BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaturan

advertisement
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaturan Hukum Tentang Pembagian Harta Bersama .
Harta bersama diartikan sebagai harta benda dalam perkawinan yang
dihasilkan atau di dapatkan oleh pasangan suami istri secara bersama-sama maupun
secara sendiri-sendiri selama masa perkawinan masih berlangsung. Sehingga
legalitasnya diakui oleh hukum positif maupun Hukum Islam. Sebaliknya, yang tidak
termasuk dalam kategori harta bersama adalah harta yang diperoleh atau dihasilkan
sebelum masa perkawinan, biasa disebut dengan harta bawaan (seperti halnya harta
warisan atau harta milik pribadi yang diperoleh setelah atau sebelum masa
perkawinan, dan yang di peroleh dari harta hibah). Akan tetapi ketentuan lain bisa
berlaku bila sudah ada perjanjian terdahulu antara kedua belah pihak, perjanjian
tersebut meliputi penggabungan atas harta baik harta yang didapat setelah perkawinan
maupun yang termasuk harta bawaan seperti yang terdapat dalam Pasal 139-154
KUHPerdata, Pasal 29 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 47-50
Kompilasi Hukum Islam.
Uraian di atas senada dengan pendapat Prof. Johan Jasin, SH. MH dalam
wawancara pada tanggal 24 juli 2013, beliu mengatakan “ yang diamaksud dengan
harta bersama tidak hanya yang didapat setelah terjadi perkawinan semata, akan
31
tetapi meski merupakan harta bawaan apabila sebelumnya sudah ada perjanjian antar
kedua belah pihak maka harta tersebut bisa termasuk dalam harta bersama.”
Pengaturan secara formal tentang harta bersama atau yang lebih sering dikenal
dengan harta gono-gini dalam Hukum positif Indonesia untuk jelasnya diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau yang biasa disingkat dengan
KUHPerdata, Undang-Undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, selain
kedua aturan tersebut ada juga selanjutnya yang membahas tentang harta bersama
yakni Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pengaturan mengenai eksistensi harta bersama
ini diakui secara hukum formal, termasuk dalam hal pengurusan, penggunaan, dan
pembagiannya.
Berikut adalah kandungan harta bersama yang di atur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata atau yang biasa di kenal KUHPerdata yang terdapat pada
Bab VI yaitu tentang harta bersama menurut Undang-Undang dan pengurusannya,
dalam aturan tersebut mengenai harta bersama di atur dalam pasal pasal 119 - 138
KUHPerdata. Yang isinya adalah sebagai berkut ;
Bagian I : harta bersama menurut Undang-Undang
119. Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta
bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak di adakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjia nperjanjian perkawinan.
32
Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau di ubah
dengan suatu persetujuan antara suami istri.
120. Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang –
barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami istri itu, baik yang sudah ada
maupun barang- barang yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh
secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang
menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas.
121. Berkenan dengan beban-beban, maka harta bersama itu meliputi semua utang
yang di buat oleh suami isteri, baik sebelum perkawinan maupun selama perkawinan.
122. Semua penghasilan dan pendapatan, begitu pula semua keuntungan-keuntungan
dan kerugian-kerugian yang di peroleh selama perkawinan, juga menjadi keuntungan
dan kerugian harta bersama itu.
123. Semua utang kematian, yang terjadi setelah seorang meninggal dunia, hanya
menjadi beban para ahli waris yang meninggal itu.
BAGIAN2 ; Pengurusan Harta Bersama
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur AsingBukan Tionghoa, Tetapi berlaku Bagi
Golongan Tionghoa)
124. Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu.
33
Dia boleh menjualnya, memindah tangankanya dan membebaninya tanpa bantuan
isterinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal140.
Dia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang
sama-sama masih hidup, baik barang-barang tak bergerakmaupun keseluruhannya
atau suatu bagian atau jumlah yang tertentu dari barang-barang bergerak, bila bukan
dari anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk membersuatukan
kedudukan.
Bahkan dia tidak boleh menentukan ketentuan dengan cara hibah mengenai
sesuatu barang yang khusus, bila dia memperuntukan untuk dirinya hak pakai hasil
dari barang itu.
125. Bila si suami tidak ada, atau berada dalam keadaan tidak mungkin untuk
menyatakan kehendaknya, sedangkan hal ini di butuhkan segera, maka si isteri boleh
mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dari harta bersama itu, setelah
dikuasakan untuk itu oleh Pengadilan Negeri.
BAGIAN 3 Pembubaran Gabungan Harta Bersama Dan Hak Untuk Melepaskan Diri
Padanya.
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi
Golongan Tionghoa)
126. Harta bersama bubar demi hukum.
34
1.Karena kematian.
2. Karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada;
3.Karena peceraian;
4.Karena pisah meja dan ranjang;
5.Karena pemisahan harta;
Akibat-akibat kusus dari pembubaran dalam hal-hal tersebut pada no 2,3,4,
dan 5 pasal ini, diatur dalam bab-bab yang membicarakan soal ini.
127. Setelah salah seorang dari suami isteri meninggal, maka bila ada meninggalkan
anak yang masih di bawah umur, pihak yang hidup terlama wajib mengadakan
pendaftaran harta benda yang merupakan harta besama dalam waktu empat bulan.
Pendaftaran harta bersama itu boleh dilakukan dibawah. tangan, tetapi harus dihadri
oleh wali pengawas. Bila pendaftaran harta bersama itu tidak diadakan, gabungan
harta bersama berlangsung terus untuk keuntungan si anak yang masih dibawah umur
dan sekali-kali tidak boleh merugikannya.
128. Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara
suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempesoalkan dari pihak
mana asal barang-barang itu.
35
129. Pakaian, perhiasan dan perkakas untuk mata pencarian salah seorang dari suami
isteri itu, beserta buku-buku dan koleksi benda-benda kesenian dan keilmuan, dan
akhirnya surat-surat atau tanda kenang-kenagan yang bersangkutan dengan asal usul
dari keturunan salah seorang dari suami isteri itu, boleh dituntut oleh pihak asal benda
itu, dengan membayar harga yang ditaksir secara musyawarah atau oleh ahli-ahli.
130. Setelah pembubaran harta bersama, suami beloh ditagih atas utang dari harta
bersama seluruhnya, tanpa menurangi haknya untuk minta penggantian setengah dari
utang itu kepada isterinya atau kepada ahli waris si isteri.
131. Suami atau isteri, setelah pemisahan dan pembagian seluruh harta bersama, tidak
bmoleh dituntut oleh para kreditur untuk membayar utang-utang yang dibuat oleh
pihak lain dari suami atau isteri itu sebelum perkawinan, dan utang-utang itu tetap
menjadi tanggungan suami atau isteri yang telah membuatnya atau para ahli
warisnya; hal ini tidak mengurangi hak pihak yang satu untuk minta ganti rugi kepada
pihak yang lain atau ahli warisnya.
132. Isteri berhak melepaskan haknya atas harta bersama; segala perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan ini batal; sekali melepaskan haknya, tidak boleh
menuntut hak apa pun dari harta bersama, kecuali kain, sepray dan baju pribadinya.
Dengan pelepasan ini dia dibebaskan dari kewajiban untuk ikut membayar
utang-utang harta bersama. Tanpa mengurangi hak para kreditur atas harta bersama;
36
hal ini tidak mengurangi haknya untuk minta pengantian seluruhnya kepada suaminya
atau ahli warisnya.
133. Isteri yang hendak menggunakan hak tersebut dalam Pasal yang lalu, wajib
untuk menyampaikan akta pelepasan, dalam waktu satu bulan setelah pembubaran
harta bersama itu, kepada paniteria Pengadilan Negeri di tempat tinggal bersama yang
terakhir, dengan ancaman akan kehilangan hak itu (bila lalai).
Bila gabungan itu bubar akibat kematian suaminya maka tenggang waktu
satu bulan berlaku sejak si isteri mengetahui kematian itu.
134. Bila dalam jangka waktu tersebut di atas si isteri meninggal dunia, sebelum
menyampaikan akta pelepasan, harta bersama itu dalam aktu satu bulan setelah
kematian itu, atau setelah mereka mengetahui kematian itu, dan dengan cara seperti
itu diuraikan dalam pasal terakhir.
Hak isteri untuk menuntut kembali kain seprai dan pakainnya dari harta
bersamaitu, tidak dapat diperjuangkan oleh para ahli warisnya.
135. Bila para ahli waris tidak sepakat dalam tindakan sehinga sebagian menerima
dan yang lain melepaskan diri dari harta bersama itu, maka yang menerima itu, tidak
dapat memperoleh lebih dari bagian warisan yang menjadi haknya atas barang-barang
yang sedianya menjadi bagian isteri itu seandainya terjadi pemisahan harta.
37
Sisanya dibiarkan tetap pada sisuami, atau para ahli warisnya, yang
sebaliknya berkewajiban terhadap ahli waris yang melakukan pelepasan, untuk
memenuhi apa saja yang sedianya akan dituntut oleh si isteri dalam hal pelepasan,
tetapi hanya sebesar bagian warisan yang menjadi hak ahli waris yang melakukan
pelepasan.
136. Isteri yang telah menarik pada dirinya tidak berhak meepaskan diri dari harta
bersama itu.
Tindakan-tindakan
yang
menyangkut
pengurusan
semata-mata
atau
penyelamatan, tidak membawa akibat seperti itu.
137. Isteri yang telah menghilangkan atau menggelapkan barang-barang dari harta
bersama,tetap berada dalam penggabungan meskipun telah melepaskan dirinya; hal
yang sama berlakubagiparaahliwarisnya.
138. Dalam hal gabungan harta bersama berakhir karena kematian si isteri para ahli
warisnya dapat melepaskan diri dari harta bersama itu, dalam waktu dan dengan cara
seperti yang diatur mengenai si isteri sendiri.
Dalam hal harta kekayaan perkawinan, pada umumnya KUHPerdata mengatur
tentang kekuasaan pihak-pihak yang bersangkutan atas harta bendanya, seberapa jauh
kewenangan setiap pihak bertindak untuk harta bendanya. Namun tidak demikian
dengan harta yang dimiliki sebelum terjadi pernikahan, KUHPerdata tidak membahas
38
soal harta yang dimiliki sebelum terjadi pernikahan (harta bawaan) Padahal melihat
kenyataan di masyarakat dmungkinkan akan adanya perselisihan yang timbul akibat
adanya ketidaktahuan akan pemisahan mengenai harta bawaan dan harta bersama.
Tidak hanya itu keluasan bahasa yang dipakai dalam merumuskan KUHPerdata ini
dimungkinkan akan sulit dimengerti oleh masyarakat.
Selain aturan di atas masih ada juga aturan yang membahas tentang eksistensi
harta bersama. Adapun aturan lain yang mengatur tentang harta bersama UndangUndang. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang terdapat pada Bab VII dengan
judul harta benda dalam perkawinan yakni pasal 35-37 yang berbunyi :
UUP. Pasal 35
(1) “harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”
(2) “ Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang di
peroleh masing-masing sebagi hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak mentukan lain.”
UUP. Pasal 36
(1). “ Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak”.
(2). “ mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.
39
UUP. Pasal 37
“ bila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukum yang berlaku”.
Dalam Undang–Undang perkawinan mengenai harta bersama pengaturannya
belum begitu jelas yang masih dapat menimbulkan multi tafsir dimana dalam uturan
Undang-Undang ini tidak mengatur tentang pembagian atas harta bersama apabila
terjadi perceraian, berapa bagian yang di peroleh suami dan berapa bagian untuk istri
atas harta yang bersangkutan apabila terjadi sengketa terhadap harta bendanya.
Ketidak jelasan dalam aturan ini juga dapat berakibat kesimpang siuran atas
pembagian harta apabila terjadi sengketa, hal tersebut di mungkinkan karena
pasangan tidak mengetahui secara jelas berapa bagian yang seharusnya di peroleh
masing-masing pihak, bukan hanya tentang pembagian ketidakjelasannya juga
terdapat pada Pasal 37 dimana dalam pasal tersbut di katakan “apabila perkawinan itu
putus, maka harta bersama di atur menurut hukum yang berlaku”. Berkaitan dengan
pernyataan yang terdapat pada Pasal 37 Undang-Undang ini dapat dimaksudkan
berupa pilihan hukum apa yang akan di tempuh, dapat diartikan bahwa pasal ini
menunjukan kepada agama yang di anut oleh yang bersangkutan. Pasal ini seharusnya
bisa ditafsirkan sedemikian rupa, agar bisa lebih jelas untuk pemaknaanya, untuk
yang beragama islam maka penyelesaiannya menurut hukum islam dan begitu pula
untuk yang beragama nasrani dan lainnya maka proses penyelesaiannyapun
berdasarkan hukum yang mereka anut.
40
Berkaitan dengan hal diatas, ketentuan mengenai hukum harta kekayaan
dalam perkawinan sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Perkawinwan dapat
diberlakukan terhadap kasus-kasus dalam praktik tertentu, artinya sepanjang UndangUndang Perkawinan belum mengatur secara rinci soal pembagian harta perkawinan,
maka yang berlaku adalah ketentuan lama yang mengikat pasangan suami istri yang
bersangkutan pada saat sebelum melangsungkan perkawinan, Karena masih ada
aturan lain yang lebih jelas juga mengikat. Hal tersebut senada dengan yang
tercantum dalam Pasal 37 UUP. “apabila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”.
Dengan kata lain apabila suami-istri yang bersangkutan tunduk pada
KUHPerdata maka ketentuan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan yang
terdapat dalam KUHPerdata diterapkan untuk menyelesaikan perkara harta kekayaan
dalam perkawinan tersebut. Sedangkan jika suami-istri tersebut tunduk pada hukum
adat, maka yang di berlakukan adalah tetap ketentuan dalam UUP namun dengan
mengambil atau menerapkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum adat.1 Atau
aturan lain yang lebih jelas. Untuk itulah aturan lain menyangkut harta benda dalam
perkawianan di rumuskan atau di perjelas dalam aturan selanjutnya seperti yang
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam.
Pada dasarnya penyusunan Kompilasai Hukum Islam lahir karena adanya
kebutuhan pada satu rumusan tunggal yang dapat dijadikan rumusan-rumusan oleh
1
J. andy hartanto, hukum harta kekayaan dalam perkawinan, hal 61
41
Pengadilan-Pengadilan Agama untuk menyelesaikan segala sengketa yang berkaitan
dengan perkawinan. Sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam, pihak Pengadilan
Agama belum memiiki standar baku untuk menyelesaikan sengketa yang
berhubungan dengan perkawinan sehingga para hakim memberikan keputusan yang
berbeda untuk kasus yang sama. 2 berkaitan dengan hal tersebutlah Kompilasi Hukum
Islam ini dibuat, sebagai upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk melengkapi
aturan sebelumnya, demi tercapainya tujuan hukum bagi mereka yang beragam islam
khususnya dengan meniti-beratkan pada konsep keislaman yang terdapat dalam kitab
suci sebagai pedoman yang diharapkan bisa untuk kemaslahatan umat manusia
didunia maupun diakhirat.3 Kemudian menerapkan dan menjadikannya bagian dari
hukum positif.
Pengaturan tentang harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam atau yang biasa di
singkat dengan KHI yakni terdapat dalam pasal yaitu
pasal 85 - 97 dimana
disebutkan bahwa :
KHI Pasal 85
“adanya harta bersama dalam perkawinan itu, tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami istri”.
Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (harta
bersama).
KHI Pasal 86
2
3
Dedi Susanto kupas tuntas masalah harta gono-gini halaman 15
Zainudin Ali, filsafat hukum, halm 67
42
(1) “ pada dasarnya tidak ada percampuran antar harta suami dan harta istri karena
perkawinan”.
(2) “ harta istri tetap menjadi harta istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga
suami tetap menjadi hak suami dan sikuasai penuh olehnya.
KHI, membebaskan untuk setiap pemegang hak atas hartanya untuk melakukan
apapun terhadap harta yang merupakan harta bawaan.
KHI Pasal 87
(1). “Harta bawaan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masingmaing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing,
sepanjang para pihak tidak mentukan lain.”
(2). “Suami dan istri mempinyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh atau lainnya.”
KHI Pasal 88 :
“ apabila terjadi perselisihan antara suami dan istritentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu di ajukan ke Pengadilan Agama.
KHI Pasal 89 :
“suami bertanggu jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun harta sendiri.
KHI Pasal 90
“istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada
padanya.”
KHI Pasal 91
43
(1). “Harta bersama sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 diatas dapat berupa
benda berwujud atau tidak berwujud.”
(2). “Harta bersama yang berwujud dapat berupa benda bergerak, benda tidak
bergerak,dan surat-surat berharga”
(3). “ harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.”
(4). “ harta bersama dapat dijadikan barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya.”
Begitu luas cakupan harta bersama yang dijelaskan oleh KHI, Pasal diatas seakan
menjawab bahwa hutang dan anggunan kreditpun dapat dimasukan kedalam harta
bersama.
KHI Pasal 92
“Suami atau istri tanpa persetujuan pihak tidak diperbolehkan menjual atau
memindahkan harta bersama.”
KHI Pasal 93
(1). “Pertanggungjawaban atas hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya
masing-masing.”
(2).” Pertanggungjawaban atas hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga,
dibebankan kepda harta bersama”.
(3). “ bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. ”
(4). “ bila hara suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri.”
KHI Pasal 94
44
(1). “harta bersama dari perkawinan seorang suami yang memiliki istri lebih dari
seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendri. ”
(2). “kepemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang memiliki istri
lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri sebagaimana yang
dimaksud dengan ayat (1), dihitung dari berlangsungnya perkawinan kedua, ketiga
dan keempat.”
KHI Pasal 95
(1). “ dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c P.P. nomor 9
tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakan sita jaminan atas harta bersama tanpa
adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang
merugikan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebaginya.”
(2). “ selama masa sita jaminan dilakukan dapat dilakukan pnjualan atas harta
bersama untuk keperluan keluarga dengan ijin Pengadilan Agama.”
KHI Pasal 96
(1). Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersam menjadi milik pasangan
yang hidup lebih lama.”
(2). “ pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya
hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau
matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. ”
KHI Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak atas seprtiga dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
45
Dari Kompilasi Hukum Islam dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
keberadaan harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing.
Bahkan lebih tegas dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta
yang diakibatkan karena adanya perkawinan dan ketentuan mengenai harta bersama
ditentukan berdasarkan perjanjian. Apabila terjadi perselisihan, maka untuk proses
penyelesaiannyapun setelah diundangkannya Undang-Undang nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang sudah pernah dirubah menjadi nomor 3 tahun2006
yang sekarang sudah dirubah lagi menjadi nomor 50 tahun 2009, melalui Pasal 49
dan penjelasannya ayat (2) angka (10), ditegaskan bahwa : “ yang dimaksud dengan
bidang perkawinan diatur dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan antara lain adalah (10) penyelesaian harta besama.” Dengan demikian,
sengketa harta bersama dikalangan orang-orang yang beragama Islam bisa diserahkan
ke Pengadilan Agama, karena termasuk dalm bidang perkawinan.4 Dan ke Pengadilan
Negeri untuk yang beragama selain islam. Inovasi pembagian harta bersama yang
ditawarkan oleh Kompilasi Hukum Islam ini diyakini dapat diterima dengan baik
oleh masyarakat, karena solusi yang ditawarkan tidak berlawanan dengan adat
kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Dalam perkembangannya, harta
bersama didefenisikan lebih luas. Seperti suami yang melakukan usaha di luar rumah
untuk mencari nafkah dan istri yang hanya mengurus rumah tangga juga dikagorikan
bekerja, sehingga di antara keduanya terdapat kesamaan dan kesetaraan, pernyataan
tersebut mencerminkan bahwa tidak adanya perbedaan antara suami dan istri dalam
4
M. Anshary MK hukum perkawinan diIndonesia halm. 144
46
hal mengumpulkan harta bersama, yang apabila terjadi perselisihan dikemudian hari
keduanya mendapat bagian yang sama berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Sebagaimana uraian peraturan diatas, terdapat bahwa untuk membagi harta
bersama ketentuannya adalah dibagi rata atas suami dan istri, tanpa mempersoalkan
darimana dan siapa yang memperoleh harta tersebut juga terdaftar atas nama siapa.
Untuk ketentuan mengenai pengaturan atas pembagian serta besaran porsi perolehan
masing-masing suami dan istri dari harta bersama apabila terjadi perceraian, baik
cerai hidup maupun cerai mati atau cerai hidup, hanya dapat kita jumpai dalam
ketentuan Pasal 96 dan 97 kompilasi hukum islam.; 5 dan KUHPerdata pasal 128.
Pasal 96 yang berbunyi :
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta besama jadi milik pasangan
yang hidup terlama.
(2) Pembagian harta bersama bagi orang yang suaminya atau istrinya hilang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya
secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 yang berbunyi :
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersam
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkainwan.
5
M. Anshary MK Opcit 146
47
Pasal 128 KUHPerdata yang berbunyi :
Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara
suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempesoalkan dari pihak
mana asal barang-barang itu.
Apabila terjadi sengketa dalam hal pembagian atas harta bersama maka, aturan
hukum diataslah yang menjadi acuan untuk pembagiannya, seperti yang diutarakan
oleh Lisnawaty. Badu. SH. MH. yang merupakan salah satu Dosen Hukum di
Universitas Negeri Gorontalo dalam wawancara pada tanggal 17 juli 2013. Yakni :
“Yang dimaksud dengan harta bersama adalah segala sesuatu yang dikumpulkan
ketika terjadi pernikahan, yang apabila timbul masalah karenanya maka untuk
pembagiannya harus dibagi 2 sama rata seperti yang diamanatkan oleh peraturan
perundang – undangan yang berlaku.”
Jika melihat kenyataan yang ada seperti di Pengadilan Agama Kota Gorontalo
berdasarkan putusan yang telah ingkra, para hakim dalam membagi harta bersama
mereka berlandaskan ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan yakni yang
menyatakan untuk pembagian harta dapat dibagi setengah-setengah, Akan tetapi
tidak selamanya berlaku demikian apabila terdapat kasus yang berbeda menurut
pandangan majelis hakim, para hakim dapat menentukan lain tergantung pokok
permasalahannya.
48
Bertolak dari uraian yang telah dikemukakan di atas, berdasarkan hasil
penelitian penulis secara langsung pada Kantor Pengadian Agama Kota Gorontalo,
diperoleh data antara lain:
Menurut wawancara penulis dengan bapak Hasan Zakaria, S.ag, SH yang merupakan
salah seorang Hakim pada Pengadilan Agama Kota Gorontalo pada tanggal 14 juni
2013 mangatakan bahwa :
“Dalam membagi harta benda menjadi harta bersama tidak harus berpatokan
pada apa yang tercantum dalam undang-undang kemungkinan untuk membagi diluar
dari apa yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan
juga bisa dilakukan
tergantung penilaian majelis hakim terhadap kasus yang bersangkutan kemungkinan
lain juga bisa diberlakukan hakim berdasarkan beberapa penilaian terhadap kasus
tersebut ”.
Senada dengan pernyataan hakim diatas Wenny Dungga, SH. MH yang merupakan
salah satu Dosen di Universitas Negeri Gorontalo pada tanggal 19 juli 2013 juga
mengatakan demikian yakni “ untuk pengaturannya pada dasarnya merujuk kepada
aturan yang berlaku namun, lain halnya apabila harta bersama tersebut merupakan
hasil dari harta bawaan yang berkembang, jadi untuk pengaturannya merujuk kepada
kewenangan hakim yang mengadili sengketa yang bersangkutan.”
Zaman semakin maju dapat memungkinkan terjadi ketertinggalan aturan
hukum positif dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hal
tersebut hakim disetiap Pengadilan baik yang bertugas di Pengadilan Negeri maupun
49
di Pengadilan Agama di tuntut untuk bisa membaca situasi dalam menjalankan
fungsinya sebagai aparatur yang bertugas memeriksa dan mengadili setiap kasus yang
diajukan padanya, dan tidak menutup kemungkinan dihadapkan dengan peristiwa
yang belum diatur oleh hukum secara tertulis sebelumnya. Sedangkan setiap hakim
terikat oleh Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 pasal 28 ayat 1 yang menyatakan
bahwa : Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukumnya tidak ada atau
belum jelas. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Itu berarti bagaimanapun posisi
kasusnya, ada atau tidak aturannya, setiap hakim harus mampu menjalankan tugasnya
untuk memeriksa dan mengadili kasus tersebut.
Atas dasar ketentuan pada Undang-Undang ini, maka untuk menyelesaikan
sengketa/kasus, hakim diharapkan untuk mencari jalan keluar yaitu melalui
penemuan hukum untuk menyelesaikan sengketa yang di ajukan padanya.
Berdasarkan kewenangan diataslah hakim bisa membagi harta bersama diluar apa
yang tertera dalam peraturan perundang-undangan tersebut, jika menurut penilaian
mejelis hakim serta berdasarkan pembuktian yang ada harta bersama lebih pantas di
bagi diluar setengah – setengah atau tidak seperti yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, serta berdasarkan hati nurani hakim itulah yang diikuti.
Seperti kutipan wawancara penulis dengan Drs. Baharudin Mokodompit pada
tanggal 27 juni 2013, beliu mengatakan :
50
“ berdasarkan kewenangannya, hakim diperbolehkan menggunakan ketajaman
hati nurani. Dimana ketajaman hati nurani hakim sangat diperlukan dalam hal
pengambilan putusan dengan cara mengadakan pendekatan psikologis agar bisa
dijadikan bahan pertimbangan ”
Senada dengan pernyataan diatas, “ … Baik para hakim maupun pihak-pihak
yang berperkara dengan berlakunya Kompilai Hukum Islam ini terikat dan
berkewajiban sepenuhnya melaksanakan isinya, sekalipun pada dasarnya pemerintah
tidak akan memaksakan satu pendapat hukum tertentu, namun berdasarkan consensus
yang disepakati bersama maka para pihak maupun hakim terikat sepenuhnya pada apa
yang disbutkan dalam Kompilasi Hukum Islam tanpa menutup kemungkinan bagi
para hakim Pengadilan Agama untuk melakukan penemuan hukum.”6
Meskipun dalam aturan
hukum positif mengatur untuk pembagian harta
bersama haruslah setengah- setengah namun tidak semua sengketa haruslah demikian
ada kemungkinan lain yang dapat diberlakukan untuk sengketa-sengketa tertentu
berdasarkan beberapa pertimbngan oleh rmajelis hakim dan pembuktian oleh pihak
yang bersengketa tentunya, siapa saja yang buktinya di anggap pantas yang
bersangkutanlah yang berhak atas harta benda yang di persengktakan.
Berikut ini adalah gambaran factor-factor yang menyebabkan pembagian
harta bersama besarannya tidak sama antara kedua belah pihak. yaitu;
6
Dedi Susanto, kupas tuntas masala harta gono-gini, Pustaka Yustisia, Jakarta 2011 halm. 16
51
1. Untuk harta bersama yang nantinya akan dibagi kedua belah pihak harus
mempunyai andil dalam harta bersama yang di persengketakan, jikalau ada yang
tdak memiliki andil atas harta bersama yang di persengketakan maka pihak
tersebutlah yang perolehnya lebih sedikit.
Hal diatas senada dengan pendapat Drs. Burhanudin Mokodompit yang
merupakan salah satu hakim di Pengadilan Agama Kota gorontalao, berdasarkan
wawancara penulis pada tanggal 27 juni 2013 yaitu :
“ dalam hal membagi harta besama kedua belah pihak yang mempersengktakan
harta bersama tersbut, haruslah memiliki andil dalam hal pendapatan harta
bersama tersebut.”
2. Sebelumnya telah ada perjanjian lain antar kedua belah pihak yang bersengketa
terhadap harta bersama tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 29
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 47-50
Kompilasi Hukum Islam.
Uraian dalam angka ini seperi yang dikatakan oleh salah satu Dosen di
Universitas Negeri Gorontalo Suwito Imran, SH. MH, pada tanggal 20 juli 2013”
Bahw a yang didapat setelah perkawinan adalah harta bersama tidak termasuk
harta yang dimiliki sebelum terjadi pernikahan jadi ketika terjadi perceraian
dalam hal pembagiannya harus diketahui untuk dipisahkan dulu mana yang
termasuk harta bawaan dan mana yang termasuk harta bersama. Apabila terjadi
sengketa, dalam hal pengaturan mengenai pembagiannya itu merujuk kepada
52
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali kalau sebelumnya sudah
ada perjanjian antara kedua belah pihak, yang apabila dalam perjanjian tersebut
sudah disepakati untuk mencampurkan semua harta bendanya termasuk harta
bawaan maka untuk penyelesainya dimungkinkan besaran pembagiannya bisa
berbeda tergantung kesepakatan yang sudah diperjanjikan. ”
3. Pihak yang mendapatkan bagian lebih sedikit, telah melakukan hal yang tidak
seharusnya dilakukan yang dapat merugikan pihak lain. Seperti menghamburhamburkan uang untuk kepentingan pribadi.
4. Pihak yang mendapatkan bagian lebih sedikit, tidak memiliki kontribusi atas
harta yang di persengketakan.
5. Untuk memenuhi rasa keadilan tidak harus dengan cara membagi harta bersama
dengan porsi seperti yang diatut oleh Undang-Undang, jadi bukan berarti dibagi
diluar ketentuan Undang-Undang tidak adil.
Seperti yang dikatakan oleh Drs. Burhanudin Mokodompit dalam wawancara
dengan penulis pada tanggal 27 juni 2013 yaitu:
“ urusan hukum, keadilan bukanlah sama rata besaran porsinya.”
Wawancara diatas memperkuat pendapat bahwa keadilan tidak terdapat pada
samanya jumlah pembagian harta yang bersangkutan, akan tetapi keadialan adalah
saat dimana para pihak menerima bagian sesuai dengan haknya, Meskipun tidak
seperti yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut seakan
53
senada dengan kenyataan yang terjadi di beberapa daerah diIndonesia yang lain yang
menerapkan proses pembagian harta besarannya berbeda apabila terjadi perceraian.
Seperti yang terjadi di daerah jawa dimana di kenal dengan istilah sak pikul
sak gendongan, yang artinya bahwa harta bersama itu dibagi tiga bagian ; suami
mendapatkan dua bagian dan istri mendapatka satu bagian. Di daerah Acehpun
demikian memiliki pembagian yang sama dengan daerah Jawa, yaitu dua berbanding
satu dua bagian untuk suami dan satu bagian untuk istri.
7
Di Aceh, penghasilan
suami menjadi milik pribadi sendiri, apabila istri tidak memberi sesuatu dasar materil
yang berbentuk suatu kebun atau karangan kediaman bagi keluarga, atau tidak
memberi bekal kepada suaminya yang mengadakan suatu perjalanan. Di Jawa Barat,
apabila pada saat perkawinan istri kaya sedangkan suami miskin (perkawinan
nyelindung kagelung), maka penghasilan yang diperoleh semasa perkawinan adalah
milik istri sendiri. Sebaliknya dalam perkawinan suami kaya dan istri miskin
(manggih kaya), penghasilan diperoleh semasa perkawinan menjadi milik suami. Di
Kudus kulon di lingkungan dalam lingkung para pedagang, maka suami dan istri
masing-masing tetap memiliki barang-barang yang mereka bawa ke dalam
perkawainan dan juga barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama
perkawinan8
7
M. anshary MK, Hukum Perkawinan diIndonesia. HAL 145
http//Agus Salim BAB IV ANALISA KONSEP HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT
HUKUM ISLAM.htm
8
54
Analogi berdasarkan kasuistis diatas sejalan dengan apa yang terdapat dalam
pasal 37 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang multitafsir, dimana dalam
ketentuanya mengatur akibat dari putusnya perceraian terhadap harta bersama, itu
berarti membuka peluang akan masuk atau berlakunya
ketentuan lain terhadap
pembagian harta bersama tersebut. Berdasakan kasuistis diatas pula dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa daerah diIndonesia yang pembagian harta
bersamanya tidak sesuai dengan apa yang terdapat di dalam aturan hukum positif.
Berbicara mengenai pengaturan tentang pembagian atas harta bersama,
memang sudah selayaknya tidak harus berpatokan dalam Undang-Undang karena
dalam hal perolehanya apabila terdapat hanya satu pihak saja yang berusaha untuk
mengumpulkan sementara pihak yang lainnya hanya bisa mengghamburkan yang
berakibat merugaikan, ketidak adilan dapat berpihak pada yang berusaha untuk
mengumpulkan, lain halnya apabila dalam hal pengumpulannya meskipun dilakukan
oleh satu pihak dan pihak lain menjalankan kewajiban lain seperti mengurus rumah
untuk pembagiannya dapat saja berpatokan dalam Undang-Undang.
Jadi, untuk pengaturan atas harta bersama ketentuan mengenai pengaturannya
Selain yang terdapat dalam KUHPerdata pasal 128 dan Kompilasi Hukum Islam
pasal 96 dan 97 tentang pengaturan mengenai pembagian harta bersama, ada juga
ketentuan lain mengenai pembagian harta bersama yakni dapat dibagi berbeda setiap
porsi tidak harus dibagi seperdua-seperdua untuk setiap pihak seperi yang
diamanatkan Undang-Undang diatas, hal tersebut dimungkinkan terjadi apabila sudah
55
ada perjanjian terdahulu seperti yang dijelaskan dalam pasal 29 Undang-Undang
Perkawinan dan pasal 47-50 KHI, dimana dalam aturan tersebut membolehkan
dilakukannya perjanjian tentang pernikahan yang dilakukan sebelum atau sesudah
pernikahan kedua belah pihak terjadi, yang dalam perjanjian tersebut juga meliputi
percampuran maupun pemisahan mengenai harta bendanya. Selain uraian diatas
dalam hal pembagian atas harta
bersama pembagiannyapun dapat berdasarkan
ketentuan-ketentuan lain atas penilaian hakim, dalam artian apabila pihak mejelis
hakim menganggap harta bersama pembagiannya berbeda besaran porsinya itulah
yang menjadi ketetapan .
4.2 Pertimbngan Hakim Pengadilan Agama dalam Hal Memutuskan Sengketa.
Berbicara mengenai pertimbangan hakim itu berarti berbicara mengenai yang
mengadili perkara tersebut, yang kesemuanya itu dilangsungkan di lembaga peradilan
setempat berdasarkan tata cara dan prosedur yang sudah diatur. Untuk yang beragama
islam proses penyelesaianya di lakukan di Pengadilan Agama dan untuk yang
beragama selain Islam proses penyelesaian atas sengketa harta bersama di ajukan di
Pengadilan Negeri. Pertimbangan Pengadilan dalam menetapkan suatu keputusan
yang adil, dengan menerapkan nilai-nilai hukum yang standart, seperti halnya dengan
standart memelihara tujuan hukum dan keterbukaan tentang kepentingan hukum9
merupakan yang diinginkan para pihak apabila mnyelesaikan sengketanya di
Pengadilan.
9
Zainudin Ali, filsafat Hukum, halm 92
56
Apabila sengketa atas harta bersama penyelesaian melalui lembaga peradilan
dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan gugatan yang di dalamnya
disebutkan dengan jelas keberadaan harta dimaksud, baik kepemilikan harta maupun
cara dan sumber dana yang dipergunakan untuk mengadakan atau membeli barang
yang bersangkutan, gugatan tersebut bisa langsung sekalian dengan gugatan cerai bisa
juga di ajukan gugatan tunggal atau berdasarkan rekonvensi atas untuk harta bersama.
Menurut wawancara penulis dengan Hasan Zakaria, S.ag SH yang
merupakan salah seorang hakim di Pengadilan Agama Kota Gorontalo pada tanggal
14 juni 2013 mengatakan bahwa;
“ untuk membagi atas harta bersama gugatanya bisa langsung di lakukan
bersama dengan gugatan cerai bisa juga gugatan atas harta bersama tersebut
dilakukan tunggal setelah putusan cerai”.
Dan wawancara dengan Drs. Burhanudin Mokodompit pada tanggal 27 juni 2013,
yaitu :
“ untuk perkara harta bersama bisa digabung dengan gugatan cerai atau bisa juga
gugatan berdasarkan gugatan balik atau rekonfensi”
Berdasarkan wawancara penulis dengan hakim di Pengadilan Agama Kota
Gorontalo, yakni Hasan Zakaria, S.ag, SH dan Drs. Burhanudin Mokodompit, Dapat
disimpulkan bahwa pengertian harta bersama menurut kedua hakim tersebut adalah
sama dengan apa yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yakni harta
bersama pada pokoknya harta bersama adalah harta yang didapat setelah perkawinan
57
berlangsung atau selama terikat perkawinan, lepas dari harta yang dibawah sebelum
terjadi perkawinan..
Dan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan semua barang yang suami
atau isteri peroleh selama dalam ikatan perkawinan, tergolong ke dalam harta
bersama asalkan barang dimaksud tidak termasuk harta bawaan atau milik pribadi
masing-masing. Atas nama siapa yang tercatat sebagai pembeli, maupun berdasarkan
hasil usaha siapa tidak perduli apakah hasil dari suami atau istri, jika barang itu ada
sepanjang ikatan perkawinan maka barang tersebut tergolong ke dalam harta bersama,
sepanjang sebelumnya tidak di perjanjikan lain atas harta tersebut.
Ada banyak cara yang dapat dipergunakan untuk menentukan apakah harta
benda termasuk merupakan harta bersama atau harta bawaan, untuk menentukan
harta benda menjadi harta bersama dapat dilakukan melalui beberapa pertimbangan.
Menurut wawancara penulis dengan Drs. Hasanudin Mokodompit yang merupakan
salah satu hakim di Pengadilan Agama Koto Gorontalo pada tangal 27 juni 2013,
menurut beliu dalam hal memutuskan sengketa terhadap harta bersama haruslah
berdasarkan beberapa pertimbangan. Perimbangan tersebut berupa :
1. Berdasarkan Hukum materil
2. Berdasarkan Hukum Formil
3. Berdasarkan hati nurani Hakim/persangkaan Hakim
4. Berdasarkan Pembuktian yang dilakukan oleh para pihak. Seperti :
1. bukti Surat ;
58
Pembuktian yang dilakukan dengan cara menunjukan surat-surat yang
berhubungan dengan pembelian/pengadaan barang yang termasuk dalam harta
bersama.
2. Saksi ;
Dengan cara menghadirkan siapa saja yang sudah cakap hukum untuk dapat
memberikan kterangan yang berkaiatan dngan pokok prmasalahan di depan
majelis hakim.
3. Pengakuan ;
Merupakan keterangan yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa.
4. Sumpah ;
Adalah merupakan pendukung untuk menguatkan dalil-dalil yang dikatakan.
Yang kesemuanya itu dapat dipergunakan sebagai sarana bagi hakim untuk
memberikan keyakinan dalam menetapkan harta bersama yang di persengketakan.
Harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung terhitung
sejak saat akad nikah sampai dengan setelah terjadinya perceraian dapat
dikategorikan sebagai harta bersama, kecuali terhadap harta benda yang diperoleh
karena warisan, hadiah, dan hibah tidak termasuk harta bersama, melainkan menjadi
harta pribadi dan tergolong harta bawaan. Tanah, rumah, ataupun benda lain yang
dijadikan sebagai mahar tidak termasuk harta bersama, sekalipun diperoleh pada saat
akad nikah dilangsungkan. Itu disebabkan
karena mahar itu merupakan sifat
pemberian halal calon suami terhadap istrinya. Begitu juga, dengan hasil yang
diperoleh dari usaha bersama suami/istri karena penghasilan harta bawaan, sepanjang
59
penghasilan dimaksud ada ketika perkawinan berlangsung dikategorikan pula sebagai
harta bersama.
tolak ukur untuk menetapkan barang sebagai harta bersama adalah akad
nikah. Apabila ada akad nikah dan selama pernikahan masih berlangsung serta belum
dilakukan pembagian harta bersama, maka semua barang yang ada tersebut
merupakan harta bersama.
Pada praktiknya di Pengadilan Agama Kota Gorontalo, hakim wajib
mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha
mendamaikan ini dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan, dalam upaya
mendamaikan itu pula hakim wajib menghadirkan pihak didengar keterangannya dan
meminta bantuan mereka agar kedua belah pihak itu rukun dan damai kembali.10
Dengan demikian sistem mediasi, betujuan mencari penyelesaian sengketa melalui
mediator (penengah), mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa
sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation
(berperkara di pengadilan).11 Apabila mediasi tersebut tidak berhasil maka barulah
pihak pengadilan meneruskan perkaranya. Untuk menyelesaikan sebuah persoalan
dalam hal membagi atas harta bersama majelis hakim melihat dulu apa saja yang
termasuk harta bersama dimana harta benda yang dikatakan sebagai harta bersama
apabila harta tersebut didapatkan atau diperoleh setelah pekawinan berlangsung.
Majelis hakim terlebih dahulu akan memeriksa dan jika di perlukan akan melakukan
10
http;//wmc-iainws.com/artikel/16-mediasi-pengantar-teori-dan-praktek diakses pada tanggal 22
juni 2013
11
http// Pengertian Mediasi _ Aditz19's Blog.htm diakses paa tanggal 22 juni 2013
60
peninjauan langsung terhadap barang yang di persengketakan, kemudian pembuktian
yang di lakukan oleh para pihak yang bersengketa, dalam pembuktian tersebut para
pihak menunjukan segala yang bisa di jadikan bukti untuk mendukung pernyataan
yang di ajukan. Siapa yang dalil dan buktinya lebih kuat dan akurat adalah yang
paling berhak atas harta yang di persengketakan.
menurut wawancra penulis dengan bapak
Hasan Zakaria S.ag, SH yang
merupakan salah satu hakim di Pengadilan Agama Kota Gorontalo pada tanggal 14
juni 2013 adalah:
“untuk memutuskan sengketa terhadap harta bersama pihak majelis hakim
melakukan pertimbangan dengan berdasarkan kepada pembuktian berupa bukti surat
dan bukti-bukti lain yang berkaitan yang kesemuanya itu dilakukan oleh para pihak,
pihak yang paling bisa membuktikan itulah pihak yang berhak atas apa yang menjadi
sengketa”.
Kaitannya dengan hal di atas, ada harta bawaan yang sudah tercampur dengan
harta bersama, yang kemudian timbul sengketa terhadap kepemilikan harta yang
bersangkutan, harta yang dalam bentuk rumah tersebut dulunya milik si suami tapi
setelah berapa lama pernikahan berlangsung rumah tersebut sudah di renovasi, itu
berarti sudah ada percampuran terhadap harta tersebut, dalam hal ini untuk pembelian
atau pembiyaan renovasi rumah yang bersangkutan. Seperti yang terdapat
pada
putusan 256/Pdt.G/2011/PA.Gtlo di pengadilan agama kota gorontalo. Apa saja yang
menjadi pertimbangan hakim sehingga memutuskan demikian?
61
berdasarkan pernyataan di atas dalam hal untuk memutuskan sengketa majelis
hakim di Pengadilan Agama Kota Gorontalo bisa melalui beberapa pertimbangan.
Pertimbangan yang di ambil oleh majelis hakim di Pengadilan Agama Kota
Gorontalo berdasarkan pembuktian yang di lakukan terlebih dahulu oleh para pihak
yang bersengketa.
Posisi kasus nomor 256/Pdt. G/2011/PA.Gtlo Adalah sebagai berikut :
-
Pada tahun 2004 tanggal 13 oktober penggugat menikah dengan tergugat.
-
Dalam perkawinan tersebut diperoleh harta berupa sebuah mobil, bebrapa
perabot rumah tangga, dan merenovasi rumah.
-
Bahwa pada tangga 10 agustus 2010 perkawinan penggugat dan tergugat di
putus cerai oleh Pengadilan Agama Kota Gorontalo dngan akta cerai nomor
296/AC/2010/PA.Gorontalo.
-
Pada saat gugatan cerai diajukan ke Pengadilan Agam Kota Gorontalo
penggugat tidak mengajukan gugatan tentang pembagian harta bersama.
Setelah perceraian di putus oleh Pengadialan Agama Kota Gorontalo barulah
penggugat mengajukan gugatan tentang harta bersama ke Pengadilan.
-
Bahwa untuk menghindari agar jangan sampai harta bersama /obyek sngketa
akan dipindah tangankan kepada pihak lain karena masaih dalam kekuasaan
tergugat, maka demi kepastian hukum maka penggugat meminta agar pihak
Pengadilan Agama dapat meletakan sita jaminan atas harta bersama/obyek
sengketa yang dimaksud.
62
-
Penggugat memintakan pada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara ini agar menetapkan pembagian atas harta benda yang di
persengketakan berupa rumah untuk dijadikan harta bersama dan dibagi
setengah-setengah.
Berdasarkan
putusan diatas yakni
putusan nomor 256/Pdt.G/2011/Gtlo.
Dimana dalam putusan itu yang menjadi obyek sengketa adalah sebuah rumah yang
diklaim penggugat sebagai harta bersama sedangkan rumah tersebut ada sebelum
pernikanan berlangsung, itu berarti rumah tersebut merupakan harta bawaan tergugat.
meskipun rumah tersebut direnovasi setelah berapa lama setelah penggugat dan
tergugat menikah. Tapi setelah kasus ini di serahkan ke PA kota Gorontalo majelis
hakim memutuskan bahwa rumah tersebut tetap sebagai harta bawaan tergugat
padahal rumah tersebut sudah direnovasi setelah pernikahan berlangsung. Sedangkan
menurut Undang-undang perkawinan segala sesuatu yang di dapat setelah perkawinan
berlangsung adalah merupakan harta bersama.
Adapun yang menjadi pertimbangan hakim sehingga memutuskan demikian adalah
1.
Berdasarkan UUP Pasal 35 segala harta benda yang di peroleh selama
perkawinan adalah merupakan harta bersama, sehingga untuk menentukan
terbentuknya harta bersama terlebih dahulu haruslah diketahui adanya ikatan
perkawinan. Untuk itu penggugat dan tergugat bisa membuktikannya melalui
akta nikah nomor XX/30/I/2005.
2. Rumah tersebut adalah merupakan harta bawaan tergugat. tergugatpun bisa
membuktikan bahwa benar rumah tersebut adalah miliknya berdasarkan
63
sertifikat tanah milik tergugat yang tidak bisa di bantah oleh pengugat dan di
dukung oleh bukti selanjtnya berupa akta jual-beli tanah dari penjual yang
kesemuanya atas nama tergugat, selain itu di dukung oleh kesaksian tetangga
tergugat yang mengatakan bahwa benar rumah tersebut ada sebelum
penikahan penggugat dan tergugat.
3. Untuk kegiatan merenofasi rumah yang menjadi sengketa sebenarnya adalah
hal tersebut merupakan suatu pekerjaan yg hasilnya tentu tidak dapat di
pisahkan dari induk sebelumya yaitu rumah tersebut, sehinga tidak dapat
dipisahkan sebagai harta bersama dan tidak dapat di bagi. Namun demikian
berdasrkan pertimbangan dimana
dalam proses perceraian penggugat
meminta sebuah rumah BTNtipe 36 yng berlokasi dikecamatan kota tengah
kota gorontalo, yg oleh tergugat di sanggupi sebagai penghukuman mut’ah
tergugat kepada penggugat, dan oleh majelis hakim menilai sikap tergugat
merupakan itikat baik dari tergugat, selain itu rumah yang dimintakan
penggugat yang berlokasi di perum pulubala tersebut diberikan tergugat
karena tergugat menilai jasa-jasa pengugat selama mendampingi terguugat.
Itu berarti untuk hal merenovasi rumah yang dijadikan sebagai obyek
sengeketa sudah terbayarkan dengan di berikannya rumah BTN tipe 36 yang
berlokasi di kecamatan pulubala kota tengah kota Gorontalo.
Setelah melalui pengamatan dan identifikasi serta analisis yang cukup pada
sengketa yang terjadi pada putusan nomor 256/Pdt.G/2011/PA.Gtlo secara umum,
objek yang dipersengketakan adalah sebuah rumah permanent yang dibangun diatas
64
tanah seluas kurang dari 455 M2 yang berlokasi di Desa Pauwo Kecamatan Kabila
Bone Bolango, adalah merupakan harta bawaan tergugat. Namun karena sudah
direnovasi yang pekerjaannya sewaktu penggugat dan tergugat masih berstatuskan
suami-istri, maka
penggugat berdalil bahwa rumah yang di persengketakan
merupakan harta bersama yang diperoleh selama penggugat dan tergugat masih
dalam ikatan pernikahan yang sah. Dan dihadapan pengadilan hal tersebut dibuktikan
dengan dihadirkannya saksi dan bukti tertulis oleh pengggugat yakni foto copy surat
pembelianbahan renovasi yang Masing-masing dicocokan dengan aslinya dan diberi
materai.
Sedangkan tergugat, untuk menguatkan dalil-dalil bantahannya juga
menunjukan bukti-bukti yang tidak bisa dibantah oleh penggugat berupa akta
kepemiikan rumah dan saksi yang mengetahui duduk perkara. Melihat telah
dilakukannya mediasi untuk menyelesaikan perkara sengketa tersebut diatas namun
tidak berhasil, maka hakim pengadilan setelah menimbang, dan berdasarkan
prtimbangan yang telah diuraikan diatas, maka majelis hakim memutuskan bahwa
Rumah yang dipersengketakan adalah tetap harta bawaan karena rumah tersebut
diperoleh tergugat sebelum terjadi penikahan. Soal renovasi rumah sebelumnya sudah
dimintakan oleh penggugat sebuah rumah sebagai penggantian yakni, rumah yang
berlokasi di kecamatan kota tengah Kota Gorontalo yang sebelumnya sudah menjadi
kesepakatan kedua belah pihak sebagai ganti atas rumah yang diprsengketakan selain
itu tergugat juga turut andil dalam merenovasi rumah, itu artinya tergugat juga
mempunyai kewenangan atas terenovasinya rumah tersebut...
65
Berdasarkan fakta-fakta yang ada dan pertimbangan hukum hakim dapat
disimpulkan bahwa untuk menetapkan suatu benda menjadi harta bersama, harus
berdasarkan beberapa pertimbangan dan harus disertai pula dengan pembuktian yang
dilakukan oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bukti yang cukup untuk dapat
mengetahui posisi kasus sebenarnya maka, dalil-dalil apapun tidak dapat diterima.
Karena tergugat bisa membuktikan dalilnya dan penggugat tidak bisa membantahnya,
maka hakim memutuskan bahwa rumah yang menjadi obyek sengketa tetap menjadi
harta bawaan tergugat. Dalam sengketa nomor 256/Pdt.G/2011/Gtlo ini dengan jelas
dan tepat pertimbangan majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk
sebagian khususnya sebuah rumah batu permanen adalah harta bawaan tergugat.
Alat bukti sangat penting untuk dapat memberikan keyakinan bagi hakim
dalam memberikan pertimbangan dan penetapan hukum untuk memutuskan termasuk
tidaknya suatu harta benda kedalam golongan harta bersama atau tidak. Pembukian
harta bersama dapat dilakukan dengan alat-alat bukti yang ditetapkan, seperti alat
bukti tertulis (surat dan dokumen), saksi, pengakuan, persangkaan dan sumpah.
Dalam penyelesaian sengketa harta bersama yang terjadi antara penggugat
dan tergugat dalam perkara tersebut diatas, tergugat mengajukan bukti tulisan dan
saksi sehingga dapat memberikan keterangan dan keyakinan bagi hakim untuk
menjatuhkan putusan yang menguntungkannya. Sedangkan penggugat tidak dapat
membantahnya, untuk dapat membenarkan pernyataanya dalam rangka menetapkan
besarnya bagian harta masing-masing pihak terhadap harta bersama yang menjadi
objek sengketa.
66
Jadi, berdasarkan uraian diatas pertimbangan hakim di Pengadilan Agama
Kota Gorontalo dalam hal memutuskan sengketa pada umumnya didasarkan pada
pembuktian yang dilakukan oleh para pihak. Analogi kasus yang dicontohkan
dapat menjadi penggambaran bahwa untuk menetapkan sebuah harta, yang
merupakan harta bersama tidak cukup hanya berdasarkan adanya ikatan
perkawinan semata, tidak juga berpatokan dalam aturan yang terdapat dalam
hukum positif, kewenangan majelis hakim dalam memutuskan sangat dibutuhkan
Kasus d iatas misalnya walau dalam hukum positif secara tegas menyatakan
bahwa segala yang didapat dalam perkawinan adalah harta bersama, namun hal
tersebut tidak berlaku untuk semua kasus, jika jenis kasus seperi yang diuraikan
di atas butuh kecermatan hakim yang didasarkan pada pembuktian untuk
memutuskannya. Selain contoh kasus di atas mungkin masih banyak kasus-kasus
lain yang butuh kecermatan majelis hakim untuk memutuskan.
Download