Land Bulletin LMPDP ISSN 1978-7626 9 771978 762634 Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan Edisi 04, Agt - Okt 07 Hak Atas Tanah dalam Hukum Tanah Nasional Perspektif Penguasaan tanah di Indonesia Landreform Plus di Indonesia Pentingkah Penyederhanaan Hak Tanah? Land Bulletin LMPDP 3 DARI REDAKSI Hak Atas Tanah dalam Hukum Tanah Nasional Tanah adalah permukiman bumi, demikian dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA. Dengan demikian hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 4 19 8 Perspektif Penguasaan tanah di Indonesia Sejak berlakunya UUPA, telah dilakukan banyak kajian mengenai sistem penguasaan tanah menurut Hukum Tanah Nasional Indonesia dengan berbagai fokus kajian, antara lain (1) kesesuaian sistem hak atas tanah dalam Hukum tanah Nasional (UUPA) dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan, (2) aspek kepastian hukum penguasaan tanah, dan (3) lembaga tanah negara dan pengelolaannya. 11 Pentingkah Penyederhanaan Hak Tanah? Ada gagasan untuk menyederhanakan hak atas tanah yang ada di Indonesia. Alasannya cukup rasional dan sederhana. Hasil penelitian Indonesian Land Administration Project Part C (ILAP-C) tahun 1999 menyebutkan bahwa sistem hak atas tanah di Indonesia sangatlah rumit dikaitkan dengan aspek penggunaannya. Dari sisi jumlah juga terlalu banyak, yakni sekitar 14 jenis hak yang disebut dalam UUPA. Dalam kenyataannya yang efektif didaftarkan hanya empat jenis hak, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Rumitnya sistem hak atas tanah ini diduga memperlambat proses pencatatan atau pendaftaran tanah. Apakah benar begitu? Keterangan Sampul Land Bulletin LMPDP Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan Edisi 04, Agt - Okt 07 Hak Atas Tanah dalam Hukum Tanah Nasional Perspektif Penguasaan tanah di Indonesia Landreform Plus di Indonesia Pentingkah Penyederhanaan Hak Tanah? Foto : LMPDP/MA Lokasi : Kawasan kumuh Jakarta Landreform Plus di Indonesia Dalam beberapa tahun belakangan ini, Pembaruan Agraria sebagai istilah lain untuk menyebut agrarian reform atau reforma agraria, kembali menjadi topik bahasan para pengambil kebijakan publik, politisi, sektor swasta, akademisi, LSM, para stakeholder dan pemerhati bidang agraria/pertanahan mengenai pentingnya tanah sebagai sumberdaya agraria yang berpotensi mewujudkan kejayaan Bangsa dan Negara Indonesia sekaligus berpotensi mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari Redaksi Bappenas Tanah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Tanah selalu dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu dalam setiap masyarakat selalu ada sistem pengaturan penguasaan tanah oleh anggota masyarakat guna memenuhi kebutuhan mereka. Di dalam masyarakat Indonesia sistem yang berlaku sekarang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Secara formal sebagaimana disebutkan di dalam UUPA, sistem tersebut didasarkan atas hukum adat. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan UUPA dengan jelas menyebutkan bahwa sistem tersebut ditujukan agar tanah dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sementara UUPA sudah berusia hampir 50 tahun kita melihat bahwa misi yang diamanatkan oleh UUD-RI tersebut belum terlaksana dengan baik. Kita dihadapkan pada gejala-gejala ketimpangan dalam penguasaan tanah karena terpusatnya penguasaan tanah pada sebagian kecil masyarakat dan tersingkirnya sebagian rakyat dari akses terhadap tanah. Di samping itu makin dirasakan tidak adanya kepastian hukum dalam penguasaan tanah, yang dapat dilihat dari meningkatnya konflik dan sengketa mengenai tanah. Kenyataan di atas menimbulkan pertanyaan: apakah sistem penguasaan tanah yang berlaku sekarang ini sudah tepat untuk mewujudkan amanat UUD? Ada pendapat yang mengatakan bahwa sistem penguasaan tanah sebagaimana ditetapkan dalam UUPA sudah tepat dan yang perlu dilakukan adalah memperbaiki pelaksanaannya, baik dari aspek penyediaan peraturan maupun dalam operasionalisasi peraturan yang ada. Sebaliknya beberapa hasil penelitian meragukan hal tersebut, malahan ada yang berpendapat bahwa sistem UUPA itu mengandung kelemahan yang inherent di dalamnya. Land Edisi 03, Mei 07 - Jul 07 ISSN 1978-7626 diterbitkan oleh Komponen-1 LMPDP Pelindung Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas Penanggungjawab Direktur Perkotaan, Tata Ruang dan Pertanahan Pemimpin Redaksi Ir. Rinella Tambunan, MPA Dewan Redaksi J. Sudarjanto Wirjodarsono, SH. MA Ing. Andreas Groetschel, Dipl. Agr., Msc Ir. Salusra Widya, MA Ir. Nana Apriyana, MT Dr. jur. Any Andjarwati Sudira, S.Sos Editor B. Guntarto Khairul Rizal Redaksi Zaenal Arifin Diah Lenggogeni Ahmad Yani Andi Dyna Riana Desain & Layout M. Arief Edisi Bulletin LMPDP kali ini menyajikan artikel-artikel mengenai sistem hak atas tanah di Indonesia dengan tujuan agar bisa dijadikan referensi dalam merumuskan kebijakan pertanahan khususnya yang menyangkut sistem penguasaan tanah melalui pemilikan hak atas tanah oleh masyarakat. Keperluan perumusan kebijakan pertanahan tersebut makin dirasakan seiring dengan kebutuhan masyarakat yang makin berkembang dan munculnya tuntutan kelompok-kelompok masyarakat adat yang merasa kepentingannya yang sejak dulu telah ada menjadi terabaikan oleh berlakunya sistem penguasaan tanah yang sekarang. Kondisi masyarakat telah banyak berubah sejak waktu UUPA diundangkan. Masyarakat berkembang sejalan dengan perkembangan kebutuhannya baik dalam pergaulan intern maupun dalam pergaulan dengan sesama bangsa di kalangan internasional. Pemikiran-pemikiran dan tuntutan-tuntutan baru bermunculan, baik yang dipicu oleh pengaruh dari luar maupun yang sebenarnya sejak dulu namun belum sempat muncul. Redaksi 3 AGUSTUS - OKTOBER 2007 LAND 04 Distribusi & Administrasi Dica H Nunik P (Sekretariat Komponen-1 LMPDP) Alamat Redaksi Jl. Latuharhary No. 9 Jakarta 10310 Phone (021) 310 1885-87 Fax (021) 390 2983 www.landpolicy.or.id E-mail : [email protected] Redaksi menerima tulisan/artikel dari Pembaca. Tulisan/artikel dalam bulletin ini tidak mencerminkan opini pengelola program LMPDP (PIU-Bappenas) Hak Atas Tanah dalam Hukum Tanah Nasional Oleh: Boedi Harsono *) Lingkup atas hak tanah Tanah adalah permukiman bumi, demikian dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA. Dengan demikian hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak atas tanah dengan demikian mengandung kewenangan, sekaligus kewajiban bagi pemegang haknya untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari satu bidang tanah tertentyu yang dihaki. Pemakaiannya mengandung kewajiban untuk memelihara kelestarian kemampuannya dan mencegah kerusakannya, sesuai tujuan pemberian dan isi haknya serta peruntukan tanahnya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah daerah yang bersangkutan. mengandung unsur kebersamaan dan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, yang penerapannya menghormati hak dan martabat pemegang hak yang bersangkutan. Jika bidang tanah yang dihaki karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalur air, pemegang hak atas tanah yang bersangkutan wajib memberikan jalan keluar atau kemudahan lain dari bidang tanah yang terkurung. Dalam Hukum Tanah Nasional ketentuan lingkup hak atas tanah akan tetap demikian. Hak-hak Atas Sebagai Lembaga Hukum dalam Hukum Tanah Nasional Hak-hak atas tanah yang ketentuan hukumnya diatur dalam UUPA adalah Hak Milik, Hak Guna Adapun pemakaiannya tidak mungkin terbatas Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. pada permukaan bumi tanahnya saja. Untuk Dalam Hukum Tanah Nasional yang keperluan apa pun selalu diperlukan penggunaan disempurnakan hak-hak atas tanah yang diatur sebagian tubuh bumi di bawahnya dan/atau hukum yang tertulis akan tetap keempat hak sebagian ruang di atasnya. Maka hak atas tanah tersebut, tetapi dengan penyempurnaan rumusan bukan saja memberi wewenang untuk memakai pengertian dan ketentuannya. bidang tanah yang dihaki, tetapi kewenangan Karena sebutan dan jumlahnya sama, ada pihakpemakaian itu meliputi juga sebagian tubuh bumi pihak yang mengira bahwa hak-hak tersebut di bawahnya sebagian ruang, yang ada di atasnya merupakan penjelmaan dari hak eigendom, hak sekedar diperlukan untuk kepentingan yang erfpacht, hak opstal, dan gebruik, yang sebelum langsung berhubungan dengan pemakaian tanah berlakunya UUPA dikenal dalam Hukum Tanah yang dihaki, sedalam dan setinggi dalam batas Barat dan mempunyai pengaturan dalam Buku II kewajaran, sesuai tujuan penggunaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal itu kemampuan fisik tanahnya serta ketentuan tidak benar, sebagai yang ditegaskan dalam Pasal hukum yang berlaku, biarpun bumi, air, dan 16 UUPA. Pasal-pasal agraria dalam Buku II ruang tersebut tidak termasuk obyek haknya. KUUHPerdata sudah dicabut oleh UUPA, termasuk pasal-pasal yang mengatur hak-hak Semua hal atas tanah yang masing-masing tersebut. Lagi pula dasar konsepsi dan hakikatnya merupakan hak penguasaan atas bidang-bidang tidak sama. tanah tertentu sebagai bagian dari tanah bersama Bangsa Indonesia, mempunyai fungsi sosial, yang LAND 04 AGUSTUS - OKTOBER 2007 4 Perimbangan Diadakannya Empat Hak atas Tanah Apa pertimbangannya, bahwa dalam Hukum Tanah Nasional setelah mengalami penyempurnaan tetap dipertahankan 4 macam hak tersebut? Hak atas tanah apa pun semuanya memberi kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu dalam rangka memenuhi suatu kebutuhan tertentu. Pada hakikatnya pemakaian tanah itu hanya terbatas untuk 2 tujuan. Pertama, untuk diusahakan. Misalnya untuk usaha pertanian, perkebunan, perikanan (tambak), mungkin juga peternakan. Kedua, tanah dipakai sebagai tempat membangun sesuatu. Seperti untuk membangun bangunan gedung, bangunan air, bangunan jalan, lapangan olahraga, pelabuhan, pariwisata, dan lain-lainnya. Karena semua hak atas tanah itu hak untuk memakai tanah, maka semuanya memang dapat dicakup dalam pengertian dan dengan nama sebutan Hak Pakai. Tetapi mengingat bahwa dalam masyarkat modern peruntukan tanah itu bermacam-macam, maka untuk memudahkan pengenalannya, Hak Pakai untuk keperluan yang bermacam-macam itu masing-masing diberi hak nama sebutan yang berbeda, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Hak Pakai dengan nama sebutan Hak Milik Di antara Hak-hak Pakai tersebut ada yang sifatnya sangat khusus, yang bukan sekedar berisikan kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki, tetapi juga mengandung hubungan psikologis-emosional antara pemegang hak dengan tanah yang bersangkutan. Hubungannya bukan sekedar hubungan lugas yang memberi kewenangan memakai suatu bidang tanah tertentu. Pemegang haknya sebagai orang Indonesia, yang belum mendapat pengaruh pemikiran barat, merasa handarbeni tanah yang bersangkutan. Dirasakan tanah itu sebagai kepunyaannya. Hak Pakai ini dalam UUPA diberi nama sebutan Hak Milik. Nama Hak Milik bukan nama asli Indonesia. Tetapi sifat-sifat hak menguasai tanah yang diberi nama sebutan Hak Milik itu sudah dikenal dalam hukum adat, yaitu sebagai hasil perkembangan penguasaan dan pengusahaan atau penggunaan sebagian tanah ulayat secara intensif dan terus menerus oleh perseorangan warga masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat. Maka dalam Hukum Tanah Nasional nanti Hak Milik diperuntukkan khusus bagi warganegara Indonesia saja yang berkewarganegaraan tunggal, baik untuk tanah yang diusahakan, maupun untuk keperluan membangun sesuatu di atasnya. Sesuai dengan sifat aslinya dalam UUPA ditetapkan, bahwa Hak Miliki tidak terbatas jangka waktu 5 AGUSTUS - OKTOBER 2007 LAND 04 berlakunya. Dapat beralih karena pewarisan dan dapat juga dipindahtangankan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan perkreditan modern, tanah Hak Milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hal Tanggungan. Jumlah dan/atau luas bidang tanah yang dimiliki dibatasi dalam rangka mewujudkan apa yang ditetapkan sebagai asas penguasaan tanah yang dikemukakan di atas. Hanya tanah Hak Milik yang dapat diwakafkan. Kemungkinan itu disebut dalam Pasal 49 UUPA dan akan dilanjutkan dalam Hukum Tanah Nasional. Setelah diwakafkan tanah yang bersangkutan tidak lagi berstatus Hak Milik. Hak Pakai dengan Sebutan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Hak-hak Pakai yang lain tidak mengandung unsur psikologis-emosional sebagaimana halnya Hak Milik. Hubungan antara pemegang hak dengan tanah yang dihaki merupakan semata-mata hubungan yang lugas, yaitu sekedar untuk memungkinkan pemegang haknya memakainya guna memenuhi suatu kebutuhan tertentu. Hak Pakai yang bukan Hak Milik itu juga sudah dikenal dalam hukum adat. Dalam masyarakat modern dijumpai bermacammacam kebutuhan akan tanah. Maka untuk memudahkan mengenal peruntukannya, Hak-hak Pakai itu sesuai dengan peruntukannya khas tanahnya, masing-masing diberi nama sebutan yang berbeda, yaitu Hak Guna Usaha yang memberi kewenangan memakai tanah untuk diusahakan, Hak Guna Bangunan yang memberi kewenangan untuk membangunan sesuatu di atasnya. Untuk keperluan-keperluan khusus yang lain hak penguasaannya tetap diberi nama sebutan Hak Pakai. Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana ditentukan dalam UUPA jangka waktu berlakunya dibatasi. Bagi HGU 25 sampai 35 tahun, dengan kemungkinan diperpanjang dengan 25 tahun. Bagi Hak Guna Bangunan 30 tahun, dengan kemungkinan diperpanjang 20 tahun. Batas jangka waktu tersebut dalam Hukum Tanah Nasional kiranya bisa ditambah, misalnya menjadi 50 tahun, masing-masing dengan jaminan akan diperpanjang misalnya dengan 25 tahun, jika tanahnya masih diperlukan dan digunakan secara baik, sesuai dengan tujuan pemberian haknya. Dalam UUPA tidak ada jaminan, bahwa pada saat jangka waktunya habis, akan diberikan perpanjangan. Dalam Undang-Undang yang menyempurnakan Hukum Tanah Nasional mengenai perpanjangan itu akan diberikan jaminannya. Ketentuannya bukan lagi ada kemungkinan untuk diperpanjang, melainkan akan diperpanjang. Dengan demikian akan terjamin penguasaan bidang tanahnya selama 75 tahun dan tentunya sesudah jangka waktu tersebut habis masih ada kemungkinan diberikan pembaharuan hak. sosial disediakan Hak Pakai, yang mempunyai kekhususan dalam memenuhi keperluan badanbadan tersebut. Jangka waktu berlakunya tidak dibatasi, tanah yang bersangkutan boleh dikuasai selama diperlukan. Tetapi tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain. Juga tidak ada kemungkinan untuk dijadikan jaminan kredit Ketentuan yang lain tetap seperti diatur dalam UUPA, yaitu dapat dipindahkan kepada pihak lain dengan dibebani Hak Tanggungan. yang memenuhi syarat dan jika pemegang haknya perseorangan, dapat beralih karena pewarisan. Asas pemisahan horisontal hak-hak atas Tanah HGU dan HGB juga dapat dijadikan tanah jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan. Asas pemisahan horisontal hak-hak atas tanah Luas dan/atau jumlah bidang tanah yang dikuasai yang merupakan sifat asli hak-hak dalam hukum dibatasi. HGU dapat dipunyai oleh: adat, tetap dipertahankan, tetapi disesuaikan 1.WNI, dengan luas tanah maksimal misalnya 50 dengan kenyataan kebutuhan masyarakat masa Hektar; kini. 2.Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, Hak atas tanah tidak meliputi pemilikan atas dengan luas tanah maksimal yang akan bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ditentukan secara khusus. ada di atasnya. Bangunan yang dibangun, tanaman HGB dapat dipunyai oleh: yang ditanam dan benda-benda lain yang ada di 1.WNI; atas suatu bidang tanah adalah milik pihak yang 2.Badan hukum yang didirikan menurut hukum membangun atau menanam, baik pihak itu Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, baik pemegang hak atas tanahnya sendiri ataupun yang bermodal nasional, asing maupun pihak lain, kecuali kalau ada perjanjian yang patungan; sebaliknya. Maka perbuatan hukum mengenai 3.Warga negara asing yang bertempat tinggal di tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan, Indonesia, dibatasi luas dan jumlah bidang tanaman dan/atau benda-benda lain yang ada di tanah yang dikuasai, khusus untuk bertempat atasnya, kalau hal itu tidak secara tegas tinggal; dinyatakan. 4.Badan hukum yang didirikan menurut hukum asing dan mempunyai perwakilan di Indonesia, Tetapi dengan tidak meniadakan asas tersebut di untuk kegiatan yang menguntungkan bagi atas perbuatan hukum mengenai suatu bidang kepentingan nasional; tanah dapat meliputi juga bangunan, tanaman 5.Badan perwakilan negara asing dan organisasi dan/atau benda-benda lain yang ada di atasnya, resmi internasional. yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan, baik yang dimiliki sendiri oleh Hak Pakai dengan nama sebutan Hak Pakai pemegang haknya ataupuh pihak lain, apabila hal Hak pakai yang ke-empat diberi kekhususan sifat itu secara tegas dinyatakan dalam akta yang atau peruntukan penggunaan bidang tanahnya. membuktikan perbuatan hukum yang dilakukan. Ataupun atas pertimbangan dari sudut penggunaan tanahnya dan/atau penggunaannya Pengambilan Sebagian Tubuh Bumi, Air dan tidak dapat diberikan dengan HM, HGU atau Bahan Tambang di Bawah Tanah yang HGB. Hak-hak Pakai yang sangat khusus ini Dihaki diberi nama sebutan Hak Pakai. Pengambilan air dari sumber-air, tubuh bumi dan Khusus disediakan bagi keperluan: bahan tambang di bawah tanah yang dihaki 1.Instansi Pemerintah, PEMDA, desa; memerlukan izin Pejabat yang berwenang sebagai 2.Gedung kedutaan dan rumah tempat tinggal yang diatur dalam peraturan tersendiri, kecuali kepala perwakilan negara-negara sahabat; yang diperlukan untuk kegunaan sehari-hari 3.Badan-badan keagamaan dan sosial. pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA dinyatakan perwujudan asas kebangsaan, bahwa hanya Hak-hak atas tanah di lingkungan warganegara Indonesia yang dapat mempunyai masyarakat hukum adat HM. Tetapi sebagai pengecualian dalam ayat (2) Selain hak-hak atas tanah yang diatur dalam badan-badan keagamaan dan sosial tertentu yang hukum tertulis tersebut di atas tetap akan ditunjuk oleh Pemerintah dimungkinkan menjadi dijumpai hak-hak atas bagian-bagian tanah ulayat subyek Hak Milik. Dalam Hukum Tanah Nasional yang dikenal dan mendapat pengaturan dalam nanti asas kebangsaan dipertahankan secara hukum adat masyarakat-masyarakat hukum adat konsekuen. Bagi badan-badan keagamaan dan yang bersangkutan, dengan berbagai sifat dan LAND 04 AGUSTUS - OKTOBER 2007 6 sebutan nama. Masing-masing memberi kewenangan kepada pemegang haknya untuk memakai suatu bagian tertentu tanah ulayatnya guna memenuhi keperluan pribadi dan keluarganya. Hak-hak tersebut dalam Hukum Tanah Nasional diakui keberadaannya dan jika dipenuhi syaratsyaratnya akan didaftar sebagai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai. Catatan: Akhir-akhir ini ada yang mengemukakan pemikiran untuk menyederhanakan jumlah hakhak atas tanah yang jumlahnya 4 tersebut menjadi 2, yaitu Hak Milik dan Hak Pakai seperti yang dijumpai di negara-negara yang menggunakan sistem hukum Anglo-Saxon. Dengan demikian memang jelas akan ada penyederhanaan dari sudut hitungan jumlahnya. Tetapi penyederhanaan jumlah tersebut pada kenyataannya justru akan menimbulkan ketidaksederhanaan dalam pengertian dan pengenalannya. Hak Pakai yang akan menggantikan HGU, HGB dan HP yang ada sekarang akan bermacam-macam isi dan kewenangannya. Masing-masing berbeda tujuan dan peruntukan tanah yang dihaki, berbeda persyaratan bagi penggunaannya, jangka waktu berlakunya, persyaratan bagi pemegang haknya, dan lain-lainnya. Hak Pakai itu pun tidak akan langsung dapat memberikan informasi mengenai peruntukan tanah yang dihaki. Maka tidak akan dapat langsung dikenal isi kewenangannya. Berbeda dengan HGU, HGB dan HP, yang masing-masing sudah jelas peruntukan tanah yang dihaki. Merumuskan ketentuan dalam rangka melindungi kepentingan nasional dan golongan rakyat yang ekonominya lemah, juga tidak semudah jika tetap ada HGU, HGB, dan HP. Ditinjau dari segi praktis perubahannya juga tidak akan mudah dan sederhana. Kini sudah ada sekitar 23 juta bidang tanah yang didaftar dengan penyebutan nama HM, HGU, HGB, dan HP tersebut. Dalam mensikapi pemikiran tersebut apakah tidak sebaiknya kita meninggalkan kebiasaan untuk memandang apa yang ada di luar itu lebih baik daripada yang ada pada kita sendiri? Apakah dalam hal ini tidak ada kemungkinan, bahwa bangsa-bangsa lain justru akan mengikuti kita, apabila mereka memahami pertimbangan kita mengadakan 4 macam hak atas tanah untuk mempermudah pengenalan penggunaan bidangbidang tanah yang dihaki. *) Ahli Hukum Pertanahan, Staf Pengajar Universitas Trisakti, Jakarta 7 AGUSTUS - OKTOBER 2007 LAND 04 Perspektif Penguasaan Tanah di Indonesia Disarikan dari Kajian ILAP (Indonesian Land Administration Project) Oleh: J. Soedarjanto *) H ukum Tanah Nasional Indonesia diatur di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria atau UUPA. Sejak berlakunya UUPA, telah dilakukan banyak kajian mengenai sistem penguasaan tanah menurut Hukum Tanah Nasional Indonesia dengan berbagai fokus kajian, antara lain (1) kesesuaian sistem hak atas tanah dalam Hukum tanah Nasional (UUPA) dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan, (2) aspek kepastian hukum penguasaan tanah, dan (3) lembaga tanah negara dan pengelolaannya. Ringkasan beberapa hasil kajian yang kiranya relevan dalam perumusan kebijakan pertanahan di waktu yang akan datang disampaikan di bawah ini: Hukum Tanah dan Penguasaan Tanah di Indonesia Permasalahan mengenai Hak atas Tanah (judul asli: "Indonesian Land Law and Tenures - Issues in Land Rights"), dipersiapkan untuk Proyek Administrasi Pertanahan Indonesia (Indonesian Land Administration Project) tahun 1997 oleh Jude Wallace, LLB, LLM.; Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH.; dan Arie S. Hutagalung, SH, MLI. Beberapa kesimpulan dan rekomendasi adalah sbb.: a.Indonesia memerlukan reformasi di bidang : §Penguasaan tanah (hak atas tanah), §Pajak, dan §Otonomi daerah. b.UUPA sudah tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi. UUPA yang dari semula dimaksudkan untuk melayani ekonomi pertanian sudah tidak bisa lagi memenuhi tuntutan ekonomi modern yang telah berhasil dibangun oleh Indonesia. c.Yang diperlukan pada saat ini adalah suatu sistem penguasaan tanah yang jelas tetapi fleksibel, yang mampu mengurangi sengketa tanah, memfasilitasi perubahan sektoral yang terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan memungkinkan transformasi struktural dari pertanian tanpa mengganggu ketenteraman umum. d.Beberapa arah kebijakan pertanahan yang direkomendasikan adalah: 1)Mengembangkan administrasi pertanahan yang menjamin terlaksananya kebijakan pertanahan yang komprehensif, dengan mengandalkan komputerisasi; 2) Mengubah hukum dasar pertanahan sehingga mampu menjamin kelangsungan kepentingan atas tanah, terutama dengan mengakui berlakunya prinsip-prinsip adat bagi desa dan masyarakat adat, dan di pihak lain memberlakukan hukum perjanjian dan hukum benda yang jelas untuk di luar kalangan tersebut, termasuk kejelasan peraturan pengalihan tanah. 3)Memastikan bahwa kaidah-kaidah hukum mampu mengatur perolehan hak, penggunaan tanah dan transaksi mengenai tanah yang tidak memberi peluang kepada keistimewaan-keistimewaan atau monopoli yang memberikan keuntungan secara tidak adil kepada pihak-pihak tertentu. LAND 04 AGUSTUS - OKTOBER 2007 8 4)Reformasi sistem penguasaan tanah untuk menciptakan sistem penguasaan tanah modern seperti di negara-negara lain yang sebanding dan untuk mengubah struktur penguasaan tanah. 5)Dalam rangka pelaksanaan otonomi, segera merencanakan dan melaksanakan integrasi administrasi pajak dan pendaftaran tanah, terutama di tingkat Kabupaten/Kotamadya. 6)Fungsi-fungsi pemetaan, pemajakan, pencatatan dan pendaftaran harus diintegrasikan. Daftar pemilikan tanah dan daftar bidang tanah harus dibuat dan dipergunakan untuk berbagai keperluan, dengan mengembangkan nomor pengenal bidang tanah yang unik dan dapat dipergunakan untuk semua keperluan (baik publik maupun privat), dan dengan menerapkan sistem pemajakan tanah berdasarkan bidang (bukan obyek pajak). 7)Mengembangkan sistem pengumpulan dan penyebaran informasi serta pelayanan secara terintegrasi di tingkat lokal. Memastikan data-data dapat diperoleh dengan mudah di daerah. Masyarakat seharusnya dengan mudah dapat mengetahui apa yang termuat dalam daftar dan bagaimana perubahannya, dan didorong untuk berpartisipasi dalam mengupdate catatan sehingga selalu sesuai dengan status kepemilikan. e.Komisi Reformasi Pertanahan Indonesia perlu membentuk Komisi Reformasi Pertanahan untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan nasional dalam rangka menciptakan sistem administrasi pertanahan melalui pemerintah daerah yang otonom, terutama untuk: Ümengembangkan kebijakan reformasi pertanahan dan strategi untuk melaksanakannya Ümengembangkan kerjasama antar Departemen Ümelaksanakan kegiatan strategis termasuk konsultasi, pendidikan masyarakat, pengawasan pendidikan, dan menjaga supaya pelayanan publik yang penting tetap terjangkau oleh rakyat banyak Ümengawasi dan mengambil inisiatif perubahan peraturan perundang-undangan untuk menghasilkan peraturan yang lebih baik walaupun jumlahnya lebih kecil Ümemperoleh nasihat dari para ahli termasuk ahli luar negeri Ümengelola otonomi dan pendelegasian wewenang. Penelitian mengenai "Evolusi dalam Hukum Tanah Indonesia, dari Perspektif Adat" (Judul asli: "Evolutionary Change in Indonesian Land Law, 9 AGUSTUS - OKTOBER 2007 LAND 04 Traditional (Adat) Perspective" disiapkan untuk Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project), oleh Dr. Herman Slaats, PhD. Sebagaimana judulnya penelitian ini memfokuskan diri pada hubungan antara hukum tanah Indonesia (UUPA) dengan hukum tanah adat. Beberapa kesimpulan yang dihasilkan antara lain: a.Kesejahteraan yang diharapkan untuk diwujudkan dengan pelaksanaan UUPA sampai sekarang tidak terwujud. b.Beberapa ketentuan dasar UUPA mempunyai kelemahan dan tidak dapat dilaksanakan terutama dalam masyarakat dengan industri yang berkembang pesat dan ekonomi yang berbasis pasar. c.Kelemahan UUPA tersebut adalah antara lain: 1)Tidak adanya definisi yang jelas mengenai beberapa konsep dasar seperti: kepentingan umum, kepentingan nasional, kepentingan negara, sosialisme Indonesia, fungsi sosial hak atas tanah yang perlu kejelasan karena konsep-konsep tersebut membatasi hak rakyat atas tanah. Tidak adanya kejelasan mengenai konsep-konsep tersebut seringkali menyebabkan terjadinya kesewenangwenangan di lapangan. 2)UUPA dirancang dengan fokus hanya pada pertanian dan pengembangan pertanian. Ini ternyata dari prinsip-prinsip tanah harus digarap sendiri, penetapan luas maksimum dan minimum penguasaan tanah serta diadakannya hak yang khusus untuk pertanian, yaitu Hak Guna Usaha. Fokus ini menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan UUPA untuk melayani kegiatan-kegiatan non pertanian, misalnya industri, penanaman modal, pengembangan proyek dsb. dalam era perdagangan bebas dan globalisasi. d.Dalam pada itu ada aspek yang lebih penting, yaitu berkaitan dengan hubungan UUPA dengan hukum adat. UUPA menyatakan hukum agraria Indonesia adalah hukum adat sepanjang "tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini …" Pembatasan itu membuat pelaksanaan hukum adat tidak mungkin dilakukan. Beberapa elemen hukum adat ditarik ke tingkat nasional, misalnya: 1) Konsep tanah negara sebagai tanah ulayat negara pada tingkat nasional; 2) Fungsi sosial hak atas tanah, sampai pada kemungkinan dicabutnya hak sebagai manifestasi hubungan antara masyarakat dan ii. Jenis penguasaan tanah yang dikaitkan dengan individu; penggunaannya perlu diubah menjadi lebih 3) Badan Pertanahan Nasional yang mengambil sederhana sehingga hanya dibedakan antara peran sebagai Kepala Masyarakat Adat dengan hak milik dan hak sewa. mengambil keputusan-keputusan penting iii. Ketidakpastian penguasaan tanah yang bersifat mengenai tanah atas nama negara, misalnya menyeluruh perlu diatasi dengan peninjauan memberikan hak, memperbaharuinya dan kembali UUPA. membatalkannya. b. Pendaftaran tanah dan kepastian hukum hak Namun penarikan elemen hukum adat ke tingkat atas tanah: nasional itu menimbulkan masalah karena ÜKesimpulan: karakteristik masyarakat pada tingkat nasional i.Pendaftaran tanah menurut UUPA sangat berbeda dengan karakteristik masyarakat menggunakan sistem publikasi negatif yang adat, misalnya dalam aspek hubungan antar menghasilkan sertipikat yang merupakan bukti anggauta masyarakat, aspek kontrol sosial yang kuat mengenai hak atas tanah, sehingga berdasarkan nilai-nilai sosial yang ada dalam masih selalau dapat dipersoalkan oleh pihak yang masyarakat dsb. Rekomendasi yang disampaikan merasa mempunyai bukti yang lebih kuat; adalah antara lain: ii.Hak atas tanah dapat beralih walaupun a. UUPA perlu direvisi dengan Undang-undang peralihan tersebut tidak didaftarkan; Pertanahan yang berlaku di seluruh Indonesia ÜRekomendasi: yang memperluas pemilikan tanah dengan Indonesia perlu beralih dari sistem pendaftaran memungkinkan masyarakat sebagai suatu tanah negatif ke sistem positif yang memberikan kesatuan memiliki hak bersama atas di alat bukti yang mutlak sehingga memberikan lingkungannya. Undang-undang itu harus kepastian hukum bagi pemegang sertipikat. mengakui hak bersama masyarakat atas tanah ulayat dan hak bersama dari kesatuan c.UUPA dan Hak Ulayat masyarakat tradisional di bawah desa seperti ÜKesimpulan: kesatuan masyarakat genealogis, klan dsb. Tidak ada perlindungan yang efektif bagi hak b.Bersamaan dengan itu perlu ditelaah masyarakat adat atas tanah ulayat mereka; peraturan-peraturan yang berkenaan dengan ÜRekomendasi: tanah, misalnya Undang-undang Kehutanan, Penelaahan atas semua peraturan dengan tujuan Pertambangan dsb. untuk merumuskan skema legislatif yang dapat c.Suatu restrukturisasi seluruh sistem secara efektif memperhatikan hak ulayat dan administrasi pertanahan sehubungan dengan membuat mekanisme yang efektif untuk otonomi daerah. menyelesaikan konflik. Telaahan mengenai Undang-undang Pokok Agraria 1960 (judul asli: "Final Report on the Review of the Basic Agrarian Law 1960" disiapkan untuk Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project), 1999, oleh Warren L. Wright: a. Mengenai kepastian hukum dalam penguasaan tanah menurut UUPA: ÜKesimpulan: Sistem penguasaan tanah sebagaimana dapat dilihat dalam sistem hak atas tanah sangat rumit, dan dikaitkan dengan penggunaannya. Hak atas tanah tidak memberi kepastian hukum kepada penguasaan tanah, karena sewaktu-waktu dapat dicabut oleh Negara dengan alasan diterlantarkan atau tidak memenuhi syarat pemberiannya, dan jangka waktu berlakunya terbatas (kecuali Hak Milik) dan perpanjangan jangka waktu tersebut tergantung pada diskresi Negara. ÜRekomendasi: i. Kewenangan Negara yang terlalu besar di bidang penguasaan tanah dan fungsinya yang bersifat mengalokasikan perlu ditinggalkan; Catatan: Tulisan ini memuat ringkasan dari hasil kajian. Hasil kajian yang lengkap dapat dilihat di http://www.landpolicy.or.id/ *) Co-Team Leader Advisory Consultant, Komponen 1-LMPDP LAND 04 AGUSTUS - OKTOBER 2007 10 Landreform Plus di Indonesia Oleh: Risnarto *) Ini adalah bagian kedua dari tulisan. Bagian pertama berjudul “Landreform dan Landreform Plus di Indonesia”, telah dimuat dalam Buletin LAND edisi No. 03/2007. Belajar dari Sejarah: Dari Landreform ke Landreform Plus D alam beberapa tahun belakangan ini, Pembaruan Agraria sebagai istilah lain untuk menyebut agrarian reform atau reforma agraria, kembali menjadi topik bahasan para pengambil kebijakan publik, politisi, sektor swasta, akademisi, LSM, para stakeholder dan pemerhati bidang agraria/pertanahan mengenai pentingnya tanah sebagai sumberdaya agraria yang berpotensi mewujudkan kejayaan Bangsa dan Negara Indonesia sekaligus berpotensi mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Terlebih lagi dengan diterbitkan TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pembaruan Agraria, seakan menjadi “ bahan bakar" untuk mewujudkan amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 UUPA. Arah kebijakan Pembaruan Agraria dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR Nomor IX Tahun 2001, yang meliputi: (1) melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria, (2) melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, (3) menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, (4) menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria, (5) memperkuat 11 AGUSTUS - OKTOBER 2007 LAND 04 kelembagaan pertanahan dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik, (6) meningkatkan sumberdaya manusia yang profesional dalam bidang agraria/pertanahan dan (7) mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik pertanahan. Dari konsepsi filosofis jelas bahwa bagi Bangsa Indonesia, tanah adalah sumberdaya strategis yang merupakan kekayaan nasional, karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk kesejahteraan rakyat. Kemakmuran itu dengan sendirinya memerlukan upaya dengan memberikan nilai tambah atau hasil yang bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun apakah saat ini kemakmuran dari sumberdaya tanah yang merupakan hak dasar warganegara Indonesia sebagai individu, kelompok masyarakat maupun hak Bangsa Indonesia telah terpenuhi? Pertanyaan yang sangat mendasar ini menjadi relevan, ketika tanah itu dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak dasar untuk memenuhi suatu batas minimum mempertahankan hidup dan kesehatan yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai salah satu hak yang harus ada, bersifat kodrati dan universal yang harus dipenuhi dalam berbagai aspek kehidupan manusia agar manusia dapat hidup layak. Apakah Pemerintah sebagai refleksi kekuasaan yang mempunyai kewenangan mengatur dan menetapkan kebijakan untuk mengimplementasikan nilai-nilai filosofis penguasaan pemilikan penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya tanah telah menjalankan amanah Rakyat, Bangsa dan Negara untuk memakmurkan rakyat banyak? Secara empiris data struktur penguasaan pemilikan tanah maupun data kemiskinan penduduk menunjukkan bahwa amanah tersebut belum terwujud. Bahkan terdapat kecenderungan akses rakyat terhadap tanah semakin menjauh. Pertanyaan yang selanjutnya berkembang adalah apakah Pembaruan Agraria yang sudah menjadi komitmen "political will pemerintah" itu dapat berfungsi menggerakkan "roh, semangat dan pikiran" mesin politik, kebijakan dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahterakan rakyat yang hidupnya bergantung sepenuhnya atau bergantung sebagian dari sumberdaya tanah itu? Jawabannya seharusnya dapat. Mengapa ? Paling tidak sekurang-kurangnya ada tiga alasan mendasar: Pertama, situasi ketimpangan struktur penguasaan pemilikan tanah dan kemiskinan dewasa ini sedemikian besarnya, ditambah lagi dengan semakin maraknya jumlah kasus sengketa tanah dan luas tanah yang terlibat di dalamnya sehingga jika tidak ditangani secara sungguhsungguh akan mempengaruhi kerawanan sosial dan mengganggu stabilitas ekonomi, keamanan dan politik. Kedua, rakyat dewasa ini sedang dalam kesadaran untuk melakukan pemberdayaan (empowerment) guna memperoleh hak-hak sipil mendasar, hak-hak politik, serta hak-hak sosial, ekonomi dan budaya sebagaimana dalam Deklarasi Umum HAM, di antaranya hak atas standar kehidupan yang memadai, yang dalam konteks bahasan ini penghasilan yang langsung atau tidak langsung bersumber dari tanah. Ketiga, analisis "face value" tentang kesamaan semangat, visi dan misi UUPA dengan semangat, visi dan misi reformasi yang tertuang dalam Pembaruan Agraria adalah gerakan transformasi struktur pertanahan untuk meletakkan pondasi bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang modern, makmur, sejahtera dan adil. Apabila komitmen, tekad pemerintah dan seluruh stakeholder telah bertemu dengan kesadaran rakyat untuk bersama-sama mewujudkan Reforma Agraria maka perlu dibangun kesamaan mengenai perspektif Pembaruan Agraria itu sendiri, terutama dari aspek pengertian, tujuan, dan strategi keberhasilan pelaksanaannya. Hal ini menjadi penting dilakukan karena selama ini di Indonesia Pembaruan Agraria masih terfokus pada landreform dalam lingkup redistribusi tanah. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran kembali apa yang telah dilakukan di beberapa negara, di berbagai belahan dunia. Kepala BPN-RI, Joyo Winoto PhD, dalam Kuliah Umum di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, tanggal 16 November 2007, memberikan ilustrasi pelaksanaan landreform di Indonesia pada tahun 1961, bersamaan dengan Taiwan memulai program reforma agraria. Taiwan berhasil dan terus melanjutkan strategi ini dalam pembangunannya, namun Indonesia berhenti pada pertengahan tahun 1960an. Dampaknya empat dekade kemudian timbul persoalan ketidakmerataan distribusi penguasaan pemilikan tanah serta masalah struktural seperti kemiskinan pengangguran dan sebagainya. Kepala BPN RI juga mengemukakan efektivitas reforma agraria sudah teruji dalam mengatasi kemiskinan. Prof. Esterly (2001), dalam tulisannya The Ellusive Quest for Growth:Economists, Adventure and Misadventure in the Tropics, menyatakan: "growth benefits poor people most where access to land affair is fair". Selanjutnya World Bank (2007) dalam World Development Report 2008: Agriculture for Development, melaporkan bahwa penurunan kemiskinan di China dari 53 persen tahun 1981 menjadi hanya 8 persen tahun 2001, merupakan hasil positif dari penerapan reforma agraria. Selanjutnya Prof. Rodrik (2007), dalam Department for International Development, Land: Better Access and Secure Rights for Poor People, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi justru lebih cepat di negara-negara yang memiliki distribusi tanah yang lebih merata. Agrarian reform atau di Indonesia dulu dikenal dengan landreform, di berbagai negara, digunakan sebagai politik dan strategi dasar pembangunan nasional guna menata kehidupan politik, sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat sebagai politik dan strategi dasar pembangunan nasional. Namun ketika pada tataran pelaksanaan, terdapat berbagai perbedaan yang berimplikasi terhadap penataan sistem kehidupan politik, sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Kepala BPN-RI, Joyo Winoto PhD, dalam orasi ilmiah dalam Dies Natalis IPB ke 44, tanggal 1 September 2007, menyatakan bahwa secara garis besar terdapat empat kelompok pelaksanaan reforma agraria di berbagai negara, yaitu: (1) radical landreform, tanah milik tuan tanah yang luas diambil alih oleh pemerintah tanpa ganti kerugian dan selanjutnya dibagikan kepada petani tidak bertanah, (2) land restitution, tanah-tanah perkebunan luas yang berasal dari tanah-tanah masyarakat diambil alih pemerintah, kemudian tanah tersebut LAND 04 AGUSTUS - OKTOBER 2007 12 dengan konsep acess reform dalam arti penataan penggunaan pemanfaatan tanah yang lebih produktif dan penataan dukungan sarana dan prasarana yang memungkinkan petani memperoleh akses ke sumber ekonomi di wilayah pedesaan. Secara matematis, Kepala BPN-RI, Joyo Winoto PhD, menggambarkan: Reforma Agraria (RA) = Land Reform (LR) + Access Reform (AR). Landreform, dalam hal ini adalah di dalam kerangka mandat konstitusi, politik dan undang-undang untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Sedangkan Indonesia tidak secara tegas termasuk dalam empat kelompok tersebut. Sebagai contoh pada access reform adalah akses untuk bisa berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan pola radical landreform, landreform di Indonesia sosial dan politik serta akses terhadap modal, memberikan ganti kerugian terhadap bekas pemilik tanah yang memenuhi obyek landreform. teknologi, manajemen, pendampingan/ Dalam land colonization, pada tahun 1905an, oleh pembinaan, peningkatan kapasitas dan kemampuan, pasar input dan pasar output, atau pemerintah Belanda lebih dititikberatkan pada lainnya yang dibutuhkan untuk berkembang. pemindahan tenaga kerja untuk buruh perkebunan. Di Indonesia, konsep dasar Dalam pelaksanaan di lapangan berupa landreform adalah redistribusi tanah yang pengembangan akses sarana dan prasarana merupakan pembagian tanah yang dikuasai pertanian, pengairan, jalan usahatani, industri Negara maupun tanah kelebihan maksimum, pertanian, pemasaran produksi, koperasi tanah absentee dan tanah Negara lainnya (eks usahatani, perbankan dan sebagainya. Tidak HGU, tanah terlantar) yang telah ditetapkan menjadi tanah obyek landreform, kepada petani tertutup pula dengan mengembangkan pola penggarap dan petani dengan tanah yang sempit kemitraan usaha dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar yang beroperasi di daerah tersebut. sebagai penerima redistribusi. Pada awalnya Dari uraian di atas, penulis berpendapat bahwa konsep landreform juga akan mengembangkan produksi pertanian dan peningkatan pendapatan reforma agraria adalah penataan kembali sumber-sumber kesejahteraan rakyat dengan petani di daerah pedesaan, namun keadaan cara meningkatkan pendapatan dan politik yang terjadi pada tahun 1965 pemberdayaan masyarakat. Tiga pilar menyebabkan program landreform tidak dapat mewujudkan reforma agraria: (1) memperkuat berkembang sebagaimana yang diharapkan. akses tanah bagi masyarakat khususnya di pedesaan, (2) menciptakan ketersediaan Dalam pembaruan agraria tercakup infrastruktur agribisnis di wilayah pedesaan, permasalahan redistribusi tanah, peningkatan produksi dan produktifitas, pengembangan kredit (3) mewujudkan kebijakan regulasi yang adil dan berpihak ke rakyat sebagaimana disederhanakan untuk pertanian, pajak tanah, hubungan penyakapan dan regulasi baru sistem pengupahan dalam skema berikut. buruh tani, dan konsolidasi tanah. Dengan kata lain, ada dua pembaruan yang harus dilakukan dalam pembaruan agraria, yaitu land Akses Tanah tenure reform (hubungan pemilik dan penyakap) dan land operation reform (perubahan luas penguasaan, pola budidaya, hukum penguasaan, dll). Dari Pemberdayaan pendalaman konsep Pembaruan Kesejahteraan Agraria di atas dapat Rakyat dikemukakan bahwa Pendapatan Pembaruan Agraria atau Reforma Agraria pada dasarnya Akses Akses merupakan konsep landreform Infrastruktur Kebijakan / dalam arti penataan kembali Agribisnis Regulasi struktur penguasaan pemilikan tanah yang lebih adil bersamaan dikembalikan kepada pemilik asal dengan kompensasi (3) land colonization, pembukaan dan pengembangan daerah-daerah baru, kemudian penduduk dari daerah yang padat penduduknya dipindahkan ke daerah baru tersebut, dan (4) market based land reform, yang dilaksanakan berdasarkan atau dengan bantuan mekanisme pasar yang bisa berlangsung bila tanah-tanah diberikan hak (land titling) agar security in tenureship bekerja untuk mendorong pasar finansial di pedesaan. 13 AGUSTUS - OKTOBER 2007 LAND 04 Selanjutnya, dalam orasi ilmiah dan kuliah umum di berbagai perguruan tinggi, terdapat beberapa hal penting yang disampaikan Kepala BPN-RI, Joyo Winoto PhD mengenai reforma agraria, antara lain: sumber tanahnya, penerima manfaat, mekanisme dan delivery system. Untuk mewujudkan reforma agraria, pemerintah merencanakan untuk mengalokasikan sekitar 9,25 juta hektar tanah yang berasal dari berbagai sumber, termasuk didalamnya: (1) tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang masih belum diredistribusikan, (2) tanah-tanah negara yang haknya telah berakhir, (3) tanahtanah negara yang pemanfaatan dan penggunaannya tidak sesuai dengan surat keputusan pemberian haknya, (4) tanah-tanah yang secara fisik dan secara hukum terlantar, (5) tanah bekas kawasan kehutanan, dan jenis-jenis tanah lainnya yang telah diatur oleh undangundang. Selanjutnya terdapat tujuh mekanisme untuk penyatuan obyek dan subyek serta delapan model delivery system. Dengan demikian sekurang-kurangnya terdapat 64 model yang dapat diterapkan sesuai dengan keadaan subyek dan obyek tanah. Upaya Mewujudkan Reforma Agraria Indonesia sampai saat ini merupakan negara agraris, dimana sumber penghasilan masyarakat, daerah dan negara sebagian besar masih bertumpu pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan kelautan. Berdasarkan zone ekonomi eksklusif, luas Indonesia mencakup teritorial sekitar 800 juta hektar. Sebagian besar yaitu 609 juta hektar (76%) merupakan perairan dan 191 juta hektar (24%) berupa daratan. Sekitar 65 juta hektar luas daratan itu telah diusahakan berbagai budidaya dan sekitar 126 juta hektar lainnya berupa hutan berbagai fungsi, termasuk kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Di wilayah Selanjutnya penerima manfaat reforma agraria, pedesaan usaha sawah dan tanah kering pada direncanakan ditetapkan berdasarkan kriteria umumnya merupakan usaha rakyat perorangan umum dan kriteria khusus. Kriteria umum, antara yang termasuk usaha kecil sedangkan usaha lain: (a) warga negara Indonesia, (b) berusia perkebunan, 68% merupakan usaha perkebunan minimal 18 tahun atau sudah menikah, dan (c) rakyat perorangan yang umumnya termasuk miskin. Sedang kriteria khusus antara lain: (a) usaha kecil serta 32% dikuasai badan usaha bertempat tinggal atau bersedia tinggal di negara/pemerintah dan swasta yang umumnya kecamatan letak tanahnya, (b) kemauan yang termasuk usaha menengah-besar, yang sebagian tinggi untuk mendayagunakan tanah, dan (c) tidak diusahakan secara baik, dalam keadaan memiliki aset yang bernilai kurang dari Rp 15 terlantar. Potensi sumberdaya tanah itu, juta. Berdasarkan kedua kriteria tersebut, merupakan modal dasar dalam mewujudkan ditetapkan urutan prioritas berdasarkan: (1) tidak reforma agraria. memiliki tanah (landless), (2) jumlah tanggungan keluarga, (3) lamanya bertempat tinggal, (4) mata Hasil analisis pelaksanaan reforma agraria di pencaharian dan (5) pendidikan. beberapa negara tampak bahwa secara umum ada empat faktor penting sebagai prasyarat Mengenai mekanisme dan delivery system, keberhasilan pelaksanaan landreform, yaitu: (1) disadari bahwa kantong-kantong kemiskinan, elit politik yang sadar dan mendukung, (2) berada terutama di Jawa dan Bali, Sumatera ketersediaan data yang lengkap dan akurat (3) Utara dan Sulawesi Selatan, sedangkan tanah organisasi petani dan masyarakat yang kuat, serta yang dialokasikan sebagian besar terletak di luar (4) ketersediaan anggaran yang memadai. Apabila provinsi tersebut. Dengan demikian diperlukan faktor yang pertama telah ada, maka tiga faktor strategi untuk menyatukan calon penerima berikutnya menjadi kunci keberhasilan landreform manfaat dengan lokasi tanah yang akan diberikan. plus atau reforma agraria. Dalam hal ini, terdapat tiga kemungkinan pengalokasian tanah: (1) mendekatkan obyek Ketersediaan data yang lengkap dan akurat (tanah) ke tempat subyek (penerima manfaat), Menurut Sediono M.P. Tjondronegoro (1971), dalam model ini tanah dari daerah yang surplus dalam makalah "Land reform or Land Settlement: tanah atau tidak padat penduduknya didekatkan Shift in Indonesia's Land Policy" redistribusi tanah ke daerah yang minus tanah, padat penduduknya bagi petani miskin, merupakan langkah pertama dan dekat dengan penerima manfaat, dalam pelaksanaan landreform sebagai suatu model ini calon penerima manfaat berpindah eksperimen, karena "Rencana Pembangunan secara sukarela ke lokasi tanah yang tersedia Lima Tahun" yang pertama tidak menguraikan dengan difasilitasi pemerintah; (2) mendekatkan program landreform secara luas. Apakah ini yang subyek (penerima manfaat) ke tempat obyek menyebabkan pada awal pelaksanaan landreform, (tanah) dan (3) subyek (penerima manfaat) dan tidak ada data yang lengkap dan akurat mengenai obyek (tanah) telah berada di satu lokasi. pendaftaran tanah, pemilikan tanah secara LAND 04 AGUSTUS - OKTOBER 2007 14 minimum dan maksimum, jumlah orang yang tidak mempunyai tanah, buru-buruh tani dan sebagainya? Angka statistik seringkali berbedabeda, walaupun sumbernya sama. Sebagai contoh, Donald Hundley (1964), dalam The Communist Party in Indonesia, mengutip tabel dari Departemen Agraria pada tahun 1957, antara lain dalam pemilikan tanah sawah tercatat sejumlah 5.788.237 orang, tabel lainnya sejumlah 9.155.389 pemilik. Demikian pula pemilikan tanah kering, tercatat sejumlah 9.850.950 orang, dan tabel lainnya 5.527.691 orang. Kalaupun angka itu terbalik antara data sawah dan tanah kering, namun ketidakcocokan itu, tidak dijelaskan dalam laporan Menteri Agraria. Data mengenai jumlah rakyat miskin maupun petani miskin, dewasa ini juga sering berbedabeda. Jika untuk keberhasilan pembangunan jumlahnya cenderung dilaporkan sedikit, namun jika untuk memperoleh bantuan, jumlahnya cenderung membengkak. Bagaimana cara menghitung aset petani miskin di bawah Rp 15 juta sebagai salah satu persyaratan penerima manfaat prioritas juga belum jelas di lapangan. Demikian pula, berapa sebenarnya dari luas tanah yang dialokasi pemerintah 9,25 juta hektar itu, benar-benar secara fisik dan yuridis dapat diberikan kepada petani miskin? Badan Pertanahan Nasional, melalui jajarannya di Kantor Wilayah BPN Provinsi maupun Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, memang mempunyai data dan informasi bidang tanah dalam skala besar (1:1000), namun data itu, terbatas pada bidang tanah yang telah terdaftar yang saat ini baru sekitar 30an juta bidang tanah dari perkiraan 80an juta bidang tanah. Data itupun terbatas pada aspek-aspek fisik dan yuridis untuk keperluan pemberian hak dan sertipikasi tanah. Sementara itu, data kemampuan dan penggunaan tanah, selain skalanya kecil (1:25.000 s/d 1:50.000), karena keterbatasan dana, pada umumnya tidak mampu diperbaru, mengikuti perubahan pembangunan yang cepat. Hasil penelitian Risnarto tahun 2002 di Desa Parerean, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Tabanan menunjukkan bahwa data dan informasi pertanahan yang berada di tingkat desa, kecamatan maupun kantor pertanahan, jenis, format dan akurasinya berbeda-beda sesuai kebutuhan. Data tersebut tidak saling terintegrasi, sementara itu, upaya untuk mengelola data menjadi suatu informasi yang lengkap mengenai keadaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah belum ada. Hasil penelitian Risnarto, tahun 2001 di beberapa desa pinggiran Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon menghasilkan temuan bahwa 15 AGUSTUS - OKTOBER 2007 LAND 04 kepala desa mengalami kesulitan untuk menarik Pajak (PBB), karena data pemilik tanah telah berubah, ketika daerahnya yang semula sawah dan tanah kering menjadi permukiman realestate. Tanah yang telah terdaftar dan bersertipikat peralihan tanahnya pada umumnya dilakukan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)/Notaris yang berada di Kota Cirebon, sedangkan Kepala Desa tidak memperoleh tembusan Akta Jual Beli oleh PPAT. Ketersediaan data yang cepat dan akurat merupakan salah satu persiapan yang harus dilakukan untuk mensukseskan pelaksanaan reforma agraria. Salah satu cara yang dapat dipertimbangkan adalah melakukan "sensus penguasaan pemlikan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara partisipatif". Pemerintah menyediakan formulir yang singkat, sederhana dan mudah diisi untuk dibagikan ke seluruh masyarakat. Mekanisme pelaksanaan dapat dilakukan secara langsung oleh petugas Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dapat pula bekejasama dengan pemerintah desa dan kelurahan atau bekerjasama melalui bantuan relawan dari organisasi non pemerintah/LSM yang mempunyai kapasitas dan kepedulian terhadap rakyat petani miskin di pedesaan. Walaupun metode self assesment ini tingkat akurasinya mungkin tidak dapat mencapai 90 persen, namun untuk daerah-daerah remote area sudah sangat membantu. Organisasi petani dan masyarakat yang kuat Organisasi petani dan masyarakat yang kuat, diperlukan karena yang menjadi tujuan pokok reforma agraria dalam implementasinya harus mampu mewujudkan kesejahteraan kehidupan sebagian besar rakyat petani melalui peningkatan pendapatan yang bersumber dari sektor pertanian. Di masa lalu, wakil-wakil dari empat organisasi tani yang terbesar juga menjadi anggota panitia landreform tingkat kabupaten. Organisasi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 262/1964, antara lain terdiri dari PETANI (dari Partai Nasional Indonesia/PNI), PERTANU (dari Partai Nahdatul Ulama/NU dan BTI (dari Partai Komunis Indonesia),serta tokoh organisasi petani yang progresif di setiap lokasi desa. Ketika terjadi peristiwa "G 30 S", panitia landreform menghentikan kegiatan anggota yang berasal dari BTI. Keberadaan anggota panitia landreform, termasuk keikutsertaan organisasi tani, pada tahun 1981an kemudian ditetapkan lebih lanjut berdasarkan pertimbangan dan usulan oleh instansi terkait dan Pimpinan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Peranan organisasi tani yang mempunyai kapasitas dan kepedulian terhadap para petani ini sangat strategis, karena secara langsung dapat membantu Kepala Desa dalam inventarisasi dan pendataan keadaan subyek dan obyek reforma agraria, keadaan fasilitas pendukung guna pembangunan pertanian modern maupun sebagai fasilitator untuk menjembatani kebutuhan para petani untuk memperoleh asset reform dan access reform secara optimal. Dalam kapasitas yang lebih luas bahkan diperlukan untuk mendampingi para petani mengelola usahatani secara modern dan bermitra dengan perusahaan agribisnis guna melakukan perikatan perjanjian bisnis usaha yang lebih adil. Ketersediaan anggaran yang memadai Program Reforma agraria merupakan program besar yang memerlukan ketersedian anggaran yang besar dalam kurun waktu yang cukup lama sampai terjadi cost-recovery. Dengan metoda finansial dan ekonomi analisis tertentu, dapat dihitung nilai manfaat dan biaya serta perkiraan kebutuhan anggaran guna mensukseskan reforma agraria. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa untuk kepentingan memakmurkan rakyat, khususnya petani, dalam penghitungan finansial dan ekonomi analisis memerlukan pendekatan social and environmental benefit, yaitu dengan memasukkan nilai option value akibat terwujudnya pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan social engineering. Belum ada data yang dapat diinformasikan berapa kebutuhan anggaran reforma agraria. Namun secara kasar, apabila diasumsikan 6,0 juta hektar dari pengalokasian 9,25 juta bidang tanah itu, diberikan kepada petani dengan luasan ratarata 2,0 hektar, maka terdapat 3 juta petani calon penerima manfaat. Apabila biaya pembangunan infrastruktur per hektar diperkirakan Rp 60 juta, untuk seluas 3,25 juta hektar, diperlukan biaya sekitar Rp.195 trilyun. Selanjutnya apabila biaya pembinaan pemberdayaan sosial ekonomi petani selama lima tahun diperkirakan Rp.25 juta/petani, untuk 3,0 juta petani diperlukan biaya Rp. 75 trilyun. Total biaya selama lima tahun sekitar Rp. 270 trilyun, ditambah kenaikan faktor inflasi 10% menjadi sekitar Rp. 300 trilyun atau sekitar Rp. 60 trilyun per tahun. Angka itu, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena anggaran pemerintah untuk mengatasi kemiskinan pada tahun 2002 yang dialokasi Bappenas ke berbagai Departemen/Instansi mencapai lebih dari Rp. 20 trilyun, dan pada tahun-tahun terakhir ini, diperkirakan mencapai Rp. 50 trilyun. Angka ini juga tidak terlalu besar apabila dibandingkan dengan anggaran pemberian ganti rugi pada pelaksanaan landreform sekitar 1 juta hektar yang mencapai lebih dari Rp. 88 trilyun. Selanjutnya biaya ini menjadi cukup realistis, karena dalam jangka lima tahun diharapkan terjadi cost-recovery akibat produksi usahatani modern yang sudah menghasilkan dan dampak multiplier sosial ekonomi akibat pembangunan ekonomi wilayah usahatani, termasuk berkembangnya industri pedesaan berbasis pertanian. Salah satu masalah yang kemudian memerlukan pertimbangan adalah, siapa yang mengelola anggaran sebesar itu? Apakah tersebar di berbagai instansi terkait atau sebaiknya disatukan dalam suatu kelembagaan pembiayaan pengelolaan reforma agraria? Di masa lalu ada pengalaman, dimana Menteri Agraria membentuk Yayasan Dana Landreform (YDL) yang mempunyai status otonomi. Salah satu sumber YDL yang efektif adalah pengenaan tarif 50% dari beaya uang pemasukan ke negara untuk setiap pemberian hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Menurut PP 224/1961, sumber pembiayaan meliputi dana anggaran pemerintah, pengumpulan dana administrasi dari harga tanah yang harus dibayar oleh para petani berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Agraria tahun 1967, dan penghasilan dari uang sewa serta penjualan dalam pelaksanaan landreform, dan sejak tahun 1991 dikembangkan pembiayaan melalui pola kemitraan koperasi petani yang bermitra dengan pengembang perkebunan dan perbankan dengan menggunakan fasilitas kredit usahatani (KUT). Dari pengalaman di atas dan mengingat perkembangan pola pembiayaan melalui mekanisme Badan Layanan Umum, sesuai UU Keuangan dan PP tentang Badan Layan Umum, dapat dikemukakan bahwa pemerintah dapat membentuk Badan Pembiayaan Pengelolaan Reforma Agraria, di mana dana awal berasal dari APBN dan di kemudian hari, jika badan pengelola tersebut berkembang dalam bentuk korporasi dengan lembaga pembiayaan lain yang diperkenankan menurut peraturan perundangan, maka dana pemerintah tersebut dapat diperhitungkan sebagai penyertaan dana reforma agraria kontribusi pemerintah. Upaya ini tentu memerlukan berbagai aturan pelaksanaan yang memungkinkan pola pembiayaan fleksibel, namun dalam batas aturan pengelolaan keuangan lembaga publik. Tindak Lanjut : Desain Kegiatan Reforma agraria merupakan kegiatan berbagai sektor pembangunan di wilayah pedesaan berbasis asset reform dan access reform. Untuk itu perlu dimulai dengan penyusunan tipologi basis LAND 04 AGUSTUS - OKTOBER 2007 16 usaha di wilayah pedesaan yang selanjutnya diikuti dengan penataan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah dan dikembangkan pembangunan ekonomi pedesaan terpadu berbasis tanah usaha yang berkelanjutan. tanah merupakan pembagian tanah yang dikuasai Negara maupun tanah kelebihan maksimum, tanah absentee dan tanah Negara lainnya (eks HGU, tanah terlantar) yang telah ditetapkan menjadi tanah obyek reforma agraria . Dewasa ini mencari tanah kelebihan maksimum, tanah absentee sulit diperoleh. Oleh karena itu, sasaran Berikut pokok-pokok disain kegiatannya: yang dapat dikembangkan adalah tanah Negara a. Penyusunan tipologi usaha basis bebas maupun tanah Negara lainnya (eks HGU, pertanahan. tanah terlantar. Pelaksanaan kebijakan reforma Penyusunan tipologi basis usaha di wilayah agraria bertujuan untuk memperbaiki keadaan pedesaan diperlukan karena adanya perbedaan sosial ekonomi rakyat dengan mengadakan potensi geografi pedesaan dalam memberikan kontribusi terhadap usaha ekonomi, perbedaan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat yang berupa tanah. Dengan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang pembagian tersebut, dapat dicapai pembagian pertanahan serta adanya perbedaan kemampuan hasil atas tanah yang adil dan merata. pelayanan pertanahan oleh Kantor Pertanahan. C. Redistribusi tanah skala kecil Tipologi itu dapat disusun dengan melakukan: Tanah yang tersedia untuk obyek reforma (1) regionalisasi wilayah fisik geografi dan penggunaan tanah, (2) klasifikasi lapangan usaha agraria, pada umumnya luasnya terbatas sedangkan petani penggarap yang memerlukan masyarakat, pemahaman, kemampuan dan tanah usaha jumlahnya besar. Keadaan tersebut kebutuhan pelayanan pertanahan,serta (3) tidak memungkinkan pembagian tanah yang klasifikasi kapasitas kelembagaan pertanahan luasnya memenuhi luas minimum tanah dalam membangun wilayah pedesaan. Hasil regionalisasi merupakan dasar dalam perumusan: pertanian. Penelitian Puslitbang, BPN pada tahun (1) strategi pendekatan program pembangunan 2005 menemukan bahwa di Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung Provinsi Bali rata-rata wilayah pedesaan, (2) penetapan program dan luas obyek landreform 0,42 hektar per keluarga. pelayanan pertanahan, (3) penyusunan rencana Di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Kediri tindak pelaksanaan program dan pelayanan Provinsi Jawa Timur, sekitar 0,32 hektar per pertanahan serta (4) penetapan lokasi Pilot keluarga. Sedangkan di Provinsi Lampung rataProyek. Di setiap provinsi dapat dikembangkan rata sekitar 0,24 hektar per keluarga. Kisaran Pilot Proyek yang dapat mewakili sekurangyang diterima petani di Provinsi Lampung antara kurangnya 3 - 4 model tipologi wilayah, yaitu 0,11 sampai 0,35 hektar, di Provinsi Jawa Timur tipologi: (1) wilayah pertanian basis sawah, (2) wilayah pertanian basis tanah kering, (3) wilayah antara 0,10 sampai 0,40 hektar. Sedangkan di pertanian basis perkebunan/kebun/agribisnis, (4) Provinsi Bali antara 0,16 sampai 0,73 hektar per keluarga. Dari temuan tersebut dapat dikatakan wilayah pertanian basis perikanan pantai dan pesisir dan (5) wilayah non-pertanian. Areal Pilot bahwa arah redistribusi tanah di daerah yang padat penduduknya sudah menjurus ke Proyek terdiri dari 2-3 wilayah desa dalam satu redistribusi tanah skala kecil, di bawah 2000 wilayah kecamatan. Pemilihan lokasi selain meter persegi. Dengan luasan tersebut, sulit bagi mempertimbangkan tipologi tersebut, juga mempertimbangkan daerah berpotensi ekonomi petani untuk meningkatkan pendapatan usahataninya. Oleh karena itu untuk yang masyarakatnya sebagian besar dalam menyejahterakan petani di pedesaan harus kelompok miskin. Di lokasi itulah dilaksanakan menyatu dengan kebijakan ekonomi nasional. program dan pelayanan pertanahan yang sesuai Reforma agraria bukan dalam pengertian bagidengan kebutuhan masyarakat yang didukung dengan pembangunan ekonomi pedesaan secara bagi tanah kelebihan dan tanah Negara, tetapi dalam kerangka kesatuan sistem kebijakan terpadu. pertanahan dari hulu sampai ke hilir yang meliputi perencanaan, implementasi, b. Penataan Penguasaan Pemilikan Tanah sumberdaya manusia, teknologi pertanian, Usaha. Tahap awal penataan adalah mengidentifikasi dan produk dan pemasaran hasil pertanian dan sebagainya yang mampu meningkatkan mengalokasikan bahwa setiap keluarga petani sekurang-kurangnya harus memiliki tanah usaha kesejahteraan petani di pedesaan. Maka redistribusi tanah skala kecil perlu diintegrasi dengan luas minimal mampu menghidupi dengan konsolidasi tanah usaha. kebutuhan hidup minimal keluarga. Hasil identifikasi terdiri dua alternatif pola penataan d. Konsolidasi Tanah Usaha Secara Kelompok. yaitu redistribusi tanah usaha skala kecil dan konsolidasi tanah secara kelompok. Redistribusi Tanah usahatani yang luasnya di bawah skala 17 AGUSTUS - OKTOBER 2007 LAND 04 usaha ekonomi umumnya memerlukan biaya produksi yang relatif tidak banyak berbeda dengan skala usaha ekonomi, sedangkan pendapatan yang diperoleh relatif jauh lebih kecil. Artinya usahatani tersebut menjadi tidak efisien. Jika tenaga kerja petani diperhitungkan sebagai biaya yang harus dikeluarkan maka usahatani menjadi tidak rasional, karena pendapatan bersih menjadi negatif. Sebaliknya kalau tidak diperhitungkan maka upah tenaga kerja yang seharusnya diterima petani menjadi hilang. Artinya petani mensubsidi usahataninya. Dilema ini selalu menjadi persoalan dalam perhitungan pendapatan usahatani skala kecil. Konsolidasi penguasaan tanah sebenarnya telah terjadi secara alami di pedesaan. Petani yang membutuhkan biaya besar untuk menyekolahkan atau menikahkan anaknya rela menjual tanah usaha kepada pemilik modal, sehingga terjadi pemusatan penguasaan pemilikan tanah. Namun untuk program konsolidasi tanah usahatani berencana kemungkinan masih banyak kendala karena berbagai faktor sosial ekonomi maupun sosial budaya sehingga petani tidak mudah menjual tanahnya tanpa keinginan sendiri. Alternatif yang lebih dapat terwujud adalah konsolidasi pengusahaan tanah. Bank Pedesaan lainnya dengan bunga rendah yang dapat diangsur selama satu tahun. Berbagai penelitian menunjukkan dengan pemberian sertipikat hak milik atas tanah, para petani mempunyai kepastian dalam usahataninya dengan menggunakan input produksi secara lebih optimal dan memperoleh bagian pendapatan yang lebih tinggi. Dengan adanya sertifikat hak milik atas tanah, data base penguasaan pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayah pedesaan dapat diperoleh sehingga terjadinya peralihan pemilikan tanah dan konversi penggunaan lebih dapat dikendalikan. Mengingat alas hak atas tanah pada umumnya sangat beragam maka perlu dikembangkan lembaga penjamin indipenden yang berfungsi menyiapkan berbagai persyaratan teknis dan administratif yang memungkinkan Kantor Pertanahan dapat memproses pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah guna penerbitan sertipikat hak milik atas tanah. Upaya memperkuat akses rakyat terhadap penguasaan pemilikan tanah melalui program redistribusi atau konsolidasi dan pemberian sertipikat hak milik atas tanah. selanjutnya diikuti dengan pembangunan ekonomi pedesaan terpadu berbasis tanah melalui kemitraan berbasis tanah usaha. Konsolidasi pengusahaan tanah merupakan upaya untuk mengelola tanah usaha secara bersama dalam satuan areal tertentu, misalnya 10 hektar dengan pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, panen dan pemasaran hasil secara bersama. Biaya input produksi dan pendapatan usaha dikelola bersama. Dengan satuan luas tersebut memungkinkan penggunaan teknologi alat dan mesin (Alsin) serta terjadi efisiensi hasil usahatani. Keadaan semacam ini telah lama dilakukan di beberapa daerah pertanian tanah sawah beririgasi maupun di daerah tanah kering seperti Proyek DAS Cimanuk Hulu di Jawa Barat pada tahun 1985an, serta DAS JratunselunaBrantas pada tahun 1989an. f. Pembangunan Ekonomi Pedesaan Terpadu Berbasis Tanah Secara umum terdapat empat kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, yaitu: (1) usahatani basis tanah sawah, (2) usahatani basis tanah kering, (3) usahatani kebun dan agribisnis, (4) usahatani nonbasis tanah, seperti ternak unggas, kambing, sapi dan perikanan, serta (5) luar usahatani, seperti usaha perdagangan, industri dan jasa. Pelaksanaan kegiatan usahatani dengan melibatkan instansi terkait di bidang pertanian, pengairan, akses jalan usahatani, pemasaran produksi, koperasi usahatani, perbankan dan sebagainya. Untuk standarisasi kualitas hasil produksi dan pemasaran produksi sebaiknya e. Pemberian Sertifikat Hak Milik Atas Tanah dilakukan dengan pola kemitraan usaha dengan Hak Milik Atas Tanah (HMAT), merupakan hak Usaha Menengah atau Usaha Besar yang atas tanah strategis yang dibutuhkan masyarakat beroperasi di daerah tersebut. banyak. HMAT dapat mendukung kepentingan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat banyak, dapat dibebani hak atas tanah lain dan dapat dibebani hak tanggungan (dengan pemasangan Akta Hak Tanggungan). Oleh karena itu HMAT sangat relevan dalam rangka mewujudkan hak asasi manusia atas tanah. Guna menjamin kepastian hak kepemilikan atas tanah pemberian HMAT di wiilayah pedesaan diikuti dengan pemberian sertipikat hak milik atas tanah. Biaya *) Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) pemberian hak dan sertipikasi tanah itu hendaknya dapat diperoleh dari BRI atau LAND 04 AGUSTUS - OKTOBER 2007 18 Pentingkah Penyederhanaan Hak Tanah? Ada gagasan untuk menyederhanakan hak atas tanah yang ada di Indonesia. Alasannya cukup rasional dan sederhana. Hasil penelitian Indonesian Land Administration Project Part C (ILAP-C) tahun 1999 menyebutkan bahwa sistem hak atas tanah di Indonesia sangatlah rumit dikaitkan dengan aspek penggunaannya. Dari sisi jumlah juga terlalu banyak, yakni sekitar 14 jenis hak yang disebut dalam UUPA. Dalam kenyataannya yang efektif didaftarkan hanya empat jenis hak, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Rumitnya sistem hak atas tanah ini diduga memperlambat proses pencatatan atau pendaftaran tanah. Apakah benar begitu? H Oleh: Khairul Rizal *) *) Staf Direktorat Tata Ruang, dan Pertanahan Bappenas asil temuan studi yang dilakukan oleh Bappenas melalui Komponen 1 Land Management and Policy Development Project (LMPDP) menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya tidak terlalu peduli dengan banyaknya jenis hak yang ada. Masyarakat hanya ingin tanah mereka dapat disertifikatkan dengan mudah, cepat dan dengan biaya yang terjangkau. Dengan kata lain, masyarakat lebih peduli pada proses pendaftaran hak atas tanah mereka ketimbang dengan jenis hak yang mereka miliki. Temuan ini memberi kesan bahwa diskusi mengenai penyederhanaan hak atas tanah menjadi kurang penting. Mengacu pada isu penting pertanahan di atas dan dikaitkan dengan hak atas tanah yang berlaku di Indonesia saat ini, akan muncul beberapa pertanyaan sebagai berikut: apakah hak atas tanah yang ada dapat memberikan jaminan kepastian terhadap tanah? Apakah hak atas tanah tersebut dapat diagunkan untuk memperoleh kredit? Apakah hak atas tanah yang ada dapat melindungi hak minoritas atas tanah seperti tanah adat/ulayat? Lalu bagaimana peran hak atas tanah untuk mendukung keberlanjutan lingkungan? Semua butir di atas lebih terdengar seperti sebuah tantangan, dan tantangan tersebut akan menjadi lebih besar lagi jika untuk mencapainya tidak membebani keuangan negara yang sebagian besar dibiayai oleh pajak. Kembali kepada diskusi mengenai penyederhanaan hak atas tanah, masih pentingkah penyederhanaan hak atas tanah? Jika hak atas tanah yang ada saat ini belum sepenuhnya merespon isu penting yang diurai di atas, gagasan penyederhanaan jenis hak tanah sebaiknya perlu dipertimbangkan. Ada sedikit penjelasan mengenai isu keberlanjutan lingkungan dikaitkan dengan pembatasan dalam Diskusi mengenai penyederhanaan jenis hak atas penggunaan tanah. Satu pandangan klasik mengenai tanah, baik itu menyangkut jumlah, isi, maupun hak atas tanah adalah hak atas tanah seringkali proses pencatatannya, tidak bisa diselesaikan dalam dipandang bagai seikat lidi dimana pada setiap satu kali forum diskusi dan tentunya memerlukan batang lidi diberi label yang bertuliskan 'Anda boleh banyak sekali referensi. Namun kita jangan sampai melakukan ini dan itu pada tanah Anda sendiri' terjebak dalam suatu diskusi yang membicarakan (misalnya menjual atau menyewakan ke orang lain). isu yang ternyata sudah dianggap kurang penting Kehilangan sebatang lidi berarti pemilik tanah atau sudah usang sama sekali. Sementara itu masih kehilangan sebuah hak atas tanah tersebut. Penting banyak persoalan pertanahan lainnya yang lebih untuk disadari oleh semua orang bahwa di masa penting dan harus segera dicarikan penyelesaiannya. mendatang kehilangan batang lidi ini akan semakin Pertanyaannya, apakah isu penyederhanaan hak itu meningkat dengan alasan utama untuk kepentingan sesuatu yang penting, kurang penting atau sudah keberlanjutan lingkungan. usang sama sekali? Hak milik bukan berarti kita bebas melakukan apa Dalam hal administrasi pertanahan, berbagai pakar saja terhadap tanah kita, melainkan hanya bebas pertanahan dari belahan dunia sepakat bahwa untuk melakukan beberapa hal saja. Dengan terdapat beberapa isu penting yang harus direspon demikian, di masa mendatang, seperti apa sebuah oleh semua institusi negara , yaitu: tanah dapat digunakan merupakan informasi yang ÜAdanya jaminan kepastian terhadap tanah; sama pentingnya dengan informasi nilai dan lokasi ÜBiaya transaksi tetap rendah; tanah serta informasi kepemilikan tanah tersebut. ÜAdanya akses ke kredit; Lebih jauh lagi, jika kita menganggap penting isu ÜAdanya transparansi dan akses yang mudah untuk keberlanjutan lingkungan maka kita harus lebih semua pastisipan; serius dalam mengendalikan penggunaan tanah, ÜHak minoritas dilindungi; dan Dan pengendalian penggunaan tanah sangatlah erat ÜKeberlanjutan lingkungan didukung penuh. dengan hak atas tanah. 19 AGUSTUS - OKTOBER 2007 LAND 04 KEBIJAKAN PERTANAHAN bagi KESEJAHTERAAN RAKYAT Jumlah BIDANG TANAH yang sudah terdaftar baru 36%, atau sekitar 33,7 juta bidang