REPRESENTASI GAMBARAN ALAM PADA PERWUJUDAN ARSITEKTUR PADMASANA I Nyoman Widya Paramadhyaksa1 Abstrak The padmasana shrine is one of the main holy structures of Balinese Hindu. This shrine has various ornaments, decorative elements and other forms which have symbolic meanings. The symbolic contents in padmasana have got close relation with mythology and the concepts of Hindu teaching. Beside that, the concepts of architectural representation of padmasana also have a correlation with the nature representation of the earth. This article discusses about the representation of padmasana shrine as the symbol of mountain and the representation of nature on earth. Keywords: padmasana, Balinese Hindu shrine, ornament, representation, nature. 1. Pengantar Bangunan padmasana merupakan salah satu bentuk bangunan suci utama umat Hindu Bali. Bentuk bangunan semacam ini pertama kali diperkenalkan di Bali oleh Danghyang Nirartha yang datang ke Bali sekitar tahun 1489 Masehi (Soebandi, 1998: 31). Pada masa sekarang sudah tidak terhitung lagi jumlah padmasana dalam berbagai bentuk dan ukurannya di seluruh Bali. Bangunan padmasana difungsikan sebagai bangunan suci pemujaan Tuhan Yang Mahaesa sebagai penguasa alam semesta. Dalam beberapa buku, padmasana juga disebut sebagai bangunan suci pemujaan Dewa Siwa sebagai dewa matahari (cf. Stuart-Fox, 2002: 81). Bangunan ini dapat ditemukan dalam area paling utama kompleks bangunan pura (utama mandala) atau dalam zona-zona yang paling sakral pada suatu lahan. Bangunan padmasana memiliki karakteristik berupa bentuknya yang menyerupai tugu atau candi yang tinggi menjulang dan memiliki denah dasar berbentuk bujur sangkar. Pada bagian dasar bangunan terdapat ornamen bedawang nala, sedangkan pada bagian puncaknya terdapat sebentuk kursi singgasana kosong yang menghadap ke arah depan. Pada hampir seluruh bagian bangunan ini terdapat berbagai bentuk pahatan ragam hias yang memiliki kaitan erat dengan 1 Dosen Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Bali 1 mitologi dan ajaran Agama Hindu. Perwujudan bangunan padmasana juga merupakan representasi gambaran keadaan alam di bumi. Artikel ringkas ini membahas mengenai keterkaitan makna antara elemen-elemen pada perwujudan bangunan padmasana dengan gambaran alam nyata di bumi. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang diterapkan dalam kajian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu; observasi langsung terhadap duapuluh buah bangunan padmasana terdapat di lapangan, studi kepustakaan terhadap literatur-literatur yang berkenaan dengan padmasana, dan wawancara dengan beberapa informan. Keduapuluh bangunan padmasana yang dijadikan objek amatan, dipilih berdasarkan persebaran lokasi, bentuk, dan kelengkapan ornamennya. Metode analisis data yang diterapkan berupa kajian hermenetik yang pada dasarnya menafsirkan makna setiap elemen pada perwujudan arsitektur padmasana ditinjau dari keterkaitannya dengan konsep gambaran alam. Dalam melakukan penafsiran terhadap perwujudan padmasana ini, dilakukan pula beberapa pendekatan kajian yang berkenaan atas bentuk elemen-elemen padmasana, makna simbolis, dan keterkaitannya terhadap gambaran alam sebagai sumber inspirasi perwujudannya. 3. Deskripsi tentang Perwujudan Arsitektur Padmasana Kata ‘padmasana’ berasal dari dua kata dalam bahasa kawi, yaitu ‘padma’ yang merupakan nama jenis bunga teratai merah dan ‘asana’ yang berarti tempat duduk (Geertz, 2004: 117). Menurut Titib (2001: 106), padmasana selanjutnya diartikan sebagai sebuah tempat duduk atau singgasana berbentuk teratai merah bagi Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan. Dalam literatur2 literatur berbahasa Inggris, arsitektur padmasana sering kali disebutkan sebagai “the Balinese empty lotus throne-shrine” atau bangunan suci Hindu-Bali yang memiliki sebentuk kursi singgasana teratai yang kosong di bagian puncaknya (Forbes, 2007: 125). Perwujudan bangunan ini juga memiliki tiga buah tingkatan utama sesuai konsepsi tri angga dalam seni arsitektur tradisional Bali. Ketiga tingkatan tersebut yaitu tingkatan kaki bangunan (tepas), tingkatan badan bangunan (batur), dan tingkatan kepala atau puncak bangunan (sari) (Suendi, 2005: 65). Pada ketiga bagian utama tersebut terdapat berbagai bentuk, ornamen, dan elemen-elemen dekoratif yang terbuat dari pasangan bata merah, batu padas, atau batu-batu alam. Padmasana merupakan bentuk bangunan padma yang paling utama. Bangunan padma lainnya disebut dengan nama padmasari dan padmacapah. Bangunan suci jenis padmasari tidak dilengkapi dengan ornamen bedawang nala di dasar bangunannya. Padmacapah merupakan bangunan suci kelompok padma yang paling rendah dan sederhana. Bangunan suci semacam ini difungsikan untuk penghormatan berbagai kekuatan spirit alam yang lebih rendah. Sari Singgasana Sari Singgasana Karang manuk Angsa Karang simbar Garuda Batur Arca Batur Pepatran Karang bhoma Karang hasti Tepas Bedawang nala Gambar 1. Ornamen-ornamen pada Bagian Depan Padmasana Sumber: analisis, 2009 Tepas Bedawang nala Gambar 2. Ornamen-ornamen pada Bagian Belakang Padmasana Sumber: analisis, 2009 3 a. Bagian Kaki Bangunan (Tepas) Bagian kaki atau dasar padmasana berbentuk sebuah ornamen bernama bedawang nala. Ornamen ini berwujud seekor kura-kura raksasa dengan mulut dan bulu tengkuknya yang berapi. Kura-kura ini bernama bedawang yang umumnya diwujudkan dalam keadaan menganga yang memperlihatkan rongga mulut dan lidahnya yang berapi. Kura-kura bedawang diwujudkan “menyangga” seluruh bangunan padmasana di atas perisai punggungnya yang luas. Pada beberapa bangunan padmasana, kura-kura bedawang dibelit oleh seekor naga kosmik yang bernama naga basuki. Ada pula bangunan padmasana lainnya yang memiliki dasar bedawang nala berupa kura-kura bedawang yang sedang dibelit oleh dua ekor naga kosmik yang masing-masing bernama naga basuki dan naga anantabhoga (Stuart-Fox, 2002: 398). Basuki dan Anantabhoga umumnya diwujudkan sebagai dua naga bermahkota, berambut ikal lebat, bermata melotot, dan mulut menyeringai memperlihatkan gigi taringnya. Ada kalanya mata kedua naga ini digambarkan menatap tajam ke arah kedua mata bedawang. Fisik kedua naga yang saling berbelitan ini hanya dapat dibedakan berdasarkan adanya dua macam bentuk sisik naga yang masing-masing dimiliki oleh basuki dan anantabhoga. Hingga saat ini konsep tentang keberadaan seekor maupun dua ekor naga pembelit badawang di dasar padmasana merupakan dua konsep yang sama-sama tertera dalam lontar-lontar tradisional di Bali. Naga Ananthaboga Naga Basuki Kura-kura Bedawang Gambar 3. Ornamen Bedawang Nala Sumber: hasil survey, 2009 4 b. Bagian Badan Bangunan (Batur) Bagian badan padmasana terdiri atas bentuk tiga, lima, atau tujuh tingkatan kotak yang tersusun vertikal. Kotak-kotak tersebut disusun dari kotak dengan penampang terluas sebagai kotak terbawah, hingga kotak dengan penampang tersempit berada di bagian paling atas. Pada bagian ini dipahatkan berbagai macam ornamen berupa kekarangan, pepatran, dan beberapa figur tiga dimensi. Ornamen kekarangan yang lazim dipahatkan pada bagian batur padmasana yaitu karang hasti (ukiran kepala gajah), karang manuk (ukiran kepala burung), karang simbar (ukiran menyerupai kelopak), dan karang tapel (ukiran kedok wajah raksasa). Adapun pahatan pepatran merupakan ukiran yang bermotif tanaman-tanaman menjalar. Penempatan ornamenornamen ini mengikuti aturan tertentu seperti terlihat pada gambar 1. Gambar 4. Karang Hasti Sumber: survey, 2009 Gambar 5. Karang Manuk Sumber: survey, 2009 Gambar 6. Arca Dewata pada Bagian Batur Padmasana Sumber: survey, 2009 Pada bagian belakang dari batur bangunan padmasana, terdapat pula beberapa ornamen yang estetis dan bermakna simbolis (lihat gambar 2). Pada bagian batur terbawah terdapat ornamen karang bhoma yang berupa pahatan wajah raksasa. Ornamen ini memiliki berbagai bentuk varian yang sesuai kreativitas pemahatnya, seperti berbentuk relief wajah raksasa saja, berbentuk wajah raksasa dengan sepasang tangannya, atau berbentuk wajah raksasa dengan sepasang tangan dan sepasang sayap mengembang. Di atas relief karang bhoma terdapat pahatan tiga dimensi burung garuda wahana Dewa Wisnu. Pahatan ini pun memiliki berbagai varian, antara lain berwujud garuda saja, berwujud garuda dengan tangannya yang menggenggam vas 5 berisi amrta2, atau berwujud garuda yang ditunggangi Dewa Wisnu dengan amrta di tangannya. Di atas pahatan garuda terdapat pahatan tiga dimensi lainnya yang berbentuk seekor angsa yang sedang mengepakkan sayapnya. Pada bagian batur bangunan padmasana adakalanya pula ditemukan adanya beberapa arca dewata maupun tokoh-tokoh suci lainnya. Gambar 7. Ornamen Karang Bhoma Sumber: survey, 2009 Gambar 8. Ornamen Garuda Ditunggangi Wisnu Sumber: survey, 2009 Gambar 9. Ornamen Angsa Sumber: survey, 2009 c. Bagian Puncak Bangunan (Sari) Bagian puncak bangunan padmasana umumnya ditandai dengan adanya pahatan berbentuk bunga padma yang sedang mekar sempurna. Di atas bunga padma inilah terdapat sebentuk kursi singgasana kosong yang memiliki beberapa pahatan ornamen bermakna simbolis. Pada kedua lengan kursi singgasana ini dipahatkan figur sepasang naga bersayap yang merupakan perwujudan Naga Taksaka dengan istrinya (lihat gambar 10). Pada beberapa padmasana, figur sepasang naga bersayap ini digantikan oleh figur sepasang makara atau pahatan tanaman menjalar. Di bagian depan sandaran kursi singgasana ini dipahatkan relief acintya sebagai simbolisasi sifat Tuhan yang tidak terpikirkan (Nala, 1993: 116). 2 Amrta adalah air suci kehidupan abadi yang diperebutkan oleh para dewata dan para raksasa. 6 Gambar 10. Singgasana dengan Sepasang Naga Gambar 11. Singgasana dengan Sepasang Makara Sumber: survey, 2009 Sumber: survey, 2009 Gambar 12. Relief Acintya pada Singgasana Sumber: survey, 2009 4. Mitologi Pemutaran Gunung Mandara sebagai Latar Belakang Perwujudan Padmasana Perwujudan arsitektur padmasana memiliki latar belakang filosofis yang berkaitan erat dengan sebuah peristiwa mitologis Hindu tentang upaya pencarian air suci kehidupan abadi (amrta) yang dilakukan secara bersama-sama oleh para dewata (sura) dan para raksasa (asura). Fisik bangunan padmasana secara keseluruhan maupun tiap bagiannya menggambarkan tokohtokoh maupun peristiwa dalam mitologi Hindu klasik popular ini. Kisah dimulai dari berita bahwa amrta yang selama ini dicari-cari oleh para dewata dan raksasa berada di dasar lautan susu (Ksirarnava) yang luas dan dalam (cf. Kramrisch, 1976: 324326). Dalam kesepakatan yang dibuat bersama oleh para dewata dan raksasa, Ksirarnava direncanakan akan diaduk secara berkesinambungan oleh kedua pihak secara bersama-sama. Gunung Mandara dipilih sebagai “tongkat” pengaduknya. Dua ekor naga kosmik, Anantabhoga dan Basuki juga dilibatkan dalam proses ini. Proses dimulai dengan pematahan Gunung Mandara dari dasarnya yang dilakukan oleh Naga Anantabhoga. Selanjutnya Naga Basuki mengambil peran sebagai “tali” yang membelit patahan Gunung Mandara yang akan dijadikan sebagai “tongkat raksasa” pengaduk Ksirarnava. Daerah bagian leher Basuki dipegang erat oleh para raksasa, sementara itu bagian ekornya berada dalam genggaman erat para dewata yang berada di sisi yang berlawanan. Proses pengadukan 7 Ksirarnava pun dimulai. Pada saat para raksasa menarik bagian leher Basuki, para dewata mengulurkan pegangannya, begitu pula sebaliknya. Tarik ulur tubuh Naga Basuki ini berlangsung bergantian secara terus menerus, sampai pada akhirnya Gunung Mandara yang tinggi besar itu pun berputar pada porosnya dan mengaduk lautan susu. Guna mencegah agar Gunung Mandara tidak tenggelam ke dasar Ksirarnava pada saat diputar, Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura kosmik bernama Kurma sebagai penyangga Gunung Mandara di atas perisai punggungnya. Pada saat yang bersamaan, Wisnu yang pada saat itu memperbanyak dirinya juga duduk sebagai pemberat di atas puncak Mandara Giri. Hasilnya, meskipun terus menerus diputar, gunung itu tetap pada posisinya, tidak tenggelam karena telah disangga Kurma dan tidak terlontar ke atas karena telah diperberat oleh Wisnu yang duduk di puncaknya. Pada pertengahan proses pengadukan Ksirarnava ini muncullah berbagai benda dan tokoh suci yang memiliki peranan penting dalam mitologi Hindu selanjutnya. Amrta yang dicari-cari muncul dari dasar Ksirarnava dalam vas suci yang dibawa Dewi Laksmi. Amrta pada mulanya berhasil dikuasai oleh para raksasa. Akan tetapi berkat kecerdikan Wisnu yang bersalin rupa sebagai wanita cantik bernama Mohini, air suci kehidupan abadi itu akhirnya dapat dikuasai dan diminum bersama oleh para dewata. Mitologi ini tidak hanya menceritakan hal-hal seperti di atas. Beberapa penggalan peristiwa penting lainnya juga terdapat dalam mitologi ini, yaitu sebagai berikut. a. Pemunculan kuda Ucchaisrava yang menjadi bahan pertaruhan antara Dewi Winata (ibu dari Garuda) dengan Dewi Kadru (ibu para naga). Winata yang termakan tipu daya para naga harus menjalani hukuman menjadi budak sang Kadru. b. Peristiwa saat salah satu asura bernama Kala Rahu yang mencoba untuk mencuri kesempatan meminum amrta bersama para dewata. Usaha Rahu tidak berhasil 8 sepenuhnya karena lebih dahulu diketahui oleh dewa matahari (Surya) dan dewa bulan (Candra). Kepala Rahu yang telah terberkati amrta yang diminumnya, mampu hidup abadi, sedangkan badannya yang terputus oleh cakra Wisnu tidak. c. Pembebasan Winata dari perbudakan Kadru oleh Garuda yang berhasil membawa amrta kepada para naga. Garuda juga selanjutnya diceritakan bersedia menjadi tunggangan atau wahana Dewa Wisnu. 5. Pembahasan Bagian ini menguraikan tentang makna-makna simbolis masing-masing bagian bangunan padmasana yang dikaitkan dengan gambaran alam di bumi. a. Bagian Tepas sebagai Gambaran Perut Bumi. Bagian tepas atau bagian dasar bangunan padmasana adalah ornamen bedawang nala. Istilah bedawang nala memiliki hubungan yang erat dengan nama Vadavānala atau Vadavamukha yang dikenal dalam mitologi Hindu India. Vadavānala atau Vadavamukha adalah sebutan untuk sebentuk kepala kuda betina berapi yang terdapat di dasar laut. Dalam literatur berbahasa Inggris, Vadavānala disebut pula dengan istilah Submarine Mare's Head Fire (O’Flaherty, 1980: 27). Kuda betina ini pula diyakini dapat meminum dan memuntahkan air laut dalam jumlah yang besar dalam waktu sekejap. Dalam dunia nyata, konsepsi Vadavamukha ini sering dihubung-hubungkan dengan keberadaan gunung-gunung berapi di dasar laut yang aktivitas vulkaniknya dapat menyebabkan gempa di daratan dan tsunami di laut (cf. Paramadhyaksa, 2009: 92, Santos, 2005: 189). Konsepsi kepala kuda betina berapi di dasar laut ini, diadaptasi menjadi konsepsi Bedawang Nala lokal Bali yang digambarkan sebagai seekor kura-kura raksasa berapi di dasar laut dengan karakter serupa. Adaptasi bentuk kepala kuda betina menjadi bentuk seekor kura-kura ini, 9 menurut Hooykaas (cf. 1964: 108) disebabkan karena kura-kura atau pun penyu merupakan hewan-hewan yang cukup dikenal dan secara alamiah memang memiliki habitat asli di perairan laut wilayah Pulau Bali. Kata bedawang nala ini dinyatakan berasal dari istilah Sanskerta, Vadavānala, yang telah mengalami penyesuaian dengan lidah orang Bali. Dalam bukunya yang berjudul Ᾱgama Tīrtha: Five Studies in Hindu-Balinese Religion, Hooykaas mengutip pernyataan Dr. Van der Tuuk yang menyebutkan bahwa Bĕnawang gĕni, cf. baḍawānala memiliki bulu tengkuk yang merupakan perwujudan api. Dalam bahasa Bali sangat mudah dipahami bahwa terjadi perubahan struktur kata ‘vadava’ menjadi ‘badawa’, kemudian menjadi ‘bandawa’, menjadi ‘bĕnawa’, dan akhirnya menjadi ‘bĕnawaṅ’ (1964: 109). Adapun ‘anala’ yang berarti api atau berapi. Kata ‘anala’ ini kemudian digabungkan di belakang kata ‘bĕnawaṅ’ yang kemudian lambat laun dikenal menjadi satu istilah ‘bedawang nala’. Ornamen bedawang nala secara konseptual juga memiliki kaitan makna dengan konsep alam bawah atau perut bumi. Kura-kura bedawang dinyatakan sebagai simbol magma yang terdapat di dalam perut bumi. Naga Basuki (Vāsuki) sebagai pembelit Bedawang merupakan simbolisasi dari segala aliran air di bumi (Battacharyya, 2001: 290-291). Adapun Anantabhoga berasal dari kata anantabhoga yang secara harfiah berarti makanan yang tidak ada habisnya. Naga Anantabhoga merupakan simbolisasi dari elemen tanah atau bumi yang menjadi sumber abadi segala makanan bagi semua makhluk hidup di bumi (Battacharyya, 2001: 21, cf. Sinha: 1979 44). Konsep tri manunggal antara Anantabhoga dan Basuki yang membelit erat Bedawang pada ornamen bedawang nala dapat dimaknai sebagai konsep kesatuan elemen tanah dan elemen air di permukaan bumi yang “membungkus” cairan magma panas yang terdapat di dalam perut bumi (cf. Parbasana, 2005: 21-22, cf. Paramadhyaksa, 2008: 236). Konsepsi kura-kura raksasa yang bernama Bedawang ini juga memiliki kaitan yang kuat dengan kepercayaan masyarakat Bali tentang terjadinya gempa bumi. Dalam mitos rakyat Bali, 10 digambarkan adanya seekor kura-kura raksasa yang menyangga Pulau Bali di atas punggungnya. Apabila sang kura-kura raksasa bergerak, maka akan menyebabkan terjadinya gempa bagi Pulau Bali yang disangganya (cf. Pucci dkk., 2004: 186). Dalam upaya mencegah dan mengawasi agar sang kura-kura raksasa tidak bergerak leluasa, maka ditugaskanlah Naga Basuki serta Naga Anantabhoga untuk membelit erat sang kura-kura. Basuki dan Anantabhoga merupakan dua ekor naga yang digambarkan hidup di tingkatan sapta patala di dalam perut bumi, berdekatan dengan tempat Vadavamukha berada (cf. Hopkins, 1915: 61, Vogel, 1926: 284). Dalam kosmologi Hindu India, Vadavānala atau Submarine Mare's Head Fire memiliki makna sebagai neraka berapi tempat menghukum jiwa-jiwa berdosa yang juga menjadi tempat hunian para raksasa atau asura (cf. O’Flaherty, 1980: 27). b. Bagian Batur sebagai Gambaran Gunung. Bagian batur padmasana memiliki tiga sampai tujuh buah tingkatan atau pepalihan. Tiap pepalihan adalah berbentuk kotak dengan luasannya yang makin menyempit ke atas. Pada bagian pepalihan ini terdapat banyak sekali ornamen, elemen dekoratif, atau arca. Pepalihan terbawah ditandai dengan adanya ornamen karang hasti yang berbentuk kepala seekor gajah (cf. Gelebet, dkk.: 360). Ornamen ini terdapat di empat sudut bawah kotak pepalihan terendah bagian batur padmasana. Karang hasti atau karang gajah di samping bermakna sebagai binatang penyangga yang kuat, juga merupakan ornamen yang menunjukkan pepalihan ini sebagai simbolisasi hamparan kaki pegunungan yang menjadi tempat hidup gajah dan hewanhewan berkaki empat lainnya. Pada pepalihan-pepalihan di atasnya terdapat pahatan ornamen karang manuk atau karang goak yang mengambil bentuk wajah burung atau burung gagak (cf. Gelebet, dkk.: 360). Pahatan kepala burung ini mengisi setiap sudut pepalihan. Ornamen karang manuk dapat dimaknai 11 sebagai petunjuk bahwa pepalihan ini menggambarkan keadaan alam di bagian badan dan puncak gunung. Kedua bagian gunung ini merupakan alam atas yang menjadi habitat hidup bangsa burung yang memiliki sayap dan mampu terbang. Selain karang hasti dan karang manuk, pada pepalihan ini juga dipahatkan ornamenornamen lain seperti karang tapel dan karang simbar serta berbagai macam pepatran. Ornamenornamen ini pada dasarnya menggambarkan tanaman-tanaman hutan yang terdapat di daerah kaki dan badan gunung. Ornamen-ornamen ini dipahatkan secara simetris mengisi keempat sisi setiap pepalihan bagian batur padmasana. Pada bagian belakang tingkatan batur padmasana dipahatkan secara menempel tiga buah ornamen penting yang tersusun vertikal mengikuti dimensi masing-masing pepalihan. Ketiga ornamen tersebut dapat dijelaskan secara berurutan berdasarkan posisinya pada pepalihan paling bawah ke pepalihan paling atas sebagai berikut. (1) Ornamen karang bhoma. Ornamen karang bhoma pada bagian belakang dari batur padmasana terbawah, mengambil wujud dasar berupa kepala raksasa dengan atau tanpa sepasang tangan dan sayapnya yang mengembang. Bhoma adalah tokoh dalam mitologi Hindu yang merupakan putra Dewa Wisnu (dewa hujan) dengan Dewi Pertiwi (dewi bumi). Pada awal cerita mitologis tersebut dikisahkan bahwa suatu ketika Dewa Wisnu sedang mengubah diri menjadi seekor babi hutan serta menggali tanah hingga ke dasar bumi. Hal ini dia lakukan sebagai upaya mencari dasar tiang lingga besar milik Dewa Siwa3. Pada saat menggali dasar bumi, bertemulah dia dengan Dewi Pertiwi yang cantik. Pertemuan dewi bumi dengan dewa hujan yang sedang berwujud binatang ini menghasilkan kisah 3 Dalam cerita mitologi lingobhava, Dewa Brahma bersalin rupa menjadi angsa dan terbang mencari puncak lingga milik Dewa Siwa. Dewa Wisnu mengubah diri menjadi babi hutan dan menggali mencari dasar lingga (cf. Zimmer, 1992: 131). 12 cinta yang melahirkan seorang putera yang berwujud menakutkan, bernama Bhoma4. Dalam hal ini, gambaran Wisnu sebagai babi hutan yang sedang menggali tanah hingga ke dasar bumi, sangat sesuai dengan karakter air atau hujan lebat yang selalu mengalir atau turun deras meresap ke dalam bumi. Di alam nyata, Bhoma sebagai putra Dewa Wisnu dengan Dewi Pertiwi, dapat disetarakan sebagai tumbuh-tumbuhan atau hutan (vanaspati) yang tumbuh pada media tanah (bumi) yang cukup memperoleh air (hujan). Vanaspati dalam budaya Jawa dan Bali disebut dengan Banaspati yang dimaknai sebagai raja hutan atau pohon besar (Hobart, 2003: 123). Banyak peneliti menyebutkan bahwa ornamen karang bhoma di Bali merupakan pengembangan dari mitologi India tentang Kirtthimukha (face of glory). Kirtthimukha merupakan ornamen kedok wajah raksasa ciptaan Dewa Siwa yang bertugas sebagai penjaga kesakralan sebuah areal atau bangunan suci. Istilah bhoma secara etimologi berasal dari istilah Sanskerta bhaumá, yang berarti sesuatu yang tumbuh atau lahir dari bumi atau sesuatu yang berhubungan dengan bumi (Macdonell, 1974: 211). Sesuatu yang dimaksud di sini dapat dimaknai sebagai tumbuh-tumbuhan atau hutan yang lahir dan tumbuh dari media tanah (bumi) yang subur dan memiliki cukup kandungan air. Dalam kaitannya dengan perwujudan padmasana, Bhoma dapat dimaknai sebagai spirit penjaga kesakralan padmasana yang juga merupakan simbolisasi hutan di kaki gunung (pepalihan batur terendah). (2) Ornamen Garuda wahana Dewa Wisnu. Di atas ornamen karang bhoma terdapat pahatan ornamen Garuda wahana Wisnu. Banyak tafsiran yang dikemukakan oleh para sarjana terkait penggambaran tokoh Garuda dalam mitologi terkenal itu, di antaranya sebagai sosok anak berbakti yang membebaskan 4 Cerita populer tentang Bhoma ini tertulis dalam lontar Bhomakawya. 13 ibunya, Dewi Winata, dari perbudakan Dewi Kadru dan seribu anak ularnya. Garuda juga dianggap sebagai simbolisasi dari konsepsi pembebasan jiwa manusia dari belenggu perbudakan alam material duniawi. Penempatan ornamen ini yang terdapat di bagian belakang pepalihan badan gunung dan di atas ornamen karang bhoma, juga dapat dikaitkan dengan karakter burung garuda di alam. Garuda atau burung elang merupakan raja para burung yang memiliki penglihatan mata yang tajam dan kemampuan terbang maksimum pada ketinggian 3.048 meter di atas permukaan laut (Hicks, 2006: 14) atau pada daerah badan gunung. Karakter garuda seperti ini sangat sejalan dengan penempatan ornamen garuda di bagian belakang batur padmasana. Garuda yang mampu terbang hingga di bagian badan gunung dipahatkan di atas ornamen karang bhoma yang merupakan simbolisasi hutan di kaki gunung. (3) Ornamen burung angsa yang sedang mengepakkan sayapnya. Burung angsa adalah burung yang sangat disucikan dalam ajaran Agama Hindu. Jenis burung ini dikenal memiliki karakter yang mampu hidup di tiga alam; berjalan di darat, berenang di air, dan terbang di udara (Suja, 1999: 199). Angsa juga dikenal memiliki sifat mampu memisahkan lumpur dari air yang diminumnya. Sifat-sifat ini menyebabkan angsa dijadikan simbol kebijaksanaan dan kesucian, wahana Dewa Brahma (dewa pencipta) dan Dewi Saraswati (dewi ilmu pengetahuan). Karakter lain angsa yang kurang dikenal masyarakat umum adalah kemampuannya untuk selalu terjaga dan tidak pernah tidur. Sifat ini pula yang menyebabkan angsa dijadikan simbol jiwa yang selalu ada dan tidak pernah beristirahat dalam menjalankan aktivitas tubuh manusia. Karakter angsa yang badan atau bulu-bulunya tidak basah oleh air tempat habitat hidupnya, juga dijadikan sebagai simbol jiwa suci yang tidak terpengaruh oleh ikatan duniawi (Math, 1998: 123). 14 Dalam kaitannya dengan keberadaan ornamen angsa di pepalihan batur paling atas padmasana, angsa dapat dimaknai juga sebagai simbolisasi perjalanan jiwa manusia dari dunia (alam bawah) menuju sorga (alam atas) untuk dapat bersatu dengan Sang Penciptanya. Dikaitkan dengan karakternya di alam nyata, angsa merupakan burung yang mampu terbang pada ketinggian 8.849 meter di atas permukaan laut. Burung angsa liar pegunungan Himalaya (lat.: Anser Indicus) merupakan satu-satunya bangsa burung yang mampu melakukan terbang bermigrasi selama dua kali dalam setahun di atas puncak Mount Everst (Alerstam dan Christie, 1993: 280). Gambaran ini menjadi ilham dipilihnya angsa dalam ajaran Hindu, sebagai simbol jiwa suci yang terbang menuju sorga di puncak gunung tertinggi di dunia itu. Karakter angsa liar Himalaya5 tersebut tidak dapat disamakan dengan karakter angsa di Indonesia yang tidak dapat terbang sama sekali. Oleh karena itu banyak kalangan akan sulit untuk dapat menerima argumen bahwa konsepsi ornamen angsa pada padmasana adalah didasarkan pada sifat angsa sebagai satu-satunya burung yang mampu terbang di atas gunung tersuci umat Hindu sedunia itu. c. Bagian Sari sebagai Alam Atas (sorga). Bagian sari bangunan padmasana ditandai dengan adanya bentuk bunga padma di puncak padmasana. Di atas bunga padma ini ditempatkan sebentuk kursi singgasana kosong yang berukir. Keberadaan singgasana kosong di atas bunga padma ini memiliki kaitan yang erat dengan mitologi pemutaran Gunung Mandara. Dewa Wisnu yang menjelma sebagai Kurma di dasar Mandara, pada saat bersamaan juga duduk sebagai pemberat di atas puncak gunung kosmik 5 Angsa liar Himalaya (lat. Anser Indicus) dengan karakter di alam aslinya menjadi ilham dijadikannya angsa sebagai simbol kesucian, simbol kebijaksanaan, simbol jiwa, simbol kewaspadaan, dan wahana Dewa Brahma dalam ajaran Hindu maupun Buddha (cf. Nath, 2002: 174). 15 itu. Gambaran ini mengilhami bentuk kursi singgasana suci untuk Tuhan yang ditempatkan di atas puncak padmasana. Bunga padma merupakan bunga yang memiliki karakter suci di alam habitat aslinya. Bunga ini mekar di pagi hari sebagai tanda permulaan suatu hari. Akarnya tumbuh di daratan atau lumpur, batang dan helai-helai daunnya berada di dalam air, sedangkan bunganya mekar di atas air (udara) (Wiana, 2004: 69). Padma yang mekar juga bersih tak bernoda, walaupun tumbuh dan lahir dari media lumpur yang kotor. Karakter ini pula yang menyebabkan padma terpilih sebagai bunga suci dalam ajaran Hindu. Bentuk bunganya juga dijadikan motif berbagai elemen bangunan atau arca suci. Sari bunganya dijadikan sebagai tempat berpijak atau duduk bagi berbagai arca tokoh dewa. Konsepsi serupa ini juga berlaku pada bentuk padma di puncak padmasana yang bagian sarinya dijadikan sebagai dasar singgasana kosong bagi Ida Sanghyang Widhi/Tuhan Yang Mahaesa. Pada sandaran lengan kursi singgasana kosong padmasana lazimnya dipahatkan figur sepasang naga atau sepasang makara. Naga maupun makara dalam konsepsi bangunan suci Hindu umumnya memiliki kaitan yang erat dengan konsepsi keberadaan air di alam semesta. Sepasang naga (Taksaka dan istrinya) atau sepasang makara di kursi singgasana ini merupakan simbolisasi awan yang merupakan wujud air di tingkatan alam atas. Figur sepasang naga maupun makara juga dapat dimaknai sebagai jembatan pelangi menuju alam sorga para dewa (cf. Snodgrass, 1988: 304-305, cf. Paramadhyaksa, 2009: 87). Penggambaran kedua jenis makhluk mitologis ini sebagai figur yang berpasangan, memiliki kaitan yang erat dengan dua karakter yang dimiliki awan. Kedua karakter tersebut terkait dengan proses terbentuknya awan dari material air di permukaan bumi yang menguap naik dan proses musnahnya awan yang turun sebagai air hujan di alam. Sebagai jembatan pelangi, baik naga maupun makara juga memiliki dua sisi, yaitu sebagai tangga naik dari alam bawah menuju alam 16 sorga dan sebagai tangga turun dari alam sorga menuju alam bawah. Dua karakter ini selanjutnya disimbolisasikan sebagai sepasang naga atau makara dengan jenis kelamin berbeda. Figur jantan untuk arah menaik, dan figur betina sebagai simbol arah menurun6. Ada kalanya pula ditemukan padmasana yang pada kedua sandaran lengan kursi singgasananya terdapat pahatan ornamen tanaman menjalar sebagai pengganti figur sepasang naga atau figur sepasang makara. Ornamen penting lainnya pada bagian sari padmasana adalah berupa relief acintya yang terpahat di bagian depan punggung kursi singgasana Tuhan ini. Relief ini sekaligus menjadi penanda bahwa kursi ini merupakan singgasana suci untuk kekuatan paling utama di alam semesta yang abstrak dan tak terpikirkan, yaitu Tuhan Yang Mahaesa itu sendiri. d. Arsitektur Padmasana sebagai Representasi Alam Uraian yang telah disebutkan di atas pada dasarnya menjelaskan bahwa terdapat konsepsi lain yang berkenaan dengan perwujudan bangunan padmasana. Konsepsi ini berkaitan erat dengan gambaran alam di dunia yang menjadi inspirasi dari perwujudan bangunan suci utama umat Hindu Bali ini. Berbagai tingkatan alam, elemen alam, makhluk hidup di alam dengan karakter aslinya diwujudkan pada bangunan padmasana. Gambaran alam bumi pada perwujudan padmasana ditandai dengan adanya tingkatan perut dan permukaan bumi yang disimbolkan sebagai ornamen bedawang nala dan elemen gunung yang diwujudkan sebagai badan bangunan padmasana. Keterkaitan masing-masing elemen padmasana dengan gambaran alam bumi dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Ornamen bedawang nala yang terdapat di dasar bangunan padmasana merupakan simbol perut dan permukaan bumi. Ornamen yang berbentuk kesatuan antara Kura-kura 6 Dalam konsepsi Hindu India, perempuan sering kali dikaitkan dengan arah ke bawah (downward) yang juga disimbolkan dengan yoni. Adapun laki-laki adalah berkenaan dengan arah ke atas (upward) yang disimbolkan dengan elemen lingam (cf.Zimmer, 1992: 147). 17 Bedawang (simbol magma) yang dibelit Naga Basuki (simbol air) dan Naga Anantabhoga (simbol tanah) merupakan konsepsi tri-manunggal magma di perut bumi yang dibungkus oleh kesatuan elemen tanah dan air di permukaan bumi. (2) Di atas ornamen bedawang nala terdapat batur dalam beberapa tingkatan (pepalihan). Batur padmasana merupakan simbolisasi gunung di alam nyata. (a) Bagian pepalihan terendah merupakan simbol kaki gunung. Pada bagian ini terdapat ornamen karang hasti yang dapat dimaknai sebagai hewan-hewan berkaki empat semacam gajah di wilayah kaki gunung. Pada pepalihan ini pula terdapat ornamen karang bhoma yang menyimbolkan keberadaan hutan. (b) Di atas bagian pepalihan terendah, terdapat bagian pepalihan tingkat menengah yang ditandai dengan keberadaan ornamen-ornamen karang manuk dan figur Garuda di bagian belakang bangunan. Pepalihan ini menggambarkan bagian badan gunung sebagai wilayah jelajah bangsa burung pada umumnya. Selain ornamen-ornamen itu, masih terdapat beberapa ornamen lain yang menggambarkan alam badan gunung. (c) Bagian pepalihan paling atas menggambarkan puncak gunung. Pada tingkatan ini dapat dilihat adanya ornamen burung angsa dan beberapa ornamen lain yang menggambarkan alam puncak gunung. Burung angsa liar yang mampu terbang tinggi menjadi ilham bentuk ornamen yang dipahatkan pada tingkatan ini. Pepalihan ini sebagai gambaran alam puncak gunung yang tinggi, suci, dan sulit dicapai oleh manusia atau makhluk lain pada umumnya. (3) Pada puncak bangunan padmasana terdapat sebentuk kursi kosong sebagai singgasana Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan Yang Mahaesa. Kesucian Sang Pencipta di alam sorga digambarkan berada di atas permukaan bumi tertinggi manapun. Konsepsi ini 18 diwujudkan sebagai bentuk singgasana padmasana yang pada sandaran tangannya dipahat figur sepasang naga atau makara sebagai simbol awan atau pelangi di langit. 6. Kesimpulan Perwujudan arsitektur padmasana memuat sinkretisasi berbagai konsepsi. Selama ini konsepsi yang terkandung di dalamnya lebih banyak dikaitkan dengan mitologi atau ajaranajaran Agama Hindu. Konsepsi lain yang termuat pada bangunan padmasana adalah berkenaan dengan perwujudan fisik bangunan secara keseluruhan yang merepresentasikan gambaran alam dengan makhluk hidup penghuninya di bumi. Hasil kajian ini sekaligus menunjukkan sebuah bukti tentang karakteristik Agama Hindu dengan ajaran-ajarannya yang memuliakan alam dengan segala tingkatannya secara sekala niskala. Arsitektur padmasana menunjukkan gambaran keharmonisan hubungan antarsemua tingkatan alam dengan segala makhluk hidup yang menghuninya. Perwujudan arsitektur suci Hindu ini secara tidak langsung juga membentuk jiwa umatnya untuk menjaga kelestarian serta keseimbangan lingkungan dan alam bumi. Daftar Pustaka Alerstam, Thomas dan Christie, David A. 1993. Bird Migration. Cambridge: Cambridge University Press. Battacharyya, Narendra Nath, 2001. A Dictionary of Indian Mythology, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publisher Pvt. Ltd. Forbes, Cameron. 2007. Under The Volcano: The Story of Bali. Melbourne: Black Inc. Geertz, Hildred. 2004. The Life of a Balinese Temple: Artistry, Imagination, and History in a Peasant Village. Honolulu: University of Hawaii Press. Gelebet, I Nyoman, dkk. 2002. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Badan Pengembangan Kebudayaan dan pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali. Hicks, Terry Allan. 2006. The Bald Eagle. Singapore: Marshall Cavendish. Hobart, Angela. 2003. Healing Performances of Bali: Between Darkness and Light. Oxford: Berghahn Books. Hooykaas, C, 1964. Āgama Tīrta: Five Studies in Hindu-Balinese Religion. Amsterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij. Hopkins, E. Washburn. 1915. Epic Mythology. Strassburg: Verlag von Karl J. Trubner. 19 Kramrisch, Stella. 1976. The Hindu Temple, volume II. Delhi: Montilal Banarsidass. MacDonell, Arthur Anthony, 1974. A Practical Sanskrit Dictionary: With Transliteration, Accentuation, and Etymological Analysis Throughout. Oxford: Oxford University Press. Math, Sri Ramakrishna. 1998. The Vedanta Kesari. New Delhi: Sri Ramakrishna Math. Murdha, Ida Bagus Gede. 1988. Bhomakawya. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Nala, Ngurah. 1993. Murddha Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra. Nath, Samir. 2002. Dictionary of Vedanta. New Delhi: Sarup & Sons. O’flaherty, Wendy Doniger, 1980. The Origin of Evil in Hindu Mythology. Los Angeles: University of California Press. Paramadhyaksa, I Nyoman Widya, 2009. “Concepts of Balinese Meru”. Kyoto: Kyoto Institute of Technology, Japan (Disertasi belum dipublikasikan). Parbasana, I Nyoman. 2005. Membangun Pura di Pulau Jawa. Surabaya: Penerbit Pāramita. Pucci, Idanna, 2004. Against All Odds: The Strange Destiny of a Balinese Prince. Denpasar: Saritaksu Design Communication. Santos, Arysio. 2005. Atlantis: The Lost Continent Finally Found. NY: Atlantis Publicatons. Sinha, Binod Chandra, 1979. Serpent Worship in Ancient India. New Delhi: Books Today. Snodgrass, Adrian. 1985. The Symbolism of The Stupa. New York: Cornell University, Ithaca. Soebandi, Ktut. 1998. Babad Warga Brahmana: Pandita Sakti Wawu Rawuh : Asal-usul, Peninggalan, dan Keturunan Danghyang Nirartha. Denpasar: Pustaka Manikgeni. Stuart-Fox, David J. 2002. Pura Besakih: Temple, Religion and Society in Bali. Leiden: KITLV. Suendi, I Nyoman. 2005. Arsitektur Tradisional Daerah Bali: Selayang Pandang. Solo: Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Pustaka Cakra. Suja, I Wayan. 1999. Tafsir Keliru Terhadap Hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Titib, I Made. 2001. Teologi dan Simbolisme dalam Agama Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita. Vogel, J.P.H. 1926. Indian Serpent-Lore or Nāgas in Hindu Legend and Art. London W.C.: 41 Great Russell Street. Wiana, Ketut. 2004. Mengapa Bali Disebut Bali. Surabaya: Pāramita. Zimmer, Heinrich. 1992. Myths and Symbols in Indian Art and Civilization. New Jersey: Princeton University Press. 20