BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki potensi bencana yang cukup besar, salah satu bencana tersebut adalah gempa bumi. Potensi terhadap bencana gempa bumi dikarenakan Indonesia terletak di antara tiga lempeng besar litosfer yaitu lempeng Pasifik, lempeng Eurasia, dan lempeng Indo-Australia. Lempeng Indo-Australia bergerak ke Utara sekitar 50 – 70 mm/tahun dan menujam di bawah palung laut dalam Sumatra – Jawa sampai ke Barat Pulau Timor di NTT. Di sepanjang kepulauan dari P. Timor ke arah Timur dan terus memutar ke utara berlawanan arah jarum jam menuju wilayah perairan Maluku, Lempeng Benua Australia menabrak dengan kecepatan kurang lebih 70 mm/tahun. Jadi di wilayah ini yang terjadi bukan penunjaman lempeng lautan lagi tapi zona tumbukan lempeng benua terhadap lempeng kepulauan. Di Utara Indonesia Timur, Lempeng Pasifik menabrak sisi Utara Pulau Irian dan Pulaupulau di Utara Maluku dengan kecepatan 120 mm/tahun, dua kali lipat lebih cepat dari kecepatan penunjaman lempeng di bagian sisi barat dan selatan Indonesia, oleh karena itu Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana gempa bumi tektonik (Puslitbang BMKG, 2009). Pertemuan dari ketiga lempeng ini disebut sebagai zona subdaksi. Tumbukan dari ketiga lempeng tersebut akan menyebabkan terbentuknya gunung api dan patahan/sesar. Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang dapat menimbulkan dampak kerusakan yang cukup besar. Kejadian bencana alam tidak dapat dicegah, namun dapat dikurangi risiko yang timbul dengan melakukan kegiatan manajemen bencana. Salah satu kegiatan manajemen bencana gempa bumi yaitu pembuatan peta tipe kawasan rawan gempa bumi di sekitar daerah patahan. Informasi mengenai derah yang memiliki potensi gempa bumi kemudian dapat digunakan dalam rangka pengambilan kebijakan dengan tujuan untuk mengurangi dampak kerusakan dari bencana gempa bumi yang terjadi. Kebijakan 1 tersebut dapat berupa kebijakan pengaturan kawasan yang termasuk dalam daerah berpotensi gempa bumi yang diatur dalam peraturan daerah setempat mengenai tata ruang. Tingkat resiko gempa bumi diperlukan dalam menganalisis besarnya dampak yang ditimbulkan dari kejadian gempa bumi. Penentuan daerah risiko rawan bencana gempa bumi mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi. Dalam pedoman tersebut mengatur gempa bumi khususnya gempa bumi akibat tumbukan lempeng bumi dan patahan/sesar aktif. Tipe kawasan rawan gempa bumi ditentukan berdasarkan tingkat resiko gempa bumi yang didasarkan pada informasi geologi dan penilaian kestabilan, berdasarkan hal tersebut, kawasan rawan gempa bumi dibedakan kedalam 6 (enam) tipe kawasan. Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi Geografi (SIG) dapat digunakan dalam penentuan tipologi daerah rawan bencana gempa bumi berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi. Data penginderaan jauh berupa citra satelit Landsat 8 digunakan dalam mengekstraksi parameter kerawanan gempa bumi. Parameter yang dapat diekstraksi adalah jenis batuan (litologi), patahan/sesar, dan kemiringan lereng, yang merupakan salah parameter dalam penentuan kerawanan gempa bumi, selain itu jarak terhadap pusat gempa juga digunakan dalam pemetaan tipologi kerawanan gempa. Sistem informasi Geografi (SIG) berperan dalam pengolahan data parameter dan pembuatan peta tipe kawasan rawan bencana gempa bumi. Salah satu patahan/sesar aktif di Indonesia yang berpotensi terjadi gempa bumi adalah patahan aktif opak yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Patahan ini memiliki potensi kejadian gempa bumi yang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan upaya mitigasi bencana yang berupa pembuatan peta daerah rawan gempa bumi. Patahan/sesar aktif opak sepanjang 40 kilometer yang membentang dari Kecamatan Pundong sampai ke Kecamatan Prambanan, di sebelah timur Kota Yogyakarta. Pergerakan Patahan/Sesar Opak tersebut dipengaruhi oleh subduksi Lempeng Australia ke bawah Lempeng Eurasia di 2 bawah Pulau Jawa. Patahan/Sesar Opak merupakan salah satu dari tiga patahan/sesar di selatan Jawa yang sudah dapat di identifikasi berhubungan dengan zona subsduksi, selain Sesar Cimandiri dan Sesar Grindulu di Pacitan (Soehaimi, 2008). Patahan/sesar Opak berhubungan dengan patahan minor Opak yang bila terdapat gelombang gempa yang bersumber dari patahan minor tersebut maka dapat merambat hingga ke Patahan Opak, Graben Bantul dan Patahan Dengkeng di Kabupaten Klaten. Sebagian Patahan/sesar Opak berada di Kabupaten Bantul yang berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul. Usia tanah yang masih muda (skala waktu geologi) menggambarkan bahwa tanah di Kabupaten Bantul belum padu, sehingga saat diguncang gempa bumi getaran tersebut menekan butiran tanah yang menyebabkan air di sela-sela tanah tertekan kuat dan mengalir ke permukaan tanah, keadaan yang seperti ini menyebabkan tanah mengalami kehilangan daya dukung sehingga bangunan maupun benda benda yang berada diatasnya akan runtuh, karena di kepung oleh sumber-sumber gempa di sisi kiri dan kanannya, cekungan Bantul pun dapat terguncang kuat hingga pemukiman di atasnya menjadi runtuh (Nurwidyanto dkk., 2010). Potensi gempa yang dapat terjadi di sekitar Patahan Opak di dasarkan pada rekam sejarah bahwa Patahan Opak pernah mengguncang Yogyakarta dengan gempa besar pada tahun 1992, 2001, dan 2004, gempa bedar dengan kekuatan 5,9 Skala Richter menurut BMKG dan 6.4 Skala Ritcher menurut USGS terjadi pada 27 Mei 2006 (Daryono, 2009). Runtutan peristiwa yang telah terjadi tersebut dapat digunakan untuk memprediksi potensi gempa yang dapat terjadi. Jalur Patahan/sesar Opak berada pada kawasan yang banyak terdapat permukiman padat sehingga berpotensi besar akan ancaman bahaya gempa bumi. Adanya kawasan yang padat akan penduduk menjadikan daerah sekitar Patahan/sesar Opak memiliki risiko yang tinggi apabila terjadi gempa bumi yang berasal dari patahan tersebut. Sruktur bangunan juga memberikan pengaruh yang besar terhadap tingkat kerusakan akibat gempa bumi. 3 1.2. Permasalahan Rumusan masalah penelitian antara lain : Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain : 1. Tingkat akurasi data penginderaan jauh (Landsat 8) untuk identifikasi parameter kawasan bencana gempa bumi dalam kaitannya dengan tingkat kerawanan gempa bumi masih belum diketahui. 2. Penentuan kawasan rawan gempa bumi berdasarkan acuan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografi belum dilakukan di Kabupaten Bantul. 3. Analisis kerawanan gempa dengan validasi menggunakan data kerusakan bangunan bumi masih belum dilakukan. 1.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang kemudian muncul antara lain : 1. Seberapa jauh tingkat akurasi data penginderaan jauh dalam identifikasi parameter kawasan kawasan gempa bumi di daerah sekitar Patahan/Sesar Aktif Opak? 2. Bagaimanakah tipologi kawasan rawan bencana gempa bumi di sekitar Patahan/Sesar Opak ? 3. Bagaimana tingkat kerawanan bencana gempa bumi di sekitar Patahan/Sesar Opak? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian kerawanan gempa bumi antara lain : 1. Mengkaji akurasi citra Landsat 8 dalam identifikasi parameter kawasan bencana gempa bumi berupa informasi geologi di daerah sekitar Patahan/Sesar Aktif Opak. 2. Memetakan tipologi kawasan rawan gempa bumi di daerah sekitar Patahan/Sesar Aktif Opak. 4 3. Menganalisis zona kawasan rawan bencana gempa bumi di daerah sekitar Patahan/Sesar Aktif Opak yang di validasi dengan menggunakan data kerusakan bangunan. 1.5. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini antara lain : 1. Salah satu pengembangan pemanfaatan citra satelit Landsat 8 2. Kontribusi dalam ilmu Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi Geografi (SIG) 3. Mengetahui tipologi kawasan rawan bencana gempa bumi di daerah sekitar Patahan/Sesar Aktif Opak. 1.6. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari peelitian kerawanan gempa bumi ini antara lain : 1. Informasi tingkat akurasi data penginderaan jauh dalam identifikasi parameter gempa bumi yang dapat di ekstrasi dari penginderaan jauh 2. Peta tipologi kerawanan gempa bumi di daerah sekitar Patahan/Sesar Aktif Opak 3. Hasil analisis kerawanan gempa bumi di daerah sekitar Patahan/Sesar Aktif Opak 5 BAB II Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya 2.1. Telaah Pustaka 2.1.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah fenomena melalui analisis data yang di peroleh dengan suatu alat tanpa kotak langsung dengan obyek daerah atau fenomena yang di kaji (Lilesand and Keifer, 1997). Suatu teknik pengumpulan informasi tentang objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik (penginderaan jauh) dapat menghasilkan beberapa bentuk citra untuk selanjutnya diproses dan diinterpretasi, sehingga menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi dibidang pertanian, kehutanan, geografi, geologi, dan bidang-bidang lainnya (Lo, C.P., 1986 dalam Purbowaseso, 1996). Wahana yang digunakan dalam penginderaan jauh disajikan pada Gambar 2.1, dimana setiap wahana memiliki ketinggian terbang yang berbeda-beda. Gambar 2.1. Wahana Penginderaan Jauh (Lindgren, 1985) Menurut Sutanto (1994:18-23), pemanfaatan penginderaan jauh baik dari segi bidang penggunaannya maupun dari frekuensi penggunaannya pada tiap 6 bidang mengalami peningkatan yang cukup besar. Peningkatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : 1. Citra menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan; wujud dan letak obyek yang mirip wujud dan letak di permukaan bumi, relatif lengkap, meliputi daerah yang luas, serta bersifat permanen. 2. Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensional apabila pengamatannya dilakukan dengan alat yang disebut stereoskop. 3. Karakteristik obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan dalam bentuk citra sehingga dimungkinkan pengenalan obyek. 4. Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terestrial. Penginderaan jauh menggunakan radiasi elektromagnetik dan mempunyai empat komponen utama yaitu sumber energi, interaksi dengan permukaan bumi, interaksi dengan atmosfer dan interaksi dengan sensor. Sumber dari radiasi elektromagnetik dapat berasal dari tenaga alami misalnya refleksi sinar matahari, emisi panas bumi dan juga emisi dari buatan manusia sendiri misalnya radar. Radiasi yang di pancarkan kembali sangat tergantung dengan obyek yang memancarkan radiasi tersebut, karena setiap obyek memiliki karakteristik berbeda dalam memancarkan kembali radiasinya (Curran 1985). Sistem penginderaan jauh disajikan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2. Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994) 7 Komponen dalam Penginderaan Jauh antara lain : 1. Sumber Tenaga Sumber tenaga dalam proses inderaja terdiri atas : a. Fungsi tenaga adalah untuk menyinari obyek permukaan bumi dan memantulkannya pada sensor Tenaga Alamiah, yaitu sinar matahari. Tenaga Buatan, yang berupa gelombang mikro b. Jumlah tenaga yang diterima oleh obyek di setiap tempat berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : - Waktu penyinaran, jumlah energi yang diterima oleh obyek pada saat matahari tegak lurus (siang hari) lebih besar daripada saat posisi miring (sore hari). Makin banyak energi yang diterima obyek, makin cerah warna obyek tersebut. - Sudut datang sinar matahari mempengaruhi jumlah energi yang diterima bumi Bentuk permukaan bumi, permukaan bumi yang bertopografi halus dan memiliki warna cerah pada permukaannya lebih banyak memantulkan sinar matahari dibandingkan permukaan yang bertopografi kasar dan berwarna gelap, sehingga daerah bertopografi halus dan cerah terlihat lebih terang dan jelas. - Sumber tenaga dalam memancarkan dan memantulkan, misalnya kondisi udara yang berkabut menyebabkan hasil inderaja menjadi tidak begitu jelas atau bahkan tidak terlihat. 2. Atmosfer Lapisan udara yang terdiri atas berbagai jenis gas, seperti O2, CO2, nitrogen, hidrogen dan helium. Molekul-molekul gas yang terdapat di dalam atmosfer tersebut dapat menyerap, memantulkan dan melewatkan radiasi elektromagnetik. Di dalam inderaja terdapat istilah Jendela Atmosfer, yaitu bagian spektrum elektromagnetik yang dapat mencapai bumi. Keadaan di atmosfer dapat menjadi penghalang pancaran sumber tenaga yang mencapai ke permukaan bumi. 8 3. Interaksi antara tenaga dan obyek Interaksi antara tenaga dan obyek dapat dilihat dari rona yang dihasilkan oleh foto udara. Tiap-tiap obyek memiliki karakterisitik yang berbeda dalam memantulkan atau memancarkan tenaga ke sensor. Obyek yang mempunyai daya pantul tinggi akan terilhat cerah pada citra, sedangkan obyek yang daya pantulnya rendah akan terlihat gelap pada citra. Contoh : permukaan puncak gunung yang tertutup oleh salju mempunyai daya pantul tinggi yang terlihat lebih cerah, daripada permukaan puncak gunung yang tertutup oleh lahar dingin. 4. Sensor dan Wahana a. Sensor Merupakan alat pemantau yang dipasang pada wahana, baik pesawat maupun satelit. Sensor dapat dibedakan menjadi dua : - Sensor Fotografik, merekam obyek melalui proses kimiawi. Sensor ini menghasilkan foto. Sensor yang dipasang pada pesawat menghasilkan citra foto (foto udara), sensor yang dipasang pada satelit menghasilkan citra satelit (foto satelit) - Sensor Elektronik, bekerja secara elektrik dalam bentuk sinyal. Sinyal elektrik ini direkam dalam pada pita magnetic yang kemudian dapat diproses menjadi data visual atau data digital dengan menggunakan komputer, kemudian lebih dikenal dengan sebutan citra. b. Wahana adalah kendaraan/media yang digunakan untuk membawa sensor guna mendapatkan inderaja. Berdasarkan ketinggian persedaran dan tempat pemantauannya di angkasa,wahana dapat dibedakan menjadi tiga kelompok: - Pesawat terbang rendah sampai menengah yang ketinggian peredarannya antara 1.000 – 9.000 meter di atas permukaan bumi - Pesawat terbang tinggi, yaitu pesawat yang ketinggian peredarannya lebih dari 18.000 meter di atas permukaan bumi - Satelit, wahana yang peredarannya antara 400 km – 900 km diluar atmosfer bumi. 5. Satelit, wahana dengan peredaran di luar angkasa 9 2.1.1.1. Konsep Resolusi Menurut Swain dan Davis (1978) resolusi adalah kemampuan suatu sistem optic elektronik dalam membedakan informasi secara spasial (keruangan) berdekatan atau secara spektral (sinar) mempunyai kemiripan. Terdapat empat konsep resolusi, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, resolusi temporal. 1. Resolusi spasial merupakan ukuran terkecil objek yang masih dapat terdeksi oleh suatu sistem citra. Resolusi spasial menunjukkan kualitas sensor, semakin kecil objek yang dapat direkam olehnya, semakin detil informasinya, maka semakin halus atau tinggi resolusi spasialnya. 2. Resolusi spektral adalah kemapuan sensor dalam membedakan objek berdasarkan pantulan atau pancaran spektral dari objek itu sendiri. Semakin banyak jumlah saluran (dengan julat yang sempit) yang dimiliki suatu citra maka semakin baik kemampuannya dalam membedakan objek berdasarkan respon spektral, sehingga semakin tinggi resolusi spektralnya. 3. Resolusi temporal terkait dengan waktu, yakni kemampuan sensor untuk merekam ulang daerah yang sama, dengan satuan jam atau hari. 4. Resolusi radiometri adalah kemampuan sensor dalam mencatat respons spektral objek. Kemampuan sensor ini secara langsung dikaitkan dengan kemampuan koding (digital coding), yaitu mengubah intensitas pantulan atau pancaran spectral menjadi angka digital yang dinyatakan dalam bit. (Danoedoro, 2012) 2.1.1.2. Sistem Citra Satelit Landsat Landsat adalah salah satu wahana penginderaan jauh yang diluncurkan pertama kali pada tahun 1972 (Sutanto, 1994). Satelit Landsat (Land Satelit), milik Amerika Serikat, pertama kali di luncurkan pada pada 1972, dengan nama ETRS-1 (Earth Resource Technology Satelite-1). Proyek percobaan ini sukses dan 10 kemudian dilanjutkan dengan peluncuran seri selanjutnya, seri kedua, tetapi berganti nama menjadi Landsat. ETRS-1 pun berganti dengan Landsat 1 (Danoedoro, 2012). Satelit landsat memiliki dua buah sensor yaitu Multi Spectral Scanner (MSS) dan Tematic Mapper (TM). Sensor TM mempunyai resolusi sampai 30 x 30 m, dan bekerja mengumpulkan data permukaan bumi dan luas sapuan 185 km x 185 km. sedangkan resolusi radiometriknya 8 bit, yang berarti setiap pixel mempunyai nilai jangkauan data dari 0-225. Sensor TM merupakan sistem yang sangat rumit yang memerlukan toleransi (kelonggaran) pembuatan yang sangat kecil, sehingga tidak memungkinkan dibuat penyempurnaan di masa mendatang untuk memperkecil resolusi spasial sampai dibawah 20 M (Butler, 1988). Landsat telah meluncurkan delapan seri sampai dengan tahun 2013, dengan yang terakhir adalah Landsat 8, dari delapan seri tersebut terdapat perubahan tentang sensor yang di bawa oleh satelitnya, secara garis besar dapat di kelompokkan menjadi 4 generasi yaitu Landsat 1 sampai 3 yang disebut sebagai generasi 1, Landsat 4 dan 5 yang disebut dengan generasi 2, Landsat 6 dan 7 yang disebut dengan generasi 3 sedangkan Lansat 8 yang di sebut dengan generasi 4. Generasi 1 membawa dua buah sensor, yaitu sensor RBV (Return Bean Vidicion) yang memiliki resolusi spasial 79 m dan terdiri dari 3 buah saluran yaitu RBV -1, RBV-2 dan RBV-3 dan juga sensor MSS (Multi Spectral Scanner) dengan empat saluran yaitu MSS-4 sampai dengan MSS-7, sedangkan pada Landsat 3 sensor RBV hanya tinggal satu dengan resolusi 40 meter, dan MSS yang terdiri dari 4 sensor juga. (Danoedoro,2012). Gambar 2.3 menyajikan komponen sensor. Gambar 2.3. Komponen utama Sensor Multispectral Scanner (MSS) pada Landsat 1,2,3,4,dan 5 (kiri), dan Sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) pada Landsat-7 (kanan) (Jensen, 2005) 11 2.1.1.3. Citra Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8 diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013, Landsat 8 (sebelumnya Landsat data Continuity Mission, LDCM) adalah masa depan satelit Landsat. Hal ini mengumpulkan data berharga dan citra yang akan digunakan dalam pertanian, pendidikan, bisnis, ilmu pengetahuan, dan pemerintah. Program Landsat menyediakan akuisisi berulang resolusi tinggi data multispektral dari permukaan bumi secara global. Data dari pesawat ruang angkasa Landsat merupakan rekor terpanjang permukaan benua Bumi seperti yang terlihat dari luar angkasa. Ini adalah catatan yang tak tertandingi dalam kualitas, detail, cakupan, dan nilai (NASA, 2015). Landsat 8 diluncurkan dari Vandenberg Air Force Base, California. Satelit Landsat 8 terdiri dari dua instrumen Operasional Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS). Kedua sensor menyediakan cakupan musiman dari daratan global pada resolusi spasial 30 meter (terlihat, NIR, SWIR), 100 meter (thermal), dan 15 meter (pankromatik). OLI adalah sensor pushbroom dengan teleskop empat cermin dan 12-bit kuantisasi. OLI mengumpulkan data untuk saluran visible, inframerah dekat, dan inframerah tengah, serta band pankromatik. OLI didesain untuk lima tahun. OLI menyediakan dua band spektral baru, satu disesuaikan terutama untuk mendeteksi awan cirrus dan yang lainnya untuk pengamatan zona pesisir. namun tidak mempunyai kanal inframerah termal. Sensor TIRS (Thermal Infrared Sensor) ditetapkan sebagai pilihan (optional) yang menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI. TIRS akan mengukur suhu permukaan tanah di dua band thermal dengan teknologi baru yang berlaku fisika kuantum untuk mendeteksi panas. TIRS ditambahkan ke misi satelit Landsat ketika jelas bahwa manajemen sumber daya air negara bergantung pada pengukuran yang sangat akurat dari energi panas bumi yang diperoleh oleh pendahulu LDCM itu, Landsat 5 dan Landsat 7, untuk melacak bagaimana tanah dan air yang digunakan. Dengan hampir 80 persen dari air tawar di AS Barat yang digunakan untuk mengairi tanaman, TIRS akan menjadi alat yang sangat berharga untuk mengelola 12 konsumsi air. (NASA, 2015). Pada Tabel 2.1. diterangkan mengenai karakteristik saluran spektral citra satelit Landsat 8. Tabel .2.1 Karakteristik saluran spektral Landsat 8 Saluran Spectral Saluran 1 - aerosol Saluran 2 – biru Saluran 3 – hijau Saluran 4 – merah Saluran 5 Inframerah dekat Saluran 6 InframerahTengah 1 Saluran 7 Inframerah Tengah 2 Saluran 8 Pankromatik Saluran 9 – Cirrus Saluran 10 - TIRS 1 (Thermal) Saluran 11 - TIRS 2 (Thermal) Gelombang Resolusi Kegunaan (mikrometer) (meter) 0,43 - 0,45 30 Observasi area pesisir laut Pemetaan batimetri, membedakan tanah dengan 0,45 - 0,51 30 vegetasi, 0,53 - 0,59 30 Membedakan Vegetasi Menekankan vegetasi 0,64 - 0,67 30 berdasarkan kemiringan lereng. Menekankan batas vegetasi berdasarkan tanah, air, dan 0,85 - 0,88 30 bentuk lahan. Mendeteksi stress tanaman terhadap kekeringan, dan membatasi area kebakaran, serta 1,57 - 1,65 30 efek dari kebakaran vegetasi. Mendeteksi kekeringan, daerah kebakaran, dan efek kebakaran, dan dapat mendeteksi kejadian kebakaran, terutama pada malam 2,11 - 2,59 30 hari. 0,50 - 0,68 15 1,36 - 1,38 30 10,60 - 11,19 100 Berperan dalam penajaman citra Berperan dalam deteksi awan cirrus Perbedaan suhu pada arus, memantau kebakaran, serta mengestimasi kelembababn tanah 11,50 - 12,51 100 Sama seperti saluran 10. Sumber : NASA, 2013 Salah satu contoh citra Landsat 8 seperti yang tersaji pada Gambar 2.4 yang merupakan citra Landsat 8 yang telah dilakukan pengolahan komposit citra dengan menggunakan saluran 5,6, dan 7. Citra Landsat terebut merupakan citra penginderaan jauh resolusi menengah yang digunakan untuk kajian geologi, meliputi interpretasi visual batuan (litologi) dan struktur geologi berupa sesar/patahan. 13 Gambar 2.4. Citra Landsat 8 Daerah Sesar Opak (USGS, 2014) 2.1.1.4 Citra SRTM Menurut JAXA ( 1999 ) SRTM ( Shuttle Radar Topography Mission ) adalah alat yang terpasang pada pesawat ulang-alik dan memperoleh data permukaan bumi dengan teknologi penginderaan jauh menggunakan radar aperture sintetis. Data yang diperoleh akan dikonversi menjadi data ketinggian disebut Digital Elevation Model (DEM), dan akan digunakan untuk menghasilkan peta tiga dimensi yang lebih tepat dari wilayah pengamatan yang lebih besar di Bumi daripada yang pernah ada. SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) merupakan citra yang saat ini banyak digunakan untuk melihat secara cepat bentuk permukaan. SRTM adalah data elevasi resolusi tinggi merepresentasikan topografi bumi dengan cakupan global (80% luasan dunia), seperti yang disajikan pada Gambar 2.5 yang merupakan contoh SRTM Pulau Bali. Data SRTM adalah data elevasi muka bumi yang dihasilkan dari satelit yang diluncurkan NASA (National Aeronautics and Space Administration). Data ini dapat digunakan untuk melengkapi informasi ketinggian dari produk peta 2D, seperti kontur, profil. Ketelitian bisa mencapai 15 m dan berguna untuk pemetaan skala menengah sampai dengan skala tinggi (Somantri, 2008). 14 SRTM memanfaatkan teknik yang disebut radar interferometri. Dalam radar interferometri, dua gambar radar diambil dari lokasi yang sedikit berbeda. Perbedaan antara gambar-gambar ini memungkinkan untuk perhitungan elevasi permukaan, atau perubahan. Untuk mendapatkan dua gambar radar yang diambil dari lokasi yang berbeda hardware SRTM terdiri dari satu antena radar di payload shuttle bay dan antena radar kedua melekat pada ujung tiang diperpanjang 60 meter (195 kaki) dari pesawat (USGS, 2008) Menurut Somantri (2008) alasan menggunakan SRTM dalam SIG tentu karena kelebihannya. Beberapa kelebihan yang dimiliki SRTM antara lain: 1. Gratis, merupakan kelebihan utama yang dimiliki SRTM. Siapa saja dan di mana saja dapat mengunduh SRTM tanpa bayar. 2. Digital. SRTM dapat di unduh dengan format HGT, ASCII, atau GEOTIFF, kita bisa mengkonversi ke format yang diinginkan misalnya Grid ArcView 3. Resoulsi. Resolusi tinggi untuk skala tinjau. Resolusi horizontal (yang bisa di unduh untuk Indonesia) adalah 90m. Tentu saja dengan resolusi ini SRTM tidak bisa digunakan untuk pemetaan secara detail. Gambar 2.5. SRTM Yogyakarta (NASA, 2006) 2.1.1.5. Filtering Filter merupakan mekanisme yang dapat mengubah sinyal optis, elektronis, maupun digital, sesuai dengan kriteria tertentu. Sedangkan pemfilteran adalah suatu cara untuk ekstraksi bagian data tertentu dari suatu himpunan data, 15 dengan menghilangkan bagian – bagian data yang tidak diinginkan ( Swain dan Davis, 1978). Filter dalam pengolahan citra (secara khusus disebut filter digital) dirancang untuk ‘menyaring’ informasi spectral sehingga menghasilkan citra baru yang mempunyai variasi nilai spektral yang berbeda dari citra asli (Danoedoro, 2012). Pemfilteran merupakan teknik penonjolan (dan sekaligus penghilangan) variasi spektral tertentu, sehingga menghasilkan citra baru yang lebih ekspresif dalam menonjolkan pola-pola tertentu, misalnya kelurusan, jaringan sungai, ataupun jaringan jalan (Danoedoro, 2001). Gambar 2.6 menunjukkan arah penajaman citra. 0 1 0 1 1 1 1 -4 1 1 -8 1 0 1 0 1 1 1 Gambar 2.6. Laplace arah x dan y (kiri) dan Laplace semua arah (kanan) (Danoedoro, 2012) 2.1.2. Koreksi Geometrik Menurut Mather (1987), koreksi geometrik adalah transformasi citra hasil penginderaan jauh sehingga citra tersebut mempunyai sifat-sifat peta dalam bentuk, skala dan proyeksi. Transformasi geometrik yang paling mendasar adalah penempatan kembali posisi pixel sedemikian rupa, sehingga pada citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran objek dipermukaan bumi yang terekam sensor. Pengubahan bentuk kerangka liputan dari bujur sangkar menjadi jajaran genjang merupakan hasil transformasi ini. Tahap ini diterapkan pada citra digital mentah (langsung hasil perekaman satelit), dan merupakan koreksi kesalahan geometrik sistematik. Koreksi geometrik terjadi karena jarak wahana dengan objek yang jauh, sehingga menimbulkan kesalahan geometrik. Koreksi geometrik dilakukan sesuai dengan jenis atau penyebab kesalahannya, yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan random. Adapun koreksi geometrik ini memiliki tiga tujuan, yaitu : a.Melakukan rektifikasi (perbaikan) dan restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografis 16 b.Registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau multitemporal. c. Registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu. Untuk mengurangi berbagai kesalahan geometrik, maka dilakukan koreksi geometrik. Terdapat dua metode koreksi geometrik, masing-masing berfungsi untuk mengeleminasi kesalahan sesuai dengan jenis kesalahan (kesalahan sistematik dan kesalahan acak). Metode non-sistematik dipergunakan untuk menghilangkan atau mengurangi kesalahan geometrik acak, besar kesalahan geometriknya dapat diprediksi melalui matrik data atau tracking data dan analisis titik kontrol tanah atau Ground Control Point (GCP) (Richards, 2006). Dalam koreksi geometrik, dikenal ada 2 jenis metode koreksi, yaitu: 1. Metode Rektifikasi (Image to Map) Rektifikasi adalah suatu proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi piksel pada citra output tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka pikselpiksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus di-resampling kembali. Resampling citra merupakan suatu proses transformasi dengan cara memberikan nilai pixel citra terkoreksi. Pelaksanaan resampling dilakukan dengan proses transformasi dari suatu sistem koordinat yang satu ke sistem koordinat yang lain, proses transformasi ini disebut dengan registrasi citra (Jaya, 2006). Rektifikasi juga dapat diartikan sebagai pemberian koordinat pada citra berdasarkan koordinat yang ada pada suatu peta yang mencakup area yang sama. Bisa dilakukan dengan input titik control tanah atau rectification image to map dan diperlukan peta (dengan sistem koordinat tertentu) atau kumpulan titik control tanah untuk objek yang sudah diketahui pada citra. Ada beberapa alasan atau pertimbangan, kenapa perlu melakukan rektifikasi, diantaranya adalah untuk: 1. Membandingkan 2 citra atau lebih untuk lokasi tertentu 2. Membangun SIG dan melakukan pemodelan spasial 3. Meletakkan lokasi-lokasi pengambilan “training area” sebelum melakukan klasifikasi 17 4. Membuat peta dengan skala yang teliti 5. Melakukan overlay (tumpang susun) citra dengan data-data spasial lainnya 6. Membandingkan citra dengan data spasial lainnya yang mempunyai skala yang berbeda. 7. Membuat mozaik citra 2. Metode Registrasi (image to Image) Registrasi citra merupakan proses overlay dua atau lebih citra dengan obyek yang sama, yang diambil pada waktu yang berbeda, dari sudut pandang yang berbeda, dan atau oleh sensor yang berbeda pula (Zitova dan Flusser, 2003). registrasi citra sebagai suatu proses pencarian transformasi yang paling cocok, menurut beberapa ukuran kesamaan dari dua atau lebih gambar yang berbeda dalam aspek tertentu tetapi pada dasarnya merupakan objek yang sama (Chahira dkk, 2007). Proses menemukan kesesuaian antara satu set pixel dalam suatu gambar dengan satu set piksel dalam gambar kedua, dimana kedua gambar diperoleh dari lokasi yang sama tetapi diperoleh pada waktu yang berbeda, menggunakan sensor yang berbeda dan memiliki sudut pandang yang berbeda pula (Montoliu, 2009). Dibandingkan dengan rektifikasi, registrasi ini tidak melakukan transformasi ke suatu koordinat sistem, dengan kata lain, registrasi adalah suatu proses membuat suatu citra konform dengan citra lainnya, tanpa melibatkan proses pemilihan sistem koordinat atau pun memberikan koordinat pada citra berdasarkan koordinat yang ada pada citra lain (dengan cakupan area yang sama) yang telah memiliki koordinat. Registrasi citra ke citra melibatkan proses georeferensi apabila citra acuannya sudah di georeferensi, oleh karena itu georeferensi semata-mata merubah sistem koordinat peta dalam file citra, sedangakan grid dalam citra tidak berubah. 2.1.3. Interpretasi Citra Interpretasi citra adalah perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. (Estes dan Simonett dalam Sutanto, 1994:7). Menurut Lintz Jr. dan 18 Simonett dalam Sutanto (1994:7), ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan dalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra yaitu: (1) Deteksi, adalah pengamatan adanya suatu objek (2) Identifikasi, adalah upaya mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup. (3) Analisis, yaitu pengumpulan keterangan lebih lanjut. Pengenalan obyek merupakan bagian paling vital dalam interpretasi citra. Interpretasi citra dapat dilakukan secara visual maupun digital. Menurut Howard dalam Somantri (2008) interpretasi visual adalah aktifitas visual untuk mengkaji gambaran muka bumi yang tergambar pada citra untuk tujuan identifikasi objek dan menilai maknanya. Kunci interpretasi citra mempunyai 8 (delapan) unsur, yaitu: rona, warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, situs,asosiasi. Foto udara sebagai citra tertua di dalam penginderaan jauh memiliki unsur interpretasi yang paling lengkap dibandingkan unsur interpretaasi pada citra lainnya. (Sutanto, 1994:121). Unsur interpretasi citra terdiri : 1. Rona dan Warna Rona ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra, sedangkan warna ialah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. Melihat gambar di samping kita akan mengetahui bahwa gambar tersebut merupakan lokasi semburan lumpur lapindo. Genangan lumpur bisa kita kenali dengan adanya obyek yang berwarna keabu-abuan dengan rona cerah. Titik semburan lumpur pun bisa kita kenali dengan warna putih dan rona yang lebih cerah yang ada di tengah-tengah genangan lumpur. Daerah yang belum tergenang oleh lumpur juga bisa kita kenali dengan adanya objek berwarna hijau, yang menandakan masih adanya vegetasi yang hidup. 2. Bentuk Merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Kita bisa adanya objek stadion sepakbola pada suatu foto udara dari adanya bentuk persegi panjang. demikian pula kita bisa mengenali gunung api dari bentuknya yang cembung. 19 3. Ukuran Atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Ukuran meliputi dimensi panjang, luas, tinggi, kemirigan, dan volume suatu objek. Perhatikan gambar lokasi semburan lumpur di atas; ada banyak objek berbentuk kotak-kotak kecil. Kita bisa membedakan mana objek yang merupakan rumah, gedung sekolah, atau pabrik berdasarkan ukurannya. 4. Tekstur Frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Untuk lebih memahami, berikut akan digambarkan perbedaan tekstur berbagai benda. 5. Pola Pola atau susunan keruagan merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah. 6. Bayangan Bayangan sering menjadi kuci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek dengan karakteristik tertentu, seperti cerobong asap, menara, tangki minyak, dan lain-lain. Jika objek menara disamping diambil tegak lurus tepat dari atas, kita tidak bisa langsung mengidentifikasi objek tersebut. Maka untuk mengenali bahwa objek tersebut berupa menara adalah dengan melihat banyangannya. 7. Situs Menurut Estes dan Simonett, Situs adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Situs juga diartikan sebagai letak obyek terhadap bentang darat, seperti situs suatu obyek di rawa, di puncak bukit yang kering, dan sebagainya. Itulah sebabnya, site dapat untuk melakukan penarikan kesimpulan (deduksi) terhadap spesies dari vegetasi di sekitarnya. Banyak tumbuhan yang secara karekteristik terikat dengan site tertentu tersebut. Misalnya hutan bakau ditandai dengan rona yang telap, atau lokasinya yang berada di tepi pantai. Kebun kopi ditandai dengan jarak tanamannya, atau lokasinya yaitu ditanam di daerah bergradien miring/pegunungan. 20 8. Asosiasi Keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihatnya suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain. Misalnya fasilitas listrik yang besar sering menjadi petunjuk bagi jenis pabrik alumunium. gedung sekolah berbeda dengan rumah ibadah, rumah sakit, dan sebagainya karena sekolah biasanya ditandai dengan adanya lapangan olah raga. Kunci interpretasi yang digunakan dalam interpretasi visual diterangkan dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2. Unsur Interpretasi Keterangan Unsur Interpretasi Rona Tingkat kegelapan atau kecerahan objek pada citra Warna Warna merupakan ciri fisik suatu objek yang dihasilkan atau ditimbulkan oleh suatu jenis pigmen(unsur warna) tertentu, misalnya hijau, merah, biru, dan lain lain. Ukuran Ukuran obejek dibedakan menjadi dua, yautu ukuran absolut dan ukuran relative Bentuk merupakan gambaran nyata dari obyek yang digambarakan sesuai dengan obyek sebenarnya. Tekstur merupakan frekuensi perubahan tone yang dihasilkan pada potret yang dihasikan dari agregat obyek-obyek yang kecil yang diletakkan satu persatu Pola merupakan karakteristik makro yang digunakan untuk menggambarkan susunan spasial dari obyek pada tubuh potret, termasuk pengulangan obyek alam Bentuk Tekstur Pola Situs Asosiasi Situs merupakan elemen penting dalam interpretasi karena sangat membantu untuk memastikan jenis obyek dalam kegiatan interpretasi pada potret guna mempertahankan eksistensinya di permukaan bumi sehingga setiap obyek baik secara alami Asosiasi adalah hubungan antara obyek yang satu dengan yang lainnya. Asosiasi merupakan pengenalan obyek yang dapat diketahui secara pasti maka pasanagn obyek yang berasosiasi dengan obyek tersebut dapat diketahui dengan pasti. Sumber : Venus, 2008. 21 2.1.4. Dip dan Strike Salah satu kesan yang akan muncul ketika membaca peta geologi adalah jurus (strike) dan kemiringan (dip) pelapisan batuan. Arah garis perpotongan bidang di alam dengan bidang horizontal yang dinyatakan terhadap arah utara disebut dengan jurus (strike) (Endarto, 2005). Strike merupakan arah garis perpotongan bidang di alam dengan bidang horizontal, sedangkan dip (kemiringan) merupakan sudut terbesar antara bidang miring di alam dengan bidang horizontal (Magetsari, 2004). 2.1.5. Sesar/Patahan Sesar/Patahan (Faults) adalah rekahan yang telah mengalami pergeseran atau perpindahan tempat atau dislokasi atau disposisi atau displacement karena adanya pengaruh gaya–gaya endogen baik tekanan maupun tarikan. Umumnya disertai oleh struktur yang lain seperti lipatan, kekar dsb (Ragan,1973). Menurut Hendrajaya dan Simpen (1993), bahwa sesar adalah struktur geologi yang terbentuk karena terdapatnya dislokasi atau patahan yang memotong bidangbidang perlapisan antar batuan. Pada umumnya bidang sesar terisi oleh fluida atau mineral yang relatif lebih kondusif dari batuan sekitarnya. Hal ini akan mengakibatkan penurunan resistivitas. Jadi pada sesar/patahan akan mempunyai resistivitas yang relatif lebih rendah dari daerah sekitarnya. Secara umum ada 3 (tiga) kelompok sesar utama, yaitu sesar naik, sesar normal dan sesar mendatar. Terdapat satu jenis sesar lainnya, yaitu sesar miring (Oblique fault), yang merupakan kombinasi dari beberapa jenis sesar. Terbentuknya struktur sesar di suatu daerah umumnya tidak tunggal, artinya suatu sesar yang terbentuk akibat tektonik (waktu dan tempatnya sama) disuatu daerah selalu terjadi lebih dari satu jalur sesar dengan ukuran yang bervariasi. Kelompok struktur sesar demikian dinamakan sistem sesar. Gambar 2.7 menunjukkan salah satu contoh sesar geser. Sesar ditemukan pada bentuklahan structural yang dapat terjadi akibat gaya yang bekerja pada lempang bumi. Sesar/patahan merupakan zona lemah yang rentan menimbulkan kejadian bencana seperti gempa dan longsor. 22 Gambar 2.7. Piqiang Fault (NASA, 2003) 1. Sesar/Patahan Naik Sesar naik atau Thrust fault, terjadi apabila hanging wall (blok yang berada diatas bidang sesar) relatif bergerak naik terhadap foot wall (blok yang berada dibawah bidang sesar). Berdasarkan sistem tegasan pembentuk sesarnya, posisi tegasan utama dan tegasan minimum adalah horizontal dan tegasan menengah adalah vertikal. Gambaran mengenai sesar naik ditunjukkan pada Gambar 2.8. Gambar 2.8. Patahan/sesar Naik (U.S. Geological Survey image, 2014) Umumnya sesar naik tidak pernah berdiri sendiri atau berkembang tunggal. Sesar selalu membentuk suatu zona (fault zone), sehingga pada zona sesar dijumpai sejumlah bidang sesar. Masing-masing bidang sesar tersebut membentuk pola yang sama, yaitu bidang sesar umumnya memiliki arah 23 kemiringan yang sama dan arah jalur sesarnya relatif sama. Sejumlah sesar naik (Thrust zone) yang terbentuk pada periode tektonik yang sama dinamakan sebagai Thrust Systems (Boyer dan Elliott, 1982). 2. Sesar Normal/turun Sesar normal (Ekstensional fault) terbentuk akibat adanya tegasan ekstensional (gaya tarikan), sehingga pada bagian tertentu gaya gravitasi lebih dominan. Kondisi ini mengakibatkan dibeberapa bagian tubuh batuan akan bergerak turun yang selanjutnya lazim dikenal sebagai proses pembentukan sesar normal. Sesar normal terjadi apabila Hanging wall relatif bergerak ke bawah terhadap foot wall. Gerak sesar normal ini dapat murni tegak atau disertai oleh gerak lateral (sinistral atau dekstral). Sistem tegasan pembentuk sesar normal adalah ekstensional, dimana posisi tegasan utamanya vertikal sedangkan kedudukan tegasan menengah dan minimum adalah lateral. Sesar normal umumnya terbentuk lebih dari satu bidang yang posisinya relatif saling sejajar. Apabila bidang sesarnya lebih dari satu buah, maka bagian yang tinggi dinamakan sebagai horst dan bagian yang rendah dinamakan sebagai graben. Gambar 2.9 merupakan contoh patahan/sesar normal. Gambar 2.9. Sesar/Patahan Normal (U.S. Geological Survey image, 2014) Mengenai hanging wall dan foot wall, serta perbedaan sesar naik (Reserve/thrust fault) dan sesar normal (normal fault), digambarkan pada Gambar 2.10. 24 Gambar 2.10. Hanging Wall dan Foot Wall (USC, 2010) 3. Sesar Mendatar Sesar mendatar (Strike slip fault) adalah sesar yang pembentukannya dipengaruhi oleh tegasan kompresi. Posisi tegasan utama pembentuk sesar ini adalah horizontal, sama dengan posisi tegasan minimumnya, sedangkan posisi tegasan menengah adalah vertikal. Contoh patahan/sesar mendatar ditunjukkan pada Gambar 2.11. Umumnya bidang sesar mendatar digambarkan sebagai bidang vertikal, sehingga istilah hanging wall dan foot wall tidak lazim digunakan di dalam sistem sesar ini. Berdasarkan gerak relatifnya, sesar ini dibedakan menjadi sinistral (mengiri) dan dekstral (menganan). Moody dan Hill (1956), membuat model pembentukan sesar mendatar yang dikaitkan dengan sistem tegasan. Di dalam model tersebut dijelaskan bahwa sesar orde I membentuk sudut kurang lebih 30 terhadap tegasan utama. Sesar orde I baik dekstral maupun sinistral merupakan sesar utama yang pembentukannya dapat terjadi bersamaan atau salah satu saja. Selanjutnya sesar orde II mempunyai ukuran yang lebih kecil dan membentuk sudut tertentu terhadap sesar orde I. Lebih lanjut lagi dijumpai orde sesar yang lebih kecil lagi. 25 Gambar 2.11. Patahan/sesar Mendatar (U.S. Geological Survey image, 2014) 2.1.6. Batuan (Litologi) Batuan merupakan materi mineral, baik yang kompak maupun yang tidak yang membentuk bagian kerak bumi. Materi penyusun batuan terdiri dari satu jenis mineral maupun kumpulan dari beberapa mineral (Whitten dan brooks, 1972 dalam Soetoto, 2013). Batuan tidak selalu kompak dan keras, Lumpur, pasir, dan tanah liat (lempung) termasuk batuan. Batuan dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan cara pembentukannya di alam, yaitu : 1. Batuan Beku Batuan beku merupakan jenis batuan yang terbentuk langsung dari pembekuan magma. Magma adalah zat cair-pijar merupakan senyawa silikat dan berada dibawah tekanan dan suhu tinggi (Soetoto, 2013). Batuan beku dapat ditemukan di bentuklahan asal proses gunung api (vulkanik). Berdasarkan letak pembekuan magma, batuan beku dapat dibagi menjadi batuan beku luar dan batuan beku dalam. Batuan beku luar terbentuk dari magma yang membeku diatas permukaan bumi. Batuan beku luar yang merupakan hasil lelehan disebut lava, sedangkan yang merupakan hasil letusan disebut dengan batuan piroklastik (tuff halus, tuff kasar, tuff lapili, breksi vulkanik, dan aglomerat. Batuan beku dalam terbentuk karena pembekuan magma yang terjadi di bawah permukaan bumi (Soetoto, 2013). 26 2. Batuan Sedimen Batuan sedimen terbentuk dari pembatuan atau lithifikasi hancuran batuan lain atau lithifikasi hasil rekasi kimia atau biokimia. Berdasarkan tempat pengendapannya, batuan sedimen dibagi kedalam enam jenis : - Batuan sedimen teristris : diendapkan di darat. - Batuan sedimen marine : diendapkan di laut. - Batuan sedimen limnis : diendapkan di danau. - Batuan sedimen fluvial : diendapkan di sungai. - Batuan seidmen glasial : diendapkan di daerah es/gletser. - Batuan sedimen koluvial : terendapkan oleh gaya gravitasi bumi. Berdasarkan asal dan cara terbentuknya maka tekstur batuan sedimen dibagi menjadi tekstur klastik (tersusun dari hasil hancuran batuan lain yang sudah ada lebih dulu) dan nonklastik (terbentuk oleh hasil reaksi kimia tertentu, baik yang bersifat anorganik maupun biologik). 3. Batuan Metamorf Batuan metamorf merupakan batuan yang berubah karena faktor bertambahnya tekanan dan temperatur (J.A. Katili dan Marks, 1963). Perubahan dalam batuan metamorf adalah kristalisasi baru. 2.1.7. Gempa Bumi Menurut Howel (1969) Gempa bumi adalah getaran atau serentetan getaran dari kulit Bumi yang bersifat tidak abadi dan kemudian menyebar ke segala arah. Peristiwa bergetarnya permukaan bumi diakibatkan pelepasan energi dari dalam bumi secara tiba tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada permukaan bumi. Lokasi gempa bumi dinyatakan dengan Epicentrum dan Hipocentrum yang disajikan dalam Gambar 2.12. 27 Gambar 2.12. Epicentrum dan Hipocentrum Gempa Bumi (Hartono, 2007) Menurut Hartono (2007) Gempa bumi dapat diklasifikasikan menurut faktor penyebabnya, antara lain sebagai berikut : 1. Gempa Bumi Runtuhan (Fall Earthquake) Terjadi akibat runtuhnya batu raksasa di sisi gunung, atau diakibatkan runtuhnya gua gua besar. Radius getarannya idak begitu luas dan tidak begitu terasa di tempat jauh. 2. Gempa Bumi Vulkanik (Volcanic Earthquake) Terjadi akibat adanya aktivitas gunung api. Dalam banyak peristiwa, gempa bumi ini mendahului terjadinya erupsi gunungapi, tetapi lebih sering terjadi dalam waktu bersamaan. Getaran gempa vulkanik lebih terasa jika dibandingkan getaran gempa runtuhan, getarannya terasa di daerah yang lebih luas. 3. Gempa Bumi Tektonik (Tectonic Earthquake) Terjadi akibat proses tektonik di dalam litosfer yang berupa pergeseran lapisan batuan. Gempa ini memiliki kekuatan yang sangat besar dan sebarannya meliputi daerah sangat luas, salah satu contohnya seperti gempa bumi yang terjadi di Aceh. Kekuatan gempa yang ditimbulkan dapat diukur dan dibuat skala. Berdasarkan skala tersebut orang dapat membedakan gempa bumi yang lemah dan gempa bumi yang kuat. Pengukuran tersebut sangat penting artinya, antara lain untuk menentukan kualitas bangunan tahan gempa. Skala untuk mengukur kekuatan gempa yang terkenal adalah Skala Richter. Richter menentukan dasar skalanya pada magnitudo dengan menggunakan rentang angka 0 – 9, semakin 28 besar angka maka semakin besar magnitudonya yang disajikan pada Tabel 2.3. Untuk mengukur kekuatan gempa dipergunakan alat yang namanya Seismograf. Tabel 2.3. Skala Gempa Menurut Richter Magniudo Keterangan Rata-Rata per Tahun Klasiikasi Umum 0 - 1.9 - 700.000 Goncangan Kecil (Small shocked earthquake) 2 - 2.9 - 300.000 Goncangan Kecil (Small shocked earthquake) 3 - 3.9 Kecil 4 - 4.9 Ringan 5 - 5.9 Sedang 800 Gempa Destruktif (Destructive Earthquake) 6 - 6.9 Kuat 120 Gempa Destruktif (Destructive Earthquake) 7 - 7.9 Besar 8 8.9 Dahsyat 40.000 Gempa Keras (Strongly Felt Earthquake) 6.200 Gempa Merusak (Damaging Earthquake) 18 Gempa Besar (Major Earthquake) 1 dalam 10 - 20 tahun Great Earthquake Sumber : Hartono, 2007 2.1.7.1. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi Tipologi kawasan adalah penggolongan kawasan sesuai dengan karakter dan kualitas kawasan, lingkungan, pemanfaatan ruang, penyediaan prasarana dan sarana lingkungan, yang terdiri dari kawasan mantap, dinamis, dan peralihan. Berdasarkan acuan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 21 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi, tipe kawasan rawan gempa bumi ditentukan berdasarkan tingkat risiko gempa yang didasarkan pada informasi geologi dan penilaian kestabilan. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan rawan gempa bumi kemudian dibedakan menjadi (6) enam tipe kawasan sebagai berikut: a. Tipe A Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat. 29 b. Tipe B 1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk bangunan dengan konstruksi sederhana. c. Tipe C 1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak. 2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. d. Tipe D 1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan denganzona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami cukup merusak. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. e. Tipe E 1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa. 30 f. Tipe F 1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa. 2.2. Kerangka Pemikiran Gempa bumi merupakan salah satu bencana yang banyak terjadi di Indonesia, karena letak Indonesia yang berada di pertemuan tiga lempeng besar litosfer. Data mengenai gempa bumi menjadi penting sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk kegiatan mitigasi bencana dalam upaya mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat gempa bumi. Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi banyak dimanfaatkan dalam pemetaan kebencanaan. Penginderaan jauh dapat digunakan dalam mengekstraksi parameter-parameter yang mempengaruhi kerawanan suatu daerah terhadap bencana gempabumi, seperti penggunaan lahan, identifikasi sesar, dan lain lain, sementara sistem informasi geografi dapat dimanfaatkan dalam menganalisis tingkat kerawanan dan dampak yang ditimbulkan dari bencana gempabumi tersebut. Dengan menggunakan Penginderaan Jauh maka tidak perlu banyak dilakukan kegiatan lapangan sehingga lebih menghemat waktu dan biaya yang digunakan dalam kegiatan penelitian. Salah satu acuan yang digunakan dalam penentuan tipologi kawasan rawan bencana gempabumi adalah menggunakan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 21 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi yang memberikan acuan dalam penentuan kawasan yang berpotensi menimbulkan letusan gunung berapi dan gempabumi berdasarkan pertimbangan karakteristik fisik alami dan aktifitas manusia yang memberi dampak terjadinya letusan gunung berapi dan gempabumi, dalam keputusan 31 menteri tersebut terutama mengatur tipologi gempa bumi yang disebabkan oleh aktivitas patahan. Data yang digunakan dalam penentian tipe kawasan rawan bencana berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi dapat diekstrak dari data Penginderaan Jauh. Data terebut adalah lokasi patahan/sesar dan jenis batuan yang dapat diidentifikasi melalui citra satelit landsat 8, lokasi patahan/sesar digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan terhadap gempabumi berdasarkan jarak terhadap patahan/sesar, data lainnya yang digunakan adalah data kegempaan untuk mengetahui gempa puncak yang terjadi, data SRTM untuk mengetahui kemiringan lereng, dan peta geologi untuk membantu dalam mengetahui jenis batuan. Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 2.13. Citra Landsat 8 Peta Geologi SRTM Data Sekunder Identifikasi Sesar Jarak Terhadap Sesar Kemiringan Lereng Jenis Batuan Data Gempa Puncak Pembobotan Faktor Rawan Gempa Penentuan Tipologi Rawan Gempabumi Peta Kerusakan Bangunan Gambar 2.13. Diagram Alir Kerangka Pemikiran 2.3. Telaah Penelitian Sebelumnya Malik (2010) menggunakan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan 32 Gempa Bumi sebagai acuan dalam penentuan tipologi kawasan rawan gempa bumi di Kecamatan Pangelangan, Kabupaten Bandung. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dampak kerusakan bangunan akibat gempa bumi Tasikmalaya 2 September 2000, mengidentifikasi faktor fisik dan social yang menimbulkan kerawanan, serta menentukan tipologi kerawanan gempa bumi di Kecamatan Pangelangan, sehingga dapat diketahui dampak yang ditimbulkan oleh kejadian bencana gempa bumi terhadap bangunan, faktor yang mempengaruhi kerawanan wilayah Kecamatan Pangelangan terhadap bencana gempa bumi, dan kerawanan sosial mayarakat. Metode yang digunakan adalah survey dengan kegiatan observasi ke lapangan untuk memperoleh data primer di lapangan, yang berupa gambaran fisik dan sosial daerah yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi Tasikmalaya. Data sekunder dikaji dari literatur yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, berupa dokumen regulasi, hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait dengan lokasi penelitian, interpretasi dan analisis Peta Geologi, Peta Rupabumi, dan Citra Satelit. Penelitian ini menghasilkan deskripsi klasifikasi kerawanan dan tipologi kawasan rawan gempa bumi, deskripsi kondisi fisik lahan secara geologis, deskripsi faktor sosial. Jenis batuan dengan sifat fisik lemah, dekat dengan zona sesar, kemiringan lereng curam, dan intensitas gempa yang tinggi, setelah dilakukan penilaian tingkat kemampuan lahan, maka termasuk kedalam kategori lahan kurang stabil dengan tipologi kawasan rawan bencana gempa bumi tipe C yang berarti secara geologis rawan terhadap bencana gempa bumi. Selain itu kondisi rumah tidak ramah gempa, pola permukiman mengelompok, tingkat kepadatan penduduk dan pengetahuan masyarakat tentang bencana yang masih kurang, turut memberikan andil terhadap tingkat kerusakan. Asadulloh (2014) Penelitian dengan judul Penentuan Tingkat Kestabilan Tanah dan Tipologi Wilayah Gempa Bumi berdasarkan Faktor Geologi di Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta bertujuan untuk mengetahui tingkat kestabilan tanah dan tipologi wilayah rawan gempa bumi berdasarkan faktor geologi di Kabupaten Kulon Progo. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum 33 No. 21 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi digunakan sebagai acuan dalam mengkonversi nilai percepatan tanah maksimum menjadi bentuk faktor kegempaan yang terdapat dalam pembobotan kestabilan wilayah. Metode yang digunakan adalah Analisis data mikrotremor dengan menggunakan Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) untuk mendapatkan frekuensi predominan dan faktor amplifikasi. Untuk memperoleh nilai percepatan maksimum maka dilakukan pengolahan hasil analisis mikrotremor menggunakan metode Kanai. Data mikrometer diambil dari 38 titik pengukuran. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat kestabilan tanah yang stabil dan kurang stabil di Kabupaten Kuloprogo. Tingkat kestabilan tanah stabil berada di Kecamatan Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo, Kokap, Wates, Temon, dan Panjatan. Sedangkan tingkat kestabilan tanah yang tergolong kurang stabil berada di Kecamatan Sentolo, Lendah, dan Pengasih. Kabupaten Kulon Progo memiliki tipologi wilayah rawan gempa bumi jenis A & B. Seluruh wilayah di Kabupaten Kulon Progo tergolong tipologi jenis A, kecuali di sebagian wilayah Kecamatan Lendah dan Sentolo. Tipologi wilayah rawan gempa bumi jenis B berada di sebagian Kecamatan Lendah dan Sentolo. Somantri (2008) dengan penelitian Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk Mengidentifikasi Patahan Lembang dengan tujuan mengetahui kenampakan patahan pada citra Landsat 7 dan SRTM. Metode yang digunakan adalah interpretasi visual pada citra Landsat 7. Untuk menonjolkan informasi geologi maka dilakukan pengolahan citra yaitu dengan penyusunan komposit 732. Patahan lembang merupakan patahan yang terlihat jelas baik di lapangan maupun pada citra satelit, sehingga tidak perlu menggunakan banyak tahapan pengolahan citra, karena cukup mudah untuk mengidentifikasinya melalui citra satelit. Hasil yang diperoleh berupa lokasi patahan Lembang yang diinterpretasi dari citra Landsat dan SRTM, patahan lembang membujur dengan arah relatif barat – timur. Garis kontur yang terdapat di dalam citra SRTM digunakan untuk mengetahui ketinggian di lokasi patahan tersebut. 34 Fashihullisan dkk (2009) dengan penelitian Identifikasi Daerah Sesar dan Intrusi Berdasarkan Perbandingan Antara Filter dan Mapping Regional Magnetik Daerah Garut, Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui daerah sesar dan intrusi. Identifikasi sesar dan intrusi diidentifikasi menggunakan interpretasi profil peta intensitas magnet total yang dibandingkan dengan filter filter data magnet untuk mengetahui dengan pasti posisi dari patahan dan intrusi tersebut. Dengan metode survey regional magnetik, maka akan dapat diketahui pemetaan pola anomaly magnet dengan efisien dan mampu terintegrasi dengan baik. Metode ini mampu menjadi acuan dalam survey detail geologi dan geofisika. Hasil yang didapatkan adalah peta pola sesar dan intrusi. Area A menunjukan pola sesar sepanjang arah barat ke timur, ditunjukan dengan konsistensi pada pola anomali setiap filter. Area D mengidentifikasikan pola sesar utara selatan, ditunjukan dengan sinkronasi semua pola filter dan kenampakan permukaan. Area F menunjukan pola intusif dipermukaan datar dengan pola anomaly tinggi dikelilingi pola anomali rendah. Pola Analytic-signal berkorelasi dengan baik dengan RTP (reduce to magnetic polar) pada pola anomaly utaraselatan saja, sedangkan pada pola barat – timur korelasinya dengan mapping TMI (Total Magnetic Intensity). Nurwidyanto, dkk (2007) dengan penelitian berjudul Pemetaan Sesar Opak dengan Metode Gravity (Studi Kasus Daerah Parang-Tritis dan Sekitarnya) yang bertujuan mengetahui lokasi sesar opak berdasarkan metode gravity. Identifikasi lokasi patahan dilakukan dengan mengukur gravitasi di daerah penelitian melalui daerah sesar opak yang tertian dalam peta geologi yang dikeluarkan oleh P3G Bandung. Selain pengukuran dip dan strike dilakukan untuk mengetahui arah pelapisan pada singkapan batuan dengan menggunakan kompas geologi. Persebaran jenis batuan dan lokasi sesar opak dilihat melalui peta geologi. Pengukuran ini dilakukan pada setiap harinya sehingga menghasilkan data harian yang meliputi lokasi koordinat titik pengukuran (GPS), waktu pengukuran (arloji) dan nilai gravitasi medan. Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak Magmap 2000, Magpick dan Mag2DC, dan Geomodel. Nilai gravitasi tersebut dilakukan koreksi sehingga menghasilkan nilai ABL (Anomaly Bouger Lengkap). 35 Kemudian dibuat model bawah permukaan dengan menggunakan perangkat lunak Grav2DC. Hasil yang di dapatkan berupa nilai kontur di wilayah tengah daerah kajian bernilai 130 mgal – 160 mgal, hal ini bias berasosiasi dengan intrusi batuan beku atau sesar, sedangkan di bagian kanan dan kiri mempunyai nilai ABL yang lebih rendah yaitu sebesar 110 mgal – 130 mgal. Berdasarkan pola kerapatan kontur ABL, dan kemenerusan kontur diperkirakan keberadaan sesar di sebelah kanan dan kiri daerah kaian pada kontur 130 mgal. Dari hasil pemodelan diketahui adanya dua sesar besar yaitu berada di barat sungai Opak yang di sebut sesar opak dan di timur sungai opak yang disebut sesar parangkusumo. Tabel 2.4 menyajikan informasi mengenai perbandingan penelitian yang sebelumnya. 36 Tabel 2.4. Perbandingan Penelitian Sebelumnya No 1. 2. 3. Penulis/Judul Tujuan Yakub Malik. 2010. Penentuan 1. Mengidentifikasi dampak Tipologi Kawasan Rawan krusakan bangunan akibat Gempa Bumi di Kecamatan gempabumi tasikmalaya 2 Pangelangan. Jurnal Geografi September 2009 GEA,Vol.10 No.28. Jurusan 2. Mengidentifikasi Faktor Pendidikan Geografi FPIPS UPI. fisik dan sosial yang Bandung menimbulkan kerawanan 3. Menentukan tipologi kerawanan gempa bumi untuk mitigasi bencana Asadulloh. 2014. Penentuan 1. Mengetahui tingkat Tingkat Kestabilan Tanah dan kestabilan tanah dan tipologi Tipologi Wilayah Gempa Bumi wilayah rawan gempa bumi berdasarkan Faktor Geologi di berdasarkan faktor geologi Kabupaten Kulonprogo Daerah di Kabupaten Kulon Progo Istimewa Yogyakarta Lili Somantri. 2008. Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk Mengidentifikasi Patahan Lembang. Metode Hasil Menggunakan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi untuk menentukan tipologi kawasan yang rawan terhadap gempa bumi. 1. Deskripsi dampak kerusakan bangunan 2. Deskripsi Kerawanan Fisik Lahan 3. Deskripsi Kerawanan Sosial-Masyarakat Keputusan Menteri Pekerjaan 1. Deskripsi tingkat Umum No. 21 Tahun 2007 kestabilan tanah di tentang Pedoman Penataan Kabupaten Ruang Kawasan Rawan Kulonprogo. Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi digunakan sebagai acuan dalam mengkonversi nilai percepatan tanah maksimum menjadi bentuk faktor kegempaan yang terdapat dalam pembobotan kestabilan wilayah Mengetahui kenampakan interpretasi visual pada citra Peta lokasi patahan patahan pada citra Landsat 7 Landsat 7 komposit 732 lembang pada citra dan SRTM Landsat 7 dan citra SRTM. 37 No Penulis/Judul 4. Lathief Fashihullisan dkk. 2009. Identifikasi Daerah Sesar dan Intrusi Berdasarkan Perbandingan Antara Filter dan Mapping Regional Magnetik Daerah Garut, Jawa Barat 5. M.Irham Nurwidyanto, dkk. 2010. Pemetaan Sesar Opak dengan Metode Gravity (Studi Kasus Daerah Parang-Tritis dan Sekitarnya). Pertemuan Ilmiah XXIV Jateng dan DIY tahun 2010, hal 77 – 83. Tujuan Metode Mengetahui daerah sesar dan Dengan metode survey intrusi berdasarkan anomali regional magnetik, maka akan magnetic dapat diketahui pemetaan pola anomaly magnet yang digunakan untuk mengidentifikasi daerah sesar dan intrusi. Mengetahui lokasi sesar Mengukur medan gravitasi di opak berdasarkan metode daerah sesar opak yang telah gravity tertuang pada peta geologi yang dikeluarkan oleh P3G Bandung untuk mengiidentifikasi Sesar Opak, dan perhitungan dip strike Hasil Peta lokasi sesar dan intrusi di Daerah Garut, Jawa Barat. Lokasi sesar opak berdasarkan metode gravity berada di sebelah barat sesar opak yang ditunjukkan pada peta geologi lembar Yogyakarta yang dikeluarkan P3G Bandung 38 2.4. Batasan Operasional Batuan Materi mineral, baik yang kompak maupun yang tidak yang membentuk bagian kerak bumi. Materi penyusun batuan terdiri dari satu jenis mineral maupun kumpulan dari beberapa mineral (Whitten dan brooks, 1972 dalam Soetoto, 2013). Gempa bumi Getaran atau serentetan getaran dari kulit Bumi yang bersifat tidak abadi dan kemudian menyebar ke segala arah (Howel,1969). Interpretasi Visual Aktifitas visual untuk mengkaji gambaran muka bumi yang tergambar pada citra untuk tujuan identifikasi objek dan menilai maknanya (Howard dalam Somantri, 2008). Jurus (strike) Arah garis perpotongan bidang di alam dengan bidang horizontal yang dinyatakan terhadap arah utara disebut dengan (Endarto, 2005). Kemiringan (dip) Sudut terbesar antara bidang miring di alam dengan bidang horizontal (Magetsari, 2004). Koreksi Geometrik Transformasi citra hasil penginderaan jauh sehingga citra tersebut mempunyai sifat-sifat peta dalam bentuk, skala dan proyeksi (Mather, 1987). Pemfilteran Suatu cara untuk ekstraksi bagian data tertentu dari suatu himpunan data, dengan menghilangkan bagian – bagian data yang tidak diinginkan ( Swain dan Davis, 1978). Penginderaan jauh Ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah fenomena melalui analisis data yang di peroleh dengan suatu alat tanpa kotak langsung dengan obyek daerah atau fenomena yang di kaji (Lilesand and Keifer, 1997). Registrasi citra Proses overlay dua atau lebih citra dengan obyek yang sama, yang diambil pada waktu yang berbeda, dari sudut pandang 39 yang berbeda, dan atau oleh sensor yang berbeda pula (Zitova dan Flusser, 2003). Rektifikasi citra Suatu proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Resolusi Kemampuan suatu sistem optic elektronik dalam membedakan informasi secara spasial (keruangan) berdekatan atau secara spektral (sinar) mempunyai kemiripan (Swain dan Davis, 1978). Sesar/Patahan Rekahan yang telah mengalami pergeseran atau perpindahan tempat atau dislokasi atau disposisi atau displacement karena adanya pengaruh gaya–gaya endogen baik tekanan maupun tarikan. Umumnya disertai oleh struktur yang lain seperti lipatan, kekar dsb (Ragan,1973). Sesar mendatar (Strike slip fault) adalah sesar yang pembentukannya dipengaruhi oleh tegasan kompresi. Sesar naik (Thrust fault) terjadi apabila hanging wall relatif bergerak naik terhadap foot wall. Sesar normal (Ekstensional Fault) Hanging wall relatif bergerak ke bawah terhadap foot wall SRTM Shuttle Radar Topography Mission adalah alat yang terpasang pada pesawat ulang-alik dan memperoleh data permukaan bumi dengan teknologi penginderaan jauh menggunakan radar aperture sintetis (JAXA, 1999). Tipologi Kawasan Penggolongan kawasan sesuai dengan karakter dan kualitas kawasan, lingkungan, pemanfaatan ruang, penyediaan prasarana dan sarana lingkungan, yang terdiri dari kawasan mantap, dinamis, dan peralihan. 40