BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki potensi
bencana yang cukup besar, salah satu bencana tersebut adalah gempa bumi.
Potensi terhadap bencana gempa bumi dikarenakan Indonesia terletak di antara
tiga lempeng besar litosfer yaitu lempeng Pasifik, lempeng Eurasia, dan lempeng
Indo-Australia. Lempeng Indo-Australia bergerak ke Utara sekitar 50 – 70
mm/tahun dan menujam di bawah palung laut dalam Sumatra – Jawa sampai ke
Barat Pulau Timor di NTT. Di sepanjang kepulauan dari P. Timor ke arah Timur
dan terus memutar ke utara berlawanan arah jarum jam menuju wilayah perairan
Maluku, Lempeng Benua Australia menabrak dengan kecepatan kurang lebih 70
mm/tahun. Jadi di wilayah ini yang terjadi bukan penunjaman lempeng lautan lagi
tapi zona tumbukan lempeng benua terhadap lempeng kepulauan. Di Utara
Indonesia Timur, Lempeng Pasifik menabrak sisi Utara Pulau Irian dan Pulaupulau di Utara Maluku dengan kecepatan 120 mm/tahun, dua kali lipat lebih cepat
dari kecepatan penunjaman lempeng di bagian sisi barat dan selatan Indonesia,
oleh karena itu Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana
gempa bumi tektonik (Puslitbang BMKG, 2009). Pertemuan dari ketiga lempeng
ini disebut sebagai zona subdaksi. Tumbukan dari ketiga lempeng tersebut akan
menyebabkan terbentuknya gunung api dan patahan/sesar.
Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang dapat
menimbulkan dampak kerusakan yang cukup besar. Kejadian bencana alam tidak
dapat dicegah, namun dapat dikurangi risiko yang timbul dengan melakukan
kegiatan manajemen bencana. Salah satu kegiatan manajemen bencana gempa
bumi yaitu pembuatan peta tipe kawasan rawan gempa bumi di sekitar daerah
patahan.
Informasi mengenai derah yang memiliki potensi gempa bumi kemudian
dapat digunakan dalam rangka pengambilan kebijakan dengan tujuan untuk
mengurangi dampak kerusakan dari bencana gempa bumi yang terjadi. Kebijakan
1
tersebut dapat berupa kebijakan pengaturan kawasan yang termasuk dalam daerah
berpotensi gempa bumi yang diatur dalam peraturan daerah setempat mengenai
tata ruang. Tingkat resiko gempa bumi diperlukan dalam menganalisis besarnya
dampak yang ditimbulkan dari kejadian gempa bumi.
Penentuan daerah risiko rawan bencana gempa bumi mengacu pada
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 tentang Pedoman Penataan Ruang
Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi. Dalam pedoman
tersebut mengatur gempa bumi khususnya gempa bumi akibat tumbukan lempeng
bumi dan patahan/sesar aktif. Tipe kawasan rawan gempa bumi ditentukan
berdasarkan tingkat resiko gempa bumi yang didasarkan pada informasi geologi
dan penilaian kestabilan, berdasarkan hal tersebut, kawasan rawan gempa bumi
dibedakan kedalam 6 (enam) tipe kawasan.
Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi Geografi (SIG) dapat
digunakan dalam penentuan tipologi daerah rawan bencana gempa bumi
berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi. Data
penginderaan jauh berupa citra satelit Landsat 8 digunakan dalam mengekstraksi
parameter kerawanan gempa bumi. Parameter yang dapat diekstraksi adalah jenis
batuan (litologi), patahan/sesar, dan kemiringan lereng, yang merupakan salah
parameter dalam penentuan kerawanan gempa bumi, selain itu jarak terhadap
pusat gempa juga digunakan dalam pemetaan tipologi kerawanan gempa. Sistem
informasi Geografi (SIG) berperan dalam pengolahan data parameter dan
pembuatan peta tipe kawasan rawan bencana gempa bumi.
Salah satu patahan/sesar aktif di Indonesia yang berpotensi terjadi gempa
bumi adalah patahan aktif opak yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Patahan ini memiliki potensi kejadian gempa bumi yang cukup tinggi, sehingga
perlu dilakukan upaya mitigasi bencana yang berupa pembuatan peta daerah
rawan gempa bumi. Patahan/sesar aktif opak sepanjang 40 kilometer yang
membentang dari Kecamatan Pundong sampai ke Kecamatan Prambanan, di
sebelah timur Kota Yogyakarta. Pergerakan Patahan/Sesar Opak tersebut
dipengaruhi oleh subduksi Lempeng Australia ke bawah Lempeng Eurasia di
2
bawah Pulau Jawa. Patahan/Sesar Opak merupakan salah satu dari tiga
patahan/sesar di selatan Jawa yang sudah dapat di identifikasi berhubungan
dengan zona subsduksi, selain Sesar Cimandiri dan Sesar Grindulu di Pacitan
(Soehaimi, 2008).
Patahan/sesar Opak berhubungan dengan patahan minor Opak yang bila
terdapat gelombang gempa yang bersumber dari patahan minor tersebut maka
dapat merambat hingga ke Patahan Opak, Graben Bantul dan Patahan Dengkeng
di Kabupaten Klaten. Sebagian Patahan/sesar Opak berada di Kabupaten Bantul
yang berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul. Usia tanah yang masih muda
(skala waktu geologi) menggambarkan bahwa tanah di Kabupaten Bantul belum
padu, sehingga saat diguncang gempa bumi getaran tersebut menekan butiran
tanah yang menyebabkan air di sela-sela tanah tertekan kuat dan mengalir ke
permukaan tanah, keadaan yang seperti ini menyebabkan tanah mengalami
kehilangan daya dukung sehingga bangunan maupun benda benda yang berada
diatasnya akan runtuh, karena di kepung oleh sumber-sumber gempa di sisi kiri
dan kanannya, cekungan Bantul pun dapat terguncang kuat hingga pemukiman di
atasnya menjadi runtuh (Nurwidyanto dkk., 2010).
Potensi gempa yang dapat terjadi di sekitar Patahan Opak di dasarkan pada
rekam sejarah bahwa Patahan Opak pernah mengguncang Yogyakarta dengan
gempa besar pada tahun 1992, 2001, dan 2004, gempa bedar dengan kekuatan 5,9
Skala Richter menurut BMKG dan 6.4 Skala Ritcher menurut USGS terjadi pada
27 Mei 2006 (Daryono, 2009). Runtutan peristiwa yang telah terjadi tersebut
dapat digunakan untuk memprediksi potensi gempa yang dapat terjadi. Jalur
Patahan/sesar Opak berada pada kawasan yang banyak terdapat permukiman
padat sehingga berpotensi besar akan ancaman bahaya gempa bumi. Adanya
kawasan yang padat akan penduduk menjadikan daerah sekitar Patahan/sesar
Opak memiliki risiko yang tinggi apabila terjadi gempa bumi yang berasal dari
patahan tersebut. Sruktur bangunan juga memberikan pengaruh yang besar
terhadap tingkat kerusakan akibat gempa bumi.
3
1.2. Permasalahan
Rumusan masalah penelitian antara lain :
Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain :
1. Tingkat akurasi data penginderaan jauh (Landsat 8) untuk identifikasi
parameter kawasan bencana gempa bumi dalam kaitannya dengan tingkat
kerawanan gempa bumi masih belum diketahui.
2. Penentuan kawasan rawan gempa bumi berdasarkan acuan Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum No. 21 tentang Pedoman Penataan Ruang
Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi dengan
memanfaatkan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografi
belum dilakukan di Kabupaten Bantul.
3. Analisis kerawanan gempa dengan validasi menggunakan data kerusakan
bangunan bumi masih belum dilakukan.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang kemudian muncul antara lain :
1. Seberapa jauh tingkat akurasi data penginderaan jauh dalam identifikasi
parameter kawasan kawasan gempa bumi di daerah sekitar Patahan/Sesar
Aktif Opak?
2. Bagaimanakah tipologi kawasan rawan bencana gempa bumi di sekitar
Patahan/Sesar Opak ?
3. Bagaimana tingkat
kerawanan bencana
gempa bumi
di
sekitar
Patahan/Sesar Opak?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian kerawanan gempa bumi antara lain :
1. Mengkaji akurasi citra Landsat 8 dalam identifikasi parameter kawasan
bencana gempa bumi berupa informasi geologi di daerah sekitar
Patahan/Sesar Aktif Opak.
2. Memetakan tipologi kawasan rawan gempa bumi di daerah sekitar
Patahan/Sesar Aktif Opak.
4
3. Menganalisis zona kawasan rawan bencana gempa bumi di daerah sekitar
Patahan/Sesar Aktif Opak yang di validasi dengan menggunakan data
kerusakan bangunan.
1.5. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini antara lain :
1. Salah satu pengembangan pemanfaatan citra satelit Landsat 8
2. Kontribusi dalam ilmu Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi
Geografi (SIG)
3. Mengetahui tipologi kawasan rawan bencana gempa bumi di daerah
sekitar Patahan/Sesar Aktif Opak.
1.6. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari peelitian kerawanan gempa bumi ini antara lain :
1. Informasi tingkat akurasi data penginderaan jauh dalam identifikasi
parameter gempa bumi yang dapat di ekstrasi dari penginderaan jauh
2. Peta tipologi kerawanan gempa bumi di daerah sekitar Patahan/Sesar Aktif
Opak
3. Hasil analisis kerawanan gempa bumi di daerah sekitar Patahan/Sesar
Aktif Opak
5
BAB II
Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya
2.1. Telaah Pustaka
2.1.1. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu obyek, daerah fenomena melalui analisis data yang di peroleh
dengan suatu alat tanpa kotak langsung dengan obyek daerah atau fenomena yang
di kaji (Lilesand and Keifer, 1997). Suatu teknik pengumpulan informasi tentang
objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik (penginderaan jauh)
dapat menghasilkan beberapa bentuk citra untuk selanjutnya diproses dan
diinterpretasi, sehingga menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi
dibidang pertanian, kehutanan, geografi, geologi, dan bidang-bidang lainnya (Lo,
C.P., 1986 dalam Purbowaseso, 1996). Wahana yang digunakan dalam
penginderaan jauh disajikan pada Gambar 2.1, dimana setiap wahana memiliki
ketinggian terbang yang berbeda-beda.
Gambar 2.1. Wahana Penginderaan Jauh (Lindgren, 1985)
Menurut Sutanto (1994:18-23), pemanfaatan penginderaan jauh baik dari
segi bidang penggunaannya maupun dari frekuensi penggunaannya pada tiap
6
bidang mengalami peningkatan yang cukup besar. Peningkatan tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Citra menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan;
wujud dan letak obyek yang mirip wujud dan letak di permukaan bumi, relatif
lengkap, meliputi daerah yang luas, serta bersifat permanen.
2. Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensional apabila
pengamatannya dilakukan dengan alat yang disebut stereoskop.
3. Karakteristik obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan dalam bentuk citra
sehingga dimungkinkan pengenalan obyek.
4. Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi
secara terestrial.
Penginderaan jauh menggunakan radiasi elektromagnetik dan mempunyai
empat komponen utama yaitu sumber energi, interaksi dengan permukaan bumi,
interaksi dengan atmosfer dan interaksi dengan sensor. Sumber dari radiasi
elektromagnetik dapat berasal dari tenaga alami misalnya refleksi sinar matahari,
emisi panas bumi dan juga emisi dari buatan manusia sendiri misalnya radar.
Radiasi yang di pancarkan kembali sangat tergantung dengan obyek yang
memancarkan radiasi tersebut, karena setiap obyek memiliki karakteristik berbeda
dalam memancarkan kembali radiasinya (Curran 1985). Sistem penginderaan jauh
disajikan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994)
7
Komponen dalam Penginderaan Jauh antara lain :
1. Sumber Tenaga
Sumber tenaga dalam proses inderaja terdiri atas :
a. Fungsi tenaga adalah untuk menyinari obyek permukaan bumi dan
memantulkannya pada sensor
Tenaga Alamiah, yaitu sinar matahari.
Tenaga Buatan, yang berupa gelombang mikro
b. Jumlah tenaga yang diterima oleh obyek di setiap tempat berbeda-beda, hal
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
- Waktu penyinaran, jumlah energi yang diterima oleh obyek pada saat
matahari tegak lurus (siang hari) lebih besar daripada saat posisi miring
(sore hari). Makin banyak energi yang diterima obyek, makin cerah warna
obyek tersebut.
- Sudut datang sinar matahari mempengaruhi jumlah energi yang diterima
bumi Bentuk permukaan bumi, permukaan bumi yang bertopografi halus
dan memiliki warna cerah pada permukaannya lebih banyak memantulkan
sinar matahari dibandingkan permukaan yang bertopografi kasar dan
berwarna gelap, sehingga daerah bertopografi halus dan cerah terlihat lebih
terang dan jelas.
- Sumber tenaga dalam memancarkan dan memantulkan, misalnya kondisi
udara yang berkabut menyebabkan hasil inderaja menjadi tidak begitu
jelas atau bahkan tidak terlihat.
2. Atmosfer
Lapisan udara yang terdiri atas berbagai jenis gas, seperti O2, CO2,
nitrogen, hidrogen dan helium. Molekul-molekul gas yang terdapat di dalam
atmosfer tersebut dapat menyerap, memantulkan dan melewatkan radiasi
elektromagnetik. Di dalam inderaja terdapat istilah Jendela Atmosfer, yaitu
bagian spektrum elektromagnetik yang dapat mencapai bumi. Keadaan di
atmosfer dapat menjadi penghalang pancaran sumber tenaga yang mencapai ke
permukaan bumi.
8
3. Interaksi antara tenaga dan obyek
Interaksi antara tenaga dan obyek dapat dilihat dari rona yang dihasilkan
oleh foto udara. Tiap-tiap obyek memiliki karakterisitik yang berbeda dalam
memantulkan atau memancarkan tenaga ke sensor. Obyek yang mempunyai
daya pantul tinggi akan terilhat cerah pada citra, sedangkan obyek yang daya
pantulnya rendah akan terlihat gelap pada citra. Contoh : permukaan puncak
gunung yang tertutup oleh salju mempunyai daya pantul tinggi yang terlihat
lebih cerah, daripada permukaan puncak gunung yang tertutup oleh lahar
dingin.
4. Sensor dan Wahana
a. Sensor Merupakan alat pemantau yang dipasang pada wahana, baik pesawat
maupun satelit. Sensor dapat dibedakan menjadi dua :
- Sensor Fotografik, merekam obyek melalui proses kimiawi. Sensor ini
menghasilkan foto. Sensor yang dipasang pada pesawat menghasilkan
citra foto (foto udara), sensor yang dipasang pada satelit menghasilkan
citra satelit (foto satelit)
- Sensor Elektronik, bekerja secara elektrik dalam bentuk sinyal. Sinyal
elektrik ini direkam dalam pada pita magnetic yang kemudian dapat
diproses menjadi data visual atau data digital dengan menggunakan
komputer, kemudian lebih dikenal dengan sebutan citra.
b. Wahana adalah kendaraan/media yang digunakan untuk membawa sensor
guna mendapatkan inderaja. Berdasarkan ketinggian persedaran dan tempat
pemantauannya di angkasa,wahana dapat dibedakan menjadi tiga kelompok:
- Pesawat terbang rendah sampai menengah yang ketinggian peredarannya
antara 1.000 – 9.000 meter di atas permukaan bumi
- Pesawat terbang tinggi, yaitu pesawat yang ketinggian peredarannya lebih
dari 18.000 meter di atas permukaan bumi
- Satelit, wahana yang peredarannya antara 400 km – 900 km diluar
atmosfer bumi.
5. Satelit, wahana dengan peredaran di luar angkasa
9
2.1.1.1. Konsep Resolusi
Menurut Swain dan Davis (1978) resolusi adalah kemampuan suatu sistem
optic elektronik dalam membedakan informasi secara spasial (keruangan)
berdekatan atau secara spektral (sinar) mempunyai kemiripan. Terdapat empat
konsep resolusi, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik,
resolusi temporal.
1. Resolusi spasial
merupakan ukuran terkecil objek yang masih dapat terdeksi oleh suatu sistem
citra. Resolusi spasial menunjukkan kualitas sensor, semakin kecil objek yang
dapat direkam olehnya, semakin detil informasinya, maka semakin halus atau
tinggi resolusi spasialnya.
2. Resolusi spektral
adalah kemapuan sensor dalam membedakan objek berdasarkan pantulan atau
pancaran spektral dari objek itu sendiri. Semakin banyak jumlah saluran
(dengan julat yang sempit) yang dimiliki suatu citra maka semakin baik
kemampuannya dalam membedakan objek berdasarkan respon spektral,
sehingga semakin tinggi resolusi spektralnya.
3. Resolusi temporal
terkait dengan waktu, yakni kemampuan sensor untuk merekam ulang daerah
yang sama, dengan satuan jam atau hari.
4. Resolusi radiometri
adalah
kemampuan
sensor
dalam
mencatat
respons
spektral
objek.
Kemampuan sensor ini secara langsung dikaitkan dengan kemampuan koding
(digital coding), yaitu mengubah intensitas pantulan atau pancaran spectral
menjadi angka digital yang dinyatakan dalam bit. (Danoedoro, 2012)
2.1.1.2. Sistem Citra Satelit Landsat
Landsat adalah salah satu wahana penginderaan jauh yang diluncurkan
pertama kali pada tahun 1972 (Sutanto, 1994). Satelit Landsat (Land Satelit),
milik Amerika Serikat, pertama kali di luncurkan pada pada 1972, dengan nama
ETRS-1 (Earth Resource Technology Satelite-1). Proyek percobaan ini sukses dan
10
kemudian dilanjutkan dengan peluncuran seri selanjutnya, seri kedua, tetapi
berganti nama menjadi Landsat. ETRS-1 pun berganti dengan Landsat 1
(Danoedoro, 2012).
Satelit landsat memiliki dua buah sensor yaitu Multi Spectral Scanner
(MSS) dan Tematic Mapper (TM). Sensor TM mempunyai resolusi sampai 30 x
30 m, dan bekerja mengumpulkan data permukaan bumi dan luas sapuan 185 km
x 185 km. sedangkan resolusi radiometriknya 8 bit, yang berarti setiap pixel
mempunyai nilai jangkauan data dari 0-225. Sensor TM merupakan sistem yang
sangat rumit yang memerlukan toleransi (kelonggaran) pembuatan yang sangat
kecil, sehingga tidak memungkinkan dibuat penyempurnaan di masa mendatang
untuk memperkecil resolusi spasial sampai dibawah 20 M (Butler, 1988).
Landsat telah meluncurkan delapan seri sampai dengan tahun 2013,
dengan yang terakhir adalah Landsat 8, dari delapan seri tersebut terdapat
perubahan tentang sensor yang di bawa oleh satelitnya, secara garis besar dapat di
kelompokkan menjadi 4 generasi yaitu Landsat 1 sampai 3 yang disebut sebagai
generasi 1, Landsat 4 dan 5 yang disebut dengan generasi 2, Landsat 6 dan 7 yang
disebut dengan generasi 3 sedangkan Lansat 8 yang di sebut dengan generasi 4.
Generasi 1 membawa dua buah sensor, yaitu sensor RBV (Return Bean Vidicion)
yang memiliki resolusi spasial 79 m dan terdiri dari 3 buah saluran yaitu RBV -1,
RBV-2 dan RBV-3 dan juga sensor MSS (Multi Spectral Scanner) dengan empat
saluran yaitu MSS-4 sampai dengan MSS-7, sedangkan pada Landsat 3 sensor
RBV hanya tinggal satu dengan resolusi 40 meter, dan MSS yang terdiri dari 4
sensor juga. (Danoedoro,2012). Gambar 2.3 menyajikan komponen sensor.
Gambar 2.3. Komponen utama Sensor Multispectral Scanner (MSS) pada Landsat
1,2,3,4,dan 5 (kiri), dan Sensor Enhanced Thematic Mapper Plus
(ETM+) pada Landsat-7 (kanan) (Jensen, 2005)
11
2.1.1.3. Citra Satelit Landsat 8
Satelit Landsat 8 diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013, Landsat 8
(sebelumnya Landsat data Continuity Mission, LDCM) adalah masa depan satelit
Landsat. Hal ini mengumpulkan data berharga dan citra yang akan digunakan
dalam pertanian, pendidikan, bisnis, ilmu pengetahuan, dan pemerintah. Program
Landsat menyediakan akuisisi berulang resolusi tinggi data multispektral dari
permukaan bumi secara global. Data dari pesawat ruang angkasa Landsat
merupakan rekor terpanjang permukaan benua Bumi seperti yang terlihat dari luar
angkasa. Ini adalah catatan yang tak tertandingi dalam kualitas, detail, cakupan,
dan nilai (NASA, 2015).
Landsat 8 diluncurkan dari Vandenberg Air Force Base, California. Satelit
Landsat 8 terdiri dari dua instrumen Operasional Land Imager (OLI) dan Thermal
Infrared Sensor (TIRS). Kedua sensor menyediakan cakupan musiman dari
daratan global pada resolusi spasial 30 meter (terlihat, NIR, SWIR), 100 meter
(thermal), dan 15 meter (pankromatik). OLI adalah sensor pushbroom dengan
teleskop empat cermin dan 12-bit kuantisasi. OLI mengumpulkan data untuk
saluran visible, inframerah dekat, dan inframerah tengah, serta band pankromatik.
OLI didesain untuk lima tahun. OLI menyediakan dua band spektral baru, satu
disesuaikan terutama untuk mendeteksi awan cirrus dan yang lainnya untuk
pengamatan zona pesisir. namun tidak mempunyai kanal inframerah termal.
Sensor TIRS (Thermal Infrared Sensor) ditetapkan sebagai pilihan (optional)
yang menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal inframerah termal yang
tidak dicitrakan oleh OLI. TIRS akan mengukur suhu permukaan tanah di dua
band thermal dengan teknologi baru yang berlaku fisika kuantum untuk
mendeteksi panas. TIRS ditambahkan ke misi satelit Landsat ketika jelas bahwa
manajemen sumber daya air negara bergantung pada pengukuran yang sangat
akurat dari energi panas bumi yang diperoleh oleh pendahulu LDCM itu, Landsat
5 dan Landsat 7, untuk melacak bagaimana tanah dan air yang digunakan. Dengan
hampir 80 persen dari air tawar di AS Barat yang digunakan untuk mengairi
tanaman, TIRS akan menjadi alat yang sangat berharga untuk mengelola
12
konsumsi air. (NASA, 2015). Pada Tabel 2.1. diterangkan mengenai karakteristik
saluran spektral citra satelit Landsat 8.
Tabel .2.1 Karakteristik saluran spektral Landsat 8
Saluran Spectral
Saluran 1 - aerosol
Saluran 2 – biru
Saluran 3 – hijau
Saluran 4 – merah
Saluran 5 Inframerah dekat
Saluran 6 InframerahTengah 1
Saluran 7 Inframerah Tengah 2
Saluran 8 Pankromatik
Saluran 9 – Cirrus
Saluran 10 - TIRS 1
(Thermal)
Saluran 11 - TIRS 2
(Thermal)
Gelombang Resolusi
Kegunaan
(mikrometer) (meter)
0,43 - 0,45
30
Observasi area pesisir laut
Pemetaan batimetri,
membedakan tanah dengan
0,45 - 0,51
30
vegetasi,
0,53 - 0,59
30
Membedakan Vegetasi
Menekankan vegetasi
0,64 - 0,67
30
berdasarkan kemiringan lereng.
Menekankan batas vegetasi
berdasarkan tanah, air, dan
0,85 - 0,88
30
bentuk lahan.
Mendeteksi stress tanaman
terhadap kekeringan, dan
membatasi area kebakaran, serta
1,57 - 1,65
30
efek dari kebakaran vegetasi.
Mendeteksi kekeringan, daerah
kebakaran, dan efek kebakaran,
dan dapat mendeteksi kejadian
kebakaran, terutama pada malam
2,11 - 2,59
30
hari.
0,50 - 0,68
15
1,36 - 1,38
30
10,60 - 11,19
100
Berperan dalam penajaman citra
Berperan dalam deteksi awan
cirrus
Perbedaan suhu pada arus,
memantau kebakaran, serta
mengestimasi kelembababn tanah
11,50 - 12,51
100
Sama seperti saluran 10.
Sumber : NASA, 2013
Salah satu contoh citra Landsat 8 seperti yang tersaji pada Gambar 2.4
yang merupakan citra Landsat 8 yang telah dilakukan pengolahan komposit citra
dengan menggunakan saluran 5,6, dan 7. Citra Landsat terebut merupakan citra
penginderaan jauh resolusi menengah yang digunakan untuk kajian geologi,
meliputi interpretasi visual batuan (litologi) dan struktur geologi berupa
sesar/patahan.
13
Gambar 2.4. Citra Landsat 8 Daerah Sesar Opak (USGS, 2014)
2.1.1.4 Citra SRTM
Menurut JAXA ( 1999 ) SRTM ( Shuttle Radar Topography Mission )
adalah alat yang terpasang pada pesawat ulang-alik dan memperoleh data
permukaan bumi dengan teknologi penginderaan jauh menggunakan radar
aperture sintetis. Data yang diperoleh akan dikonversi menjadi data ketinggian
disebut Digital Elevation Model (DEM), dan akan digunakan untuk menghasilkan
peta tiga dimensi yang lebih tepat dari wilayah pengamatan yang lebih besar di
Bumi daripada yang pernah ada.
SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) merupakan citra yang saat ini
banyak digunakan untuk melihat secara cepat bentuk permukaan. SRTM adalah
data elevasi resolusi tinggi merepresentasikan topografi bumi dengan cakupan
global (80% luasan dunia), seperti yang disajikan pada Gambar 2.5 yang
merupakan contoh SRTM Pulau Bali. Data SRTM adalah data elevasi muka bumi
yang dihasilkan dari satelit yang diluncurkan NASA (National Aeronautics and
Space Administration). Data ini dapat digunakan untuk melengkapi informasi
ketinggian dari produk peta 2D, seperti kontur, profil. Ketelitian bisa mencapai 15
m dan berguna untuk pemetaan skala menengah sampai dengan skala tinggi
(Somantri, 2008).
14
SRTM memanfaatkan teknik yang disebut radar interferometri. Dalam
radar interferometri, dua gambar radar diambil dari lokasi yang sedikit berbeda.
Perbedaan antara gambar-gambar ini memungkinkan untuk perhitungan elevasi
permukaan, atau perubahan. Untuk mendapatkan dua gambar radar yang diambil
dari lokasi yang berbeda hardware SRTM terdiri dari satu antena radar di payload
shuttle bay dan antena radar kedua melekat pada ujung tiang diperpanjang 60
meter (195 kaki) dari pesawat (USGS, 2008)
Menurut Somantri (2008) alasan menggunakan SRTM dalam SIG tentu
karena kelebihannya. Beberapa kelebihan yang dimiliki SRTM antara lain:
1.
Gratis, merupakan kelebihan utama yang dimiliki SRTM. Siapa saja dan di
mana saja dapat mengunduh SRTM tanpa bayar.
2.
Digital. SRTM dapat di unduh dengan format HGT, ASCII, atau GEOTIFF,
kita bisa mengkonversi ke format yang diinginkan misalnya Grid ArcView
3.
Resoulsi. Resolusi tinggi untuk skala tinjau. Resolusi horizontal (yang bisa di
unduh untuk Indonesia) adalah 90m. Tentu saja dengan resolusi ini SRTM
tidak bisa digunakan untuk pemetaan secara detail.
Gambar 2.5. SRTM Yogyakarta (NASA, 2006)
2.1.1.5. Filtering
Filter merupakan mekanisme yang dapat mengubah sinyal optis,
elektronis, maupun digital, sesuai dengan kriteria tertentu. Sedangkan pemfilteran
adalah suatu cara untuk ekstraksi bagian data tertentu dari suatu himpunan data,
15
dengan menghilangkan bagian – bagian data yang tidak diinginkan ( Swain dan
Davis, 1978). Filter dalam pengolahan citra (secara khusus disebut filter digital)
dirancang untuk ‘menyaring’ informasi spectral sehingga menghasilkan citra baru
yang mempunyai variasi nilai spektral yang berbeda dari citra asli (Danoedoro,
2012). Pemfilteran merupakan teknik penonjolan (dan sekaligus penghilangan)
variasi spektral tertentu, sehingga menghasilkan citra baru yang lebih ekspresif
dalam menonjolkan pola-pola tertentu, misalnya kelurusan, jaringan sungai,
ataupun jaringan jalan (Danoedoro, 2001). Gambar 2.6 menunjukkan arah
penajaman citra.
0
1
0
1
1
1
1
-4
1
1
-8
1
0
1
0
1
1
1
Gambar 2.6. Laplace arah x dan y (kiri) dan Laplace semua arah (kanan)
(Danoedoro, 2012)
2.1.2. Koreksi Geometrik
Menurut Mather (1987), koreksi geometrik adalah transformasi citra hasil
penginderaan jauh sehingga citra tersebut mempunyai sifat-sifat peta dalam
bentuk, skala dan proyeksi. Transformasi geometrik yang paling mendasar adalah
penempatan kembali posisi pixel sedemikian rupa, sehingga pada citra digital
yang tertransformasi dapat dilihat gambaran objek dipermukaan bumi yang
terekam sensor. Pengubahan bentuk kerangka liputan dari bujur sangkar menjadi
jajaran genjang merupakan hasil transformasi ini. Tahap ini diterapkan pada citra
digital mentah (langsung hasil perekaman satelit), dan merupakan koreksi
kesalahan geometrik sistematik.
Koreksi geometrik terjadi karena jarak wahana dengan objek yang jauh,
sehingga menimbulkan kesalahan geometrik. Koreksi geometrik dilakukan sesuai
dengan jenis atau penyebab kesalahannya, yaitu kesalahan sistematik dan
kesalahan random. Adapun koreksi geometrik ini memiliki tiga tujuan, yaitu :
a.Melakukan rektifikasi (perbaikan) dan restorasi (pemulihan) citra agar koordinat
citra sesuai dengan koordinat geografis
16
b.Registrasi
(mencocokkan)
posisi
citra
dengan
citra
lain
atau
mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau multitemporal.
c. Registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta, yang
menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu.
Untuk mengurangi berbagai kesalahan geometrik, maka dilakukan koreksi
geometrik. Terdapat dua metode koreksi geometrik, masing-masing berfungsi
untuk mengeleminasi kesalahan sesuai dengan jenis kesalahan (kesalahan
sistematik dan kesalahan acak). Metode non-sistematik dipergunakan untuk
menghilangkan atau mengurangi kesalahan geometrik acak, besar kesalahan
geometriknya dapat diprediksi melalui matrik data atau tracking data dan analisis
titik kontrol tanah atau Ground Control Point (GCP) (Richards, 2006).
Dalam koreksi geometrik, dikenal ada 2 jenis metode koreksi, yaitu:
1. Metode Rektifikasi (Image to Map)
Rektifikasi adalah suatu proses melakukan transformasi data dari satu
sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi piksel
pada citra output tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka pikselpiksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus di-resampling
kembali. Resampling citra merupakan suatu proses transformasi dengan cara
memberikan nilai pixel citra terkoreksi. Pelaksanaan resampling dilakukan dengan
proses transformasi dari suatu sistem koordinat yang satu ke sistem koordinat
yang lain, proses transformasi ini disebut dengan registrasi citra (Jaya, 2006).
Rektifikasi juga dapat diartikan sebagai pemberian koordinat pada citra
berdasarkan koordinat yang ada pada suatu peta yang mencakup area yang sama.
Bisa dilakukan dengan input titik control tanah atau rectification image to map
dan diperlukan peta (dengan sistem koordinat tertentu) atau kumpulan titik control
tanah untuk objek yang sudah diketahui pada citra. Ada beberapa alasan atau
pertimbangan, kenapa perlu melakukan rektifikasi, diantaranya adalah untuk:
1. Membandingkan 2 citra atau lebih untuk lokasi tertentu
2. Membangun SIG dan melakukan pemodelan spasial
3. Meletakkan lokasi-lokasi pengambilan “training area” sebelum melakukan
klasifikasi
17
4. Membuat peta dengan skala yang teliti
5. Melakukan overlay (tumpang susun) citra dengan data-data spasial lainnya
6. Membandingkan citra dengan data spasial lainnya yang mempunyai skala yang
berbeda.
7. Membuat mozaik citra
2. Metode Registrasi (image to Image)
Registrasi citra merupakan proses overlay dua atau lebih citra dengan
obyek yang sama, yang diambil pada waktu yang berbeda, dari sudut pandang
yang berbeda, dan atau oleh sensor yang berbeda pula (Zitova dan Flusser, 2003).
registrasi citra sebagai suatu proses pencarian transformasi yang paling cocok,
menurut beberapa ukuran kesamaan dari dua atau lebih gambar yang berbeda
dalam aspek tertentu tetapi pada dasarnya merupakan objek yang sama (Chahira
dkk, 2007). Proses menemukan kesesuaian antara satu set pixel dalam suatu
gambar dengan satu set piksel dalam gambar kedua, dimana kedua gambar
diperoleh dari lokasi yang sama tetapi diperoleh pada waktu yang berbeda,
menggunakan sensor yang berbeda dan memiliki sudut pandang yang berbeda
pula (Montoliu, 2009). Dibandingkan dengan rektifikasi, registrasi ini tidak
melakukan transformasi ke suatu koordinat sistem, dengan kata lain, registrasi
adalah suatu proses membuat suatu citra konform dengan citra lainnya, tanpa
melibatkan proses pemilihan sistem koordinat atau pun memberikan koordinat
pada citra berdasarkan koordinat yang ada pada citra lain (dengan cakupan area
yang sama) yang telah memiliki koordinat. Registrasi citra ke citra melibatkan
proses georeferensi apabila citra acuannya sudah di georeferensi, oleh karena itu
georeferensi semata-mata merubah sistem koordinat peta dalam file citra,
sedangakan grid dalam citra tidak berubah.
2.1.3. Interpretasi Citra
Interpretasi citra adalah perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra
dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek
tersebut. (Estes dan Simonett dalam Sutanto, 1994:7). Menurut Lintz Jr. dan
18
Simonett dalam Sutanto (1994:7), ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan
dalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra yaitu:
(1) Deteksi, adalah pengamatan adanya suatu objek
(2) Identifikasi, adalah upaya mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan
menggunakan keterangan yang cukup.
(3) Analisis, yaitu pengumpulan keterangan lebih lanjut.
Pengenalan obyek merupakan bagian paling vital dalam interpretasi citra.
Interpretasi citra dapat dilakukan secara visual maupun digital. Menurut Howard
dalam Somantri (2008) interpretasi visual adalah aktifitas visual untuk mengkaji
gambaran muka bumi yang tergambar pada citra untuk tujuan identifikasi objek
dan menilai maknanya. Kunci interpretasi citra mempunyai 8 (delapan) unsur,
yaitu: rona, warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, situs,asosiasi.
Foto udara sebagai citra tertua di dalam penginderaan jauh memiliki unsur
interpretasi yang paling lengkap dibandingkan unsur interpretaasi pada citra
lainnya. (Sutanto, 1994:121). Unsur interpretasi citra terdiri :
1. Rona dan Warna
Rona ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra,
sedangkan warna ialah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan
spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. Melihat gambar di
samping kita akan mengetahui bahwa gambar tersebut merupakan lokasi
semburan lumpur lapindo. Genangan lumpur bisa kita kenali dengan adanya
obyek yang berwarna keabu-abuan dengan rona cerah. Titik semburan lumpur
pun bisa kita kenali dengan warna putih dan rona yang lebih cerah yang ada di
tengah-tengah genangan lumpur. Daerah yang belum tergenang oleh lumpur
juga bisa kita kenali dengan adanya objek berwarna hijau, yang menandakan
masih adanya vegetasi yang hidup.
2. Bentuk
Merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka
suatu obyek. Kita bisa adanya objek stadion sepakbola pada suatu foto udara
dari adanya bentuk persegi panjang. demikian pula kita bisa mengenali gunung
api dari bentuknya yang cembung.
19
3. Ukuran
Atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume.
Ukuran meliputi dimensi panjang, luas, tinggi, kemirigan, dan volume suatu
objek. Perhatikan gambar lokasi semburan lumpur di atas; ada banyak objek
berbentuk kotak-kotak kecil. Kita bisa membedakan mana objek yang
merupakan rumah, gedung sekolah, atau pabrik berdasarkan ukurannya.
4. Tekstur
Frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok obyek
yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Untuk lebih memahami,
berikut akan digambarkan perbedaan tekstur berbagai benda.
5. Pola
Pola atau susunan keruagan merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek
bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah.
6. Bayangan
Bayangan sering menjadi kuci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek
dengan karakteristik tertentu, seperti cerobong asap, menara, tangki minyak,
dan lain-lain. Jika objek menara disamping diambil tegak lurus tepat dari atas,
kita tidak bisa langsung mengidentifikasi objek tersebut. Maka untuk
mengenali bahwa objek tersebut berupa menara adalah dengan melihat
banyangannya.
7. Situs
Menurut Estes dan Simonett, Situs adalah letak suatu obyek terhadap obyek
lain di sekitarnya. Situs juga diartikan sebagai letak obyek terhadap bentang
darat, seperti situs suatu obyek di rawa, di puncak bukit yang kering, dan
sebagainya. Itulah sebabnya, site dapat untuk melakukan penarikan kesimpulan
(deduksi) terhadap spesies dari vegetasi di sekitarnya. Banyak tumbuhan yang
secara karekteristik terikat dengan site tertentu tersebut. Misalnya hutan bakau
ditandai dengan rona yang telap, atau lokasinya yang berada di tepi pantai.
Kebun kopi ditandai dengan jarak tanamannya, atau lokasinya yaitu ditanam di
daerah bergradien miring/pegunungan.
20
8. Asosiasi
Keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Karena adanya
keterkaitan ini maka terlihatnya suatu obyek pada citra sering merupakan
petunjuk bagi adanya obyek lain. Misalnya fasilitas listrik yang besar sering
menjadi petunjuk bagi jenis pabrik alumunium. gedung sekolah berbeda
dengan rumah ibadah, rumah sakit, dan sebagainya karena sekolah biasanya
ditandai dengan adanya lapangan olah raga. Kunci interpretasi yang digunakan
dalam interpretasi visual diterangkan dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Unsur Interpretasi
Keterangan
Unsur
Interpretasi
Rona
Tingkat kegelapan atau kecerahan objek pada citra
Warna
Warna merupakan ciri fisik suatu objek yang dihasilkan
atau ditimbulkan oleh suatu jenis pigmen(unsur warna)
tertentu, misalnya hijau, merah, biru, dan lain lain.
Ukuran
Ukuran obejek dibedakan menjadi dua, yautu ukuran absolut
dan ukuran relative
Bentuk merupakan gambaran nyata dari obyek yang
digambarakan sesuai dengan obyek sebenarnya.
Tekstur merupakan frekuensi perubahan tone yang dihasilkan
pada potret yang dihasikan dari agregat obyek-obyek yang
kecil yang diletakkan satu persatu
Pola merupakan karakteristik makro yang digunakan
untuk menggambarkan susunan spasial dari obyek pada
tubuh potret, termasuk pengulangan obyek alam
Bentuk
Tekstur
Pola
Situs
Asosiasi
Situs merupakan elemen penting dalam interpretasi karena
sangat membantu untuk memastikan jenis obyek dalam
kegiatan interpretasi pada potret guna mempertahankan
eksistensinya di permukaan bumi sehingga setiap obyek baik
secara alami
Asosiasi adalah hubungan antara obyek yang satu dengan
yang lainnya. Asosiasi merupakan pengenalan obyek
yang dapat diketahui secara pasti maka pasanagn obyek
yang berasosiasi dengan obyek tersebut dapat diketahui
dengan pasti.
Sumber : Venus, 2008.
21
2.1.4. Dip dan Strike
Salah satu kesan yang akan muncul ketika membaca peta geologi adalah
jurus (strike) dan kemiringan (dip) pelapisan batuan. Arah garis perpotongan
bidang di alam dengan bidang horizontal yang dinyatakan terhadap arah utara
disebut dengan jurus (strike) (Endarto, 2005). Strike merupakan arah garis
perpotongan bidang di alam dengan bidang horizontal, sedangkan dip
(kemiringan) merupakan sudut terbesar antara bidang miring di alam dengan
bidang horizontal (Magetsari, 2004).
2.1.5. Sesar/Patahan
Sesar/Patahan (Faults) adalah rekahan yang telah mengalami pergeseran
atau perpindahan tempat atau dislokasi atau disposisi atau displacement karena
adanya pengaruh gaya–gaya endogen baik tekanan maupun tarikan. Umumnya
disertai oleh struktur yang lain seperti lipatan, kekar dsb (Ragan,1973). Menurut
Hendrajaya dan Simpen (1993), bahwa sesar adalah struktur geologi yang
terbentuk karena terdapatnya dislokasi atau patahan yang memotong bidangbidang perlapisan antar batuan. Pada umumnya bidang sesar terisi oleh fluida atau
mineral yang relatif lebih kondusif dari batuan sekitarnya. Hal ini akan
mengakibatkan penurunan resistivitas. Jadi pada sesar/patahan akan mempunyai
resistivitas yang relatif lebih rendah dari daerah sekitarnya.
Secara umum ada 3 (tiga) kelompok sesar utama, yaitu sesar naik, sesar
normal dan sesar mendatar. Terdapat satu jenis sesar lainnya, yaitu sesar miring
(Oblique fault), yang merupakan kombinasi dari beberapa jenis sesar.
Terbentuknya struktur sesar di suatu daerah umumnya tidak tunggal, artinya suatu
sesar yang terbentuk akibat tektonik (waktu dan tempatnya sama) disuatu daerah
selalu terjadi lebih dari satu jalur sesar dengan ukuran yang bervariasi. Kelompok
struktur sesar demikian dinamakan sistem sesar. Gambar 2.7 menunjukkan salah
satu contoh sesar geser. Sesar ditemukan pada bentuklahan structural yang dapat
terjadi akibat gaya yang bekerja pada lempang bumi. Sesar/patahan merupakan
zona lemah yang rentan menimbulkan kejadian bencana seperti gempa dan
longsor.
22
Gambar 2.7. Piqiang Fault (NASA, 2003)
1. Sesar/Patahan Naik
Sesar naik atau Thrust fault, terjadi apabila hanging wall (blok yang
berada diatas bidang sesar) relatif bergerak naik terhadap foot wall (blok yang
berada dibawah bidang sesar). Berdasarkan sistem tegasan pembentuk sesarnya,
posisi tegasan utama dan tegasan minimum adalah horizontal dan tegasan
menengah adalah vertikal. Gambaran mengenai sesar naik ditunjukkan pada
Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Patahan/sesar Naik (U.S. Geological Survey image, 2014)
Umumnya sesar naik tidak pernah berdiri sendiri atau berkembang
tunggal. Sesar selalu membentuk suatu zona (fault zone), sehingga pada zona
sesar dijumpai sejumlah bidang sesar. Masing-masing bidang sesar tersebut
membentuk pola yang sama, yaitu bidang sesar umumnya memiliki arah
23
kemiringan yang sama dan arah jalur sesarnya relatif sama. Sejumlah sesar naik
(Thrust zone) yang terbentuk pada periode tektonik yang sama dinamakan sebagai
Thrust Systems (Boyer dan Elliott, 1982).
2. Sesar Normal/turun
Sesar normal (Ekstensional fault) terbentuk akibat adanya tegasan
ekstensional (gaya tarikan), sehingga pada bagian tertentu gaya gravitasi lebih
dominan. Kondisi ini mengakibatkan dibeberapa bagian tubuh batuan akan
bergerak turun yang selanjutnya lazim dikenal sebagai proses pembentukan sesar
normal.
Sesar normal terjadi apabila Hanging wall relatif bergerak ke bawah
terhadap foot wall. Gerak sesar normal ini dapat murni tegak atau disertai oleh
gerak lateral (sinistral atau dekstral). Sistem tegasan pembentuk sesar normal
adalah ekstensional, dimana posisi tegasan utamanya vertikal sedangkan
kedudukan tegasan menengah dan minimum adalah lateral. Sesar normal
umumnya terbentuk lebih dari satu bidang yang posisinya relatif saling sejajar.
Apabila bidang sesarnya lebih dari satu buah, maka bagian yang tinggi dinamakan
sebagai horst dan bagian yang rendah dinamakan sebagai graben. Gambar 2.9
merupakan contoh patahan/sesar normal.
Gambar 2.9. Sesar/Patahan Normal (U.S. Geological Survey image, 2014)
Mengenai hanging wall dan foot wall, serta perbedaan sesar naik (Reserve/thrust
fault) dan sesar normal (normal fault), digambarkan pada Gambar 2.10.
24
Gambar 2.10. Hanging Wall dan Foot Wall (USC, 2010)
3. Sesar Mendatar
Sesar mendatar (Strike slip fault) adalah sesar yang pembentukannya
dipengaruhi oleh tegasan kompresi. Posisi tegasan utama pembentuk sesar ini
adalah horizontal, sama dengan posisi tegasan minimumnya, sedangkan posisi
tegasan menengah adalah vertikal. Contoh patahan/sesar mendatar ditunjukkan
pada Gambar 2.11. Umumnya bidang sesar mendatar digambarkan sebagai bidang
vertikal, sehingga istilah hanging wall dan foot wall tidak lazim digunakan di
dalam sistem sesar ini. Berdasarkan gerak relatifnya, sesar ini dibedakan menjadi
sinistral (mengiri) dan dekstral (menganan). Moody dan Hill (1956), membuat
model pembentukan sesar mendatar yang dikaitkan dengan sistem tegasan. Di
dalam model tersebut dijelaskan bahwa sesar orde I membentuk sudut kurang
lebih 30 terhadap tegasan utama. Sesar orde I baik dekstral maupun sinistral
merupakan sesar utama yang pembentukannya dapat terjadi bersamaan atau salah
satu saja. Selanjutnya sesar orde II mempunyai ukuran yang lebih kecil dan
membentuk sudut tertentu terhadap sesar orde I. Lebih lanjut lagi dijumpai orde
sesar yang lebih kecil lagi.
25
Gambar 2.11. Patahan/sesar Mendatar (U.S. Geological Survey image, 2014)
2.1.6. Batuan (Litologi)
Batuan merupakan materi mineral, baik yang kompak maupun yang tidak
yang membentuk bagian kerak bumi. Materi penyusun batuan terdiri dari satu
jenis mineral maupun kumpulan dari beberapa mineral (Whitten dan brooks, 1972
dalam Soetoto, 2013). Batuan tidak selalu kompak dan keras, Lumpur, pasir, dan
tanah liat (lempung) termasuk batuan. Batuan dibagi menjadi tiga jenis
berdasarkan cara pembentukannya di alam, yaitu :
1. Batuan Beku
Batuan beku merupakan jenis batuan yang terbentuk langsung dari
pembekuan magma. Magma adalah zat cair-pijar merupakan senyawa silikat dan
berada dibawah tekanan dan suhu tinggi (Soetoto, 2013). Batuan beku dapat
ditemukan di bentuklahan asal proses gunung api (vulkanik). Berdasarkan letak
pembekuan magma, batuan beku dapat dibagi menjadi batuan beku luar dan
batuan beku dalam.
Batuan beku luar terbentuk dari magma yang membeku diatas permukaan
bumi. Batuan beku luar yang merupakan hasil lelehan disebut lava, sedangkan
yang merupakan hasil letusan disebut dengan batuan piroklastik (tuff halus, tuff
kasar, tuff lapili, breksi vulkanik, dan aglomerat. Batuan beku dalam terbentuk
karena pembekuan magma yang terjadi di bawah permukaan bumi (Soetoto,
2013).
26
2. Batuan Sedimen
Batuan sedimen terbentuk dari pembatuan atau lithifikasi hancuran
batuan lain atau lithifikasi hasil rekasi kimia atau biokimia. Berdasarkan tempat
pengendapannya, batuan sedimen dibagi kedalam enam jenis :
- Batuan sedimen teristris
: diendapkan di darat.
- Batuan sedimen marine
: diendapkan di laut.
- Batuan sedimen limnis
: diendapkan di danau.
- Batuan sedimen fluvial
: diendapkan di sungai.
- Batuan seidmen glasial
: diendapkan di daerah es/gletser.
- Batuan sedimen koluvial : terendapkan oleh gaya gravitasi bumi.
Berdasarkan asal dan cara terbentuknya maka tekstur batuan sedimen dibagi
menjadi tekstur klastik (tersusun dari hasil hancuran batuan lain yang sudah ada
lebih dulu) dan nonklastik (terbentuk oleh hasil reaksi kimia tertentu, baik yang
bersifat anorganik maupun biologik).
3. Batuan Metamorf
Batuan metamorf merupakan batuan yang berubah karena faktor
bertambahnya tekanan dan temperatur (J.A. Katili dan Marks, 1963). Perubahan
dalam batuan metamorf adalah kristalisasi baru.
2.1.7. Gempa Bumi
Menurut Howel (1969) Gempa bumi adalah getaran atau serentetan
getaran dari kulit Bumi yang bersifat tidak abadi dan kemudian menyebar ke
segala arah. Peristiwa bergetarnya permukaan bumi diakibatkan pelepasan energi
dari dalam bumi secara tiba tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan
pada permukaan bumi. Lokasi gempa bumi dinyatakan dengan Epicentrum dan
Hipocentrum yang disajikan dalam Gambar 2.12.
27
Gambar 2.12. Epicentrum dan Hipocentrum Gempa Bumi (Hartono, 2007)
Menurut Hartono (2007) Gempa bumi dapat diklasifikasikan menurut
faktor penyebabnya, antara lain sebagai berikut :
1. Gempa Bumi Runtuhan (Fall Earthquake)
Terjadi akibat runtuhnya batu raksasa di sisi gunung, atau diakibatkan
runtuhnya gua gua besar. Radius getarannya idak begitu luas dan tidak begitu
terasa di tempat jauh.
2. Gempa Bumi Vulkanik (Volcanic Earthquake)
Terjadi akibat adanya aktivitas gunung api. Dalam banyak peristiwa, gempa
bumi ini mendahului terjadinya erupsi gunungapi, tetapi lebih sering terjadi
dalam waktu bersamaan. Getaran gempa vulkanik lebih terasa jika
dibandingkan getaran gempa runtuhan, getarannya terasa di daerah yang lebih
luas.
3. Gempa Bumi Tektonik (Tectonic Earthquake)
Terjadi akibat proses tektonik di dalam litosfer yang berupa pergeseran lapisan
batuan. Gempa ini memiliki kekuatan yang sangat besar dan sebarannya
meliputi daerah sangat luas, salah satu contohnya seperti gempa bumi yang
terjadi di Aceh.
Kekuatan gempa yang ditimbulkan dapat diukur dan dibuat skala.
Berdasarkan skala tersebut orang dapat membedakan gempa bumi yang lemah dan
gempa bumi yang kuat. Pengukuran tersebut sangat penting artinya, antara lain
untuk menentukan kualitas bangunan tahan gempa. Skala untuk mengukur
kekuatan gempa yang terkenal adalah Skala Richter. Richter menentukan dasar
skalanya pada magnitudo dengan menggunakan rentang angka 0 – 9, semakin
28
besar angka maka semakin besar magnitudonya yang disajikan pada Tabel 2.3.
Untuk mengukur kekuatan gempa dipergunakan alat yang namanya Seismograf.
Tabel 2.3. Skala Gempa Menurut Richter
Magniudo Keterangan
Rata-Rata
per Tahun
Klasiikasi Umum
0 - 1.9
-
700.000 Goncangan Kecil (Small shocked earthquake)
2 - 2.9
-
300.000 Goncangan Kecil (Small shocked earthquake)
3 - 3.9
Kecil
4 - 4.9
Ringan
5 - 5.9
Sedang
800 Gempa Destruktif (Destructive Earthquake)
6 - 6.9
Kuat
120 Gempa Destruktif (Destructive Earthquake)
7 - 7.9
Besar
8 8.9
Dahsyat
40.000 Gempa Keras (Strongly Felt Earthquake)
6.200 Gempa Merusak (Damaging Earthquake)
18 Gempa Besar (Major Earthquake)
1 dalam 10
- 20 tahun
Great Earthquake
Sumber : Hartono, 2007
2.1.7.1. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi
Tipologi kawasan adalah penggolongan kawasan sesuai dengan karakter
dan kualitas kawasan, lingkungan, pemanfaatan ruang, penyediaan prasarana dan
sarana lingkungan, yang terdiri dari kawasan mantap, dinamis, dan peralihan.
Berdasarkan acuan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 21 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi, tipe
kawasan rawan gempa bumi ditentukan berdasarkan tingkat risiko gempa yang
didasarkan pada informasi geologi dan penilaian kestabilan. Berdasarkan hal
tersebut, maka kawasan rawan gempa bumi kemudian dibedakan menjadi (6)
enam tipe kawasan sebagai berikut:
a. Tipe A
Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran
gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling
melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila
intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek
merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat.
29
b. Tipe B
1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini
tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari
satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI
VIII) dan sifat fisik batuan menengah.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk
bangunan dengan konstruksi sederhana.
c. Tipe C
1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan
tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas
gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik
batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak.
2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan
dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona
sesar.
d. Tipe D
1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang
saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan denganzona sesar
merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan lemah,
intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi landaan
tsunami cukup merusak.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan
dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.
e. Tipe E
1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang
dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat
berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan
kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
30
f. Tipe F
1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di
sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan
episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan
sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam sampai
dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
2.2. Kerangka Pemikiran
Gempa bumi merupakan salah satu bencana yang banyak terjadi di
Indonesia, karena letak Indonesia yang berada di pertemuan tiga lempeng besar
litosfer. Data mengenai gempa bumi menjadi penting sebagai pertimbangan dalam
pengambilan keputusan
untuk kegiatan mitigasi bencana dalam upaya
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat gempa bumi.
Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi banyak
dimanfaatkan dalam pemetaan kebencanaan. Penginderaan jauh dapat digunakan
dalam mengekstraksi parameter-parameter yang mempengaruhi kerawanan suatu
daerah terhadap bencana gempabumi, seperti penggunaan lahan, identifikasi sesar,
dan lain lain, sementara sistem informasi geografi dapat dimanfaatkan dalam
menganalisis tingkat kerawanan dan dampak yang ditimbulkan dari bencana
gempabumi tersebut. Dengan menggunakan Penginderaan Jauh maka tidak perlu
banyak dilakukan kegiatan lapangan sehingga lebih menghemat waktu dan biaya
yang digunakan dalam kegiatan penelitian.
Salah satu acuan yang digunakan dalam penentuan tipologi kawasan rawan
bencana gempabumi adalah menggunakan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum
No 21 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api
dan Gempa Bumi yang memberikan acuan dalam penentuan kawasan yang
berpotensi menimbulkan letusan gunung berapi dan gempabumi berdasarkan
pertimbangan karakteristik fisik alami dan aktifitas manusia yang memberi
dampak terjadinya letusan gunung berapi dan gempabumi, dalam keputusan
31
menteri tersebut terutama mengatur tipologi gempa bumi yang disebabkan oleh
aktivitas patahan.
Data yang digunakan dalam penentian tipe kawasan rawan bencana
berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan Gempa Bumi dapat
diekstrak dari data Penginderaan Jauh. Data terebut adalah lokasi patahan/sesar
dan jenis batuan yang dapat diidentifikasi melalui citra satelit landsat 8, lokasi
patahan/sesar digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan terhadap
gempabumi berdasarkan jarak terhadap patahan/sesar, data lainnya yang
digunakan adalah data kegempaan untuk mengetahui gempa puncak yang terjadi,
data SRTM untuk mengetahui kemiringan lereng, dan peta geologi untuk
membantu dalam mengetahui jenis batuan. Diagram alir kerangka pemikiran
disajikan pada Gambar 2.13.
Citra
Landsat 8
Peta
Geologi
SRTM
Data
Sekunder
Identifikasi
Sesar
Jarak Terhadap
Sesar
Kemiringan
Lereng
Jenis
Batuan
Data Gempa
Puncak
Pembobotan
Faktor Rawan
Gempa
Penentuan
Tipologi Rawan
Gempabumi
Peta
Kerusakan
Bangunan
Gambar 2.13. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
2.3. Telaah Penelitian Sebelumnya
Malik (2010) menggunakan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 21
tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api dan
32
Gempa Bumi sebagai acuan dalam penentuan tipologi kawasan rawan gempa
bumi di Kecamatan Pangelangan, Kabupaten Bandung. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengidentifikasi dampak kerusakan bangunan akibat gempa bumi
Tasikmalaya 2 September 2000, mengidentifikasi faktor fisik dan social yang
menimbulkan kerawanan, serta menentukan tipologi kerawanan gempa bumi di
Kecamatan Pangelangan, sehingga dapat diketahui dampak yang ditimbulkan oleh
kejadian bencana gempa bumi terhadap bangunan, faktor yang mempengaruhi
kerawanan wilayah Kecamatan Pangelangan terhadap bencana gempa bumi, dan
kerawanan sosial mayarakat.
Metode yang digunakan adalah survey dengan kegiatan observasi ke
lapangan untuk memperoleh data primer di lapangan, yang berupa gambaran fisik
dan sosial daerah yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi Tasikmalaya.
Data sekunder dikaji dari literatur yang terkait dengan permasalahan yang diteliti,
berupa dokumen regulasi, hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait dengan lokasi
penelitian, interpretasi dan analisis Peta Geologi, Peta Rupabumi, dan Citra
Satelit.
Penelitian ini menghasilkan deskripsi klasifikasi kerawanan dan tipologi
kawasan rawan gempa bumi, deskripsi kondisi fisik lahan secara geologis,
deskripsi faktor sosial. Jenis batuan dengan sifat fisik lemah, dekat dengan zona
sesar, kemiringan lereng curam, dan intensitas gempa yang tinggi, setelah
dilakukan penilaian tingkat kemampuan lahan, maka termasuk kedalam kategori
lahan kurang stabil dengan tipologi kawasan rawan bencana gempa bumi tipe C
yang berarti secara geologis rawan terhadap bencana gempa bumi. Selain itu
kondisi rumah tidak ramah gempa, pola permukiman mengelompok, tingkat
kepadatan penduduk dan pengetahuan masyarakat tentang bencana yang masih
kurang, turut memberikan andil terhadap tingkat kerusakan.
Asadulloh (2014) Penelitian dengan judul Penentuan Tingkat Kestabilan
Tanah dan Tipologi Wilayah Gempa Bumi berdasarkan Faktor Geologi di
Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta bertujuan untuk mengetahui
tingkat kestabilan tanah dan tipologi wilayah rawan gempa bumi berdasarkan
faktor geologi di Kabupaten Kulon Progo. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum
33
No. 21 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan
Gunung Api dan Gempa Bumi digunakan sebagai acuan dalam mengkonversi
nilai percepatan tanah maksimum menjadi bentuk faktor kegempaan yang terdapat
dalam pembobotan kestabilan wilayah. Metode yang digunakan adalah Analisis
data mikrotremor dengan menggunakan Horizontal to Vertical Spectral Ratio
(HVSR) untuk mendapatkan frekuensi predominan dan faktor amplifikasi. Untuk
memperoleh nilai percepatan maksimum maka dilakukan pengolahan hasil
analisis mikrotremor menggunakan metode Kanai. Data mikrometer diambil dari
38 titik pengukuran.
Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat kestabilan tanah yang stabil dan
kurang stabil di Kabupaten Kuloprogo. Tingkat kestabilan tanah stabil berada di
Kecamatan Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo, Kokap, Wates, Temon, dan
Panjatan. Sedangkan tingkat kestabilan tanah yang tergolong kurang stabil berada
di Kecamatan Sentolo, Lendah, dan Pengasih. Kabupaten Kulon Progo memiliki
tipologi wilayah rawan gempa bumi jenis A & B. Seluruh wilayah di Kabupaten
Kulon Progo tergolong tipologi jenis A, kecuali di sebagian wilayah Kecamatan
Lendah dan Sentolo. Tipologi wilayah rawan gempa bumi jenis B berada di
sebagian Kecamatan Lendah dan Sentolo.
Somantri (2008) dengan penelitian Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh
untuk Mengidentifikasi Patahan Lembang dengan tujuan mengetahui kenampakan
patahan pada citra Landsat 7 dan SRTM. Metode yang digunakan adalah
interpretasi visual pada citra Landsat 7. Untuk menonjolkan informasi geologi
maka dilakukan pengolahan citra yaitu dengan penyusunan komposit 732. Patahan
lembang merupakan patahan yang terlihat jelas baik di lapangan maupun pada
citra satelit, sehingga tidak perlu menggunakan banyak tahapan pengolahan citra,
karena cukup mudah untuk mengidentifikasinya melalui citra satelit. Hasil yang
diperoleh berupa lokasi patahan Lembang yang diinterpretasi dari citra Landsat
dan SRTM, patahan lembang membujur dengan arah relatif barat – timur. Garis
kontur yang terdapat di dalam citra SRTM digunakan untuk mengetahui
ketinggian di lokasi patahan tersebut.
34
Fashihullisan dkk (2009) dengan penelitian Identifikasi Daerah Sesar dan
Intrusi Berdasarkan Perbandingan Antara Filter dan Mapping Regional Magnetik
Daerah Garut, Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui daerah sesar
dan intrusi. Identifikasi sesar dan intrusi diidentifikasi menggunakan interpretasi
profil peta intensitas magnet total yang dibandingkan dengan filter filter data
magnet untuk mengetahui dengan pasti posisi dari patahan dan intrusi tersebut.
Dengan metode survey regional magnetik, maka akan dapat diketahui pemetaan
pola anomaly magnet dengan efisien dan mampu terintegrasi dengan baik. Metode
ini mampu menjadi acuan dalam survey detail geologi dan geofisika.
Hasil yang didapatkan adalah peta pola sesar dan intrusi. Area A
menunjukan pola sesar sepanjang arah barat ke timur, ditunjukan dengan
konsistensi pada pola anomali setiap filter. Area D mengidentifikasikan pola sesar
utara selatan, ditunjukan dengan sinkronasi semua pola filter dan kenampakan
permukaan. Area F menunjukan pola intusif dipermukaan datar dengan pola
anomaly tinggi dikelilingi pola anomali rendah. Pola Analytic-signal berkorelasi
dengan baik dengan RTP (reduce to magnetic polar) pada pola anomaly utaraselatan saja, sedangkan pada pola barat – timur korelasinya dengan mapping TMI
(Total Magnetic Intensity).
Nurwidyanto, dkk (2007) dengan penelitian berjudul Pemetaan Sesar Opak
dengan Metode Gravity (Studi Kasus Daerah Parang-Tritis dan Sekitarnya) yang
bertujuan mengetahui lokasi sesar opak berdasarkan metode gravity. Identifikasi
lokasi patahan dilakukan dengan mengukur gravitasi di daerah penelitian melalui
daerah sesar opak yang tertian dalam peta geologi yang dikeluarkan oleh P3G
Bandung. Selain pengukuran dip dan strike dilakukan untuk mengetahui arah
pelapisan pada singkapan batuan dengan menggunakan kompas geologi.
Persebaran jenis batuan dan lokasi sesar opak dilihat melalui peta geologi.
Pengukuran ini dilakukan pada setiap harinya sehingga menghasilkan data harian
yang meliputi lokasi koordinat titik pengukuran (GPS), waktu pengukuran (arloji)
dan nilai gravitasi medan. Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak
Magmap 2000, Magpick dan Mag2DC, dan Geomodel. Nilai gravitasi tersebut
dilakukan koreksi sehingga menghasilkan nilai ABL (Anomaly Bouger Lengkap).
35
Kemudian dibuat model bawah permukaan dengan menggunakan perangkat lunak
Grav2DC.
Hasil yang di dapatkan berupa nilai kontur di wilayah tengah daerah kajian
bernilai 130 mgal – 160 mgal, hal ini bias berasosiasi dengan intrusi batuan beku
atau sesar, sedangkan di bagian kanan dan kiri mempunyai nilai ABL yang lebih
rendah yaitu sebesar 110 mgal – 130 mgal. Berdasarkan pola kerapatan kontur
ABL, dan kemenerusan kontur diperkirakan keberadaan sesar di sebelah kanan
dan kiri daerah kaian pada kontur 130 mgal. Dari hasil pemodelan diketahui
adanya dua sesar besar yaitu berada di barat sungai Opak yang di sebut sesar opak
dan di timur sungai opak yang disebut sesar parangkusumo. Tabel 2.4 menyajikan
informasi
mengenai
perbandingan
penelitian
yang
sebelumnya.
36
Tabel 2.4. Perbandingan Penelitian Sebelumnya
No
1.
2.
3.
Penulis/Judul
Tujuan
Yakub Malik. 2010. Penentuan 1. Mengidentifikasi dampak
Tipologi
Kawasan
Rawan
krusakan bangunan akibat
Gempa Bumi di Kecamatan
gempabumi tasikmalaya 2
Pangelangan. Jurnal Geografi
September 2009
GEA,Vol.10 No.28. Jurusan 2. Mengidentifikasi
Faktor
Pendidikan Geografi FPIPS UPI.
fisik dan sosial yang
Bandung
menimbulkan kerawanan
3. Menentukan
tipologi
kerawanan gempa bumi
untuk mitigasi bencana
Asadulloh. 2014.
Penentuan 1. Mengetahui
tingkat
Tingkat Kestabilan Tanah dan
kestabilan tanah dan tipologi
Tipologi Wilayah Gempa Bumi
wilayah rawan gempa bumi
berdasarkan Faktor Geologi di
berdasarkan faktor geologi
Kabupaten Kulonprogo Daerah
di Kabupaten Kulon Progo
Istimewa Yogyakarta
Lili
Somantri.
2008.
Pemanfaatan Citra Penginderaan
Jauh untuk Mengidentifikasi
Patahan Lembang.
Metode
Hasil
Menggunakan
Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum
No. 21 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penataan Ruang
Kawasan Rawan Letusan
Gunung Api dan Gempa
Bumi
untuk menentukan
tipologi kawasan yang rawan
terhadap gempa bumi.
1. Deskripsi
dampak
kerusakan bangunan
2. Deskripsi Kerawanan
Fisik Lahan
3. Deskripsi Kerawanan
Sosial-Masyarakat
Keputusan Menteri Pekerjaan 1. Deskripsi
tingkat
Umum No. 21 Tahun 2007
kestabilan tanah di
tentang Pedoman Penataan
Kabupaten
Ruang
Kawasan
Rawan
Kulonprogo.
Letusan Gunung Api dan
Gempa Bumi digunakan
sebagai
acuan
dalam
mengkonversi
nilai
percepatan tanah maksimum
menjadi
bentuk
faktor
kegempaan yang terdapat
dalam pembobotan kestabilan
wilayah
Mengetahui
kenampakan interpretasi visual pada citra Peta lokasi patahan
patahan pada citra Landsat 7 Landsat 7 komposit 732
lembang
pada
citra
dan SRTM
Landsat 7 dan citra
SRTM.
37
No
Penulis/Judul
4.
Lathief Fashihullisan dkk. 2009.
Identifikasi Daerah Sesar dan
Intrusi
Berdasarkan
Perbandingan Antara Filter dan
Mapping Regional Magnetik
Daerah Garut, Jawa Barat
5.
M.Irham Nurwidyanto, dkk.
2010. Pemetaan Sesar Opak
dengan Metode Gravity (Studi
Kasus Daerah Parang-Tritis dan
Sekitarnya). Pertemuan Ilmiah
XXIV Jateng dan DIY tahun
2010, hal 77 – 83.
Tujuan
Metode
Mengetahui daerah sesar dan Dengan
metode
survey
intrusi berdasarkan anomali regional magnetik, maka akan
magnetic
dapat diketahui pemetaan
pola anomaly magnet yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi daerah sesar
dan intrusi.
Mengetahui lokasi sesar Mengukur medan gravitasi di
opak berdasarkan metode daerah sesar opak yang telah
gravity
tertuang pada peta geologi
yang dikeluarkan oleh P3G
Bandung
untuk
mengiidentifikasi Sesar Opak,
dan perhitungan dip strike
Hasil
Peta lokasi sesar dan
intrusi di Daerah Garut,
Jawa Barat.
Lokasi
sesar
opak
berdasarkan
metode
gravity berada di sebelah
barat sesar opak yang
ditunjukkan pada peta
geologi
lembar
Yogyakarta
yang
dikeluarkan
P3G
Bandung
38
2.4. Batasan Operasional
Batuan
Materi mineral, baik yang kompak maupun yang tidak yang
membentuk bagian kerak bumi. Materi penyusun batuan
terdiri dari satu jenis mineral maupun kumpulan dari beberapa
mineral (Whitten dan brooks, 1972 dalam Soetoto, 2013).
Gempa bumi
Getaran atau serentetan getaran dari kulit Bumi yang bersifat
tidak abadi dan kemudian menyebar ke segala arah
(Howel,1969).
Interpretasi Visual
Aktifitas visual untuk mengkaji gambaran muka bumi yang
tergambar pada citra untuk tujuan identifikasi objek dan
menilai maknanya (Howard dalam Somantri, 2008).
Jurus (strike)
Arah garis perpotongan bidang di alam dengan bidang
horizontal yang dinyatakan terhadap arah utara disebut
dengan (Endarto, 2005).
Kemiringan (dip)
Sudut terbesar antara bidang miring di alam dengan bidang
horizontal (Magetsari, 2004).
Koreksi Geometrik
Transformasi citra hasil penginderaan jauh sehingga citra
tersebut mempunyai sifat-sifat peta dalam bentuk, skala dan
proyeksi (Mather, 1987).
Pemfilteran
Suatu cara untuk ekstraksi bagian data tertentu dari suatu
himpunan data, dengan menghilangkan bagian – bagian data
yang tidak diinginkan ( Swain dan Davis, 1978).
Penginderaan jauh
Ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu
obyek, daerah fenomena melalui analisis data yang di peroleh
dengan suatu alat tanpa kotak langsung dengan obyek daerah
atau fenomena yang di kaji (Lilesand and Keifer, 1997).
Registrasi citra
Proses overlay dua atau lebih citra dengan obyek yang sama,
yang diambil pada waktu yang berbeda, dari sudut pandang
39
yang berbeda, dan atau oleh sensor yang berbeda pula (Zitova
dan Flusser, 2003).
Rektifikasi citra
Suatu proses melakukan transformasi data dari satu sistem
grid menggunakan suatu transformasi geometrik.
Resolusi
Kemampuan
suatu
sistem
optic
elektronik
dalam
membedakan informasi secara spasial (keruangan) berdekatan
atau secara spektral (sinar) mempunyai kemiripan (Swain dan
Davis, 1978).
Sesar/Patahan
Rekahan yang telah mengalami pergeseran atau perpindahan
tempat atau dislokasi atau disposisi atau displacement karena
adanya pengaruh gaya–gaya endogen baik tekanan maupun
tarikan. Umumnya disertai oleh struktur yang lain seperti
lipatan, kekar dsb (Ragan,1973).
Sesar mendatar
(Strike slip fault) adalah sesar yang pembentukannya
dipengaruhi oleh tegasan kompresi.
Sesar naik
(Thrust fault) terjadi apabila hanging wall relatif bergerak
naik terhadap foot wall.
Sesar normal
(Ekstensional Fault) Hanging wall relatif bergerak ke bawah
terhadap foot wall
SRTM
Shuttle Radar Topography Mission adalah alat yang terpasang
pada pesawat ulang-alik dan memperoleh data permukaan
bumi dengan teknologi penginderaan jauh menggunakan radar
aperture sintetis (JAXA, 1999).
Tipologi Kawasan
Penggolongan kawasan sesuai dengan karakter dan kualitas
kawasan, lingkungan, pemanfaatan ruang, penyediaan prasarana
dan sarana lingkungan, yang terdiri dari kawasan mantap,
dinamis, dan peralihan.
40
Download