revitalisasi uu zakat: antara peluang dan tantangan

advertisement
REVITALISASI UU ZAKAT: ANTARA PELUANG
DAN TANTANGAN
Oleh: Lukmanul Hakim, Lc. MA*
Abstract
Since the adoption of the Law on Zakat Management No. 38/1999, which
regulated the involvement of the state and the community are aligned in zakat
collection and distribution, management of zakat in Indonesia has passed the
stage of formalization. Furthermore, Law No. 23 of 2011 is a stage of
revitalization that confirms the authority of the state, by providing the authority
to the National Agency for Zakat (BAZNAS) hierarchically in standardizing the
management of zakat nationally. In fact, zakat is the domain of the state,
however the efforts of integration, synergy and coordination, without removing
the existing institutions in the community is more important, in order to create
programs that are right on target, right amount and on time for serving the
poor people who deserve to receive zakat.
Keywords: Zakat Management Act, BAZNAS, LAZ, Synergy.
A. Pendahuluan
Zakat merupakan ibadah dalam bidang harta yang mengandung hikmah
dan manfaat multiguna dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki,
mustahik, harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat
keseluruhan. 1 DR. Yusuf Qardhawi bahkan menyebut zakat sebagai ibadah
māliyah ijtimā‟iyyah, yaitu ibadah di bidang harta yang memiliki posisi sangat
penting, berfungsi strategis dan menentukan dalam membangun kesejahteraan
masyarakat.2
Namun pemahaman zakat di tengah masyarakat Indonesia cenderung
masih tipis. Asumsi yang berkembang, seakan-akan kalau sudah kaya baru
bayar zakat. Mestinya kedudukan zakat dan shalat adalah sama, sehingga
* Penulis adalah Tenaga Pengajar di AIN Ar-Raniry Banda Aceh
1
Abdurrahman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1998, h.82.
2
DR. Yusuf al-Qardhawi, al-‘Ibadah fi al-Islam, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993,
h. 235-238.
49
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
50
dalam banyak ayat al-Quran perintah zakat selalu dikaitkan dengan shalat,
seperti dalam QS. al-Baqarah (2): 43, wa aqīmu al-shalāta wa ātu al-zakāh.
Urgensi zakat yang cukup dominan dalam menggerakkan
perekonomian masyarakat sejatinya menuntut upaya pengelolaan ekstra serius,
karena pengelolaan zakat secara baik akan mampu mengentaskan kemiskinan,
membuka lapangan kerja dan usaha yang luas, sekaligus penguasaan aset-aset
oleh umat Islam.
Dalam perjalanan sejarah awal pemerintahan Islam, zakat berperan
penting sebagai instrumen dalam kebijakan fiskal. Ada beberapa alasan
mengapa negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat, diantaranya:
1. Zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan
sebagaimana infak, wakaf dan hibah. Pemungutan zakat dapat dipaksakan
sesuai QS. al-Taubah (9): 103, dan satu-satunya lembaga yang mempunyai
otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu adalah negara lewat
perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak.
2. Potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar.
Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau
pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis
pelaksana.
3. Zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran
pembangunan nasional.
4. Agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga
mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
5. Memberikan kontrol kepada pengelola negara, sehingga dapat
meminimalisir kasus korupsi atau penyalahgunaan uang negara. Petugas
zakat tidak mudah disuap dan wajib zakat (muzakki) juga tidak akan mainmain dalam menghitung zakatnya serta tidak akan melakukan “tawarmenawar” dengan petugas zakat sebagaimana sering ditemui dalam kasus
pemungutan pajak.3
6. Zakat sebagai pilar amal bersama (jamā‟ī) antara orang kaya dan para
mujahid yang berkekurangan, juga merupakan salah satu bentuk konkret
dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Selain itu, zakat
sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun
prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah,
3
Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006, h. XXIV-XXVI.
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
51
pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi, sekaligus sarana
pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia muslim.4
Beberapa indikator di atas menunjukkan bahwa peran negara cukup
signifikan dalam pengelolaan zakat. Adapun kelebihan atau keunggulan
penyelenggaraan zakat yang dikelola oleh organisasi amil zakat, diantaranya:
a. Menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
b. Menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila berhadapan
langsung menerima haknya dari para muzakki (wajib zakat).
c. Mencapai efisiensi, efektivitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan
harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.
d. Memperlihatkan syi‟ar Islam dalam semangat penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang Islami.5
Namun kondisi konkrit (das sein) yang berlaku di Indonesia ketika
formalisasi pengelolaan zakat melalui UU No. 38 Tahun 1999, nyatanya
sungguh berbeda dengan norma yang seharusnya berlaku (das sollen). Terjadi
kesimpangsiuran siapa yang harus menjadi leading sector. Zakat dikelola
dalam relasi sejajar antara pemerintah dan masyarakat, bahkan terkadang
cenderung dalam posisi saling berhadap-hadapan (vis a vis). Muncul dikotomi
cukup tajam antara BAZ (Badan Amil Zakat) yang berafiliasi ke pemerintah
dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dikelola masyarakat.
Sebagai solusi, UU Pengelolaan Zakat yang baru Nomor 23 Tahun
2011 akhirnya disahkan oleh DPR RI pada 27 Oktober 2011, menggantikan
UU Nomor 38 Tahun 1999. Tujuan utama perubahan UU Pengelolaan Zakat
ini antara lain, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam
pengelolaan zakat, serta meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Setidaknya ada
lima hal baru dalam UU Pengelolaan Zakat Nomor 23/2011 sebagai
amandemen UU Nomor 38/1999 yaitu: (i) zakat menjadi kewenangan Negara;
(ii) zakat dikelola oleh BAZNAS secara hierarkis; (iii) anggota BAZNAS
menjadi 11 orang yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah; (iv) LAZ
sebagai lembaga yang membantu BAZNAS harus terakreditasi dan bersedia
diaudit; (v) adanya ancaman pidana bagi amil zakat yang beroperasi tanpa izin
pejabat yang berwenang.
B. Domain Zakat
Penegasan mengenai kekuasaan dalam menagih zakat dapat dipahami
dari wajhu al-dilalah (segi pendalilan) ayat dalam QS. al-Taubah (9): 103,
4
DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta:
Gema Insani, 2002, h.11-12.
5
Abdurrahman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, hlm. 87-88.
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
52
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, serta berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Khithāb dalam ayat tersebut
memang ditujukan kepada Nabi Saw. sebagai pemimpin umat Islam sekaligus
pemegang kekuasaan negara. Namun maknanya dapat diperluas kepada
Khalifah sepeninggal beliau serta para pemimpin umat Islam lainnya. Perintah
“mengambil” berarti memuat unsur paksaan. Ini menunjukkan bahwa
penarikan zakat mengharuskan adanya suatu kekuasaan dan kekuatan secara
umum, dan hal itu ada pada pemerintah.
Dalam QS. al-Taubah (9): 60 juga ditunjukkan bahwa pengelolaan
zakat bukan semata-mata dilaksanakan secara individual, dari muzakki
diserahkan langsung kepada mustahiq. Tapi dapat dilakukan oleh sebuah
lembaga yang secara khusus menangani zakat, asalkan memenuhi persyaratan
tertentu, yang disebut dengan amil zakat. Untuk mewujudkan kemashlahatan
lebih luas, diperlukan institusi negara atau institusi yang mendapatkan mandat
dari negara untuk melakukan perencanaaan, pengumpulan, pengelolaan dan
pendistribusian zakat. Dengan demikian, ibadah zakat tidak berada pada
domain civil society atau gerakan sosial kemasyarakatan, tapi ada pada domain
negara.
Begitu pula dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu „Abbas,
“Rasulullah Saw memerintahkan kepada Mu‟az supaya memberitahukan
kepada penduduk negeri Yaman bahwa Allah telah mewajibkan zakat yang
harus diambil dari orang-orang yang berpunya (berpenghasilan cukup nishab)
untuk selanjutnya didistribusikan kepada kaum fakir.”
Namun setelah Rasul Saw wafat dan beritanya menyebar ke berbagai
seantero negeri, sebagian penduduk Yaman berpendapat bahwa zakat tidak
perlu lagi dikeluarkan, dan mereka mengirim utusan ke Medinah untuk
menyatakan hal itu. Alasan mereka, zakat adalah iuran atau upeti untuk Nabi,
dan beliau telah wafat, maka upeti tersebut tidak wajib lagi dikeluarkan. 6
Khalifah Abu Bakar melihat alasan ini mengada-ada yang didasari oleh rasa
bakhil dan pembangkangan terhadap tuntunan al-Quran serta Khalifah.
Menghadapi banyak orang yang hanya taat shalat tapi enggan menunaikan
zakat, Abu Bakar bersumpah:
‫ وهللا ! لى‬. ‫وهللا ! ألقتلي هي فزق الصالة والزكاة فئى الزكاة حق الوال‬
‫هٌعىًي عقاال كاًىا يؤدوًه إلى رسىل هللا ص م لقاتلتهن على هٌعه‬
6
Al-Suyuthi, „Abd al-Rahman ibn al-Kamal Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafā’, Mesir:
Mathba‟ah al-Sa‟ādah, 1371 H./ 1952, hlm. 67. Lihat juga al-Thabari, Muhammad ibn Ja‟far,
Tārikh al-Umam wa al-Muluk, Mesir: Dār al-Ma‟ārif, tt., Juz II, hlm. 244.
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
53
Artinya: Demi Allah! Saya akan memerangi orang yang memisahkan
antara kewajiban shalat dengan kewajiban zakat. Sesungguhnya zakat
itu hak yang terkait dengan harta. Demi Allah! Jika mereka menolak
mengeluarkan zakat unta yang biasa mereka tunaikan kepada
Rasulullah Saw, pasti aku akan memeranginya karena penolakan
tersebut.7
Dalam konteks negara modern, disamping kekuasaan mengumpulkan
dana zakat, menurut DR. Yusuf al-Qardhawi, pemerintahan Islam
diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan dari uang zakat
untuk kemudian kepemilikannya dan pengelolaannya diserahkan bagi fakirmiskin, atau pihak yang telah ditetapkan berhak menerima zakat. Dengan
demikian maka bukan hanya memenuhi kebutuhan konsumtif mereka hari ini
atau esok hari, namun juga seluruh kebutuhan finansial mereka kelak.8 Tentu
saja diperlukan pembinaan dan pendampingan dalam menggerakkan investasi
zakat, agar usaha para mustahiq berjalan lancar dan tidak malah gulung tikar.
C. Menelisik Sejarah
Pengelolaan zakat dalam sejarahnya memang merupakan wilayah
kekuasaan pemerintah, sebagaimana lazimnya pernah diaplikasikan pada masa
Rasulullah saw. dan para Khulafaurrasyidin, terutama pada masa Khalifah Abu
Bakar al-Shiddiq yang berani memerangi golongan pengemplang zakat. Pada
zaman awal pemerintahan Islam, ada lembaga Baitul Mal sebagai institusi
pusat perbendaharaan negara. Namun kini, Baitul Mal telah mengalami
penyempitan makna yang sangat radikal, sehingga mempengaruhi bentuk
kelembagaan dan kinerja dari institusi tersebut.
Dulu, pada masa Umar bin Khattab, Baitul Mal adalah kantor kas
negara, yang menjalankan fungsi perbendaharaan negara, termasuk sebagai
institusi yang bertanggung jawab dalam penghimpunan zakat, pajak (meski
masih terbatas jenis dan objek harta pajaknya), penyimpanan devisa negara,
penyimpanan cadangan logistik pangan, dan pengaturan sektor keuangan
(moneter); maka pada saat ini, fungsi tersebut mengalami penyempitan. Hal ini
terjadi karena sebagian fungsi Baitul Mal telah didelegasikan ke beberapa
Kementerian Keuangan untuk sisi fiskalnya, dan Bank Sentral (Bank
Indonesia) untuk sisi moneternya.
Di Malaysia, konsep Baitul Mal juga didefinisikan secara berbeda.
Baitul Mal adalah institusi yang secara khusus didirikan sebagai lembaga
7
8
567.
Sunan Abu Dawud, Riyadh: Dār al-Salām, 2000, hlm. 1337-1338.
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1991, Juz II, hlm.
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
54
penyalur dana zakat di beberapa negara bagian, antara lain di Kuala Lumpur
dan Sabah. Khusus di Kuala Lumpur, lembaga yang menghimpun zakat adalah
PPZ (Pusat Pungutan Zakat), sedangkan Baitul Mal hanya berfungsi sebagai
pendistribusian zakat. Baitul Mal ini berkedudukan di bawah Majelis Agama
Islam.
Sedangkan di Indonesia, pengertian Baitul Mal ada dua makna.
Pertama, ia adalah bagian dari BMT (Baitul Mal wat Tamwil), sebuah lembaga
keuangan mikro syariah yang berdiri sejak awal dekade 90-an. Mayoritas BMT
ini mengambil bentuk koperasi sebagai badan hukumnya. Dalam konsep BMT,
Baitul Mal dimaknai sebagai instrumen yang sifatnya karitatif, dimana
pembiayaannya berbasis kepada akad qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga).
Sumber dananya biasanya dari zakat maupun infak. Sedangkan Baitut Tamwil
merupakan instrumen pembiayaan komersial, dimana akad-akad komersial
seperti murabahah, ijarah dan musyarakah yang digunakan, sehingga menjadi
sumber untuk mendapatkan profit, yang dapat menjaga kelangsungan hidup
BMT. Makna kedua, Baitul Mal adalah istilah legal untuk BAZNAS Provinsi
Aceh dan BAZNAS kabupaten/kota di provinsi Serambi Mekkah. Ini
merupakan salah satu bentuk keistimewaan yang dinikmati oleh Provinsi Aceh,
dan diakomodasi dalam UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. 9
Sejatinya, zakat memang ranah pemerintah untuk mengaturnya. Namun
di Indonesia telah terjadi „kecelakaan sejarah‟, dan itu berlaku hingga saat
penerapan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat. Dalam bab III UU tersebut dikemukakan bahwa
organisasi pengelolaan zakat di Indonesia ada dua macam, yaitu Badan Amil
Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dengan demikian, zakat
dikelola oleh dua unsur secara bersamaan: Pemerintah dan masyarakat, secara
sejajar.
Merunut sejarah pengelolaan zakat secara terlembaga di Indonesia
terhitung sejak berdirinya BAZIS DKI Jakarta tahun 1968 yang disusul dengan
berbagai organisasi yang lain. Peran lembaga ini tidak hanya mengumpulkan
zakat, tetapi juga dalam sosialisasi zakat yang dilakukan secara masif. Proses
berikutnya lebih banyak bertumpu pada pengelolaan zakat yang dilakukan
secara swadaya, baik yang dilaksanakan melalui ormas-ormas Islam, bahkan
dilakukan secara nafsi-nafsi oleh setiap mesjid maupun mushalla.
Perubahan secara dramatis mulai terlihat pada era pemerintahan
Presiden BJ. Habibie. Muncul semangat
sebagian umat Islam untuk
mendukung terbitnya satu undang-undang yang mengakomodir gerakan baru
9
DR. Irfan Syauqi Beik, Evolusi Peran Baytul Maal, Iqtishödia: Jurnal Ekonomi
Islam Republika, 31 Mei 2012, hlm. 23.
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
55
dalam pengelolaan Zakat-Infaq-Shadaqah (ZIS). Di Surabaya misalnya telah
muncul Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF), sementara di Jakarta telah
menggeliat Dompet Dhuafa Republika. Keduanya hanyalah sebagian kecil dari
organisasi sosial Islam namun dengan tubuh yang sangat baru: Manajemen
profesional. Dompet Dhuafa Republika bahkan membentuk Institut
Manajemen Zakat (IMZ) untuk mempercepat tranformasi tersebut. IMZ
kemudian menjadi „sekolah rujukan‟ untuk belajar mengelola organisasi
pengelola zakat (LAZ dan BAZ).
Dalam kecepatan yang mengagumkan, LAZ mendorong perubahan
wajah pengelola zakat-infaq-shadaqah, tidak saja dari sisi manajemen, namun
juga model interaksi dengan masyarakat, melalui fungsi fundraising maupun
program layanan. Dalam kurun kurang dari 10 tahun, dana sosial umat Islam,
utamanya zakat, telah berubah dari pengelolaan „seputar Ramadhan‟ dan untuk
„kebutuhan sosial‟ fakir miskin, menjadi sebuah kegiatan yang menghasilkan
tidak saja layanan sosial gratis. Bahkan mulai merambah ke pendidikan formal
gratis (dari SD hingga Perguruan Tinggi), layanan kesehatan gratis, Rumah
Sakit gratis, distribusi gizi (daging) dan insentif ekonomi peternakan rakyat ke
pelosok menggunakan momentum „Idul Qurban, dan sentra-sentra ekonomi
mikro di daerah. Melalui sinergi dengan LAZ lokal di daerah, LAZ skala
nasional mendorong dengan cepat perubahan pengelolaan zakat didaerah,
melalui pembinaan standar kompetensi.
Capaian akuntabilitas juga tidak kalah baik. Hanya dalam waktu kurang
dari 7 tahun, sebuah LAZ lokal di Kota Batam menjadi organisasi pengelola
zakat pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikasi ISO 9001 tentang
manajemen mutu, diikuti oleh BAZNAS di Jakarta dua tahun kemudian. Audit
oleh akuntan publik, penggunaan media masa, majalah internal dan website
untuk laporan keuangan tahunan telah menjadi standar yang berlaku umum.
Meskipun ISO 9001 dan audit keuangan tidak berhubungan langsung
peningkatan kinerja LAZ, namun sangat membantu memulihkan kepercayaan
penyaluran zakat melalui lembaga.
LAZ juga berhasil mendapat pengakuan melalui kerjasama dengan
BUMN dan perusahaan publik dalam pengelolaan dana CSR untuk programprogram berjangka menengah dan panjang. Program jenis ini menuntut
kehandalan perencanaan, pengelolaan kegiatan dan keuangan serta evaluasi
berkelanjutan. LAZ pada akhirnya bertransformasi menjadi lembaga pengelola
keuangan dan program. Pengelola LAZ tampil lebih agresif dalam menjamin
keberlangsungan organisasi dan program-programnya. Ini mendorong
pengelola menjadi lebih kreatif, adaptif menyesuaikan diri dengan kebutuhan
donatur, dan mengembangkan pola komunikasi yang lebih kreatif.
56
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
LAZ juga mendorong pengelola zakat di Indonesia untuk merubah cara
pandang posisi Amil-Muzakki. LAZ meninggalkan pola komunikasi tradisional
yang mengedepankan ancaman dosa/siksa neraka/pahala dan aturan/UU/Perda
dalam merebut kepercayaan muzakki. LAZ mengembangkan manajemen
komunikasi yang menekankan manfaat lebih menyalurkan ZIS melalui
program-program mereka, mengakomodasi kebutuhan muzakki dalam program
distribusi dan menyediakan layanan yang sangat memudahkan muzakki, serta
tentu saja paparan capaian akuntabilitas mereka. Dari sisi standar layanan,
pelayanan terhadap pembayar zakat telah serupa dengan pelayanan perusahaan
publik terhadap pelanggan mereka.10
Seiring perubahan profesionalisme organisasi pengelola zakat yang
membawa angin segar, muncul pula persepsi yang beragam, baik dari sisi
penilaian masyarakat maupun penyelenggara negara. Jika dicermati, motivasi
menjadikan zakat sebagai bagian dari wilayah kekuasaan negara memang
berbeda dengan sejarah awal Islam. Dalam konteks Indonesia, pengelolaan
zakat adalah masalah kepercayaan kepada pengelola, bukan urusan kepatuhan
kepada khalifah seperti dalam sejarah awal Islam.
D. UUPZ: Formalisasi dan Revitalisasi
Kehadiran Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UUPZ) Nomor 38
Tahun 1999 memang merupakan proses awal, atau lebih tepat disebut sebagai
proses formalisasi hukum zakat. Dalam tahap ini UU tersebut telah memberi
jalan terbukanya peran serta masyarakat yang sedemikian leluasa dalam
melakukan kontribusi nyata dan ikut berpartisipasi aktif dalam melakukan
pengumpulan, pengelolaan dan pelaporan zakat. Hal yang sama juga dialami
oleh Badan Amil Zakat, sehingga ada suasana kompetisi yang sehat antara
lembaga yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah.
Dalam perkembangan selanjutnya, dana zakat yang berhasil dihimpun
dari masyarakat semakin besar. Aktifitas BAZ dan LAZ terus meningkat dalam
koridornya masing-masing. Meskipun mengalami perkembangan pesat,
keadaan semacam itu dinilai kurang kondusif, karena banyak potensi yang
begitu besar terabaikan. Pengelolaan maupun pendistribusian tidak memiliki
arah, tak ada pemetaan sebaran mustahiq dimana saja wilayah yang krusial,
siapa saja yang telah melakukan program dan bagaimana bentuknya, semuanya
belum terdata secara integral. Penyaluran kurang tertata dan cenderung
sporadis: Kucurkan bantuan, langsung pergi. Masing-masing organisasi
pengelola zakat berjalan sesuai visi misi sendiri-sendiri.
10
Menyambut UU Zakat Baru (1), http://www.dsniamanah.or.id/ yang diakses pada
30 Mei 2012.
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
57
Pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung UU No. 38 tahun
1999 dirasakan banyak pihak memang kurang optimal, masih banyak
kekurangan dan kelemahan dalam menjawab permasalahan perzakatan di tanah
air. Selain itu pasal-pasal yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai
dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga butuh
pembaruan. Karena itu di dalam UUPZ yang baru pengelolaan lebih
terintegrasi dan terarah dengan mengedepankan perencanaan, pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan. Dengan demikian UUPZ No. 23 Tahun
2011 lebih merupakan proses revitalisasi. Revitalisasi berarti proses, cara, dan
perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang
terberdaya.
Dengan lahirnya UU Pengelolaan Zakat yang baru Nomor 23 Tahun
2011 dan telah masuk dalam Lembaran Negera Republik Indonesia (LNRI)
bernomor 115 tertanggal 25 November 2011, beleid tersebut menggantikan UU
Nomor 38 tahun 1999 yang sebelumnya telah menjadi payung hukum
pengelolaan zakat. Struktur dari UUPZ ini terdiri dari 11 Bab dengan 47 Pasal.
Di dalamnya juga mencantumkan ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.
Dalam bagian penjelasan secara eksplisit menyebutkan tujuan dari UUPZ
adalah untuk mendongkrak daya guna dan hasil guna pengelolaan zakat, infak
dan shadaqah di Indonesia. Oleh karena itu pengelolaan zakat harus
dilembagakan (formalisasi) sesuai dengan syariat Islam, dan harus memenuhi
asas-asas amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan
akuntabilias sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan.
UUPZ yang baru, kini lebih memberikan kepastian dan tanggungjawab
kepada sebuah lembaga yang (dipandang) mampu mengkoordinasikan
kepentingan stakeholders, tentu saja dengan dibekali kewenangan. Pilihannya
jatuh kepada BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) seraya diberikan tugas
melakukan perencanaan, pengumpulan, pengendalian dan pelaporan zakat.
Kalau diamati secara seksama, BAZNAS memiliki kewenangan yang lebih.
Jika ada yang meragukan kemampuan BAZNAS pada masa lalu, besar
kemungkinan itu dikarenakan kewenangan yang masih terbatas sehingga dari
sisi pengumpulan maupun pendistribusian zakat kalah jauh dengan prestasi
LAZ. Tetapi dengan kewenangan yang diberikan sekarang, BAZNAS akan
sangat leluasa dengan memiliki hierarki dan network hingga tingkat struktur
yang paling bawah. Status BAZNAS dalam UU Nomor 23 Tahun 2011
disebutkan sebagai lembaga pemerintah non struktural yang bersifat mandiri
yang bertanggungjawab kepada Presiden melalui menteri. Sehingga dapat
58
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
dikatakan merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah yang dalam hal ini
secara teknis berada dibawah koordinasi Kementerian Agama (Kemenag). 11
Ada empat pesan dan muatan UU Pengelolaan Zakat yang baru.
Pertama, secara konstitusional, bahwa UU Pengelolaan Zakat ini sesuai dengan
UUD RI Tahun 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1).
Kedua, secara ideologis, bahwa negara berkewajiban menata dan mengatur tata
laksana dalam rangka peningkatan kualitas umat melalui pengelolaan zakat
yang efektif dan efisien. Ketiga, secara filosofis, UU Pengelolaan Zakat yang
bertujuan memotong mata rantai kemiskinan. Keempat, secara sosio-politik,
UU Pengelolaan Zakat hendak mendorong adanya integrasi, sinergi dan
koordinasi yang jelas dalam pengelolaan zakat dan dana sosial keagamaan
lainnya dapat terpadu dan terintegrasi dari pusat hingga ke daerah sehingga
menciptakan program-program yang tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat
waktu bagi fakir miskin sebagai mustahiq utama zakat.
Disamping itu, ada tiga esensi penting penataan pengelolaan zakat
dalam amandemen UU tersebut. Pertama, menata sistem manajemen zakat
yang terpadu dan terintegrasi dengan BAZNAS sebagai satu-satunya lembaga
pemegang otoritas zakat dan dibantu oleh LAZ. Kedua, kedudukan pemerintah
berperan dalam pembinaan, regulasi dan pengawasan, serta motivasi dan
fasilitatif, sedangkan BAZNAS sebagai organisasi pemerintah non-struktural
yang akan mengkoordinir pengelolaan zakat secara nasional. Ketiga, dengan
dikelola oleh organisasi yang berbadan hukum resmi, maka kepentingan umat
akan lebih terlindungi sehingga memudahkan muzakki membayar zakat, serta
memudahkan mustahiq memperoleh haknya.
Apapun perubahan yang dibawa oleh hadirnya UU No. 23 Tahun 2011
tentu tidak boleh sampai mengorbankan kepentingan dhu'afa/mustahiq sebagai
tujuan utama pengelolaan zakat. Komunikasi dan sinergi, baik antara BAZ dan
LAZ maupun diantara LAZ harus terjadi, karena merupakan syarat mutlak
perbaikan kinerja pengelolaan zakat secara umum.
E. Pasal-Pasal Krusial
Pengesahan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Zakat memang telah
memicu beragam tanggapan masyarakat, terutama yang terlibat secara
langsung dalam urusan pengelolaan zakat selama ini. Ada yang melihat UU
tersebut sebagai upaya sinergitas yang memperkuat keberadaan lembaga
pengelola zakat. Tapi ada juga yang melihat dari sisi pengambilalihan secara
sepihak urusan pengumpulan zakat dari lembaga yang dikelola oleh
11
M. Anwar Sani dkk., Catatan Kritis UU Pengelolaan Zakat: Berharap PP Sebagai
Solusinya, dalam rubrik Fokus Majalah INFOZ+ (Media Informasi Organisasi Pengelola
Zakat), edisi 16, Tahun VII, Jakarta: Forum Zakat (FOZ), Januari-Februari 2012, hlm. 4-7.
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
59
masyarakat, lalu dikuasai oleh pemerintah. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, ada
yang melihatnya sebagai ancaman yang menghapus keabsahan UU zakat
sebelumnya, sehingga dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan
hukum dalam masyarakat dan perlu diganti, padahal belum ada penelitian
secara khusus mengenai efektifitas UU zakat sebelumnya, dan oleh karenanya
UU nomor 23/2011 tersebut perlu digugat serta dilakukan judicial review atau
uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Terdapat beberapa isu krusial yang tercantum dalam UU zakat terbaru,
antara lain sentralisasi pengelolaan zakat melalui BAZNAS, marjinalisasi
peran LAZ (Lembaga Amil Zakat) bentukan masyarakat dan kekhawatiran
akan “diberangusnya” LAZ melalui aturan persyaratan sebagai ormas, serta
ketidakadilan alokasi dana APBN yang hanya diberikan pada BAZNAS.
Terlepas dari pro-kontra lembaga pengelola zakat, sebenarnya
persoalan distribusi zakat bukanlah bagi-bagi jatah kue, tapi lebih dekat dengan
peran sebagai pak pos yang menerima amanah dari orang yang menitip untuk
disampaikan kepada person yang tepat. BAZ dan LAZ antara satu dengan yang
lain perlu mengembangkan konsep ta‟awun dan fastabiqul khairāt. Jika
paradigma berpikir demikian, tentu semakin banyak petugas yang amanah akan
semakin meringankan dan mempercepat selesainya tugas.
Beberapa pasal UUPZ terbaru yang dianggap krusial dan segera
menjadi polemik di kalangan masyarakat antara lain:
No.
1.
Pasal
Pasal 5 ayat (1)
Untuk melaksanakan
pengelolaan zakat, Pemerintah
membentuk BAZNAS.
2.
Pasal 7 ayat (1).
Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, BAZNAS
menyelenggarakan fungsi: (a)
perencanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat; (b)
pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian,dan
pendayagunaan zakat; (c)
pengendalian pengumpulan,
Polemik
Mengedepankan sentralisasi. Padahal kini
tengah gencar semangat desentralisasi di
berbagai sektor. Muncul gejala degradasi
trust
terhadap
lembaga
bentukan
pemerintah, karena acapkali terjadi
masalah pelaporan keuangan, transparansi
dan akuntabilitas.
Semestinya BAZNAS dan pemerintah
cukup mengambil peran sebagai regulator,
monitoring
dan
pembinaan,
bukan
operator.
Sebab
kalau
melakukan
operasional,
apalagi
menggunakan
pendekatan kekuasaan kepada masyarakat
agar menyalurkan zakat ke BAZNAS, itu
akan menimbulkan masalah baru. Pola
koordinasi
BAZNAS dengan
LAZ
harusnya bersifat koordinatif, konsultatif,
dan sinergis, bukan intervensi.
60
3.
4.
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
(d) pelaporan dan
pertanggungjawaban
pelaksanaan pengelolaan
zakat.
Pasal 17
Untuk membantu BAZNAS
dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat,
masyarakat dapat membentuk
LAZ
Pasal 18
(1). Pembentukan LAZ wajib
mendapat izin Menteri atau
pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri.
(2). Izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya diberikan
apabila memenuhi persyaratan
paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan
hukum;
c. mendapat rekomendasi dari
BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariat;
e. memiliki kemampuan teknis,
administratif, dan keuangan
untuk melaksanakan
kegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk
Terkesan
marjinalisasi
kekuatan
masyarakat sipil. Kata “membantu” seolaholah ada hubungan struktural vertikal
antara LAZ dengan BAZNAS. Padahal
hubungan tersebut hanya ada pada
BAZNAS pusat hingga daerah. Fungsi
LAZ pun tetap sama, yaitu menghimpun
dan menyalurkan zakat, serta membuat
laporan
pertanggungjawaban,
bukan
kewajiban untuk menyetorkan dana zakat
kepada BAZNAS. Hal ini dimaksudkan
agar konsolidasi dan sinergi antar
Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) dapat
“diformalkan” .
Prosedur akreditasi berlaku bagi LAZ.
Aturan ini mengindikasikan lembaga zakat
harus berafiliasi dengan organisasi
masyarakat atau memilih menjadi Unit
Penyalur
Zakat
(UPZ)
sebagai
perpanjangan
dari
BAZNAS
yang
mengurus zakat di daerah kabupaten dan
kota. Padahal banyak lembaga bentukan
masjid atau pondok pesantren yang tidak
terafiliasi dengan organisasi masyarakat
apapun. Lembaga zakat yang tersebar di
mushalla, surau, masjid di kampung dan
perkantoran, majelis taklim kecil, dan
pesantren juga terancam. Mereka akan
tergerus oleh aturan baru dan sangat sulit
untuk bermetamorfosa menjadi ormas,
apalagi dibatasi waktu 5 tahun, karena
semua itu dilakukan secara kultural dan
sporadis. Kalaupun ada, badan hukumnya
hanya berupa yayasan. Seharusnya ada
penambahan kata atau di pasal 18 ayat 2
poin a dan b sekaligus menambahkan kata
yayasan supaya mereka tetap bisa
beroperasi dan eksis. Bahkan LAZ yang
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
5.
6.
7.
mendayagunakan zakat bagi
kesejahteraan umat; dan
h. bersedia diaudit syariat dan
keuangan secara berkala.
Pasal 19
LAZ wajib melaporkan
pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat yang
telah diaudit kepada BAZNAS
secara berkala.
Pasal 38
Setiap orang dilarang dengan
sengaja bertindak selaku amil
zakat melakukan
pengumpulan, pendistribusian,
atau pendayagunaan zakat
tanpa izin pejabat yang
berwenang.
Pasal 41
Setiap orang yang dengan
sengaja dan melawan hukum
melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 dipidana dengan
pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
61
sudah eksis dalam Bab Peralihan „dipaksa‟
untuk menyesuaikan bila ingin tetap eksis
sebagai LAZ dan mendapat pengakuan
pemerintah.
Pemerintah sebagai regulator melalui
BAZNAS akan melakukan pengawasan
terhadap kinerja LAZ, juga sanksi
pembekuan jika LAZ terbukti melakukan
penyimpangan. Lalu siapa yang mengawasi
BAZNAS?
Ini dianggap upaya pemerintah untuk
mengerdilkan lembaga zakat yang sudah
eksis di tengah-tengah masyarakat. Selain
itu juga dapat menghambat kedermawanan
masyarakat.
Hal ini cukup mengkhawatirkan karena
bisa menjadikan para aktivis zakat dari
kalangan masyarakat selalu khawatir.
Sebab, seharusnya kegiatan ibadah yang
perlu didukung dan dikuatkan justeru
dibayang-bayangi oleh ancaman pidana
penjara dan denda sekaligus. Hal ini bisa
mengancam gairah di dunia zakat, sehingga
menyulut pro dan kontra.
F. Zakat Pengurang Pajak
Dalam UUPZ yang baru mulai diwacanakan agar zakat dapat
diperhitungkan sebagai pengurangan terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP).
Itu berarti pembayar zakat akan memiliki semacam Nomor Peserta Wajib
Zakat (NPWZ) yang bisa berkaitan dengan pajak. Meskipun antara pajak dan
zakat memiliki beberapa persamaan, seperti adanya unsur paksaan, unsur
pengelola, dan beberapa kesamaan dari sisi tujuan, namun sebenarnya terdapat
perbedaan signifikan, baik dari segi nama, dasar hukum dan sifat kewajiban,
serta dari sisi objek zakat atau pajak berikut prosentase dan pemanfaatannya.12
12
Bahasan lebih detil rujuk DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., Zakat Dalam
62
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
Terkait hubungan zakat dan pajak, meskipun telah diupayakan agar
zakat menjadi salah satu faktor pengurang pajak, namun ternyata hal tersebut
bertentangan dengan ketentuan UU RI Nomor 36 tahun 2008 pasal 9 ayat (1)
huruf (g) dan pasal 4 ayat (3) tentang Pajak Penghasilan. Dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2010 telah diatur bahwa zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto, meliputi zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada Badan Amil Zakat atau
Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Oleh karena itu, untuk memperoleh fasilitas zakat sebagai salah satu
unsur pengurang penghasilan kena pajak, muzakki harus membayar zakat
kepada lembaga zakat yang sudah terdaftar resmi dan diakui pemerintah.
G. Analisis SWOT
Untuk mendapatkan gambaran ringkas mengenai kondisi dan situasi
yang terjadi sebagai bahan evaluasi terhadap penerapan UUPZ dalam
organisasi BAZNAS dan LAZ, maka dapat dilihat dari sisi analisis SWOT,
akronim dari Strenghts (kekuatan), Weaknesses (kelemahan),
Opportunities (kesempatan) dan Threats (Ancaman). Hasilnya dapat
diajukan sebagai rekomendasi untuk mempertahankan kekuatan dan
menambah keuntungan dari peluang yang ada, sambil mengurangi kekurangan
dan menghindari ancaman.
1. Strenghts (kekuatan)
 Kekuatan BAZNAS adalah dukungan struktural dan akses terhadap
organ pengawasan daerah.
 Sedangkan kekuatan LAZ adalah fleksibilitas dan kemampuan
beradaptasi secara cepat karena tidak terhambat birokrasi pemerintah.
2. Weaknesses (kelemahan)
 Kelemahan BAZNAS adalah lingkungan birokratif pemerintahan.
 Kelemahan LAZ adalah kesulitan bersinergi.
 LAZ tidak memiliki akses terhadap tata ruang dan menjadi tak berdaya
menghadapi penggusuran usaha dhu‟afa yang dibiayainya.
 LAZ tidak memiliki akses pada anggaran sosial dan kesehatan,
sehingga seringkali hanya membantu ala kadarnya.
Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, hlm. 51-65.
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
63
3. Opportunities (kesempatan)
 Pemerintah memiliki keunggulan dalam organ perencanaan hingga
audit keuangan yang dapat dilibatkan sehingga perencanaan dan
pengendalian lebih baik dan utuh.
 Pengelolaan zakat dibawah „satu pintu‟ akan membuka peluang zakat
dikelola sebagai sesuatu yang integral, utuh dan dengan sumberdaya
yang menyeluruh.
 Untuk menghindari polemik UUPZ yang baru, perlu penyusunan
Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Agama (PMA) yang
aspiratif dan efektif.
 Peluang sosialisasi dan edukasi publik tentang zakat hendaknya
dimanfaatkan semaksimal mungkin. Masih besarnya gap antara potensi
dan aktualisasi zakat menunjukkan bahwa publik masih belum
sepenuhnya memahami urgensi pengelolaan zakat melalui institusi
amil.
4. Threats (Ancaman)
 Masa transisi lima tahun ke depan adalah masa yang sangat genting dan
strategis bagi penataan kelembagaan zakat.
 Penyelesaian PP dan PMA yang semakin lambat akan membuat UUPZ
yang baru menjadi kontraproduktif.
 Kebutuhan SDM untuk BAZNAS menjadi sangat besar. Tentu perlu
diatur mekanisme rekrutmen dan status kepegawaian BAZNAS.
H. Tantangan ke Depan
BAZNAS tidak hanya menghimpun dan menyalurkan zakat yang
diperoleh dirinya sendiri seperti halnya LAZ, namun juga harus melakukan
standarisasi pengelolaan zakat secara nasional, yang berlaku bagi seluruh
organisasi pengelola zakat. Standarisasi tersebut mencakup pengembangan
kelembagaan internal dan eksternal, sertifikasi dan perizinan kelembagaan,
pengembangan SDM dan keamilan, pengembangan sistem penghimpunan dan
penyaluran, standarisasi sistem pengawasan, teknologi informasi, keuangan
dan pelaporan, hubungan luar negeri, serta sebagai pusat koordinasi dan
database zakat nasional. Belum lagi ditambah dengan fungsi pengawasan
internal dan operasional internal BAZNAS. Semua ini tidak bisa dilakukan
hanya dengan mengandalkan hak amil. Karena itu, hal yang sangat wajar jika
BAZNAS mendapat dana APBN mengingat tugas dan fungsinya yang jauh
lebih berat dari LAZ.
Disamping itu, BAZNAS juga perlu segera menyiapkan sistem
informasi zakat yang berlaku nasional, untuk memberikan pelaporan mengenai
data pemberi dan penerima zakat. Pendataan mustahik sangat diperlukan
64
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
sehingga tak ada tumpang tindih pendistribusian zakat. Sebab, tak jarang masih
ada mustahik yang terdaftar di satu lembaga juga tercantum di lembaga
lainnya.13
Bagaimanapun, trust atau kepercayaan lahir atas kinerja, kesungguhan
dan keamanahan, bukan dari pemberian. Dengan begitu, masyarakat atau
stakeholder akan terus memberikan donasinya, bermitra kepada lembaga zakat,
meningkatkan capaian dan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, langkah strategis harus dilakukan terutama oleh
praktisi atau pegiat zakat melalui berbagai hal, diantaranya: Bangun kesadaran
masyarakat yang masih tidur dan belum bergerak kesadarannya menjadikan
zakat sebagai kewajiban ‟pribadi‟, akan tetapi harus menjadi kesadaran
komunal atau bersama.
Pada akhirnya, lembaga zakat mau tidak mau, harus menerapkan pola
GCG – good corporate governance, kalau tidak mau ditinggal oleh
stakeholdernya. Ada lima prinsip yang menjadi pedoman didalam pelaksanaan
GCG,
yaitu;
Transparency,
Accountability,
Responsibility,
Independency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF.
Asas Transparency menuntut tersedianya informasi yang terbuka, akurat dan
tepat waktu. Accountabilily dijabarkan dengan kejelasan fungsi organisasi
dari struktur dan sistem yang dibangun. Responsibility dilakukan dengan
kepatuhan lembaga terhadap segala peraturan yang berlaku. Independency
mensyaratkan agar lembaga dikelola secara profesional tanpa ada benturan
kepentingan dan intervensi dari manapun. Dan, Fairness menuntut adanya
perlakuan yang adil dalam memenuhi hak para stakeholder menurut
perundangan yang berlaku.14
I. Kesimpulan
UU Pengelolaan Zakat merupakan proses formalisasi yang perlu
direvitalisasi. Dengan kewenangan besar yang dimiliki BAZNAS dalam
mengatur arus lalu-lintas dana zakat, seyogyanya mampu membangkitkan
kesadaran dan menggerakkan seluruh komponen masyarakat agar lebih
mengoptimalkan dana zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Jika
pengelolaan zakat dilakukan secara bersama dan tepat, zakat akan menjadi
kekuatan ekonomi yang besar, karena berdasarkan berbagai penelitian, zakat di
Indonesia memiliki potensi yang cukup signifikan.
13
A. Syalaby Ichsan, Sistem Informasi Zakat Disiapkan, Harian Republika, Kamis, 12
April 2102, hlm. 12.
14
Ir. Moch. Arief, 2012 - Merajut ZAKAT Sebagai Kesadaran Komunal,
http://www.dsniamanah.or.id/ yang diakses pada 29 Mei 2012.
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
65
Untuk itu perlu upaya mengintegrasikan semua stakeholder pengelola
zakat tanpa menyingkirkan lembaga yang sudah ada. Kata kuncinya adalah:
Sinergi. Dalam kacamata sinergi, yang ada adalah saling menguatkan, bukan
saling melemahkan.
Terkait dengan amandemen UUPZ yang selanjutnya akan diikuti
dengan PP dan PMA sebagai mekanisme operasionalnya, ada kaidah fiqh yang
bisa dijadikan landasan:
‫الوحافظة على القدين الصالح واألخذ بالجديد األصلح‬
Artinya: Memelihara tradisi/pemikiran lama yang masih baik (relevan)
dan mengambil hal baru yang lebih baik.
Jadi, tidak perlu mengembangkan sikap apriori, selalu menerima yang
lama dan menolak yang baru, atau sebaliknya selalu menerima yang baru dan
menolak yang lama.
66
Lukmanul Hakim, Lc. MA
Revitalisasi UU Zakat: Antara Peluang dan Tantangan
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1998.
Didin Hafidhuddin, M.Sc. DR. KH., Zakat Dalam Perekonomian Modern,
Jakarta: Gema Insani, 2002.
Harian Republika, Kamis, 12 April 2102.
H.M. Umar, MHI. Drs., Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif: Praktek
Pendayagunaan Zakat di Jambi, Jambi: Sulthan Thaha Press, IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2008.
Iqtishödia: Jurnal Ekonomi Islam Republika, 31 Mei 2012.
Majalah INFOZ+ (Media Informasi Organisasi Pengelola Zakat), edisi 16,
Tahun VII, Jakarta: Forum Zakat (FOZ), Januari-Februari 2012.
Munawir Sjadzali, KH. dkk., Zakat dan Pajak,Jakarta: Yayasan Bina
Pembangunan, 1991.
Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Sunan Abu Dawud, Riyadh: Dar al-Salam, 2000
al-Suyuthi, „Abd al-Rahman ibn al-Kamal Jalal al-Din, Tarikh al-Khulafa‟,
Mesir: Mathba‟ah al-Sa‟adah, 1371 H./ 1952.
al-Thabari, Muhammad ibn Ja‟far, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Mesir: Dar
al-Ma‟arif, tt., Juz II.
Yusuf al-Qardhawi, al-„Ibadah fi al-Islam, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1991
Download