7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Pada dasarnya persepsi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persepsi
Pada dasarnya persepsi merupakan suatu proses yang terjadi di dalam
pengamatan seseorang terhadap objek. Persepsi terhadap satu objek yang ada
disekitar manusia pada dasarnya berbeda dengan lainnya karena sebagai makhluk
individu setiap manusia memiliki pandangan yang berbeda sesuai dengan tingkat
pengetahuan dan pemahamannya. Semakin tinggi pengetahuan dan pemahaman
seseorang terhadap suatu objek yang dipersepsikan maka semakin baik bentuk
persepsi orang tersebut terhadap objek begitu pula sebaliknya (Lubis, 2008).
Persepsi adalah proses pengolahan informasi dari lingkungan yang berupa
stimulus, yang diterima melalui alat indera dan diteruskan ke otak untuk diseleksi,
diorganisasikan sehingga menimbulkan penafsiran atau penginterpretasian yang
berupa penilaian dari penginderaan atau pengalaman sebelumnya. Persepsi
merupakan hasil interaksi antara dunia luar individu (lingkungan) dengan
pengalaman individu yang sudah diinternalisasi dengan sistem sensorik alat indera
sebagai penghubung, dan diinterpretasikan oleh sistem syaraf di otak (Ardi,
2010). Feldman (2012), mendefinisikan persepsi sebagai kegiatan menyortir,
menginterpretasikan, menganalisis, dan mengintegrasikan rangsangan yang
dibawa oleh organ indera dan otak. Sensasi adalah aktivasi dari organ indra oleh
sumber energi fisik. Sedangkan stimulus adalah setiap sumber energi fisik yang
menghasilkan respon pada organ indera.
7
Dalam pengertian psikologi, persepsi adalah proses pencarian informasi
untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan.
Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran. Artinya, persepsi
merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah
suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerimaan, yaitu
alat indera. Pada umumnya, stimulus tersebut diteruskan oleh saraf otak sebagai
pusat susunan saraf dan proses itu selanjutnya disebut sebagai proses stimulus.
Jadi, persepsi dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Dengan kata lain, persepsi merupakan proses memberikan
makna pada stimuli yang ditangkap oleh inderawi. Dalam hal ini, stimulus
mengenai inderawi individu itu kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan,
sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderakannya itu (Kulsum,
2014).
Menurut Bimo (2014) dalam Niti (2013), persepsi merupakan suatu proses
yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan diterimanya stimulus oleh
individu melalui alat indera atau juga disebut dengan proses sensoris. Namun
proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan
proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak
dapat lepas dari proses penginderaan dan proses penginderaan merupakan proses
pendahulu dari proses persepsi. Karena persepsi merupakan aktivitas yang
integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut
aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat
dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman
8
individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi
mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain. Persepsi itu
bersifat individual.
Menurut Engel (1995) dalam Trimurthy (2008), persepsi didefinisikan
sebagai proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan
impresi sensorisnya supaya dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya.
Secara skematis proses persepsi dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.
Stimulus
lingkungan
Perhatian
dan
seleksi
Pengorganisasian
Penafsiran
stimuli
Persepsi
Gambar 2.1 Proses persepsi
2.2 Pendidikan Tinggi Farmasi
Pendidikan
tinggi
adalah
kelanjutan
pendidikan
menengah
yang
diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat
menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau kesenian (Menteri Pendidikan, RI., 2000).
Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan
penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajarmengajar di perguruan tinggi. Pada dasarnya, masing-masing pendidikan tinggi
farmasi dapat menyusun kurikulumnya sendiri berdasarkan pedoman kurikulum
inti yang ada. Program Studi Sarjana Fakultas Farmasi mensyaratkan 144 – 146
SKS termasuk skripsi/tugas akhir dan dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan
selambat-lambatnya 12 (dua belas) semester yang harus ditempuh oleh setiap
9
mahasiswa untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi (Menteri Pendidikan, RI.,
2000).
2.3 Apoteker
Apoteker adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan dibidang
kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi
kefarmasian. Sifat kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini
memberinya otoritas dalam berbagai aspek obat atau proses kefarmasian yang
tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan lainnya. Apoteker sebagai tenaga kesehatan
yang dikelompokkan profesi, telah diakui secara universal lingkup pekerjaannya
meliputi semua aspek tentang obat, mulai penyediaan bahan baku obat dalam arti
luas, membuat sediaan jadinya sampai dengan pelayanan kepada pemakai obat
atau pasien (Rosdiana, 2011). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35
tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud
dengan apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Menkes, RI., 2014).
Apoteker juga termasuk dalam kategori tenaga kesehatan, yakni sarjana
farmasi yang lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
apoteker. Dalam melakukan pembangunan kesehatan tidak bisa dilepaskan peran
apoteker, sebab apotekerlah yang dianggap mampu melakukan pengendalian,
pengadaan, pengaturan, dan pengawasan terhadap obat-obatan (Iskandar, 1998).
Apoteker untuk pelayanan memberi edukasi kepada pasien tentang
begaimana penggunaan obat secara tepat, memberikan konsultasi tentang efek
samping obat dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, memberikan informasi
tertulis mengenai obat yang digunakan pasien (selain etiket dan brosur),
10
membantu pasien dalam memilih obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter,
mengambil langkah untuk menyesuaikan pengobatan pasien (jika diperlukan), dan
menjawab pertanyaan pasien tentang obat-obatan yang mereka gunakan (Thoe,
2013).
2.4 Sejarah Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Menurut Aslam (2003), profesi kefarmasian telah mengalami perubahan,
khususnya dalam kurun waktu kira-kira 40 tahun terakhir, yaitu sejak tahun 1960an. Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di Inggris,
khususnya dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam 4 tahap:
1. Tahap tradisional (sebelum 1960-an)
Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan,
membuat, dan mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Kegiatan ini
melibatkan seni dan ilmu pembuatan bahan obat dari sumber alam atau sintetik
menjadi sediaan atau produk yang sesuai untuk dipakai dalam mencegah,
mendiagnosa atau mengobati penyakit.
Periode ini mulai goyah ketika pembuatan sediaan obat secara bertahap
mulai dikerjakan oleh industri farmasi. Industri farmasi di dunia mulai tumbuh
pada sekitar tahun 1940-an. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat
dari instalasi farmasi ke industri, maka fungsi dan tugas apoteker berubah.
Dengan demikian peranan profesi kefarmasian terlihat makin menyempit dan
mengecil.
2. Tahap transisional
Masa transisi adalah masa perubahan yang cepat dari perkembangan
fungsi dan peningkatan jenis-jenis pelayanan profesional yang dilakukan oleh
11
beberapa perintis dan sifatnya masih individual. Yang paling menonjol adalah
kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit, meskipun masukan mereka masih
terbatas. Banyak apoteker mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru dan
mencoba menerapkannya. Akan tetapi tampaknya, perkembangannya masih
cukup lambat.
3. Tahap masa kini (farmasi klinis)
Farmasi klinis lahir tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris dalam
periode transisi. Istilah farmasi klinis digunakan untuk mendeskripsikan praktek
kefarmasian berorientasi pelayanan kepada pasien lebih dari orientasi kepada
produk. Merupakan suatu disiplin yang terkait dengan penerapan pengetahuan dan
keahlian farmasi dalam membantu memaksimalkan efek obat dan meminimalkan
toksisitas bagi pasien secara individual.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping
karena obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)
terjamin (Menkes, RI., 2014).
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi pengkajian dan
pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,
pelayanan informasi obat (PIO), konseling, visite, pemantauan terapi obat (PTO),
monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat (EPO),
dispensing sediaan steril, dan pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD)
(Menkes, RI., 2014).
12
Praktek farmasi berpusat pasien ini memerlukan suatu keterampilan yang
tidak konvensional yang di ajarkan di fakultas farmasi. Istilah farmasi klinis dapat
digunakan untuk mendeskripsikan seorang apoteker yang pekerjaan utamanya
berinteraksi dengan tenaga kesehatan profesional lainnya (khususnya dokter dan
perawat), mewawancara dan menilai kesesuaian kondisi kesehatan pasien
terhadap pengobatannya, membuat rekomendasi terapeutik yang spesifik,
memonitor tanggapan pasien terhadap terapi obat, menjaga keselamatan pasien
(khususnya terhadap pengaruh efek obat yang tak dikehendaki), mengkonsultasi
pasien, dan menyediakan informasi obat (Aslam, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan farmasi klinis mampu
mengidentifikasi masalah penting yang terkait obat serta menurunkan kejadian,
menyempurnakan pendidikan pasien serta kepatuhan, memperbaiki peresepan,
menyempurnakan
hasil
klinis,
meningkatkan
efektivitas
biaya,
dan
mempersingkat masa tinggal di rumah sakit (Aslam, 2003).
4. Tahap masa depan (abad ke-21) asuhan kefarmasian
Konsep perencanan asuhan kefarmasian telah dirangkai oleh banyak
praktisi farmasi klinis. Meskipun definisi asuhan kefarmasian telah diterapkan
secara berbeda dalam negara yang berbeda, gagasan dasar adalah apoteker
bertanggung jawab terhadap hasil penggunaan obat oleh/untuk pasien sama
seperti seorang dokter atau perawat bertanggung jawab terhadap pelayanan medis
dan keperawatan yang mereka berikan. Dengan kata lain, praktek ini berorientasi
pada pelayanan yang terpusat kepada pasien dan tanggung jawab farmasis
terhadap morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan obat (Aslam, 2003).
13
Aslam
(2003),
secara
skematis
menggambarkan
proses
asuhan
kefarmasian sebagai berikut:
Penentuan Hubungan Terapeutik
PENILAIAN:
PERENCANAAN:
EVALUASI:
- Menjamin bahwa
semua terapi obat
terindikasi, efektif
dan aman,
- Mengidentifikasi
masalah terapi obat.
- Pemecahan masalah
terapi obat,
- Pencapaian sasaran
terapi,
- Pencegahan masalah
terapi obat.
- Pencatatan hasil
terapi yang
sebenarnya,
- Evaluasi kemajuan
untuk memenuhi
sasaran terapi,
- Memperkirakan
kembali munculnya
masalah baru.
Tindak Lanjut Terus Menerus
Gambar 2.2 Proses asuhan kefarmasian
2.5 Perkembangan Bidang Kefarmasian
Menurut Sukandar (2012) dalam Wahyudi (2014), berbagai tuntutan yang
ada di masyarakat menjadi tantangan untuk pengembangan dunia kefarmasian.
Untuk mengakomodasi semua tuntutan tersebut diperlukan sistem pendidikan
yang mampu memenuhi kebutuhan tenaga farmasi dengan bekal ilmu
pengetahuan keprofesian yang mutakhir.
14
Adapun tuntutan yang ada di masyarakat yang menjadi tantangan untuk
pengembangan dunia kefarmasian yaitu:
a. Pharmaceutical care yaitu obat sampai ke tangan pasien dalam keadaan
baik,efektif dan aman disertai informasi yang jelas sehingga penggunaannya
tepat dan mencapai kesembuhan;
b. Timbulnya penyakit baru dan perubahan pola penyakit yang memerlukan
pencarian obat baru atau obat yang lebih unggul ditinjau dari efektivitas dan
keamanannya;
c. Meningkatnya penyalahgunaan obat dan ketergantungan pada psikotropika
merupakan tuntutan untuk dapat mengawasi penggunaan obat tersebut,
mencari/mensintesis obat yang lebih aman dan mampu memberikan informasi
tentang bahaya penyalahgunaan obat;
d. Apoteker sebagai partner dokter memacu farmasis untuk menguasai lebih
mendalam ilmu farmakologi klinis dan farmakoterapi serta ilmu farmasi sosial
dan komunikasi;
e. Apoteker sebagai penanggung jawab pengadaan obat di apotek, rumah sakit,
pedagang besar farmasi, puskesmas dll, harus menguasai farmakoekonomi dan
manajemen farmasi;
f. Tuntutan Apoteker untuk dapat berperan dalam perkembangan industri
farmasi, perkembangan drug delivery system, pengembangancara produksi dan
metode kontrol kualitas;
g. Apoteker untuk menempati bidang pemerintahan yang berfungsi dalam
perizinan, pengaturan, pengawasan, pengujian, pemeriksaan dan pembinaan;
15
perkembangan farmasi veteriner, perkembangan medical devices (alat
kesehatan, pereaksi diagnostik).
2.6 Aplikasi Asuhan Kefarmasian
Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak
untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk
didalamnya mendapatkan makanan, pakaian, perumahan, dan pelayanan
kesehatan serta pelayanan sosial lain yang diperlukan. Dalam rangka peningkatan
pelayanan kesehatan masyarakat berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah
diantaranya menyediakan sarana‐sarana pelayanan kesehatan salah satunya adalah
apotek (Atmini, 2011). Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (Presiden, RI., 2009).
Tenaga kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi
pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena
terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya asuhan kefarmasian.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk
meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali
berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian
agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka perlu mengatur pekerjaan kefarmasian dalam suatu peraturan pemerintah
(Presiden, RI., 2009).
Terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi masyarakat menjadi hal yang
harus mendapatkan perhatian pemerintah sebagai salah satu upaya dalam
pembangunan di bidang kesehatan. Instalasi farmasi rumah sakit berperan besar
dalam tercapainya pelayanan kesehatan yang maksimal. Rumah sakit sebagai
16
salah satu sub-sistem dalam sistem pelayanan kesehatan, bertujuan untuk
mengusahakan pelayanan kesehatan yang luas bagi setiap warga negara agar
mendapatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, dan merupakan salah satu
perwujudan dalam usaha untuk mencapai keadilan sosial (Kusumawida, 2009).
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Menkes, RI.,
2014).
Menurut Pudjaningsih (2006), obat merupakan barang yang penting di
rumah sakit karena obat dapat meningkatkan derajat kesehatan, meninggikan
kepercayaan dan keterlibatan penuh dengan pelayanan kesehatan serta merupakan
komoditas khusus yang mahal. Obat mempunyai dua sisi yang berbeda seperti
mata uang, disatu sisi obat memberkahi tetapi disisi lain obat membebani dan
mempunyai efek samping.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang
kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi asuhan kefarmasian dari
pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif
(pharmaceutical care) (Winanto, 2013).
Asuhan kefarmasian di apotek diselenggarakan oleh apoteker, dapat
dibantu oleh apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang
memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja
(Menkes, RI., 2014).
17
Usaha peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan oleh apoteker di
apotek dengan mengaplikasikan konsep asuhan kefarmasian (pharmaceutical
care). Pelaksanaan asuhan kefarmasian di Swedia sudah meliputi kegiatan untuk
menganalisis Drug Related problems (DRPs) serta proses penyelesaian masalah
tersebut. Di Indonesia, konsep ini meliputi tanggung jawab apoteker terhadap
outcome dari penggunaan obat pada pasien, misalnya dengan melakukan skrining
resep, pemberian informasi obat yang lengkap, monitoring penggunaan obat dan
kegiatan lain.Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
(Setiawan, 2010).
Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian yang tidak
diharapkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat, dan
secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap outcomes pasien. Drug
Related Problems yang terjadi meliputi indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi,
dosis salah (dosis subterapi atau dosis lebih), interaksi obat, pemilihan obat yang
salah, reaksi obat yang merugikan, dan ketidakpatuhan pasien (Cipolle, 2012).
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai
obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal (Menkes, RI., 2014).
Asuhan kefarmasian adalah pelayanan yang berorientasi langsung dalam
proses penggunaan obat, bertujuan menjamin keamanan, efektivitas dan
kerasionalan penggunaan obat dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan fungsi
dalam perawatan pasien. Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan
18
mengharuskan adanya perubahan paradigma pelayanan dari paradigma lama yang
berorientasi pada produk obat, menjadi paradigma baru yang berorientasi pada
pasien (Bertawati, 2013).
Tujuan asuhan kefarmasian ialah agar diperoleh pelayanan obat yang
paripurna sehingga obat dapat tepat pasien, tepat dosis, tepat cara pemakaian,
tepat kombinasi, tepat waktu dan tepat harga serta pasien mendapat pelayanan
penyuluhan yang dianggap perlu oleh apoteker yang pada akhirnya didapat
pengobatan pasien yang efektif, efisien, aman, rasional, bermutu dan terjangkau
(Harianto, 2005).
Menurut sebuah penelitian terbaru, lebih dari 2 juta pasien yang dirawat di
rumah sakit setiap tahun dengan reaksi obat yang merugikan, yang berhubungan
dengan sekitar 100.000 kematian per tahun. Kesalahan pengobatan meningkatkan
biaya perawatan kesehatan; account untuk pemanfaatan yang lebih tinggi di
rumah sakit, panti jompo, dan kunjungan dokter, dan menciptakan resiko
kesehatan bagi pasien. Pasien dengan kondisi kronis dan rejimen yang kompleks
sangat rentan terhadap masalah terkait obat. Salah satu pendekatan untuk
mencegah efek samping obat adalah untuk meningkatkan peran apoteker dalam
pemantauan terapi obat. Filosofi asuhan kefarmasian membutuhkan apoteker
untuk memberikan nasihat dan mendidik pasien tentang obat mereka dan
memberikan pemantauan berkala. Beberapa studi terbaru melaporkan bahwa
pelayanan farmasi dikaitkan dengan penurunan penggunaan obat resep, biaya
yang lebih rendah, dan meningkatkan pengetahuan pasien tentang obat-obatan
(Fischer, 2000).
19
Download