30 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaturan Hukum Tentang Pembagian Harta Bersama . Harta bersama diartikan sebagai harta benda dalam perkawinan yang dihasilkan atau di dapatkan oleh pasangan suami istri secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri selama masa perkawinan masih berlangsung. Sehingga legalitasnya diakui oleh hukum positif maupun Hukum Islam. Sebaliknya, yang tidak termasuk dalam kategori harta bersama adalah harta yang diperoleh atau dihasilkan sebelum masa perkawinan, biasa disebut dengan harta bawaan (seperti halnya harta warisan atau harta milik pribadi yang diperoleh setelah atau sebelum masa perkawinan, dan yang di peroleh dari harta hibah). Akan tetapi ketentuan lain bisa berlaku bila sudah ada perjanjian terdahulu antara kedua belah pihak, perjanjian tersebut meliputi penggabungan atas harta baik harta yang didapat setelah perkawinan maupun yang termasuk harta bawaan seperti yang terdapat dalam Pasal 139-154 KUHPerdata, Pasal 29 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 47-50 Kompilasi Hukum Islam. Uraian di atas senada dengan pendapat Prof. Johan Jasin, SH. MH dalam wawancara pada tanggal 24 juli 2013, beliu mengatakan “ yang diamaksud dengan harta bersama tidak hanya yang didapat setelah terjadi perkawinan semata, akan 31 tetapi meski merupakan harta bawaan apabila sebelumnya sudah ada perjanjian antar kedua belah pihak maka harta tersebut bisa termasuk dalam harta bersama.” Pengaturan secara formal tentang harta bersama atau yang lebih sering dikenal dengan harta gono-gini dalam Hukum positif Indonesia untuk jelasnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau yang biasa disingkat dengan KUHPerdata, Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, selain kedua aturan tersebut ada juga selanjutnya yang membahas tentang harta bersama yakni Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pengaturan mengenai eksistensi harta bersama ini diakui secara hukum formal, termasuk dalam hal pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Berikut adalah kandungan harta bersama yang di atur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata atau yang biasa di kenal KUHPerdata yang terdapat pada Bab VI yaitu tentang harta bersama menurut Undang-Undang dan pengurusannya, dalam aturan tersebut mengenai harta bersama di atur dalam pasal pasal 119 - 138 KUHPerdata. Yang isinya adalah sebagai berkut ; Bagian I : harta bersama menurut Undang-Undang 119. Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak di adakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjia nperjanjian perkawinan. 32 Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau di ubah dengan suatu persetujuan antara suami istri. 120. Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang – barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami istri itu, baik yang sudah ada maupun barang- barang yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas. 121. Berkenan dengan beban-beban, maka harta bersama itu meliputi semua utang yang di buat oleh suami isteri, baik sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. 122. Semua penghasilan dan pendapatan, begitu pula semua keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian yang di peroleh selama perkawinan, juga menjadi keuntungan dan kerugian harta bersama itu. 123. Semua utang kematian, yang terjadi setelah seorang meninggal dunia, hanya menjadi beban para ahli waris yang meninggal itu. BAGIAN2 ; Pengurusan Harta Bersama (Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur AsingBukan Tionghoa, Tetapi berlaku Bagi Golongan Tionghoa) 124. Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu. 33 Dia boleh menjualnya, memindah tangankanya dan membebaninya tanpa bantuan isterinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal140. Dia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang-barang tak bergerakmaupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah yang tertentu dari barang-barang bergerak, bila bukan dari anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk membersuatukan kedudukan. Bahkan dia tidak boleh menentukan ketentuan dengan cara hibah mengenai sesuatu barang yang khusus, bila dia memperuntukan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang itu. 125. Bila si suami tidak ada, atau berada dalam keadaan tidak mungkin untuk menyatakan kehendaknya, sedangkan hal ini di butuhkan segera, maka si isteri boleh mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dari harta bersama itu, setelah dikuasakan untuk itu oleh Pengadilan Negeri. BAGIAN 3 Pembubaran Gabungan Harta Bersama Dan Hak Untuk Melepaskan Diri Padanya. (Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa) 126. Harta bersama bubar demi hukum. 34 1.Karena kematian. 2. Karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada; 3.Karena peceraian; 4.Karena pisah meja dan ranjang; 5.Karena pemisahan harta; Akibat-akibat kusus dari pembubaran dalam hal-hal tersebut pada no 2,3,4, dan 5 pasal ini, diatur dalam bab-bab yang membicarakan soal ini. 127. Setelah salah seorang dari suami isteri meninggal, maka bila ada meninggalkan anak yang masih di bawah umur, pihak yang hidup terlama wajib mengadakan pendaftaran harta benda yang merupakan harta besama dalam waktu empat bulan. Pendaftaran harta bersama itu boleh dilakukan dibawah. tangan, tetapi harus dihadri oleh wali pengawas. Bila pendaftaran harta bersama itu tidak diadakan, gabungan harta bersama berlangsung terus untuk keuntungan si anak yang masih dibawah umur dan sekali-kali tidak boleh merugikannya. 128. Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempesoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu. 35 129. Pakaian, perhiasan dan perkakas untuk mata pencarian salah seorang dari suami isteri itu, beserta buku-buku dan koleksi benda-benda kesenian dan keilmuan, dan akhirnya surat-surat atau tanda kenang-kenagan yang bersangkutan dengan asal usul dari keturunan salah seorang dari suami isteri itu, boleh dituntut oleh pihak asal benda itu, dengan membayar harga yang ditaksir secara musyawarah atau oleh ahli-ahli. 130. Setelah pembubaran harta bersama, suami beloh ditagih atas utang dari harta bersama seluruhnya, tanpa menurangi haknya untuk minta penggantian setengah dari utang itu kepada isterinya atau kepada ahli waris si isteri. 131. Suami atau isteri, setelah pemisahan dan pembagian seluruh harta bersama, tidak bmoleh dituntut oleh para kreditur untuk membayar utang-utang yang dibuat oleh pihak lain dari suami atau isteri itu sebelum perkawinan, dan utang-utang itu tetap menjadi tanggungan suami atau isteri yang telah membuatnya atau para ahli warisnya; hal ini tidak mengurangi hak pihak yang satu untuk minta ganti rugi kepada pihak yang lain atau ahli warisnya. 132. Isteri berhak melepaskan haknya atas harta bersama; segala perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini batal; sekali melepaskan haknya, tidak boleh menuntut hak apa pun dari harta bersama, kecuali kain, sepray dan baju pribadinya. Dengan pelepasan ini dia dibebaskan dari kewajiban untuk ikut membayar utang-utang harta bersama. Tanpa mengurangi hak para kreditur atas harta bersama; 36 hal ini tidak mengurangi haknya untuk minta pengantian seluruhnya kepada suaminya atau ahli warisnya. 133. Isteri yang hendak menggunakan hak tersebut dalam Pasal yang lalu, wajib untuk menyampaikan akta pelepasan, dalam waktu satu bulan setelah pembubaran harta bersama itu, kepada paniteria Pengadilan Negeri di tempat tinggal bersama yang terakhir, dengan ancaman akan kehilangan hak itu (bila lalai). Bila gabungan itu bubar akibat kematian suaminya maka tenggang waktu satu bulan berlaku sejak si isteri mengetahui kematian itu. 134. Bila dalam jangka waktu tersebut di atas si isteri meninggal dunia, sebelum menyampaikan akta pelepasan, harta bersama itu dalam aktu satu bulan setelah kematian itu, atau setelah mereka mengetahui kematian itu, dan dengan cara seperti itu diuraikan dalam pasal terakhir. Hak isteri untuk menuntut kembali kain seprai dan pakainnya dari harta bersamaitu, tidak dapat diperjuangkan oleh para ahli warisnya. 135. Bila para ahli waris tidak sepakat dalam tindakan sehinga sebagian menerima dan yang lain melepaskan diri dari harta bersama itu, maka yang menerima itu, tidak dapat memperoleh lebih dari bagian warisan yang menjadi haknya atas barang-barang yang sedianya menjadi bagian isteri itu seandainya terjadi pemisahan harta. 37 Sisanya dibiarkan tetap pada sisuami, atau para ahli warisnya, yang sebaliknya berkewajiban terhadap ahli waris yang melakukan pelepasan, untuk memenuhi apa saja yang sedianya akan dituntut oleh si isteri dalam hal pelepasan, tetapi hanya sebesar bagian warisan yang menjadi hak ahli waris yang melakukan pelepasan. 136. Isteri yang telah menarik pada dirinya tidak berhak meepaskan diri dari harta bersama itu. Tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan semata-mata atau penyelamatan, tidak membawa akibat seperti itu. 137. Isteri yang telah menghilangkan atau menggelapkan barang-barang dari harta bersama,tetap berada dalam penggabungan meskipun telah melepaskan dirinya; hal yang sama berlakubagiparaahliwarisnya. 138. Dalam hal gabungan harta bersama berakhir karena kematian si isteri para ahli warisnya dapat melepaskan diri dari harta bersama itu, dalam waktu dan dengan cara seperti yang diatur mengenai si isteri sendiri. Dalam hal harta kekayaan perkawinan, pada umumnya KUHPerdata mengatur tentang kekuasaan pihak-pihak yang bersangkutan atas harta bendanya, seberapa jauh kewenangan setiap pihak bertindak untuk harta bendanya. Namun tidak demikian dengan harta yang dimiliki sebelum terjadi pernikahan, KUHPerdata tidak membahas 38 soal harta yang dimiliki sebelum terjadi pernikahan (harta bawaan) Padahal melihat kenyataan di masyarakat dmungkinkan akan adanya perselisihan yang timbul akibat adanya ketidaktahuan akan pemisahan mengenai harta bawaan dan harta bersama. Tidak hanya itu keluasan bahasa yang dipakai dalam merumuskan KUHPerdata ini dimungkinkan akan sulit dimengerti oleh masyarakat. Selain aturan di atas masih ada juga aturan yang membahas tentang eksistensi harta bersama. Adapun aturan lain yang mengatur tentang harta bersama UndangUndang. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang terdapat pada Bab VII dengan judul harta benda dalam perkawinan yakni pasal 35-37 yang berbunyi : UUP. Pasal 35 (1) “harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” (2) “ Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang di peroleh masing-masing sebagi hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak mentukan lain.” UUP. Pasal 36 (1). “ Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. (2). “ mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. 39 UUP. Pasal 37 “ bila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukum yang berlaku”. Dalam Undang–Undang perkawinan mengenai harta bersama pengaturannya belum begitu jelas yang masih dapat menimbulkan multi tafsir dimana dalam uturan Undang-Undang ini tidak mengatur tentang pembagian atas harta bersama apabila terjadi perceraian, berapa bagian yang di peroleh suami dan berapa bagian untuk istri atas harta yang bersangkutan apabila terjadi sengketa terhadap harta bendanya. Ketidak jelasan dalam aturan ini juga dapat berakibat kesimpang siuran atas pembagian harta apabila terjadi sengketa, hal tersebut di mungkinkan karena pasangan tidak mengetahui secara jelas berapa bagian yang seharusnya di peroleh masing-masing pihak, bukan hanya tentang pembagian ketidakjelasannya juga terdapat pada Pasal 37 dimana dalam pasal tersbut di katakan “apabila perkawinan itu putus, maka harta bersama di atur menurut hukum yang berlaku”. Berkaitan dengan pernyataan yang terdapat pada Pasal 37 Undang-Undang ini dapat dimaksudkan berupa pilihan hukum apa yang akan di tempuh, dapat diartikan bahwa pasal ini menunjukan kepada agama yang di anut oleh yang bersangkutan. Pasal ini seharusnya bisa ditafsirkan sedemikian rupa, agar bisa lebih jelas untuk pemaknaanya, untuk yang beragama islam maka penyelesaiannya menurut hukum islam dan begitu pula untuk yang beragama nasrani dan lainnya maka proses penyelesaiannyapun berdasarkan hukum yang mereka anut. 40 Berkaitan dengan hal diatas, ketentuan mengenai hukum harta kekayaan dalam perkawinan sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Perkawinwan dapat diberlakukan terhadap kasus-kasus dalam praktik tertentu, artinya sepanjang UndangUndang Perkawinan belum mengatur secara rinci soal pembagian harta perkawinan, maka yang berlaku adalah ketentuan lama yang mengikat pasangan suami istri yang bersangkutan pada saat sebelum melangsungkan perkawinan, Karena masih ada aturan lain yang lebih jelas juga mengikat. Hal tersebut senada dengan yang tercantum dalam Pasal 37 UUP. “apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dengan kata lain apabila suami-istri yang bersangkutan tunduk pada KUHPerdata maka ketentuan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan yang terdapat dalam KUHPerdata diterapkan untuk menyelesaikan perkara harta kekayaan dalam perkawinan tersebut. Sedangkan jika suami-istri tersebut tunduk pada hukum adat, maka yang di berlakukan adalah tetap ketentuan dalam UUP namun dengan mengambil atau menerapkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum adat.1 Atau aturan lain yang lebih jelas. Untuk itulah aturan lain menyangkut harta benda dalam perkawianan di rumuskan atau di perjelas dalam aturan selanjutnya seperti yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam. Pada dasarnya penyusunan Kompilasai Hukum Islam lahir karena adanya kebutuhan pada satu rumusan tunggal yang dapat dijadikan rumusan-rumusan oleh 1 J. andy hartanto, hukum harta kekayaan dalam perkawinan, hal 61 41 Pengadilan-Pengadilan Agama untuk menyelesaikan segala sengketa yang berkaitan dengan perkawinan. Sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam, pihak Pengadilan Agama belum memiiki standar baku untuk menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan perkawinan sehingga para hakim memberikan keputusan yang berbeda untuk kasus yang sama. 2 berkaitan dengan hal tersebutlah Kompilasi Hukum Islam ini dibuat, sebagai upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk melengkapi aturan sebelumnya, demi tercapainya tujuan hukum bagi mereka yang beragam islam khususnya dengan meniti-beratkan pada konsep keislaman yang terdapat dalam kitab suci sebagai pedoman yang diharapkan bisa untuk kemaslahatan umat manusia didunia maupun diakhirat.3 Kemudian menerapkan dan menjadikannya bagian dari hukum positif. Pengaturan tentang harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam atau yang biasa di singkat dengan KHI yakni terdapat dalam pasal yaitu pasal 85 - 97 dimana disebutkan bahwa : KHI Pasal 85 “adanya harta bersama dalam perkawinan itu, tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”. Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (harta bersama). KHI Pasal 86 2 3 Dedi Susanto kupas tuntas masalah harta gono-gini halaman 15 Zainudin Ali, filsafat hukum, halm 67 42 (1) “ pada dasarnya tidak ada percampuran antar harta suami dan harta istri karena perkawinan”. (2) “ harta istri tetap menjadi harta istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga suami tetap menjadi hak suami dan sikuasai penuh olehnya. KHI, membebaskan untuk setiap pemegang hak atas hartanya untuk melakukan apapun terhadap harta yang merupakan harta bawaan. KHI Pasal 87 (1). “Harta bawaan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masingmaing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak mentukan lain.” (2). “Suami dan istri mempinyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh atau lainnya.” KHI Pasal 88 : “ apabila terjadi perselisihan antara suami dan istritentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu di ajukan ke Pengadilan Agama. KHI Pasal 89 : “suami bertanggu jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun harta sendiri. KHI Pasal 90 “istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.” KHI Pasal 91 43 (1). “Harta bersama sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.” (2). “Harta bersama yang berwujud dapat berupa benda bergerak, benda tidak bergerak,dan surat-surat berharga” (3). “ harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.” (4). “ harta bersama dapat dijadikan barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.” Begitu luas cakupan harta bersama yang dijelaskan oleh KHI, Pasal diatas seakan menjawab bahwa hutang dan anggunan kreditpun dapat dimasukan kedalam harta bersama. KHI Pasal 92 “Suami atau istri tanpa persetujuan pihak tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.” KHI Pasal 93 (1). “Pertanggungjawaban atas hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing.” (2).” Pertanggungjawaban atas hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepda harta bersama”. (3). “ bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. ” (4). “ bila hara suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri.” KHI Pasal 94 44 (1). “harta bersama dari perkawinan seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendri. ” (2). “kepemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri sebagaimana yang dimaksud dengan ayat (1), dihitung dari berlangsungnya perkawinan kedua, ketiga dan keempat.” KHI Pasal 95 (1). “ dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c P.P. nomor 9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebaginya.” (2). “ selama masa sita jaminan dilakukan dapat dilakukan pnjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan ijin Pengadilan Agama.” KHI Pasal 96 (1). Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersam menjadi milik pasangan yang hidup lebih lama.” (2). “ pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. ” KHI Pasal 97 Janda atau duda cerai masing-masing berhak atas seprtiga dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” 45 Dari Kompilasi Hukum Islam dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya keberadaan harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing. Bahkan lebih tegas dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta yang diakibatkan karena adanya perkawinan dan ketentuan mengenai harta bersama ditentukan berdasarkan perjanjian. Apabila terjadi perselisihan, maka untuk proses penyelesaiannyapun setelah diundangkannya Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sudah pernah dirubah menjadi nomor 3 tahun2006 yang sekarang sudah dirubah lagi menjadi nomor 50 tahun 2009, melalui Pasal 49 dan penjelasannya ayat (2) angka (10), ditegaskan bahwa : “ yang dimaksud dengan bidang perkawinan diatur dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan antara lain adalah (10) penyelesaian harta besama.” Dengan demikian, sengketa harta bersama dikalangan orang-orang yang beragama Islam bisa diserahkan ke Pengadilan Agama, karena termasuk dalm bidang perkawinan.4 Dan ke Pengadilan Negeri untuk yang beragama selain islam. Inovasi pembagian harta bersama yang ditawarkan oleh Kompilasi Hukum Islam ini diyakini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, karena solusi yang ditawarkan tidak berlawanan dengan adat kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Dalam perkembangannya, harta bersama didefenisikan lebih luas. Seperti suami yang melakukan usaha di luar rumah untuk mencari nafkah dan istri yang hanya mengurus rumah tangga juga dikagorikan bekerja, sehingga di antara keduanya terdapat kesamaan dan kesetaraan, pernyataan tersebut mencerminkan bahwa tidak adanya perbedaan antara suami dan istri dalam 4 M. Anshary MK hukum perkawinan diIndonesia halm. 144 46 hal mengumpulkan harta bersama, yang apabila terjadi perselisihan dikemudian hari keduanya mendapat bagian yang sama berdasarkan ketentuan yang berlaku. Sebagaimana uraian peraturan diatas, terdapat bahwa untuk membagi harta bersama ketentuannya adalah dibagi rata atas suami dan istri, tanpa mempersoalkan darimana dan siapa yang memperoleh harta tersebut juga terdaftar atas nama siapa. Untuk ketentuan mengenai pengaturan atas pembagian serta besaran porsi perolehan masing-masing suami dan istri dari harta bersama apabila terjadi perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati atau cerai hidup, hanya dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 96 dan 97 kompilasi hukum islam.; 5 dan KUHPerdata pasal 128. Pasal 96 yang berbunyi : (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta besama jadi milik pasangan yang hidup terlama. (2) Pembagian harta bersama bagi orang yang suaminya atau istrinya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 yang berbunyi : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersam sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkainwan. 5 M. Anshary MK Opcit 146 47 Pasal 128 KUHPerdata yang berbunyi : Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempesoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu. Apabila terjadi sengketa dalam hal pembagian atas harta bersama maka, aturan hukum diataslah yang menjadi acuan untuk pembagiannya, seperti yang diutarakan oleh Lisnawaty. Badu. SH. MH. yang merupakan salah satu Dosen Hukum di Universitas Negeri Gorontalo dalam wawancara pada tanggal 17 juli 2013. Yakni : “Yang dimaksud dengan harta bersama adalah segala sesuatu yang dikumpulkan ketika terjadi pernikahan, yang apabila timbul masalah karenanya maka untuk pembagiannya harus dibagi 2 sama rata seperti yang diamanatkan oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku.” Jika melihat kenyataan yang ada seperti di Pengadilan Agama Kota Gorontalo berdasarkan putusan yang telah ingkra, para hakim dalam membagi harta bersama mereka berlandaskan ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan yakni yang menyatakan untuk pembagian harta dapat dibagi setengah-setengah, Akan tetapi tidak selamanya berlaku demikian apabila terdapat kasus yang berbeda menurut pandangan majelis hakim, para hakim dapat menentukan lain tergantung pokok permasalahannya. 48 Bertolak dari uraian yang telah dikemukakan di atas, berdasarkan hasil penelitian penulis secara langsung pada Kantor Pengadian Agama Kota Gorontalo, diperoleh data antara lain: Menurut wawancara penulis dengan bapak Hasan Zakaria, S.ag, SH yang merupakan salah seorang Hakim pada Pengadilan Agama Kota Gorontalo pada tanggal 14 juni 2013 mangatakan bahwa : “Dalam membagi harta benda menjadi harta bersama tidak harus berpatokan pada apa yang tercantum dalam undang-undang kemungkinan untuk membagi diluar dari apa yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan juga bisa dilakukan tergantung penilaian majelis hakim terhadap kasus yang bersangkutan kemungkinan lain juga bisa diberlakukan hakim berdasarkan beberapa penilaian terhadap kasus tersebut ”. Senada dengan pernyataan hakim diatas Wenny Dungga, SH. MH yang merupakan salah satu Dosen di Universitas Negeri Gorontalo pada tanggal 19 juli 2013 juga mengatakan demikian yakni “ untuk pengaturannya pada dasarnya merujuk kepada aturan yang berlaku namun, lain halnya apabila harta bersama tersebut merupakan hasil dari harta bawaan yang berkembang, jadi untuk pengaturannya merujuk kepada kewenangan hakim yang mengadili sengketa yang bersangkutan.” Zaman semakin maju dapat memungkinkan terjadi ketertinggalan aturan hukum positif dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut hakim disetiap Pengadilan baik yang bertugas di Pengadilan Negeri maupun 49 di Pengadilan Agama di tuntut untuk bisa membaca situasi dalam menjalankan fungsinya sebagai aparatur yang bertugas memeriksa dan mengadili setiap kasus yang diajukan padanya, dan tidak menutup kemungkinan dihadapkan dengan peristiwa yang belum diatur oleh hukum secara tertulis sebelumnya. Sedangkan setiap hakim terikat oleh Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 pasal 28 ayat 1 yang menyatakan bahwa : Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukumnya tidak ada atau belum jelas. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Itu berarti bagaimanapun posisi kasusnya, ada atau tidak aturannya, setiap hakim harus mampu menjalankan tugasnya untuk memeriksa dan mengadili kasus tersebut. Atas dasar ketentuan pada Undang-Undang ini, maka untuk menyelesaikan sengketa/kasus, hakim diharapkan untuk mencari jalan keluar yaitu melalui penemuan hukum untuk menyelesaikan sengketa yang di ajukan padanya. Berdasarkan kewenangan diataslah hakim bisa membagi harta bersama diluar apa yang tertera dalam peraturan perundang-undangan tersebut, jika menurut penilaian mejelis hakim serta berdasarkan pembuktian yang ada harta bersama lebih pantas di bagi diluar setengah – setengah atau tidak seperti yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, serta berdasarkan hati nurani hakim itulah yang diikuti. Seperti kutipan wawancara penulis dengan Drs. Baharudin Mokodompit pada tanggal 27 juni 2013, beliu mengatakan : 50 “ berdasarkan kewenangannya, hakim diperbolehkan menggunakan ketajaman hati nurani. Dimana ketajaman hati nurani hakim sangat diperlukan dalam hal pengambilan putusan dengan cara mengadakan pendekatan psikologis agar bisa dijadikan bahan pertimbangan ” Senada dengan pernyataan diatas, “ … Baik para hakim maupun pihak-pihak yang berperkara dengan berlakunya Kompilai Hukum Islam ini terikat dan berkewajiban sepenuhnya melaksanakan isinya, sekalipun pada dasarnya pemerintah tidak akan memaksakan satu pendapat hukum tertentu, namun berdasarkan consensus yang disepakati bersama maka para pihak maupun hakim terikat sepenuhnya pada apa yang disbutkan dalam Kompilasi Hukum Islam tanpa menutup kemungkinan bagi para hakim Pengadilan Agama untuk melakukan penemuan hukum.”6 Meskipun dalam aturan hukum positif mengatur untuk pembagian harta bersama haruslah setengah- setengah namun tidak semua sengketa haruslah demikian ada kemungkinan lain yang dapat diberlakukan untuk sengketa-sengketa tertentu berdasarkan beberapa pertimbngan oleh rmajelis hakim dan pembuktian oleh pihak yang bersengketa tentunya, siapa saja yang buktinya di anggap pantas yang bersangkutanlah yang berhak atas harta benda yang di persengktakan. Berikut ini adalah gambaran factor-factor yang menyebabkan pembagian harta bersama besarannya tidak sama antara kedua belah pihak. yaitu; 6 Dedi Susanto, kupas tuntas masala harta gono-gini, Pustaka Yustisia, Jakarta 2011 halm. 16 51 1. Untuk harta bersama yang nantinya akan dibagi kedua belah pihak harus mempunyai andil dalam harta bersama yang di persengketakan, jikalau ada yang tdak memiliki andil atas harta bersama yang di persengketakan maka pihak tersebutlah yang perolehnya lebih sedikit. Hal diatas senada dengan pendapat Drs. Burhanudin Mokodompit yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan Agama Kota gorontalao, berdasarkan wawancara penulis pada tanggal 27 juni 2013 yaitu : “ dalam hal membagi harta besama kedua belah pihak yang mempersengktakan harta bersama tersbut, haruslah memiliki andil dalam hal pendapatan harta bersama tersebut.” 2. Sebelumnya telah ada perjanjian lain antar kedua belah pihak yang bersengketa terhadap harta bersama tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 29 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 47-50 Kompilasi Hukum Islam. Uraian dalam angka ini seperi yang dikatakan oleh salah satu Dosen di Universitas Negeri Gorontalo Suwito Imran, SH. MH, pada tanggal 20 juli 2013” Bahw a yang didapat setelah perkawinan adalah harta bersama tidak termasuk harta yang dimiliki sebelum terjadi pernikahan jadi ketika terjadi perceraian dalam hal pembagiannya harus diketahui untuk dipisahkan dulu mana yang termasuk harta bawaan dan mana yang termasuk harta bersama. Apabila terjadi sengketa, dalam hal pengaturan mengenai pembagiannya itu merujuk kepada 52 peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali kalau sebelumnya sudah ada perjanjian antara kedua belah pihak, yang apabila dalam perjanjian tersebut sudah disepakati untuk mencampurkan semua harta bendanya termasuk harta bawaan maka untuk penyelesainya dimungkinkan besaran pembagiannya bisa berbeda tergantung kesepakatan yang sudah diperjanjikan. ” 3. Pihak yang mendapatkan bagian lebih sedikit, telah melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan yang dapat merugikan pihak lain. Seperti menghamburhamburkan uang untuk kepentingan pribadi. 4. Pihak yang mendapatkan bagian lebih sedikit, tidak memiliki kontribusi atas harta yang di persengketakan. 5. Untuk memenuhi rasa keadilan tidak harus dengan cara membagi harta bersama dengan porsi seperti yang diatut oleh Undang-Undang, jadi bukan berarti dibagi diluar ketentuan Undang-Undang tidak adil. Seperti yang dikatakan oleh Drs. Burhanudin Mokodompit dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 27 juni 2013 yaitu: “ urusan hukum, keadilan bukanlah sama rata besaran porsinya.” Wawancara diatas memperkuat pendapat bahwa keadilan tidak terdapat pada samanya jumlah pembagian harta yang bersangkutan, akan tetapi keadialan adalah saat dimana para pihak menerima bagian sesuai dengan haknya, Meskipun tidak seperti yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut seakan 53 senada dengan kenyataan yang terjadi di beberapa daerah diIndonesia yang lain yang menerapkan proses pembagian harta besarannya berbeda apabila terjadi perceraian. Seperti yang terjadi di daerah jawa dimana di kenal dengan istilah sak pikul sak gendongan, yang artinya bahwa harta bersama itu dibagi tiga bagian ; suami mendapatkan dua bagian dan istri mendapatka satu bagian. Di daerah Acehpun demikian memiliki pembagian yang sama dengan daerah Jawa, yaitu dua berbanding satu dua bagian untuk suami dan satu bagian untuk istri. 7 Di Aceh, penghasilan suami menjadi milik pribadi sendiri, apabila istri tidak memberi sesuatu dasar materil yang berbentuk suatu kebun atau karangan kediaman bagi keluarga, atau tidak memberi bekal kepada suaminya yang mengadakan suatu perjalanan. Di Jawa Barat, apabila pada saat perkawinan istri kaya sedangkan suami miskin (perkawinan nyelindung kagelung), maka penghasilan yang diperoleh semasa perkawinan adalah milik istri sendiri. Sebaliknya dalam perkawinan suami kaya dan istri miskin (manggih kaya), penghasilan diperoleh semasa perkawinan menjadi milik suami. Di Kudus kulon di lingkungan dalam lingkung para pedagang, maka suami dan istri masing-masing tetap memiliki barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawainan dan juga barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama perkawinan8 7 M. anshary MK, Hukum Perkawinan diIndonesia. HAL 145 http//Agus Salim BAB IV ANALISA KONSEP HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM.htm 8 54 Analogi berdasarkan kasuistis diatas sejalan dengan apa yang terdapat dalam pasal 37 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang multitafsir, dimana dalam ketentuanya mengatur akibat dari putusnya perceraian terhadap harta bersama, itu berarti membuka peluang akan masuk atau berlakunya ketentuan lain terhadap pembagian harta bersama tersebut. Berdasakan kasuistis diatas pula dapat disimpulkan bahwa ada beberapa daerah diIndonesia yang pembagian harta bersamanya tidak sesuai dengan apa yang terdapat di dalam aturan hukum positif. Berbicara mengenai pengaturan tentang pembagian atas harta bersama, memang sudah selayaknya tidak harus berpatokan dalam Undang-Undang karena dalam hal perolehanya apabila terdapat hanya satu pihak saja yang berusaha untuk mengumpulkan sementara pihak yang lainnya hanya bisa mengghamburkan yang berakibat merugaikan, ketidak adilan dapat berpihak pada yang berusaha untuk mengumpulkan, lain halnya apabila dalam hal pengumpulannya meskipun dilakukan oleh satu pihak dan pihak lain menjalankan kewajiban lain seperti mengurus rumah untuk pembagiannya dapat saja berpatokan dalam Undang-Undang. Jadi, untuk pengaturan atas harta bersama ketentuan mengenai pengaturannya Selain yang terdapat dalam KUHPerdata pasal 128 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 96 dan 97 tentang pengaturan mengenai pembagian harta bersama, ada juga ketentuan lain mengenai pembagian harta bersama yakni dapat dibagi berbeda setiap porsi tidak harus dibagi seperdua-seperdua untuk setiap pihak seperi yang diamanatkan Undang-Undang diatas, hal tersebut dimungkinkan terjadi apabila sudah 55 ada perjanjian terdahulu seperti yang dijelaskan dalam pasal 29 Undang-Undang Perkawinan dan pasal 47-50 KHI, dimana dalam aturan tersebut membolehkan dilakukannya perjanjian tentang pernikahan yang dilakukan sebelum atau sesudah pernikahan kedua belah pihak terjadi, yang dalam perjanjian tersebut juga meliputi percampuran maupun pemisahan mengenai harta bendanya. Selain uraian diatas dalam hal pembagian atas harta bersama pembagiannyapun dapat berdasarkan ketentuan-ketentuan lain atas penilaian hakim, dalam artian apabila pihak mejelis hakim menganggap harta bersama pembagiannya berbeda besaran porsinya itulah yang menjadi ketetapan . 4.2 Pertimbngan Hakim Pengadilan Agama dalam Hal Memutuskan Sengketa. Berbicara mengenai pertimbangan hakim itu berarti berbicara mengenai yang mengadili perkara tersebut, yang kesemuanya itu dilangsungkan di lembaga peradilan setempat berdasarkan tata cara dan prosedur yang sudah diatur. Untuk yang beragama islam proses penyelesaianya di lakukan di Pengadilan Agama dan untuk yang beragama selain Islam proses penyelesaian atas sengketa harta bersama di ajukan di Pengadilan Negeri. Pertimbangan Pengadilan dalam menetapkan suatu keputusan yang adil, dengan menerapkan nilai-nilai hukum yang standart, seperti halnya dengan standart memelihara tujuan hukum dan keterbukaan tentang kepentingan hukum9 merupakan yang diinginkan para pihak apabila mnyelesaikan sengketanya di Pengadilan. 9 Zainudin Ali, filsafat Hukum, halm 92 56 Apabila sengketa atas harta bersama penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan gugatan yang di dalamnya disebutkan dengan jelas keberadaan harta dimaksud, baik kepemilikan harta maupun cara dan sumber dana yang dipergunakan untuk mengadakan atau membeli barang yang bersangkutan, gugatan tersebut bisa langsung sekalian dengan gugatan cerai bisa juga di ajukan gugatan tunggal atau berdasarkan rekonvensi atas untuk harta bersama. Menurut wawancara penulis dengan Hasan Zakaria, S.ag SH yang merupakan salah seorang hakim di Pengadilan Agama Kota Gorontalo pada tanggal 14 juni 2013 mengatakan bahwa; “ untuk membagi atas harta bersama gugatanya bisa langsung di lakukan bersama dengan gugatan cerai bisa juga gugatan atas harta bersama tersebut dilakukan tunggal setelah putusan cerai”. Dan wawancara dengan Drs. Burhanudin Mokodompit pada tanggal 27 juni 2013, yaitu : “ untuk perkara harta bersama bisa digabung dengan gugatan cerai atau bisa juga gugatan berdasarkan gugatan balik atau rekonfensi” Berdasarkan wawancara penulis dengan hakim di Pengadilan Agama Kota Gorontalo, yakni Hasan Zakaria, S.ag, SH dan Drs. Burhanudin Mokodompit, Dapat disimpulkan bahwa pengertian harta bersama menurut kedua hakim tersebut adalah sama dengan apa yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yakni harta bersama pada pokoknya harta bersama adalah harta yang didapat setelah perkawinan 57 berlangsung atau selama terikat perkawinan, lepas dari harta yang dibawah sebelum terjadi perkawinan.. Dan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan semua barang yang suami atau isteri peroleh selama dalam ikatan perkawinan, tergolong ke dalam harta bersama asalkan barang dimaksud tidak termasuk harta bawaan atau milik pribadi masing-masing. Atas nama siapa yang tercatat sebagai pembeli, maupun berdasarkan hasil usaha siapa tidak perduli apakah hasil dari suami atau istri, jika barang itu ada sepanjang ikatan perkawinan maka barang tersebut tergolong ke dalam harta bersama, sepanjang sebelumnya tidak di perjanjikan lain atas harta tersebut. Ada banyak cara yang dapat dipergunakan untuk menentukan apakah harta benda termasuk merupakan harta bersama atau harta bawaan, untuk menentukan harta benda menjadi harta bersama dapat dilakukan melalui beberapa pertimbangan. Menurut wawancara penulis dengan Drs. Hasanudin Mokodompit yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan Agama Koto Gorontalo pada tangal 27 juni 2013, menurut beliu dalam hal memutuskan sengketa terhadap harta bersama haruslah berdasarkan beberapa pertimbangan. Perimbangan tersebut berupa : 1. Berdasarkan Hukum materil 2. Berdasarkan Hukum Formil 3. Berdasarkan hati nurani Hakim/persangkaan Hakim 4. Berdasarkan Pembuktian yang dilakukan oleh para pihak. Seperti : 1. bukti Surat ; 58 Pembuktian yang dilakukan dengan cara menunjukan surat-surat yang berhubungan dengan pembelian/pengadaan barang yang termasuk dalam harta bersama. 2. Saksi ; Dengan cara menghadirkan siapa saja yang sudah cakap hukum untuk dapat memberikan kterangan yang berkaiatan dngan pokok prmasalahan di depan majelis hakim. 3. Pengakuan ; Merupakan keterangan yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa. 4. Sumpah ; Adalah merupakan pendukung untuk menguatkan dalil-dalil yang dikatakan. Yang kesemuanya itu dapat dipergunakan sebagai sarana bagi hakim untuk memberikan keyakinan dalam menetapkan harta bersama yang di persengketakan. Harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung terhitung sejak saat akad nikah sampai dengan setelah terjadinya perceraian dapat dikategorikan sebagai harta bersama, kecuali terhadap harta benda yang diperoleh karena warisan, hadiah, dan hibah tidak termasuk harta bersama, melainkan menjadi harta pribadi dan tergolong harta bawaan. Tanah, rumah, ataupun benda lain yang dijadikan sebagai mahar tidak termasuk harta bersama, sekalipun diperoleh pada saat akad nikah dilangsungkan. Itu disebabkan karena mahar itu merupakan sifat pemberian halal calon suami terhadap istrinya. Begitu juga, dengan hasil yang diperoleh dari usaha bersama suami/istri karena penghasilan harta bawaan, sepanjang 59 penghasilan dimaksud ada ketika perkawinan berlangsung dikategorikan pula sebagai harta bersama. tolak ukur untuk menetapkan barang sebagai harta bersama adalah akad nikah. Apabila ada akad nikah dan selama pernikahan masih berlangsung serta belum dilakukan pembagian harta bersama, maka semua barang yang ada tersebut merupakan harta bersama. Pada praktiknya di Pengadilan Agama Kota Gorontalo, hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha mendamaikan ini dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan, dalam upaya mendamaikan itu pula hakim wajib menghadirkan pihak didengar keterangannya dan meminta bantuan mereka agar kedua belah pihak itu rukun dan damai kembali.10 Dengan demikian sistem mediasi, betujuan mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah), mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan).11 Apabila mediasi tersebut tidak berhasil maka barulah pihak pengadilan meneruskan perkaranya. Untuk menyelesaikan sebuah persoalan dalam hal membagi atas harta bersama majelis hakim melihat dulu apa saja yang termasuk harta bersama dimana harta benda yang dikatakan sebagai harta bersama apabila harta tersebut didapatkan atau diperoleh setelah pekawinan berlangsung. Majelis hakim terlebih dahulu akan memeriksa dan jika di perlukan akan melakukan 10 http;//wmc-iainws.com/artikel/16-mediasi-pengantar-teori-dan-praktek diakses pada tanggal 22 juni 2013 11 http// Pengertian Mediasi _ Aditz19's Blog.htm diakses paa tanggal 22 juni 2013 60 peninjauan langsung terhadap barang yang di persengketakan, kemudian pembuktian yang di lakukan oleh para pihak yang bersengketa, dalam pembuktian tersebut para pihak menunjukan segala yang bisa di jadikan bukti untuk mendukung pernyataan yang di ajukan. Siapa yang dalil dan buktinya lebih kuat dan akurat adalah yang paling berhak atas harta yang di persengketakan. menurut wawancra penulis dengan bapak Hasan Zakaria S.ag, SH yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan Agama Kota Gorontalo pada tanggal 14 juni 2013 adalah: “untuk memutuskan sengketa terhadap harta bersama pihak majelis hakim melakukan pertimbangan dengan berdasarkan kepada pembuktian berupa bukti surat dan bukti-bukti lain yang berkaitan yang kesemuanya itu dilakukan oleh para pihak, pihak yang paling bisa membuktikan itulah pihak yang berhak atas apa yang menjadi sengketa”. Kaitannya dengan hal di atas, ada harta bawaan yang sudah tercampur dengan harta bersama, yang kemudian timbul sengketa terhadap kepemilikan harta yang bersangkutan, harta yang dalam bentuk rumah tersebut dulunya milik si suami tapi setelah berapa lama pernikahan berlangsung rumah tersebut sudah di renovasi, itu berarti sudah ada percampuran terhadap harta tersebut, dalam hal ini untuk pembelian atau pembiyaan renovasi rumah yang bersangkutan. Seperti yang terdapat pada putusan 256/Pdt.G/2011/PA.Gtlo di pengadilan agama kota gorontalo. Apa saja yang menjadi pertimbangan hakim sehingga memutuskan demikian? 61 berdasarkan pernyataan di atas dalam hal untuk memutuskan sengketa majelis hakim di Pengadilan Agama Kota Gorontalo bisa melalui beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang di ambil oleh majelis hakim di Pengadilan Agama Kota Gorontalo berdasarkan pembuktian yang di lakukan terlebih dahulu oleh para pihak yang bersengketa. Posisi kasus nomor 256/Pdt. G/2011/PA.Gtlo Adalah sebagai berikut : - Pada tahun 2004 tanggal 13 oktober penggugat menikah dengan tergugat. - Dalam perkawinan tersebut diperoleh harta berupa sebuah mobil, bebrapa perabot rumah tangga, dan merenovasi rumah. - Bahwa pada tangga 10 agustus 2010 perkawinan penggugat dan tergugat di putus cerai oleh Pengadilan Agama Kota Gorontalo dngan akta cerai nomor 296/AC/2010/PA.Gorontalo. - Pada saat gugatan cerai diajukan ke Pengadilan Agam Kota Gorontalo penggugat tidak mengajukan gugatan tentang pembagian harta bersama. Setelah perceraian di putus oleh Pengadialan Agama Kota Gorontalo barulah penggugat mengajukan gugatan tentang harta bersama ke Pengadilan. - Bahwa untuk menghindari agar jangan sampai harta bersama /obyek sngketa akan dipindah tangankan kepada pihak lain karena masaih dalam kekuasaan tergugat, maka demi kepastian hukum maka penggugat meminta agar pihak Pengadilan Agama dapat meletakan sita jaminan atas harta bersama/obyek sengketa yang dimaksud. 62 - Penggugat memintakan pada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar menetapkan pembagian atas harta benda yang di persengketakan berupa rumah untuk dijadikan harta bersama dan dibagi setengah-setengah. Berdasarkan putusan diatas yakni putusan nomor 256/Pdt.G/2011/Gtlo. Dimana dalam putusan itu yang menjadi obyek sengketa adalah sebuah rumah yang diklaim penggugat sebagai harta bersama sedangkan rumah tersebut ada sebelum pernikanan berlangsung, itu berarti rumah tersebut merupakan harta bawaan tergugat. meskipun rumah tersebut direnovasi setelah berapa lama setelah penggugat dan tergugat menikah. Tapi setelah kasus ini di serahkan ke PA kota Gorontalo majelis hakim memutuskan bahwa rumah tersebut tetap sebagai harta bawaan tergugat padahal rumah tersebut sudah direnovasi setelah pernikahan berlangsung. Sedangkan menurut Undang-undang perkawinan segala sesuatu yang di dapat setelah perkawinan berlangsung adalah merupakan harta bersama. Adapun yang menjadi pertimbangan hakim sehingga memutuskan demikian adalah 1. Berdasarkan UUP Pasal 35 segala harta benda yang di peroleh selama perkawinan adalah merupakan harta bersama, sehingga untuk menentukan terbentuknya harta bersama terlebih dahulu haruslah diketahui adanya ikatan perkawinan. Untuk itu penggugat dan tergugat bisa membuktikannya melalui akta nikah nomor XX/30/I/2005. 2. Rumah tersebut adalah merupakan harta bawaan tergugat. tergugatpun bisa membuktikan bahwa benar rumah tersebut adalah miliknya berdasarkan 63 sertifikat tanah milik tergugat yang tidak bisa di bantah oleh pengugat dan di dukung oleh bukti selanjtnya berupa akta jual-beli tanah dari penjual yang kesemuanya atas nama tergugat, selain itu di dukung oleh kesaksian tetangga tergugat yang mengatakan bahwa benar rumah tersebut ada sebelum penikahan penggugat dan tergugat. 3. Untuk kegiatan merenofasi rumah yang menjadi sengketa sebenarnya adalah hal tersebut merupakan suatu pekerjaan yg hasilnya tentu tidak dapat di pisahkan dari induk sebelumya yaitu rumah tersebut, sehinga tidak dapat dipisahkan sebagai harta bersama dan tidak dapat di bagi. Namun demikian berdasrkan pertimbangan dimana dalam proses perceraian penggugat meminta sebuah rumah BTNtipe 36 yng berlokasi dikecamatan kota tengah kota gorontalo, yg oleh tergugat di sanggupi sebagai penghukuman mut’ah tergugat kepada penggugat, dan oleh majelis hakim menilai sikap tergugat merupakan itikat baik dari tergugat, selain itu rumah yang dimintakan penggugat yang berlokasi di perum pulubala tersebut diberikan tergugat karena tergugat menilai jasa-jasa pengugat selama mendampingi terguugat. Itu berarti untuk hal merenovasi rumah yang dijadikan sebagai obyek sengeketa sudah terbayarkan dengan di berikannya rumah BTN tipe 36 yang berlokasi di kecamatan pulubala kota tengah kota Gorontalo. Setelah melalui pengamatan dan identifikasi serta analisis yang cukup pada sengketa yang terjadi pada putusan nomor 256/Pdt.G/2011/PA.Gtlo secara umum, objek yang dipersengketakan adalah sebuah rumah permanent yang dibangun diatas 64 tanah seluas kurang dari 455 M2 yang berlokasi di Desa Pauwo Kecamatan Kabila Bone Bolango, adalah merupakan harta bawaan tergugat. Namun karena sudah direnovasi yang pekerjaannya sewaktu penggugat dan tergugat masih berstatuskan suami-istri, maka penggugat berdalil bahwa rumah yang di persengketakan merupakan harta bersama yang diperoleh selama penggugat dan tergugat masih dalam ikatan pernikahan yang sah. Dan dihadapan pengadilan hal tersebut dibuktikan dengan dihadirkannya saksi dan bukti tertulis oleh pengggugat yakni foto copy surat pembelianbahan renovasi yang Masing-masing dicocokan dengan aslinya dan diberi materai. Sedangkan tergugat, untuk menguatkan dalil-dalil bantahannya juga menunjukan bukti-bukti yang tidak bisa dibantah oleh penggugat berupa akta kepemiikan rumah dan saksi yang mengetahui duduk perkara. Melihat telah dilakukannya mediasi untuk menyelesaikan perkara sengketa tersebut diatas namun tidak berhasil, maka hakim pengadilan setelah menimbang, dan berdasarkan prtimbangan yang telah diuraikan diatas, maka majelis hakim memutuskan bahwa Rumah yang dipersengketakan adalah tetap harta bawaan karena rumah tersebut diperoleh tergugat sebelum terjadi penikahan. Soal renovasi rumah sebelumnya sudah dimintakan oleh penggugat sebuah rumah sebagai penggantian yakni, rumah yang berlokasi di kecamatan kota tengah Kota Gorontalo yang sebelumnya sudah menjadi kesepakatan kedua belah pihak sebagai ganti atas rumah yang diprsengketakan selain itu tergugat juga turut andil dalam merenovasi rumah, itu artinya tergugat juga mempunyai kewenangan atas terenovasinya rumah tersebut... 65 Berdasarkan fakta-fakta yang ada dan pertimbangan hukum hakim dapat disimpulkan bahwa untuk menetapkan suatu benda menjadi harta bersama, harus berdasarkan beberapa pertimbangan dan harus disertai pula dengan pembuktian yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bukti yang cukup untuk dapat mengetahui posisi kasus sebenarnya maka, dalil-dalil apapun tidak dapat diterima. Karena tergugat bisa membuktikan dalilnya dan penggugat tidak bisa membantahnya, maka hakim memutuskan bahwa rumah yang menjadi obyek sengketa tetap menjadi harta bawaan tergugat. Dalam sengketa nomor 256/Pdt.G/2011/Gtlo ini dengan jelas dan tepat pertimbangan majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian khususnya sebuah rumah batu permanen adalah harta bawaan tergugat. Alat bukti sangat penting untuk dapat memberikan keyakinan bagi hakim dalam memberikan pertimbangan dan penetapan hukum untuk memutuskan termasuk tidaknya suatu harta benda kedalam golongan harta bersama atau tidak. Pembukian harta bersama dapat dilakukan dengan alat-alat bukti yang ditetapkan, seperti alat bukti tertulis (surat dan dokumen), saksi, pengakuan, persangkaan dan sumpah. Dalam penyelesaian sengketa harta bersama yang terjadi antara penggugat dan tergugat dalam perkara tersebut diatas, tergugat mengajukan bukti tulisan dan saksi sehingga dapat memberikan keterangan dan keyakinan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan yang menguntungkannya. Sedangkan penggugat tidak dapat membantahnya, untuk dapat membenarkan pernyataanya dalam rangka menetapkan besarnya bagian harta masing-masing pihak terhadap harta bersama yang menjadi objek sengketa. 66 Jadi, berdasarkan uraian diatas pertimbangan hakim di Pengadilan Agama Kota Gorontalo dalam hal memutuskan sengketa pada umumnya didasarkan pada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak. Analogi kasus yang dicontohkan dapat menjadi penggambaran bahwa untuk menetapkan sebuah harta, yang merupakan harta bersama tidak cukup hanya berdasarkan adanya ikatan perkawinan semata, tidak juga berpatokan dalam aturan yang terdapat dalam hukum positif, kewenangan majelis hakim dalam memutuskan sangat dibutuhkan Kasus d iatas misalnya walau dalam hukum positif secara tegas menyatakan bahwa segala yang didapat dalam perkawinan adalah harta bersama, namun hal tersebut tidak berlaku untuk semua kasus, jika jenis kasus seperi yang diuraikan di atas butuh kecermatan hakim yang didasarkan pada pembuktian untuk memutuskannya. Selain contoh kasus di atas mungkin masih banyak kasus-kasus lain yang butuh kecermatan majelis hakim untuk memutuskan.