BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya
Penelitian tentang alih kode dan campur kode, sudah banyak diteliti oleh para
peneliti sebelumnya. Namun sejauh ini belum ada yang melakukan penelitian tentang
penggunaan alih kode dan campur kode di lingkungan rumah sakit umum, Kecamatan
Biau. Kabupaten Buol. Adapun penelitian sejenis yang pernah diteliti antara lain:
1) Penelitian yang dilakukan oleh Setiyorini (2010) yang berjudul “Penggunaan
Bahasa Jawa Di Transmigrasi Unit Blok B Desa Mekar Sari Makmur
Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi, Propinsi Jambi”.Yang
mengkaji tentang bentuk dan fungsi campur kode, alih kode, interferensi
tingkat tutur dan faktor yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa oleh
penduduk transmigrasi di desa mekar sari makmur Kecamatan sungai bahar,
Jambi.
2) Penelitian yang dilakukan oleh Miji Lestari (2003) yang berjudul“
Penggunaan Bahasa Jawa dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas
Sebelas Maret Surakarta” yang mengkaji masalah bentuk dan fungsi alih
kode, campur kode dalam tuturan anggota BEM di Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3) Penelitian yang dilakukan oleh Suwarsi (2008), yang berjudul “ Pemakaian
Bahasa Jawa oleh Masyarakat Petani di Kec. Kunduran Kab. Blora”.
Masalah yang dikaji adalah bentuk dan tingkat tutur masyarakat petani,
bentuk alih kode, campur kode yang digunakan oleh masyarakat petani di
Kec. Kunduran Kab. Blora.
Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya keduanya mengkaji tentang
alih kode dan campur. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak
pada lokasi penelitian, yakni di lingkungan rumah sakit umum Buol Kecamatan Biau
Kabupaten Buol.
2.2 Alih kode
2.2.1
Pengertian Alih Kode
Alih kode adalah salah satu gejala kebahasaan yang sering muncul dalam
kehidupan sehari-hari. Gejala alih kode tersebut muncul di tengah-tengah tindak tutur
secara disadari dan bersebab. Berbagai tujuan dari si pelaku tindak tutur yang
melakukan alih kode dapat terlihat dari tuturan yang dituturkannya. Beberapa ahli
telah memberikan batasan dan pendapat mengenai alih kode. Batasan dan pendapat
tersebut diperoleh setelah mereka melakukan pengamatan terhadap objek yang
melakukan alih kode dalam tindak tuturnya.
Alih kode merupakan salah satu aspek tentang ketergantungan bahasa di
dalam masyarakat bilingual dan multilingual. Suatu kenyataan bahwa di dalam
masyarakat yang demikian itu hamper tidak mungkin seorang penutur menggunakan
satu bahasa tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa dan unsur bahasa lain (Suwandi,
2008: 86). Richard et.al (dalam Suwandi, 2008:86), mengatakan alih kode adalah
suatu peralihan pemakaian bahasa ke bahasa lain atau dari satu variasi ke variasi
bahasa lain.
Pateda (2008: 127) berpendapat bahwa peralihan kode merupakan peristiwa
kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-faktor eksteren pada pembicara dan
pendengar yang lebih banyak karena pertimbangan sosiokultural-situasional.
Peralihan hanya terjadi pada masyarakat yang dwibahasawan dan anekabahasawan,
baik dalam bahasa maupun yang berkaitan dengan variasi bahasa.
Suwito (dalam Rahardi, 2001: 20) menyatakan bahwa alih kode
adalah
peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi apabila seorang
penutur mula-mula menggunakan kode A dan kemudian beralih menggunakan kode
B, maka peralihan bahasa itu disebut alih kode.
Penggunaan dua bahasa (atau lebih) dalam alih kode menurut Suwito
(1985:80) ditandai oleh :
1. Masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi secara tersendiri
sesuai konteksnya.
2. Fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan
perubahan konteks.
Ciri-ciri itu menunjukan bahwa di dalam alih kode, masing-masing bahasa
masih mendukung fungsinya secara esklusif, dan peralihan kode terjadi apabila
penuturnya merasa bahwa situasi relevan dengan peralihan kodenya.
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga
kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam
formal ke ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang
lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya. Kridalaksana (1982:7)
mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri
dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode.
Aslinda (dalam Chaer dan Agutina, 2007:85) mengatakan alih kode bukan
hanya terjadi antarbahasa, melainkan juga terjadi antar ragam-ragam bahasa dan gaya
bahasa yang terdapat dalam satu bahasa. Dengan demikian, alih kode itu merupakan
gejala peralihan pemakaian bahasa yang terjadi karena situasi dan terjadi antarbahasa
serta antarragam dalam satu bahasa.
Dari pendapat para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode
merupakan peralihan pemakain bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode
menunjukan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional
yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
2.2.2 Bentuk- Bentuk Alih Kode
Rahardi (2001: 105-106) mengemukakan bentuk alih kode mencakup dua
hal, yakni peralihan dari kode yang berstatus tinggi ke dalam kode yang berstatus
rendah dan sebaliknya dari kode yang berstatus rendah ke dalam kode yang berstatus
tinggi. Bentuk alih kode juga, dapat berupa perpindahan antarkode bahasa dan
antartingkatan tutur. Perpindahan antarkode bahasa misalnya terjadi antara bahasa
Buol dan bahasa Indonesia, antarbahasa Buol dan bahasa Bugis. Sebagai contoh
misalnya, seorang Ibu rumah tangga dalam tuturanya penutur menggunakan bahasa
Buol karena kesal kepada seseorang kemudian tiba-tiba merubah tuturanya karena
teringat akan sesuatu urusan yang belum selesai, karena kebiasaan penutur yang
sering menggunakan bahasa Indonesia kepada setiap anak-anaknya. Sehingga penutur
beralih tutur yang awalnya penutur menggunakan bahasa Buol kemudian beralih ke
bahasa Indonesia.
Contoh lain misalnya, seorang ibu rumah tangga sedang bertanya kepada
seorang anak laki-laki dewasa yang sedang duduk disampingnya, yang sedang
menunggu antrian di loket pembayaran administrasi rumah sakit. Kemudian tanpa
diketahui seorang ibu, bahwa lawan tuturnya berasal dari suku Bugis, karena seorang
laki-laki dewasa tersebut mampu menguasai bahasa Buol. Sehingga percakapan
berlangsung dengan baik. Kemudian tiba-tiba seorang laki-laki dewasa mendapat
telepon dari seorang teman yang berasal dari suku Bugis, sehingga bahasanya beralih
ke bahasa Bugis, yang sebelumnya penutur bercakap menggunakan bahasa Buol
bersama seorang ibu rumah tangga yang duduk bersamanya di ruang tunggu.
Berdasarkan kenyataan, kita sering melihat bahwa terjadi percepatan perpindahan
kode. Persoalanya adalah mengapa terjadi percepatan peralihan kode. Menurut Pateda
(1987: 90) hal ini disebabkan oleh:
a. Adanya selipan dari lawan bicara
b. Pembicara teringat pada hal-hal yang perlu dirahasiakannya
c. Salah bicara
d. Rangsangan lain yang menarik perhatian
e. Hal yang sudah direncanakan
Selanjutnya, tingkat tutur dapat dikatakan berupa sistem kode dalam suatu
masyarakat tutur. Rahardi (2001:53) mengatakan bahwa, “Pada umumnya di dalam
sebuah bahasa terdapat cara-cara tertentu untuk menentukan perbedaan sikap
hubungan antara penutur dengan mitra tutur dalam bertutur”. Sikap hubungan itu
biasanya bervariasi dan sangat ditentukan oleh tingkatan sosial para peserta tutur itu
sendiri, dengan kata lain, sebenarnya bentuk tingkat tutur itu secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua, yakni bentuk hormat dan bentuk biasa. Sebagai contoh
misalnya, peristiwa dalam kekeluargaaan sepasang suami istri yang sedang duduk di
dalam ruang pasien, yang sedang menjaga anaknya yang sakit, sedang bercakap
dengan menggunakan bahasa Buol sekejap beralih menggunakan bahasa Indonesia
karena kedatangan penutur lain, yaitu seorang suster yang biasanya terlalu mengikuti
aturan menggunakan bahasa dalam melayani setiap pasiennya yakni dengan
menggunakan bahasa Indonesia sehingga dari awal percakapan sepasang suami istri
dalam bahasa Buol, beralih ketingkat tutur bahasa Indonesia.
2.2.3
Faktor- Faktor Penyebab Alih Kode
Salah satu gejala kebahasaan ternyata tidak terlepas dari faktor-faktor
penyebabnya. Alih kode adalah salah satu alat yang dapat memperlancar proses
komunikasi antarpelaku tutur meskipun mereka datang dari berbagai latar belakang
bahasa ibu.
Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode, maka kita kembalikan
kepada pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang dikemukakan Fishman (dalam
Pateda, 1987: 86) yaitu:
a. Siapa yang berbicara dan pendengar,
b. Dengan bahasa apa,
c. Kepada siapa,
d. Kapan dan
e. Dengan tujuan apa .
Namun, dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab terjadinya
alih kode itu karena ada beberapa faktor, yaitu :
a. Pembicara atau penutur .
b. Pendengar atau lawan tutur
c. Perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga
d. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
e. Perubahan topik pembicaraan.
Dari kelima faktor di atas, itulah yang secara umum lazim dikemukakan
sebagai penyebab terjadinya alih kode.
2.3 Campur Kode
2.3.1
Pengertian Campur Kode
Campur kode adalah peristiwa pencampuran berbahasa yang satu dengan
bahasa yang lain. Chaer dan Agustina (1995:114) menjelaskan bahwa campur kode
adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam
suatu masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar
yang digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode
lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja.
Aslinda dan Syafyahya (2007: 87) mengatakan bahwa campur kode terjadi apabila
seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa
daerahnya
kedalam
pembicaraan
bahasa
Indonesia
yang
memiliki
fungsi
keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama
merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomiannya sebagai sebuah
kode.
Kachru
(dalam
Suwito,
1985:
76)
mendefinisikan
campur
kode
sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Sedangkan Kridalaksana
(2001: 35) berpendapat bahwa campur kode adalah interferensi penggunaan satuan
lingual bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau
ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan
sebagainya.
Dalam masyarakat yang keanekabahasawan terdapat saling ketergantungan
bahasa. Pada peristiwa campur kode ketergantungan ini ditandai oleh adanya
hubungan timbal balik antara peran dan fungsi bahasa. Peran mengacu kepada „siapa‟
yang menggunakan bahasa, sedangkan fungsi mengacu kepada „apa yang hendak
dicapai‟ oleh penutur terhadap apa yang disampaikannya. Nababan (1984:32)
berpendapat bahwa campur kode adalah suatu keadaan berbahasa yang dilakukan
seorang dengan mencampurkan dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu
tindakan bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi
berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa tersebut itu.
Chaer dan Agustina (2004:114) mengatakan persamaan dan perbedaan alih
kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat
multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun, terdapat perbedaan
yang cukup nyata yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang
digunakan masih memiliki otonomi masing-masing dilakukan dengan sadar dan
disengaja karena sebab-sebab tertentu sedangkan, campur kode adalah sebuah kode
utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode
yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan
(pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya
disisipkan pada kode utama atau kode dasar.
Menurut Thelander (dalam Pateda dan Yennie, 2008: 129) jika dalam suatu
tuturan terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke klausa bahasa yang lain, dan
masing-masing klausa mendukung fungsi tersendiri, terjadi peristiwa alih kode, tetapi
jika suatu tuturan baik klausa maupun frasenya tidak lagi mendukung fungsi
tersendiri, maka akan terjadi campur kode.
Dari pendapat para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa campur kode
mengacu pada pencampuran kode utama atau kode dasar yang saling memasukkan
unsur-unsur bahasa yang satu dengan bahasa yang lain secara konsisten atau hanyalah
berupa serpihan-serpihan saja tanpa fungsi dan keotonomian sebagai sebuah kode.
2.3.2
Bentuk- Bentuk Campur Kode
Suwito (dalam Pateda dan Yennie, 2008: 131-132) berpendapat bahwa, wujud
campur kode dapat dibagi atas:
a. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Kata
Kata adalah satuan bebas yang paling kecil yang dapat berdiri sendiri dan
mempunyai arti. Keraf (dalam Kridalaksana, 1990:25) membagi kata atas empat
bagian yaitu:
1) Kata benda atau nomina
2) Kata kerja atau verba
3) Kata sifat atau adjektiva
4) Kata tugas
b. Penyisipan Unsur- Unsur yang Berwujud Frase;
Frase adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas, Ramlan (dalam Putrayasa, 2007: 2). Berdasarkan jenis atau kategori
kata, frase dibagi menjadi:
1) Frase nomina
2) Frase verba
3) Frase adjektiva
4) Frase adverbial
5) Frase preposisi
c. Penyisipan Unsur -Unsur yang Berwujud Baster;
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster (Hybrid) atau kata
campuran menjadi serpihan dari bahasa yang dimasukinya.
d. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Perulangan Kata;
Penyisipan unsur yang berwujud pengulangan kata maksudnya penyisipan
perulangan kata ke dalam bahasa inti atau bahasa utama dari suatu kalimat.
e. Penyisipan Unsur- Unsur yang Berwujud Ungkapan atau Idiom,
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom yaitu penyisipan.
f. Penyisipan Unsur- Unsur yang Berwujud Klausa.
Klausa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dari subjek dan predikat baik
disertai objek, pelengkap, keterangan ataupun tidak Ramlan (dalam Putrayasa,
2006:2).
Penelitian mengenai bentuk alih kode dan campur kode, peneliti mengambil
teori yang dipakai oleh Rahardi dan Suwito dalam Pateda sebagai acuan penelitian
untuk mengamati penggunaan bahasa di lingkungan rumah sakit umum. Hal ini
karena dari kedua pendapat pakar ini yang sesuai dengan penelitian peneliti.
2.3.3 Faktor- Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode
Campur kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-faktor
luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya sosiosituasional.
Selain faktor-faktor yang dikemukakan di atas, peristiwa campur kode juga
terjadi berdasarkan faktor situasi dan kebiasaan. Hal ini seperti yang dikemukakan
Nababan (1984:32) “Bilamana seorang mencampur dua kode atau lebih bahasa atau
ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tampak ada sesuatu dalam situasi berbahasa
itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya
kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.
2.4 Bilingualisme dan Multilingualisme
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.
Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud bilingualisme itu, yakni
berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Bloomfield (dalam
Suwandi, 2008: 2-3) Bilingualisme diartikan kemampuan menggunakan dua bahasa
yang sama baiknya oleh seorang penutur. Definisi ini menyisaratkan bahwa
kedwibahasaan memiliki tingkat kecakapan dan kemahiran yang tinggi atas bahasa
yang dimilikinya. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus
menguasai kedua bahasa itu. Pertama adalah bahasa ibu atau bahasa pertamanya
(disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya
(disingkat B2).
Orang yang bisa menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual
(dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Nababan (dalam Suwandi, 2008: 3)
membedakan istilah „bilingualisme‟ dan „bilingualitas‟. Bilingualisme adalah
kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain, sedangkan
„bilingualitas‟ adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk menggunakan
dua bahasa.
Pateda dan Yenni (2008: 87) mengatakan bahwa kedwibahasawan orang yang
sanggup atau mampu menggunakan dua bahasa. Pemakai bahasa seperti ini beroleh
kesempatan yang lebih luas jika dibandingkan dengan ekabahasawan. Pemakai
bahasa yang dwibahasawan dapat segera berpindah bahasa „code‟ jika pemakaian
bahasa lain datang bergabung dengan kelompoknya.
Multilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut dengan Keanekabahasaan
yakni penggunaan lebih dari dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya
dengan orang lain secara bergantian.
Multilingualisme lebih merujuk pada penggambaran seorang penutur yang
menguasai lebih dari dua bahasa, bisa tiga bahasa, atau empat, bahkan lima bahasa
sekaligus. Penggunaanya hampir sama dengan bilingualisme, yakni tahu kapan dan di
mana suatu bahasa akan digunakan. Dalam pembahasan tentang multilingualisme di
sini tidak akan dibicarakan secara khusus, sebab modelnya sama dengan
bilingualisme.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa biliangualisme dan
multilingualisme yaitu kemampuan seseorang menggunakan dua bahasa secara
bergantian dan kemampuan seseorang dalam menggunakan dua atau lebih bahasa.
Download