Coping Strategy Industri Kecil Konveksi di Masa Krisis Keuangan

advertisement
BAB VI
ANALISIS DAN PENUTUP
Pendahuluan
Pembahasan pad bab IV dan bab V telah banyak bercerita
tentang eksistensi sebuah usaha yang embeddedness dengan ranah
sosialnya, karena usaha itu sendiri adalah produk interaksi sosial dalam
sebuah ruang sosial. Usaha itu merupakan bentuk praktik tindakan
ekonomi yang dihasilkan dari kombinasi habitus dan modal di dalam
ranah itu.
Diskursus tentang Embeddedness ala Granovetter substansinya
adalah jaringan sosial itu sendiri menjadi energi sosial bagi berjalannya
usaha, baik pada awal usaha, dalam masa gemilangnya ataupun masa
krisisnya. Energi sosial ini dapat dikonversikan menjadi modal
ekonomi, budaya maupun simbolik.
Kekuatan Jaringaan terakumulasi menjadi sebuah jaring labalaba sebagai jaring pengaman usaha sepanjang perjalanannya. Jaring
laba-laba merupakan pengandaian penulis tentang terakumulasinya
modal dalam perjalanan usaha, yang senantiasa menjadi kekuatan
usaha juga untuk mengatasi krisis.
Dalam bab ini penulis menganalisis aktivitas IK konveksi di
Tingkir Lor sebagai realitas ekonomi yang terembedded dalam
lingkungan sosialnya. Realitas ekonomi ini bisa berjalan karena modal
dan habitus yang diperolehnya di dalam ranah sosial yang
dimasukinya. Semua ini menjadi kekuatan aktor untuk bertarung di
dalam ranah usaha. Aktor akan menang bila telah mengakumulasi
modal sebanyak mungkin sebagai sumber energinya. Akumulasi modal
ini bisa terjadi bila posisi sosial ekonomi aktor memungkinkan untuk
mengakses jaringan tersebut, karena menurut Lin ada ketidakmerataan
akses untuk medapatkan modal.
147
Analisis
Jaringan mutualis menghubungkan ranah industri besar dengan ranah
masyarakat Tingkir Lor memproduksi usaha kecil konveksi baru di
Tingkir Lor
Keberadaan Damatex di tahun 1961, ternyata menjadi pelangi
indah setelah hujan bagi masyarakat Tingkir Lor. Pelangi menjadi
pertanda hujan akan berakhir, banjir menakutkan tidak akan terjadi.
Kehidupan masyarakat yang sulit sebagai petani gurem hanya
mengolah sawah yang bukan miliknya ataupun pedagang pasar yang
tidak menentu hasilnya, seakan menjanjikan masa depan yang suram
bagi anak cucu mereka. Namun kehadiran Damatex kembali mengukir
pelangi di langit Tingkir lor, ada harapan bagi masyarakat untuk
mendapatkan sesuatu yang berharga bagi kehidupan mereka.
Harapan itu dimulai dengan relasi mutualis yang dibangun
Damatex sebagai sebuah ranah baru dalam ruang sosial Tingkir dan
sekitarnya. Relasi mutualis ini berawal kebutuhan Damatex untuk
menjual kain limbah produksinya kepada masyarakat sekitar. Uluran
tangan relasi itu direspons antusias oleh individu-inividu di Tingkir
Lor. Terciptalah relasi yang mutualis antara Damatex dengan
masyarakat sekitarnnya.
Relasi mutualis ini bisa terjalin karena ter-embedded-nya
individu-individu dengan konteks sosialnya. Individu di Tingkir lor
embedded dengan ruang sosialnya, yang di dalamnya terdapat ranah
Damatex. Berjaring dengan ranah Damatex merupakan cikal bakal
terbentuknya ranah baru yakni usaha kecil konveksi di Tingkir Lor.
Jika digambarkan jejaring antar ranah individu dengan ranah Damatex
sehingga menghasilkan ranah usaha konveksi baru, demikian :
148
Konsumen
limbah
Ranah
masy
Tingkir
Lor
Suplai bahan
baku murah
Ranah
Damatex
Usaha baru
Gambar 6.1
Relasi Mutualisme Usaha Besar dan Warga Tingkir Lor
Peluang mendapatkan kain limbah produksi direspons sebagai
peluang dibentuknya usaha pengolahan limbah oleh keluarga di
Tingkir lor. Hal ini dinampakkan dengan sikap antusias dari keluarga
di Tingkir Lor dengan membeli kain 10 kg tiap keluarga, dua minggu
sekali, dijahit menjadi celana kolor, kemudian dijual sendiri ke pasar.
Sikap antusis ini direspons oleh Damatex, dengan semakin memberi isi
yang signifikan pada relasi mutualis yang telah terjalin
Relasi mutualis dari aktivitas jual-beli limbah berkembang
menjadi jaringan bapak dan anak yang tetap mutualis. Dalam jaringan
bapak-anak itu, Damatex ada dalam posisi sebagai bapak yang tidak
hanya menyuplai bahan baku murah, tetapi juga memberikan
pelatihan ketrampilan jahit-menjahit kepada 12 orang warga Tingkir
Lor dan menghibahkan mesin jahit kepada mereka. Di pihak lain,
Damatex tetap ada dalam kepentingan mendapatkan tempat penjualan
limbah yang tetap. Jaringan mutualis seperti inilah yang diwacanakan
juga oleh Mudrajad Kuncoro sebagai solusi untuk mengatasi masalahmasalah usaha kecil yang menurutnya saat itu belum tercapai
(Kuncoro: 2000).
149
Struktur sosial membentuk Habitus masyarakat Tingkir Lor
Jaringan mutualis antara Industri Tekstil Damatex dan
masyarakat Tingkir Lor melahirkan suatu Habitus baru. Ketrampilan
yang dilatihkan oleh Damatex kepada 12 warga Tingkir Lor serta
menghibahkan mesin jahit yang kepada mereka, ternyata merupakan
momentum berharga lahirnya habitus baru.
Ketrampilan menjahit ini selanjutnya diajarkan buat keluarga
dan tetangga sekitar, sehingga ketrampilan tersebut telah menjadi
pengetahuan bersama mereka. Pengetahuan bersama itu dibatinkan
oleh aktor sehingga menjadi mental atau spirit masyarakat Tingkir Lor.
Habitus yang menjadi spirit dan pengetahuan masyarakat
Tingkir Lor diwariskan turun-temurun kepada anak cucu mereka,
hingga generasi ketiga sekarang ini dengan cara ngewangi orang tua.
Ketrampilan menjahit diwariskan secara sadar kepada anak-anak
mereka. Ngewangi orang tua dipakai sebagai metode dalam pewarisan
ketrampilan. Metode ini dipikirkan lebih efektif, karena proses
pengasuhan menurut Bourdieu dilakukan tanpa paksaan.
Habitus ini kemudian melekat pada aktor, inheren dengan
aktor, dan bersama-sama aktor berjuang di dalam ranah. Melekatnya
habitus pada aktor hingga masyarakat Tingkir Lor mengidentifikasi diri
mereka sebagai komunitas penjahit, yang diplesetkan dengan kaum
Mujahitin. Sudah 3 generasi ini habitus dipegang melekat kuat secara
mental dan pengetahuan masyakat. Habitus itu belum berubah hingga
kini. Begitu mengakarnya habitus ini pada masyarakat Tingkir Lor,
sehingga meskipun jatuh dalam usaha konveksi, mereka akan bangkit
lagi untuk membangun usaha. Karena mereka meyakini bahwa
konveksi adalah jalan hidup mereka, yang sudah mendarah-daging
sejak dulu.
150
Family embeddedness kekuatan memulai dan menjalankan usaha
konveksi hingga menghadapi krisis keuangan global
Start up usaha biasanya membutuhkan akumulasi sumber daya
yang tidak sedikit. Dalam kasus industri kecil konveksi di Tingkir lor
sumber daya itu diperoleh dari keluarga yang penuh keterbatasan,
karena usaha ter-embedded sejak awalnya di dalam ranah keluarga
(Hill and Aldrich: 2003). Embeddednya usaha pada keluarga dan
masyarakat dapat digambarkan demikian:
IK Konveksi
Tingkir Lor
Keluarga : sumber
Jaringan sosial yang
capital
menghubungkan
IK
Konveksi dan masyarakat
Masyarakat:
Penyuplai bahan
baku, sumber
modal dan pasar
Gambar 6.2
Embeddedness Usaha dan Keluarga serta Masyarakat
Usaha yang ter-embedded di dalam keluarga, kemudian
terembedded pula dengan masyarakat dihubungkan oleh jaringan sosial
yang dimiliki keluarga. Jaringan sosial ini menghubungkan usaha
keluarga dengan masyarakat yang didalamnya terdapat penyuplai
bahan baku, sumber modal dan pasar. Pada fase awal usaha jaringan
sosial yang merelasikan keluarga dengan penyuplai bahan baku
menemukan peluang usaha karena mendapatkan akses bahan baku
murah. Modal awal usaha juga diperoleh karena keluarga berjaring
dalam relasi persahabatan sehingga mendapatkan tambahan modal
151
untuk memulai usaha. Jaringan keluarga ke pasar juga memungkin
aktor untuk memasuki ranah pasar dengan leluasa. Pada Fase
perkembangan usaha, jaringan keluarga dengan penyuplai untuk
mendapatkan bahan baku serta akses modal perluasan usaha. Pada fase
ini pula, pengusaha mulai membangun jaringan pemasaran dengan
pedagang di Salatiga dan sekitarnya. Apalagi pada masa krisis jaringan
jaringan sosial dari keluarga menghubungkan usaha dengan penyuplai
bahan baku sangat penting untuk mengatasi kelangkaan bahan baku.
Jaringan dengan sumber modal ternyata membuat aktor bisa
memperoleh pinjaman modal dalam masa dimana orang lain susah
mendapatkannya. Jaringan dengan pasar juga sangat penting untuk
mengatasi persaingan, aktor mengupayakan pasar yang lebih luas, dan
tetap untuk masing-masing aktor.
Keluarga layaknya lumbung padi yang memberikan suplai
sumber daya bagi usaha setiap saat dibutuhkan meskipun dalam
keadaan terbatas, pada fase awal usaha maupun fase perkembangan
usaha. Sumber daya yang dimiliki keluarga pengusaha kecil konveksi di
Tingkir Lor, berupa modal sosial, modal ekonomi dan sumber daya
manusia. Modal sosial berupa jaringan kekerabatan yang memberikan
akses modal bagi usaha keluarga ini. Modal ekonomi berupa peralatan
produksi, modal uang yang merupakan tabungan pendapatan profesi
sebelumnya. Tenaga kerja dalam keluarga berasal dari anggota keluarga
sebagai SDM dalam keluarga.
Pada masa perkembangan usaha, Akumulasi modal terjadi di
dalam keluarga karena adanya family embeddedness. Wujudnya dapat
berbentuk uang maupun aset dan investasi keluarga. Akumulasi uang
seringkali habis terpakai untuk kebutuhan keluarga dan produksi tanpa
tersisa. Sedangkan akumulasi modal berupa aset keluarga, berupa
mobil, kendaraan bermotor, sawah dan serta investasi pendidikan anak
merupakan modal ekonomi yang bertahan lebih lama.
Aset dan investasi keluarga sangat berguna di masa krisis
keuangan global. ketika modal semakin menipis, aset ini dapat
dipertukarkan menjadi modal usaha. Pengusaha yang mengakumulasi
152
modal dalam bentuk aset dan investasi berupa sawah, memiliki
kemampuan bertahan di masa krisis.
Modal simbolik juga melekat pada beberapa keluarga di Tingkir
Lor yang dimanfaatkan untuk mendapatkan akses modal. Dua keluarga
pengusaha, suami mereka adalah ulama di Tingkir Lor. Dengan modal
ini, pihak Bank dan koperasi memiliki kepercayaan yang besar
terhadap mereka sehingga datang untuk menawarkan pinjaman modal.
Pada masa krisis, ketika bahan baku semakin langka dan modal
semakin menipis, kekuatan jaringan sosial dipakai untuk
mempertahankan usaha tetap berjalan.Jaringan sosial antara pengusaha
dan pengepul, memungkin mereka mendapatkan bahan baku dengan
hanya membayar 20 % pembayaran terlebih dahulu, sisanya dicicil
kemudian. Jaringan sosial juga memungkinkan pengusaha untuk
mendapatkan modal dari Bank dan pinjaman tanpa agunan dari
jaringan kekerabatan.
Efisiensi sebagai prinsip produksi sejak awal hingga masa krisis
Dengan segala keterbatasan usaha kecil konveksi dimulai di
Tingkir Lor. Keterbatasan modal dan keterbatasan sumber daya
lainnya. Keterbatasan ini disadari sejak awal oleh aktor. Namun tidak
menyurutkan langkah mereka untuk menjalankan usaha.
Untuk mengatasi keterbatasan itu, efisiensi menjadi prinsip
dalam produksi. Prinsip efisiensi diaplikasikan secara nyata oleh aktor
dengan menggunakan kain limbah sebagai bahan baku. Dalam
pengolahan kain limbah ini, tidak kain yang tersisa, semuanya harus
diolah menjadi produk bernilai. Tenaga kerja utama berasal dari
anggota keluarga merupakan aplikatif dari prinsip efisiensi pula.
Pada masa krisis keuangan global, prinsip efisiensi semakin
penting untuk mengatasi keterbatasan modal. Pembelanjaan
kebutuhan rumah tangga sudah semakin diketatkan agar modal tidak
semakin menipis. Kain limbah yang lebih tipis dengan harga yang lebih
153
murah dipilih sebagai bahan baku konveksi, juga merupakan strategi
efisiensi di masa krisis. Keterbatasan daya listrik, sementara daya listrik
yang dibutuhkan semakin tinggi.
Penyatuan uang keluarga dan modal usaha sebagai ciri yang
melekat pada IK konveksi di Tingkir Lor, mengharuskan efisiensi pada
pembelanjaan keluarga, agar modal tidak habis. Efisiensi dengan sadar
dilakukan oleh 90 % unit usaha konveksi di Tingkir Lor. Tindakan
yang tidak efisien berakibat pada matinya unit usaha.
Keutamaan Modal sosial di dalam keluarga untuk mengakumulasi
modal ekonomi dan modal budaya
Keterbatasan modal ekonomi dan modal budaya pada keluarga,
membuat ia harus mengoptimalkan bahkan menggandakan modal
sosialnya untuk mendapatkan akses ke modal lain. Modal ekonomi
yang apa adanya sudah dihabiskan pada masa awal usaha. Modal
budaya pun tidak dimiliki oleh keluarga.
Untuk mengatasi keterbatasan ini aktor dalam ranah keluarga
ini terus berjuang menggunakan jaringan sosial yang dimilikinya untuk
mendapatkan akses modal ekonomi dari ranah lain yang terjaring.
Bahkan jaringan-jaringan baru terus dibentuk untuk mencari peluang
akses modal baru, dimana saja itu dimungkinkan. Maka terjadilah
akumulasi modal termasuk modal sosial menurut teori neo capital
theories ( Nee dalam Lin : 2000). Investasi jaringan sosial ini
merupakan salah satu bentuk strategi investasi ekonomi dari Piere
Bourdieu.
Akumulasi jaringan sosial tersusun melalui struktural holes
(Granovetter : 2005), terjaring rapi sehingga penulis menamakannya
sebagai jaring laba-laba. Akumulasi jaringan ini menghasilkan struktur
sosial baru yang tidak meniadakan struktur yang lama, tetapi semakin
memperkaya strukstur sosial dalam sebuah ruang sosial menurut
penulis.
154
Pada masa krisis keuangan global penelitian Bapennas (2010)
mengatakan bahwa akses modal perbankan kepada usaha kecil semakin
kecil. Hal itu dialami pula oleh Industri kecil konveksi di Tingkir Lor.
Kesulitan ini membuat mereka harus mengerahkan energi sosialnya
(Hasbullah : 2006) untuk mengatasi persoalan akses modal ini.Dengan
energi sosial yang mereka miliki, 3 unit usaha bisa mendapatkan akses
modal di masa krisis keuangan global. Unit usaha lain berada dalam
posisi sosial berbeda, sehingga sulit membangun jaringan akses modal
ke Bank.
Posisi sosial ekonomi yang berbeda, mengakibatkan perbedaan
akses terhadap modal. (Lin : 2000) Hal ini diteorikan oleh Lin sebagai
Inequality capital. Ketidakmerataan posisi ini berakibat banyak usaha
yang mengalami perlambatan produksi bahkan bangkrut. Misalkan
unit usaha mas Susilo tidak bisa menjadikan rumah mereka sebagai
jaminan pinjaman di bank, karena rumah di desa kebanyakan rumah
gandeng warisan orang tua yang merupakan kepemilikan bersama
dengan keluarga yang lain. Posisi sosial ekonomi inilah yang tidak
merata dengan unit usaha yang lain. Misalkan pula posisi sosial
ekonomi pak Mat Shodiq yang dulu pernah memutuskan untuk
berhenti PNS kemudian terjun ke dunia usaha kecil. Pengalaman ini,
membuat posisi utara dan selatan antara Pak Mat Shodiq dan
Pemerintah. Hal ini membuat beliau tidak pernah membangun
jaringan dengan pemerintah atau perbankan. Sedangkan bu abidin dan
bu Imrori memiliki posisi sosial ekonomi yang menguntukan karena
lebih dekat posisinya dengan bank akibat dari keterlibatan mereka
dalam aktivitas bank sebelumnya.
Ketidakmerataan posisi sosial ekonomi aktor ini memberi akses
kepada yang lain dan sebaliknya menjadi hambatan struktural bagi unit
usaha yang lain. Posisi sosial ekonomi yang baik, memungkinkan aktor
melakukan akumulasi modal. Mereka yang berhasil mengakumulasi
modal, kemudian menjadi pihak yang mendominasi unit usaha lainnya.
Unit usaha lainnya terdominasi, karena posisi sosial ekonomi aktor
tidak bisa mengakses modal. Terbentuklah jaringan suplai baru dalam
155
ranah Tingkir Lor, karena dominasi aktor terhadap modal ekonomi dan
bahan baku. Unit usaha lain semakin terdominasi, sehingga semakin
terpuruk pula usaha mereka.
Prinsip memperluas jaringan sosial menjadi strategi pemasaran dalam
menghadapi persaingan di masa krisis
Persaingan merupakan bentuk pertarungan antar aktor yang
terjadi pada ranah usaha konveksi di Tingkir Lor pada masa krisis.
Berbagai bentuk persaingan mulai muncul untuk memperebutkan
pasar dengan unit usaha di dalam Tingkir lor maupun di daerah
sekitarnya. Persaingan terkait harga bahan baku juga terjadi karena
akses terhadap modal dan bahan baku yang berbeda.
Untuk menghadapi persaingan, aktor melahirkan strategi
akumulasi jaringan sosial yang terkonversi sebagai jaringan pemasaran.
Jaringan sosial dengan tetangga mengalami pertukaran atau konversi
menjadi jaringan pemasaran. Tetangga yang merantau ke luar Jawa,
ketika mudik lebaran, kemudian tertarik untuk memasarkan produk
konveksi Tingkir Lor ke luar Jawa. Jaringan sosial ini dibentuk
sebanyak-banyaknya, sehingga terkonversi pula menjadi jaringan
pemasaran yang semakin luas. Jaringan dengan konsumen mahasiswa
asal luar jawa juga berkembang menjadi jaringan pemasaran yang
meluas ke daerah-daerah.
Semakin tinggi persaingan di ranah pemasaran pulau Jawa,
untuk menghadapinya aktor mengelola struktur sosial menjadi jaringan
pemasaran yang sistematis. Kelompok arisan, kelompok pengajian
merupakan struktur sosial yang tinggi kunjungan para ibu. Struktur
sosial ini kemudian dikonversi menjadi pasar dari produk konveksi di
Tingkir Lor. Untuk masuk ke dalam struktur sosial tersebut, aktor
membangun jaringan dengan kelompok-kelompok sales yang
kebanyakan perempuan. Kelompok-kelompok sales ini yang
melakukan manuver di arena pasar. Jadi, sistem sales menjadi strategi
pemasaran yang sangat terstruktur dan sistematis.
156
Kecerdasan membangun jaringan di tengah krisis keuangan global
dengan secara tepat memanfaatkan ikatan lemah dan ikatan kuat
Dalam realitas di Tingkir Lor penempatan ikatan lemah dan
ikatan kuat dalam jaringan yang tepat, akan berefek positif terhadap
proses usaha. Hal ini agak berbeda dengan pandangan Granovetter
bahwa ikatan lemah yang lebih memberikan nilai tambah positif bagi
sebuah usaha (Granovetter : 1983). Meskipun selanjutnya Granovetter
mengatakan ikatan kuat juga memiliki manfaat, namun penekanan
Granovetter lebih mengedepankan ikatan lemah. Tulisan ini
melengkapi bahwa kedua ikatan kuat maupun ikatan lemah, samasama signifikan bagi usaha, tergantung menempatkannya secara tepat
pada posisi jaringan yang mana.
Pada fase awal usaha, untuk memulai usaha dibutuhkan
akumulasi modal, maka yang memiliki kerelaan untuk itu adalah
keluarga yang berikatan kuat dengan aktor. Kerelaan yang utuh
dipersembahkan oleh jaringan yang ikatannya kuat dengan aktor.
Kesetiaan untuk mencurahkan waktu bagi usaha juga dimiliki oleh
anggota keluarga yang ikatannya kuat dengan aktor. Jadi, Ikatan kuat
ini pada awalnya yang memungkinkan usaha konveksi di Tingkir Lor
bisa berjalan.
Ikatan kuat juga dipakai sebagai jaringan dalam mengakses
modal ekonomi. Keluarga memiliki kerelaan berkorban untuk
kesuksesan usaha. Pada awal usaha keluarga mengerahkan semua
modal yang dimilikinya untuk start-up. Mobilisasi sumber daya ini bisa
terjadi dalam jaringan yang berikatan kuat seperti keluarga atau
sahabat.
Jaringan pemasaran yang dibangun pada masa sebelum ataupun
sesudah krisis, berjaring dengan ikatan lemah menjadi pilihan yang
cerdas aktor. Dengan ikatan lemah antara aktor dengan pedagang
ataupun kenalan yang baru, mendatangkan informsi tentang pasar
yang lebih beragam dan lebih luas. Dengan ikatan lemah pula,
relasinya diikat semata pada kepentingan usaha, bukan persaudaraan
ataupun persahabatan. Sehingga uang usaha tetap dihargai sebagai
157
milik pengusaha. Jika kerabat yang dilibatkan dalam pemasaran maka
informasi pasar akan tertutup dan keluarga merasa berhak
mengkonsumsi hasil penjualan.
Kecerdasan aktor membangun jaringan dengan menempatkan
ikatan lemah dan ikatan kuat secara tepat memberikan energi positif
bagi usaha. Baik ikatan lemah maupun ikatan kuat harus digunakan
untuk membangun jaringan. Pengalaman aktor dalam ranah usaha
konveksi di Tingkir Lor untuk dengan tepat menempatkan ikatanikatan itu. Ikatan yang kuat ditempatkan sebagai sumber resources dan
jaringan menuju akses modal dan penyuplai. Ikatan lemah digunakan
pada jaringan untuk pemasaran.
Strategi Jaring laba-laba sebagai jaring pertahanan usaha di masa krisis
keuangan global
Strategi jaring laba-laba merupakan pengandaian penulis terhadap
akumulasi modal sosial dan akumulasi krisis yang terjadi pada industri
kecil konveksi di Tingkir Lor. Krisis Keuangan Global yang berefek
domino terhadap 5 unit usaha yang diteliti bahkan 2 usaha bangkrut
terkena efek KKG. Krisis keuangan global menjadi momentum
akumulasi dari sejumlah krisis yang terjadi sebelumnya. Demikian pula
dengan kebertahanan usaha pada masa susah modal dan langka bahan
baku bisa terjadi, karena modal terakumulasi sejak awalnya hingga
kini. Aktor akan menggunakan modal yang terakumulasi itu untuk
menghadapi krisis.
158
BU
1990-an2000-an
1980-an
2004-an
1970-an
1960-an
2008-an
2010-2013
Sblm KKG
KKG
SU
Keterangan gambar :
SU : Start Up usaha tahun 1960-an
BU : Booming usaha tahun 1980-an hingga 1990-an
1960 : Relasi mutualis dalam aktivitas jual beli kain limbah
1970 : Jaringan suplai dengan Damatex serta Industri tekstil Solo
Family embeddedness : mobilisasi sumber daya
1980 : Komunitas/sentra usaha kecil konveksi
Jaringan suplai bahan baku dari pengepul yang beragam
Jaringan Pemasaran dengan pedagang Salatiga dan sekitarnya
1990 : Boomingnya usaha terjadi akumulasi modal
Jaringan Pemasaran ke luar Jawa
Krisis moneter tahun 1998
2000 : Krisis mulai dirasakan Pelaku usaha konveksi
2004 : Krisis BBM
Jaringan pemasaran dengan sistem sales
2008 : Krisis Keuangan Global
Bahan baku langka dan mahal
Jaringan akses modal
159
2010 : Dampak Krisis terlihat jelas, 2 unit usaha Bangkrut, 1 Usaha melambat,
e unit usaha tetap eksis
Coping strategi, mengoptimalkan modal yang telah diakumulasi sejak
awal
Modal sosial yang terakumulasi
Struktur sosial berupa jaringan sosial yang dibentuk pada awal
usaha, tidak pernah ditiadakan, tetapi selalu ada dalam ranah usaha.
Jaringan sosial ini terakumulasi dalam ranah dan membentuk jaringan
yang saling terhubung satu dengan yang lainnya melalui struktural
holes (Granovetter : 2005). Demikian pula dengan jaringan sejak awal
yang terbentuk saling mengikat dalam ranah IK konveksi Tingkir Lor
membentuk sebuah jaring laba-laba dan semuanya itu terakumulasi
dan digunakan saat menghadapi krisis.
Kekuatan akumulasi modal pada jaring laba-laba ini teruji ketika
aktor mengalami krisis. Misalkan saja dalam kasus pak Mat Shodiq,
yang mengalami krisis berupa penipisan modal uang namun tidak
mendapatkan akses modal dari bank. Krisis ini telah beliau rasakan
sejak tahun 2004, namun semakin menguat di tahun 2010 ini.
Ditambah lagi istrinya sakit dan harus dirawat selama setahun.
Pukulan beruntun yang beliau alami sangat membuka kemungkinan
beliau kalah dan bangkrut dalam pertarungan ini. Beruntung saja
beliau pernah mengalami booming usaha dan memiliki banyak aset
dari hasil booming usaha itu, sehingga beliau hanya mengalami
perlamabtan usaha, dengan bahasa pak Mat Shodiq dikatakan masih
berproduksi sedikit-sedikit. Kekuatan Family embeddedness dan
habitus keluarganya juga berperan dalam menjaga keberlanjutan usaha
di masa krisis.
Penutup
Sumbangsih Teoritik
160
Diskursus tentang sosiologi ekonomi, melihat tindakan
ekonomi sebagai produk dari relasi sosial ataupun struktur sosial di
dalam suatu ruang sosial. Tindakan ekonomi yang dilakukan oleh aktor
embedded di dalam ruang sosial tertentu yang berisi relasi sosialbahkan
struktur sosial, karena itu fenomena ekonomi dapat dianalis dari aspek
sosialnya.
Struktur sosial dalam ranah tertentu dibentuk oleh individu
yang berjaring dalam ranah yang lama. Individu berjaring untuk
kepentingan mengakumulasi modal dalam ranah tertentu.
Ranah itu sendiri merupakan bentukan dari hasil jejaring ranah
yang satu dengan lainnya. Ranah dalam konsep Bourdiue merupakan
arena yang sudah ada dengan sendirinya. Temuan penulis dalam
analisis terhadap realitas ranah usaha konveksi yang lahir karena
jejaring ranah yang satu dengan lainnya. Jejaring antar ranah
memproduksi ranah baru bagi sebuah ruang sosial.
Habitus diproduksi oleh ranah tertentu dan dihibahkan untuk
melengkapi aktor dalam bertarung memperebutkan modal. Habitus ini
disosialisasikan dan dibatinkan oleh aktor menjadi sebuah mental atau
pengetahuan bersama. Habitus ini bisa berubah, namun perubahan itu
berlangsung melambat.
Ruang sosial merupakan tempat mengakumulasi modal dan
jaringan sosial menjadi sebuah struktur laba-laba sebagai pengaman
usaha kecil khususnya ketika menjalankan usaha di masa krisis.
Struktur sosial yang terbentuk tidak meniadakan struktur sosial yang
lama, tetapi saling menyusun menjadi sebuah struktur yang kaitmengait melalui stuktural holes. Inilah yang kemudian penulis
andaikan sebagai sebuah jaring laba-laba.
Sumbangsih Praktik
Tulisan ini diharapkan memberikan sumbangan secara praktik
bagi perkembangan Industri kecil di Indonesia secara khusus di
161
Tingkir Lor, yang semestinya melihat persoalan kemandekan usaha
bukan karena aspek ekonomi saja, tetapi yang terpenting adalah aspek
sosial. Persoalan ketidakseimbangan posisi sosial ekonomi dalam
mengakses modal dan modal yang terkumulasi dengan baik,
memungkinka sebuah usaha untuk jatuh atau berjalam terus. Karena
itu membenahii persoalan sosial ekonomi penting untuk dilakukan
oleh pengusaha ataupun para ilmuan sosial ekonomi.
Rekomendasi
Penelitian tentang Industri kecil rumah tangga sangat penting
dilakukan melihat kemampuan mereka untuk bertahan di tengah
pukulan krisis yang beruntun. Namun saat ini tidak semua hal dapat
dikaji dalam tesis ini.
Dominasi dan terdominasi dalam sebuah ranah usaha merupaka
hal menarik yang bisa diteliti selanjutnya oleh peneliti lain. Dominasi
yang dilakukan pengusaha terhadap karyawan, dominasi yang
dilakukan pengusaha-pengusaha dan bagaiman caranya yang
terdominasi membebaskan diri dari tekanan dominasi itu, agar usaha
tetap berjalan dalam keadaan penuh tekanan sekalipun.
Saran
Saran penulis kepada pengusaha IK Konveksi untuk semakin
cerdas menggunakan jaringan sosial yang ada, semakin etis dalam
memperlakukan karyawan sehingga tidak terjadi eksploitasi dan
membangun hubungan dengan Pemerintah, dunia usaha, sumber
modal dan pasar.
162
Download