INDERAJA Volume II No. 3 | Desember 2011 ISSN 2067-8141 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 1 2 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Dari Meja Redaksi Sidang Pembaca Yang Terhormat, P enerbitan Majalah Inderaja LAPAN edisi Desember 2011 memasuki nomor edisi ketiga setelah namanya berganti dari Majalah Berita Inderaja menjadi Majalah Inderaja. Majalah ini merupakan media distribusi informasi perkembangan teknologi penginderaan jauh (inderaja). Materi tulisan yang disajikan pada edisi Desember 2011 adalah hasil kegiatan penelitian dan operasional di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN (Jakarta), Kantor Kedeputian Bidang Sains Antariksa LAPAN (Bandung) serta pada Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman yang memanfaatkan data satelit inderaja, diantaranya menggunakan data satelit ALOS (PRISM dan PALSAR), Landsat - TM, JERS SAR, Quickbird, TRMM, dan SRTM. Diharapkan materi/ tulisan yang disampaikan dapat bermanfaat bagi pembaca. Diterbitkan oleh: Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Tema tentang pemanfaatan data satelit inderaja untuk ketersediaan informasi potensi rawan bencana mengisi ruang pada Rubrik Topik Inderaja dengan judul : Analisis Potensi Aliran Lahar Gunungapi Merapi di Yogyakarta serta Peluang dan Tantangan Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana. Staf Redaksi: Ir. Rubini Jusuf, M.Si, Yudho Dewanto, ST, Drs. Mohammad Natsir, M.T, Drs. Sukmadrajad, M.Sc, Abdul Kholik, SH Bambang Haryanto, SE., Pada Rubrik Aplikasi Inderaja, disajikan beberapa judul tulisan, diantaranya adalah : Pemanfaatan Data Citra Termal Satelit Landsat -TM dalam Perkiraan Sebaran Uap Air Permukaan di Ibukota Kabupaten Purbalingga dan Sekitarnya dan Prediksi Potensi Banjir di Pulau Sumatera Menggunakan Data OLR. Penyebarluasan informasi perkembangan pemanfaatan teknologi satelit, produk data dan sistem bank data inderaja saat ini, dimuat pada Rubrik Informasi Data Inderaja. Judul tulisannya adalah : Kajian Awal Kebutuhan Teknologi Satelit Penginderaan Jauh untuk Mendukung Program Redd di Indonesia, Manfaat Informasi Spasial Hujan TRMM Periodik dalam Pemantauan Kondisi Lahan Sawah, Mengapa Hujan Sulit Diprediksi? dan Kajian Perangkat Lunak Geotagging dalam Rangka Mendukung Kegiatan Survei Lapangan. Kami berusaha menyajikan informasi pemanfaatan data inderaja yang up to date. Informasi disampaikan melalui makalah/ tulisan, artikel dan pemuatan poster Peta Citra Satelit inderaja meliputi wilayah di seluruh Indonesia. Pada kesempatan ini, redaksi menyampaikan permohonan ma’af, karena belum dapat memenuhi semua permintaan pembaca yang disampaikan melalui pengembalian Formulir Tanggapan Surat Pembaca. Dan diharapkan pada edisi mendatang, secara bertahap kami dapat memenuhi permintaan pembaca. Terima kasih atas perhatiannya, selamat membaca. . Hormat Kami, Redaksi INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Pelindung: Kepala LAPAN Deputi Bidang Penginderaan Jauh Penanggung Jawab : Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Editor : Ir. Mahdi Kartasasmita, M.S., Ph.D. Prof. DR. F. S. Hardiyanti Purwadhi Staf Sekretariat: Abdul Makmun Achmad Djafar Wiwi Diyarti Alamat Redaksi: Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Jl. Lapan No. 70 Jakarta 13710 Telp.: (021) 8717715, 8710786, 8721870. Fax.: (021) 8717715 Website: http://www.lapanrs.com. Email: [email protected] Majalah ini diterbitkan untuk pengguna data satelit penginderaan jauh LAPAN. Redaksi menerima tulisan, saran, dan kritik dari para pembaca. Naskah mohon di tik satu spasi dan bila ada gambar dalam format (.gif/.tiff). Frekuensi terbit: 2 kali setahun. 3 Surat Pembaca Sangat baik isinya untuk kepentingan penguasaan teknologi tepat guna, tata ruang dan batas wilayah. Agar dapat berkelanjutan penerbitannya, terima kasih. M. Suhud Sekretaris Bappeda, Jl. Jend. Sudirman, Marobahan, Provinsi Kalimantan Selatan Terima kasih atas komentar dan support Bapak M Suhud tentang penerbitan majalah Inderaja. Redaksi majalah berupaya memberikan informasi tentang perkembangan pemanfaatan aplikasi teknologi penginderaan jauh hasil litbang dan operasional di LAPAN serta peneliti bidang penginderaan jauh dari Instansi luar. Diharapkan majalah ini dapat digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan pembangunan baik di Pusat maupun Daerah. Masalah nama Ok setuju aja, muatan (isinya) juga bisa menambah wawasan bagi kita. Terus tingkatkan peran LAPAN dan publikasikan informasi yang bermanfaat kepada masyarakat luas, sehingga dapat memetik manfaat dan tahu sumbangan LAPAN bagi pembangunan bangsa dari negeri ini, tentunya yang terkait dengan masalah penginderaan jauh. Sutrisno, S.Sos. MA Kepala UPT Perpustakaan UNSOED, Jl. Prof. DR. H.R. Bunyamin 708, Grodeng, Purwokerto - Provinsi Jawa Tengah Mengenai pergantian nama dari Majalah Berita Inderaja berubah menjadi Majalah Inderaja adalah berdasarkan arahan dari Pimpinan kami. Majalah ini diterbitkan menggunakan format tulisan semi ilmiah dan semi populer, sehingga namanya disesuaikan. Terima kasih atas apresiasi Bapak Sutrisno, S.Sos. MA, semoga majalah Inderaja dapat diterima di lingkungan Perguruan Tinggi dan juga khususnya di UPT Perpustakaan UNSOED, Redaksi mengharapkan saran dan komentar dari pembaca yang budiman, sehingga kami dapat meningkatkan mutu dan kualitas di dalam menyajikan infomasi tentang teknologi penginderaan jauh. Materi yang ditampilkan cukup bagus, undang penulis lain di luar LAPAN. DR. Ir. Eka Djunarsyah, MT Ketua Program Studi Sarjana Teknik Geodesi & Geomatika FITB-ITB, Gedung LABTEK IX C Lt. 2, Jl. Ganesa 10, Bandung Provinsi Jawa Barat Terima kasih atas saran dan masukan Bapak DR. Ir. Eka Djunarsyah, MT. Majalah Inderaja diterbitkan untuk mendistribusikan informasi kepada masyarakat terkait perkembangan teknologi satelit inderaja beserta aplikasi turunannya. Hingga saat ini frekuensi terbit majalah Inderaja hanya 2 kali dalam waktu 1 Tahun (Edisi Juli dan Desember) dan diharapkan diwaktu yang akan datang dapat menjadi 3 kali dalam waktu 1 Tahun. Tulisan (dari makalah) yang dimuat pada majalah Inderaja adalah hasil kegiatan litbang dan operasional di LAPAN serta peneliti bidang penginderaan jauh dari Instansi luar. Untuk edisi kali ini kami menamplikan tulisan dari Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto dengan judul : Pemanfaatan Data Citra Termal Satelit Landsat -TM dalam Perkiraan Sebaran Uap Air Permukaan di Ibukota Kabupaten Purbalingga dan Sekitarnya. Melalui forum ini, Redaksi bermaksud menawarkan kepada Bapak DR. Ir. Eka Djunarsyah, MT. dan pembaca setia lainnya untuk sedikit meluangkan waktunya mengirimkan tulisan ke meja redaksi majalah Inderaja berupa makalah yang ditulis dalam format semi ilmiah/ semi populer. Cover depan agar dibuat lebih menarik, lay out halaman agar di buat eye catching, Dimasukan rubrik yang sedang up to date sehingga lebih berwahana. Utami Indira Sari, ST Staf PSKLH (Prasarana Sarana Kota dan Lingkungan Hidup) Kota Adm. Jakarta Utara Jl. Yos udarso No. 27-29, Tanjung Priok, Jakarta Utara Terima kasih atas saran dan respon Ibu Utami Indira Sari, ST. Kami akan perhatikan dan menjadikan masukan yang positif, Majalah ini selalu berusaha menyajikan informasi berupa teks maupun gambar yang terbaik agar dapat diminati oleh para pembaca setianya, Berkaitan dengan permintaan untuk dimuatnya rubrik yang sedang up to date sehingga lebih berwahana, pada edisi kali ini kami menampilkan tulisan dengan judul : Peluang dan Tantangan Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana, dan Mengapa Hujan Sulit Diprediksi?. Semoga dengan dimuatnya tulisan ini dapat memenuhi keinginan dan juga harapan Ibu Utami Indira Sari, ST. Sekian, terima kasih atas perhatiannya. 4 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Daftar Isi 6 Halaman Halaman 3 4 6 Analisis Potensi Aliran Lahar Gunungapi Merapi di Yogyakarta Dari Meja Redaksi Surat Pembaca: Topik Inderaja Peluang dan Tantangan Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana 19 Aplikasi Inderaja 27 Informasi Data Inderaja 46 62 67 74 • Pemanfaatan Data Citra Termal Satelit Landsat -TM dalam Perkiraan Sebaran Uap Air Permukaan di Ibukota Kabupaten Purbalingga dan Sekitarnya • Prediksi Potensi Banjir di Pulau Sumatera Menggunakan Data OLR • Kajian Awal Kebutuhan Teknologi Satelit Penginderaan Jauh untuk Mendukung Program Redd di Indonesia • Manfaat Informasi Spasial Hujan TRMM Periodik dalam Pemantauan Kondisi Lahan Sawah • Mengapa Hujan Sulit Diprediksi? • Kajian Perangkat Lunak Geotagging dalam Rangka Mendukung Kegiatan Survei Lapangan? Berita Ringan • Pameran Ritech di Puspitek Serpong • Siswa Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut Kunjungi Lapan Pekayon • Peringatan HUT LAPAN Ke 48 Diselenggarakan di Puspitek Serpong Tangerang Selatan – Provinsi Banten Peristiwa Dalam Gambar • Kegiatan Pelatihan Pengolahan Awal Data SAR di Selenggarakan di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN • Diklat SIG ESDM di Kantor LAPAN Pekayon • Kunjungan Mahasiswa Fakultas Teknik Komputer Universitas Diponegoro ke LAPAN Pekayon Poster • Peta Citra Satelit Landsat Tanggal 28 Juli 2008 Wilayah Gunung Merapi • Peta Citra Satelit Jaya Pura & Sekitarnya Cover : Depan : Citra Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan Depan Dalam : Citra Satelit Kota Sibolga Provinsi SumateraUtara Belakang Dalam : 3 Dimensi Mosaik Citra Landsat-7 Tahun 2008 –2010 Provinsi Kalimantan Tengah Belakang : Kota Bandar Lampung INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 5 TOPIK Inderaja Analisis Potensi Aliran Lahar Gunung Api Merapi Di Yogyakarta Susanto, Bambang Trisakti dan Fajar Yulianto M erapi, adalah nama sebuah gunung berapi yang ada di Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah Indonesia dan masih sangat aktif hingga saat ini. Secara geografis terletak pada posisi 7° 325’ Lintang Selatan dan 110° 26.5 Lintang Utara, dengan ketinggian puncak 2.968 m ( 2006) Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Letaknya cukup dekat dengan Kota Yogyakarta dan masih terdapat desa-desa di lerengnya sampai ketinggian 1700 m. Secara administratif lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisi lainnya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004. Berthomier, seorang sarjana Prancis, membagi perkembangan Merapi dalam empat tahap. Tahap pertama adalah Pra-Merapi (sampai 400.000 tahun yang lalu), yaitu Gunung Bibi yang bagiannya masih dapat dilihat di sisi timur puncak Merapi. Tahap Merapi Tua terjadi ketika Merapi mulai terbentuk namun belum berbentuk kerucut (60.000 8000 tahun lalu). Sisa-sisa tahap ini adalah Bukit Turgo dan Bukit Plawangan di bagian selatan, yang terbentuk dari lava basaltik. Selanjutnya adalah Merapi Pertengahan (8000 - 2000 tahun lalu), ditandai dengan terbentuknya puncakpuncak tinggi, seperti Bukit Gajahmungkur dan Batulawang, yang tersusun dari lava andesit. Proses pembentukan pada 6 masa ini ditandai dengan aliran lava, breksiasi lava, dan awan panas. Aktivitas Merapi telah bersifat letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan runtuhan material ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Kawah Pasarbubar (atau Pasarbubrah) diperkirakan terbentuk pada masa ini. Puncak Merapi yang sekarang, Puncak Anyar, baru mulai terbentuk sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, diketahui terjadi beberapa kali letusan eksplosif dengan VEI (Volcanic Explosivity Index) 4 istilah tingkat ekplosit bagian erosi gunungapi berdasarkan pengamatan lapisan tefra. Karakteristik letusan sejak 1953 adalah desakan lava ke puncak kawah disertai dengan keruntuhan kubah lava secara periodik dan pembentukan awan panas (nuée ardente) yang dapat meluncur di lereng gunung atau vertikal ke atas. Letusan tipe Merapi ini secara umum tidak mengeluarkan suara ledakan tetapi hanya berupa suara desis. Kubah puncak yang ada sampai 2010 adalah hasil proses yang berlangsung sejak letusan gas 1969. Pakar geologi pada tahun 2006 mendeteksi adanya ruang raksasa di bawah Merapi berisi material seperti lumpur yang secara “signifikan menghambat gelombang getaran gempa bumi”. Para ilmuwan memperkirakan material itu adalah magma. Kantung magma ini merupakan bagian dari formasi yang terbentuk akibat menghunjamnya Lempeng IndoAustralia ke bawah Lempeng Eurasia. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 TOPIK Inderaja Gambar 1. Peta Lokasi Gunung Merapi di wilyah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Data Ikonos 2009 Gunungapi ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak di bawah 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api dekade Ini (Decade Volcanoes). Dan meletus lebih dari 37 kali, terbesar pada tahun 1972 yang menewaskan 3000 jiwa, pada Selasa Kliwon tanggal 22 November 1994, dengan korban tewas lebih dari 50 orang, dan pada tahun 2010 dengan korban jiwa sebanyak 104 di Sleman dan 116 Yogya (sumber BNPB 27 Nopember 2010). Berdasarkan kenampakan topografi yang dianalisis secara visual, Informasi yang diturunkan dari data INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 penginderaan jauh, khususnya tutupan lahan dan topografi (DEM), bentuk topografi yang tampak dari citra satelit dianalisis untuk menunjukkan daerah potensi bahaya aliran lahar. Pemanfaatan citra dengan analisis ini dapat dilakukan melalui data citra saat terjadinya letusan, dengan mengalisis bentuk pola aliran dan jumlah alur sungai yang berhulu dan kemana aliran yang terbentuk di kawasan Gunung Merapi, didapatkannya daerah bahaya pada zonasi tingkat aliran Lahar dapat dijadikan informasi lokasi daerah bahaya dan penutup lahan sebagai masukan terhadap sistem mitigasi bencana Gunungapi Merapi. Digital Elevation Model (DEM) Dengan Model Elevasi Digital (Digital Elevation ModelDEM) yang merupakan informasi atau data ketinggian (topografi) suatu wilayah permukaan bumi dalam konversi bilangan digital, yang dapat disimpan dalam bentuk raster berbasis piksel atau dalam bentuk data vektor dengan 7 TOPIK Inderaja Arah satelit Arah belakang Backward Tegak lurus Nadir Arah satelit Arah Depan Forward M=G Paralak Mf M Mf Objek G Citra Nadir Citra Forward Mb Gambar 2. Sistem stereo pada sensor ALOS PRISM (Atas), Paralak pada citra stereo (Bawah) (Sumber : Ono, 2009). format Triangulated irregular network (TIN). Data DEM ini digunakan untuk mendukung kegiatan, seperti: koreksi citra, pemetaan daerah rawan bencana (banjir, longsor dan tsunami), pembuatan kontur dan penyusunan tata ruang. Tulisan ini membahas mengenai DEM yang dihasilkan menggunakan data satelit penginderaan jauh aplikasinya terhdap daerah aliran lahar merapi. DEM ini dapat dihasilkan dengan beberapa teknik: 1) Interpolasi titik ketinggian hasil pengukuran lapangan atau hasil digitasi dari peta topografi, 2) Menghitung ketinggian dari paralak menggunakan citra stereo optik, dan 3) menghitung ketinggian dengan metoda interferometri menggunakan data Synthetic Aperture Radar (SAR). Teknik kedua maupun ketiga di atas juga memerlukan interpolasi untuk dapat memperoleh informasi ketinggian seluruh titik dalam jaringan (grid) yang melingkupi wilayah yang diperhatikan (area of interest). Penurunan DEM dengan teknik menghitung ketinggian dari paralak dilakukan dengan memanfaatkan satelit optik yang dapat merekam citra stereo (dua atau lebih citra yang direkam dari sudut sensor yang berbeda), seperti contoh: sensor Panchromatic Remote-Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang dipasang pada satelit Advanved Land Observation Satellite (ALOS) dapat menghasilkan citra stereo pankromatik (panjang gelombang 0.52-0.77 um) dari arah Nadir (tegak lurus), Forward (arah depan) dan Backward (arah belakang) dalam sekali perekaman. DEM yang dihasilkan dari citra stereo ALOS PRISM dapat mempunyai akurasi yang cukup 8 untuk memetakan topografi permukaan bumi dengan skala 1:25.000 atau lebih besar. (laporan Japan Aerospace Exploration Agency /Jaxa Agency). Prinsip penurunan DEM dari satelit ALOS diperlihatkan pada Gambar 2, Sensor PRISM mempunyai tiga teleskop yang digunakan untuk merekam permukaan bumi dengan tiga arah yaitu arah tegak lurus, depan dan belakang. Sistem stereo (multi looking) ini memetakan objek permukaan bumi yang mempunyai ketinggian pada posisi yang berbeda. Bila diasumsikan terdapat objek di permukaan bumi dengan dasar pada titik G (titik 0 m) dan puncak pada titik M. Pada saat sensor merekam citra dari arah tegak lurus, maka G dan M akan dipetakan pada posisi yang sama (M=G). Tetapi pada saat merekam citra dari arah miring (misal: arah depan), maka M akan dipetakan ke Mf yang mempunyai posisi yang berbeda dari G. Jarak perbedaan posisi Mf dan G disebut paralak yang disebabkan karena pengaruh ketinggian objek di permukaan bumi. Paralak tidak terjadi pada objek yang mempunyai ketinggian 0 m, sebagai contoh G akan dipetakan pada posisi yang sama walau direkam dari arah yang berbeda. Sebaliknya, paralak yang terjadi akan menjadi semakin besar bila objek permukaan bumi yang akan direkan semakin tinggi. Gambar 2 (Bawah) memperlihatkan paralak yang terjadi dari perekaman arah tegak lurus dan arah depan. Selanjutnya hubungan antara paralak (Mf-G atau Mb-G), sudut perekaman satelit (model sensor) dan ketinggian objek dapat digunakan untuk menghitung ketinggian objek permukaan bumi. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 TOPIK Inderaja Perhitungan paralak yang selanjutnya digunakan untuk menghasilkan informasi DEM diperlukan minimal dua citra yang direkam dari arah berbeda. Gambar 3 memperlihatkan DEM dengan cakupan sekitar 35x35 km untuk wilayah Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa tengah dengan menggunakan citra Nadir dan citra Forward data ALOS PRISM. Citra DEM yang dihasilkan mempunyai resolusi spasial tinggi 2.5 m, walaupun untuk menghasilkan DEM dengan pola yang lebih halus perlu dilakukan proses lanjut dengan melakukan filtering dan penurunan resolusi menjadi 5-10 m. Penggabungan antara DEM (informasi topografi) dan citra pankromatik dapat membentuk tampilan 3 dimensi dari permukaan bumi untuk wilayah pengamatan (Bawah). Informasi yang diturunkan dari data penginderaan jauh, khususnya tutupan lahan dan topografi (DEM), sangat dibutuhkan untuk mendukung kegiatan mitigasi bencana, seperti: pemetaan daerah rawan bencana dan penentuan lokasi evakuasi. Pemetaan daerah aliran lahar merapi digunakan data topografi wilayah sebagai salah satu parameter kunci. Analisis yang akurat untuk menentukan daerah Aliran Lahar membutuhkan informasi spasial yang detil (seperti informasi topografi dan tutupan/ penggunaan lahan). Hasil kajian pembuatan daerah aliran lahar di atas menunjukkan bahwa data ALOS khususnya maupun data inderaja satelit pada umumnya dapat menjadi suatu alternatif untuk memenuhi kebutuhan ini. Selain itu cakupan datanya yang luas dalam setiap perekaman dan dapat mencapai seluruh wilayah Indonesia membuat data ALOS khususnya data inderaja satelit pada umumnya sangat sesuai untuk memetakan daerah bencana secara akurat dan ekonomis. Gambar 3. Citra Tiga Demensi Wilayah Gunung Merapi (DEM SRTM Spasial 30 meter) Gambar 4. Peta Penutup Lahan Wilayah Gunung Merapi Berdasarkan Data Landsat 28 Juli 2008. KONDISI KAWAH GUNUNG MERAPI SEBELUM DAN SESUDAH LETUSAN Gambar 5. Kondisi sebelum meletus (kiri) dan setelah meletus (kanan), Gambar 6. Kondisi aliran lahar aliran puncak Gunung Merapi Data 27 April 2007 (PALSAR) INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 9 TOPIK Inderaja Gambar 7. Dibawah merupakan gambaran tutupan lahan wilayah merapi dengan kondisi bentuk potensi Aliran lahar yang mengarah kearah barat daya (warna biru), dengan bagian bawah dan sekitarnya terlihat adanya permukiman hanya bagian utara dan timur masih terlihat adanya hutan, seangkan bagian barat daya para penduduk dipai untuk pertanian. Analisis Daerah Potensi Bahaya Letusan Gunung Merapi Pemanfaatan citra satelit ini dilakukan berdasarkan kenampakan topografi yang dianalisis secara visual. Cara lain misalnya penentuan daerah bahaya sebaran piroklastik yang ditentukan berdasarkan radius dengan jarak tertentu. Bentuk topografi yang tampak dari citra satelit dianalisis untuk menunjukkan daerah potensi bahaya aliran lahar. Dari citra satelit tanggal 5 November 2010 (PALSAR) dapat dikenali bahwa bentuk kawah “relatif” semakin luas dibanding kawah tanggal 27 April 2007 (PALSAR) atau tanggal 28 Juli 2008 (Landsat). Aktivitas letusan (26 Oktober 2010) telah merobek puncak kawah ke arah selatan yang dikenali dari bentuk juring atau yang dikenal dengan istilah “baranco” yang berada di puncak Gunung Merapi. Di bawah “juring/ baranco” baru ini, telah ada “baranco” lama yang juga mengarah ke selatan dan diikuti oleh aliran Sungai Opak dan Sungai Gendol. Pada sepanjang daerah aliran sungai inilah berpotensi terjadi aliran lahar. Ada beberapa bentuk “baranco” yang diikuti oleh aliran sungai. Pemanfaatan citra dengan analisis ini dapat dilakukan berdasarkan data citra lama. Dengan analisis serupa maka dapat diaplikasikan untuk analisis daerah potensi bahaya pada gunungapi lain yang sedang aktif. Perubahan baranco 27 April 2007 – 5 November 2010 : lebar baranco dari + 95 m menjadi 650 m, panjang kawah dari + 300 m menjadi 1200 m, artinya kekuatan letusan 3 kali lipat. Pola aliran terlihat lebih berkelompok pada jalur wilayah kepundan di bagian Barat Daya yang merupakan hulu dibagian atas yang longsor sehingga menyebabkan bagian yang rendah dominan menerima aliran yang tidak bias ditampung oleh puncak kepundan Merapi. Dengan pola aliran hasil olahan citra satelit ini dapat dipakai untuk membuat alternatif bendungan-bendungan atau Dam dengan Pola yang dapat diarahkan pada daerah aliran sungai dengan wilayah radius tertentu yang sudah terbentuk oleh Gunung Merapi dan tidak lagi digunakan untuk hunian atau permukiman penduduk maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat permanen yang mudah dilalui atau pengaruh adanya aktivitas letusan Gunung Merapi. Gambar 7. Petra Citra Satelit Landsat Tanggal 28 Juli 2008 (Landsat) Wilayah Gunung Merapi 10 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 TOPIK Inderaja Gambar 8. Peta 3 Demensi Potensi Aliran Lava Wilyah Gunung Merapi Pola Aliran di Sekitar Gunung Merapi Berdasarkan DEM SRTM Gambar 9. Pola Aliran di sekitar GUnung Merapi Berdasarkan DEM SRTMeta 3 Demensi Potensi Aliran Lava Wilyah Gunung Merapi, 5 November 2010 (PALSAR) Sumber : Badan Nasional Penanggulanagan Bencana (BNPB) Gambar 10. Radius luncuran Aliran Pyroclastic Panas gununapi Merapi (Citra Nassa 8 November 2010) INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 11 TOPIK Inderaja Peluang dan Tantangan Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana (15 hal) 12 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 TOPIK Inderaja INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 13 TOPIK Inderaja 14 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 TOPIK Inderaja INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 15 Aplikasi Inderaja Pemanfaatan Data Citra Termal Satelit Landsat -TM dalam Perkiraan Sebaran Uap Air Permukaan di Ibukota Kabupaten Purbalingga dan Sekitarnya (7 hal) 16 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Aplikasi Inderaja INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 17 Aplikasi Inderaja 18 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Aplikasi Inderaja INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 19 Aplikasi Inderaja 20 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Aplikasi Inderaja INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 21 Aplikasi Inderaja PREDIKSI POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA MENGGUNAKAN DATA OLR Nanik Suryo Haryani*) Any Zubaidah*) *) Peneliti Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana M enurunnya kualitas lingkungan (degradasi lahan) pada akhir-akhir ini merupakan salah satu penyebab terjadinya berbagai bencana alam, seperti banjir. Banjir umumnya terjadi akibat adanya curah hujan yang tinggi di atas normal yang merupakan hujan lebat yang terjadi pada daerah rawan yang berpotensi terjadi bencana. Kondisi relief yang datar sampai dengan landai disertai adanya hujan yang lebat menjadikan daerah rawan tersebut menjadi daerah rawan tergenang. Di sisi lain daerah rawan tersebut seringkali menjadi tempat yang dikembangkan menjadi lahan budidaya dan permukiman. Fenomena seperti tersebut di atas yang menyebabkan bencana banjir yang menimbulkan kerugian serta terjadinya korban yang relatif besar. Terjadinya penggundulan hutan di daerah resapan air juga akan menyebabkan peningkatan debit banjir karena debit air yang masuk ke dalam sistim aliran menjadi tinggi sehingga melampaui kapasitas pengaliran dan menjadi pemicu terjadinya sedimentasi pada sistem pengaliran air. Berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi atas meningkatnya debit air. Pada daerah pemukiman yang padat dengan bangunan akan mengakibatkan tingkat resapan air ke dalam tanah berkurang, apabila terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi sebagian besar air akan menjadi aliran permukaan yang langsung masuk ke dalam sistim pengaliran air sehingga kapasitasnya air akan melampaui kapasitasnya, sehingga akan mengakibatkan terjadinya banjir. Analisis potensi banjir ini dapat dilakukan dengan memperkirakan potensi terjadinya hujan lebat yang diintegrasikan dengan peta kerawanan bencana banjir (daerah rawan tergenang), sehingga dapat diketahui daerah 22 rawan yang kemungkinan dan kapan akan terjadi banjir. Dalam hal ini, peranan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) sangatlah diperlukan untuk proses pengolahan prediksi daerah potensi banjir. Prediksi potensi curah hujan dapat dilakukan melalui pengolahan data OLR (Outgoing Longwave Radiation) dan suhu permukaan laut (SPL) yang diturunkan dari data penginderaan jauh. OLR merupakan energi radiasi gelombang panjang yang meninggalkan bumi sebagai radiasi inframerah pada energi rendah. Radiasi gelombang panjang yaitu radiasi yang mempunyai panjang gelombang lebih dari 4 mm. Berbagai spektrum radiasi gelombang panjang (4,0-120 mm) baik yang datang dari atas maupun dari pancaran radiasi permukaan bumi dapat diserap oleh uap air, CO2 dan O2 yang terdapat di lapisan bawah atmosfer yang disebut troposfer. Spektrum radiasi gelombang antara 5 – 8 mm dan 17 - 24 mm diserap oleh uap air (H2O) yang berlangsung di awan dan sekitarnya. Gas CO2 menyerap radiasi gelombang antara 4 – 5 mm dan 11 – 17 mm, hal ini yang menyebabkan kenaikan suhu di atmosfer. Adapun spektrum 9 – 10 mm diserap oleh gas metana (CH4) yang berlangsung di lapisan stratosfer. Uap air terutama awan merupakan gas yang cukup efektif menyerap radiasi gelombang panjang. Hasil kondensasi yang berupa awan merupakan sumber berbagai peristiwa salah satunya adalah hujan (Handoko, 1994). Menurut Parwati (2008), dalam Chang dan Kiyostoshi, (1994), mengemukakan bahwa nilai OLR kurang dari 235 Wm-2 berhubungan dengan konveksi awan kumulus yang kuat mengacu pada curah hujan tropis. Menurut Ankomah dan Cordery (1994), hubungan positif antara panasnya laut dengan curah hujan tinggi, dan INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Aplikasi Inderaja juga lautan yang dingin dengan curah hujan rendah. Begitu juga adanya hubungan yang signifikan antara OLR dan SST (Sea Surface Temperature) di daerah tropis. Konveksi maksimum dengan OLR sekitar 230 Wm-2 terjadi ketika SST adalah sekitar 29,5 ° C, sedangkan konveksi minimum terjadi pada SST 31,5° C dengan nilai OLR=260 Wm-2 (Waliser et al, 1993). Dikemukakan juga bahwa peningkatan konveksi akan terjadi pada SST < 29,5 C, dan sebaliknya pada SST > 29,5 C terjadi penurunan konveksi. Prediksi potensi curah hujan bulanan dari hasil pengolahan data penginderaan jauh dalam hal ini data OLR yang selanjutnya dioverlay dengan daerah rawan tergenang akan menghasilkan prediksi potensi banjir. Keberadaan daerah rawan tergenang tersebut diperoleh dari data genangan Departemen Pekerjaan Umum (PU) yang telah di-update menggunakan data dari beberapa parameter, antara lain: bentuklahan, geomorfologi, penutup/ penggunaan lahan, elevasi, pola aliran sungai dengan menggunakan citra Landsat dan citra SPOT. Adapun tujuan dari penulisan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) setempat untuk penanggulangan terjadinya bahaya banjir, sehingga dapat digunakan untuk mengantisipasi sebelum terjadinya banjir di suatu daerah. Bulan Desember 2011 Januari 2012 Prediksi curah hujan dari data OLR Model prediksi anomali curah hujan di Indonesia yang didasarkan pada anomali suhu permukaan laut Pasifik tropik dan OLR (Out-going Longwave Radiation) telah dikembangkan oleh Roswintiarti (1997). Model tersebut telah dioperasionalkan oleh LAPAN pada Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSDAL) yang sekarang bernama Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana (LMB) untuk memprediksi kondisi curah hujan di wilayah Indonesia setiap bulannya hingga 5 bulan yang akan datang. Sebagai masukan bagi model tersebut adalah anomali suhu permukaan laut pasifik tropik. Dalam tulisan ini, prediksi iklim bulanan yang berupa prediksi Outgoing Longwave Radiation (OLR) dan estimasi curah hujan di wilayah Indonesia hanya menguraikan hingga 3 (tiga) bulan ke depan. Model prediksi curah hujan yang digunakan berdasarkan input anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Pasifik pada bulan September 2011 untuk memprediksi bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. Peningkatan/ penurunan anomali OLR yang berkaitan dengan penurunan/ peningkatan curah hujan diperoleh dari selisih nilai bulanan dengan nilai rata-rata bulanan selama 22 tahun (1982 – 2003). Hasil prediksi iklim berdasarkan Suhu Permukaan Laut (SPL) Pasifik Tropik bulan September 2011 di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 serta Gambar 1. OLR (W/m2) Estimasi CH (mm/bulan) ≤ 205 ≥ 250 205 – 235 150 – 250 > 235 < 150 - ≤ 205 ≥ 250 Propinsi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Lampung. 205 – 235 150 – 250 > 235 < 150 - ≤ 205 ≥ 250 Propinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan, P. Jawa, Maluku, Papua, Papua Barat. 205 – 235 150 – 250 Propinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Kep. Riau, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku Utara, Bali, NTB, NTT. > 235 < 150 - Februari 2012 Wilayah Seluruh wilayah P. Sumatera. - Propinsi NAD, Sumatera Utara, Riau, Kep. Riau. Tabel 1. Prediksi OLR dan estimasi curah hujan di Indonesia. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 23 Aplikasi Inderaja Gambar 1. Prediksi Outgoing Longwave Radiation (OLR) dan Curah Hujan Desember 2011 – Februari 2012 24 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Aplikasi Inderaja Daerah Potensi Banjir Daerah potensi banjir Pulau Sumatera dihasilkan dari data hasil prediksi curah hujan bulan Desember 2011 hingga Februari tahun 2012 yang dioverlay dengan peta daerah genangan Pulau Sumatera. Hasil prediksi potensi banjir Pulau Sumatera pada bulan Desember 2011 dapat dilihat pada Gambar 2, prediksi potensi banjir bulan Desember 2011 itu tersebar di 35 kabupaten yang meliputi 7 provinsi, antara lain di Provinsi Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Lokasi dan jumlah prediksi potensi banjir pada bulan Desember 2011 seperti pada Tabel 2. Gambar 2. Prediksi Potensi Banjir bulan Desember 2011 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 25 Aplikasi Inderaja Tabel 2. Lokasi dan Jumlah Prediksi Potensi Banjir Pada Bulan Desember 2011 NO. KABUPATEN PROVINSI JUMLAH LOKASI 1 Bangka Bangka Belitung 207 2 Belitung Bangka Belitung 34 3 Bengkulu Selatan Bengkulu 38 4 Bengkulu Utara Bengkulu 22 5 Rejang Lebong Bengkulu 12 6 Batanghari Jambi 13 7 Bungo Tebo Jambi 6 8 Sarolangun Bangko Jambi 5 9 Tanjung Jabung Jambi 17 10 Lampung Barat Lampung 19 11 Lampung Selatan Lampung 39 12 Lampung Tengah Lampung 64 13 Lampung Utara Lampung 62 14 Bengkalis Riau 1 15 Indragiri Hil Riau 10 16 Kampar Riau 2 17 Kuantan singingi Riau 3 18 Pelalawan Riau 7 19 Siak Riau 11 20 Agam Sumatera Barat 12 21 Kodya Padang Sumatera Barat 9 22 Lima Puluh Koto Sumatera Barat 3 23 Padang Pariaman Sumatera Barat 27 24 Pasaman Sumatera Barat 9 25 Pesisir Selatan Sumatera Barat 26 26 Sawah Lunto Sumatera Barat 14 27 Solok Sumatera Barat 8 28 Tanah Datar Sumatera Barat 11 29 Kdy. Palembang Sumatera Selatan 1 30 Lahat Sumatera Selatan 25 31 Muara Enim Sumatera Selatan 13 32 Musi Banyuasin Sumatera Selatan 69 33 Musi Rawas Sumatera Selatan 21 34 Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan 29 35 Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan 21 26 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Aplikasi Inderaja Hasil prediksi potensi banjir Pulau Sumatera pada bulan Januari 2012 dapat dilihat pada Gambar 3, prediksi potensi banjir Pulau Sumatera pada bulan Januari 2012 itu tersebar di 21 Kabupaten yang meliputi 6 Provinsi, antara lain di Provinsi Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Sedangkan hasil prediksi potensi banjir Pulau Sumatera pada bulan Februari 2012 dapat dilihat pada Gambar 4, prediksi potensi banjir bulan Februari 2012 itu tersebar di 6 Kabupaten yang meliputi 2 Provinsi, antara lain di Provinsi Lampung, dan Provinsi Sumatera Selatan. Lokasi dan jumlah prediksi potensi banjir pada bulan Februari 2012 seperti pada Tabel 4. Gambar 3. Prediksi Potensi Banjir bulan Februari 2012 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 27 Aplikasi Inderaja Tabel 3. Lokasi dan Jumlah Prediksi Potensi Banjir Pada Bulan Januari 2012 NO. KABUPATEN PROVINSI JUMLAH LOKASI 1 Belitung Bangka Belitung 27 2 Bangka Bangka Belitung 123 3 Bengkulu Selatan Bengkulu 38 4 Bengkulu Utara Bengkulu 21 5 Rejang Lebong Bengkulu 12 6 Batanghari Jambi 13 7 Bungo Tebo Jambi 5 8 Sarolangun Bangko Jambi 5 9 Lampung Barat Lampung 19 10 Lampung Selatan Lampung 39 11 Lampung Tengah Lampung 64 12 Lampung Utara Lampung 62 13 Pesisir Selatan Sumatera Barat 26 14 Solok Sumatera Barat 2 15 Kdy. Palembang Sumatera Selatan 1 16 Lahat Sumatera Selatan 25 17 Muara Enim Sumatera Selatan 13 18 Musi Banyuasin Sumatera Selatan 69 19 Musi Rawas Sumatera Selatan 21 20 Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan 29 21 Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan 21 Tabel 4. Lokasi dan Jumlah Prediksi Potensi Banjir Pada Bulan Februari 2012 NO. KABUPATEN PROVINSI JUMLAH LOKASI 1 Lampung Barat Lampung 5 2 Lampung Selatan Lampung 37 3 Lampung Tengah Lampung 64 4 Lampung Utara Lampung 61 5 Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan 2 6 Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan 20 28 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Aplikasi Inderaja Kesimpulan yang diperoleh dari uraian diatas bahwa prediksi potensi banjir selama 3 bulan dari bulan Desember 2011 sampai dengan bulan Februari 2012, antara lain potensi banjir di Pulau Sumatera pada bulan Desember 2011 terjadi di 7 Provinsi yang meliputi 35 Kabupaten dengan jumlah lokasi potensi banjir sebesar 870 lokasi. Pada bulan Januari 2012 jumlah lokasi banjir sudah mulai berkurang yakni terjadi di 6 Provinsi yang meliputi 21 Kabupaten dengan jumlah lokasi potensi banjir sebesar 635 lokasi. Sedangkan pada bulan Februari 2012 lokasi banjir berkurang lagi hanya terjadi di 2 Provinsi yang meliputi 6 Kabupaten dengan jumlah lokasi potensi banjir sebesar 189 lokasi. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa prediksi potensi banjir terjadi puncaknya pada bulan Desember 2011. Gambar 4. Prediksi Potensi Banjir bulan Februari 2012 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 29 Informasi Data Inderaja Manfaat Informasi Spasial Hujan TRMM Periodik dalam Pemantauan Kondisi Lahan Sawah Any Zubaidah*, Dede Dirgahayu*, Dini Oktavia Ambarwati **, Junita Monika Pasaribu* * Peneliti Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana - Pusfatja LAPAN ** Alumni Geofisika Meteorologi IPB K ondisi cuaca sering digunakan sebagai faktor pembatas produksi pertanian. Karena sifatnya yang dinamis, beragam dan terbuka, pendekatan terhadap cuaca dan iklim agar lebih berdayaguna dalam bidang pertanian, diperlukan suatu pemahaman yang lebih akurat terhadap karakteristik iklim melalui analisis dan interpretasi data iklim (Nurhidayat, 2010). Dengan adanya perubahan cuaca yang terjadi akhirakhir ini membuat masa tanam petani padi menjadi tidak menentu, sehingga dapat menyebabkan kegagalan panen karena mengalami kekurangan air (kekeringan) atau kelebihan air (kebanjiran). Bencana kekeringan maupun kebanjiran tersebut terjadi akibat salah menentukan masa tanam. Selanjutnya kegagalan panen yang terjadi beberpa kali tentu saja menyebabkan penghasilan buruh tani pun semakin tidak jelas dan juga menyebabkan penurunan lumbung padi yang ada. Hal ini tentunya dapat menganggu ketahanan pangan nasional. Berdasarkan UU no 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Namun produksi padi disuatu negara setiap tahunnya dapat mengalami fluktuasi akibat adanya bencana alam seperti kekeringan dan kebanjiran di lahan sawah dan perubahan lingkungan seperti degradasi lahan dan perubahan iklim global . Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai swasembada pangan nasional adalah dengan melakukan 30 pemantauan terhadap kondisi lahan sawah dan tanaman padi secara berkesinambungan/ terus menerus. Dalam hal ini LAPAN sejak tahun 2002 telah melakukan kegiatan pemantauan kondisi tanaman padi dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Data satelit yang digunakan untuk mendukung pemantauan tersebut adalah data curah hujan yang diperoleh dari satelit TRMM (Tropical Rainfall Measurement Mission). Data TRMM mempunyai keunggulan, antara lain tersedia secara near real-time setiap tiga jam sekali, konsisten, daerah cakupan yang luas yaitu wilayah tropik, resolusi spasial yang cukup tinggi (0.25° x 0.25°), dan dapat diakses secara gratis. Meskipun demikian, keterbatasan dari aplikasi data TRMM adalah periode waktu dari data yang relatif masih singkat serta masih diperlukan banyak validasi terutama untuk pemanfaatan curah hujan lokal. Pengukuran dari TRMM digunakan untuk mencari tahu di mana itu hujan, dan bagaimana hujannya. Tidak semua awan menyebabkan hujan, dan ketika hujan tidak jatuh, ia jatuh melalui berbagai ketinggian di atmosfer, kadang-kadang tidak mencapai tanah sama sekali (http://kids.earth.nasa.gov/ trmm/). Hal ini menyebabkan nilai curah hujan dari TRMM lebih tinggi (over estimate) dari curah hujan aktualnya. Oleh karena itu perlu dilakukan validasi dengan curah hujan stasiun pengamat iklim atau lapangan. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis curah hujan dari data TRMM dan curah hujan lapangan untuk memperoleh model estimasi curah hujan 8 harian/dasarian INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja Gambar 1. Diagram Alir Tahapan Model Estimasi Curah Hujan 8 Harian untuk mendukung pemantauan kondisi lahan sawah. Studi kasus diambil di wilayah Kabupaten Indramayu yang selama ini dikenal dengan lumbung padi Jawa Barat dan mempunyai stasiun pengamat hujan yang relatif banyak. Data yang digunakan adalah data TRMM perekaman setiap 3 jam, selama 3 tahun (2007–2009) (Sumber: ftp:// trmmopen.gsfc.nasa.gov/pub/merged/mergeIRMicro/), dan data curah hujan harian dari 19 Stasiun pengamat yang ada di wilayah Indramayu Tahun 2007 sampai dengan tahun 2009. Lokasi stasiun pengamat curah hujan yang ada di Indramayu diantaranya di Kecamatan Bulak, Losarang, Cikedung, Sumurwatu, Tugu, Indramayu, Cidempet, Bangkir, Lohbener, Sudikampiran, Jatibarang, Sukadana/ Sukaperna, Dondan, Kertasemaya, Ujungaris, Sudimampir Lor, Juntinyuat, INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Krankeng, Kedokan Buder. Sumber: dari Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu. Tahapan yang dilakukan seperti diagram alir Gambar 1. Contoh Curah hujan spasial 8 harian berdasarkan data TRMM Curah hujan 8 harian/ dasarian TRMM diperoleh dengan mengakumulasi curah hujan harian dari akumulasi curah hujan setiap 3 jam per hari selama tiga tahun dari tahun 2007 - 2009. Gambar 2a merupakan contoh curah hujan spasial 8 harian dari TRMM di Propinsi Jawa Barat termasuk Banten dan DKI pada waktu musim hujan tanggal 25 Januari 2007 hingga 1 Februari 2007 yang mempunyai nilai berkisar antara 0 dan 300 mm/ 8 harian. Data TRMM ini mempunyai 31 Informasi Data Inderaja (a) Curah hujan spasial dengan resolusi 27 km (b) Curah hujan spasial setelah dilakukan interpolasi 1 km Gambar 2. Curah hujan spasial 8 harian dari data TRMM pada periode musim hujan tanggal 25 Januari – 1 Februari 2007 resolusi spasial 0.25° atau 27 km setiap pikselnya, sehingga kelihatan kasar ukuran pikselnya. Untuk memperkecil resolusi dilakukan interpolasi menjadi 1 km, sehingga 1 piksel TRMM mempunyai resolusi 1 km dan ukuran pikselnya kelihatan halus dengan nilai curah hujannya tetap berkisar antara 0 dan 300 mm/ 8 harian ditunjukkan pada Gambar 2b. Gambar 3a, merupakan contoh curah hujan spasial 8 harian dari TRMM pada periode musim kemarau dari tanggal 25 Mei hingga 1 Juni 2007 dengan nilai curah hujan berkisar antara 0 dan 150 mm/8 harian. Sedangkan setelah dilakukan interpolasi (a) Curah hujan spasial dengan resolusi 27 km menjadi 1 km yang ditunjukkan pada Gambar 3b nilai curah hujannya tetap berkisar antara 0 dan 150 mm/8 harian, akan tetapi ukuran pikselnya kelihatan jauh lebih halus. Warna putih yang terdapat di Gambar 3 karena adanya data TRMM yang rusak Penentuan ekstraksi curah hujan dari TRMM Dalam menentukan ekstraksi curah hujan dari TRMM di wilayah Indramayu dibangun berdasarkan poligon 3 x 3 yang dibuat di setiap titik koordinat di 19 Stasiun pengamat curah hujan. Oleh karena resolusi dari data TRMM sudah (b) Curah hujan spasial setelah dilakukan interpolasi 1 km Gambar 3. Curah hujan spasial 8 harian dari data TRMM pada periode musim kemarau tanggal 25 Mei – 1 Juni 2007 32 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja dilakukan interpolasi menjadi 1 km sehingga ukuran poligon di atas adalah 3 km x 3 km. Penentuan eksraksi curah hujan dari TRMM diambil berdasarkan nilai koefisien variansi kurang atau sama dengan 10 %. Untuk kepentingan analisis model estimasi curah hujan ini diekstrak untuk seluruh nilai curah hujan dari TRMM di setiap stasiun pengamat selama 3 tahun (tahun 2007 – 2009). Secara spasial poligon 3 x 3 ditunjukkan pada Gambar 4. Analisis Korelasi antara Curah Hujan TRMM dengan Curah Hujan Aktual di Lapangan Hasil ekstraksi seluruh nilai curah hujan dari TRMM dan curah hujan lapangan di setiap stasiun pengamat ditunjukkan oleh grafik nilai curah hujan 8 harian antara TRMM dan Stasiun Pengamat di wilayah Indramayu. Curah hujan aktual di lapangan diperoleh dari data statistik Dinas Pengairan wilayah Indramayu secara harian. Gambar 5 merupakan contoh hasil Titik tengah (warna merah) mewakili titik koordinat setiap Stasiun Poligon 3 x 3 (kotak luar), St1: Lokasi stasiun pengamat 1 (Stasiun Bulak) Gambar 4. Poligon 3 x 3 di 19 Stasiun Pengamat Hujan di wilayah Indramayu Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Staiun Pengamat Tugu Tahun 2007 - 2009 450 Stasiun Pengamat 400 TRMM 350 300 250 200 150 100 50 0 1 450 6 11 16 21 26 31 36 41 350 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136 Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat IndramayuTahun 2007 - 2009 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 400 46 51 56 61 Stasiun Pengamat 33 TRMM 100 50 0 Informasi Data Inderaja 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136 Curah Hujan 8 Harian dari TRMM vs Stasiun Pengamat IndramayuTahun 2007 - 2009 450 Stasiun Pengamat 400 TRMM 350 300 250 200 150 100 50 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136 Curah Hujan 8 Harian TRMM vs Stasiun Pengamat Cidempet Tahun 207 - 2009 450 Stasiun Pengamat 400 TRMM 350 300 250 200 150 100 50 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136 Curah Hujan 8 Harian TRMM vs Stasiun Pengamat Bangkir Tahun 2007 - 2009 450 Stasiun Pengamat 400 TRMM 350 300 250 200 150 100 50 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 111 116 121 126 131 136 Gambar 5. Nilai curah hujan 8 harian dari TRMM dengan Stasiun Pengamat Tugu, Indramayu, Cidempet, dan Bangkir selama Tahun 2007 – 2009. 34 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja interpolasi curah hujan 8 harian berdasarkan poligon 3 x 3 dari data deret waktu TRMM dan curah hujan di stasiun pengamat Tugu, Indramayu, Cidempet, dan Bangkir selama 3 tahun (2007 – 2009). Secara umum, Gambar 5. menunjukkan bahwa nilai curah hujan dari TRMM dan curah hujan di setiap stasiun pengamat memiliki pola yang hampir sama, namun nilai curah hujan dari TRMM lebih tinggi (over estimate) dari curah hujan di setiap stasiun pengamat. Oleh karena itu, untuk mendukung kegiatan pemantaun kondisi lahan sawah, terutama kondisi lahan sawah di wilayah Indramayu sebaiknya menggunakan nilai estimasi/ 90 Koeffisien Deterministik (R2) 70 82,2 78,5 80 75,2 67,5 66,4 65,1 60 77,3 74,9 78,1 73,7 67,8 65,8 61 65,1 66,2 76,1 62,9 62,1 54,7 50 40 tahun 2007 hingga tahun 2009 dapat diketahui bahwa tingkat akurasi curah hujan TRMM yang direpresentasikan dari nilai koefisien determinasi (R2) mencapai nilai antara 54,3% hingga 82,2%. Akurasi tertinggi terjadi di stasiun pengamat Lohbener sebesar 82,2 % dan nilai akurasi terendah di stasiun pengamat Cikedung sebesar 54,3 % (Gambar 6). Gambar 6. Tingkat akurasi curah hujan TRMM di setiap stasiun pengamat wilayah Indramayu. Estimasi Curah Hujan 8 Harian Menggunakan Data TRMM Dari pengolahan secara statistik dengan program Minitab, dan membuang nilai curah hujan yang mempunyai nilai variansi lebih besar dari 2,00 diperoleh nilai estimasi/ pendugaan curah hujan menggunakan data TRMM sebagai berikut; Y = 0,592 X + 2,58 ; dimana Y adalah nilai estimasi curah hujan 8 harian dengan menggunakan data TRMM dan X adalah curah hujan 8 harian dari TRMM. Model ini memiliki nilai 30 20 10 Tu gu am ay C u id em pe t B an g Lo kir Su hbe ne di ka r m p Ja iran tib ar an Su g ka K da er na ta se m ay a D on da U n ju Su ng di a m am ris pi rL Ju or nt in yu K at ra K n ed ok gke ng an B un de r dr In ng at u w ed u m ur ng Su Lo C ik sa ra B ul ak 0 STASIUN PENGAMAT DI WILAYAH INDRAMAYU penduga curah hujan 8 harian dari TRMM yang tervalidasi. Tingkat Akurasi Korelasi Curah Hujan 8 Harian dari TRMM Terhadap Data Curah Hujan Lapangan Berdasarkan hasil analisis korelasi antara curah hujan 8 harian/dasarian dari TRMM dan curah hujan aktual di lapangan di 19 stasiun pengamat di wilayah Indramayu dari (a) Setelah dilakukan interpolasi dan dilakukan validasi Model (b) perbesaran di wilayah Kabupaten Indramayu Gambar 7. Model estimasi curah hujan 8 harian menggunakan data TRMM di wilayah Indramayu. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Gambar 8. (a) Curah hujan spasial pada periode musim hujan tanggal 25 Januari – 01 Februari setelah dilakukan validasi Model estimasi, (b) perbesaran di wilayah Indramayu. 35 Informasi Data Inderaja korelasi sebesar r =87,2% atau memiliki koeffisien deterministik sebesar (R2) = 76,1% ditunjukkan pada Gambar 7. Dengan menggunakan model estimasi curah hujan 8 harian di atas, maka curah hujan yang digunakan untuk kegiatan pemantauan tingkat rawan banjir/kekeringan lahan sawah dapat mendekati nilai curah hujan yang sebenarnya. Gambar 8a merupakan contoh curah hujan spasial 8 harian dari TRMM dengan resolusi 1 km di setiap stasiun pada periode musim hujan tanggal 25 Januari – 01 Februari 2007, sesudah dilakukan validasi dengan model di atas, maka nilai curah hujannya menurun mendekati pengukuran lapangan berkisar antara 0 – 200 mm/ 8 harian. Sedangkan untuk contoh curah hujan spasial pada periode musim kemarau diambil tanggal 25 Mei – 01 Juni 2007, setelah dilakukan validasi dengan model di atas ditunjukkan adanya penurunan nilai curah hujan menjadi 0 – 50 mm/ 8 harian, yang sebelumnya (0 – 150mm/ 8harian) ditunjukkan pada Gambar 9. (a) dan 9. (b) merupakan perbesarannya. Aplikasi Model Estimasi Curah Hujan 8 Harian Terhadap Pemantauan Tingkat Rawan Kekeringan dan Banjir Lahan Sawah Sejak beberapa tahun belakangan ini LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) telah melakukan kegiatan pemantauan tingkat rawan banjir/kekeringan di lahan sawah (a) Setelah dilakukan interpolasi dan dilakukan validasi Model menggunakan curah hujan dari data TRMM. Sedangkan dalam uraian di atas disebutkan bahwa nilai curah hujan dari data TRMM lebih tinggi (over estimate) dari curah hujan aktualnya, sehingga perlu divalidasi dengan data lapangan dengan menggunakan model estimasi curah hujan 8 harian di atas. Gambar 10. (a) – (d) merupakan contoh hasil pemantauan kondisi banjir/kekeringan lahan sawah di wilayah Indramayu sebelum dan sesudah dilakukan kalibrasi model. Pada periode musim hujan tanggal 25 Januari sampai 01 Februari 2011 sebelum dilakukan kalibrasi model untuk wilayah Indramayu terbagi menjadi dua klas tingkatan banjir yaitu semua lahan sawah terjadi banjir berat dan sangat berat (Gambar 10 (a)), namun setelah dilakukan validasi model turun menjadi tiga klas dari klas banjir sedang hingga banjir sangat berat. Kondisi lahan sawah yang mengalami banjir sangat berat terjadi di wilayah Indramayu bagian Timur (Gambar 10 (b)). Sementara pada musim kemarau tanggal 25 Mei sampai dengan 01 Juni 2011 sebelum dilakukan kalibrasi model, untuk wilayah Indramayu terbagi menjadi tiga klas tingkatan kekeringan dengan didominasi oleh lahan tidak kering dan kering ringan dan hanya ditunjukkan sedikit lahan dengan kondisi kering sedang (Gambar 10 (c)). Adapun setelah dilakukan validasi model, masih tetap tiga klas ada perbedaan dengan kondisi kering sedang mengalami peningkatan. Kondisi lahan sawah yang mengalami peningkatan rawan kekeringan terjadi di (b) perbesaran di wilayah Indramayu Gambar 9. (a) Curah hujan spasial pada periode musim kemarau tanggal 25 Mei – 01 Juni 2007 setelah dilakukan validasi Model estimasi, 36 (b) perbesaran di wilayah Indramayu. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja wilayah Indramayu bagian Utara dan Timur (Gambar 10 (d)). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan analisa curah hujan dari data TRMM diperoleh model estimasi curah hujan 8 harian Y = 0,592 X + 2,58 ; dimana Y adalah nilai estimasi curah hujan 8 harian dengan menggunakan data TRMM dan X adalah curah hujan 8 harian dari TRMM. Model tersebut dapat digunakan untuk mendukung kegiatan pemantauan rawan banjir dan kekeringan lahan sawah di wilayah Indramayu dengan nilai korelasi sebesar r = 87,2% atau setara dengan nilai koeffisien determinasi (R2) = 76,1%. Nilai curah hujan sesudah dilakukan validasi dengan model tersebut memiliki nilai curah hujan yang mendekati nilai curah hujan di lapangan sehingga berdampak pada pemantauan tingkat rawan kekeringan dan banjir yang semakin baik. (a) Kondisi banjir di lahan sawah sebelum dilakukan validasi (b) Kondisi banjir di lahan sawah setelah dilakukan validasi Model periode hujan Model periode hujan (c) Kondisi kekeringan di lahan sawah sebelum dilakukan (d) Kondisi kekeringan di lahan sawah setelah dilakukan validasi validasi Model periode kemarau Model periode kemarau Gambar 10 (a) – (d). Contoh hasil pemantauan kondisi banjir/ kekeringan lahan sawah di wilayah Indramayu sebelum dan sesudah dilakukan kalibrasi Model INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 37 Informasi Data Inderaja Mengapa CURAH hujan sulit diprediksi ? Ina Juaeni Peneliti Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer, LAPAN e-mail: [email protected] [email protected] H ujan merupakan hasil dari sebuah proses. Proses pembentukan hujan adalah suatu proses yang sering didengar, mudah diucapkan dan banyak pula peneliti yang sudah berusaha menguraikannya. Proses pembentukan hujan adalah proses yang tidak berdiri sendiri, mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan proses lainnya. Proses pembentukan awan adalah satu proses yang erat sekali dengan proses pembentukan hujan. Hujan dihasilkan dari awan yang berupa suatu klaster awan dengan dimensi bisa mencapai 1000 km atau berasal dari cumulus tunggal dengan ukuran kurang dari 100 km. Klaster awan merupakan penghasil hujan terbesar di wilayah tropis, untuk wilayah tropis biasanya disebut klaster awan skala meso tropis (Tropical Mesoscale Cloud Clusters/ TMCC). Klaster awan sendiri bisa dibagi menjadi dua jenis yaitu kumpulan awan yang tergabung sehingga membentuk garis (squall line) atau kumpulan awan yang tidak membentuk garis (non-squall line) (Houze,1982). Masing-masing aspek atau proses yang terkait dengan hujan belum terdefinisi secara detil, sehingga proses pembentukan hujan pun belum bisa diuraikan secara menyeluruh. Inilah yang kemudian menjadi kendala dalam sistem prediksi curah hujan. Proses-proses yang mempengaruhi proses pembentukan hujan dapat dikategorikan sebagai proses makro dan proses mikro. Sebagai contoh proses makro adalah proses perpindahan panas skala makro, sedangkan proses mikro seperti proses evaporasi, proses kondensasi dan proses pembentukan tetes awan dan hujan. Sistem pembentukan awan dan hujan dalam tinjauan mikro diperlihatkan pada 38 Gambar 1. Aspek lain yang berpengaruh pada proses pembentukan hujan adalah kondisi kelembapan permukaan, sirkulasi skala makro sampai skala mikro, kondisi permukaan dan kondisi fisik atmosfer sekitar awan yang meliputi tekanan, temperatur, kelembapan dan angin. Faktor lain yang juga tidak bisa diabaikan adalah terjadinya fenomena atmosfer seperti El Niño, La Niña dan Dipole Mode Hindia. Proses-proses tersebut saling berhubungan satu sama lain, secara sendiri-sendiri atau bergabung mempengaruhi proses pembentukan hujan. Rumitnya proses pembentukan hujan dapat diidentifikasi dari variasi curah hujan, baik variasi spasial maupun variasi temporal. Semakin tinggi variasi curah hujan semakin banyak ragam proses pembentukannya dan semakin banyak pula parameter yang harus dikaji maka semakin tinggi pula tingkat kesulitan memprediksinya. Variasi curah hujan dapat ditentukan dengan beberapa parameter, yang disampaikan dalam tulisan ini adalah koefisien variasi, simpangan dari rata-rata/kelipatan deviasi standar dan uji multikolinearitas. Sebagai sampel lokasi dipilih wilayah Indonesia bagian selatan, khususnya Pulau Jawa, Bali dan Lombok. Koefisien Variasi Untuk wilayah Indonesia bagian selatan telah tunjukkan pada Tabel 1 dengan data observasi bulanan bahwa koefisien variasi curah hujan di Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Waingapu dan Kupang berkisar antara 0,80 sampai 1,36 (Juaeni, 2006). Dalam Juaeni (2006) juga ditunjukkan bahwa koefisien variasi curah hujan dilintang selatan lebih tinggi daripada koefisien variasi di lintang utara. Dengan demikian INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja maka prediksi curah hujan di Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Waingapu dan Kupang akan lebih sulit dibandingkan dengan prediksi curah hujan di Aceh (misalnya). Hal itu karena koefisien variasi menyatakan ukuran keragaman data curah hujan. Semakin tinggi koefisien variasi, data semakin tidak seragam dan akibatnya semakin sulit diprediksi. Perumusan koefisien variasi (Cv) adalah: Cv = σ / x dengan σ = standar deviasi ; x = curah hujan rata-rata (1) (Juaeni dan Bayong T.H.K, 2005). Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa curah hujan dalam skala waktu pengamatan yang lebih pendek (rata-rata 3 jam-an) mempunyai koefisien variasi yang lebih tinggi dibandingkan curah hujan dalam skala waktu bulanan. Studi variasi curah hujan dalam skala waktu yang pendek (3 jam-an) sangat penting untuk mengetahui tingkat kesulitan prediksinya, disamping studi proses-proses terkait. Keterbatasan dengan dibukanya kesempatan untuk mengakses data dalam skala yang diperlukan dari : http:disc2.nascom.nasa.gov/Giovanni/ tovas/TRMM_V6.3B42.2.shtml. Variasi curah hujan akan berubah seiring dengan perubahan skala pengamatan, baik skala waktu maupun skala ruang. Ini sudah dibuktikan dengan koefisien variasi curah hujan observasi dalam skala 3 jam-an. Karena keterbatasan data curah hujan dalam skala pendek seperi itu, maka pembuktian dengan data insitu baru mencakup tiga lokasi di Pulau Jawa Dengan menggunakan data curah hujan 3 jaman dalam cakupan spasial yang luas diberikan solusi sementara Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) yang mempunyai resolusi waktu maksimum 3 jam-an kesempatan untuk melakukan studi tentang keragaman curah hujan terutama di wilayah Indonesia menjadi lebih luas. Sistem cuaca, awan dan hujan Ketika pendinginan sudah mencapai titik jenuh, terjadi pembentukan tetes awan. Awan berisi jutaan tetes air (atau es jika temperatur sangat rendah). Jumlah tetes awan sangat tergantung pada kadar kelembapan dalam kolom konveksi serta kelembapan lingkungan sekitarnya. Insolasi Tetes awan mulai terbentuk dengan ukuran: • 20 mikron (tetes awan) • 100 mikron (tetes drizzle ) • 1000 mikron (atau 1 mm) (tetes hujan kecil) • 5000 mikron (5 mm) 9 (tetes hujan besar Udara yang berat berada di level bawah menggantikan udara yang naik Udara menjadi panas akibat kontak dengan permukaan bumi; menjadi ringan dan kemudian naik Tekanan rendah Ukuran tetes membesar dengan proses kolisi (tumbukan) dan koalisensi (penggabungan).     Angin adalah aliran udara horisontal; angin berhembus dari tekanan tinggi ke tekanan rendah (keseimbangan tekanan) Tekanan menggambarkan kecenderungan udara naik atau turun pada suatu saat , pada suatu tempat Udara naik atau turun berkaitan dengan kerapatannya, pada level bawah kerapatan udara dikontrol oleh temperatur. Maka variasi radiasi dan temperatur mengontrol tekanan dan angin. Udara yang berat berada di level bawah menggantikan udara yang naik Matahari memanasi permukaan bumi Maka proses pembentukan awan dan hujan akan melibatkan berbagai parameter dan bermacam proses. Parameter utama yang terkait adalah tekanan, temperatur dan kelembapan. Proses yang terpenting dalam pembentukan awan dan hujan adalah pemanasan permukaan, evaporasi, konveksi dan kondensasi. Gambar 1 Sistem cuaca, awan dan hujan INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 39 Informasi Data Inderaja Tabel 1 : Rata-rata, deviasi standard dan koefisien variasi curah hujan observasi bulanan di beberapa stasiun pengamatan rata-rata perioda 1975-2004 (Juaeni, 2006) No. Stasiun Lintang (o) Bujur (o) x σ Cv 1. Jakarta -6,17 106,82 152 130,76 0,86 2. Bandung -6,90 107,58 133 107,22 0,80 3. Semarang -6,98 110,38 170 148,34 0,87 4. Yogyakarta -7,78 110,43 131 133,39 1,01 5. Surabaya -7,38 112,78 152 154,04 1,02 6. Banyuwangi -8,22 114,33 113 105,29 0,93 7. Denpasar -8,67 115,17 149 163,10 1,09 8. Waingapu -9,67 120,33 71 88,99 1,25 9. Kupang -10,18 123,67 134 182,07 1,36 Keterangan: x = curah hujan rata-rata bulanan σ = standar deviasi Cv = koefisien variasi Tabel 2 : Koefisien Variasi Curah Hujan 3 jam-an selama 5 tahun (Juaeni dan Bayong T.H.K, 2005). No, Lokasi x σ Cv 1. Bandung 0,61 1,04 1,72 2. Bogor 1,26 1,97 1,57 3. Jakarta 0,64 1,03 1,61 4. Semarang 0,61 1,06 1,74 Keterangan: x = curah hujan rata-rata kumulatif 3jam-an σ = standar deviasi Cv = koefisien variasi 40 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja Koefisen variasi rata-rata 13 tahun Lintang -6 -7 0,17 – 0,39 0,39 – 0,63 0,63 – 0,86 0,86 – 1,09 1,09 – 1,32 -8 -9 106 108 110 112 114 116 118 Bujur Gambar 2 Koefisien variasi curah hujan TRMM 3jam-an di wilayah Pulau Jawa, Bali dan Lombok rata-rata 13 tahun (1998-2010) Pada Gambar 2 diperlihatkan koefisien variasi curah hujan TRMM 3jam-an rata-rata 13 tahun (1998-2010) untuk wilayah Pulau Jawa, Bali dan Lombok yang ditentukan dengan persamaan 1. Koefisien variasi di daratan nampak nyata lebih tinggi (> 0,63) dibandingkan koefisien variasi di laut. Hal ini difahami sebagai akibat keanekaragaman kondisi permukaan daratan. Jika ketiga pulau dibandingkan, maka Pulau Jawa memiliki variasi curah hujan yang lebih besar dibandingkan Pulau Bali dan Lombok. Peta koefisien variasi membentuk pola spasial sejajar dengan garis pantai. Ini mencerminkan bahwa variasi curah hujan dipengaruhi atau berhubungan dengan waktu dan proses kejadiannya. Waktu dan proses kejadian hujan 3jam-an disampaikan dalam Juaeni dkk. (2011). Di laut, curah hujan mempunyai variasi yang relatif kecil karena curah hujan tidak dipengaruhi oleh keanekaragaman permukaan. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa untuk memprediksi curah hujan spasial sangat rumit karena variasi spasial yang tinggi, dengan kisaran koefisien variasi dari 1,09 sampai 1,32. Variasi spasial curah hujan setiap 3 jam diperlihatkan pada Gambar 3. Gambar 3 sebelah kiri memperlihatkan jumlah curah hujan setiap 3 jam berturut-turut adalah curah hujan pada pukul 00 UTC, pukul 03 UTC, pukul 06 UTC dan pukul 09 UTC. Gambar 3. sebelah kanan memperlihatkan jumlah curah hujan setiap 3 jam berturut-turut pada pukul 12 UTC, pukul 15 UTC, pukul 18 UTC dan pukul 21 UTC. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Pada Gambar 3 sebelah kiri terlihat bahwa pada pukul 00 waktu sinoptik/ UTC/ GMT atau pukul 07 WIB (waktu Indonesia bagian barat) atau pukul 08 WITA (waktu Indonesia bagian tengah) atau pukul 09 WIT (waktu Indonesia bagian timur), curah hujan dengan jumlah maksimum terjadi di lautan Hindia sebelah selatan, Pulau Jawa dan di laut Jawa bagian barat. Jumlah curah hujan semakin berkurang ke arah daratan Pulau Jawa, Bali dan Lombok, bahkan di Jawa timur bagian tengah dan sebagian kecil Pulau Jawa bagian barat tidak ada hujan (curah hujan ~ nol). Pukul 00 waktu sinoptik, suhu daratan lebih rendah dibandingkan suhu lautan, akibat kapasitas panas lautan yang lebih tinggi. Sehingga pada saat tersebut di lautan memungkinkan terbentuknya sel-sel konveksi yang kemudian berkembang menjadi awan dan hujan. Tiga jam setelah itu atau pukul 03 waktu sinoptik atau pukul 10 WIB/ pukul 11 WITA/ pukul 12 WIT, curah hujan dengan jumlah tertinggi terjadi di laut Jawa bagian barat sampai bagian timur. Jumlah curah hujan semakin berkurang ke arah daratan Pulau Jawa, Bali dan Lombok. Wilayah daratan Pulau Jawa tanpa hujan (curah hujan ~ 0) membentang dari barat sampai timur (Gambar 3, kiri). Kontras suhu di daratan belum cukup untuk membangkitkan arus konveksi, sehingga wilayah hujan masih terletak di lautan. Pada pukul 06 UTC atau pukul 13 WIB atau pukul 14 WITA atau pukul 15 WIT, curah hujan maksimum terjadi di daratan 41 Informasi Data Inderaja Pulau Jawa, Bali dan Lombok. Jumlah curah hujan semakin berkurang ke arah pantai, kemudian meningkat lagi ke arah lautan lepas. Akibat terjadi diferensiasi temperatur di daratan, terbentuk sel-sel konveksi yang kemudian berkembang membentuk awan dan menurunkan hujan. Curah hujan yang tinggi di lautan juga masih terjadi diferensiasi temperatur di permukaan lautan yang kemudian membentuk sel-sel konveksi di atas lautan (Gambar 3, kiri). Wilayah daratan Pulau Jawa dengan curah hujan tinggi semakin melebar pada pukul 09 UTC /pukul 16 WIB/ pukul 17 WITA/ pukul 18 WIT. Ini disebabkan kontras suhu di daratan hampir merata di diseluruh permukaan daratan Pulau Jawa, tetapi di Bali dan Lombok meskipun masih terjadi hujan tetapi curah hujan sudah berkurang pada waktu tersebut. Di laut Jawa dan lautan Hindia curah hujan hampir merata di interval 0,2 mm sampai 0,4 mm dan interval 0,4 mm sampai 0,6 mm (Gambar 3, kiri). Pada pukul 12 UTC/ pukul 19 WIB/ pukul 20 WITA/ pukul 21 WIT hujan dengan jumlah maksimum masih terjadi di daratan Pulau Jawa sementara di Bali dan Lombok curah hujan sudah berkurang banyak. Curah hujan yang tinggi pada malam hari disebabkan adanya pendinginan pada malam hari (Slingo et al. (1992), Randall et al. (1991) dan Lim and Ae Sook Suh (2000)). Suhu permukaan laut jawa dan lautan Hindia dibelum menciptakan kontras sehingga curah hujan berada pada interval rendah yaitu 0,1 sampai 0,8 mm (Gambar 3, kanan). Pada pukul 15 UTC/pukul 22 WIB/pukul 23 WITA/pukul 24 WIT, curah hujan dengan jumlah tertinggi terjadi di laut Jawa bagian barat. Jumlah curah hujan semakin berkurang ke arah daratan Pulau Jawa, Bali dan Lombok. Curah hujan di lautan Hindia lebih tinggi dibandingkan di laut Jawa (Gambar 3, kanan). Pada pukul 18 UTC/01 WIB/ pukul 02 WITA/ pukul 03 WIT, di laut Jawa dan Lautan Hindia curah hujan semakin meningkat dibandingkan 3 jam sebelumnya (pukul 15 UTC). Di daratan tampak wilayah tanpa hujan (curah hujan = 0) di sebagian Pulau Jawa bagian barat dan sebagian Pulau Jawa bagian timur (Gambar 3, kanan). Pada pukul 21 UTC/ pukul 04 WIB/ pukul 05 WITA/ pukul 06 WIT, curah hujan maksimum masih terjadi di lautan. Wilayah daratan Pulau Jawa, Bali dan Lombok mulai diguyur hujan dengan jumlah 0,1 sampai 0,9 mm. Wilayah tanpa hujan masih tampak di sebagian Pulau Jawa bagian barat (Gambar 2, kanan). 42 Variasi spasial curah hujan yang tinggi baik yang ditunjukkan oleh koefisien variasi (Gambar 2) maupun dengan curah hujan spasial (Gambar 3) menyebabkan curah hujan di daratan Pulau Jawa, Bali dan Lombok mempunyai tingkat kesulitan prediksi yang lebih tinggi dibandingkan di lautan. Simpangan dari rata-rata Parameter lain yang dapat digunakan untuk menguji keragaman curah hujan adalah simpangan dari nilai rata-rata atau kelipatan standar deviasi, semakin besar simpangan maka variasi curah hujan semakin besar. Jika data curah hujan x terdistribusi normal maka setiap nilai data dalam distribusi tersebut dapat ditulis sebagai = x ± aσ , dengan x adalah data curah hujan rata-rata dan aσ adalah simpangan data. aσ merupakan ukuran perbedaan satu data dengan nilai rata-ratanya. Dengan demikian maka aσ juga dapat digunakan sebagai parameter untuk menyatakan variasi curah hujan. Untuk menerapkan metode ini dan untuk kepentingan studi keragaman curah hujan juga digunakan data TRMM 3 jam-an rata bulanan selama 13 tahun yaitu dari tahun 1998 sampai 2010. Wilayah kajian adalah wilayah Pulau Jawa, Bali dan Lombok (-5,375 s/d -9,375 oLS; 104, 875 s/d 118,125o BT). Untuk wilayah lain dapat dilakukan dengan metode yang serupa. Hasil perhitungan simpangan ditunjukkan pada Tabel 3. x Tabel 3 Simpangan maksimum rata-rata data curah hujan TRMM 3 jam-an Pulau Jawa, Bali dan Lombok berbasis deviasi standar Bulan Simpangan maksimum (aσ) rata-rata Januari 5σ Februari 4σ Maret 5σ April 6σ Mei 6σ Juni 6σ Juli 8σ Agustus 10σ September 9σ Oktober 7σ November 6σ Desember 5σ Rata-rata 1998 s/d 2010 5σ INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja Lintang Pukul 12.00 UTC Pukul 00.00 UTC -6 -7 -8 -9 106 108 110 112 114 116 118 1.4 1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 -7 -8 -9 110 112 114 118 -7 -8 -9 106 108 110 112 114 116 Pukul 15.00 UTC -6 108 3.6 3.4 3.2 3.0 2.8 2.6 2.4 2.2 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -6 Pukul 03.00 UTC 106 118 1.8 1.7 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 116 118 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 -6 -7 -8 -9 106 108 110 112 114 116 Bujur Lintang Pukul 06.00 UTC 118 2.8 2.6 2.4 2.2 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 118 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 -6 -7 -8 -9 106 108 110 112 114 116 Pukul 18.00 UTC 1.3 1.2 -6 1.1 1.0 -7 0.9 0.8 -8 0.7 0.6 0.5 -9 0.4 106 108 110 112 114 116 118 0.3 0.2 118 1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 Pukul 09.00 UTC -6 -7 -8 -9 106 108 110 112 114 116 Pukul 21.00 UTC -6 -7 -8 -9 106 108 110 112 114 116 Bujur Gambar 3 Curah hujan rata-rata 13 tahun wilayah Pulau Jawa, Bali dan Lombok berturut-turut ke bawah untuk jam 00, 03, 06, 09, 12, 15, 18 dan 21 UTC INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 43 Informasi Data Inderaja Juli 0.7 Lintang -6 0.6 0.5 -7 0.4 -8 0.3 -9 0.2 106 108 110 112 Bujur 114 116 118 0.0 Agustus 0.35 0.30 -6 Lintang 0.1 0.25 -7 0.20 -8 0.15 -9 0.10 106 108 110 112 Bujur 114 116 118 0.05 0.00 September Lintang 0.6 -6 0.5 -7 0.4 -8 0.3 0.2 -9 106 108 110 112 Bujur 114 116 118 0.1 0.0 Gambar 4 Curah hujan rata-rata 13 tahun wilayah Pulau Jawa, Bali dan Lombok berturut-turut untuk bulan Juli, Agustus dan September 44 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja Maret Lintang -6 -7 -8 -9 106 108 110 112 Bujur 114 116 118 Desember Lintang -6 -7 -8 -9 106 108 110 112 Bujur 114 116 118 1.7 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 1.8 1.7 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 Gambar 5 Curah hujan rata-rata 13 tahun wilayah Pulau Jawa, Bali dan Lombok berturut-turut untuk bulan Maret dan Desember Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwa simpangan curah hujan 3 jam-an di P. Jawa, Bali dan Lombok berkisar dari kelipatan 5 sampai kelipatan 10 dari deviasi standar. Ini menunjukkan bahwa variasi curah hujan 3 jam-an sangat besar dan tergantung pada waktu. Jika dilakukan untuk wilayah yang lebih kecil maka akan tampak juga variasi terhadap ruang. Pada bulan Agustus simpangan curah hujan tertinggi yaitu sebesar 10 x deviasi standar. Tingginya variasi ini disebabkan oleh tidak meratanya curah hujan diseluruh wilayah pengamatan. Wilayah barat (Pulau Jawa, Gambar 4) mengalami musim hujan yang lebih awal dibandingkan wilayah lain. Sehingga bulan-bulan INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 peralihan seperti Juli, Agustus dan September, variasi curah hujan terbesar. Pada bulan-bulan kering atau hujan dimana hujan sudah merata diseluruh wilayah, seperti bulan Maret dan Desember (Gambar 5), simpangan maksimum semakin kecil. Bilangan kondisi Seperti yang telah disampaikan pada penjelasan sebelumnya, bahwa proses pembentukan hujan adalah proses yang multi korelasi. Hubungan yang kompleks ini juga tercermin dalam data curah hujannya. Untuk menguji hubungan antar data curah hujan digunakan uji multikolineritas. Multikolinearitas adalah suatu keadaan 45 Informasi Data Inderaja dimana terdapat hubungan linier sempurna atau hampir sempurna antara beberapa atau semua variabel dalam suatu kumpulan data. Sebagai contoh: data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kumpulan data rata-rata setiap 3 jam dengan resolusi spasial 0,25o. Jadi disetiap grid dengan ukuran 0,25 x0,25o ada 8 data setiap harinya. Data curah hujan pukul 00.00 mungkin mempunyai korelasi dengan data curah hujan pukul 06.00 (misalnya). Tidak hanya berkorelasi dengan data pukul 06.00 saja tetapi mungkin juga berkorelasi dengan data pukul 09.00 dan seterusnya. Bahkan juga mungkin terjadi korelasi data antara grid satu dengan lainnya. Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas tersebut adalah dengan menggunakan bilangan kondisi. Bilangan kondisi ditentukan dengan rumus : λ k = max λmin (2) λ adalah nilai eigen dari matriks kovarians variabel. Batas-batas bilangan kondisi untuk mendiagnosa multikolinearitas adalah sebagai berikut: • bilangan kondisi <100 ; terjadi multikolinearitas lemah • 100≤ bilangan kondisi ≤1000; terjadi multikolinearitas sedang sampai kuat • bilangan kondisi > 1000 ; terjadi multikolinearitas sangat kuat Pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa nilai k berada diantara 554,5 sampai dengan 12581,0 maka dengan demikian data curah hujan 3 jam-an TRMM dalam kondisi terjadi multikolinearitas sedang sampai sangat kuat. Ini menunjukkan keterkaitan yang sangat erat antara satu data dengan data lainnya dan ini menyebabkan akurasi prediksi curah hujan masih rendah. Pola temporal bilangan kondisi serupa dengan pola simpangan dari rata-rata. Juli, Agustus dan September merupakan bulan dengan bilangan kondisi tertinggi atau curah hujan memiliki multikolineritas yang sangat kuat. Sedangkan Januari, Februari dan Maret mempunyai multikolineritas sedang sampai kuat. Ada yang menarik ketika membandingkan Tabel 2 dan Gambar 2. Pada Tabel 2, nilai koefisien variasi di beberapa titik di Pulau Jawa melebihi 1,4 sedangkan pada Gambar 2, nilai koefisien variasi di empat sampel lokasi tersebut berada 46 dalam wilayah dengan nilai koefisien variasi 1,09 sampai 1,32, jadi ada perbedaan sekitar 0,6. Curah hujan yang di estimasi dengan satelit TRMM menunjukkan variasi yang lebih kecil dibandingkan curah hujan insitu yang diukur dengan penakar hujan. Artinya bahwa curah hujan TRMM belum mampu mendefinisikan semua faktor yang berpengaruh terhadap curah hujan. Namun curah hujan TRMM sudah sangat membantu peneliti dalam memahami perilaku dan prosesproses terkait curah hujan. Adapun perbedaan tersebut dipandang sebagai catatan yang harus diperhatikan dalam membuat analisis sebab akibat hasil penelitian. Itulah sebabnya pemanfaatan curah hujan TRMM menjadi solusi sementara sampai diperoleh data insitu. Data TRMM dipandang mampu menggambarkan kondisi atmosfer rata-rata. Tabel 4 Bilangan kondisi (k) curah hujan TRMM 3jam-an Pulau Jawa, Bali dan Lombok Bulan Bilangan kondisi (k) Januari 569,7 Februari 554,5 Maret 883,5 April 1154,2 Mei 1887,7 Juni 2453,1 Juli 3603,6 Agustus 12581,0 September 5077,7 Oktober 1757,2 November 1078,7 Desember 693,3 Rata-rata 1998 s/d 2010 8576,5 Koefisien variasi, simpangan dari rata-rata dan bilangan kondisi merupakan parameter yang dapat menunjukkan keragaman curah hujan. Variasi curah hujan ini diakibatkan oleh keragaman proses pembentukan awan dan hujan, keragaman kondisi permukaan serta keragaman hasil interaksi proses-proses terkait. Variasi yang besar dan belum dapat dirumuskan secara matematis inilah yang menyebabkan curah hujan di Indonesia, khussnya di Pulau Jawa, Bali dan Lombok sulit diprediksi. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja KAJIAN AWAL KEBUTUHAN TEKNOLOGI SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG PROGRAM REDD DI INDONESIA Oleh : Dony Kushardono dan Ayom Widipaminto L APAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak menyampaikan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan pemanfaatan atau pengembangan model pemanfaatan data satelit penginderaan jauh kepada pengguna dan masyarakat luas untuk keperluan berbagai sektor pembangunan nasional. Sepuluh tahun kemudian pemanfaatan data penginderaan jauh satelit mulai banyak dipergunakan untuk berbagai kepentingan antara lain inventarisasi dan pemantauan perubahan penutup lahan, inventarisasi sumber daya lahan hutan, perkebunan, pertanian dan pesisir, tata ruang, dan pemantauan lingkungan untuk mendukung mitigasi bencana serta pemetaan. Pada program REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) pemerintah menetapkan target angka penurunan emisi karbon pada 2020 sebesar 26%, dimana dinyatakan alih fungsi hutan LAND USE, LAND-USE CHANGE AND FORESTRY (LULUCF) yang menyumbang 54% total tingkat emisi karbon, akan dapat menurunkan tingkat emisi karbon sebanyak 75%. Dikarenakan hutan adalah faktor utama untuk penurunan emisi karbon, maka pemerintah merasa perlu melakukan pemantauan dan inventarisasi hutan di Indonesia. Teknologi satelit penginderaan jauh dimungkinkan untuk dipergunakan memproduksi informasi spasial kondisi hutan. Sementara itu hingga saat ini pemanfaatan data penginderaan jauh di Indonesia lebih dari 90% masih INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 mempergunakan data satelit optik seperti Landsat, Spot, Ikonos dan satelit lingkungan seperti NOAA atau MODIS. Data satelit radar atau SAR (Sinthetyc Aperture Radar) walaupun dalam pemantauan bumi memiliki kelebihan dapat menembus awan yang merupakan problem utama di Indonesia, pemanfaatan datanya masih sangat minim, hal ini disebabkan karena pada awalnya bidang penginderaan jauh teknologi sensor radar kurang berkembang dibanding optik sehingga dalam interpretasi citra radar dirasa lebih sulit dan kurang populer. Pada tahun sembilan puluhan Stasiun Bumi LAPAN pernah menerima data SAR polarisasi tunggal dari JERS-1 dan ERS-1, 2, akan tetapi pemanfaatan datanya hampir tidak ada sehubungan dengan sulitnya interpretasi, minimnya fasilitas dan metode pengolahan datanya serta akurasi informasinya lebih rendah dibanding data optik seperti Landsat TM. Pada era tahun dua ribuan teknologi penginderaan jauh SAR mulai berkembang pesat dengan telah diorbitkannya Satelit radar multi polarisasi ENVISAT-1 C band SAR pada tahun 2002, disusul L band ALOS PALSAR pada tahun 2006 dan 2007 radar X band TerraSAR-X dan Cosmo-SkyMed serta Radarsat-2. Dengan data satelit radar multi polarisasi yaitu HH, HV, VV dan VH dimungkinkan membuat kombinasi RGB mirip komposit warna pada citra satelit optik sehingga lebih memudahkan dalam melakukan interpretasi. Selain itu dengan makin berkembangnya teknologi sensor radar yang mampu 47 Informasi Data Inderaja Gambar 1. Perbandingan citra Landsat TM dan JERS SAR. menghasilkan resolusi spasial menjadi 1 m, diharapkan identifikasi objek menjadi lebih detail dan akurat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh radar satelit ini diharapkan dapat mengatasi kebutuhan informasi spasial terkait Program Nasional perhitungan karbon sebagaimana saran dari beberapa literatur terkait daerah tropis yang memiliki tingkat liputan awan hingga 80%. Selain itu juga diharapkan dapat dipergunakan untuk pemetaan hingga skala rinci serta pemantauan objek bergerak dan pemantaun lingkungan untuk mendukung mitigasi bencana di Indonesia. Akan tetapi sehubungan dengan masih minimnya pengalaman Indonesia dalam pemanfaatan data radar serta kurangnya fasilitas pengolahan data untuk tujuan operasional, maka diperlukan pengkajian lebih mendalam khususnya metodologi pemanfaatan dan akurasi informasinya. Selain itu terkait dengan alasan agar mendapatkan jumlah lintasan yang lebih banyak, pengoperasian pada orbit near equatorial adalah pengalaman pertama di dunia bagi satelit penginderaan jauh radar, sehingga perlu dilakukan kajian khususnya terkait koreksi dan pemanfaatan datanya. Untuk mendukung program satelit penginderaan jauh nasional, kajian yang komprehensif perlu dilakukan untuk Gambar 2. Citra komposit warna dari data radar multipolarisasi serta resolusi spasial tinggi yang memungkinkan mengidentifikasi objek lebih detail. 48 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja membahas kebutuhan misi satelit, permasalahan teknis dan solusinya, kebutuhan sistem ruas bumi serta sistem satelitnya. KEBUTUHAN Misi Satelit Penginderaan Jauh RADAR Menyimpulkan sementara dari beberapa hasil rapat antar instansi serta pengalaman LAPAN, misi satelit radar yang dibutuhkan di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Pemantauan berkala kondisi hutan untuk perhitungan karbon/ mendukung REDD, b. Pemantauan untuk keamanan dan pertahanan, c. Pemantauan lingkungan skala rinci untuk mendukung mitigasi bencana alam, d. Pemantauan pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian, e. Pemetaan penggunaan lahan skala 1:5.000 dan pembuatan DEM. Pemantauan berkala kondisi hutan untuk perhitungan karbon/ mendukung REDD, ditujukan untuk inventarisasi jenis tanaman hutan dan pemantauan perkembangan tajuk, sedangkan pemantauan untuk keamanan dan pertahanan ditujukan untuk monitoring pulau-pulau terluar, lalu lintas kapal laut, aktifitas pembalakan hutan. Adapun pemantauan lingkungan skala rinci untuk mendukung mitigasi bencana alam ditujukan untuk mendeteksi deformasi lahan, banjir, longsor, kebakaran hutan. Pemantauan pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian adalah misi pemantauan untuk memperkirakan produksi pertanian dan aktifitas pertanian, sedang pemetaan penggunaan lahan skala 1:5.000 dan pembuatan DEM ditujukan untuk penyediaan informasi spasial mendukung JDSN dan tataruang daerah. Permasalah DAN TINDAKAN PENYELESAIAN Sebagaimana yang sudah dikemukakan di pendahuluan, minimnya pengalaman Indonesia dalam pemanfaatan data satelit radar untuk pemantauan sumberdaya alam dan lingkungan dibutuhkan pelatihan khusus dalam pengoperasian peralatan sistem stasiun bumi pengendali dan penerima serta metodologi pemanfaatan datanya untuk mencapai misi seperti diuraikan di atas. Pemantauan dan inventarisasi kondisi lahan mempergunakan data satelit optik seperti Landsat TM atau Ikonos sudah banyak dilakukan di Indonesia dan metodologi pemanfaataanya sudah mulai dibangun, akan tetapi INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 ketersediaan data yang bebas awan untuk daerah tropis adalah suatu kendala. Dari berbagai referensi pemantauan dan inventarisasi, mempergunakan data satelit optik lebih akurat dibanding data satelit radar. Salah satu solusi masalah liputan awan dalam pemantauan dan iventarisasi adalah penggunaan data satelit optik yang dikombinasi dengan penggunaan data radar. Sementara itu sebagaimana ditunjukan pada program DMC (Disaster Monitoring Constellation), satelit seperti Beijing-1 yang memiliki karakeristik spektral mirip Landsat TM kanal hijau, merah dan inframerah dekat dengan resolusi spasial 30 meteran memiliki lebar cakupan data 600 Km serta berkonstalasi dengan 4 satelit serupa yaitu BilSat-1, AlSat-1, NigeriaSat-1 dan UK-DMC, merupakan solusi untuk mengeliminasi pengaruh liputan awan dalam pemantauan bumi mempergunakan satelit optik. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, permasalahan interpretasi data satelit penginderaan jauh radar yang terdahulu adalah data polarisasi tunggal yang citranya hitam putih satu kanal dengan informasi berupa tekstur. Hal ini dirasakan lebih sulit pemanfaatannya dibanding dengan data satelit optik seperti Landsat TM, untuk memudahkan interprestasi dan meninggikan akurasi informasinya diperlukan teknologi sensor radar multi polarisasi. Untuk misi pemantauan diperlukan objek yang bergerak, membutuhkan satelit penginderaan jauh dengan resolusi temporal yang tinggi. Untuk itu satelit dengan orbit satelit near equatorial secara teoritis lebih tepat, akan tetapi sehubungan dengan masih jarangnya satelit penginderaan jauh pada orbit tersebut maka masih perlu kajian lebih lanjut. Kendala utama pemantauan bumi di Indonesia adalah masalah cuaca yaitu liputan awan dan hujan, pemilihan penggunaan teknologi sensor radar pada satelit penginderaan jauh memang memungkinkan, akan tetapi untuk mendapatkan data penginderaan jauh yang benarbenar bebas gangguan cuaca khususnya hujan, maka perlu dilakukan pemilihan frekuensi yang tepat untuk sensor radarnya. SPESIFIKASI TEKNIS SISTEM SATELIT DAN STASIUN BUMI Mendasarkan kebutuhan dan permasalahan sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka diharapkan Satelit Penginderaan Jauh Radar yang diinginkan memiliki spesifikasi seperti berikut di bawah. 49 Informasi Data Inderaja Gambar 3. Contoh citra satelit radar sebelum dan sesudah dikoreksi AGC. Spesifikasi teknis satelit rada A. Muatan SAR Muatan SAR yang terdiri dari antena dan sensor elektronik terkait yang diperlukan untuk pencitraan, secara umum diharapkan memiliki fitur-fitur seperti resolusi spasial yang beragam dan pilihan polarisasi untuk fleksibilitas penuh sehingga dapat menjalankan misi sebagaimana tersebut diatas. - - Kanal Polarisasi HH, VV, HV, VH (fully polarimetric), berdasarkan referensi penggunaan gabungan data multi polarisasi tersebut memudahkan interpretasi visual maupun klasifikasi digital penutup penggunaan lahan. Band Frekuensi adalah C-band atau L-band sebagaimana disarankan untuk perhitungan biomas dari Kyoto Protokol, akan tetapi dari berbagai referensi C-band Gambar 4. Contoh teknik akuisisi sensor radar pada satelit untuk mendapatkan lebar cakupan dan resolusi spasial yang diinginkan. 50 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja adalah yang paling baik bebas dari pengaruh cuaca atau hujan dibanding L-band atau X-band. Memiliki Automatic Gain Control (AGC) untuk mendapatkan data citra yang memiliki radiometrik yang lebih baik (lihat Gambar 3 di bawah untuk citra sebelum dan setelah dikoreksi AGC). Resolusi 2m, 6m dan 16m dengan lebar cakupan data berturut-turut sekitar 10Km, 30Km dan 100Km, dimana dengan teknologi satelit radar yang ada sekarang seperti pada Radarsat-2, Alos PALSAR maupun TerraSAR-X adalah memungkinkan dan ini diperlukan untuk menjalankan misi pemanfaatan mulai pemetaan, pemantauan hingga identifikasi objek sebagaimana ditulis pada misi di atas. - B. Bus Satelit Modul Bus berisi semua sistem dan antarmuka yang diperlukan untuk mengoperasikan dan memelihara satelit serta mendukung Muatan SAR, untuk itu diperlukan adanya : - Payload Data Handling and Transmisi Data, fungsinya untuk mengirimkan citra SAR bersama dengan data tambahan (misalnya, GPS), disimpan onboard dan dikirim ke stasiun bumi penerima melalui komunikasi X-Band down-link. Diharapkan data akan dienkripsi dengan menggunakan Data Encryption Standard (DES). - Sub-sistem pengatur sikap satelit, fungsinya untuk mengatur agar telapak sensor SAR dapat selalu mengadap ke sudut tertentu kearah permukaan bumi, dimana umumnya dilakukan dengan mempergunakan propulsi pendorong dan roda momentum untuk mengaturnya serta sensor gyroscope dan sensor bintang yang data posisi dan kedudukannya direkam dan diolah oleh OBDH (on-board data handling and storage) untuk mengendalikan sikap tersebut. Penentuan sikap dan Pengendalian ini dibutuhkan untuk mempertahankan orientasi satelit dan memastikan bahwa satelit memenuhi persyaratan untuk kinerjanya antena SAR. - Pembangkitan Listrik dan Penyimpanannya yang mengatur tenaga listrik untuk satelit dengan power dihasilkan dari sayap array tenaga surya perlu dirancang untuk memenuhi tenaga selama beroperasi, mengingat pada orbit equatorial terdapat sisi gelap yang tidak memungkinkan sayap array tenaga surya mendapat sinar matahari. - - - INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 - - Penerima onboard Global Positioning System (GPS) dan perangkat lunak Precision Penentuan Orbit untuk penentuan orbit dan kontrol. TT&C subsistem yang merupakan komunikasi antarmuka antara satelit dan stasiun bumi, diperlukan untuk memberikan perintah, seperti melakukan operasi pencitraan, memperoleh data telemetri - informasi mengenai status atau kesehatan berbagai sub-sistem pada satelit yang dicatat sepanjang lintasan masingmasing. Untuk itu umumnya dua omni-directional antena S-Band, ditempatkan pada sudut yang berlawanan dari satelit untuk komunikasi dengan stasiun bumi untuk berbagai orientasi satelit, dan data perintah Up-link akan dienkripsi. Propulsion Sub-sistem untuk menjaga orbit satelit dan menjaga trek dalam batas toleransinya kemungkinan diperlukan semacam yang juga diperlukan untuk mengoreksi dispersi peluncuran. Subsistem Thermal diperlukan sebagai pengendali panas untuk memantulkan atau menghilangkan panas matahari di tubuh satelit dan antena SAR, serta untuk mengusir panas yang dihasilkan secara internal oleh elektronik satelit. C. Spesifikasi teknis orbit near equatorial - Orbit Low Earth Orbit (LEO) near equatorial bagi satelit penginderaan jauh radar adalah paling potensial untuk mendapatkan jumlah lintasan satelit di Indonesia yang banyak, dengan jangka waktu satu orbit satelit sekitar 100 menit, satelit dapat melintasi wilayah Indonesia 12 kali lebih yang cocok untuk keperluan pemantauan objek yang dinamis bergerak seperti kapal dll. - Sudut inklinasi orbit satelit near ekuatorial, agar mencakup seluruh wilayah zona ekonomi ekskulsif Indonesia yang berada disekitar 8LU hingga 13LS, maka seperti pada Gambar 6, sudut inklinasi sekitar 9 derajat adalah sudah cukup memadai. Akan tetapi jika diinginkan lebih banyak lagi negara lain yang akan memanfaatkan datanya, maka sudut inklinasi perlu sedikit dinaikan misal 16 derajat, maka negara tropis yang bisa dipantau akan lebih luas lagi diantara sekitar 20LU hingga 20LS, tetapi jumlah lintasan di Indonesia akan merurun sekitar 7 kali sehari. 51 Informasi Data Inderaja Gambar 5. Lintasan satelit orbit near ekuatorial yang akan melewati negara tropis selain Indonesia yaitu di Afrika dan Amerika Latin (dari simulasi satelit LAPAN-A3). - Gambar 6. hubungan jumlah lintasan dengan sudut inklinasi satelit orbit polar dan ekuatorial. D. Spesifikasi teknis sistem stasiun bumi - Sistem stasiun bumi penerima data satelit Dari pengalaman Stasiun Bumi Satelit Penginderan Jauh di Parepare yang tidak mampu mencakup seluruh wilayah Indonesia (hanya 93%), maka diperlukan 2 (dua) stasiun bumi penerima data satelit. Disarankan kalau salah satu stasiun buminya diletakan di Parepare, maka perlu di buat satu stasiun bumi penerima lagi disekitar Jawa Barat atau Banten. 52 Sistem stasiun bumi TT&C Stasiun bumi TT&C diperlukan selain untuk komunikasi dengan satelit dalam memberikan perintah, seperti melakukan operasi pencitraan, juga untuk memperoleh data telemetri dan informasi mengenai status atau kesehatan berbagai sub-sistem pada satelit yang dicatat sepanjang lintasan masing-masing. Stasiun bumi ini berkomunikasi dengan satelit melalui antena S-Band untuk Up-link data perintah dan down-link data-data telemetri. E. Spesifikasi Teknis Satelit Optik Jika satelit penginderaan jauh optik dijadikan pilihan yang lain, maka jenis satelit optik untuk sumberdaya alam mirip Landsat-7 dengan lebar sapuan yang lebar seperti Satelit Beijing-1 yang mencapai 600 Km adalah merupakan alternatif yang lain. Karena dengan lebar sapuan seperti itu mampu mengeliminir masalah liputan awan dan akan lebih efektif lagi jika dilakukan kontalasi dengan negara lain untuk jenis satelit yang sama seperti pada Program DMC. Sebagai contoh dengan lebar cakupan data 600km x 600km tersebut memungkinkan menggantikan 12 cakupan data Landsat TM seperti Gambar 8 di bawah. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Informasi Data Inderaja Gambar 7. Cakupan Antena Stasiun Bumi Penerima LAPAN Gambar 8. Contoh perbandingan lebar cakupan data di Parepare. Beijing-1 dengan Landsat TM. Kanal spektral yang dimungkinkan untuk menjalankan misi tersebut diatas adalah pada spektrum cahaya tampak dan inframerah dekat dilengkapi kanal pankromatik dengan resolusi spasial 2 meteran. Untuk pemantauan bumi dengan mempergunakan satelit penginderaan jauh optik, orbit LEO polar SunSynchronous sekitar pukul 8.30 pagi adalah lebih tepat karena masih belum banyak pembentukan awan dan sinar matahari sudah cukup. Sementara itu jika orbit satelit LEO ekuatorial akan terkaji perbedaan iluminasi radiasi matahari yang cukup beragam sehingga menyulitkan koreksi radiometrik dan pemanfaatan datanya. Hasil kajian ini bersifat awal dan sementara untuk mendukung pembuatan rencana tindak lanjut dalam penyediaan sistem satelit penginderaan jauh radar untuk perhitungan karbon. Kajian lebih lanjut yang mendalam diperlukan untuk mendapatkan spesifikasi teknis dari satelit hingga sistem stasiun buminya yang lebih optimal. Untuk melaksanakan misi yang diinginkan yakni Pemantauan berkala kondisi hutan untuk perhitungan karbon Nasional, keperluan Hankam, pemetaan skala rinci untuk mendukung mitigasi bencana alam, pertanian dan pembuatan DEM, teknologi satelit penginderaan jauh radar yang disarankan adalah multipolarisasi dan multiresolusi dengan orbit satelit yang banyak melintas di Indonesia. Tetapi jika satelit penginderaan jauh optik yang dipergunakan, disarankan selain multispektral dengan resolusi spasial yang mampu mendeteksi objek yang menjadi target misi, juga perlu memiliki cakupan yang luas dan berkonstalasi untuk mengeliminasi masalah liputan awan. PENUTUP Kajian ini secara umum menggambarkan kebutuhan misi satelit penginderaan jauh untuk pemantauan sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia khususnya untuk mendukung program REDD dalam program pemerintah untuk penurunan emisi karbon melalui pemantauan dan inventarisasi hutan. Pada kajian spesifikasi teknis telah dijabarkan secara umum perihal satelit penginderaan jauh radar near ekuatorial dan sedikit tentang satelit penginderaan jauh optik. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 53 Berita Ringan Hakteknas ke-16 dan Ritech Expo 2011 Diselenggarakan di Gedung Graha Widya Bakti Puspiptek, Serpong Tangerang Selatan - Provinsi Banten H ari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-16 diperingati tanggal 10 – 12 Agustus 2011, yang dilangsungkan di Gedung Graha Widya Bakti Puspiptek, Serpong Tangerang Selatan - Banten. Pada saat yang bersamaan juga di gelar acara Pameran Ritech Expo 2011, acara ini adalah agenda tahunan bernuansa iptek dengan mengangkat tema : “Inovasi Untuk Kesejahteraan Rakyat”. Acara Pembukaan dilakukan oleh Menteri Negara Ristek dan Teknologi Republik Indonesia Bapak Suharna Surapranata. Kegiatan ini merupakan momentum untuk meningkatkan kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas dan daya saing produk industri. Penguasan dan pemanfaatan iptek diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan nasional, yaitu : melalui hasil-hasil Riset/ Penelitian, Pengembangan/ Perekayasaan dan Penerapan Iptek sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat. Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional juga diharapkan menjadi wahana untuk membangun kebersamaan antar komponen 54 Di dalam gambar tampak suasana stan pameran LAPAN pada saat dikunjungi. masyarakat baik kalangan lembaga riset, akademisi, bisnis, dan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di Indonesia. Kegiatan ini diikuti oleh kontributor Pameran tidak kurang dari 37 peserta, mulai dari : LPNK, Litbang Kementerian, TNI – Polri, Litbangda, BUMN, Sektor Industri, serta Swasta. Disiapkan 3 zona yang masing-masing akan menampilkan tema : Inovasi yang berdaya saing yang sudah memiliki wawasan secara global, Inovasi pelayanan yang bermanfaat langsung pada masyarakat, serta Inovasi industri strategis (Hankam Dan Energi). LAPAN pada kesempatan ini menampilkan produk hasil risetnya berupa roket dua tingkat berdiameter 550 mm sebagai wahana pengorbit satelit (RPS) yang mampu melesat hingga 7 kali kecepatan suara (1 kali kecepatan suara sama dengan 350m/detik)., Roket RKX-220, Roket High Speed Flying TestBed (HSFTB) yang memiliki diameter 200 mm, Mock Up Satelit, Kincir Angin SKEA, Panel/ Poster hasil kegiatan litbang dan operasional pemanfaatan teknologi satelit inderaja, beberapa Publikasi Buku Penginderaan Jauh, Majalah Inderaja serta Brosur Pusat Teknologi Dan Data Penginderaan Jauh (Pustekdata). INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Berita Ringan Peringatan HUT LAPAN Ke 48 Diselenggarakan di Puspitek Serpong, Tangerang Selatan – Provinsi Banten Gambar 1. Sambutan Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN Bapak Drs. Taufik Maulana, MBA pada pembukaan kegiatan seminar. A cara peringatan HUT Lembaga Penerbangan dan Antriksa Nasional (LAPAN) Ke 48 diselenggarakan kegiatan Seminar Nasional Kedirgantaraan 2011”, Lomba Karya Tulis Ilmiah dan Perlombaan berbagai cabang Olah Raga. Acara Seminar Nasional Kedirgantaraan 2011 di beri tema : “Memperkuat Kinerja Teknologi Dan Industri Kedirgantaraan Nasioanal Dalam Mempersiapkan Indonesia 2025”. HUT LAPAN yang jatuh pada tanggal 27 November 2011, acara peringatannya dimajukan di mulai dari tanggal 22 hingga 23 November 2011 di PUSPITEK Serpong Tangerang Selatan – Provinsi Banten. Kegiatan Seminar dilaksanakan pada tanggal 22 November 2011 yang dibuka oleh Menristek Prof. Dr .Ir .H. Gusti Muhammad Hatta, MS. berlangsung secara paralel pada masing-masing Kedeputian dengan tema yang berbeda. Dimana tema utama HUT LAPAN Ke 48 adalah : “Mendorong Terwujudnya Undang Undang Keantariksaan Menuju Kemandirian Sain dan Teknologi Antariksa”. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Kegiatan seminar pada Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh diberi tema : “Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh Nasional Untuk Penyediaan Data dan Pelayanan Pengguna”. Seminar ini dibuka oleh Deputi Bidang Penginderaan Jauh (Inderaja) Drs. Taufik Maulana, MBA (Gambar. 1). Pada acara sambutan, Bapak Deputi Inderaja menyampaikan bahwa melalui kegiatan seminar hasil penelitian dan pengembangan teknologi dan aplikasi inderaja beserta produk turunannya dapat dijadikan sebagai momentum yang sangat tepat di dalam upaya pengembangan teknologi inderaja satelit. Produk teknologi dan aplikasi inderaja diharapkan dapat mendukung program pembangunan nasional dan menjadi solusi terbaik guna mempersiapkan tahun 2025. Bank Data Penginderaan Jauh Nasional diharapkan dapat segera dimanfaatkan untuk kepentingan pengguna secara nasional. Seminar ini dihadiri dari berbagai instansi terkait, antara lain : Kementerian 55 Berita Ringan Gambar 2. Suasana seminar pada Working Group di Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Riset dan Teknologi, serta para peneliti dari LAPAN. Pada acara Lomba Karya Tulis Ilmiah diumumkan hasil penilaian dan dilakukan pemberian penghargaan oleh Kepala LAPAN Drs.Bambang S Tedjasukmana, Dipl. Ing., kepada para Peneliti terbaik yang disaksikan oleh Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia Prof. Dr .Ir .H. Gusti Muhammad Hatta, MS. Dari hasil pengumuman disebutkan 3 (tiga) orang Peneliti dari Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, yaitu : Terbaik I : Dr. Katmoko Ari Sambodo (paling kanan), Terbaik II : Danang Surya Candra, M.Sc. (No 2. dari kanan), dan Terbaik III : Dr. Bambang Trisakti (No 3. dari kanan). Tim Penilai untuk acara Lomba Karya Tulis Ilmiah dilakukan oleh Drs. Taufik Maulana, MBA., Ir.Mahdi Kartasasmita, MS, Ph.D., Dr. Muchlisin Arif dan Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si. Tim Penilai ini adalah sebagai Nara Sumber dalam kegiatan evaluasi Program Riset Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) pada tanggal 10 Oktober 2011. Penilaian sebagai Peneliti terbaik dilakukan atas permintaan dari Kantor Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia sebagai koordinator kegiatan Gambar 3. Acara foto bersama Menteri Ristek Prof. Dr .Ir .H. Gusti Muhammad Hatta, MS. (No. 4 dari kanan) dan Kepala LAPAN Drs.Bambang S Tedjasukmana, Dipl. Ing., (No. 5 dari kanan) dengan para peneliti terbaik. 56 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Berita Ringan Gambar 4. Ketua Kontingen dari Kedeputian Bidang Inderaja Ir. Rubini Jusuf, M.Si. menerima Piala Bergilir sebagai Juara Umum dari Ketua Penyelenggara HUT LAPAN Ke 48 Deputi Teknologi Dirgantara LAPAN Dr_Ing. Soewarto Hardhienata Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Hal ini dilakukan guna mengetahui kemajuan pelaksanaan Program Riset Intensif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa di Lingkungan Instansi litbang. Dalam acara memperingati Hari Ulang Tahun LAPAN yang ke 48, selain diselenggarakan Seminar Nasional Kedirgantaraan 2011 dan Lomba Karya Tulis Ilmiah, juga diadakan berbagai kegiatan perlombaan pada beberapa cabang Olah Raga di GOR dan Lapangan Sepakbola PUSPITEK Serpong yang dilaksanakan pada tanggal 23 November 2011. Berbagai cabang olah raga yang dilombakan adalah Tenis Lapangan, Bola Volley Putra dan Putri, Tenis Meja Putra dan Putri, Bulutangkis campuran, Futsal Putra, Tarik Tambang Putra dan Mancing Putra. Perlombaan seperti tersebut di atas dilaksanakan dalam rangka meningkatkan tali silaturahim sesama pegawai LAPAN. Kontingen dari Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN dengan penuh perjuangan akhirnya memperoleh INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 predikat sebagai Juara Umum dalam perlombaan tersebut. Adapun Lomba yang diikuti sehingga memperoleh predikat Juara Umum, adalah sebagai Juara 1 pada cabang olah raga Tenis Lapangan, Juara 1 Tenis Meja Putri, Juara 1 Bola Volley Putri, dan Juara 2 pada cabang olah raga Futsal. Kemudian juga memperoleh Juara 3 pada cabang olah raga Bola Volley Putra, Bulutangkis Putra, Tarik Tambang dan Mancing Putra. Sedangkan pada cabang olah raga Tenis Meja Putra memperoleh Juara 4. Sebagai predikat Juara Umum, Kontingen dari Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN patut memperoleh penghargaan, yaitu di tunjuk sebagai tuan rumah pada acara HUT LAPAN untuk Tahun 2012. Atas semua prestasi yang telah di raih ini, diharapkan adanya dukungan dari semua pegawai serta pimpinan pada Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN untuk berusaha secara bersama mempertahankan dan meningkatkan prestasi di bidang iptek dan olah raga pada tahun yang akan datang. Selamat…! (AK) 57 Berita Ringan Siswa Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut Kunjungi LAPAN Pekayon Gambar 1. Ibu Fadila Muchsin, M. Si, foto bersama dengan siswa STTAL. J akarta, Jumat (9/9/11), Pusat Teknologi Dan Data Penginderaan Jauh (Pustekdata) LAPAN menerima kunjungan 10 Siswa STTAL (Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut). Rombongan di terima peneliti dari Pusat Teknologi dan Data Inderaja Ibu Fadila Muchsin, M. Si. dan Bapak Danang Surya Candra, M. Sc., mewakili Kepala Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN, Ibu Dr. Orbita Roswintiarti. Pada acara kunjungan ini diadakan diskusi dan tanya jawab yang selanjutnya rombongan di ajak meninjau fasilitas sistem Pengolahan Data dan Bank Data inderaja LAPAN. Dalam sambutannya, Ketua Rombongan STTAL (Kapten Laut) Bapak Zaenal Abidin menyampaikan ucapan terima kasih telah mendapat kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke LAPAN. Ditambahkan, bahwa kunjungan rombongan kali ini dimaksudkan untuk mempelajari lebih 58 mendalam tentang teknologi penginderaan jauh khususnya yang dapat diaplikasikan pada kegiatan TNI-AL. Ibu Fadila Muchsin, yang juga sebagai Dosen di STTAL menyampaikan ucapan terima kasih atas kunjungan rombongan ini ke Pustekdata LAPAN. Mudah-mudahan maksud dan tujuan kunjungan ini tercapai dan diharapkan dapat dimanfaatkan oleh siswa-siswa STTAL dalam rangka pelaksanaan latihan di bidang penginderaan jauh. Dan pada kesempatan ini juga disampaikan, bahwa kami siap membantu dari segi teknis mengenai data penginderaan jauh maupuin sarana fasilitas yang dimiliki oleh LAPAN. Pada sesi acara diskusi dan tanya jawab disampaikan oleh Ibu Fadila Muchsin, bahwa LAPAN mempunyai fasilitas stasiun bumi penerima dan perekam data yang ada di Parepare -Provinsi Sulawesi Selatan, Biak Provinsi - Papua, serta di Rumpin Bogor - Jawa Barat. Data satelit penginderaan INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Berita Ringan Gambar 2. Bapak Danang Surya Candra, M. Sc. Peneliti LAPAN dan Dosen STTAL sedang memandu dan memberikan penjelasan tentang aplikasi data penginderaan jauh kepada para siswa STTAL. jauh sumber alam yang dimilki LAPAN yaitu : MODIS, SPOT, Landsat, Ikonos, ERS, ALOS, Quickbird serta untuk lingkungan dan cuaca NOAA, GMS, Feng Yun. Juga dikatakan bahwa teknologi penginderaan jauh melalui satelit merupakan penginderaan jauh non fotografik hasil pengembangan dari teknik fotografik/ fotogrametri atau yang biasa di kenal foto udara. Dijelaskan, bahwa konsep dasar penginderan jauh terdiri atas beberapa komponen yang meliputi sumber tenaga, sensor, sistem pengolahan data dan berbagai penggunaan data. Sistem penginderaan jauh di mulai dari perekaman obyek permukaan bumi. Tenaga dalam penginderaan jauh merupakan tenaga elektromagnetik yang membawa data/informasi tentang obyek permukaan yang di tangkap sensor. Satelit penginderaan jauh memiliki resolusi temporal, spektral dan spasial. resolusi temporal, yaitu INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 : waktu yang dibutuhkan oleh satelit untuk kembali ke lokasi bumi. Resolusi spektral, yaitu : jumlah kanal atau pemilihan panjang gelombang yang digunakan dalam perekaman citra. Resolusi spasial adalah ukuran luasan di permukaan bumi yang diwakili piksel. Manfaat dan aplikasi data citra satelit inderaja untuk kepentingan kegiatan TNI-AL antara lain dapat mengidentifikasi pulau kecil terluar yang masuk dalam wilayah NKRI dan wilayah perbatasan laut antar negara. Sehingga pada kegiatan operasionalnya TNI-AL dapat memonitor/memantau seluruh wilayah NKRI. Usai acara diskusi tentang penginderaan jauh, rombongan di ajak berkunjung ke fasilitas Teknik Pengolahan Data dan Bank Data penginderaan jauh LAPAN. Di fasilitas tersebut, peserta mendengarkan penjelasan dari Bapak Danang Surya Candra, M. Sc, dan melihat berbagai peta citra penginderaan jauh yang dihasilkan oleh LAPAN. (AK) 59 Peristiwa dalam Gambar Diklat SIG ESDM di Kantor LAPAN Pekayon Kepala Bidang Bank Data Inderaja - LAPAN Ir. Rubini Jusuf, M. Si (No. 1 dari kiri, menggunakan kemeja warna putih) dalam sambutan kunjungan siswa Diklat SIG ESDM. K amis, 11 Agustus 2011. Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN (Pustekdata) menerima kunjungan Siswa Diklat SIG dari Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berjumlah 20 orang Siswa yang di terima oleh Kepala Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh - LAPAN (Kabid Bank Data) Ir. Rubini Jusuf, M. SI yang didampingi Peneliti Pustekdata Fadila Muchsin, ST, M. Si. dan Abdul Kholik, SH. Dalam sambutannya Ir. Rubini Jusuf, M. SI menyampaikan terima kasih atas kunjungan ke fasilitas LAPAN. Tentunya siswa/i diklat SIG ESDM akan memanfaatkan waktu yang sangat singkat ini dengan baik untuk menggali ilmu tentang penginderaan jauh, juga Kabid Bank Data menyampaikan tidak menutup kemungkinan 60 siswa/i memanfaatkan produk penginderaan jauh LAPAN melalui kerjasama. Sambutan Bapak Yudi Pratama sebagai ketua rombongan dan instruktur menyampaikan terima kasih atas sambutannya yang begitu terbuka bagi kami dan terima kasih atas di bukanya pintu kesempatan siswa/i kami untuk dapat memanfaatkan fasilitas teknologi inderaja di LAPAN. Maksud dan tujuan kedatangan kami ke Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN ingin mengetahui lebih dekat tentang Data Citra Satelit Penginderaan Jauh, harapan kami mudah - mudahan siswa/i diklat SIG dari Kementerian ESDM dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang penginderaan jauh. INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 Peristiwa dalam Gambar Siswa Diklat SIG ESDM sedang mengikuti penjelasan dari pemandu. Dilanjutkan pemaparan oleh peneliti Pustekdata Fadila Muchsin, ST, M. Si. Disampaikan sekilas tugas dan fungsi LAPAN dan pada khususnya Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh di Satuan Kerja Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, serta fasilitas yang dimilki oleh LAPAN, diantaranya adalah tiga stasiun bumi yang dapat menerima dan merekam data penginderaan jauh di Parepare, Sulawesi Selatan, Biak Papua dan di Rumpin Bogor - Jawa Barat. Data satelit yang dapat di terima adalah : SPOT, Landsat, MODIS, ERS, NOAA, Feng Yun, dan MTSAT. Data Penginderaan Jauh tersebut mempunyai sifat yang berbeda - beda dalam segi pemanfaatannya. LAPAN turut berkontribusi dalam mendukung pembangunan di INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 berbagai sektor untuk kepentingan Pemerintah Pusat maupun Daerah. LAPAN telah melakukan beberapa kegiatan kerjasama dengan Bappeda tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta instansi pemerintah lainnya. Setelah acara tanya jawab, kepada rombongan peserta dipersilahkan melihat fasitas Pustekdata LAPAN yang di pandu oleh Fadila Muchsin ST, M. Si. Pada kesempatan tersebut diberikan penjelasan tentang informasi satelit penginderaan jauh dan teknik pengolahan citra. Pada sesi acara ini, seluruh peserta mendengarkan dan memperhatikan dengan serius tentang apa yang disampaikan oleh Tim Pemandu dari LAPAN. (AK) 61 Peristiwa dalam Gambar Kegiatan Pelatihan Pengolahan Awal Data SAR di Selenggarakan di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN Pejabat Struktural LAPAN, Instruktur, dan para Peserta berfoto bersama pada acara pembukaan “Pelatihan Pengolahan Awal Data SAR”. S elasa, 19 Juli 2011, Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh - LAPAN bekerjasama dengan pihak Belanda, yaitu Wageningen University, dan Sarvision menyelenggarakan Pelatihan Pengolahan Awal Data SAR (Sinthetic Apearture Radar). Kegiatan Pelatihan diikuti oleh 19 peserta dari LAPAN dan 2 peserta dari Bakosurtanal yang dilaksanakan tanggal 19 s/d 29 Juli 2011, bertempat di Ruang Training pada Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pembukaan Pelatihan dilakukan oleh Kepala Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi Ayom Widipaminto, ST, MT., dan dihadiri pejabat struktural antara lain Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Ir. Agus Hidayat, M. Sc, Kepala Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh, Ir. Rubini Yusuf, M. Si, serta Kepala Sub Bagian Tata Usaha Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Ir. Johanes Manalu, M. Si. Dalam sambutannya, ketua panitia Ayom Widipaminto, ST, MT., menyampaikan bahwa pelatihan pengolahan awal data SAR kali ini LAPAN bekerjasama dengan Wageningen Universty dan SARVISION dari Belanda sebagai instruktur dasar data SAR serta pengolahannya serta di dukung beberapa orang Instruktur dari LAPAN. Ayom Widipaminto, ST, MT., juga mengemukakan diadakannya pelatihan ini tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan pengolahan Data SAR dan untuk saling melengkapi tentang perkembangan Teknologi Informasi Penginderaan Jauh yang merupakan salah satu bagian untuk mendeteksi karbon emisi yang ada di wilayah Indonesia, oleh karena itu perlu diadakan pelatihan ini. 62 Dalam sambutannya Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Ir. Agus Hidayat, M. Sc, menyampaikan bahwa dengan perkembangan teknologi informasi penginderaan jauh yang begitu pesat serta globalisasi karbon emisi yang lagi marak di bahas, maka kegiatan ini dapat memperkuat perkembangan teknologi informasi penginderaan jauh dengan menggunakan sensor radar (sistem aktif). Pada kesempatan itu juga disampaikan, bahwa sensor radar (sistem aktif) mempunyai karakteristik dapat menebus awan, dapat beroperasi pada waktu siang maupun malam dan dapat melihat tekstur, relief serta bentuk permukaan. Sedangkan sensor Optik (sistem pasif) panjang gelombang visible tidak menembus awan. Sehingga dengan adanya penggabungan penggunaan 2 sistem sensor observasi satelit pada teknologi penginderaan jauh ini, dapat memperkuat/ melengkapi data informasi yang diperlukan. Sambutan dari Wageningen University Dirk. Hoekman menyampaikan ucapan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan LAPAN kepada kami untuk dapat memberikan pelatihan pengolahan awal data SAR. Dr. Ari Katmoko Sambodo sebagai instruktur mengemukakan bahwa pelatihan pengolahan awal data SAR (Sinthetic Aperture Radar) adalah pelatihan yang mempelajari Gama Software yang perkembangannya menjadi dua turunan, yaitu : geometric train correction dan radio train correction. Mr. Rob Verhoeven dari Sarvision memberikan pelatihan khususnya untuk radio train corection. Dan pelatihan ini akan dilanjutkan yang direncanakan dapat diselenggarakan pada bulan November 2011 dengan materi tentang Klasifikasi Data SAR. (AK) INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 eM 00 23 PPPP T jet PPPPP gn esi PPPPP D HP PPPPP FP HP De s ig n je t T770 s e r ie s Free Consultation Demo Print PuPPlPes PlPtteP for more information and assistance, please contact : PT. CENTRAL PLOTTER INDONESIA Jln. Dr. Saharjo No.76-B, Manggarai - Jakarta Selatan 12850 Telp. (021) 8309744, 8305434, 8309686 - Fax. (021) 83706763 Email : [email protected] - Website : www.centralplotter.com Contact Person : Dodo (0852.20212714), Tuti (0816.1432984) SUPPLIES & SUPPORT • Printing Peta & Jilid Album • Ink Cartridge & Printhead • Inkjet Media / Roll Paper • Maintenance & Service • Personal Computer • Software ESRI • Notebook • Printer • Networking MAJALAH INDERAJA - LAPAN Kepada, Yth: Para Peneliti/ Perekayasa Di Tempat Pada tahun anggaran 2012 kami bermaksud menerbitkan kembali MAJALAH INDERAJA Volume III, No. 4 edisi Juli 2012. Pada edisi ini kami mengundang tulisan/ artikel dari Bapak/ Ibu Peneliti dan Perekayasa, yang berisi teknologi maupun aplikasi untuk berbagai sektor kegiatan pembangunan terutama dengan menggunakan data penginderaan jauh sebagai data primer. Tema untuk penerbitan majalah T.A 2012 : “Pemanfaatan Teknologi dan Aplikasi Inderaja untuk Mendukung Program Pembangunan Nasional”. Naskah disampaikan ke Sekretariat Majalah Inderaja - Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh, kami tunggu sampai dengan pertengahan bulan April 2012. Teknis Penulisan Makalah: • Naskah ditulis dalam MS. Word, Huruf : Arial Size : 12 Spasi :1½ • Gambar/ foto dibuat dalam file tersendiri Format : Tiff Ukuran resolusi : 300 Dpi(Minimal) • Grafik/ tabel dibuat dengan Microsoft Excel. Majalah Berita Inderaja didistribusikan kepada Bappeda Provinsi dan Kabupaten/ Kota seluruh Indonesia sebagai segmen utama pembaca dan beberapa Perguruan Tinggi serta di upload di Website : www.lapanrs.com. Pekayon, Desember 2011 Ttd Dewan Redaksi POSTER INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 65 POSTER 66 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 POSTER INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 67 POSTER 68 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 POSTER INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 69 POSTER 70 INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 POSTER INDERAJA | Volume II • No. 3 | Desember 2011 71