Rangkaian Rangkaian Sistem Tenaga

advertisement
Sudaryatno Sudirham
Analisis Keadaan Mantap
Rangkaian Sistem Tenaga
ii
BAB 4
Motor Asinkron
4.1. Konstruksi Dan Cara Kerja
Motor merupakan piranti
konversi dari energi elektrik
a
ke energi mekanik. Salah
satu jenis yang banyak
b1
c1
dipakai adalah motor
asinkron atau motor induksi.
Di sini kita hanya akan
melihat motor asinkron tiga
fasa. Stator memiliki alurc
b
alur untuk memuat belitanbelitan yang akan terhubung
a1
pada sistem tiga fasa. Gb.4.1.
hanya memperlihatkan tiga
belitan pada stator sebagai
belitan terpusat, yaitu belitan
Gb.4.1. Motor asinkron.
aa1 , bb1 dan cc1 yang
berbeda posisi 120o mekanik. Susunan belitan ini sama dengan susunan
belitan pada stator generator sinkron. Ketiga belitan ini dapat
dihubungkan Y ataupun ∆ untuk selanjutnya disambungkan ke sumber
tiga fasa. Rotor mempunyai alur-alur yang berisi konduktor dan semua
konduktor pada rotor ini dihubung singkat di ujung-ujungnya. Inilah
salah satu konstruksi rotor yang disebut rotor sangkar (susunan
konduktor-konduktor itu berbentuk sangkar).
Untuk memahami secara fenomenologis cara kerja motor ini, kita
melihat kembali bagaimana generator sinkron bekerja. Rotor generator
yang mendukung kutub magnetik konstan berputar pada porosnya.
Magnet yang berputar ini mengimbaskan tegangan pada belitan stator
yang membangun sistem tegangan tiga fasa. Apabila rangkaian belitan
stator tertutup, misalnya melalui pembebanan, akan mengalir arus tiga
fasa pada belitan stator. Sesuai dengan hukum Lenz, arus tiga fasa ini
akan membangkitkan fluksi yang melawan fluksi rotor; kejadian ini kita
kenal sebagai reaksi jangkar. Karena fluksi rotor adalah konstan tetapi
berputar sesuai perputaran rotor, maka fluksi reaksi jangkar juga harus
berputar sesuai perputaran fluksi rotor karena hanya dengan jalan itu
4-1
hukum Lenz dipenuhi. Jadi mengalirnya arus tiga fasa pada belitan rotor
membangkitkan fluksi konstan yang berputar. Sekarang, jika pada
belitan stator motor asinkron diinjeksikan arus tiga fasa (belitan stator
dihubungkan pada sumber tiga fasa) maka akan timbul fluksi konstan
berputar seperti layaknya fluksi konstan berputar pada reaksi jangkar
generator sinkron. Demikianlah bagaimana fluksi berputar timbul jika
belitan stator motor asikron dihubungkan ke sumber tiga fasa.
Kita akan melihat pula secara skematis, bagaimana timbulnya fluksi
berputar. Untuk itu hubungan belitan stator kita gambarkan sebagai tiga
belitan terhubung Y yang berbeda posisi 120o mekanis satu sama lain
seperti terlihat pada Gb.4.2.a. Belitan-belitan itu masing-masing dialiri
arus ia , ib , dan ic yang berbeda fasa 120o elektrik seperti ditunjukkan
oleh Gb.4.2.b. Masing-masing belitan itu akan membangkitkan fluksi
yang berubah terhadap waktu sesuai dengan arus yang mengalir padanya.
Kita perhatikan situasi yang terjadi pada beberapa titik waktu.
Perhatikan Gb.4.2. Pada t1 arus ia maksimum negatif dan arus ib = ic
positif. Ke-tiga arus ini masing-masing membangkitkan fluksi φa , φb dan
φc yang memberikan fluksi total φtot . Kejadian ini berubah pada t2 , t3 , t4
dan seterusnya yang dari Gb.4.2. terlihat bahwa fluksi total berputar
seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa. Peristiwa ini dikenal
sebagai medan putar pada mesin asinkron.
Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi antara
jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran sinkron
sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu
f1 =
p ns
120 f1
Hz atau n s =
rpm
120
p
(4.1)
dengan f1 adalah frekuensi tegangan stator, ns adalah kecepatan
perputaran medan putar yang kita sebut perputaran sinkron. Jumlah
kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada belitan stator seperti
pada contoh konstruksi mesin pada Gb.4.1. jumlah kutub adalah 2,
sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran sinkron adalah
3000 rpm. Untuk mempuat jumlah kutub menjadi 4, belitan stator
disusun seperti pada stator mesin sinkron pada Gb.4.1.
4-2 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
1.1
c
c1
0
-180 - 135
b1
b
ic
ia
ia
ib
t1 t2
90
135
180
t
ic
t3 t4
ic
φa
φc
φtot
t2
ia
ib
φa
φb
t1
45
ic
φa φtot
φc
0
ib
b).
ic
φb
-45
ia
- 1.1
a).
ib
-90
a1 a
φtot
φb
φc
ia
ib
φa
φc
φb
φtot
t3
t4
Gb.4.2. Terbentuknya fluksi magnetik yang berputar.
Arus positif menuju titik netral, arus negatif meninggalkan titik netral.
Fluksi total φtot tetap dan berputar.
Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator akan
mengimbaskan tegangan pada konduktor rotor. Karena konduktor rotor
merupakan rangkaian tertutup, maka akan mengalir arus yang kemudian
berinteraksi dengan medan magnetik yang berputar dan timbullah gaya
sesuai dengan hukum Ampere. Dengan gaya inilah terbangun torka yang
akan membuat rotor berputar dengan kecepatan perutaran n.
Perhatikanlah bahwa untuk terjadi torka, harus ada arus mengalir di
konduktor rotor dan untuk itu harus ada tegangan imbas pada konduktor
rotor. Agar terjadi tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n
harus lebih kecil dari kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu
kecepatan perputaran sinkron ns) sebab jika kecepatannya sama tidak
akan ada fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain harus
terjadi beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip
yang besarnya adalah :
4-3
s=
ns − n
ns
(4.2)
Nilai s terletak antara 0 dan 1.
Rotor Belitan. Pada awal perkenalan kita dengan mesin asinkron, kita
melihat pada konstruksi yang disebut mesin asinkron dengan rotor
sangkar. Jika pada rotor mesin asinkron dibuat alur-alur untuk
meletakkan susunan belitan yang sama dengan susunan belitan stator
maka kita mempunyai mesin asinkron rotor belitan. Terminal belitan
rotor dapat dihubungkan dengan cincin geser (yang berputar bersama
rotor) dan melalui cincin geser ini dapat dihubungkan pada resistor untuk
keperluan pengaturan perputaran. Skema hubungan belitan stator dan
rotor diperlihatkan pada Gb.4.3; pada waktu operasi normal belitan rotor
dihubung singkat. Hubungan seperti ini mirip dengan transformator.
Medan putar akan mengimbaskan tegangan baik pada belitan stator
maupun rotor.
E1
belitan stator
E2
belitan rotor
Gb.4.3. Skema hubungan belitan stator dan rotor
mesin asinkron rotor belitan. Garis putus-putus
menunjukkan hubung singkat pada operasi normal.
Tegangan imbas pada stator adalah :
E1 = 4,44 f 1 K w1φ m
(4.3)
p ns
= frekuensi tegangan
120
stator, φm adalah fluksi maksimum di celah udara, 1 adalah jumlah
lilitan belitan stator.
dengan Kw1 adalah faktor belitan stator, f =
Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan imbas
pada belitan rotor adalah
4-4 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
E 2 = 4,44 f 2 K w2 φ m
(4.4)
p ns
= frekuensi tegangan
120
stator (karena rotor tidak berputar), φm adalah fluksi maksimum di celah
udara sama dengan fluksi yang mengibaskan tegangan pada belitan
stator, 2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.
dengan Kw2 adalah faktor belitan rotor, f =
Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka
terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (4.2). Frekuensi tegangan imbas
pada rotor menjadi
f2 =
p ( n s − n) p s n s
=
= s f Hz
120
120
(4.5)
Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan frekuensi
stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut frekuensi slip.
Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan berputar menjadi
E 22 = sE 2
(4.6)
Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (4.5) dan (4.6)
kita peroleh
K
E1
= 1 w1 = a
E 2 2 K w2
(4.7)
Situasi ini mirip dengan transformator tanpa beban.
COTOH-4.1 : Tegangan seimbang tiga fasa 50 Hz diberikan kepada
motor asinkron tiga fasa , 4 kutub. Pada waktu motor melayani
beban penuh, diketahui bahwa slip yang terjadi adalah 0,05.
Tentukanlah : (a) kecepatan perputaran medan putar relatif terhadap
stator; (b) frekuensi arus rotor; (c) kecepatan perputaran medan rotor
relatif terhadap rotor; (d) kecepatan perputaran medan rotor relatif
terhadap stator; (e) kecepatan perputaran medan rotor relatif
terhadap medan rotor.
Penyelesaian:
4-5
(a) Relasi antara kecepatan medan putar relatif terhadap stator
(kecepatan sinkron) dengan frekuensi dan jumlah kutub adalah
p ns
f =
. Jadi kecepatan perputaran medan putar adalah
120
ns =
120 f 120 × 50
=
= 1500 rpm
p
4
(b) Frekuensi arus rotor adalah f 2 = sf1 = 0,05 × 50 = 2,5 Hz.
(c) Karena belitan rotor adalah juga merupakan belitan tiga fasa
dengan pola seperti belitan stator, maka arus rotor akan
menimbulkan pula medan putar seperti halnya arus belitan
stator menimbulkan medan putar. Kecepatan perputaran medan
putar rotor relatif terhadap rotor adalah
n2 =
120 f 2 120 × 2,5
=
= 75 Hz
p
4
(d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor harus
sama dengan kecepatan perputaran medan stator, yaitu
kecepatan sinkron 1500 rpm.
(e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan
kecepatan perputaran medan stator, kecepatan perputaran
relatifnya adalah 0.
4-6 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
4.2. Rangkaian Ekivalen
Rangkaian ekivalen yang akan kita pelajari adalah rangkaian ekivalen
per fasa.
Rangkaian Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa
adalah R1 dan reaktansinya adalah X1, sedangkan rugi-rugi inti
dinyatakan dengan rangkaian paralel suatu resistansi Rc dan reaktansi Xφ
seperti halnya pada transformator. Jika V1 adalah tegangan masuk per
fasa pada belitan stator motor dan E1 adalah tegangan imbas pada belitan
stator oleh medan putar seperti diberikan oleh (4.3), maka kita akan
mendapatkan hubungan fasor
V1 = I1 (R1 + jX 1 ) + E1
(4.8)
Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan ini adalah
pada frekuensi sinkron ωs = 2π f1. Rangkaian ekivalen stator menjadi
seperti pada Gb.3.4. yang mirip rangkaian primer transformator.
Perbedaan terletak pada besarnya If yang pada transformator berkisar
antara 2 − 5 persen dari arus nominal, sedangkan pada motor asinkron
arus ini antara 25 − 40 persen arus nominal, tergantung dari besarnya
motor.
I1
A
R1
V1
jX1
Ic
Rc
If
Iφ
E1
jXc
B
Gb.4.4. Rangkaian ekivalen stator.
Selain itu reaktansi bocor X1 pada motor jauh lebih besar karena adanya
celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan dalam stator
sedangkan pada transformator belitan terpusat pada intinya. Tegangan E1
pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini haruslah merefleksikan
peristiwa yang terjadi di rotor.
4-7
Rangkaian Ekivalen Rotor. Jika rotor dalam keadaan berputar maka
tegangan imbas pada rotor adalah E22 . Jika resistansi rotor adalah R22
dan reaktansinya adalah X22 maka arus rotor adalah:
E 22
(4.9)
I 22 =
(R22 + jX 22 )
Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai reaktansi
pada persamaan (4.9) ini adalah pada frekuensi rotor ω2 = 2π f2 , berbeda
dengan persamaan fasor (4.8). Kita gambarkan rangkaian untuk
persamaan (4.9) ini seperti pada Gb.4.5.a.
I 22
A′
I2
R22
jX22
A′
E 22
R2
jsX2
sE 2
B′
B′
a)
b)
I2
I2
A′
E2
R2
s
B′
jX2
A′
E2
R2
jX2
R2
B′
c)
1− s
s
d)
Gb.5.5. Pengembangan rangkaian ekivalen rotor.
Menurut (4.6) E22 = sE2 dimana E2 adalah tegangan rotor dengan
frekuensi sinkron ωs. Reaktansi rotor X22 dapat pula dinyatakan dengan
frekuensi sinkron; jika L2 adalah induktansi belitan rotor (yang
merupakan besaran konstan karena ditentukan oleh konstruksinya) maka
kita mempunyai hubungan
X 22 = ω 2 L2 = sω1 L2 = sX 2
(4.10)
Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron
X 2 = ω1L2 . Karena Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita nyatakan
resistansi rotor sebagai R2 = R22. Dengan demikian maka arus rotor
menjadi
4-8 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
I2 =
sE2
R2 + jsX 2
(4.11)
Persamaan fasor tegangan dan arus rotor sekarang ini adalah pada
frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang terlihat
pada Gb.4.5.b. Tegangan pada terminal rotor A´B´ adalah tegangan
karena ada slip yang besarnya adalah sE2. Dari rangkaian ini kita dapat
menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor per fasa, yaitu
Pcr = I 22 R2
(4.12)
Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (4.11) kita bagi dengan s
kita akan mendapatkan
I2 =
E2
R2
+ jX 2
s
(4.13)
Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I2 dan rangkaian dari
persamaan ini adalah seperti pada Gb.4.5.c. Walaupun demikian ada
perbedaan penafsiran secara fisik. Tegangan pada terminal rotor A´B´
sekarang adalah tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan rotor
tidak berputar dengan nilai seperti diberikan oleh (4.14) dan bukan
tegangan karena ada slip. Jika pada Gb.4.5.b. kita mempunyai rangkaian
riil rotor dengan resistansi konstan R dan tegangan terminal rotor yang
tergantung dari slip, maka pada Gb.4.28.c. kita mempunyai rangkaian
ekivalen rotor dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi
yang tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir
ini kita sebut tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya yang
diserap rotor kita sebut daya celah udara, yaitu :
Pg = I 22
R2
s
(4.14)
Daya ini jauh lebih besar dari Pcr pada (4.12). Pada mesin besar nilai s
adalah sekitar 0,02 sehingga Pg sekitar 50 kali Pcr. Perbedaan antara
(4.14) dan (4.12) terjadi karena kita beralih dari tegangan rotor riil yang
berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan frekuensi sinkron. Daya
nyata Pg tidak hanya mencakup daya hilang pada resistansi belitan saja
tetapi mencakup daya mekanis dari motor. Daya mekanis dari rotor ini
sendiri mencakup daya keluaran dari poros motor untuk memutar beban
4-9
ditambah daya untuk mengatasi rugi-rugi rotasi yaitu rugi-rugi akibat
adanya gesekan dan angin. Oleh karena itu daya Pg kita sebut daya celah
udara artinya daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara
yang meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan
daya mekanis rotor. Dua komponen daya ini dapat kita pisahkan jika kita
menuliskan
R2
1 − s 
= R2 + R2 

s
 s 
(4.15)
Suku pertama (4.15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor (per
fasa) Pcr = I 22 R2 dan suku kedua memberikan daya keluaran mekanik
ekivalen
1− s 
Pm = I 22 R2 

 s 
(4.16)
Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor seperti
pada Gb.4.5.d.
Rangkaian Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian
ekivalen untuk mesin asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar dapat
menghubungkan rangkaian rotor dengan rangkaian stator, kita harus
melihat tegangan rotor E2 dari sisi stator yang memberikan E1 = aE 2 .
Jika E 2 pada Gb.4.5.d. kita ganti dengan E1 = a E 2 , yaitu tegangan
rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor dan semua parameter rotor
harus pula dilihat dari sisi stator menjadi I 2' , R 2' dan X 2' . Dengan
demikian kita dapat menghubungkan terminal rotor A´B´ ke terminal AB
dari rangkaian stator pada Gb.4.4. dan mendapatkan rangkaian ekivalen
lengkap seperti terlihat pada Gb.4.6.
4-10 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
'
A I2
I1
V1
If
jX1
R1
Rc
jX 2'
R2'
R2'
jXc
1− s
s
B
Gb.4.6. Rangkaian ekivalen lengkap motor asikron.
Aliran Daya. Aliran daya per fasa dalam motor asinkron dapat kita baca
dari rangkaian ekivalen sebagai berikut. Daya (riil) yang masuk ke stator
motor melalui tegangan V1 dan arus I1 digunakan untuk :
• mengatasi rugi tembaga stator : Pcs = I12 R1
• mengatasi rugi-rugi inti stator : Pinti
• daya masuk ke rotor, disebut daya celah udara Pg = ( I 2' ) 2
R2'
,
s
yang digunakan untuk
•
•
mengatasi rugi-rugi tembaga rotor : Pcr = ( I 2' ) 2 R2'
memberikan
daya
mekanis
rotor
' 2 ' 1 − s 
Pm = ( I 2 ) R2 
 , yang terdiri dari :
 s 
• daya untuk mengatasi rugi rotasi (gesekan dan
angin) : Protasi
• daya keluaran di poros rotor : Po.
Jadi urutan aliran daya secara singkat adalah :
Po = Pm − Protasi
;
Pm = Pg − Pcr
;
Pg = Pin − Pinti − Pcs
4-11
Rangkaian Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor
asinkron kita sering menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan yang
lebih sederhana seperti pada Gb.4.7. Dalam rangkaian ini rugi-rugi
tembaga stator dan rotor disatukan menjadi ( I 2' ) 2 Re .
jX e = jX1 + jX 2'
I1
If
V1
Rc
Re = R1 + R2'
jXc
R2'
1− s
s
Gb.4.7. Rangkaian ekivalen pendekatan.
Bagaimana Re dan Xe ditentukan akan kita bahas berikut ini.
4.3. Penentuan Parameter Rangkaian
Pengukuran Resistansi. Resistansi belitan stator maupun belitan rotor
dapat diukur. Namun perlu diingat bahwa jika pengukuran dilakukan
dengan menggunakan metoda pengukuran arus searah dan pengukuran
dilakukan pada temperatur kamar, harus dilakukan koreksi-koreksi.
Dalam pelajaran lebih lanjut kita akan melihat bahwa resistansi untuk
arus bolak-balik lebih besar dibandingkan dengan resistansi pada arus
searah karena adanya gejala yang disebut efek kulit. Selain dari itu, pada
kondisi kerja normal, temperatur belitan lebih tinggi dari temperatur
kamar yang berarti nilai resistansi akan sedikit lebih tinggi.
Uji Beban ol. Dalam uji beban nol stator diberikan tegangan nominal
sedangkan rotor tidak dibebani dengan beban mekanis. Pada uji ini kita
mengukur daya masuk dan arus saluran. Daya masuk yang kita ukur
adalah daya untuk mengatasi rugi tembaga pada beban nol, rugi inti, dan
daya celah udara untuk mengatasi rugi rotasi pada beban nol. Dalam uji
ini slip sangat kecil, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan sehingga
biasanya arus eksitasi dianggap sama dengan arus uji beban nol yang
terukur.
Uji Rotor Diam. Uji ini analog dengan uji hubng singkat pada
transformator. Dalam uji ini belitan rotor di hubung singkat tetapi rotor
ditahan untuk tidak berputar. Karena slip s = 1, maka daya mekanis
keluaran adalah nol. Tegangan masuk pada stator dibuat cukup rendah
4-12 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
untuk membatasi arus rotor pada nilai yang tidak melebihi nilai nominal.
Selain itu, tegangan stator yang rendah (antara 10 – 20 % nominal)
membuat arus magnetisasi sangat kecil sehingga dapat diabaikan.
Rangkaian ekivalen dalam uji ini adalah seperti pada Gb.4.8. Perhatikan
bahwa kita mengambil tegangan fasa-netral dalam rangkaian ekivalen
ini.
I0
jX e = jX1 + jX 2'
Re = R1 + R2'
V fn
Gb.4.8. Rangkaian ekivalen motor asikron pada uji rotor diam.
Jika Pd adalah daya tiga fasa yang terukur dalam uji rotor diam, Id adalah
arus saluran dan Vd adalah tegangan fasa-fasa yang terukur dalam uji ini,
maka
P
Re = X 1 + jX 2' = d
3I d2
Ze =
Vd
(4.17)
Id 3
X e == Z e2 − Re2 = X 1 + X 2'
Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan antara
X1 dan X2´ tidak diperlukan dan kita langsung memanfaatkan Xe.
COTOH-4.2 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga fasa
50 Hz adalah 75 kW. Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugi-rugi inti
stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga stator adalah 2700 W. Arus
rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A.. Hitunglah efisiensi motor
jika diketahui slip s = 3,75%.
4-13
Penyelesaian:
Dari rangkaian ekivalen, daya mekanik ekivalen adalah
1 − s 
Pm = ( I 2' ) 2 R2' 
.
 s 
Pm dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor dan
rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah daya
keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui 900 W
sehingga
Pm = 75000 + 900 = 75900 W
dan rugi-rugi tembaga rotor adalah
P s 75900 × 0,0375
Pcr = ( I 2' ) 2 R2' = m =
= 2957 W
1− s
1 − 0,0375
Efisiensi motor adalah
η=
Pkeluaran
×100%
Pkeluaran + rugi − rugi
75000
× 100%
75000 + 4200 + 2700 + 900 + 2957
= 87,45%
=
COTOH-4.3 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga fasa
rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data berikut:
daya masuk Pd = 10 kW, arus saluran Id = 250 A, Vd = 65 Vdan
pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R1 = 0,02 Ω per
fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator.
Penyelesaian :
Menurut (4.17) kita dapat menghitung
Re =
Pd
3I d2
=
10000
3 × (250) 2
= 0,0533 Ω per fasa
R2' = Re − R1 = 0,0533 − 0,02 = 0,0333 Ω per fasa
4-14 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
COTOH-4.4 : Pada sebuah motor asinkron tiga fasa 10 HP, 4 kutub,
220 V, 50 Hz, hubungan Y, dilakukan uji beban nol dan uji rotor
diam.
Beban nol : V0 = 220 V; I0 = 9,2 A; P0 = 670 W
Rotor diam : Vd = 57 V; Id = 30 A; Pd = 950 W.
Pengukuran resistansi belitan stator menghasilkan nilai 0,15 Ω per
fasa. Rugi-rugi rotasi sama dengan rugi inti stator. Hitung: (a)
parameter-parameter yang diperlukan untuk menggambarkan
rangkaian ekivalen (pendekatan); (b) arus eksitasi dan rugi-rugi inti.
Penyelesaian :
a). Karena terhubung Y, tegangan per fasa adalah
220
V1 =
= 127 V .
3
Uji rotor diam memberikan :
Re =
Pd
3( I d )
2
=
950
3 × (30) 2
= 0,35 Ω ;
R2' = Re − R1 = 0,35 − 0,15 = 0,2 Ω
Ze =
Vd
3 × Id
=
57
3 × 30
= 1,1 Ω ;
X e = Z e2 − Re2 = (1,1) 2 − (0,35) 2 = 3,14 Ω
b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan; jadi
arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap arus
eksitasi If .
Daya pada uji beban nol P0 = 670 = V0 I f cos θ 3
⇒ cos θ =
670
220 3 × 9,2
= 0,19 lagging.
Jadi : I f = 9,2∠θ = 9,2∠ − 79 o .
4-15
Rugi inti :
Pinti = P0 − 3 × I 02 R1 = 670 − 3 × 9,2 2 × 0,15 = 632 W
jX e = j 3,14
I1
o
I f R = 0,35
e
127∠0 R
c
V
jXc
0,2
1− s
s
COTOH-4.5 : Motor pada Contoh-4.3. dikopel dengan suatu beban
mekanik, dan pengukuran pada belitan stator memberikan data : daya
masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82. Tentukanlah : (a) arus rotor
dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip yang terjadi; (d)
efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika diketahui rugi rotasi 500
W.
Penyelesaian :
a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data
pengukuran dapat kita ketahui fasor arus stator, yaitu:
I1 = 28∠ − 35 o . Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah :
I 2' = I1 − I f = 28∠ − 35 o − 9,2∠ − 79 o
= 28(0,82 − j 0,57 ) − 9,2(0,19 − j 0,98) = 21,2 − j 6,94
= 22,3∠ − 18 o A
b). Daya mekanik rotor adalah :
Pm = Pin − Pinti − Pcs − Pcr
= 9150 − 632 − 3 × 28 2 × 0,15 − 3 × 22,3 2 × 0,2 = 7867 W
c). Slip dapat dicari dari formulasi
Pg = Pin − Pinti − Pcs =
s=
3 × ( I 2' ) 2 R2'
.
s
3( I 2' ) 2 R2'
3 × 22,3 2 × 0,2
=
= 0,0365
Pg
9150 − 632 − 3 × 28 2 × 0,15
atau 3,65 %
4-16 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
e). Rugi rotasi = 500 W.
Daya keluaran sumbu rotor :
Po = Pm − Protasi = 7867 − 500 = 7367 W
P
7367
× 100% = 80%
Efisiensi motor : η = o × 100% =
9150
Pin
4.4. Torka
Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya elektrik di stator menjadi
daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga rotor, alih daya
tersebut adalah sebesar daya celah udara Pg dan ini memberikan torka
yang kita sebut torka elektromagnetik dengan perputaran sinkron. Jadi
jika T adalah torka elektromagnetik maka
Pg
Pg = Tω s
atau T =
(4.18)
ωs
Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang dibangkitkan
pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol. Besarnya arus rotor
ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen Gb.4.7. dengan s = 1 adalah
I 2' =
(R
1
V1
+
) + (X
2
R2'
1
+
(4.19)
)
2
X 2'
Besar torka asut adalah
Ta =
Pg
ωs
=
( )
1
× 3 I 2'
ωs
2
×
R2'
1
=
ωs
s
(R
'
1 + R2
3V12 R2'
) + (X
2
'
1 + X2
)
2
(4.20)
Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi besar.
Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi dengan
menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus. Sudah barang
tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka asut. Persamaan
(4.20) menunjukkan bahwa jika tegangan dturunkan setengahnya, torka
asut akan turun menjadi seperempatnya.
Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi
pertimbangan awal pada waktu perancangan mesin dilakukan. Torka ini
biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka nominal dan merupakan
kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan motor
melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa saat saja.
4-17
Perlu diingat bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan secara
kontinyu
sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak isolasi.
j ( X1 + X 2' )
I1
If
R1
V1 Rc
R2'
s
jXc
Gb.4.9. Rangkaian ekivalen pendekatan.
Karena torka sebanding dengan daya celah udara Pg , maka torka
maksimum terjadi jika alih daya ke rotor mencapai nilai maksimum. Dari
rangkaian ekivalen pendekatan Gb.4.9., teorema alih daya maksimum
mensyaratkan bahwa alih daya ke
(
R2'
= R12 + X 1 + X 2'
sm
)
2
R2'
akan maksimum jika
s
atau s m =
R12
(
R2'
+ X1 +
)
(4.21)
2
X 2'
Persamaan (4.21) memperlihatkan bahwa sm dapat diperbesar dengan
memperbesar R2' . Suatu motor dapat dirancang agar torka asut
mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai resistansi rotor.
Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah
V1
I 2' =
=
2
(
' 

 R + R2  + X + X '
1
2
 1 sm 


V1
2 R12
V1
=
+ 2 R1 R12
(
+ X1 +
(
)

 R1 + R12 + X1 + X 2'


2
) + 2(X
2
X 2'
1+
2
)  + (X
2

)
2
X 2'
Torka maksimum adalah
4-18 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
1+
X 2'
)
(4.22)
2
Tm =
( )
2 R2'
1
1
× 3 I 2'
=
sm ωs
ωs
3 V12
(
)

2
2  R1 + R12 + X 1 + X 2' 




(4.23)
Persamaan (4.23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak
tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (4.21) slip
maksimum sm berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi mengubah
resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan memberikan torka
maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya torka maksimum itu
sendiri.
torka dalam % nominal
Karakteristik Torka – Perputaran. Gb.4.10. memperlihatkan bagaimana
torka berubah terhadap perputaran ataupun terhadap slip. Pada gambar
ini diperlihatkan pula pengaruh resistansi belitan rotor terhadap
karakterik torka-perputaran. Makin tinggi resistansi belitan rotor, makin
besar slip tanpa mengubah besarnya torka maksimum.
resistansi rotor tinggi
300
resistansi rotor rendah
200
100
0
1
0
sm1
sm
0
ns
slip
perputaran
Gb.4.10. Karakteristik torka – perputaran
4-19
Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut karakteristik
spesifiknya sesuai dengan kemampuan dalam penggunaannya. Berikut
ini data motor yang secara umum digunakan, untuk keperluan memutar
beban dengan kecepatan konstan dimana tidak diperlukan torka asut
yang terlalu tinggi. Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas
angin, blower, alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam
keadaan tertentu diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi
dan jenis motor ini tidak boleh dibebani lebih secara berkepanjangan
karena akan terjadi pemanasan.
Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan
pengendaliannya. Pengendalian berfungsi untuk melakukan asut dan
menghentikan motor secara benar, membalik perputaran tanpa
merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung pada
sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu diperhatikan dalam
pengendalian adalah : (a) pembatasan torka asut (agar beban tidak
rusak); (b) pembatasan arus asut; (c) proteksi terhadap pembebanan
lebih; (d) proteksi terhadap penurunan tegangan; (e) proteksi terhadap
terputusnya salah satu fasa (yang dikenal dengan single phasing). Kita
cukupkan sampai di sini pembahasan kita mengenai motor asinkron.
Pengetahuan lebih lanjut akan kita peroleh pada pelajaran khusus
mengenai mesin-mesin listrik.
Tabel-4.1. Motor Dalam Aplikasi
Ia
s
Ta Tmaks
η
f.d.
HP
2p
[%] [%]
[%] [%]
[%]
0,5
s/d
200
2
4
6
8
10
12
14
16
150
150
135
125
120
115
110
105
200
s/d
250
500
s/d
1000
3
s/d
5
0,87
s/d
0,89
87
s/d
89
2p : jumlah kutub; Ta : torka asut; Tmaks : torka maks
Ia : arus asut; s : slip; f.d. : faktor daya; η : efisiensi.
4-20 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Download