CORAL TRIANGLE INITIATIVE FOR CORAL REEFS, FISHERIES & FOOD SECURITIES Oleh: M. Eko Rudianto1 Di dunia ini terdapat 3 kawasan di katulistiwa yang merupakan pusat kenekaragaman hayati dunia, yaitu Amazone di Benua Amerika, Congo Basin di Afrika dan Coral Triangle di AsiaPacific. Amazone dikenal sebagai kawasan pusat keanekaragaman hayati flora, Congo Basin sebagai pusat kenakaragaman hayati fauna dan Coral Triangle sebagai kawasan pusat keanekaragaman hayati laut (Gambar 1). Coral Triangle merupakan kawasan yang membentang dari ujung utara Philiphina, pantai Timur Kalimantan sampai pulau Bali dan membentang ke arah paling timur Solomon Islands sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut paling tinggi di dunia. Keanekaragaman hayatinya bahkan disinyalir lebih tinggi dari kawasan terumbu karang paling terkenal didunia yaitu Great Barrier Reef di Australia (Gambar 1). Kawasan tersebut kemudian dikenal sebagai kawasan Coral Triangle (CT), karena bentuknya yang hampir menyerupai bentuk segitiga. Penentuan kawasan ini ditetapkan berdasarkan kriteria penemuan lebih dari 500 jenis karang di dalam wilayah perairannya. CT, sering juga disebut sebagai “Amazonnya Lautan” merupakan pusat keanekaragaman dan kelimpahan kehidupan laut di planet bumi. Di beberapa lokasi, CT memiliki lebih dari 600 jenis karang (lebih dari 75 persen jenis karang yang telah diketahui), 53 persen terumbu karang dunia, 3,000 jenis ikan, dan sebaran hutan bakau terbesar di dunia. Selain itu, CT menyediakan tempat pemijahan dan perkembangbiakan ikan tuna yang merupakan supplier bahan baku salah satu industri ikan tuna terbesar di dunia. Sumberdaya hayati CT secara langsung menopang kehidupan lebih dari 120 juta orang yang tinggal di kawasan ini serta memberikan manfaat bagi jutaan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Manfaat sumberdaya hayati tersebut bagi umat manusia meliputi: (a) Menopang mata pencaharian, pendapatan, dan ketahanan pangan – khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang garis pantai negara-negara Coral Triangle, (b) Nilai ekonomis terumbu karang, bakau dan eksosistem pesisir lain yang berasosiasi dengannya diperkirakan sebesar US$ 2.3 miliar per tahun, (c) Lokasi pemijahan dan pengembangbiakan tuna yang menopang multi-milyar industri perikanan tuna dan menyediakan ikan tuna bagi jutaan konsumer di segala penjuru dunia, (d) Sumberdaya laut yang sehat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan industri pariwisata alam di kawasan CT, (e) Ekosistem terumbu karang dan bakau yang sehat dapat melindungi masyarakat pesisir dari badai dan tsunami, sehingga mengurangi biaya rekonstruksi di masa yang akan datang dan kebutuhan bantuan internasional. Sayangnya sumberdaya hayati laut tersebut berada dalam ancaman dari berbagai faktor seperti penangkapan ikan berlebih (overfishing), penangkapan ikan secara destruktif, perubahan iklim, dan polusi. Gambar 1. 1 Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Sekretaris Eksekutif Sekretariat Regional Interim CTI-CFF Amazone Gambar 2. Congo-Basin Coral Triangle Terbangunnya Kerjasama Multilateral Upaya penyelamatan kawasan pusat keanekaragaman hayati laut tersebut telah dilakukan para pakar dan NGO sejak tahun 1990-an, namun masih terbatas pada pengumpulan data secara terus-menerus, promosi, proyek-proyek parsial dan aktivitas-aktivitas terbatas lainnya. Keterlibatan pemerintah keenam negara dalam upaya penyelamatan dan pengelolaan berkelanjutan dirasakan sangat mendesak untuk segera dilakukan. Menyadari hal tersebut, Presiden Republik Indonesia mulai menggulirkan upaya untuk mengajak keenam negara di kawasan tersebut untuk secara bersama-sama menyelamatkan kawasan warisan dunia tersebut. Diawali pada tahun 2006, Presiden RI dalam pidato tertuisnya pada COP 8 Convention on Biodiversity di Brazil mengajak negara-negara yang terletak di kawasan CT untuk menggalang kerjasama menyelamatkan kawasan tersebut. Setahun kemudian, pada bulan Juli 2007, secara resmi Presiden RI mengirimkan surat kepada enam kepala negara di kawasan CT untuk merealisasikan kerjasama yang pernah ditawarkan sebelumnya, sekaligus juga mengirimkan surat kepada Presiden Amerika Serikat dan PM Australia untuk meminta dukungan. Salah satu aksi nyata yang ditawarkan adalah agar kerjasama penyelamatan kawasan CT tersebut dapat diadopsi dalam deklarasi para kepala negara APEC yang akan diselenggarakan di Sydney pada bulan September 2010. Atas kerja keras delegasi Indonesia di pertemuan APEC tersebut dan juga dukungan yang cukup besar dari Presiden Philiphina, PM PNG, Australia dan Presiden Amerika maka akhirnya seluruh kepala negara APEC menyambut baik inisiatif tersebut. Inisiatif tersebut selanjutnya diberi nama Coral Triangle Initiative for Coral Reefs, Fisheries and Food Securities. Inisiatif tersebut terus bergulir dan sejak tahun 2007 sampai sekarang telah dilakukan pertemuan tingkat Menteri sebanyak dua kali dan pertemuan tingkat pejabat tinggi sebanyak lima kali. Puncaknya telah dilakukan pertemuan tingkat kepala negara pada tanggal 15 Mei 2009, bersamaan dengan pelaksanaan World Ocean Conference. Pada pertemuan Kepala Negara tersebut CTI Leaders Declaration diadopsi yang pada intinya menyatakan bahwa seluruh kepala negara sepakat untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan dan pengelolaan kawasan CT secara berkelanjutan melalui implementasi Regional Plan of Actions yang telah disepakati bersama. Regional Plan of Actions Regional Plan of Actions yang telah disepakati menggambarkan tujuan utama, target-target dan programprogram aksi tingkat regional yang perlu dilakukan untuk pencapaian tujuan. Sebanyak lima tujuan besar, sepuluh target dan 38 program aksi regional ditetapkan untuk dapat dilaksanakan sampai dengan tahun 2020. Lima tujuan utama tersebut antara lain (a) Penetapan dan pengelolaan secara efektif kawasan bioecoregional (seascapes), (b) Penerapan secara utuh pendekatan ekosistem untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya, (c) Penetapan dan pengelolaan secara efektif Jejaring Kawasan Konservasi Laut, (d) Adaptasi terhadap perubahan iklim dan (e) Membaiknya status spesies-spesies yang terancam punah. Kelima tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai melalui berbagai kegiatan baik di tingkat negara masing-masing maupun pada tingkat regional. Terkait dengan tujuan pertama yaitu 'Penetapan dan pengelolaan secara efektif kawasan bioecoregional (seascapes), menurut klasifikasi Marine Ecoregions of the World (MEOW) perairan laut Indonesia dapat dibagi menjadi 12 (dua belas) ecoregions/ kawasan bentang laut, di mana pada masing-masing bentang laut memiliki perbedaan dalam hal keanekaragaman spesies, endemisme, kelompok spesies yang terancam punah, tingkat keunikan bentang alam, dan perbedaan faktor lainnya (Gambar 3). Gambar 3 Seascapes di Perairan Indonesia Secara lebih spesifik menurut hasil evaluasi dari 16 (enam belas) ahli dari dalam dan luar negeri mengenai bentang laut Indonesia, dapat disimpulkan bahwa daerah Coral Triangle Initiative, yaitu bentang laut Papua, Banda Sea, Lesser Sundas, Macassar Straits-Sulawesi Sea, dan bentang laut Halmahera mempunyai nilai faktor keanekaragaman spesies, endemisme, kelompok spesies yang terancam punah, dan tingkat keunikan bentang alam yang tinggi bila dibandingkan dengan bentang laut di wilayah laut Indonesia yang lainnya. Penentuan lokasi seascapes prioritas dan pengelolaannya secara efektif tentu perlu didasarkan pada hal tersebut. Untuk itu, bentang laut Papua (termasuk didalamnya TN Teluk Cendrawasih dan Raja Ampat), Banda Sea (termasuk didalamnya TN Takabonerate dan Wakatobi), dan Bentang laut Leuser Sunda (termasuk didalamnya TNL Komodo dan TNL Sawu) merupakan kawasan-kawasan prioritas yang perlu disusun rencana pengelolaannya secara baik dan efektif). Tujuan kedua, „Penerapan secara utuh pendekatan ekosistem untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya‟, diharapkan dapat dicapai antara lain melalui penyediaan kerangka hukum, kebijakan dan perundang-undangan yang mendorong pengelolaan sumberdaya laut berbasis pendekatan ekosistem di masing-masing negara. Tujuan tersebut juga diharapkan dapat dicapai melalui peningkatkan kerjasama antar negara dalam menangani Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing). „Penetapan dan pengelolaan secara efektif Jejaring Kawasan Konservasi Laut‟ yang merupakan tujuan ketiga CTI diharapkan dapat dicapai melalui ditetapkannya laut sebagai kawasan konservasi laut untuk kemudian diharapkan dapat dikelola secara efektif. Indonesia sendiri telah menetapkan target kawasan konservasi laut seluas 10 juta hektar pada tahun 2010 dan 20 juta hektar pada tahun 2020. Negara-negara lain diharapkan menerapkan hal yang sama, sehingga di seluruh kawasan CT akan terdapat jejaring kawasan konservasi laut yang dikelola secara efektif dan berkelanjutan, sehingga kenekaragaman hayati laut dapat dijaga. Bersama-sama dengan tujuan kedua, tujuan ini dapat membantu tercapainya ketahanan pangan, khususnya terkait dengan ketersediaan stok ikan yang bekelanjutan. Adaptasi terhadap perubahan iklim diharapkan dapat dicapai dengan menyusun rencana aksi adaptasi terhadap perubahan iklim, baik di tingkat regional maupun nasional. Aktivitas penting yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut antara lain dengan menyusun peta kerentanan kawasan terhadap perubahan iklim, upaya konservasi terhadap kawasan rentan serta meningkatkan kepedulian publik. Dalam hal terumbu karang misalnya, salah satu upaya adaptasi yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas ekosistem terumbu karang. Penelitian menunjukkan bahwa, ekosistem terumbu karang dalam kondisi yang baik akan mampu meningkat ketahanannya terhadap perubahan iklim, atau kalaupun terkena akibat perubahan iklim, ekosistem tersebut akan cepat pulih. Tujuan kelima RPOA terkait dengan membaiknya status spesies-spesies yang terancam punah. Seperti kita ketahui bersama bahwa upaya menyelamatkan species terancam punah seperti penyu, mamalia laut, dugong, burung-burung laut, hiu dll membutuhkan upaya-upaya yang bersifat regional, karena hampir seluruh species tersebut bermigrasi lintas negara. Upaya penyelamatan pada satu negara saja akan tidak efektif, apabila di negara lain tidak dilakukan upaya-upaya penyelamatan. Upaya penyelamatan spesies terancam punah mencakup upaya penyelamatan habitat, jalur migrasi, pengendalian perdagangan dan distribusinya. Keterkaitan Program CTI dengan Kebijakan Penataan Ruang Semangat dan filosofi dasar dari program CTI adalah pengelolaan kawasan perikanan, kelautan dan pulaupulau kecil. Di situlah letak perbedaan mendasar program kerjasama regional CTI dengan berbagai program kerjasama di bidang perikanan dan kelautan yang ada saat ini di kawasan Asia Pasifik. CTI tidak hanya mengajukan program pengelolaan kawasan konservasi terbatas ataupun penanganan spesies tertentu, tetapi lebih jauh dari itu, CTI mengajukan upaya pengelolaan kawasan yang lebih luas secara komprehensif. Pendekatan holistik berupa pengelolaan kawasan tersebut diharapkan dapat menjadi terobosan untuk menangani berbagai permasalahan yang saling terkait di bidang perikanan kelautan. Prinsip-prinsip dasar CTI-CFF mencantumkan perlunya negara-negara anggota mengidentifikasi dan menetapkan kawasan prioritas (priority geographies), baik di dalam wilayah jurisdiksi masing-masing, maupun di wilayah-wilayah perbatasan yang memiliki isu antar-perbatasan (trans boundary) di aspek perikanan kelautan. Hal yang juga harus dijadikan dasar pertimbangan penetapan kawasan tersebut adalah aspek keunikan, maupun kerentanan ekosistem negara kepulauan. Melalui pendekatan ini diharapkan sumberdaya dan investasi terbatas yang dimiliki negara-negara CTI dapat terfokus pada kebutuhan spesifik tiap kawasan geografis yang teridentifikasi. Prinsip-prinsip dasar CTI-CFF selanjutnya diterjemahkan oleh keenam negara anggota ke dalam Rencana Aksi Regional (RPOA). Goal pertama RPOA adalah penetapan prioritas dan pengelolaan yang efektif kawasan perikanan kelautan. Selanjutnya diharapkan kawasan-kawasan yang telah diprioritaskan tersebut dapat memiliki rencana pengembangan dan investasi yang komprehensif dan runut. Berdasarkan filosofi dan prinsip-prinsip dasar CTI-CFF yang mengutamakan pengelolaan kawasan yang komprehensif, maka langkah aksi yang pertama kali harus dilakukan adalah idenfitikasi kawasan-kawasan tersebut sesuai dengan tatanan hukum dan peraturan ketataruangan yang berlaku di masing-masing negara anggota. Oleh sebab itu, keberhasilan program kerjasama regional CTI-CFF sangat tergantung pada arah kebijakan penataan ruang negara-negara anggotanya. Indonesia sebagai pemrakarsa serta pemilik kawasan terluas tentunya memiliki peran sangat signifikan untuk memberikan contoh bagaimana konteks pengelolaaan kawasan regional ditunjang atau dimulai dari kebijakan penataan ruang yang komprehensif di masing-masing negara anggotanya. Kebijakan tata ruang Indonesia harus dapat menyediakan dasar bagi identifikasi dan analisis berbagai faktor ekologi, ekonomi, sosial dan politis dalam penetapan tata ruang terutama di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Setelah tata ruang suatu wilayah ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana pembangunan dan pembiayaan kawasan tersebut yang diharapkan dapat dikelola secara berkelanjutan. Disinilah esensi dari program CTI-CFF, yaitu pengelolaan kawasan secara berkelanjutan yang mampu memberikan keuntungan tidak saja bagi komunitas masyarakat pesisir tetapi juga bagi berbagai kepentingan ekonomi yang lebih luas yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya di wilayah tersebut. Implementasi program dan kegiatan untuk pencapaian tujuan regional plan of actions tentunya dilaksanakan pada ruang-ruang yang sesuai dengan pola dan struktur ruang yang telah disepakati. Penetapan jejaring kawasan konservasi laut (perairan) misalnya, tentu membutuhkan alokasi ruang yang sesuai dan memadai. Habitat-habitat spesies terancam punah dan jalur migrasi ikan langka dan penyu tentu juga membutuhkan alokasi ruang yang termasuk dalam kawasan lindung dan/ atau kawasan konservasi laut. Khusus untuk tujuan keempat terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim, diperlukan antisipasi perubahan kebijakan penataan ruang yang serius mempertimbangkan terjadinya perubahan iklim. Kenaikan muka air laut yang diramalkan akan mencapai sekitar 1 meter dalam 20 – 30 tahun kedepan, tentunya akan merubah pola ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, sekaligus mempengaruhi pusat-pusat kegiatan yang ada. Diperkirakan 2000 pulau-pulau kecil akan hilang, termasuk terendamnya kawasan-kawasan pertanian produktif di pesisir. Simulasi perubahan pola ruang dan terganggunya pusatpusat kegiatan tersebut tentunya sudah mulai disusun. Mengingat planning horizon RTRW sampai dengan 20 tahun kedepan, maka hal-hal tersebut tentunya dapat dimasukkan kedalam revisi RTRW yang saat ini sedang dalam proses penyelesaian. CTI merupakan suatu kerjasama multilateral yang telah mendapat sambutan dari berbagai negara di belahan bumi. CTI bertujuan membentuk kerjasama yang berdampak global dan jangka panjang, yaitu pelestarian salah satu pusat keanekaragaman hayati laut yang paling lengkap keanekaragaman hayatinya. Dalam kerjasama CTI, Indonesia berperan sebagai inisiator sekaligus mempunyai bagian wilayah CTI terluas dengan keanekaragaman hayati terbesar diantara keenam negara yang lain. Hal tersebut merupakan tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk menarik perhatian masyarakat dunia dalam ikut serta mempertahankan warisan kekayaan dan keanekaragaman hayati laut dunia. Oleh karena itu, Indonesia perlu merumuskan suatu strategi dan kebijakan yang tepat (lintas sektor dan lintas level pemerintahan) dalam upaya menjaga dan memanfaatkan potensi warisan dunia tersebut dengan suatu kebijakan penataan ruang kelautan nasional dan daerah yang dirumuskan secara komprehensif.