PRINSIP HUKUM PERKAWINAN MENURUT

advertisement
53
PRINSIP HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR
1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KHI
Hamiyuddin*
Islamic law respect for women that put him in a respectable position.
When Islam came had abolished the tradition of Jahiliyyah and
unless law of divorce accordance with the spirit of Islam maintained.
Therefore, between husband and wife have equal rights in divorce
dropped. In legal standpoint, marriage is not just for the validity of
intercourse, but more than aims to achieve something more noble
because the marriage was seen as an engagement agreement or
contract. Marriage from a religious viewpoint is something holy and
sacred, and marriage should be done by people who are holy to
purpose of marriage.
Keywords: marriage, intercouse, holy
1. PENDAHULUAN
Perkawinan adalah merupakan sunnatullah yang berlaku umum atas
semua makhluk-Nya. Perkawinan juga salah satu cara/jalan yang dipilih Allah
bagi manusia untuk memperoleh dan mengembangkan keturunan serta
menjaga keberlansungan hidupnya. Perkawinan atau akad nikah adalah cara
yang menghalalkan hubungan badan antara pria dan wanita sebagai suami istri
sesuai dengan ketentuan syariat agama islam yang bertujuan untuk membentuk
keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni.
Menurut Pasal 1 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974tentang
perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum
Islam, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitasaaqan ghaliidzhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3, Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat diketahui bahwa perkawinan
menurut Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinandan
Kompilasi Hukum Islam terdapat kesamaan persepsi mengenai ikatan pria dan
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
54
wanita sebagai suami istri yang bertujuan membina rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Kebahagiaan dan kelanggengan kehidupan perkawinan adalah
merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh ajaran agama Islam, karena akad
nikah itu dilakukan untuk selama-lamanya. Suami istri bersama-sama
mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung memelihara anak
dengan rasa kasih sayang sehingga anak - anak dapat hidup dengan
pertumbuhan yang baik pula.
S. Abul’ A’la Maududi menyatakan :
According to Islam the correct form of relationship between man and
woman is marriage, that is the one which full social responsibilities are
undertaken by them and which result in the emergence of a family.1
Dalil yang menunjukan kesucian dan keagungan perkawinan sebagai
ikatan perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidzan), terdapat dalam firman
Allah QS. An Nisa’ ayat 21:
   
Terjemahnya :
“Dan mereka (istri-istri)telahmengambil dari kamu perjanjian yang
kuat”.2 (Q.S. Al-Nisa’/4: 21)
Ajaran syariat Islam sangat memperhatikan dan menghormati wanita
sehingga memposisikannya dalam kedudukan yang terhormat. Ketika ajaran
Islam datang telah menghapuskan tradisi talak zaman jahiliyyah kecuali
sebagian hukum talak yang sesuai dengan nafas Islam tetap dipertahankan.
Oleh karena itu antara suami maupun istri memiliki hak yang sama dalam
menjatuhkan talak. Hak talak suami disebut cerai talak sedang hak pada istri
disebut cerai gugat. Menjatuhkan talak adalah termasuk perbuatan yang halal
tetapi paling di benci oleh Allah, karena itu tidak boleh dilakukan kecuali
dalam keadaan yang sangat terpaksa.
Dalam konteks sosiologi, menikah merupakan salah satu kebutuhan
dasar setiap orang. Karena itu, menikah merupakan hak asasi manusia yang
S. Abul A’la Miaududi, Islamic Way of Life (Karachi:Islamic Publication Ltd, 1967), h. 58.
1
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surabaya: Mahkota, 1989), h. 120.
2
55
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
harus dihormati. Dalam konsep menikah, kita melihat adanya lintas budaya,
lintas etnik, lintas ras dan bahkan lintas agama.mengenai yang terakhir ini,
bertolak belakang dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW yang menetapkan
bahwa dalam menentukan calon suami/istri itu pertimbangan utamanya adalah
agama. Dengan berdasarkan agama, setiap pasangan siap menerima kelebihan
dan kekurangan pasangannya karena Allah semata. Dengan demikian,
pernikahan itu akan membawa kebahagiaan lahir dan batin.
Selanjutnya Muhammad Abdul Rauf menyatakan:
“The family, the theme of this work, is the building block of the human
social structure. The success and efficiency of the social order depend
on the stability of, and harmony in the domistic household. And the
stability and harmony of the family depends in turn on each member of
this social group fulfilling his (her) obligations to the other members”.3
Maksudnya, keluarga adalah suatu bangunan tertentu (tersendiri)
dalam struktur sosial. Kesuksesan dan efisiensi tatanan sosial betapapun
besarnya bergantung pada stabilitas keluarga dan harmonisasi internal rumah
tangga.
2. Pembahasan
a. Asas-Asas Hukum Perkawinan
Dalam bahasan ini penulis akan menguraikan tentang Asas/Prinsip
Hukum Perkawinan Islam dalam perspektif Undang - Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Menurut Kompilasi Hukum Islam.
1) Asas/Prinsip Hukum Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
a) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Pasal 1 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dinyatakan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa;
3
Muhammad Abdul Rauf, The Islamic Family a General View (Kuala Lumpur Malaysia:
Dewan Bahasa dan Pustaka Ministery Education, 1994) h. 7.
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
56
b) Ukuran sah tidaknya perkawinan adalah hukum agama, dan harus dicatat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.4 Pasal 2 Undang - Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dinyatakan:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu;
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
c)
Asas Perkawinan adalah monogami, poligami hanya dibenarkan jika
dilakukan atas izin istri dan pengadilan;
Pasal 3
(1) Undang - UndangPerkawinan dinyatakan: Pada asasnya dalam
suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 Ayat (2) Undang - Undangini,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 ayat (1)
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang - Undangini harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan istri-istri dan anak - anak mereka;
4
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Gama Media,
2001), h. 103.
57
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istriistri dan anak - anak mereka.
d) Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya. Untuk laki-laki
19 tahun dan untuk perempuan 16 tahun, dalam Pasal 7 Undang- Undang
Perkawinan dinyatakan:
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun;
(2) Dalam hal penyimpanagan terhadap Ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
e) Perceraian dipersulit atau dengan kata lain mempersulit terjadinya
perceraian. Pasal 38 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dinyatakan Perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian dan atas keputusan pengadilan. Dalam Pasal 39 disebutkan:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
f) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.5
Prinsip ini mengacu kepada Pasal 31 Ayat (1) Undang - Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan Hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang baik dalam rumah
tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian
segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama
oleh suami istri.6 Sedangkan menurut Ahmad Rofiq, prinsip/asas yang keenam
disebut sebagai prinsip musyawarah suami-istri.7 Asas ini juga sejalan dengan
firman Allah dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 32 yang berbunyi:
5
Amiur Nuruddin dan Azhari Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet. II; Jakarta:
Kencana, 2004), h. 54.
6
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Cet. III; Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 9.
7
Ahmad Rofiz, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, h. 109.
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
58
         
Terjemahnya :
“(karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka
usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan”.8 (Q.S. Al-Nisa’/4: 32)
2) Asas/Prinsip Perkawinan Dalam persepektif Kompilasi Hukum Islam
(Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991)
a. Tujuan perkawinan
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa perkawinan
menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan ghaliidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Selain itu, disebutkan pula dalam Pasal 3 bahwa
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawadah dan rahmah.
b. Ukuran sah tidaknya perkawinan adalah hukum agama dan harus dicatat
oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatat perkawinan tersebut pada Ayat (1), dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UndangUndangNomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun
1954.
Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam disebutkan pula bahwa perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah.
c. Asas perkawinan adalah monogami.
Dalam Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan:
8
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 108
59
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya
sampai empat orang istri.
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak - anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
d. Usia calon mempelai telah dewasa.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam
mengungkap tujuan yang lebih jelas:
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yaitu calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun;
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mencapat izin sebagaimana yang di atur dalam Pasal 6 Ayat (2),
(3), (4) dan (5) Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
e. Asas perceraian dipersulit
Dalam Kompilasi Hukum Islam, prinsip dapat ditemukan pada Pasal
114, 115, 116.
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha tidak mendamaikan kedua
belah pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
60
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang memberatan pihak lain;
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga;
7) Suami melanggar taklik talak;
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
f.
Kedudukan suami istri seimbang
Hal demikian didasarkan pada ketentuan Pasal 79 Kompilasi Hukum
Islam:
(1) Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga;
(2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami adalah kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat;
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Karena kedudukannya sama, terdapat kemitraan (partnership)
antara suami dan istri. Hanya karena kodratnya berbeda (sesuai
dengan ajaran Islam: (arrijaalu qawwamuuna ‘alannisaai) laki-laki
dan pemimpin dan menjadi penanggung jawab penghidupan dan
kehidupan wanita (istri dan keluarga), diadakan pembagian
pekerjaan.9
Berpijak pada asas/prinsip perkawinan di atas, baik menurut Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam,bahwa prinsip dasar untuk membentuk suatu rumah tangga/keluarga
yang bahagia dalam istilah Islam dikenal dengan keluarga sakinah.
Dalam hal ini Asaf A.A. Fyzee menyatakan 3 (tiga) aspek yang
dikandung oleh sebuah perkawinan adalah:
a. Legal aspect. Juristically, it is a contract and not a sacrament. Qua
contract, it has three characteristic: (i) there can be no mariage
without consent; (ii)as in contract, provision is made for its breach,
to wit,the various kind of dissolution by act of parties or by operation
9
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama;Kumpulan Tulisan (Cet. I; Jakarta:
Raja Grafindo Persada, t.th), h. 45.
61
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
of law; (iii) the term of marriage contract are within legal limite
capable of being altered to suit individual cases.
b. Social aspect. In its aspect, Islamic law gives to the women a definity
high social status after marriage.
c. Religious aspect whil considering the social and legal aspect, the
aspect of religion is often negiected or misunderstood. Frist, le us
consider the koranic injuctions regarding marriage. Marriage it is
recognized is Islam in basis of society.10
Dari sisi hukum, perkawinan bukan hanya sekedar untuk keabsahan
melakukan persetubuhan, tetapi lebih jauh dari itu bertujuan untuk mencapai
sesuatu yang lebih luhur karena memang perkawinan itu dipandang sebagai
sebuah persetujuan perikatan atau kontrak.
Perkawinan dari sudut pandang agama merupakan sesuatu yang suci
dan sakral. Untuk itu perkawinan harus dilakukan oleh orang-orang yang suci
agar tujuan perkawinan yang luhur itu dapat tercapai. Lebih penting dari itu,
dalam kacamata agama perkawinan merupakan langkah awal untuk
membentuk keluarga sebagai asas masyarakat.11
Dalam kehidupan masyarakat, sebuah ikatan perkawinan mempunyai
dampak yang besar, baik kultural, sosial maupun yuridis atau hukum. Dampak
yang lebih besar akan muncul manakala sebuah perkawinan menghasilkan
keturunan. Persoalan-persoalan itu kemudian menimbulkan beberapa aspek,
antara lain aspek hukum.12
Asas-asas atau prinsip-prinsip pekawinan yang dimuat dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Asas (prinsip) keluarga;
b. Asas (prinsip) partisipasi keluarga;
c. Asas (prinsip) perceraian dipersulit;
d. Asas (prinsip) monogami (poligami dibatasi dan diperketat);
e. Asas (prinsip) kedewasaan calon mempelai;
f. Asas (prinsip) memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum wanita;
10
Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammad Law, Oxford University Press, Fourth Edition,
Delhi, 1981, page. 88.
11
Amiur Nuruddin dan Azhari Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 57.
12
Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: IBLAM, 2004), h. 34.
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
62
g. Asas (prinsip) selektivitas.13
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1995.
-------------. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta:
Gama Media, 2001.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama; Kumpulan
Tulisan. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.th.
Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Pustaka
Firdaus, 1989.
Fyzee, Asaf AA. Outlines of Muhammadan Law. Ourth Edition;Delhi: Oxford
University Press, 1981.
Hassar, Qadir. Terjemahan Nailul Authar. Surabaya: Bina Ilmu, 1984.
Madudi, Sayyid Abul A’la. Islamic Way of Lie. Lahore: Islamic Publication
Ltd, 1967.
Muchsin. Masa Depan Hukum Islam di Indonesia. Cet. II; Jakarta: IBLAM,
2004.
Nasution, Khairuddin. Status Wanita di Asia Tenggara Studi terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim di Indonesia dan Malaysia.
Jakarta: INIS, 2002.
Nuruddin, Amir. Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Cet. II; Jakarta: Prenada Media, 2004.
Rasyidi, Lili. Wyasa Putra. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Cet. II; Bandung:
Mandar Maju, 2003.
Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Cet. III; Jakarta: Rineka Cipta,
2004.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Cet. I;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
13
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 157.
Download