KONVERSI NILAI UAN : MEGA TRAGEDI PENDIDIKAN NASIONAL

advertisement
MEGATRAGEDI PENDIDIKAN NASIONAL
(Kompas 16 Juni 2004)
Oleh Frietz R. Tambunan
Konversi nilai UAN tidak lagi sekedar Pembodohan Nasional seperti ditulis
oleh Anita Lie dalam Kompas kemarin (15/6). Sesungguhnya telah terjadi sebuah
kejahatan intelektual institusional yang dilakukan secara transparan dan tanpa
malu-malu oleh sebuah lembaga negara, yaitu Depdiknas. Melawan keadilan,
Depdiknas telah merampas hak banyak siswa mendapatkan nilai UAN yang
sesungguhnya. Secara etis, lembaga negara ini telah mempertontonkan sebuah
tindakan tidak bertanggunjawab karena mencari sebuah solusi murahan menutupi
kegagalannya meningkatkan mutu pendidikan. Tindakan mengadakan konversi ini
juga merusak sendi-sendi manajemen kualitas total, yang intinya adalah
pemekaran dan pemberdayaan seluruh subyek komunitas pendidikan yaitu peserta
didik, guru, dan masyarakat luas (stakeholder).
Pemberangusan
Ribuan siswa peserta UAN 2004 sekarang ini sedang menderita, marah,
dan kecewa karena hak mereka untuk mendapatkan nilai yang wajar dirampas
secara sistematis. Namun bukan para siswa itu saja yang menderita tetapi juga
orangtua, sekolah, dan masyarakat karena tindakan konversi ini ibarat sebuah
pedang tajam yang melukai dan meninggalkan rasa sakit yang stigmatis – tak
mudah dihapus. Bangsa kita yang sudah begitu lama disakiti oleh berbagai krisis
multidimensional sejak 1997, didera lagi oleh keterpurukan intens indeks
pembangunan manusia Indonesia, kini dilukai lagi oleh tindakan Depdiknas yang
ingin menyamarkan keputus-asaan dan kegagalan mereka dalam meningkatkan
mutu pendidikan dengan cara yang tragis: meluluskan siswa yang tak pantas lulus,
dengan harga memberangus nilai siswa yang telah belajar tekun, bekerja keras
untuk lulus, dan membayar mahal untuk mendapatkan nilai yang membanggakan.
Komisi Delors – badan PBB untuk pendidikan abad ke-21 – telah
menegaskan bahwa salah satu kiat untuk memajukan pendidikan adalah dengan
mendongkrak le goût d’apprendre (a taste for learning – nikmat untuk belajar).
Komisi ini sangat mendesak agar seluruh kebijakan pendidikan secara sinergis
diarahkan untuk meningkatkan rasa nikmat untuk belajar dan ini harus juga
mencakup keseluruhan elemen komunitas pembelajaran seperti siswa, guru dan
staf, orangtua dan masyarakat. Untuk mencapai rasa nikmat ini perlu diciptakan
metode pembelajaran yang tepat sehingga diciptakanlah metode active learning
dalam bentuk KBK termasuk didalamnya termasuk sistem penilaian yang
membebaskan. Artinya, semua bentuk penilaian di sekolah tidak boleh bersifat
menghukum tetapi diarahkan kepada pemekaran semangat belajar dan semangat
untuk hidup karena le goût d’apprendre pada akhirnya harus menjadi le goût de
vivre – gairah untuk hidup.
Konversi nilai UAN kali ini memberangus semangat belajar dan semangat
hidup banyak orang muda dan ini sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan
untuk memanusiawikan manusia muda. Orang-orang muda yang merasa dirugikan
dengan konversi ini adalah orang-orang yang dikhianati dan dikorupsi secara
sistematis oleh sebuah institusi negara yang seharusnya melindungi mereka dari
berbagai tindakan yang merugikan. Bangsa kita kita memiliki sejumlah kaum muda
yang sakit hati, tertipu, dirampas haknya, dan menjadi pendendam. Bangsa yang
melukai anak-anaknya dengan sengaja adalah bangsa yang durjana, seperti disetir
oleh Khalil Gibran.
Kegagalan Manajerial
Konversi yang kontroversial ini hanyalah sebuah fenomena kecil dari mega
kesalahan sistem yang menggurita pendidikan Indonesia. Upaya perbaikan sistem
dan manajemen pendidikan kita selama ini selalu di sekitar sistem, struktur,
kurikulum, dan hal-hal non substansial. Sudah sejak pertengahan tahun 70-an,
persis setelah Komisi Faure mengintrodusir konsep longlife education, pendidikan
bergerak ke arah apa yang disebut the total quality management, sebuah gerak
manajemen yang menempatkan manusia sebagai pusat utama sistem pendidikan.
Meskipun konsep TQM ini berasal dari pembaharuan dibidang teknologi industri
dan bisnis, tetapi hampir semua negara maju telah menerapkannya di bidang
pendidikan.
Konsep ini menjadikan manusia sebagai subyek pendidikan. Jika demikian
halnya, maka semua upaya di bidang pendidikan harus diarahkan pada
pemberdayaan manusia, termasuk di dalamnya pembaharuan sistem pendidikan,
peningkatan anggaran pendidikan, perubahan kurikulum, bahkan praksis penilaian
seperti test, quiz, dan UAN. Jika manajemen pendidikan nasional didasarkan pada
kualitas total yang meletakkan manusia di pusat proses pendidikan, maka aspek
tuntutan keadilan dalam bidang pendidikan akan lebih mudah dicapai. Konversi
UAN yang kontroversial ini hanyalah secuil ketidak-adilan dalam praksis
pendidikan di Indonesia. Keterlambatan gaji guru di daerah terpencil, ketiadaan
sarana pendidikan yang layak, guru yang kurang bermutu di pedesaan, termasuk
ujian masuk perguruan tinggi negeri adalah berbagai ketidak-adilan yang selama
ini terlaksana secara sistematis di dalam dunia pendidikan kita.
Manjemen pendidikan bertumpu pada pemberdayaan dan penghargaan
manusia sebagai subyek pendidikan. UU Sisdiknas 2003 kurang memberi peluang
pada dimensi ini, lemah dalam bidang filosofinya, dan memandang pendidikan
lebih pada aspek pengajaran daripada pada proses pembentukan manusia
(formation of man). Manajemen pendidikan kita seperti tersirat dalam UU
Sisdiknas 2003 masih diarahkan pada pemberdayaan sistem, peraturan, dan belum
pada pemberdayaan subyek (pendidikan), dengan akibat mutu dan hasil
pendidikan melulu diukur secara statistik. Dalam konteks inilah terjadi konversi
nilai UAN yang heboh itu: mutu pendidikan dinilai baik, jika sebagian besar siswa
lulus ujian. Yang penting lulus, meski bodoh sekalipun, dan untuk mencapai ini
segala cara menjadi sah, termasuk mengkorupsi nilai UAN sebagian siswa yang
pandai.
Komitmen Politik
Seperti sudah sering ditulis di harian ini, bangsa kita ini adalah bangsa
pelupa, terutama menyangkut kelemahan dan cacat-celanya sendiri. Namun
menyangkut konversi nilai UAN yang kontroversial ini bangsa ini sebaiknya tidak
boleh segera melupakannya dengan cara membiarkannya hilang begitu saja.
Konversi ini adalah sebuah mega tragedi bagi bangsa kita karena menyangkut
berbagai masalah seperti hukum, keadilan, etika, manajemen pendidikan, dan
nurani bangsa. Capres Susilo Bambang Yudhoyono dan Amin Rais dalam Kompas
(11/6) telah menegaskan komintmen politik untuk membangun budaya malu (guilt
culture) sebagai salah satu terapi mengobati penyakit multidimensional bangsa ini.
Jika memang Depdiknas menginginkan perbaikan mutu pendidikan anak-anak
bangsa kita maka inilah saatnya memperlihatkan komitmen politik berbuday
malu. Dengan jelas ada kesalahan pedagogis, etis, manajerial, bahkan legal dalam
hal konversi nilai UAN 2004. Seluruh bangsa, para siswa, orangtua, para capres
dan anggota DPR dan DPD terpilih sedang menatap tajam ke Depdiknas dan
menantikan sebuah terobosan elegan menyangkut konversi nilai UAN ini.
Seandainya Depdiknas tak mampu meberikan solusi praksis dan bijak, dan tetapi
bersikeras bahwa the show must go on … maka apa yang pernah dikatakan oleh
Magnis Suseno bahwa negara kita ini sedang berada di pinggir jurang, sekarang
akan terjun bebas ke jurang kehancuran. Namun kita percaya bahwa Depdiknas
masih mampu meberikan rasa keadilan bagi stakholder pendidikan di negeri ini,
dan para pengambil kebijakan pendidikan kita masih memiliki tanggungjawab etis,
nurani tulus, dan kebijakan yang melegakan.
Frietz R. Tambunan adalah alumnus Salesian University of Rome (Italia)Bidang
Manajemen Pendidikan; Pengajar pada Unika St. Thomas, Medan.
Alamat:
Jl. Pemuda No. 1 Medan 20151
e-mail: [email protected]
HP 081361418999 – Tel. 061-4522753.
Download