BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Sesuai dengan pendapat Berlo (1960) dalam Lubis et al (2009), dengan asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu proses, Berlo mengemukakan bahwa elemen-elemen dasar komunikasi yang relevan untuk komunikasi antarpribadi meliputi enam komponen yaitu sumber (source), penyandi (encoder), pesan (message), saluran komunikasi (channel), penerima (receiver), dan penerjemah (decoder). Berlo kemudian mengembangkan sebuah model komunikasi antarpribadi yang dapat dgunakan untuk menganalisis ketepatan komunikasi dengan mengintegrasikan tiga aspek yaitu sosiologis, retorika, dan ilmu perilaku kedalam model komunikasi S-M-C-R yakni Source- Message-Channel-Receiver. Selanjutnya Berlo (1960) dalam Lubis et al (2009) mengungkapkan terdapat enam unsur-unsur komunikasi, dimulai dari sumber, yakni orang atau sekelompok orang yang sengaja dan bertujuan untuk berkomunikasi. Sumber inilah yang berinisiatif untuk berkomunikasi. Unsur kedua yaitu penerima, yakni orang atau sekelompok orang pada sisi lain proses komunikasi. Ia atau mereka adalah „sasaran‟ komunikasi. Penerima mendengar ketika sumber berbicara, atau membaca apa yang ditulis oleh sumber. Unsur ketiga yaitu pesan, dimana dalam hal ini sumber harus mempunyai sesuatu yang dikirimkan kepada penerima. Tujuannya sesuatu ini disalurkannya dalam bentuk pesan. Pesan tersebut dapat berupa ide atau tujuan, yang dikemukakan dalam bentuk kode atau kumpulan simbol yang tersusun secara sistematis. Unsur selanjutnya yaitu saluran, saluran komunikasi mencakup tiga pengertian, yakni moda membuat kode (encoding) dan menerjemahkan kode (decoding) dari pesan, kendaraan pesan (message vehicle), dan pembawa pesan (message carrier). Selanjutnya yakni unsur akibat, yaitu hasil komunikasi atau respon penerima terhadap pesan Pesan verbal maupun visual dalam iklan perlu memperhatikan tahapantahapan komunikasi, pada tahap awal ditujukan untuk menyadarkan konsumen tentang keberadaan produk awareness, ditujukan pula untuk mengenalkan brand, fungsi dan penetapan segmentasi atau pemakai. Menganalisis komunikasi pemasaran lewat pesan verbal maupun visual dapat dilakukan dengan merujuk 6 pada teori ANSVA dari Alan H Monroe. Menurut Monroe dalam Kusumastuti (2009) terdapat lima tahap urutan motif yang sesuai dengan cara berpikir manusia dalam formula ANSVA: perhatian (attention), kebutuhan (needs), pemuasan (satisfaction), visualisasi (visualization), dan anjuran tindakan (action). 2.2 Efektivitas Komunikasi Menurut Coulson-Thomas (1990) komunikasi yang efektif merupakan sesuatu yang tidak dapat terjadi begitu saja seluruh unsur organisasi pesan harus direncanakan dengan baik. Unsur organisasi tersebut harus mengidentifikasi internal dan eksternal grup yang harus berkomunikasi serta memutuskan pesan apa yang disampaikan dalam komunikasi tersebut. Komunikasi antarpribadi efektif jika dalam waktu tertentu komunikasi memahami pesan yang disampaikan komunikatornya dengan baik dan melaksanakannya. Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan. Oleh karena itu analisis mengenai efektivitas komunikasi dapat dilihat dari sumber serta penerima pesan yang disampaikan mengenai isi pesan yang diterima dan kesamaannya dengan pesan yang diberikan sumber. Menurut Tubbs dan Moss dalam Sembiring (2011) komunikasi yang efektif akan menimbulkan 5 hal yaitu : a. Pengertian, artinya penerimaan yang cermat dari isi stimulus/pesan seperti yang dimaksud oleh komunikator. b. Kesenangan, artinya tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian, akan tetapi ada juga dilakuakan untuk menimbulkan kesenangan, misalnya menanyakan seseorang. Komunikasi inilah yang menyebabkan hubungan kita menjadi hangat, akrab dan menyengkan. c. Pengaruh pada sikap. Komunikasi seringkali dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain. Komunikasi yang efektif ditandai dengan perubahan sikap, perilaku atau pendapat komunikan sesuai dengan kehendak komunikator. 7 d. Hubungan sosial yang baik. Komunikasi juga ditunjukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia juga adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. e. Tindakan efektifitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikan. 2.3 Komunikasi Pemasaran Menurut Kotler (2002), manajemen pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan kerja harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memenuhi sasaransasaran individu dan organisasi. Lebih jauh lagi, Kotler (2002) kembali menjelaskan bahwa pemasaran adalah proses sosial dan manajerial dimana pribadi atau organisasi memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran nilai dengan orang lain. Sedangkan dalam buku yang sama, strategi pemasaran, diartikan sebagai logika pemasaran dimana perusahaan berharap untuk menciptakan nilai pelanggan dan mencapai hubungan yang menguntungkan. Perusahaan memutuskan pelanggan mana yang akan dilayaninya dengan dipandu oleh strategi pemasaran, perusahaan selanjutnya akan menyusun bauran pemasaran terintegrasi yang terdiri dari produk, harga, tempat, dan promosi. Tjiptono (2008) mengartikan komunikasi pemasaran sebagai aktivitas pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi atau membujuk, dan atau mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan produknya agar bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan menurut Shimp (2003) Komunikasi adalah proses dimana pemikiran dan pemahaman disampaikan antar individu atau antara organisasi dengan individu. Pemasaran adalah sekumpulan kegiatan dimana perusahaan dan organisasi lainnya mentransfer nilai-nilai (pertukaran) antara mereka dengan pelanggannya. Jika digabungkan, maka komunikasi pemasaran merepresentasikan gabungan semua unsur dalam bauran pemasaran merek, yang memfasilitasi terjadinya pertukaran dengan menciptakan suatu arti yang disebarluaskan kepada pelanggan atau kliennya. Menurut Shimp (2003) 8 bentuk-bentuk utama dari komunikasi pemasaran, yaitu personal selling, iklan (advertising), sales promotion, sponsorship marketing, publicity, Komunikasi di tempat pembelian (point-of-purchase communication). Komunikasi pemasaran dan promosi menjadi hal yang saling terintegrasi satu sama lain. Promosi menjadi salah satu dari serangkaian alat pemasaran yang dalam dalam marketing mix (bauran pemasaran) dikenal sebagai 4P yang terdiri dari promotion, product (produk), place (tempat), price (harga). Dalam komunikasi pemasaran, kebutuhan dan harapan pelanggan terhadap informasi mengenai produk ataupun jasa sangat penting. Menurut Levitt (1987) dalam Tjiptono (2008), syarat yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan agar dapat sukses dalam persaingan adalah berusaha mencapai tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan pelanggan. Dengan demikian setiap perusahaan harus mampu memahami perilaku konsumen pada dasar sasarannya, karena kelangsungan hidup perusahaan tersebut sebagai organisasi yang berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Dalam pelaksanaannya, pemasaran wisata berbeda dengan pemasaran produk-produk pada umumnya. Konsep pariwisata bisa dikatakan sebuah konsep yang termasuk dalam bidang jasa. Dimana dalam hal ini pariwisata sangat berhubungan dengan keramah-tamahan dan kesenangan. Merupakan hal yang sangat penting untuk dapat menjalin saling pengertian antara produsen, konsumen serta seluruh stakeholder terkait. Menurut Marpaung (2002), dasar utama dari pemasaran wisata adalah konsep marketing. Konsep ini merupakan customeroriented philosophy yang dilaksanakan dan diintegrasikan dalam suatu organisasi agar dapat melayani konsumen dengan lebih baik daripada apa yang dilakukan pesaing, selain untuk mencapai target khusus perusahaan, sedangkan menurut Damanik dan Webber (2009), penawaan yang diberikan kepada wisatawan adalah jasa dan produk. Produk wisata, seperti yang dikutip Freyer (1992) dalam Damanik dan Webber (2009) adalah semua produk yang diperuntukkan bagi dan dikonsumsi oleh seseorang selama melakukan kegiatan wisata. Adapun jasa tidak lain adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengonsumsi) produk tersebut. Jasa ini seringkali tidak 9 tampak (intangible), bahkan seringkali tidak diarasakan. Lebih lanjut lagi, Marpaung (2002) melihat bahwa pemasaran wisata mencakup: menemukan apa yang menjadi keinginan konsumen (market research), mengembangkan pemberian pelayanan yang sesuai kepada wisatawan (product planning), pemberitahuan tentang produk yang dibuat (advertising and promotion), dan memberikan instruksi dimaan mereka dapat memperoleh produk-produk tersebut (channels of distribution-tour operator and travel agent). 2.4 Strategi Komunikasi Pemasaran Strategi komunikasi pemasaran, menurut Kusumastuti (2009), bertujuan untuk mencapai tahap perubahan penegtahuan. Dalam perubahan ini, konsumen mengetahui keberadaan sebuah produk, untuk apa produk itu diciptakan, dan ditujukan untuk siapa. Lumsdon (1997) menyatakan bahwa strategi komunikasi tidak hanya mengenai penawaran merk, namun juga mengenai bagaimana mengkomunikasikan merk-merk tersebut kepada masing-masing segmen pasar. Sesuai dengan pendapat Coulson-Thomas (1990) bauran pemasaran meliputi seluruh aktivitas yang bertujuan untuk menginformasikan dan membujuk. Promosi menjadi penting ketika sebuah produk dihadapkan dengan produkproduk lain yang mirip dan saat memperkenalkan produk baru. Cooper et al (1999) dan Kotler (1997) sebagaimana dikutip dalam Hartono (2008) menyatakan terdapat empat komponen dalam bauran promosi yaitu: a. Periklanan Menurut Tjiptono (2008) iklan adalah merupakan salah satu bentuk promosi yang paling banyak digunakan perusahaan dalam mempromosikan produknya. Periklanan adalah segala bentuk penyajian dan promosi ide, barang atau jasa secara non personal oleh suatu sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran. Pengiklan tidak hanya mencakup perusahaan bisnis tapi juga museum, organisasi amal, dan lembaga pemerintah yang memasang iklan untuk berbagai sasaran. Iklan merupakan cara yang efektif guna menyebarkan pesan, untuk membangun preferensi merk. Pengiklanan merupakan elemen penting dari bauran komunikasi pemasaran. 10 b. Promosi Penjualan Promosi penjualan atau sales promotion adalah bentuk persuasi langsung melalui penggunaan berbagai insentif yang dapat diatur untuk merangsang pembelian produk dengan segera dan meningkatkan jumlah barang yang dibeli pelanggan. Melalui promosi penjualan, perusahaan dapat menarik pelanggan baru, mempengaruhi pelanggannya untuk mencoba produk baru, mendorong pelanggan untuk membeli lebih banyak, menyerang aktivitas promosi pesaing, meningkatkan pembelian tanpa rencana sebelumnya. Dalam penelitian Hartono (2008) promosi dilakukan oleh banyak pihak yang mencakup Biro perjalanan wisata, LSM, bahkan Pemda. Promosi yang dilakukan Pemda merupakan salah satu yang terbesar karena TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) terletak di tiga kabupaten yaitu Cianjur, Bogor, dan Sukabumi. Langkah langkah yang dilakukan berupa diikutsertakannnya TNGGP dalam berbagai kegiatan promosi pariwisata yang dilaksanakan Pemda Cianjur, seperti pameran, maupun dalam bahan-bahan cetakan berupa leaflet dan buku wisata yang mempromosikan TNGGP. Promosi yang dilakukan oleh LSM berupa pembuatan tulisan di dalam web nya (www.conservation.co.id) , terutama semenjak kerjasama dalam bentuk konsorsium baru terjalin. Sedangkan dalam penelitian Ambinari (2002) yang mengadakan penelitian di TNGH (Taman Nasional Gunung Halimun) berpendapat bahwa media promosi berupa hiburan dianggap kurang cocok untuk dilakukan di Taman Nasional, hal ini karena adanya hiburan akan mengundang keramaian yang tidak sesuai dengan prinsip dasar kegiatan Ekowisata. Dalam penyelenggaraan promosi, TNGH pernah mengadakan promosi penjualan melalui potongan harga pada tahun 1997 dan juga pameran kegiatan di tingkat kabupaten seperti expo Jawa Barat pada tahun 2001, atau juga Jawa Barat Travel Exchange (JT‟X 2002)1 c. Penjualan Pribadi Penjualan pribadi atau personal selling adalah komunikasi langsung (tatap muka) antara penjual dan calon pelanggan untuk memperkenalkan suatu produk 1 Jawa Barat Travel Exchange, sebuah pameran wisata yang diselenggarakan oleh pemerintah Jawa barat dengan stakeholder wisata yang ada untuk mempertemukan penjual dan pembeli wisata, serta stakeholder wisata yang bertujuan mempromosikan objek wisata yang ada. 11 kepada calon pembeli dan membentuk pemahaman pelanggan terhadap produk tersebut sehingga kemudian mereka akan mencoba dan membelinya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2008), penjualan pribadi yang dilakukan adalah mencakup presentai penjualan, katalog, pemasaran lewat telepon, pengiriman bahan cetakan, email dan internet. Sedangkan penjualan pribadi yang dilakukan TNGGP adalah melalui internet, khusunya melalui situs TNGGP (www.gedepangrango.org). Situs tersebut berisi informasi umum dan berita-berita terbaru mengenai TNGGP. d. Hubungan Masyarakat Public Relation (PR) merupakan upaya komunikasi menyeluruh dari suatu perusahaan untuk mempengaruhi persepsi, opini, keyakinan, dan sikap berbagai kelompok terhadap perusahaan tersebut. PR mengkomunikasikan banyak tujuan antara organisasi dengan publik yang bertujuan menghasilkan kebaikan. PR proaktif dan berorientasi masa depan, memiliki tujuan dan menjaga persepsi yang positif tentang organisasi di mata publik. Kegiatan humas yang telah dilakukan TNGH berdasarkan penelitian Ambinari (2002) yaitu mengundang wartawan cetak dan media elektronik untuk berkunjung ke TNGH. Kegiatan ini dilaksanakan dengan dana yang berasal dari konsorsium yang didapatkan dari YEH, LSM lain, TNGH dan biodiversity Conservation Project-JICA (Japan International Coorporation Agency). Sedangkan upaya promosi melalui hubungan masyarakat yang telah dilakukan oleh TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) menurut penelitian Hartono (2008) yaitu mengadakan seminar secara rutin setiap tahunnya untuk memaparkan kegiatan-kegiatan TNGGP. Seminar ini dilaksanakan dengan mengundang berbagai pihak yang terkait dengan kegiatan ekowisata di TNGGP. 2.5 Ekowisata Menurut Damanik dan Weber (2006), ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu ekowisata sebagai produk, ekowisata sebagai pasar, ekowisata sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan yang diarahkan pada 12 upaya-upaya pelestarian lingkungan. Akhirnya sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Pendapat lain yang juga disampaikan oleh Ceballos-Lascurain (1980) dalam Fennel (1999) yang dianggap sebagai penggagas pertama konsep ekowisata, ia mendeskripsikan ekowisata adalah kegiatan bepergian ke daerah yang tidak terganggu atau area alami yang belum terkontaminasi dengan dengan tujuan belajar, mengagumi, dan menikmati, pemandangan dan fauna serta satwa liar. Sedangkan menurut WWF (2009) Istilah “ekowisata” dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam. Menurut Marpaung (2002), kondisi lingkungan yang natural adalah merupakan atraksi utama bagi wisatawan. Pengunjung diharapkan tertarik pada tempat bagi wisatawan, juga pada tempat yang menawarkan film menyenangkan dan aksesibilitas yang tinggi, dengan rumah penginapan dan makanan bagi wisatawan harus tersedia. Terdapat beberapa karakteristik ekowisata menurut Damanik dan Webber (2006) yang membedakannya dengan wisata massal. Pertama yaitu aktivitas wisata terutama berkaitan dengan konservasi lingkungan meskipun motif berwisata bukan untuk melestarikan lingkungan, namun tingginya kesadaran lingkungan memudahkan wisatawan untuk terlibat dalam berbagai upaya pelestariannya. Kedua, penyedia jasa wisata tidak hanya menyiapkan sekedar atraksi untuk menarik tamu, tetapi juga menawarkan peluang bagi mereka untuk lebih menghargai lingkungan, sehingga keunikan ODTW (Obyek dan Daya Tarik Wisata) dan lingkungannya tetap terjaga dan masyarakat lokal dapat menikmati keunikan tersebut. Ketiga, kegiatan wisata berbasis alam. ODTW yang menjadi basis kegiatan wisata adalah alam dan lingkungan yang hijau (kawasan bening da bersih). Pendapat lain diberikan oleh Hetzer (1965) dalam Fennel (1999), ia mengidentifikasi bahwa terdapat empat pilar fundamental yang harus diikuti untuk dapat menjadikan ekowisata sebagai bentuk wisata yang lebih bertanggung jawab, yaitu meminimalisir dampak lingkungan, meminimalisir 13 dampak dan penghormatan maksimal kepada pemilik budaya. Keuntungan maksimal yang dipengang oleh organisasi akar rumput, dan kepuasan wisatawaan. Dari gambar dapat dilihat bahwa ekowisata dan keseluruhan stakeholder didalamnya terdiri dari bagian-bagian terpisah yang saling berintegrasi membentuk siklus yang saling berhubungan. Dimana Ekowisata telah mendapatkan peraturan resmi dari pemerintah dan International Tourism. Ekowisata didukung oleh keadaan alam, serta budaya yang dimiliki sebagai sektor penunjang yang kemudian mendatangkan pihak biro perjalanan yang juga mendapatkan keuntungan dari keberadaan ekowisata. Hal ini secara langsung juga akan mempengaruhi pengelola dan menambah pendapatan masyarakat lokal, hingga pada akhirnya ekowisata mendatangkan devisa bagi pemerintah dan kembali ke negara pada akhirnya seperti dalam gambar selanjutnya. International Tourism Sektor Penunjang Pemerintah Biro perjalanan Operator Penduduk lokal Sumber: Nugroho (2006) Gambar 1. Sektor Ekonomi Pendukung Ekowisata Menurut Sudarto (1999) segmen pasar ekowisata digolongkan menjadi tiga bagian berdasarkan golongan umur dan status sosialnya, yaitu: 1. Generasi Pertama (The Silent Generation) 14 Generasi ini berumur antara 55-64 tahun. Berstatus sosial yang baik, karena rata-rata mereka berpendidikan dan sudah tidak harus memikirkan anak-anaknya karena memang rata-rata anaknya sudah mandiri. Dengan bekal tabungan dan pensiun yang mereka miliki, mereka sanggup berekowisata dengan jangkauan kunjungan yang lebih lama (4 minggu) dan mampu membayar dengan harga yang lebih mahal. Mereka lebih suka berkunjung ke daerah-daerah yang memiliki fasilitas yang baik dan nyaman dan aman, tanpa harus menguras banyak tenaga untuk menikmati pemandangan alam yang ada. Mereka lebih menyukai kunjungan yang bersifat menikmati pemandangan alamnya itu sendiri. 2. Generasi Kedua (The Baby Boom Generation) Mereka ini adalah golongan eksekutif muda yang berumur antara 25-54 tahun. Mempunyai karir dan kedudukan yang bagus. Mereka lebih suka berpergian sebagai pasangan atau dengan keluarga dan anak-anaknya. Lama waktu bepergian antara 2-2 minggu, mampu membayar dengan layak ke daerah-daerah tujuan yang soft sampai dengan medium adventure. Selain unsur pendidikan dan pemahaman, maka unsur menikmati pemandangan alam juga sangat berarti bagi mereka untuk menghilangkan stress akibat pekerjaan mereka sebagai eksekutif muda. 3. Generasi Ketiga ( X Generation) Generasi ini berumur antara 18-29 tahun, mereka lebih suka berekowisata sebagai back-packer karena rata-rata status mereka yang masih sebagai pelajar/mahasiswa. Kebutuhan mengenal dunia luar dengan keeksotikan alam dan budayanya merupakan tujuan utama mereka, sebelum mereka berjuang untuk mendapatkan karirnya dalam bidang pekerjaan yang mereka inginkan. Mereka mampu berekowisata selama 212 bulan dengan pengeluaran rata-rata $200-500 perbulannya. Dan biasanya dari generasi ini pada suatu saat akan tumbuh menjadi the baby boom generation dimasa 10-15 tahun kemudian. Menurut Yoeti (1980) dalam Syafei (2006) mengungkapkan bahwa berdasarkan sifat perjalanan dan ruang lingkup dimana perjalanan wisata 15 itu dilakukan, maka wisatawan sebagai konsumen dari industri pariwisata dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Wisatawan Asing (Foreign Tourist) Adalah orang asing yang melakukan perjalanan wisata, yang datang memasuki suatu negara lain yang bukan merupakan negara dimana ia biasanya tinggal. Domestic Foreign Tourist Adalah orang asing yang berdiam atau bertempat tinggal pada suatu negara, yang melakukan perjalanan wisata di wilayah negara dimana ia tinggal. Orang asing ini mungkin tinggal di negara tersebut karena alasan tugas atau jabatannya. Wisatawan Lokal Adalah seorang warga dari suatu negara yang melakukan wisata dalam batas wilayah negaranya sendiri tanpa melewati batas negaranya. Indigenous Foreign Tourist Adalah warga suatu negara tertentu yang karena tugasnya atau kedudukannya berada di luar negeri, pulang ke negara asalnya dan melakukan perjalanan wisata di wilayah negaranya sendiri. Transit Tourist Adalah wisatawan yang sedang melakukan perjalanan wisata ke suatu negara tertentu yang dengan alat transportasi tertentu, yang terpaksa mampir atau singgah pada suatu pelabuhan /airport/stasiun tertentu bukan atas kemauannya sendiri. Kemudian wisatawan tersebut melakukan sight seeing atau tour ditempat ia singgah, sambil menunggu untuk melanjutkan perjalanannya kembali. Business Tourist Adalah orang yang melakukan perjalanan, baik itu warga lokal maupun warga asing yang mengadakan perjalanan untuk tujuan lain bukan wisata, tetapi perjalanan wisata akan dilakukannya setelah pekerjaan utamanya selesai. Jadi disini perjalanan wisata merupakan tujuan sekunder. Sebagai contoh, para peserta konverensi PBB, meskipun datang untuk melakukan 16 konferensi, tetapi biasanya selalu ada kegiatan „pre converence tour‟ dan „post converence tour‟. 2.5.1 Ekowisata dan Kebijakannya Ekowisata di Indonesia telah diatur dalam UU No. 22 tahun 2009 mengenai pedoman pengembangan ekowisata, sedangkan dibeberapa negara, menurut Fennel (1999), ecotourism is presently at the policy consideration and initiation stage, with the recognition that further political and socio-economic coordiantion must exist for it to procced. Policy development has only strated to be initiated as a result of the development and activities. Dari kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa ekowisata terdapat dalam taraf pertimbangan kebijakan dan tahap inisiasi, dengan pengakuan mengenai kebijakan lebih lanjut dan koordinasi politik dan sosial-ekonominya harus ada agar dapat dilakasanakan. Kebijakan pembangunan harus dimulai sebagai hasil dari pembangunan dan kegiatan Liu (1994) dalam Fennel (1999), mengatakan bahwa kebijakan pemerintah merupakan kunci yang penting dalam mengembangkan ekowisata. Lebih jauh lagi, Liu merasa bahwa pemerintah harus memainkan peran yang signifikan dalam memberikan keuangan yang penting, kemampuan manajerial, dan pengetahuan agar pihak swasta dapat bekerja selembut dan seefisien mungkin. Liu juga menyarankan bahwa pemerintah harus: 1. Memfasilitasi kegiatan sektor swasta yang efisien dengan meminimalkan gangguan pasar dan mengandalkan kompetisi sebagai alat kontrol 2. Memastikan keamanan lingkungan makro ekonomi. 3. Jaminan hukum dan ketertiban, dan penyelesaian sengketa 4. Memastikan penyediaan infrastruktur yang tepat. 5. Memastikan pengembangan sumberdaya manusia 6. Melindungi hak publik tanpa mengganggu aktivitas sektor swasta. 7. Mempromosikan kegiatan sektor swasta dengan tidak bersaing di arena bisnis dengan perusahaan swasta, dan 8. Mengakui peran usaha kecil dan memfasilitasi usaha mereka 17 Gambar 2. menjelaskan mengenai hubungan antar stakeholder dalam ekowisata dimana terdapat hubungan antara pemerintah dan sektor swasta berupa pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan ijin mengenai keberadaan sektor swasta di kawasan ekowisata, sedangkan sektor swasta sebagai penyumbang pajak. Sedangkan pemerintah juga dapat berperan sebagai penampung saran bagi penduduk lokal, peneliti, LSM, serta International Tourism. Dalam hal ini penduduk lokal juga memberi kenyamanan bagi sektor swasta untuk membuka usaha di area mereka. Sektor swasta juga dapat memberi manfaat ekonomi bagi penduduk lokal dengan usaha yang mereka buka Sektor swasta Sektor penunjang lain Pemerintah Peneliti, petualang, LSM, aktivis, International tourism Penduduk lokal dan lingkungan Biro perjalanan, Hotel, Jasa lain Pengelola Sumber: Nugroho (2006) Gambar 2. Hubungan Antar Stakeholder di Sektor Ekowisata 2.5.2 Peran Masyarakat Lokal Berdasarkan pada pernyataan Damanik dan Webber (2006), terdapat berbagai macam stakeholder yang berperan sebagai pelaku pariwisata, yakni wisatawan, industri pariwisata, pendukung jasa wisata, pemerintah, LSM, dan masyarakat lokal. Masyarakat lokal, menurut Damanik dan Webber (2006) merupakan salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan 18 kualitas produk wisata. Pengelolaan lahan pertanian secara tradisional seperti di Bali, kerajinan tangan buatan masyarakat lokal, upacara adat, dan kebersihan lingkungan atau desa menjadi kenikmatan tersendiri bagi wisatawan. Selain itu, masyarakat lokal merupakan „pemilik‟ langsung setiap atraksi wisata yang ada. Segala sumberdaya alam seperti mata air, tanah, dan hutan yang ada berada di tangan masyarakat lokal yang bertempat tinggal di sekitar area wisata. Kesenian yang merupakan salah satu daya tarik wisata menjadi milik masyarakat lokal juga. Oleh karena itu, setiap perubahan yang terjadi di area wisata tersebut akan berpengaruh juga pada kehidupan mereka dan kepentingan-kepentingan mereka pada umumnya. Tidak jarang masyarakat lokal ini sudah terlebih dahulu terlibat dalam pengelolaan aktivitas pariwisata sebelum ada kegiatan pengembangan dan perencanaan. Oleh sebab itu peran mereka terutama tampak dalam bentuk penyediaan akomodasi dan jasa guiding dan penyediaan tenaga kerja. Selain itu masyarakat lokal biasanya juga mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pemeliharaan sumberdaya pariwisata yang tidak dimiliki oleh pelaku pariwisata lainnya. Pasar-pasar tradisional, seperti pasar terapung, pasar nelayan, pasar burung, hampir sepenuhnya dikelola oleh masyarakat. Masyarakat lokal memang sangat esensial dalam perencanaan wisata. 2.6 Ekowisata Berbasis Masyarakat Guidelines For Community-based Ecotourism development yang diterbitkan oleh Direktorat Produk Pariwisata, Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Wisata, Debudpar, dan WWF (2009) menyebutkan ekowisata berbasis masyarakat (community-based ecotourism) adalah sebuah bentuk ekowisata dimana masyarakat lokal memiliki kontrol dan keterlibatan penuh terhadap perkembangan dan manajemennnya, serta memiliki bagian yang paling banyak dari keuntungan yang didapatkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nugraheni (2002) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang menjelaskan mengenai ide awal pengembangan ekowisata berbasis masyarakat memang datang dari pihak. Masyarakat baru terlibat pada saat perencanaan pendirian pondok wisata. Semakin lama, keterlibatan masyarakat dan kemandirian masyarakat semakin meningkat. Setelah projek selesai maka masyarakat sepenuhnya 19 mengelola pondok wisata secara mandiri. Sehingga masyarakat sekitar lah yang memegang manajemen wisata di area pondok wisata tersebut. Ekowisata berbasis masyarakat juga dianggap membawa dimensi sosial yang selangkah lebih maju daripada ekowisata lain pada umumnya. Berdasarkan penelitian Qomariah (2009) di Taman Nasional Meru Betiri, partisipasi masyarakat memiliki peran yang sangat penting, sesuai dengan Jain (2000) yang juga dikutip dalam Qomariah (2009) yang menyatakan bentuk partisipasi masyarakat dalam wisata berbasis masyarakat yaitu partisipasi dalam perencanaan, dimana masyarakat yang tergabung dalam sebuah lembaga yang menangani wisata di Rajegwesi sebelumnya melakukan perencanaan tentang program ekowisata di Rajegwesi. Selanjutnya betuk partisipasi yang lain berupa partisipasi dalam pembuatan keputusan dan manajemen, dalam hal ini Qomariah (2009) menemukan bahwa program serta keputusan pengembangan ekowisata sepenuhnya berada di tangan masyarakat Rajegwesi. Dimana pihak pengelola TNMB (Taman Nasional Meru Betiri) sebatas pembina serta penanggung jawab program. Yang ketiga adalah partisipasi dalam pelaksanaan dan pengerjaan proses, dimana masyarakatlah yang bertanggung jawab dalam melaksanakan program serta perjalanan prosesnya. Yang terakhir adalah partisipasi dalam pembagian keuntungan ekonomi, dimaan sebelumnya tercapai kesepakatan antara setiap stakeholder untuk masalah pembagian profit. 2.6.1 Prinsip dan Kriteria Dalam naskah yang dikeluarkan Direktorat Produk Pariwisata, Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Wisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF (2009) memberikan beberapa kriteria dan prinsip ekowisata berbasis masyarakat yaitu: 1. Keberlanjutan Ekowisata dari Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan (Prinsip Konservasi dan Partisipasi Masyarakat) Ekowisata yang dikembangkan di kawasan konservasi adalah ekowisata yang “HIJAU dan ADIL” (Green & Fair) untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan dan konservasi, yaitu sebuah kegiatan usaha yang bertujuan untuk menyediakan alternatif ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat di 20 kawasan yang dilindungi, berbagi manfaat dari upaya konservasi secara layak (terutama bagi masyarakat yang lahan dan sumberdaya alamnya berada di kawasan yang dilindungi), dan berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan terhadap perlindungan bentang lahan yang memiliki nilai biologis, ekologis dan nilai sejarah yang tinggi. Dengan kriteria sebagai berikut: - Prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan kegiatan wisatawan pada sebuah daerah tujuan ekowisata dikelola sesuai dengan batas-batas yang dapat diterima baik dari segi alam maupun sosial-budaya - Sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan (listrik tenaga surya, mikrohidro, biogas) mendorong terbentuknya ”ecotourism conservancies” atau kawasan ekowisata sebagai kawasan dengan peruntukan khusus yang pengelolaannya diberikan kepada organisasi masyarakat yang berkompeten. 2. Pengembangan Institusi Masyarakat Lokal dan Kemitraan (Prinsip Partisipasi Masyarakat) Aspek organisasi dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata juga menjadi isu kunci: pentingnya dukungan yang profesional dalam menguatkan organisasi lokal secara kontinyu, mendorong usaha yang mandiri dan menciptakan kemitraan yang adil dalam pengembangan ekowisata. Beberapa contoh di lapangan menunjukan bahwa ekowisata di tingkat lokal dapat dikembangkan melalui kesepakatan dan kerjasama yang baik antara Tour Operator dan organisasi masyarakat (contohnya: KOMPAKH, LSM Tana Tam). Peran organisasi masyarakat sangat penting oleh karena masyarakat adalah stakeholder utama dan akan mendapatkan manfaat secara langsung dari pengembangan dan pengelolaan ekowisata. Koordinasi antar stakeholders juga perlu mendapatkan perhatian. Salah satu model percontohan organisasi pengelolaan ekowisata yang melibatkan semua stakeholders termasuk, masyarakat, pemerintah daerah, UPT (Unit Pelayanan Teknis), dan sektor swasta, adalah ”Rinjani Trek Management Board.” Terbentuknya Forum atau 21 dewan pembina akan banyak membantu pola pengelolaan yang adil dan efektif terutama di daerah di mana ekowisata merupakan sumber pendapatan utama bagi masyarakat setempat. Hal tersebut terangkum dengan kriteria sebagai berikut: - Dibangun kemitraan antara masyarakat dengan Tour Operator untuk memasarkan dan mempromosikan produk ekowisata; dan antara lembaga masyarakat dan Dinas Pariwisata dan UPT (Unit Pelayanan Teknis) - Adanya pembagian adil dalam pendapatan dari jasa ekowisata di masyarakat - Organisasi masyarakat membuat panduan untuk turis. Selama turis berada di wilayah masyarakat, turis/tamu mengacu pada etika yang tertulis di dalam panduan tersebut. - Ekowisata memperjuangkan prinsip perlunya usaha melindungi pengetahuan serta hak atas karya intelektual masyarakat lokal, termasuk: foto, kesenian, pengetahuan tradisional, musik, dan lain-lain. 3. Ekonomi Berbasis Masyarakat (Prinsip Partisipasi Masyarakat) Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata. Homestay bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan sederhana yang dikelola secara langsung oleh keluarga sampai dengan menginap di rumah keluarga setempat. Homestay bukan hanya sebuah pilihan akomodasi yang tidak memerlukan modal yang tinggi, dengan sistem homestay pemilik rumah dapat merasakan secara langsung manfaat ekonomi dari kunjungan turis, dan distribusi manfaat di masyarakat lebih terjamin. Sistem homestay mempunyai nilai tinggi sebagai produk ekowisata di mana seorang turis mendapatkan kesempatan untuk belajar mengenai alam, budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari di lokasi tersebut. Pihak turis dan pihak tuan rumah bisa saling mengenal dan belajar satu sama lain, dan dengan itu dapat menumbuhkan toleransi dan pemahaman yang lebih baik. Homestay sesuai dengan tradisi keramahan orang Indonesia. Dalam ekowisata, pemandu adalah orang lokal yang pengetahuan dan pengalamannya tentang lingkungan dan alam setempat merupakan aset terpenting dalam jasa yang diberikan kepada turis. Demikian juga seorang pemandu lokal akan merasakan langsung manfaat 22 ekonomi dari ekowisata, dan sebagai pengelola juga akan menjaga kelestarian alam dan obyek wisata. Dengan kriteria sebagai berikut: - Ekowisata mendorong adanya regulasi yang mengatur standar kelayakan homestay sesuai dengan kondisi lokasi wisata. - Ekowisata mendorong adanya prosedur sertifikasi pemandu sesuai dengan kondisi lokasi wisata. Ekowisata mendorong ketersediaan homestay. - Ekowisata dan tour operator turut mendorong peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta perilaku bagi para pelaku ekowisata terutama masyarakat 4. Prinsip Edukasi Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap kebudayaan lokal. Dalam pendekatan ekowisata, Pusat Informasi menjadi hal yang penting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan nilai dari pengalaman seorang turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan acara seni, kerajinan dan produk budaya lainnya. Hal ini terangkum dalam kriteria sebagai berikut: - Kegiatan ekowisata mendorong masyarakat mendukung dan mengembangkan upaya konservasi - Kegiatan ekowisata selalu beriringan dengan aktivitas meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya - Edukasi tentang budaya setempat dan konservasi untuk para turis/tamu menjadi bagian dari paket ekowisata - Mengembangkan skema di mana tamu secara sukarela terlibat dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan kawasan ekowisata selama kunjungannya (stay & volunteer). 5. Pengembangan dan Penerapan Rencana Tapak dan Kerangka Kerja Pengelolaan Lokasi Ekowisata (Prinsip Konservasi dan Wisata). 23 Dalam perencanaan kawasan ekowisata, soal daya dukung (carrying capacity) perlu diperhatikan sebelum perkembanganya ekowisata berdampak negatif terhadap alam (dan budaya) setempat. Aspek dari daya dukung yang perlu dipertimbangkan adalah: jumlah turis/tahun, lamanya kunjungan turis, berapa sering lokasi yang “rentan” secara ekologis dapat dikunjungi, dan lain lain. Zonasi dan pengaturannya adalah salah satu pendekatan yang akan membantu menjaga nilai konservasi dan keberlanjutan kawasan ekowisata. Dengan kriteria sebagai berikut: - Kegiatan ekowisata telah memperhitungkan tingkat pemanfaatan ruang dan kualitas daya dukung lingkungan kawasan tujuan melalui pelaksanaan sistem zonasi dan pengaturan waktu kunjungan - Fasilitas pendukung yang dibangun tidak merusak atau didirikan pada ekosistem yang sangat unik dan rentan - Rancangan fasilitas umum sedapat mungkin sesuai tradisi lokal, dan masyarakat lokal terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan - Ada sistem pengolahan sampah di sekitar fasilitas umum. - Kegiatan ekowisata medukung program reboisasi untuk menyimbangi penggunaan kayu bakar untuk dapur dan rumah - Mengembangkan paket-paket wisata yang mengedepankan budaya, seni dan tradisi lokal. Kegiatan sehari-hari termasuk panen, menanam, mencari ikan/melauk, berburu dapat dimasukkan ke dalam atraksi lokal untuk memperkenalkan wisatawan pada cara hidup masyarakat dan mengajak mereka menghargai pengetahuan dan kearifan lokal. 2.7 Komunikasi Pemasaran Ekowisata Pemasaran produk wisata agak berbeda dengan pemasaran produk lain pada umumnya. Hal ini terutama karena produk pariwisata dihasilkan bersamaan dengan saat dikonsumsi. Menurut Wearing dan Lean (1997) produk ekowisata terdiri dari inti dan pelengkap, dimana produk inti dari ekowisata adalah program tour (rencana perjalanan) dalam kawasan ekowisata yang melingkupi: area wisata, atraksi alam yang menarik, habitat fauna dan flora, juga termasuk masyarakat 24 sekitar beserta budaya dan industri lokalnya. Sedangkan yang dimaksud dengan produk pelengkapnya tergantung dari atraksi, kawasan ataupun produk-produk wisatanya. Hal ini nantinya akan berujung kepada produk-produk seperti makanan dan minuman, tranportasi, dan akomodasi. 2.7.1 Produk Menurut Cooper et al (1999) keefektifan dari perencanaan pemasaran tergantung dari kemampuan sebuah perusahaan untuk dapat memilih target pasar yang tepat yang pada akhirnya memunculkan kepuasan yang tinggi pada konsumen. Dalam penelitian Syafei (2006) strategi produk yang digunakan dalam pemasaran ekowisata kepulauan seribu adalah dengan menjadikan TN laut kepulauan seribu sebagai taman nasional yang memiliki objek wisata lengkap baik itu wisata alam secara umum maupun bahari. 2.7.2 Harga Menurut Marpaung (2002), penentuan harga harus menjadi bagian dari strategi pemasaran. Hal pertama dan yang mendominasi dalam mempengaruhi penentuan haerga produk adalah keputusan-keputusan strategi usaha dengan pertimbangan image dan product positioning, strategies for growth, market share, serta return of investment. Lebih lanjut lagi Cooper et al (1999) menegaskan bahwa perencanaan harga merupakan bagian yang paling sulit. Hal ini karena harga untuk wisata yang harus dihitung diciptakan oleh demand dan inherent perishability produk tersebut yang juga selalu berubah ubah. 2.7.3 Promosi Menurut Cooper et al (1999), promosi adalah gambaran istilah dari kegiatan bauran komunikasi yang dibawa oleh industri pariwisata yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masyarakat ataupun kelompok yang perlu dipengaruhi. Kelompok yang perlu dipengaruhi ini tidak hanya yang menjadi sasarn pemasaran dan orang-orang yang potensial saja tapi juga kelompok yang berkaitan dengan kegiatan pemasaran wisata seperti agen-agen perjalanan juga kelompok pembentuk opini seperti wartawan dan penulis masalah pariwisata, juga politisi. 25 2.7.4 Tempat (Distribusi) Karena produk pengelola merupakan produk wisata alam, maka produk ini tidak bisa didistribusikan seperti produk barang. Seperti yang disampaikan Soekadijo (2000) dalam Syafei (2006) bahwa produk pariwisata tidak dapat dibawa ke tempat kediaman wisatawan dan harus dinikmati di tempat dimana produk itu tersedia. Oleh karena itu hal yang dapat diditribusikan adalah materialmaterial yang dapat memberikan konsumen gambaran mengenai produk sesuai dengan keinginan pengelola seperti leaflet, booklet, film, dokumenter, dan lainnya. Material promosi ini disebarkan pada saat ada kunjungan wisatawan, pameran, dan festival yang diikuti 2.8 Kerangka Penelitian Komunikasi Pemasaran TNGHS: Sumber (Source) Rancangan Pesan Frekuensi Penyampaian Pesan Ragam Media Penyampaian Penerima (Receiver) Efektivitas komunikasi pemasaran Formulasi strategi komunikasi pemasaran Ket: ---------- menjelaskan bagian yang akan diteliti Gambar 3. Kerangka Konseptual Komunikasi pemasaran merupakan aplikasi komunikasi yang bertujuan untuk membantu kegiatan pemasaran sebuah perusahaan. Dimana dalam hal ini aplikasi tersebut menghubungkan antara sumber dan penerima. Aplikasi itu 26 sangat dipengaruhi tidak hanya oleh berbagai bentuk media pemasarannya, namun juga komunikasi penyampaiannya kepada penerima. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keefektivitasan komunikasi pemasaran yakni rancangan pesan, ragam media yang digunakan, serta bagaimana frekuensi penyampaian ragam media tersebut. Sebuah objek yang akan dipasarkan tidak akan berhasil pemasarannya jika tidak memiliki media yang memadai untuk sampai ke tangan konsumen. Dalam penelitian ini, identifikasi komunikasi pemasaran yang telah dilakukan oleh TNGHS dan stakeholder terkait akan dianalisis keefektivitasannya berdasarkan rancangan pesan, frekuensi penyampaiannya, dan juga ragam media penyampaiannya. Garis putus-putus menandakan bagian yang akan diteliti secara garis besar, yaitu bagaimana sumber mengkomunikasikan informasinya kepada khalayak sebagai penerima informasi, serta bagaimana tanggapan khalayak terhadap hal tersebut. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi komunikasi pemasarannya yang akan menghasilkan tingkat efektivitas komunikasi pemasaran yang telah dijalankan TNGHS dan stakeholdernya sampai saat ini. Setelah menganalisis efektivitas komunikasi pemasaran yang ada, maka dapat dibentuk sebuah formulasi strategi komunikasi pemasaran yang pada akhirnya dapat digunakan oleh TNGHS untuk melakukan komunikasi pemasaran ekowisata berbasis masyarakat. 27 Dari kerangka penelitian yang dipaparkan, dapat dijelaskan bahwa penelitian diawali dengan menganalisis Efektivitas komunikasi pemasaran yang ada. Hal tersebut dilakukan dengan menganalisis komunikasi pemasaran yang digunakan pihak TNGHS menggunakan kuesioner kepada pengunjung yang ada. Data yang didapatkan dari variabel-variabel tersebut akan diolah menggunakan regresi logistik biner untuk mendapatkan nilai kefektivitasan komunikasi pemasaran yang telah ada. Identifikasi Komunikasi Pemasaran Rancangan Pesan Frekuensi penyampaian ragam media komunikasi pemasaran Efektivitas Komunikasi Pemasaran TNGHS Analisis Regresi Logit Biner Analisis SWOT Formulasi Strategi Komunikasi Pemasaran Keterangan: ---------- menjelaskan mengenai cara pengolahan data Gambar 4. Kerangka Penelitian Dengan menggunakan analisis SWOT, efektivitas komunikasi pemasaran yang telah ada kemudian digunakan untuk mendapatkan formulasi strategi komunikasi pemasaran yang cocok digunakan dalam pemasaran kawasan ekowisata berbasis masyarakat. Sehingga berdasarkan telaah skripsi tentang strategi komunikasi pemasaran kawasan ekowisata berbasis masyarakat, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian yaitu: 28 1. Bagaimana rancangan pesan yang digunakan dalam komunikasi pemasaran di TNGHS? 2. Apa saja ragam media komunikasi pemasaran yang telah digunakan TNGHS dalam melakukan komunikasi pemasarannya? 3. Bagaimana frekuensi komunikasi pemasaran yang dilakukan? 4. Bagaimana hubungan antara identifikasi komunikasi pemasaran dengan efektivitas komunikasi pemasaran? 5. Bagaimana strategi komunikasi pemasaran yang cocok diterapkan di TNGHS? 2.9 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: 1. Rancangan pesan memiliki pengaruh dalam efektivitas komunikasi pemasaran 2. Frekuensi Penyampaian media memiliki pengaruh dalam efektivitas komunikasi pemasaran 2.10 Definisi Operasional Rumusan definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Rancangan pesan adalah tingkat rancangan pesan, diukur dari lima variabel, yaitu Atttention, Need, Satisfaction, Visualization, dan Action. 2. Attention merupakan kekuatan pesan untuk menarik perhatian, diukur berdasarkan seberapa tinggi kekuatan pesan tersebut untuk dapat menarik perhatian pengunjung. Indikator: - Sangat tidak menarik, diberi skor 1 - Tidak menarik, diberi skor 2 - Menarik, diberi skore 3 - Sangat menarik, diberi skor 4 3. Need merupakan kebutuhan pengunjung akan informasi yang disediakan pihak TNGHS. Pengukuran dilakukan berdasarkan seberapa lengkap informasi yang disediakan pihak TNGHS. Indikator: - Tidak ada, skor 1 - Kurang lengkap, skor 2 29 - Lengkap, skor 3 - Sangat lengkap, skor4 4. Satisfaction merupakan kepuasan pengunjung terhadap ketersediaan informasi yang diberikan oleh TNGHS. Indikator: - Sangat tidak puas, skor1 - Tidak puas, skor 2 - Puas, kode 3 - Sangat puas, kode 4 5. Visualization merupakan persepsi pengunjung mengenai penggambaran isi pesan yang di sampaikan TNGHS. Indikator: - Tidak ada, skor 1 - Kurang lengkap, skor 2 - Lengkap, skor 3 - Sangat lengkap, skor 4 6. Action menggambarkan tingkat keinginan pengunjung untuk berkunjung ke TNGHS. Indikator: - Sangat lemah, skor 1 - Lemah, skor 2 - Kuat, skor 3 - Sangat kuat, skor 4 7. Frekuensi penyampaian menggambarkan seberapa sering informasi mengenai ekowisata berbasis masyarakat pengunjung. Indikator: - Tidak pernah, skor 1 - Jarang, skor 2 - Kadang-kadang, skor 3 - Selalu, skor 4 8. Ragam media komunikasi pemasaran menggambarkan sumber informasi mengenai ekowisata berbasis masyarakat. Indikator: periklanan, promosi penjualan, PR, personal selling, direct marketing, word of mouth. 9. Efektivitas komunikasi pemasaran menggambarkan seberapa efektif komunikasi pemasaran yang dilakukan dengan melihat Frekuensi ragam penyampaian medianya serta rancangan pesannya, dengan indikator: 30 - Efektif, kode 1 - Tidak efektif, kode 0