolong (Sears, 1991). Mayoritas mereka (Sarwono, 2002) bertingkah laku positif yang menguntungkan atau membuat kondisi fisik/psikis orang lain menjadi lebih baik yang dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengharapkan imbalan dari orang lain. Hasil ini sekaligus membuktikan ketidakbenaran adanya fenomena yang menyatakan menurunnya perilaku prososial pada remaja saat ini banyak terlihat dari rendahnya perilaku tolong menolong pada remaja. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis uji hipotesis dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Prososial pada remaja. Korelasi positif ini bermakna semakin tinggi Kecerdasan Emosional yang dimiliki remaja maka semakin tinggi pula kecenderungan Perilaku Prososialnya. Demikian sebaliknya, semakin rendah Kecerdasan Emosional yang dimiliki remaja maka semakin rendah pula kecenderungan Perilaku Prososialnya. Jadi hasil penelitian ini terbukti sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan. Saran 1. Bagi Remaja Remaja perlu meningkatkan kecerdasan emosionalnya agar perilaku prososialnya juga meningkat. Untuk meningkatkan kecerdasan emosional dirinya dapat dilakukan dengan cara menyadari emosi yang dimiliki dan mengendalikan atau mengelola emosinya sehingga mampu berfikir secara lebih baik dan dapat melihat segala persoalan secara objektif, serta mampu mengelola konflik antar personal. Di samping itu, Remaja diharapkan dapat lebih mengembangkan perilaku 26 prososialnya dengan memiliki kesadaran diri, memiliki rasa empati, serta melatih ketrampilan sosialnya dengan teman sebaya. 2. Bagi Guru Para guru diharapkan tetap memberikan perhatian dan dukungan kepada remaja (pelajar) dengan mengajak remaja untuk saling berdialog antar guru dan siswa, guru dapat memahami karakteristik dari setiap siswanya terutama siswa yang bermasalah serta lebih mengutamakan sharing dan diskusi dalam memecahkan permasalahan pada siswa yang bermasalah. 3. Bagi Peneliti berikutnya Peneliti lain yang tertarik meneliti kecerdasan emosional dan perilaku prososial, dapat mengkaji faktor-faktor lainnya seperti: konsep diri, pola pengasuhan orangtua, tipe kepribadian, motivasi diri, kepercayaan diri, self esteem, self efficacy, skema diri, atau meneliti variabel yang sama dengan setting sasaran remaja dengan latar pendidikan luar sekolah atau remaja dengan latar belakang sosial budaya yang beragam. 27 DAFTAR PUSTAKA Aronson, L. (2005). Morality Play. Psychology Today. Academic Research Library. 38 (1). 26. Asih, G.Y., & Pratiwi, M.M.S. (2010). Perilaku Prososial Ditinjau dari Empati dan Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus. Vol.1, No.1, Desember 2010 (33-42). Arbadiati, C & Kurniati, T. (2007). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Kecenderungan Problem Focused Coping pada Sales. Pesat, Vol. 2 No. 2. Azwar, S. (2004). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. -------.(2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron, R.A & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial. Edisi kesepuluh. jilid 2. Jakarta: Erlangga. Bierhof, H.W. (2002). Social Psycholoy a Modular Course: Prosocial Behaviour. New York: Psychology Press. Bradberry, T.R. & Luc, D.S. (2006). Ability versus skill-based assessment of emotional intelligence. Psicothema, vol. 18, pp 59-66. Carlo, R & Randall, B.A.(2002). The Development of a Measure of Prosocial Behavior for Late Adolescents. Journal of Youth and Adolescence, 31, 1 (February 2002), pp. 31-44. Dayakisni, T & Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. Edisi revisi. Malang: UMM Press. Davidoff, L.L. (1991). Psikologi Suatu Pengantar (edisi ke-2). Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Eisenberg, N., Guthrie, I.K., Murphy, B.C., Shepard, S.A., Cumberland, A & Carlo, G. (2006). Consistency and Development of Prosocial Dispositions: A Longitudinal Study. Child Development, 70:1360-1372. Faturochman & Pratikto, P. (2012). Kepercayaan diri, Kematangan emosi, Pola asuh orangtua demokratis dan Kenakalan remaja. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 1. No.2. September 2012. Goleman, D. (2001). Kecerdasan Emosional untuk Mencapai Puncak Pretasi. Terjemahan Widodo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Haryati, T.D. (2013). Kematangan Emosi, Religiusitas dan Perilaku Prososial Perawat di Rumah Sakit. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 2. No. 2. Hal 162-172. Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Husada, A.K. (2013). Hubungan Pola Asuh Demokratis dan Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Prososial pada Remaja. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 2, No. 3, hal. 266-277. Irianto, A (2010). Statistik: Konsep Dasar, Aplikasi dan Pengembangannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 28 Kartono. K (1995). Hygiene Mental. Bandung: Mandar Maju. Mahmud. (2003). Hubungan antara Gaya Pengasuhan Orangtua dengan Tingkah Laku Prososial Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 11. No.1. Mathews, G., Zeidner M. & Roberts, R.D. (2002). Emotional Intelligence: Science and Myth. Massachusetts: The MIT Press. Monks, F.J & Knoers, A.M.P. (1996). Psikologi Perkembangan (edisi keenambelas). Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. Ngermanto, A. (2003). Quantum: QUOTIENT: Cara Praktis Melejitkan SQ, EQ, sq yang harmonis. Bandung: Nuansa. Osho. (2008). Emotional Learning (Belajar Efektif Mengelola Emosi: Mengubah ketakutan, kemarahan, dan kecemburuan menjadi energy. Yogyakarta: BAC. Radke-Yarrow M, Zahn-Waxler C, & Chapman M. (1983). Children’s prosocial dispositions and behavior. Handbook of child psychology: Vol. 4. Socialization, personality, and social development. (7th ed.). New York: John Wiley. Rufaida, A. F. (2009). Hubungan Antara Tingkat Kematangan Emosi dengan Tingkah Perilaku Prososial Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Sarwono, W.S.(2002). Psikologi Lingkungan. Jakarta: CV Remaja Karya. Sabiq, Zamzani & Djalali, M. As’ad. (2012). Kecerdasan emosi, Kecerdasan spiritual dan Perilaku Prososial Santri Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Pamekasan. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 1.No. 2. Hal. 53-65. September 2012. Salovey, P. (2007). Emotional Intelligence: Key Reading On The Mayer and Salovey Model. Port Chester: New York, pp: 1-18. Santrock, J.W. (2007). Remaja. Edisi kesebelas. Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Schutte, N.S. (1998). Development and Validation of Measure of Emotional Intelligence. Journal of Personality and Individual differences. Vol. 25, pp: 167177. Sears, O.D., Freedman, A & Paplau, A.L. (1991). Psikologi Sosial. Jilid dua. Jakarta: Erlangga. Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia. Sugiyono. (2007). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfa Beta. Smith, D.J. & Blackwood, D.H.R. (2004). Depression in young adults. Psychiatry Bulettin. United Kingdom: University of Edinburgh, no. 10, pp: 2-14. Verstraeten, K., Vasey, M., Raes, F. & Bijttebier P. (2008). Temperament and risk for depressive symptoms in adolescence: mediation by rumination and moderation by effortful control. Journal of Abnormal Child Psychology, no. 37, vol. 3, pp: 349361. Walgito, B. (2004). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi offset. Yuniardi, S.(2004). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press. 29