REAL ESTATE INVESTMENT TRUST (REIT) Suatu Tinjauan Buku (Book Review) Oleh: Biro Humas dan TU Pimpinan Berikut ini adalah bahasan tinjauan buku karya Dominic Whiting berjudul “Playing the REITs Game – Asia’s New Real Estate Investment Trusts”, yang diterbitkan pada tahun 2007 oleh John Wiley & Sons (Asia) Pte. Ltd. Pembahasan akan dimulai dengan perumusan REIT sebagai lembaga investasi baru di Asia (Bagian A). Pembahasan selanjutnya (Bagian B) menyangkut peranan REITs dalam manajemen risiko dari industri property dan kegiatan ekonomi pada umumnya, yang terfokus pada Bab 5 buku Whiting. Pembahasan akan ditutup dengan beberapa tanggapan atas karya Whiting dan implikasinya pada perkembangan real estate di Indonesia saat ini dan di masa depan (Bagian C). A. REIT (Real Estate Investment Trust) Sebagai Lembaga Investasi Baru di Asia Real Estate Investment Trust (REIT) merupakan suatu sarana investasi yang memungkinkan seorang warga di suatu negara untuk memiliki serangkaian kombinasi (portfolio) asset real estate, misalnya apartemen, hotel, gedung perkantoran, dsb., dalam suatu campuran yang telah digabung dalam satuan REIT yang bersangkutan. Karena pemilikan assets real estate ini bukan atas suatu asset secara utuh tetapi atas sejumlah satuan dari portfolio assets tersebut (misalnya sebagian dari suatu gedung perkantoran, sebagian dari suatu hotel, dst.) dengan bermacam-macam kombinasi satuan, maka warga (investor) tersebut tidak perlu menjadi seorang multi-miliarder terlebih dahulu untuk dapat menjadi pemilik dari berbagai macam assets ini. Dalam bentuknya yang paling maju, pemilikan assets real estate suatu REIT dapat menembus batas-batas negara, sehingga seorang warga dari suatu negara dapat menjadi pemilik berbagai jenis property yang tersebar di manca negara. Selain itu, dalam tahapannya yang telah maju, suatu REIT mempunyai ruang gerak yang sangat luas, sehingga berbeda dengan ruang gerak usaha property konvensional (seperti perusahaan pemilik gedung kantor atau perusahaan pengembang) maka REIT tersebut dapat antara lain melakukan berbagai macam akuisisi dari segala jenis property, membuat pinjaman dengan rasio debt/asset (leverage) yang tinggi, dan melakukan merger dengan perusahaan manajemennya dan bahkan dapat merangkap sebagai perusahaan pengembang. Dalam buku Whiting (Bab 1), evolusi REIT ini digambarkan terjadi dalam tujuh tahapan, dalam mana masing-masing tahapan mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda. Misalnya pada tahap pertama dan kedua potensi pertumbuhan kecil karena belum mantapnya kerangka peraturan perundang-undangnya. Sedangkan pada tahap ketiga portensi pertumbuhan meningkat karena mulai giat diadakan akuisisi property oleh REIT yang bersangkutan. Pada tahap kelima, potensi pertumbuhan kembali meningkat dalam hal suatu REIT menempuh langkah-langkah untuk selain mengakuisisi juga merangkap menjadi pengemban, dengan catatan peraturan perundang-undangan di negara yang bersangkutan memperbolehkan usaha rangkap yang demikian. Yang jelas, suatu REIT mempunyai ruang gerak yang jauh lebih luas daripada usaha property konvensional. Selain itu, ciri dari suatu REIT adalah kewajibannya untuk mengalokasi paling sedikit 90% dari penghasilannya untuk dibagikan sebagai dividen yang bebas pajak. Hal ini merupakan daya tarik tersendiri bagi seorang investor untuk menanam dananya di berbagai satuan suatu REIT, yang karenanya akan sekuatnya berupaya untuk dapat terus meningkatkan penhasilannya netonya (penghasilan kotor dikurangi biaya operasi), termasuk upaya peningkatan efisiensi melalui penekanan biaya operasi. Daya tarik suatu REIT juga karena sarana investasi ini dapat memenuhi kebutuhan investor akan adanya likuiditas tinggi (dapat mudah dan cepat dijual kembali), rentabilitas tinggi (tingkat penghasilan/yield setinggi mungkin), dan adanya risiko serendah mungkin. Likuiditas yang tinggi ini dimungkinkan oleh karena satuan-satuan REIT diperdagangkan di pasar modal sebagaimana halnya dengan saham biasa. Dalam hal tingkat rentabilitas yang tinggi, suatu studi yang disebut Whiting dalam bukunya menunjukkan bahwa rentabilitas suatu REIT dapat mencapai 13,4 % dibandingkan dengan rentabilitas saham sebesar 11,2% dan dari obligasi sebesar 8% saja. Dalam hal risiko maka suatu studi lain yang disebut Whiting menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang rendah antara gerakan REIT dengan saham dan obligasi, sehingga dalam suatu portfolio investassi peningkatan dalam yield REIT dapat mengimbagi penurunan yield dari saham dan obligasi, dan sebaliknya, yang secara neto menjamin adanya stabilitas (risiko rendah). Walaupun dengan segala keunggulan yang telah disebutkan, REIT termasuk masih baru di daerah Asia terutama dibandingkan dengan negara-negara yang telah maju. Di AS misalnya telah berkembang sejak tahun 1960an dan Australia sejak tahun 1971. Sedangkan di Asia baru dimulai rata-rata setelah tahun 2000, misalnya Jepang (2001), Singapura (2002), Hong Kong (2003) dan China (akhir 2004). B. Manajemen Risiko (Risk Management) pada Industri Property dengan hadirnya REITs Risiko Usaha di bidang Property dan bidang Ekonomi Lainnya Usaha di bidang property, seperti halnya dengan usaha di semua bidang ekonomi lainnya, perlu mengelola setiap risiko yang dihadapinya agar hubungan yang seimbang antara rentabiltas (rate of return) dan likuiditas usahanya tidak terganggu oleh peristiwaperistiwa, baik ekonomi maupun non-ekonomi, yang terjadi di luar usahanya. Semakin berhasil pengusaha untuk memitigasi risiko maka akan semakin tertarik ia untuk menanam modalnya, dan sebaliknya. Kemampuan mengelola risiko ini juga tergantung pada seberapa besar tingkat risiko, baik di bidang ekonomi maupun non-ekonomi yang dihadapinya pada lingkungan (negara/perekonomian) yang bersangkutan. Semakin kecil risiko lingkungan ini maka semakin kecil “ancaman” yang perlu dikelolanya sehingga akan semakin tertarik pengusaha untuk menanam modalnya dan mengembangkan usahanya, dan sebaliknya. Biro Humas dan TUP | Kemenneg PPN/Bappenas -2- Buku Whiting menyebut suatu model yang digunakan oleh RREEF, suatu cabang Deutsche Bank AG, untuk mengestimasi risiko investasi di bidang property dihadapi di berbagai negara. Metode estimasi RREEF ini ikut memperhitungkan, antara lain, keadaan ekonomi makro, stabilitas politik, tingkat transparansi, peraturan perundang-undangan, kualitas penyewa gedung (tenancy risk), dan likuiditas (seberapa mudah atau sulitnya untuk menjual dan membeli property secara cepat) di negara/perekonomian yang bersangkutan. Dengan menggunakan skala antara nol dan lima, RREEF ini memberi angka rata-rata sebesar rata-rata 3,0 bagi lingkungan global dan 3,75 bagi Asia, dalam skala antara nol dan lima. Tingkat risiko dari beberapa kota di Asia dalam konteks ratarata global dan Asia ini ditunjukkan pada Tabel A. Tabel ini meunjukkan bahwa tidak ada kota-kota dengan tingkat risiko di di bawah rata-rata global, sedangkan yang di bawah rata-rata Asia tetapi di atas rata-rata global adalah Hong Kong, Singapura, dan Tokyo. Tabel A Tingkat Risiko Usaha Property Beberapa Kota di Asia Global Asia Hong Kong Singapore Bangkok Kuala Lumpur New Delhi Seoul Tokyo 3,0 3,7 3,1 3,4 4,1 3,8 4,2 3,7 3,3 Sumber: Whiting, Dominic, Asia’s New Real Estate Investment Trust, halaman 150 Pengaruh REITs pada Tingkat Risiko Usaha Property Sehubungan dengan rangking RREEF tersebut, buku Whiting menyebutkan bahwa perusahaan REITs, meskipun terkait erat dengan assets property, tingkat risikonya masih lebih rendah daripada tingkat risiko investasi langsung di bidang property. Menurut White, hal ini disebabkan oleh: a. sifat usaha REITs yang lebih liquid daripada di property; dan b. persyaratan transparansi dari laporan keuangan lebih ketat bagi REITs daripada bagi perusahaan property. Selain itu, Whiting juga mengatakan bahwa, sehubungan dengan transparansinya yang lebih besar, maka keberadaan REITs di suatu perekonomian akan mempunyai pengaruh menurunkan tingkat risiko usaha (sehingga akan meningkatkan tingkat keuntungan) baik bagi investasi di bidang property maupun investasi di bidang ekonomi lainnya. Ini berarti bahwa peningkatan transparansi di negara-negara Asia akan meningkatkan daya tarik berinvesasi di Asia dan semakin besarnya aliran modal ke Asia dari negara-negara maju yang tingkat keuntungan usahanya telah menjadi lebih rendah daripada di negara-negara berkembang pada umumnya. Mengenai hal ini, buku Whiting memaparkan hasil penelitian Jones Lang Lasalle, suatu lembaga yang menyusun indeks transparansi dari berbagai negara di dunia sebagaimana dikutip kembali pada Tabel 2 di bawah. Biro Humas dan TUP | Kemenneg PPN/Bappenas -3- Dalam metode penyusunan indeks transparansi ini, Jones Lang Lasalle mendefinisikan “transparansi” sebagai: “.. sektor real estate yang terbuka dan terorganisir yang.. beroperasi berdasarkan peraturan hukum yang konsisten… dan beroperasi berdasarkan standard professional…”, suatu definisi yang dipenuhi oleh REIT. Hasil penelitian Jones Lang Lasalle ini (Tabel 2) menunjukkan antara lain bahwa Hong Kong (dengan tingkat transparansi sangat tinggi) mempunyai tingkat keuntungan sebesar 3,6% yang lebih rendah dari 5,1% di Singapore yang juga mempunyai tingkat transparansi sangat tinggi. Perbedaan ini kemungkinan besar disebabkan oleh tingkat kejenuhan yang lebih besar di Hong Kong dibandingakan dengan Singapore. Walaupun tingkat transparansi Thailand lebih rendah dari Singapore maupun Hong Kong, tingkat keuntungannya lebih besar yaitu mencapai 6,5%. Beberapa hasil ini menunjukkan bahwa negara-negara berkembang yang mempunyai tingkat keuntungan relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang telah maju, mempunyai potensi tingkat keuntungan yang lebih besar lagi, asal saja tingkat tranparansinya lebih diperbesar lagi (secara implisit dengan lebih meningkatkan keberadaan REITs di negara tersebut). Tabel 2 Tingkat Transparansi danTingkat Keuntungan Usaha Gedung Kantor di Berbagai Negara Asia Negara Hong Kong Singapore Jepang (Tokyo) Thailand (Bangkok) India (New Delhi) China (Beijing) Filipina Indonesia Rangking Transparansi Global 6 10 23 39 41 42 36 47 Tingkat Keuntungan (%) 3,6 5,1 3,6 6,5 7,8 9,5 n.a. n.a. Peranan REITs dalam fluktuasi kegiatan ekonomi. Suatu risiko usaha yang dihadapi perusahaan property dan usaha bidang ekonomi lainnya adalah terjadinya fenomena yang disebut “business cycle”, yang ditandai oleh adanya masa “downswing” (penurunan kegiatan = resesi) yang dikuti masa “upswing” (peningkatan kegiatan = periode “boom” (Grafik 1). Biro Humas dan TUP | Kemenneg PPN/Bappenas -4- Diagram 1 Property (Business) Cycle (Siklus Kegiatan Ekonomi) P R2 R1 B Keterangan: - - Mulai titik P (yang merupakan tingkat tertinggi/peak dari masa peningkatan kegiatan ekonomi yang lalu), maka kegiatan ekonomi memasuki masa kegiatan menurun (resesi) sekitar daerah R1; Masa resesi ini akan berlanjut sampai titik B, yang merupakan titik terendah dari resesi dan juga merupakan titik balik dari resesi ke masa peningkatan kegiatan ekonomi, yang terus belangsung hingga tercapai titik peak baru, yang merupakan titk mulainya masa resesi yang berikut. Menurut Whiting, dengan adanya REITs maka risiko turunnya kegiatan ekonomi (resesi) dapat diperlunak. Menurutnya, REITs dalam masa resesi, ketika suku bunga rendah dan harga property jatuh, justru akan secara aktif membeli asset property dengan harapan harga property akan segera meningkat lagi. Dalam kegiatannya untuk membeli berbagai asset property ini REITs biasanya akan mengandalkan dananya dari sumber pinjaman. Hal ini berarti REITs diperbolehkan untuk memperbesar debt to asset rationya sampai tingkat yang cukup tinggi. Menurut Whiting, kemampuan REITs untuk memborong assets property di suatu negara/perekonomian di Asia akan tergantung pada aturan yang berlaku, yaitu apakah memperbolehkannya atau membatasinya. Suatu praktek REITs lainnya yang mungkin akan menghadapi kendala aturan otoritas keuangan di beberapa negara di Asia adalah praktek untuk membuat tingkat keuntungan (yield) menjadi lebih tinggi pada masa resesi untuk kemudian menurunkannya kembali ketika kegiatan ekonomi keluar dari resesi. Praktek ini dinamakan “financial engineering”. Di berbagai negara yang telah maju praktek “financial engineering” ini dianggap legal, tetapi di beberapa negara Asia mungkin praktek ini akan dianggap melanggar hukum (karena “engineering” dapat dianggap sama dengan “manipulasi”), sehingga akan membatasi ruang gerak REITs di Asia untuk berkembang sepenuhnya. Menurut Whiting, manfaat lain dari adanya REITs di Asia adalah peranan instrumen REITs untuk memberi pertumbuhan yield yang lebih tinggi dari laju inflasi sehingga dapat menjadi “inflation hedge” bagi para investor. Whiting mengatakan bahwa pada tahap perkembangannya saat ini, REITs di Asia masih dalam skala kecil, tata caranya belum tegas dan fungsinya sebagai “inflation hedge” tidak dapat berjalan dengan baik jika Biro Humas dan TUP | Kemenneg PPN/Bappenas -5- inflasi disebabkan oleh adanya peristiwa yang sama sekali tidak dapat diantisipasi sebelumnya, misalnnya oleh tiba-tiba meningkatnya harga BBM. C. Tanggapan atas karya Whiting Beberapa butir tanggapan atas karya Whiting adalah sebagai berikut: - Karya Whiting walaupun diterbitkan setahun yang lalu (2007) belum memasukkan masalah krisis sub-prime mortage yang menimpa industri perumahan di AS dan sistem keuangan di AS yang juga berdampak luas pada berbagai lembaga keuangan global di luar AS. Industri REITs merupakan kegiatan keuangan yang menyangkut proses “securitization” yang juga merupakan pokok permasalahan krisis sub-prime mortgage market. Dengan demikian, segala sesuatu tentang manfaat REITs yang digambarkan oleh Whiting, kemungkinan besar menjadi tidak lagi berlaku setelah krisis tersebut; - Selain itu, di AS sendiri telah mulai muncul berbagai prakarsa untuk mengatur kembali (re-regulate) industri pembiayaan perumahan di AS. Salah satu usulan regulasi ini adalah akan dibentuknya FOMC (Federal Mortgage Origination Commission) yang akan mengkonsolidasi pengawasan atas disiplin pencatatan laporan neraca (balance sheet recordings), dan akan menjadi lembaga pemeringkat (rating institution) atas berbagai dana pinjaman yang masuk ke dalam dana kolektif (fund pools), yang sepertinya akan termasuk pool dana di REITs; - Suatu hal yang belum diantisipasi oleh buku Whiting adalah kemungkinan akan adanya berbagai usulan re-regulasi yang akan disampaikan pada pertemuan Menteri Keuangan G-7 pada tanggal 7 April 2008; - Di Indonesia sendiri (yang tidak disebut oleh Whiting sebagai salah satu negara Asia di mana telah mulai diluncurkan REITs) telah mulai di adakan upaya re-regulasi oleh Bappepam LK yang misalnya akan memperketat praktek “margin trading” dan “short selling”; - Di Indonesia sendiri, kemungkinan terbentuknya REITs juga belum dimungkinkan dari segi tata hukum yang berlaku di sini. Khususnya sistem hukum Indonesia yang menganut sistem kontinental (yang berbeda dengan sistem Anglo-Saxon) tidak mengenal lembaga “trust”. Berbagai negara di Asia yang disebut dalam buku Whiting, di mana REIT mulai berkembang, seperti Singapura, Hong Kong, India, dan Malaysia, adalah bekas jajahan Inggris yang mewariskan sistem Anglo_Saxon tersebut. Sehingga andaikata REIT akan difungsikan di Indonesia maka pembentukannya harus melalui “pintu belakang”, yaitu harus melalui bentuk badan hukum yang berlaku di Indonesia, seperti PT. ******** Biro Humas dan TUP | Kemenneg PPN/Bappenas -6-