Untitled

advertisement
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Negara Hukum
a. Pengertian Negara Hukum
Negara Hukum dalam Bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari rule
of law (bahasa Inggris) dan rechssstaat dalam rumusan bahasa Belanda dan
Jerman. Sedangkan secara sederhana, negara hukum adalah negara yang
penyelenggaran pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersaranakan
hukum yang berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas
dasar sebagai asas-asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilaian
pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintah (Marjanne Termorshuizen,
2004:78). Kata negara hukum dapat berarti sebagai negara yang berlandaskan atas
hukum dan keadilan bagi warga negaranya. Maksudnya adalah segala
kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, sematamata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang
demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya (Didi
Nazmi Yunas, 1992:20).
Negara hukum dalam arti formal sempit (klasik) ialah negara yang
kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap
ketentraman dan kepentingan umum, seperti yang telah ditentukan oleh hukum
yang tertulis (undang-undang), yaitu hanya bertugas melindungi jiwa, benda, atau
hak asasi warganya secara pasif, tidak campur tangan dalam bidang perekonomian
atau penyelenggaraan kesejahteraan rakyat, karena yang berlaku dalam lapangan
ekonomi adalah prinsip laiesez faire laiesizealle. Bahkan, menurut Profesor
Utrecht, hanya mempunyai tugas primer untuk melindungi dan menjamin
kedudukan ekonomi dan golongan penguasa (rulling class) dan bisa disebut
negara jaga malam. Pembandingnya, negara hukum dalam arti materiil (luas
modern) ialah negara yang terkenal dengan istilah welfare state (wolvaar staat),
3
yang bertugas menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, yaitu keamanan
sosial (social security) dan menyelenggarakan kesejahteraan umum, berdasarkan
prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil sehingga hak-hak asasi warga
negaranya benar-benar terjamin dan terlindungi (Munir Fuady, 2011: 35-36).
Negara hukum adalah negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi
warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat
perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan
kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi
pergaulan hidup warganya. Pengertian lain negara hukum secara umum ialah
bahwasanya kekuasaan negara dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap,
tingkah laku dan perbuatan baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur
negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas hukum
(Abdul Aziz Hakim, 2011:8).
Mohammad Yamin memberikan penjelasan mengenai sejarah istilah
negara hukum. Adapun menurut beliau bahwa kata kembar negara hukum yang
kini jadi istilah dalam ilmu hukum konstitusional Indonesia meliputi dua patah
kata yang sangat berlainan asal-usulnya. Kata negara yang menjadi negara dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta dan mulai terpakai sejak abad ke5 dalam ketatanegaraan Indonesia, mula-mulanya untuk menamai Negara Taruma
(Taruma Negara) di bawah Kepala Negara Purnawarman di Jawa Barat.
Sedangkan kata “Hukum” berasal dari bahasa Arab dan masuk kedalam bahasa
Indonesia sejak mulai tersiarnya agama Islam di tanah zindonesia sejak abad ke12.
Walaupun kata kembar “negara”-“hukum” itu terbentuk dari dua patah
kata yang berasal dari dua bahasa peradaban tetapi kata majemuk itu mewujudkan
suatu makna pengertian yang tetap dan tertentu batas-batas isinya. Istilah negara
hukum dipakai dengan resmi dalam konstitusi Indonesia 1949 dan dalam
Konstitusi Indonesia 1950 pasal 1 ayat 1. Sedangkan dalam kepustakaan Eropa
dipergunakan istilah Inggris yaitu, rule of law atau government of justice untuk
menyatakan negara hukum. Kedua istilah ini tidak terselip perkataan negara
4
(state) melainkan syarat peraturan hukum itu dihubungkan kepada pengertian
kekuasaan (rule) atau pemerintahan (government) (Abdul Aziz Hakim, 2011: 8-9).
Menurut Wirjono Projadikoro, (dalam Abdul Aziz Hakim, 2011:9) bahwa
penggabungan kata-kata “Negara dan Hukum”, yaitu istilah “Negara Hukum”,
yang berarti suatu negara yang di dalam wilayahnya:
1. Semua
alat
perlengkapan
dari
negara,
khususnya
alat-alat
perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan-tindakannya baik
terhadap para warga negaramaupun dalam saling berhubungan
masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus
memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dan
2. Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Pemikiran mengenai negara hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh
lebih tua dari usia ilmu negara itu sendiri, gagasan itu merupakan gagasan modern
yang multi perspektif dan selalu aktual. Apabila melihat sejarah perkembangan
pemikiran filsafat mengenai negara hukum dimulai sejak tahun 1800 S.M.2
Perkembangannya terjadi sekitar abad XIX sampai dengan abad XX. Menurut
Jimly Ashiddiqie, gagasan pemikiran mengenai negara hukum berkembang dari
tradisi Yunani Kuno (Jimly Asshiddiqie, 1994:11).
Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep dan
teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan
tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat
perlengkapan negara apapun namanya termasuk warga negara harus tunduk dan
patuh serta menjung tinggi hukum tanpa terkecuali (B. Hestu Cipto Handoyo,
2009: 17). Menurut Krabe, negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam
segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum
membawahi negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran
hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan
seseorang (Usep Ranawijaya, 1983: 181).
Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri
diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
5
menurutnya merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga
bagi suatu negara. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah
manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa
sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Sedangkan menurut
Utrecht, prinsip-prinsip negara hukum berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat dan negara. Utrecht membedakan dua macam negara hukum, yaitu
negara hukum formil atau negara hukum klasik dan negara hukum dalam arti
materiil atau negara hukum yang bersifat modern.
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988: 53), negara hukum
adalah:
“Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warganya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari
pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia
agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan
hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu
mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga
negaranya”.
Pengertian ini memandang bahwa, negara hukum adalah untuk menjamin
keadilan bagi warga negara. Keadilan merupakan syarat terciptanya suatu
kebahagiaan bagi warga negara dalam berbangsa dan bernegara. Disisi lain salah
satu dasar daripada keadilan adalah adanya rasa susila kepada manusia dan
menganggap bahwa peraturan perundang-undangan hanya ada, jika peraturan itu
mencerminkan rasa keadilan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gustav Rebruch
tentang tiga ide dasar hukum yaitu: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Berdasarkan pengertian dan dari istilah tersebut maka jelaslah bahwa istiah
“Negara dan Hukum” yang digabungkan menjadi suatu istilah, dengan suatu
pengertian yang mengandung makna tersendiri dan baku.
b. Unsur-unsur Negara Hukum
Sudargo Gautama, dalam buku Abdul Azis Hakim (2011:171),
mengemukakan tiga ciri-ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, antara lain:
6
(1) Terdapat pembatasan kekuatan ngara terhadap perorangan,
maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang,
tindakan negara dibatasi oleh hukum, individu mempunyai hak
terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
(2) Azas Legalitas, maksudnya adalah setiap tindakan harus
berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang
harus ditaai juga oleh pemerintah atau aparatnya.
(3) Pemisahan Kekuasaan, maksudnya adalah agar hak asasi betulbetul terlindungi dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan
yang membuat peraturan perundang-undangan melaksanakan
dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam
satu tangan
Agar hak asasi betul-betul terlindungi adalah dengan pemisahan kekuasaan
yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan melaksanakan dan
mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan.
Sedangkan negara hukum menurut F.J. Stahl dalam buku karangan Abdul Azis
Hakim (2011:172), elemen dari negara hukum antara lain adalah:
(1) Adanya jaminan atau hak dasar manusia.
(2) Adanya pembagian kekuasaan.
(3) Pemerintahan berdasarkan peraturan hukum.
(4) Adanya peradilan administrasi negara.
Sementara A.V.Dicey yang menganut sistem Anglo Saxon yaitu “the rule
of law” konsep negara hukum menurutnya mengandung tiga unsur penting:
(1) Supremacy of law
(2) Equality before the law
(3) Human rights.
Selanjutnya para jurist Asia Tenggara dan Pasifik seperti tercantum dalam
buku “The Dynamics Aspects of the rule of law in the modern age” dikemukakan
syarat-syarat rule of law sebagai berikut:
7
(1) Perlindungan konstitusional dalam arti bahwa konstitusi
selain
daripada
menjamin
hakhak
individu
harus
menentukan pula cara prosedur untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
(2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
(3) Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
(4) Pemilihan umum yang bebas.
(5) Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi.
(6) Pendidikan civil (kewarganegaraan).
Berbeda halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Arief Sidharta
Scheltema (2004:124-125) yang merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur
negara hukum. Berikut adalah kelima hal yang diungkapkan oleh Arief Sidharta
Scheltema mengeni unsur-unsur negara hukum:
(1) Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi
Manusia (HAM) yang berakar dalam penghormatan atas
martabat manusia (human dignity)
(2) Berlakunya asas kepastian hukum. Negara hukum untuk
bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud
dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan
kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga
dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat
predictable.
(3) Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality
Before The Law). Dalam negara hukum, pemerintah tidak
boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang
tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau kelompok
orang tertentu. Dalam prinsip ini, terkandung: (1) adanya
jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum
dan pemerintahan, dan (2) tersedianya mekanisme untuk
menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
8
(4) Asas demokrasi di mana setiap orang mempunyai hak dan
kesempatan
pemerintahan
yang
sama
atau
untuk
untuk
turut
serta
mempengaruhi
dalam
tindakan-
tindakan pemerintahan.
c. Indonesia Sebagai Negara Hukum
Secara historis, gagasan tentang konsepsi negara hukum terus bergulir
sejalan dengan arus perkembangan sejarah. Mulai dari konsepsi negara hukum
liberal (nachwachter staat/negara sebagai penjaga malam) ke negara hukum
formal (formele rechtsstaat) kemudian menjadi negara hukum materiil (materiele
rechtsstaat) hingga pada ide negara kemakmuran (welvarstaat) atau negara yang
mengabdi kepada kepentingan umum (social service state atau sociale
verzorgingsstaat) (Padmo Wahjono, 1991: 73).
Konsep negara hukum tidak asing lagi dalam ilmu pengetahuan
Ketatanegaraan sejak zaman purba hingga sekarang ini. Pasal 1 ayat 3 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen
disebutkan bahwa: negara Indonesia adalah negara hukum. Herman Sihombing,
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Andalas,
mengatakan bahwa negara hukum sebagai suatu konsepsi kelihatannya sudah
longgar, karena hampir semua negara dikatakan “Negara Hukum”. Pemikiran
yang dilontarkan tersebut memang sudah demikian keadaannya, baik dibanyak
negara maupun Indonesia sebagai negara hukum.
Di Indonesia, pelaksanaan negara hukum mengalami pasang surut. Selama
kurun parlementer (1950-1957) negara hukum menjadi ideologi pengabsah
republik konstitusional, tetapi banyak di antara simbol-simbolnya secara
konservatif dikaitkan dengan lembaga, prosedur dan berbagai kitab undangundang hukum Belanda yang dilestarikan sampai masa kemerdekaan. Dalam
kurun demokrasi terpimpin (1958- 1965), negara hukum tenggelam dibawah
tekanan patrimonialisme rezim dan ideologinya yang radikal-populis, yang
mengutamakan keadilan substantif daripada keadilan prosedural. Dengan lahirnya
Orde Baru, perbincangan mengenai negara hukum bangkit kembali dengan cepat,
9
sebagian sebagai reaksi terhadap demokrasi terpimpin namun lebih jelas dan
mendalam daripada yang sudah-sudah. Selama awal kurun Orde (Daniel S Lev,
1990: 384).
Hingga sekitar tahun 1971, para pendukung negara hukum boleh dikatakan
lebih optimistis. Optimisme ini berubah kemudian Namun dalam perjalannan
selanjutnya Orde baru, sebagaimana orde sebelumnya, lebih menjadikan doktrin
negara hukum sebagai slogan, bahkan dalam kenyataannya implementasi konsep
negara berdasarkan kekuasaan (machtstaat) justru lebih dominan dari pada
penerapan konsep negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat. Pada Era
Reformasi saat ini, perjuangan menegakkan negara hukum memang sangat
nampak dipermukaan, terutama dengan lahirnya berbagai berundang-undangan
yang lebih responsif dengan tuntutan masyarakat. Namun demikian, hal ini belum
bisa menjamin akan diimplementasikannnya negara hukum yang lebih subtansial.
Lebih dari setengah abad, negara Indonesia masih harus bergelut dengan
berbagai masalah yang mendasar yang timbul sebagai akibatnya. Eksistensi
Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata masih harus terus dibina dan
dipertahankan. Selain itu pembangunan negara hukum juga masih tak kunjung
selesai dengan baik. Bahkan sebaliknya negara Indonesia dikenal dengan negara
yang paling buruk penegakan hukumnya. Apabila pada saat diproklamirkannya
Kemerdekaan Indonesia yaitu pada 17 Agustus 1945, yang terdapat dalam benak
kita pada waktu itu ialah “sejak pertama kita sudah dalam negara hukum yang
sempurna”. Secara formal kita melihat memang begitu, akan tetapi secara
substansial perjalanan masih sangat jauh, membentuk suatu negara hukum adalah
suatu proyek yang amat besar (Abdul Aziz Hakim, 2011:6-7).
Menurut Maria Farida (1998:1), prinsip negara hukum Indonesia adalah
negara hukum pengurus (Verzonginstaat). Apabila dicermati secara sungguhsungguh konsep negara hukum ini sangat mendekati konsep negara hukum
kesejahteraan (welfarestaat). Hal ini dapat dipahami melalui pembukaan UndangUndang Dasar 1945, khususnya pada alinea IV, yang selanjutnya dirumuskan:
”... negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
10
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
...”
Negara hukum tidaklah instant, tetapi haruslah dibangun. Negara hukum
adalah konsep moderen yang tidak tumbuh dalam masyarakat Indonesia sendiri.
Proses menjadi negara hukum bukan menajdi sejarah sosial-politik bangsa kita.
Negara hukum ialah bangunan yang dipaksakan dari luar (imposed from outside).
Demikianlah membangun negara hukum ialah membangun perilaku bernegara
hukum, membangun peradaban baru. Berdasarkan pengamatan sejarah, tiak dapat
dianggap membangun negara hukum mudah seperti halnya menancapkan papan
nama, juga tdak sama dengan bercocok undang-undang, meniru sistem peradilan
dan seterusnya (Abdul Aziz Hakim, 2011:7). Berdasarkan hal tersebut, maka
eksistensi bangsa dan negara Indonesia memiliki tantangan besar dalam hal
perwujudan kesejahteraan segenap bangsa Indonesia. Bukan hanya karena
Indonesia menganut paham negara hukum kesejahteraan, namun juga dikarenakan
janji kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai kontrak sosial tertinggi telah
tercantum dalam konstitusi dan hal tersebut haruslah dilunasi demi terwujudnya
cita-cita para pendiri bangsa.
2. Tinjauan Umum Tentang Sistim Politik Demokrasi
a. Pengertian Sistem Politik Demokrasi
Sistem politik menurut Andrew Heywood (dalam Ikhsan Damawan,
2013:2) adalah “A broder term that encompasses not only the mechanism of
government and the instituitons of state, but also the structures and processes
through wich these interact with the larger society.”
(sebuah istilah yang mencakup tidak hanya mekanisme dalam
pemerintahan dan institusi-institusi di dalam negara, tetapi juga
struktur dan proses dan bagaimana interaksinya dengan masyarakat
yang lebih luas)
Sistem politik merupakan bagian dari sistem sosial yang menjalankan
fungsi alokasi nilai-nilai (dalam bentuk keputusan dan kebijaksanaan) yang
11
alokasinya bersifat otoritatif (dikuatkan oleh kekuatan yang sah) serta mengikat
seluruh masyarakat. Sistem Politik adalah berbagai macam kegiatan dan proses
dari struktur dan fungsi yang bekerja dalam suatu unit atau kesatuan
(masyarakat/negara). Ada beberapa definisi mengenai sistem politik, diantaranya
sebagaimana terdapat dalam buku karangan Syafiie Inu Kencana (2006: 5-6),
yaitu:
Menurut Almond, sistem politik adalah interaksi yang terjadi dalam
masyarakat yang merdeka yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi.
Menurut Rober A. Dahl, Sistem politik adalah pola yang tetap dari hubungan –
hubungan antara manusia yang melibatkan sampai dengan tingkat tertentu,
control, pengaruh, kekuasaan, ataupun wewenang.
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip
yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur
pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara
mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan
hubungan Negara dengan Negara.
Sistem politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah mekanisme atau cara
kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan
satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng. Dapat disimpulkan
bahwa sistem politik adalah mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam
struktur politik dalam hubungan satu sama lain yang menunjukan suatu proses
yang langsung memandang dimensi waktu (melampaui masa kini dan masa yang
akan datang)
Sedangkan menurut definisi Samuel P. Huntington, bahwa pengertian
sistem politik adalah dibedakan dalam beberapa cara pandang dengan memiliki
lima komponen yang berbeda. 5 komponen tersebut adalah sebagai berikut:
12
(a) Kultur
Kultur adalah nilai-nilai, sikap-sikap, orientasi, mitos, dan
kepercayaan yang relevan terhadap politik dan berpengaruh
dalam masyarakat.
(b) Struktur
Struktur adalah organisasi formal dalam masyarakat yang
digunakan dalam menjalankan berbagai keputusan yang
berwenang, misalnya partai politik, badan perwakilan rakyat,
eksekutif, dan birokrasi.
(c) Kelompok
Kelompok adalah bentuk-bentuk sosial dan ekonomi, baik
secara formal dan juga nonformal yang berpartisipasi dalam
mengajukan tuntutan-tuntutan terhadap struktur-struktur
politik.
(d) Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah individu dalam lembaga-lembaga
politik dan kelompok politik yang menjalankan pengaruh
lebih dibandingkan yang lainnya dalam memberikan
tambahan nilai-nilai.
(e) Kebijakan
Kebijakan adalah pola-pola kegiatan pemerintahan yang
secara sadar terbentuk untuk memengaruhi distribusi
keuntungan dalam masyarakat.
Berbeda halnya dengan yang dikemukakan oleh Sri Soemantri, pengertian
sistem
politik
adalah
pelembagaan
dari
hubungan
antarmanusia
yang
13
dilembagakan dalam bermacam-macam badan politik, baik itu berupa
suprastruktur politik (lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan infrastruktur
politik ada 5 komponen. 5 komponen infrastruktur adalah partai politik, kelompok
kepentingan atau interest group, kelompok penekanan atau pressure group, alat
komunikasi politik dan tokoh politik. Terdapat beberapa model sistem politik
salah satunya adalah sistem politik demokrasi. Sistem politik demokrasi adalah
sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus
(Miriam Budiarjo, 2001: 6).
Dari segi struktural, sistem politik demokrasi ideal adalah system politik
yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsesus. Artinya, demokrasi
memungkinkan adanya perbedaan pendapat,persaingan,dan pertentangan antar
individu, antar kelompok, individu dengan kelompok, individu dengan
pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan antara lembaga-lembaga
pemerintah. Namun demokrasi hanya akan mentolerir konflik yang tidak merusak
dan menghancurkan system. Oleh karena itu sistem politik demokrasi
menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan konflik
sampai pada penyelesaian dalam bentuk kesepakatan (konsensus). Prinsip ini pula
yang mendasari pembentukan identitas bersama, hubungan kekuasaan, legitimasi
kewenangan, dan hubungan politik dengan ekonomi.
b. Sistim Politik Demokrasi di Indonesia
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan
berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan
umum termasuk proses penentuan tujuan. Sistem politik Indonesia adalah
demokrasi Pancasila,yaitu setiap hak-hak dan kewajiban warga negara
pelaksanaan hak asasinya bersifat horizontal maupun vertical.Bagi lembagalembaga yang bersifat infrastruktur dan suprastruktur diakui keberadaannya dan
kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan dan ketaatan pada hukum
yang sedang berlaku (Arbi Sanit, 2002:4). Perkembangan demokrasi di Indonesia
mengalami pasang surut sejak berdirinya negara Republik Indonesia.Masalah
selama pasang surut ini berkisar penyusunan suatu sistem politik dimana
14
kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta
nation building, dengan partisipasi rakyat dengan menghindarkan diktator baik itu
diktator individu, partai, maupun militer.
(a) Perkembangan sejarah demokrasi Indonesia dapat dibedakan
dalam beberapa masa. Masa Demokrasi Konstitusional,
menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai politik
sehingga disebut demokrasi parlementer.
(b) Masa Demokrasi Terpimpin, muncul beberapa aspek yang
menyimpang dari demokrasi konstitusional secara moral
sebagai landasannya. Selain itu telah menunjukan beberapa
aspek demokrasi rakyat dalam pelaksaannya.
(c) Masa Demokrasi Pancasila, muncul sebagai demokrasi yang
konstitusional dengan menonjolkan system presidensil.
Peranan eksekutif terutama pada masa Orde Baru sangat
dominan dalam menjalankan dan mengendalikan jalannya
pemerintahan.
Pada masa reformasi penyaluran tuntutan tinggi dan terpenuhi, dan untuk
pemeliharaan nilai penghormatan tterhadap HAM tinggi dan untuk kapabilitas dan
SDA disesuaikan dengan otonomi daerah untuk integrasi vertikal dua arah, atas
bawah dan bawah atas, sedangkan untuk integrasi horizontal nampak, muncul
kebebasan (euforia), dan untuk gaya politik adalah pragmatic, kepemimpinan
dipimpin oleh sipil, purnawiranan, politisi, dan partisipasi massa sangat tinggi,
untuk keterlibatan militer itu dibatasi, dan aparat negara harus loyal kepada negara
bukan pemerintah, untuk stabilitas dalam keadaan instabil. Sistem politik di
Indonesia adalah demokrasi pancasila,yaitu setiap hak-hak dan kewajiban warga
Negara,pelaksanaan hak asasinya bersifat horizontal maupun vertical (M. Budiana
dalam Jurnal Online Westphalia, 2014: 4).
15
Sistem politik demokrasi di Indonesia adalah sistem politik yang
didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis.
Adapun sendi - sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :
(a) Ide kedaulatan rakyat
(b) Negara berdasarkan atas hukum
(c) Bentuk Republik
(d) Pemerintahan berdasarkan konstitusi
(e) Pemerintahan yang bertanggung jawab
(f) Sistem Pemilihan langsung
(g) Sistem pemerintahan presidensiil.
Demokrasi Pancasila pada masa reformasi secara formal menunjukan
sistem presidensil. Namun peranan legislatif cukup menonjol dalam menjalankan
dan mengendalikan jalannya roda pemerintahan.Untuk itu,kita harus dapat
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa sehingga pembangunan nasional
yang telah berlanjut akan tetap dapat dilaksanakan dalam usaha mencapai tujuan
nasional. Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat aneka ragam kepentingan
dan pendapat yang berbeda. Segala sesuatunya harus diselesaikan sesuai dengan
tatanan masyarakat,termasuk wadah berupa kelembagaan-kelembagaan negara.
Sedangkan lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga yang dapat
menyalurkan kepentingan dan pendapat-pendapat rakyat yang beraneka ragam.
Keanekaragaman kepentingan memungkinkan adanya konflik-konflik diantara
anggota masyarakat. Jika konflik-konflik itu dapat diselesaikan secara
kelembagaan,hal itu berarti kita lebih mengutamakan keteraturan dan kestabilan.
Partisipasi politik masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan ketentuan
yang berlaku. Dengan kata lain sistem politik Indonesia adalah sebuah sistem
politik
demokratis yang bersendikan nilai - nilai lokal (local value) bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Karakteristik Sistem Politik Indonesia adalah
kedaulatan rakyat, pelaksanaan kedaulatan melalui sistem perwakilan, di dalam
lembaga perwakilan selalu diupayakan permusyawaratan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan (M. Budiana dalam Jurnal Online Westphalia, 2014: 10).
16
3. Tinjauan Umum Tentang Demokrasi Perwakilan
a. Pengertian Demokrasi Perwakilan
Demokrasi (pemerintahan oleh rakyat), semula dalam pemikiran Yunani
berarti bentuk politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh
kekuasaan politik (Lorenz Bagus, 2002:154). Secara etimologis “demokrasi”
terdiri dari dua kata Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk
suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan.
Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti
suatu keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada
di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat,
rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat (Ubaedillah dan
Abdul Rozak, 2006:131)
Berdasarkan kategori penyaluran kehendak rakyat, demokrasi dibedakan
atas 2 macam yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung/demokrasi
perwakilan (representatif). Menurut Sri Soemantri (1986:31), demokrasi
perwakilan (indirect democracy) adalah suatu demokrasi dimana pelaksanaan
kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung, melainkan
melalui lembaga – lembaga perwakilan rakyat. Indonesia termasuk Negara dengan
representative democratic. Hal ini ditegaskan oleh Sri Soemantri (1986:14)
bahwa:
“Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, demokrasi yang dianut oleh -Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah demokrasi dalam
arti representative atau indirect democracy, yakni demokrasi
dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu dilaksanakan melalui
lembaga-lembaga
perwakilan
rakyat
seperti
Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Selanjutnya dalam (https://id.wikipedia.org), Demokrasi perwakilan
adalah sebuah varietas demokrasi yang didirikan di atas dasar prinsip sedikit
orang yang dipilih untuk mewakili sekelompok orang yang lebih banyak,
kebalikan dari demokrasi langsung. Misalnya, dua negara yang menggunakan
demokrasi perwakilan adalah Britania Raya (monarki konstitusional) dan Jerman
(republik federal). Demokrasi perwakilan merupakan sebuah unsur dari
17
pemerintahan parlementer maupun presidensial dan biasanya digunakan di dalam
majelis rendah seperti House of Commons (Britania Raya) atau Bundestag
(Jerman), dan umumnya dibatasi oleh penapis konstitusional seperti majelis
tinggi.
Demokrasi perwakilan telah dijelaskan oleh beberapa teoriwan politik
sebagai poliarki. Demokrasi Perwakilan yaitu paham demokrasi yang
dilaksanakan melalui sistem perwakilan, artinya rakyat menyerahkan kedaulatan
kepada para wakil yang telah dipilih dan dipercaya. Rakyat yakin bahwa segala
kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan oleh wakil rakyat dalam
melaksanakan kekuasaan negara. Dalam kaitan lain negara Indonesia menganut
demokrasi tidak langsung karena dalam sistem penyaluran aspirasinya melalui
lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Demokrasi perwakilan merupakan model demokrasi yang sangat banyak
dianut sekarang, bahkan dapat dikatakan bahwa model demokrasi perwakilan
inilah yang saat ini merupakan stereotipe dari demokrasi kontemporer dan
universal. Dengan demokrasi perwakilan, yang dimaksudkan adalah bahwa para
pejabat negara yang pada prinsipnya dipilih oleh rakyat, menjalankan kekuasaan,
kewenangan, dan fungsinya mewakili kepentingan-kepentingan rakyat yang
diwakilinya, baik dalam distrik-distrik tertentu, ataupun secara keseluruhan. Tentu
saja, dalam menjalankannya, tetap patuh terhadap hukum dan tatakrama yang
berlaku (Munir Fuady, 2011: 134).
Sehingga secara umum dapat dipahami bahwa demokrasi tidak langsung
atau demokrasi perwakilan adalah demokrasi yang dijalankan oleh rakyat atau
warga negara melalui perwakilan rakyat yang terpilih melalui pemihan umum. Di
Indonesia, perwakilan rakyat disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat disingkat
dengan DPR. Keinginan dan masukan rakyat (aspirasi) dimasukkan serta
dikumpul oleh DPR baik secara aktif dan tidak aktif melalui anggota DPR yang
mewakili daerah pemilihannya. Hal yang terjadi di Indonesia sekarang ini sering
18
terjadi sebaliknya dikarenakan adanya sistem partai dan moral anggota DPR yang
terpilih masih hancur.
b. Perkembangan Demokasi Perwakilan di Indonesia
Terdapat dua jenis atau model demokrasi berdasarkan cara pemerintahan
oleh rakyat itu dijalankan, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.
Demokrasi langsung dalam arti pemerintahan oleh rakyat sendiri di mana segala
keputusan diambil oleh seluruh rakyat yang berkumpul pada waktu dan tempat
yang sama, hanya mungkin terjadi pada negara yang sangat kecil, baik dari sisi
luas wilayah maupun jumlah penduduk. Sedangkan demokrasi perwakilan adalah
bentuk demokrasi yang dibuat untuk dapat dijalankan dalam jangka waktu lama
dan mencakup wilayah yang luas. Berkembanglah kemudian suatu mekanisme
yang mampu menjamin kepentingan dan kehendak warga negara menjadi bahan
pembuatan keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka, yaitu yang
selanjutnya
disebut
sebagai
demokrasi
perwakilan.
Menurut
demokrasi
perwakilan, fungsi pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada organ-organ
negara. Menurut John Locke, walaupun kekuasaan telah diserahkan kepada organ
negara, masyarakat sebagai kesatuan politik masih dapat menyampaikan aspirasi
dan tuntutan. Untuk membentuk sebuah masyarakat politik, dibuatlah undangundang atau hukum sehingga perlu dibuat badan atau lembaga pembuat undangundang yang dipilih dan dibentuk oleh rakyat (Janedjri M. Gaffar, 2013: 25-26).
Pada titik inilah berjalannya demokrasi perwakilan menghendaki adanya
Pemilu. Pemilu setidaknya merupakan mekanisme untuk membentuk organ
negara,
terutama
organ pembentuk
hukum yang akan
menjadi
dasar
penyelenggaraan pemerintahan negara. Karena itu, Pemilu merupakan bagian tak
terpisahkan sekaligus sebagai prasyarat bagi demokrasi perwakilan (Janedjri M.
Gaffar, 2013: 27). Hal ini sesuai dengan pengertian pemerintahan perwakilan
yang dirumuskan oleh International Commission of Jurist, yaitu “...a government
deriving its power and authority from the people which power and authority are
exercised through representative freely choosen and responsible to them.”
Maksudnya adalah kekuatan kekuasaan pemerintahan perwakilan terletak pada
19
siapa yang telah terpilih dan bagaimana bentuk pertanggungjawabannya. Selain
itu juga ditentukan bahwa adanya pemilu yang bebas merupakan salah satu syarat
representative government under the rule of law. Syarat selengkapnya adalah
sebagai berikut:
(a) Adanya proteksi konstitusional,
(b) Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak,
(c) Adanya pemilihn umum yang bebas,
(d) Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan
berserikat,
(e) Adanya tugas oposisi,
(f) Adanya pendidikan civic.
Dahl menyatakan bahwa demokrasi perwakilan di era modern merupakan
bentuk demokrasi dalam skala besar yang membutuhkan lembaga-lembaga politik
tertentu sebagai jaminan terlaksananya demokrasi. Salah satu dari lembaga politik
tersebut adalah Pemilu yang bebas, adil, dan berkala. Bahkan, Hans Kelsen juga
menyatakan bahwa bentuk dari demokrasi adalah pemilihan di mana organ negara
ang dibentuk untuk membentuk dan menjalankan norma hukum dipilih oleh
subyek yang diatur oleh norma yang dibentuk itu. “The democrati form of
nomination is election. The organ authorized to create or execute the legal norms
is elected by subjects whoose behavior is regulated by these norm,” (Janedjri M.
Gaffar, 2013: 28).
Pemilu memang bukan merupakan satu-satunya jalan demokrasi, tetapi
mayoritas negara demokrasi menganggap Pemilu sebagai lambang sekaligus tolok
ukur demokrasi. Hasil Pemilu yang dilaksanakan dalam suasana keterbukaan dan
kebebasan dianggap akurat mencerminkan partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Demokrasi perwakilan saat ini juga telah berkembang berdampingan dengan
unsur-unsur demokrasi langsung. Di banyak negara mulai dikembangkan
pemilihan langsung serta model inisiatif atau referendum. Namun demikian hal itu
tidak dapat sama sekali meniadakan demokrasi perwakilan. Sebaliknya,
20
demokrasi langsung akan memperkuat demokrasi perwakilan (Janedjri M. Gaffar,
2013: 29).
Para pendiri bangsa Indonesia telah meletakkan dasar-dasar demokrasi
perwakilan sebagai prinsip penelenggaraan kehidupan bernegara. Hal itu
tercermin dalam perdebatan di dalam BPUPK yang merumuskan dasar negara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni
1945 secara tegas menyatakan bahwa salah satu syarat kuatnya negara adalah
perwakilan. Soekarno mengatakan “syarat mutlak untuk kuatnya Negara
Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.” Pembahasan dasar negara
selanjutnya melahirkan Pancasila di mana salah satu sila di dalamnya menegaskan
dianutnya demokrasi perwakilan, yaitu sila keempat yang menyatakan
“Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam pemusyawaratan”.
Selain itu perkembangan pemikiran tentang demokrasi perwakilan juga
dapat dilihat dari pendapat Soekiman pada sidang BPUPK pada 15 Juli 1945 yang
mengusulkan ketentuan mengenai kedudukan dan cara pemilihan. Demokrasi
perwakilan selalu tercermin dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang
dapat dilihat dari adanya lembaga perwakilan rakyat. Setelah proklamasi
kemerdekaan, lembaga perwakilan belum terbentuk. Namun berdasarkan Pasal IV
Aturan Peralihan dinyatakan bahwa sebelum terbentuknya MPR, DPR, dan DPA,
segala kekuasaannya dijalankan oleh Preseiden dengan bantuan sebuah komite
nasional (Janedjri M. Gaffar, 2013: 30).
Pada masa berlakunya konstitusi RIS, lembaga perwakilan adalah Senat
dan DPR. Senat RIS anggotanya berjumlah 32 orang. Senat mewakili daerahdaerah bagian. Setiap daerah bagian mempunyai dua anggota dalam Senat. DPR
merupakan perwakilan politik. Di samping itu, Konstitusi RIS juga menentukan
adanya badan Konstituante yang keanggotaannya adalah anggota DPR ditambah
dengan anggota luar biasa. Konstituante bertugas membentuk Konstitusi Baru
bersama-sama pemerintah.
21
Demokrasi perwakilan berdasarkan UUDS 1950 diwujudkan dalam bentuk
lembaga DPR yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Pasal 56 UUDS 1950
menyatakan bahwa DPR terdiri atas anggota yang ditetapkan berdasarkan
perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk warga negara Indonesia mempunyai
seorang wakil. Sementara itu, di era reformasi, lembaga pemusyawaratan dan
perwakilan berdasarkan UUD 1945 Pasca Perubahan meliputi MPR, DPR, DPD.
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Anggota DPR dan DPD dipilih
melalui Pemilu. DPR merupakan perwakilan politik, sedangkan DPD merupakan
perwakilan daerah. Dari sisi kedudukan, MPR tidak lagi merupakan lembaga
tertinggi negara melainkan sederajat dengan DPR dan DPD (Janedjri M. Gaffar,
2013: 31).
Negara Indonesia dengan sistem pemerintahannya yang presidensial,
Indonesia menganut demokrasi tidak langsung karena dalam sistem penyaluran
aspirasinya melalui lembaga-lembaga perwakilan. Seiring berjalannya waktu,
sejarah pelaksananan demokrasi di Indonesia cukup menarik. Dalam upaya
mencari bentuk demokrasi yang paling tepat diterapkan dinegara Republik
Indonesia ada semacam trial and error, coba dan gagal. Namun apabila
direnungkan secara arif, teryata untuk menuju ke sistem demokrasi yang ideal
perlu waktu yang cukup panjang. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia mencari
bentuk demokrasi yang tepat sejak tahun 1945 hingga sekarang masih terkantukkantuk. Hal ini bukan karena ketidak seriusannya, akan tetapi karena memerlukan
waktu panjang untuk mewujudkannya.
4.
Tinjauan tentang Legislasi dan Fungsi Legislasi
a. Pengertian Legislasi
Definisi
legislasi
adalah
kewenangan
membentuk
undang-undang
(legislatif power) (http:/id.wikipedia.org/wiki/Legislasi). Legislasi atau dalam
bahasa Inggris Legislation memiliki arti pembuatan perundang-undangan.
Sedangkan legislatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah badan yang
berwenang membuat undang-undang. Terkadang kata legislasi atau dalam bahas
Inggris legislation terkadang hampir mirip dengan kata regulation, sama-sama
22
mengarah pada peraturan dan pengaturan, namun pada kenyataannya makna kata
regulation mempunyai konotasi yang lebih luas, legislation hanya terbatas pada
produk yang di hasilkan oleh parlemen sebagai lembaga legislatif. Pengertian
legislasi dalam arti sempit berarti produk atau proses pembuatan undang-undang,
sedangkan dalam arti luas menyangkut pula peraturan lain yang mendapat
delegasi kewenangan dari undang-undang. Jika legislasi hanya terkait dengan Act
of Parliamant maka legislasi itu dapat di pahami sebagai produk parlemen atau
produk lembaga legislatif.
Sedangkan menurut Jeremy Bentham (1996), istilah legislation sebagai:
“...any form of law making”. “The term is however,
restricted to a particular form of law making, viz. The
declaration in statutory form of rules of laws by the
legislature of the State. The law that has its source in
legislation is called enacted law or statute or written law”.
"Setiap bentuk pembuatan undang-undang " . "Nampaknya
istilah tersebut terbatas pada bentuk khusus dari
pembuatan undang-undang. Undang-Undang merupakan
bentuk hukum dari aturan hukum yang dibuat oleh bagian
legislatif negara. Hukum yang sesungguhnya bersumber
pada undang-undang yang kemudian diterapkan sebagai
hukum yang berlaku adalah semacam peraturan atau
hukum tertulis".
Dengan maksud bahwa bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga
legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian
“enacted law”, “statute” atau undang-undang dalam arti yang luas (Jimly
Asshiddiqie, 2011:22).
b. Pengertian Fungsi Legislasi
Fungsi legislasi merupakan suatu proses untuk mengakomodasi berbagai
kepentingan
para
pihak
(stakeholders),
untuk
menetapkan
bagaimana
pembangunan di daerah akan dilaksanakan (Arbi Sanit, 1985:253). Fungsi
legislasi bermakna penting dalam beberapa hal berikut:
(a) Menentukan arah pembangunan dan pemerintahan dalam
suatu negara;
(b) Dasar perumusan kebijakan publik; dan
(c) Sebagai kontrak sosial di negara
23
Di samping itu berkenaan dengan fungsi legislatif yang paling penting
adalah:
(a) Membuat policy (kebijakan) dan pembuat undangundang. Untuk ini badan legislatif diberi hak inisiatif,
hak. Untuk mengadakan amandemen terhadap undangundang yang disusun pemerintah dan hak budget.
(b) Mengontrol badan eksekutif, dalam arti menjaga supaya
semua tindakan eksekutif sesuai dengan kebijakan yang
telah ditetapkan Untuk menyelenggarakan tugas badan
perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol khusus.
Kedua fungsi legislatif tersebut diatas, merupakan fungsi yang paling
pokok yang dimiliki dan dijalankan oleh badan legislatif kedua fungsi tersebut
juga merupakan konkretisasi dari tugas perwakilan yang diemban oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut sebagai DPR. Kemudian apabila kedua
fungsi tersebut terutama fungsi pembuatan undang-undang tidak berjalan, maka
akan terjadi kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berkaitan dengan wujud fungsi legislatif dibagi kedalam tiga dimensi, yaitu:
1) Fungsi Respresentasi
Sebagai
fungsi
respresentasi,
DPR
mewakili
keanekaragaman demografis (jenis kelamin, umur, lokasi),
sosiologi (strata sosial), ekonomi pekerjaan pemilikan atau
kekayaan), kultur (adat, kepercayaan, agama) dan politik
dalam masyarakat.
2) Fungsi Pembuatan Keputusan
Merupakan fungsi DPR dalam mengidentifikasi dan
memecahkan masalah demi tercapainya kesejahteraan yang
disepakati.
3) Fungsi Pembentukan Legitimasi
Merupakan fungsi DPR, atas nama rakyat,
dalam menghadapi pihak eksekutif.
24
Kemampuan lembaga legislatif melaksanakan fungsi perwakilan dan
fungsi legislasi dapat dilihat dari persepsi para anggota dalam mengangkat
berbagai persoalan dalam masyarakat untuk dibicarakan dalam forum legislatif
atau kemampuan lembaga legislatif melakukan agregasi dan artikulasi
kepentingan dari rakyat yang diwakili (Yasir, Armen, 2010:53).
c. Dasar Hukum Fungsi Legislasi
Fungsi legislasi yang dimiliki DPR bertujuan agar DPR dapat membentuk
peraturan perundang-undangan yang baik. Pembuatan Undang-undang pada
dasarnya dimulai dari Perencanaan, Persiapan, Teknik Penyusunan, Perumusan,
Pembahasan, Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan (di atur dalam UU
No 10 tahun 2004 pasal 1 angka 1). Dasar Hukum fungsi Legislasi berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah tercantum
dalam Pasal 1, Pasal 1 ayat 3, Pasal 5, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22A.
Sedangkan dasar hukum fungsi pelaksanaan legislasi adalah terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Mejelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Peraturan Tata Tertib DPRRI Nomor 1 Tahun 2014, yang saat ini telah diperbaharui dengan Peraturan Tata
Tertib DPR-RI Nomor 3 Tahun 2015.
25
A. Kerangka Pemikiran
Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR)
Dipilih melalui Pemilihan
Umum
Memenuhi persyaratan
pencalonan anggota DPR
Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (2) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Fungsi Legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat
Kinerja Fungsi Legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat Melemah
Ketidakkonsistenan Penyusunan dan
Penetapan RUU Proglegnas
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran
26
Keterangan:
Alur sebagaimana pada kerangka pemikiran di atas akan menjadi
pegangan bagi Penulis guna menjawab perumusan masalah yang telah dipaparkan
di muka. Pembahasan akan dimulai Dewan perwakilan Rakyat. Jabatan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat diperoleh melalui diadakannya Pemilihan
Umum Legislatif (Pileg) yang diadakan 5 tahun sekali. Tentunya untuk dapat
menduduki posisi strategis di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terdapat
adanya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh bakal calon anggota
legislatif yang bersangkutan. Persyaratan-persyaratan untuk dapat mencalonkan
diri sebagai anggota wakil representatif termaktub dalam Pasal 51 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan
rakyat Daerah.
Fungsi penting dari Dewan Perwakilan Rakyat adalah Fungsi Legislasi.
Terkait pelaksanaan fungsi legislasi, Dewan perwakilan Rakyat saat ini kinerjanya
dinilai rendah oleh masyarakat. Fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat tidak
dijalankan secara semestinya oleh para anggota dewan yang menduduki jabatan di
lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terbukti dengan berbagai hal yang
menunjukkan lemahnya kinerja fungsi legislasi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat antara lain adalah terdapatnya penumpukan penyusunan produk undangundang serta terjadinya ketidakkonsistenan dalam hal penyusunan dan penetapan
Program Legislasi Nasional (Proglegnas) terkait produk hukum berupa Rancangan
Undang-Undang (RUU). Produk hukum dari Dewan Perwakilan Rakyat, isi serta
kepentingannya tidak ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, melainkan hanya
untuk sekedar formalitas semata untuk memenuhi kewajibannya membentuk
undang-undang dalam rangka menjalankan kinerjanya sebagai fungsi legislasi.
Hal seperti ini perlu untuk meninjau kembali mengenai bagaimana sistem
filteralisasi terhadap kualitas anggota Dewan Perwakilan sebelum terpilih dan
menduduki jabatannya di Dewan Perwakilan Rakyat. Terdapat adanya keterkaitan
antara persyaratan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (2) Undang-undang Nomor 8
27
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
kredibilitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan fungsinya
sebagai fungsi legislasi yang saat ini dinilai semakin melemah. Oleh karena hal
yang demikian, semestinya perlu adanya analisis dan evaluasi terhadap
persyaratan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat tersebut guna meningkatkan
kembali kinerja fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
28
Download