konsepsi kedaulatan negara dalam borderless space

advertisement
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
pengelolaan aset tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut karena sulitnya
pembuktian dari kedua belah pihak.
Dalam rangka mempermudah pembuktian pengembalian aset
berdasarkan “positive wettelijk bewijs teorie”, beban pembuktian atau
bewijslast yang harus diterapkan adalah omkering van bewijslast atau
pembuktian terbalik. Dalam konteks pengembalian aset, jika negara yang
diwakili oleh jaksa pengacara negara akan meminta pembekuan,
penyitaan bahkan sampai pada pengembalian aset, orang atau pihak
yang mendaku bahwa aset tersebut adalah miliknya, dialah yang
dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh
secara legal. Artinya, aset tersebut diperoleh bukan dari suatu perbuatan
yang melawan hukum.
Apabila orang atau pihak yang mendaku memiliki hak atas aset yang
akan disita dapat membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara sah,
maka jaksa pengacara negara dibebani kewajiban untuk membuktikan
sebaliknya. Akan tetapi, jika orang atau pihak yang mendaku memiliki
hak atas aset yang akan disita tidak dapat membuktikan bahwa aset
tersebut diperoleh secara sah, maka pengadilan menjatuhkan putusan
untuk menyatakan aset tersebut adalah milik negara dan memerintahkan
pembekuan, penyitaan dan pengembalian aset tersebut.
Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli, 2003, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, dalam
Makalah Seminar Tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 Terhadap
Sistem Hukum Nasional, Diselenggarakan oleh; Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, di Bali tanggal; 14-15 Juni 2006.
________________, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Bassiouni, Cherif M., 2003, Introduction to International Criminal Law, Transnational
Publishers, Inc., Ardsley, New York.
Cavadino, Michael and Dignan James, 1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE
Publication Ltd.
14
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Hiariej, Eddy O.S., 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And
Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation
Research Institute.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Sambutan Pembukaan Seminar Tentang
Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum Nasional, BPHN
Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, Denpasar-Bali, 14 Juni 2006.
Marzuki, Peter Mahmud, 2007, StAR Initiative Dalam Perspektif Hukum Perdata,
Newsletter KHN, Vol. 8, No. 1, Januari – Februari 2008.
Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Montesquieu, C.S.B.D., 2007, The Spirit Of Laws, diterjemahkan oleh M.khoril Anam,
Nusamedia, Bandung.
Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Stolpe, Oliver, 2008, Legal Framework on Asset Recovery – The UN Convention Against
Corruption.
The International Bank For Reconstruction and Development / The World Bank, 2007,
Stolen Asset Recovery ( StAR) Initiatives: Challenges, Opportunities and Action
Plan, Washington, 2007.
United Nations Convention Against Corruption.
University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”,
Scarman Center, University Of Leicester.
Utrecht, E., 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia.
15
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG
PIAGAM ASEAN: ARTI PENTING BAGI PERJANJIAN
INTERNASIONAL LAINNYA
Damos Dumoli Agusman
Abstrak
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang apakah Piagam ASEAN
bertentangan dengan UUD 1945 telah memberikan gambaran lebih
mengenai politik hukum Indonesia terhadap hubungan antara
perjanjian internasional dan hukum nasional. Dalam putusan MK,
yang disertai dengan opini berbeda (dissenting opinion) dari
beberapa hakim, dinyatakan bahwa MK memiliki kewenangan untuk
menguji Piagam ASEAN secara materiil. Pernyataan tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam perspektif hukum formal,
Piagam ASEAN dipandang telah menjadi bagian dari hukum nasional
dengan ratifikasi melalui undang-undang. Alasan ini yang kemudian
dikaji oleh penulis berdasarkan teori-teori di dalam hukum
internasional dan praktik-praktik di negara lain.
Kata kunci: Piagam ASEAN, Mahkamah Konstitusi, perjanjian
internasional, ratifikasi, hukum nasional, teori monisme, teori
dualisme.
Abstract
The decision of Indonesian Judicial Court on the case that questioning
whether the ASEAN Charter is inconsistent with the Indonesian
Constitution has given more views on Indonesian legal politics
regarding the relation between treaty and national law. In the Judicial
Court’s decision, with dissenting opinion from some of the judges, it is
stated that the Judicial Court has legal standing to materially examine
the ASEAN Charter. Such statement resulted from the consideration
that in formal legal perspective, the ASEAN Charter has become a part
of national law through ratification by law. This reasoning that will be
then analyzed by the writer of this article based on theories in
international law and practices in other countries.
Keywords: ASEAN Charter, Judicial Court, international treaty,
ratification, national law, theory of dualism, theory of monism.
16
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Setelah ditunggu hampir 2 tahun pasca diajukannya gugatan oleh
sejumlah LSM tanggal 5 Mei 2011, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK)
pada Selasa, 26 Februari 2013 menentukan sikap terhadap nasib Piagam
ASEAN. Dalam amar putusannya, MK menyatakan menolak
permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Artinya, Piagam ASEAN
tidak bertentangan dengan UUD.
Putusan ini mungkin melegakan Pemerintah karena menjadi
terhindar dari kemungkinan pelanggaran kewajiban internasionalnya,
namun bukan berita yang menggembirakan bagi para pakar hukum
khususnya hukum internasional. Bagi kalangan ini, bukan hasil
putusannya yang penting namun argumen yang menggiring ke arah
putusan itu, karena argumen ini (sering disebut ratio decidendi) kelak akan
menentukan nasib perjanjian-perjanjian internasional lainnya.
MK mengatakan bahwa lembaga ini berwenang untuk menguji
Piagam ASEAN karena dokumen ini tidak lain dan tidak bukan adalah
bagian yang tak terpisahkan dari UU yang merupakan objek yang sah
untuk diuji oleh MK. Karena secara formal Piagam ini adalah UU maka
tidak ada alasan bagi MK untuk tidak dapat mengujinya. Setelah
memutuskan bahwa MK berwenang, selanjutnya para Hakim masuk ke
materi Piagam ASEAN dan menemukan bahwa Pasal 5 ayat (2) ASEAN
Charter yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah kebijakan makro dan
belum berlaku efektif. Secara nasional berlakunya kebijakan makro
tersebut tergantung kepada masing-masing negara anggota ASEAN
untuk melaksanakan. Atas argumen ini maka gugatan pemohon tidak
beralasan menurut hukum.
Argumen ini telah menguak politik hukum Indonesia tentang
perjanjian internasional yang selama ini masih misteri dan dalam literatur
masih diperdebatkan. Dengan tegas MK memberi pesan bahwa selama
perjanjian internasional dibuat dalam bentuk UU maka semua perjanjian
internasional dapat diuji oleh MK. Artinya, semua perjanjian
17
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
internasional lainnya dapat diuji dan berpotensi untuk dinyatakan
bertentangan dengan UUD. Argumen ini sangat logis dan dapat
dipahami. Namun yang lebih menarik adalah bahwa MK telah memilih
aliran hukum yang menjadi kontroversi selama ini bahwa UU yang
meratifikasi Piagam ASEAN tidak berbeda dengan UU lainnya dan tidak
menemukan alasan yang meyakinkan mengapa UU ini harus dibedakan
dengan UU lainnya, sekalipun tersedia doktrin yang menyatakan
sebaliknya.
Argumen apakah Piagam ASEAN ini merupakan UU sudah sering
diperdebatkan dalam dunia akademis. Kontroversi ini tampaknya
mengemuka dalam perdebatan para hakim konstitusi. Dua hakim
Konstitusi melalui dissenting opinion keberatan dengan argumen yang
mengidentikkan UU No. 38/2008 dengan UU pada umumnya. Menurut
kedua hakim ini: ‘memang benar, formil UU 38/2008 adalah UndangUndang, tetapi materilnya bukanlah Undang-Undang dan tidak dapat
dijadikan obyek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang
Mahkamah. Selanjutnya ditegaskan bahwa UU ini bukanlah suatu
peraturan perundang-undangan yang substansinya bersifat normatif,
yang adressat normanya dapat secara langsung ditujukan kepada setiap
orang, tetapi merupakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat
terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah
untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945, dan diberi ”baju” dengan UU.
Kontroversi tentang status UU yang meratifikasi suatu perjanjian
internasional juga melanda sistem hukum lainnya. Pengadilan Belanda
pernah mengalami perdebatan ini. Beberapa ahli menilai UU (Wet)
ratifikasi memiliki 2 fungsi yaitu, menyetujui Raja/Ratu melakukan
ratifikasi terhadap perjanjian dan sekaligus menjadikan perjanjian itu
menjadi hukum nasional yang setara dengan UU. Namun pengadilan
Belanda pada 2 Januari 1899 menolak argumen ini dalam kasus
”Konvensi Manhnheim on Rhine Navigation (1868) dengan menyatakan
bahwa kekuatan hukum Konvensi ini tidak bersumber dari Wet yang
18
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
mengesahkannya melainkan pada tindakan pertukaran instrumen
ratifikasi antara kedua negara (Belanda dan Jerman). Jurisprudensi ini
menyelesaikan perdebatan pada waktu itu dan kemudian menjadi politik
hukum dalam revisi Konstitusi Belanda tahun 1953 yang secara tegas
menempatkan perjanjian berada di atas hukum nasional Belanda dan
bahkan di atas Konstitusi.
Negara berkembang seperti Kolombia juga telah menuntaskan
persoalan klasik ini pada awal abad 20. Duduk perkaranya sama dengan
yang dialami oleh MK saat ini. UU No. 14 Tahun 1914 yang meratifikasi
Treaty antara AS dan Kolombia tentang pengakuan kedaulatan Panama
digugat ke Pengadilan Kolombia karena bertentangan dengan UUD.
Pengadilan Kolombia tidak tertarik mengulas tentang apakah benar treaty
ini bertentangan dengan UUD, melainkan hanya menjawab apakah
Pengadilan memiliki kewenangan untuk menguji UU No. 14 Tahun 1914
dan treaty. Pengadilan ternyata berpendapat bahwa sekalipun UU ini
adalah produk legislatif namun tetap harus dibedakan dengan UU pada
umumnya. UU ini hanya merupakan wujud ekspresi unilateral dari
Kolombia untuk mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian dan tidak
menjadikan perjanjian itu berkekuatan mengikat karena masih
tergantung pada tindakan yang sama dari negara pihak lainnya.
MK dalam pengujian Piagam ASEAN ternyata mengambil sikap yang
sangat berbeda dengan kedua negara di atas. Tampaknya terdapat
kesulitan juridis bagi sebagian besar hakim konstitusi untuk keluar dari
asas legalitas bahwa UU yang meratifikasi suatu perjanjian tidak lain dan
tidak bukan adalah UU. Kesulitan ini dapat terbaca karena di bagian lain
MK mengatakan bahwa pilihan bentuk hukum ratifikasi perjanjian
internasional dalam bentuk formil Undang-Undang perlu ditinjau
kembali. Namun sayangnya, kesimpulan ini dibangun dari premis yang
agak lain dan terkesan bahwa mengambil bentuk UU adalah sistem yang
keliru. Pilihan bentuk UU untuk persetujuan DPR bukan hal yang baru
dalam praktek negara-negara. Belanda, Kolombia, Jerman dan banyak
19
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
negara lainnya memilih bentuk formil UU untuk persetujuan DPR. Dalam
hal ini, bukan bentuk formil UU ini yang menjadi akar masalah namun
bagaimana MK memberi makna terhadap UU ini yang menjadi faktor
penentu. Dalam hal ini, Prof. Utrecht, seorang pakar hukum di awal
kemerdekaan, mengartikan lain bahwa suatu perjanjian internasional
yang disetujui DPR dan dituangkan dalam suatu undang-undang
persetujuan (goedkeuringswet) adalah UU yang bersifat formil saja.
Di lain pihak terdapat pula argumentasi MK yang kelihatannya logis
dari sisi hukum tata negara namun menjadi tidak logis dalam hukum
internasional. Bagi MK, pemuatan Piagam ASEAN di Jakarta ke dalam
UU 38/2008 dinilai sebagai pemindahan format treaty ke dalam format UU
yang memiiki konsekuensi bahwa negara pihak harus terikat pada UU
ini. Padahal dalam konsepsi hukum publik dikenal suatu model
masuknya perjanjian internasional ke dalam hukum nasional melalui
proses transformasi. Teori transformasi menjelaskan bahwa Piagam
ASEAN dalam formatnya sebagai treaty mengikat semua negara pihak
dalam tataran hukum internasional, sedangkan UU 38/2008 jika hendak
dianggap sebagai UU transformasi maka hanya diartikan sebagai Piagam
ASEAN yang ditransformasikan ke dalam hukum nasional dan bertujuan
hanya untuk mengikat subyek-subyek dalam hukum nasional.
Menurut teori di atas, pemuatan Piagam ASEAN ke dalam format UU
38/2008 adalah murni urusan hukum nasional dan tidak ada sangkut
pautnya dengan status Piagam sebagai treaty menurut hukum
internasonal, yang tetap tentunya mengikat negara pihak lainnya sebagai
subjek hukum internasional. Dengan demikian, argumen MK yang
menyatakan bahwa negara lain harus terikat pada UU 38 Tahun 2008
sangat tidak mendasar dan bukan sebagaimana yang dimaksud oleh teori
transformasi.
Namun terlepas dari itu, saran MK agar pilihan bentuk UU untuk
Perjanjian Internasional ditinjau kembali sangat menarik. Dengan saran
ini terdapat kecederungan bahwa seyogianya perjanjian internasional
20
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
tidak dapat diuji oleh MK. Dapat tidaknya perjanjian internasional diuji
oleh pengadilan nasional hanya dapat dijawab setelah Indonesia
menetapkan status perjanjian internasional dalam hukum nasional1.
Sayangnya UUD 45 yang telah diubah di era reformasi ini tidak
menyediakan politik hukum ini. MK telah mengisi sebagian kekosongan
konstitutional ini. Menurut penulis, saran MK ini harus ditindaklanjuti
dengan amandemen Pasal 11 UUD 45 karena materi putusan MK ini
adalah materi Konstitusi.
1
Damos Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik, Bandung,
2010.
21
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
KONSEPSI KEDAULATAN NEGARA DALAM
BORDERLESS SPACE
Purna Cita Nugraha
Abstrak
Teknologi komunikasi dan informasi telah merubah tingkah laku
masyarakat dan kebudayaan secara global. Lebih lanjut, pengembangan
teknologi informasi telah mengarah kepada suatu dunia baru tanpa
batas dan menyebabkan perubahan-perubahan social yang terjadi
dengan pesat. Internet mengalihkan cara komunikasi yang bersifat
konvensial kepada suatu fenomena sosial dalam
Ruang publik untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan
dengan dunia maya dimana satu pihak capat berkomunikan dengan
yang lain tanpa dibatasi oleh batas-batas atau bahkan lintas negara
(transnasional). Proses yang mengarah pada kemudahan dan manfaat
dalam internet tidak selalu menjadi permasalahan karena dalam dunia
maya juga terdapat permasalahan hukum yang timbul dalam bentuk
kejahatan telematika. Dalam hal ini, negara perlu bekerjasama
bersama-sama dalam menetapkan rejim yurisdiksi ekstrateritorial
dalam hukum telematika untuk menetapkan kepastian hukum dalam
implementasi dari peraturan hukum untuk semua kegiatan-kegiatan
yang dilakukan dalam dunia maya.
Kata kunci: Kedaulatan negara, ruang tanpa batas, dunia maya
Abstract
Information and communication technology (ICT) has changed the
behavior of human society and civilization globally. In addition to that,
the development of information technology has led to a new world
without borders (borderless) and cause significant social changes
occurred too rapidly. The internet shifts the conventional way of
communication to a new social phenomenon in the public space to
communicate, a new world called the cyberspace where one party can
communicate with others without being limited by borders or even
cross country (transnational). The process leading to simplicity and
goodness in the internet was not always the case because in cyberspace
there are also legal issues that arise in the form of cybercrime. In this
22
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
regard, the sovereign states needs to cooperate together in establishing
extraterritorial jurisdiction regime in cyberlaw to create legal certainty
in the implementation of the rule of law for all activities carried out in
cyberspace.
Key words : State Sovereignty, Borderless Space, cyber space
Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah prilaku
masyarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu,
perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi
tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara
signifikan berlangsung demikian cepat.1 Pengembangan dan penerapan
teknologi informasi telah mengakibatkan semakin mudahnya arus
informasi diserap, sekaligus memudahkan orang untuk melakukan
komunikasi tanpa terkendala batas ruang dan waktu.
Sebagaimana dinyatakan oleh Melville J. Herskovits bahwa teknologi
merupakan salah satu unsur utama dari kebudayaan manusia.2 Teknologi
dan hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi dan
keduanya juga mempengaruhi masyarakat. Heidegger berpendapat
bahwa di satu sisi teknologi dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai
tujuan tertentu. Akan tetapi di sisi lain teknologi juga dapat dilihat
sebagai aktivitas manusiawi.3
Pada prinsipnya, teknologi dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu dan melalui teknologi itu diberikan suatu manfaat
1
Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2006, hlm. 1
2
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiolofi, Yayasan Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964, hlm. 115
3
Francis Lim, Filsafat Teknologi Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2012, hlm. 44
23
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
dan layanan bagi manusia termasuk meningkatkan keefisienan dan
keefektivitasan kerja. Teknologi memiliki ruang lingkup yang luas,
karena mencakup : 1) tools and techniques; 2) organized systems such as
factories; 3) applied science; 4) those methods that achieve, or are intended to
achieve, a particular goal such as efficiency, the satifaction of human needs and
wants, or control over the environment; and 5) the study of or knowledge about
such things.4
Istilah teknologi juga dapat diartikan sebagai berikut:
“Technology thus sometimes includes what might also be called
technique; making organization, bereaucracy, and even law itself into
technologies. Such extended meanings of the term technology are not,
however, what law journals focused on technology usually mean by the
term.”5
Dalam hal tersebut di atas dijelaskan bahwa teknologi kadang-kadang
mencakup apa yang juga bisa disebut teknik, pembuatan organisasi,
birokrasi, dan bahkan hukum itu sendiri menjadi teknologi. Makna yang
diperluas dari istilah teknologi tersebut tidak, bagaimanapun, seperti
yang jurnal hukum biasanya maksud dalam penggunaan istilah.
Di lain pihak, hukum pada dasarnya merupakan batasan bagi
masyarakat dalam bertingkah laku dan terhadap pelanggarannya
dikenakan sanksi yang memaksa oleh otoritas tertinggi dalam suatu
negara. Hukum diperlukan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat dan memberikan keadilan. Keadilan dan ketertiban tersebut
dicapai dengan menjaga kepentingan tertentu, baik individu maupun
kolektif. Di dalam masyarakat terjadi dinamika dan di dalam masyarakat
4
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT.
Tata Nusa, Jakarta, 2012, hlm. 32
5
Ibid.
24
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
pula muncul kejahatan. Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis
karena terus berkembang, sedangkan hukum bersifat statis. Teknologi
menuntut respon hukum dan hukum berada di persimpangan, di satu sisi
berusaha mengakomodir perkembangan teknologi demi kepentingan
masyarakat, di sisi lain hukum memiliki tanggung jawab untuk tetap
menjaga teknologi yang ada sekarang, sehingga tetap menjaga berbagai
kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas yang telah terpenuhi
dengan teknologi yang telah ada itu.6
Pada permulaan abad ke-20, salah satu penemuan revolusioner di
bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan
perekonomian adalah ditemukannya internet (interconnection networking),
sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Fasilitas internet
adalah suatu jaringan computer yang sangat besar, terdiri atas jaringanjaringan kecil yang menjangkau seluruh dunia.7
Adanya internet melahirkan suatu fenomena ruang sosial baru dalam
masyarakat untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan
dengan cyberspace (ruang siber) dimana pihak yang satu dapat
berkomunikasi dengan pihak lainnya tanpa dibatasi oleh batas wilayah
(borderless) atau bahkan lintas negara (transnasional).
Teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol
pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam
aspek sosial budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil,
lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir
bergerak cepat menuju suatu sistem global.8
6
Ibid.
Miranda dan Imelda, Mengenal E-Commerce, M-Commerce, dan M-Business,
Harvindo, Jakarta, 2004, hlm. 1
8
Didik J. Rachbini, “Mitos dan Implikasi Globalisasi” : Catatan untuk Bidang Ekonomi
dan Keuangan, Pengantar Edisi Indonesia dalam Hirst, Paul dan Grahame Thompson,
Globalisasi adalah Mitos, Jakarta, Yayasan Obor, 2001, hlm. 2
7
25
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Seperti yang ditulis dalam International Review of Law Computer and
Technology:
Global information and communication networks are now an integral
part of the way in which modern governments, business, education and
economies operate. However, the increasing dependence upon the new
information and communication technologies by many organizations is
not without its price, they have become more exposed and vunerable to
an expanding array of computer security risks or harm and inevitably
to various kinds of computer misuse.9
Dalam hal ini, informasi global dan jaringan komunikasi yang
sekarang merupakan bagian integral dari cara pemerintah modern, bisnis,
pendidikan dan ekonomi beroperasi. Namun, meningkatnya
ketergantungan pada informasi baru dan teknologi komunikasi oleh
banyak organisasi bukan tanpa konsekuensi, salah satunya adalah
menjadi lebih terekspos dan rentan dalam memperluas risiko keamanan
komputer termasuk terhadap berbagai macam penyalahgunaan
komputer.
Proses globalisasi tersebut melahirkan suatu fenomena yang
mengubah model komunikasi konvensional dengan melahirkan
kenyataan dalam dunia maya (virtual reality) yang dikenal sekarang ini
dengan internet. Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur
masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet
berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti berpikir, berkreasi, dan
bertindak dapat diekspresikan di dalamnya, kapanpun dan dimanapun.
9
International Review of Law Computers and Technology, Insider Cyber-Threat:
Problems and Perspectives, Volume 14, 2001, hlm. 105-113.
26
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Kehadirannya telah membentuk dunia tersendiri yang menawarkan
realitas yang baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata).10
Netizens11 atau para pengguna internet merupakan para penghuni dari
konsep cybernetics yang telah melahirkan dunia baru yang dikenal dengan
istilah cyberspace, global village, atau internet. Sama seperti dalam dunia
konvensional, maka dalam cyberspace “hidup” masyarakat (cybersociety)
yang terdiri dari milyaran pengguna internet dari segala penjuru dunia
yang berkomunikasi atau berinteraksi satu sama lain melalui jaringan
komputer. Sama seperti dalam dunia fisik kita sekarang, dalam cyberspace
masyarakat memerlukan pengaturan baik inter-masyarakat maupun
antar masyarakat, mulai dari norma sampai kepada hukum (cyberlaw).12
Indeks penggunaan internet di dunia menunjukkan perkembangan
yang sangat pesat, hal ini terlihat dari angka peningkatan yang mencapai
566.4% dalam kurun waktu 12 tahun (2000—2012). Pengguna internet
(netizens) di benua Asia merupakan 44.8% dari pengguna internet di
seluruh dunia, atau sejumlah 1,076,681,059 jiwa. China menduduki
peringkat pengguna terbesar dalam peringkat pengguna internet di Asia
yaitu sejumlah 538 juta jiwa pengguna internet, sedangkan Indonesia
menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah 55 juta jiwa pengguna
internet.13
Sejalan dengan pemikiran bahwa cyberspace memerlukan pengaturan
baik inter-masyarakat maupun antar masyarakat, mulai dari norma
10
Agus Rahardjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 20
11
Business Dictionary, http://www.businessdictionary.com/definition/netizen.html,
netizen is citizen of cyberspace a dedicated internet user, diakses pada tanggal 31
Desember 2012 pukul 16.58 WIB
12
Josua Sitompul, op.cit, hlm. 31
13
Internet World Stats, World Internet Usage Statistics News and World Population
Stats, http://www.internetworldstats.com/stats, diakses pada tanggal 31 Desember 2012
pukul 15.24 WIB
27
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
sampai kepada hukum (cyberlaw) dan apabila dikaitkan dengan
kewenangan suatu negara dalam melakukan pengaturan, hal tersebut
tentu saja berhubungan langsung dengan yurisdiksi negara tersebut,
misalnya saja mengenai kewenangan suatu negara untuk menegakkan
hukum di wilayahnya atau dalam hal ini ruang siber.
Internet adalah dunia yang ubiquotus (terhubung dan terbuka pada
saat yang bersamaan di mana-mana), maka teori yurisdiksi yang
menekankan pada locus dan tempus delicti sudah tidak memadai lagi
untuk digunakan.14
Kondisi di atas menimbulkan suatu pertanyaan mendasar tentang
bagaimana sistem hukum mengatur ruang siber yang notabene borderless
tersebut. Lebih jauh lagi, harus juga dipikirkan bagaimana hubungan
kewenangan negara dikaitkan dengan pengaturan terhadap setiap
perbuatan/interaksi para pengguna internet yang tidak dibatasi oleh
batas wilayah (borderless) tersebut. Hal ini tentu menimbulkan suatu
kebutuhan dari hukum untuk menyesuaikan dirinya dengan
perkembangan zaman dalam menjawab adanya pertanyaan-pertanyaan
seputar kewenangan dan yurisdiksi negara atas internet dan ruang siber
tersebut.
Adanya urgensi hukum dalam meregulasi ruang siber telah
membentuk suatu rezim hukum baru di Indonesia. Dalam hal ini, perlu
pula terlebih dahulu dipahami peristilahan dan ruang lingkup cyberlaw
yang telah membentuk rezim hukum baru di Indonesia khususnya dalam
kegiatan teknologi dan informasi. Peristilahan yang digunakan untuk
hukum yang mengatur kegiatan di dalam cyberspace adalah the law of the
14
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 304
28
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
internet; the law of information technology; the telecommunication law; dan lex
informatica.15
Pada sudut pandangan secara praktis, dapat dipahami misalnya
dalam kegiatan e-commerce memerlukan “sense of urgency” untuk
dicarikan jalan keluar atas akibat-akibat atau permasalahan hukum yang
muncul. Di sisi lain, dengan memperhatikan pula praktik di negara lain,
nampaknya akan lebih bijaksana apabila tidak dibatasinya secara sempit
ruang lingkup dari cyberlaw itu sendiri.16
Cyberlaw sebagai suatu rezim hukum yang baru akan lebih
memudahkan untuk dipahami dengan mengetahui ruang lingkup
pengaturannya. Cyberlaw dengan bentuk pengaturan yang bersifat khusus
(sui generis) atas kegiatan-kegiatan di dalam cyberspace (ruang siber),
antara lain mencakup hak cipta, merek (trademark), fitnah atau
pencemaran nama baik (defamation), privacy, duty of care, criminal liability,
procedural issues, electronic contracts, digital signature, electronic commerce,
electronic government, pornografi, dan pencurian (theft).17
Ruang siber dengan realitas virtual, di satu sisi memang menawarkan
manusia untuk hidup dalam dunia alternatif, dunia yang dapat
mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang bahkan dapat
lebih nyata dari realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari
kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang
lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada. Ruang siber telah
membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan,
kesenangan, kemudahan, dan penjelajahan seperti teleshoping,
15
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi
(Regulasi dan Konvergensi), Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 129
16
Ibid.
17
Ibid.
29
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
teleconference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual museum,
cybersex, cyberparty, dan cyberorgasm.18
Cyberspace atau internet juga terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual
(Intellectual Property Rights), hal ini dikarenakan nature dan struktur dari
internet yang membuat media ini secara luar biasa dapat memasukkan
kreatifitas ke dalam komunitas global. Kreativitas yang timbul dari media
ini dan kemampuan untuk menggunakan internet sebagai cara untuk
mentransfer hasil karya kreatif memunculkan suatu kebutuhan akan
pengaturan dan peraturan dari semua pemerintah, yaitu melindungi Hak
Kekayaan Intelektual.
Hak cipta memandang internet sebagai media yang bersifat low-cost
distribution channel atau saluran distribusi yang murah bagi penyebaran
informasi dan produk-produk entertainment seperti film, musik, dan
buku. Hal ini disebabkan internet memungkinkan data-data tersebut
untuk diunduh secara mudah oleh konsumen.19
Christoper Millard mencatat tiga pertanyaan yang paling mendasar
mengenai pelanggaran hak cipta di internet, yaitu: 1) siapa yang mungkin
dapat bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak cipta di internet; 2)
hukum dan yurisdiksi apa yang paling tepat/pantas diberlakukan; 3)
perbuatan pelanggaran hukum seperti apa yang dapat termasuk ke
dalam hukum yang berlaku saat ini. Menurutnya, para pelaku
18
Agus Raharjo, Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi tentang Model Pengaturan
Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di Indonesia),
Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008,
hlm. 6-7
19
Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2009, hlm. 3-4 lihat juga Atip Latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi
Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Cyberlaw, diselenggarakan oleh
Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000, hlm. 10
30
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
pelanggaran dapat masuk ke dalam tiga kategori, yaitu pengirim,
penerima, dan operator jaringan yang ada di internet.20
Hak Kekayaan Intelektual telah dapat dijamin secara ekstensif di
dalam literatur atau karya kesusastraan. Namun, sebahagian orang
menganggap bahwa internet sebagai pertanda matinya hak cipta
(copyright). Dalam hal ini, Ginsburg mencatat beberapa permasalahan
dalam menegakkan Hak Kekayaan Intelektual di dalam internet, sebagai
berikut:
Should one look to the country where copies were (first) recieved? To
the country from which the author uploaded the work? To the country
in which is localized the website from which the work first becomes
available to the public? What are the consequences of these different
characterizations of publication and country of origin? 21
Internet juga dapat digunakan untuk melanggar atau bahkan
merampok para pemilik hak cipta dari keuntungan hak cipta, internat
juga telah digunakan dalam mencegah pengakuan atau pemberian suatu
paten. Sebagai contoh Human Genome Project mempublikasikan atau
mengunggah peta dari human genome dengan niat untuk membuat
informasi dan data tersebut sebagai informasi publik/pengetahuan
umum dan mencegah Celera Genomics, sebuah perusahaan swasta,
untuk mendapatkan hak paten. Dari contoh ini, dapat diketahui bahwa
penentuan yurisdiksi di internet khususnya dalam Hak Kekayaan
Intelektual di internet sebagai sesuatu yang amat penting.22
20
Christopher Millard, et. al., Computer Law, Bantam, London, 2000, hlm. 201
Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define
and Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana Journal of Global Legal Studies:
Vol. 10: Iss 2, 2003, hlm. 249
22
Ibid, hlm. 259-260
21
31
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Di sisi lain, proses siberisasi yang menimbulkan kemudahan dan
kebaikan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace
juga terdapat persoalan hukum yang muncul berupa sisi gelap yang perlu
kita perhatikan yaitu cybercrime dengan berbagai macam bentuknya.
Sebagai contoh, carding, merupakan kasus yang membuat Indonesia
menjadi salah satu negara terkenal dalam cybercrime. Selain itu adalah
hacking, sebagai bentuk baru dalam mengekspresikan kekecewaan,
kekesalan dalam dunia bisnis dan politik, seperti kasus hacking terhadap
situs-situs (websites) milik Malaysia sebagai bentuk protes terhadap
kebijakan negara itu dalam menangani Tenaga Kerja Indonesia (TKI).23
Kejahatan yang berbasis teknologi informasi dengan menggunakan
media komputer sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut dengan
beberapa istilah yaitu computer misuse, computer abuse, computer fraud,
computer-assisted crime, computer-related crime, atau computer crime.24
Barda Nawawi Arief mengatakan dalam bukunya bahwa pengertian
computer-related crime sama dengan pengertian cybercrime.25 TB Ronny R.
Nitibaskara berpendapat bahwa kejahatan yang terjadi melalui atau pada
jaringan komputer di dalam internet disebut cybercrime. Kejahatan ini juga
dapat disebut kejahatan yang berhubungan dengan komputer (computerrelated crime), yang mencakup 2 kategori kejahatan, yaitu kejahatan yang
menggunakan komputer sebagai sarana atau alat, dan menjadikan
komputer sebagai sasaran atau objek kejahatan.26
23
Ibid. hlm. 7
Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja
Sosial dan Pidana Pengawasan bagi Pelaku Cyber Crime, CV. Aswaja Pressindo,
Yogyakarta, 2009, hlm. 23
25
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, hlm. 259
26
Widodo, loc.cit.
24
32
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Dalam background paper workshop on crimes related to the computer
network, pada Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and
the Treatment of Offenders, di Wina tanggal 10-17 April 2000, disebutkan
sebagai berikut:
“Cyber crime in a narrow sense (“computer crime”): any illegal
behaviour directed by means of electronic operations that targets the
security of computer systems and the data processed by them; and
Cyber crime in a broader sense (“computer-related crime”): any illegal
behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system
or network, including such crimes as illegal possession, offering or
distributing information by means of a computer system or network.” 27
Di sisi lain, dapat diperoleh informasi bahwa serangan siber di
seluruh dunia mencapai 5,5 Milyar serangan dalam setahun. Sedangkan
serangan siber (cyber attack) terhadap situs-situs Indonesia mencapai 40
ribu serangan per hari. Jenis serangan tersebut bermacam-macam seperti
malware (piranti lunak berbahaya) dan spyware (piranti lunak mata-mata).
Dalam hal ini, motif penyerangan ke situs-situs Indonesia bukan
tergolong motif serius, seperti motif bersifat keamanan atau ekonomis.28
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring,
menyebut jumlah serangan siber ke situs-situs berdomain go.id (situs
milik lembaga/instansi pemerintah) lebih dari 3 juta kali pada tahun
2011.29
27
Background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth
United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di
Wina tanggal 10-17 April 2000
28
Rudi Lumanto, Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet
Infrastructure, Serangan Siber ke Situs Indonesia 40 Ribu Kali/Hari,
http://www.antaranews.com/berita/321960/serangan-siber-ke-situs-indonesia-40-ribukalihari, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
29
Ibid.
33
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Pada tahun 2012 yang lalu, New York Times, sebuah media massa
terkemuka AS melaporkan serangan siber yang dilakukan AS dan Israel
terhadap Iran, bahkan Presiden Barack Obama secara langsung dan diamdiam memerintahkan serangan cyber menggunakan virus komputer
Stuxnet terhadap Iran untuk melumpuhkan program nuklir Iran.30
Bukti lain adalah serangan Malware Stuxnet pada instalasi pengayaan
nuklir di Natanz, Iran tahun 2009. Stuxnet mampu menyusup masuk dan
menyabotase sistem dengan cara memperlambat atau mempercepat
motor penggerak, bahkan membuatnya berputar jauh di atas kecepatan
maksimum yang bisa menghancurkan sentrifuse sehingga tidak dapat
memproduksi bahan bakar Uranium. Malware Stuxnet diakui sebagai
serangan paling cerdas, paling canggih, dan paling hebat yang pernah
dibuat yang pernah dibuat manusia.31
Menteri Telekomunikasi Republik Islam Iran, Reza Taghipour
menyatakan akan melayangkan gugatan atau membawa masalah ini ke
tingkat internasional atas serangan siber ke lembaga pemerintah Iran
yang dianggapnya sebagai “state cyberterrorism against the country”
tersebut kepada organisasi internasional terkait. Pengaduan Iran atas
serangan siber tersebut akan dilayangkan kepada organisasi internasional
terkait melalui Kementerian Luar Negeri Iran dan di berbagai pertemuan
khusus seperti dalam sidang the International Telecommunication Union di
Jenewa, dimana wakil Iran akan menyatakan protes resmi Tehran terkait
masalah ini.32
30
http://www.huffingtonpost.co.uk/2012/06/01/president-obama-ordered-cyber-attacks
iran_n_1561730.html, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
31
http://abcnews.go.com/Politics/OTUS/report-obama-ordered-wave-cyberattacks
iran/story?id=16474164#.UOfR9OQ3vx8, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul
13.42 WIB
32
http://www.presstv.ir/detail/2012/06/20/247120/iran-protests-state-cyberterrorism/,
diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
34
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
Hal ini dilakukan Iran karena beberapa instansi pemerintah Iran
mendapat serangan siber yang dilakukan sejumlah negara asing dan
serangan ini sebagai ancaman keamanan siber dan terorisme siber
terhadap negara. Dugaan sementara bahwa serangan ini dilakukan oleh
AS, sesuai dengan fakta dan pernyataan Presiden Obama yang berhasil di
blow-up oleh media bahwa Presiden Obama secara diam-diam
memerintahkan serangan siber dengan komputer virus Stuxnet terhadap
Iran untuk menyabotase program nuklir negara tersebut. Aksi serangan
ini diduga dilakukan AS bekerjasama dengan unit intelejen rahasia Israel
sebagai bagian dari gelombang serangan digital AS terhadap Iran.
Dari paparan-paparan di atas, dapat diketahui bahwa persitiwa
tersebut menandai era baru penggunaan dunia siber sebagai media untuk
melakukan serangan siber dengan menggunakan cyber weapons terhadap
bukan hanya infrastruktur dunia maya, tetapi juga instalasi dan
insfrastruktur di dunia nyata. Belum terdapatnya organisasi internasional
atau forum internasional yang diberi mandat untuk membahas masalah
ini secara serius di tingkat internasional dikhawatirkan dapat membuat
adanya ketidakpastian existing law (ius constitutum) maupun arah politik
hukum ke depan (ius constituendum) dalam pembentukan hukum siber
dan penegakan hukumnya di dunia siber. Hal tersebut terlihat dari Iran
yang hanya dapat melakukan langkah politis dengan membawa masalah
tersebut ke forum/tingkat internasional yang sifatnya konsultatif
daripada menempuh jalur hukum dikarenakan kurang dan belum
jelasnya infrastruktur hukum nasional dan internasional yang mengatur
masalah tersebut.
Dunia siber kini dapat dikatakan menjadi matra perang ke-5 selain
darat, laut, udara, dan angkasa luar. Iran dengan segala bentuk
35
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
keterbatasannya telah mampu menginovasi kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi taktik dalam konflik modern dengan AS dan
Israel. Bagi Iran, dengan adanya serangan siber yang dilakukan AS, maka
dunia maya pun menjadi medan perang terbaru. Banyak perangkat
mutakhir mulai dibuat para insinyur Iran untuk keperluan ini.
Pertempuran elektronik telah tercipta dan membuat banyak negara
melihat perang dunia siber sebagai ancaman terbesar di masa depan.
Dalam tatanan pranata hukum nasional, pengaturan ruang siber
dalam hal ini pelanggaran hukum (computer-related crime atau cybercrime)
misalnya, seringkali sulit dijerat oleh hukum dan pengadilan di Indonesia
karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi
terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi di dalam ruang siber
tersebut, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi
akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia.33
Untuk mengakomodir adanya kebutuhan akan infrastruktur hukum
dan pengaturan nasional dalam meregulasi kegiatan pemanfaatan
teknologi informasi agar dapat dilakukan secara aman dengan menekan
akibat-akibat negatifnya seminimal mungkin, Pemerintah Indonesia
mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur
kegiatan informasi dan transaksi elektronik termasuk aktivitas pada
ruang siber. Setelah melalui pembahasan yang panjang akhirnya RUU
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disetujui menjadi
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada
Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Maret 2008 dan disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) serta ditempatkan pada Lembaran Negara
Nomor 58 pada tanggal 21 April 2008.
33
Ahmad M. Ramli, op.cit, hlm. 19
36
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
UU ITE merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang
secara khusus mengatur tindak pidana cyber (cybercrime). Dua muatan
besar yang diatur dalam UU ITE ialah mengenai pengaturan transaksi
elektronik dan mengenai tindak pidana siber. Materi UU ITE tersebut
merupakan implementasi dari beberapa prinsip ketentuan internasional,
yaitu UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, UNCITRAL Model
Law on Electronic Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on
Electronic Commerce, dan EU Directives on Electronic Signature. Ketentuanketentuan tersebut adalah intrumen internasional dan regional yang
banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia.34
Ada beberapa kelebihan yang diperoleh dengan menyatukan materimateri tersebut dalam satu undang-undang. Pertama, penyatuan ini
menghemat waktu karena jika tiap materi diatur dalam undang-undang
sendiri, akan membutuhkan waktu yang lama untuk dibahas di DPR.
Kedua, para pemangku kepentingan dapat melihat keseluruhan secara
holistik dan keterkaitan materi-materi tersebut secara komprehensif.35
Substansi pengaturan tindak pidana siber dalam UU ITE mencakup
hukum pidana materil, yaitu kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang
termasuk kategori tindak pidana siber; pedoman yang digunakan adalah
Convention on Cybercrime. UU ITE juga memuat hukum pidana formil
yang khusus untuk menegakkan hukum pidana siber.36
UU ITE merupakan rezim hukum baru untuk mengatur kegiatan
cyberspace di Indonesia. Dalam undang-undang ini diatur mengenai aspek
yurisdiksi
yang
menggunakan
prinsip
perluasan
yurisdiksi
(extraterritorial jurisdiction) dikarenakan aktivitas pada ruang siber
34
Josua Sitompul, op.cit., hlm. 135-136
Ibid, hlm. 136
36
Ibid.
35
37
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13  Mei—Agustus 2013
memiliki karakteristik lintas teritorial dan tidak dapat menggunakan
pendekatan konvensional.37
Dunia siber, meskipun telah dapat diatur, tetapi masih sulit untuk
dijinakkan. Cyberspace merupakan dunia virtual yang lokasinya tidak
akan pernah kita temukan dalam Atlas, tetapi dapat dikunjungi oleh
milyaran pengguna yang tersebar di seluruh dunia setiap saat.
Karakteristik ubiquitous dan borderless ini mempengaruhi tindak pidana
yang terjadi di dalamnya bahwa pada kenyataannya tindak pidana siber
sering bersifat lintas negara sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai
yurisdiksi yang berlaku atas perbuatan atau akibat tindak pidana serta
atas pelakunya. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menyadari
keterbatasan perundang-undangan konvensionalnya untuk menjawab
permasalahan ini sehingga memandang perlu untuk menyesuaikan
hukumnya untuk tetap menjaga kedaulatan negara serta kepentingan
negaranya dan warganya.38
Keberlakuan undang-undang pidana Indonesia yang diatur dalam
KUHP didasarkan pada asas-asas yang berlaku secara internasional,
antara lain asas teritorialitas, asas nasionalitas, dan asas nasionalitas pasif.
Pada prinsip awalnya, undang-undang pidana suatu negara berlaku bagi
setiap orang-pribadi kodrati, baik warga negara itu maupun warga
negara asing yang berada di dalam wilayah wilayah negara tersebut, baik
wilayah darat maupun laut. Setiap negara memiliki kedaulatan dan
otoritas tertinggi untuk menegakkan hukum dalam wilayah negaranya.
Asas ini dikenal dengan asas teritorialitas. Kemudian, sesuai dengan
kebutuhan, ruang lingkup teritorial ini diperluas dengan menyamakan
kendaraan air dan pesawat udara yang menggunakan bendera suatu
negara sebagai bagian dari wilayah negara itu. Dalam KUHP, asas
37
38
Danrivanto Budhijanto, op.cit., hlm. 133
Josua Sitompul, op.cit., hlm.137
38
Download