Sudaryatno Sudirham Analisis Keadaan Mantap Rangkaian Sistem Tenaga ii BAB 4 Motor Asinkron 4.1. Konstruksi Dan Cara Kerja Motor merupakan piranti konversi dari energi elektrik a ke energi mekanik. Salah satu jenis yang banyak b1 c1 dipakai adalah motor asinkron atau motor induksi. Di sini kita hanya akan melihat motor asinkron tiga fasa. Stator memiliki alurc b alur untuk memuat belitanbelitan yang akan terhubung a1 pada sistem tiga fasa. Gb.4.1. hanya memperlihatkan tiga belitan pada stator sebagai belitan terpusat, yaitu belitan Gb.4.1. Motor asinkron. aa1 , bb1 dan cc1 yang berbeda posisi 120o mekanik. Susunan belitan ini sama dengan susunan belitan pada stator generator sinkron. Ketiga belitan ini dapat dihubungkan Y ataupun ∆ untuk selanjutnya disambungkan ke sumber tiga fasa. Rotor mempunyai alur-alur yang berisi konduktor dan semua konduktor pada rotor ini dihubung singkat di ujung-ujungnya. Inilah salah satu konstruksi rotor yang disebut rotor sangkar (susunan konduktor-konduktor itu berbentuk sangkar). Untuk memahami secara fenomenologis cara kerja motor ini, kita melihat kembali bagaimana generator sinkron bekerja. Rotor generator yang mendukung kutub magnetik konstan berputar pada porosnya. Magnet yang berputar ini mengimbaskan tegangan pada belitan stator yang membangun sistem tegangan tiga fasa. Apabila rangkaian belitan stator tertutup, misalnya melalui pembebanan, akan mengalir arus tiga fasa pada belitan stator. Sesuai dengan hukum Lenz, arus tiga fasa ini akan membangkitkan fluksi yang melawan fluksi rotor; kejadian ini kita kenal sebagai reaksi jangkar. Karena fluksi rotor adalah konstan tetapi berputar sesuai perputaran rotor, maka fluksi reaksi jangkar juga harus berputar sesuai perputaran fluksi rotor karena hanya dengan jalan itu 4-1 hukum Lenz dipenuhi. Jadi mengalirnya arus tiga fasa pada belitan rotor membangkitkan fluksi konstan yang berputar. Sekarang, jika pada belitan stator motor asinkron diinjeksikan arus tiga fasa (belitan stator dihubungkan pada sumber tiga fasa) maka akan timbul fluksi konstan berputar seperti layaknya fluksi konstan berputar pada reaksi jangkar generator sinkron. Demikianlah bagaimana fluksi berputar timbul jika belitan stator motor asikron dihubungkan ke sumber tiga fasa. Kita akan melihat pula secara skematis, bagaimana timbulnya fluksi berputar. Untuk itu hubungan belitan stator kita gambarkan sebagai tiga belitan terhubung Y yang berbeda posisi 120o mekanis satu sama lain seperti terlihat pada Gb.4.2.a. Belitan-belitan itu masing-masing dialiri arus ia , ib , dan ic yang berbeda fasa 120o elektrik seperti ditunjukkan oleh Gb.4.2.b. Masing-masing belitan itu akan membangkitkan fluksi yang berubah terhadap waktu sesuai dengan arus yang mengalir padanya. Kita perhatikan situasi yang terjadi pada beberapa titik waktu. Perhatikan Gb.4.2. Pada t1 arus ia maksimum negatif dan arus ib = ic positif. Ke-tiga arus ini masing-masing membangkitkan fluksi φa , φb dan φc yang memberikan fluksi total φtot . Kejadian ini berubah pada t2 , t3 , t4 dan seterusnya yang dari Gb.4.2. terlihat bahwa fluksi total berputar seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa. Peristiwa ini dikenal sebagai medan putar pada mesin asinkron. Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi antara jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran sinkron sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu f1 = p ns 120 f1 Hz atau n s = rpm 120 p (4.1) dengan f1 adalah frekuensi tegangan stator, ns adalah kecepatan perputaran medan putar yang kita sebut perputaran sinkron. Jumlah kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada belitan stator seperti pada contoh konstruksi mesin pada Gb.4.1. jumlah kutub adalah 2, sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran sinkron adalah 3000 rpm. Untuk mempuat jumlah kutub menjadi 4, belitan stator disusun seperti pada stator mesin sinkron pada Gb.4.1. 4-2 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga 1.1 c c1 0 -180 - 135 b1 b ic ia ia ib t1 t2 90 135 180 t ic t3 t4 ic φa φc φtot t2 ia ib φa φb t1 45 ic φa φtot φc 0 ib b). ic φb -45 ia - 1.1 a). ib -90 a1 a φtot φb φc ia ib φa φc φb φtot t3 t4 Gb.4.2. Terbentuknya fluksi magnetik yang berputar. Arus positif menuju titik netral, arus negatif meninggalkan titik netral. Fluksi total φtot tetap dan berputar. Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator akan mengimbaskan tegangan pada konduktor rotor. Karena konduktor rotor merupakan rangkaian tertutup, maka akan mengalir arus yang kemudian berinteraksi dengan medan magnetik yang berputar dan timbullah gaya sesuai dengan hukum Ampere. Dengan gaya inilah terbangun torka yang akan membuat rotor berputar dengan kecepatan perutaran n. Perhatikanlah bahwa untuk terjadi torka, harus ada arus mengalir di konduktor rotor dan untuk itu harus ada tegangan imbas pada konduktor rotor. Agar terjadi tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n harus lebih kecil dari kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu kecepatan perputaran sinkron ns) sebab jika kecepatannya sama tidak akan ada fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain harus terjadi beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip yang besarnya adalah : 4-3 s= ns − n ns (4.2) Nilai s terletak antara 0 dan 1. Rotor Belitan. Pada awal perkenalan kita dengan mesin asinkron, kita melihat pada konstruksi yang disebut mesin asinkron dengan rotor sangkar. Jika pada rotor mesin asinkron dibuat alur-alur untuk meletakkan susunan belitan yang sama dengan susunan belitan stator maka kita mempunyai mesin asinkron rotor belitan. Terminal belitan rotor dapat dihubungkan dengan cincin geser (yang berputar bersama rotor) dan melalui cincin geser ini dapat dihubungkan pada resistor untuk keperluan pengaturan perputaran. Skema hubungan belitan stator dan rotor diperlihatkan pada Gb.4.3; pada waktu operasi normal belitan rotor dihubung singkat. Hubungan seperti ini mirip dengan transformator. Medan putar akan mengimbaskan tegangan baik pada belitan stator maupun rotor. E1 belitan stator E2 belitan rotor Gb.4.3. Skema hubungan belitan stator dan rotor mesin asinkron rotor belitan. Garis putus-putus menunjukkan hubung singkat pada operasi normal. Tegangan imbas pada stator adalah : E1 = 4,44 f 1 K w1φ m (4.3) p ns = frekuensi tegangan 120 stator, φm adalah fluksi maksimum di celah udara, 1 adalah jumlah lilitan belitan stator. dengan Kw1 adalah faktor belitan stator, f = Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan imbas pada belitan rotor adalah 4-4 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga E 2 = 4,44 f 2 K w2 φ m (4.4) p ns = frekuensi tegangan 120 stator (karena rotor tidak berputar), φm adalah fluksi maksimum di celah udara sama dengan fluksi yang mengibaskan tegangan pada belitan stator, 2 adalah jumlah lilitan belitan rotor. dengan Kw2 adalah faktor belitan rotor, f = Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (4.2). Frekuensi tegangan imbas pada rotor menjadi f2 = p ( n s − n) p s n s = = s f Hz 120 120 (4.5) Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan frekuensi stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut frekuensi slip. Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan berputar menjadi E 22 = sE 2 (4.6) Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (4.5) dan (4.6) kita peroleh K E1 = 1 w1 = a E 2 2 K w2 (4.7) Situasi ini mirip dengan transformator tanpa beban. COTOH-4.1 : Tegangan seimbang tiga fasa 50 Hz diberikan kepada motor asinkron tiga fasa , 4 kutub. Pada waktu motor melayani beban penuh, diketahui bahwa slip yang terjadi adalah 0,05. Tentukanlah : (a) kecepatan perputaran medan putar relatif terhadap stator; (b) frekuensi arus rotor; (c) kecepatan perputaran medan rotor relatif terhadap rotor; (d) kecepatan perputaran medan rotor relatif terhadap stator; (e) kecepatan perputaran medan rotor relatif terhadap medan rotor. Penyelesaian: 4-5 (a) Relasi antara kecepatan medan putar relatif terhadap stator (kecepatan sinkron) dengan frekuensi dan jumlah kutub adalah p ns f = . Jadi kecepatan perputaran medan putar adalah 120 ns = 120 f 120 × 50 = = 1500 rpm p 4 (b) Frekuensi arus rotor adalah f 2 = sf1 = 0,05 × 50 = 2,5 Hz. (c) Karena belitan rotor adalah juga merupakan belitan tiga fasa dengan pola seperti belitan stator, maka arus rotor akan menimbulkan pula medan putar seperti halnya arus belitan stator menimbulkan medan putar. Kecepatan perputaran medan putar rotor relatif terhadap rotor adalah n2 = 120 f 2 120 × 2,5 = = 75 Hz p 4 (d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor harus sama dengan kecepatan perputaran medan stator, yaitu kecepatan sinkron 1500 rpm. (e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan kecepatan perputaran medan stator, kecepatan perputaran relatifnya adalah 0. 4-6 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga 4.2. Rangkaian Ekivalen Rangkaian ekivalen yang akan kita pelajari adalah rangkaian ekivalen per fasa. Rangkaian Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa adalah R1 dan reaktansinya adalah X1, sedangkan rugi-rugi inti dinyatakan dengan rangkaian paralel suatu resistansi Rc dan reaktansi Xφ seperti halnya pada transformator. Jika V1 adalah tegangan masuk per fasa pada belitan stator motor dan E1 adalah tegangan imbas pada belitan stator oleh medan putar seperti diberikan oleh (4.3), maka kita akan mendapatkan hubungan fasor V1 = I1 (R1 + jX 1 ) + E1 (4.8) Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan ini adalah pada frekuensi sinkron ωs = 2π f1. Rangkaian ekivalen stator menjadi seperti pada Gb.3.4. yang mirip rangkaian primer transformator. Perbedaan terletak pada besarnya If yang pada transformator berkisar antara 2 − 5 persen dari arus nominal, sedangkan pada motor asinkron arus ini antara 25 − 40 persen arus nominal, tergantung dari besarnya motor. I1 A R1 V1 jX1 Ic Rc If Iφ E1 jXc B Gb.4.4. Rangkaian ekivalen stator. Selain itu reaktansi bocor X1 pada motor jauh lebih besar karena adanya celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan dalam stator sedangkan pada transformator belitan terpusat pada intinya. Tegangan E1 pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini haruslah merefleksikan peristiwa yang terjadi di rotor. 4-7 Rangkaian Ekivalen Rotor. Jika rotor dalam keadaan berputar maka tegangan imbas pada rotor adalah E22 . Jika resistansi rotor adalah R22 dan reaktansinya adalah X22 maka arus rotor adalah: E 22 (4.9) I 22 = (R22 + jX 22 ) Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai reaktansi pada persamaan (4.9) ini adalah pada frekuensi rotor ω2 = 2π f2 , berbeda dengan persamaan fasor (4.8). Kita gambarkan rangkaian untuk persamaan (4.9) ini seperti pada Gb.4.5.a. I 22 A′ I2 R22 jX22 A′ E 22 R2 jsX2 sE 2 B′ B′ a) b) I2 I2 A′ E2 R2 s B′ jX2 A′ E2 R2 jX2 R2 B′ c) 1− s s d) Gb.5.5. Pengembangan rangkaian ekivalen rotor. Menurut (4.6) E22 = sE2 dimana E2 adalah tegangan rotor dengan frekuensi sinkron ωs. Reaktansi rotor X22 dapat pula dinyatakan dengan frekuensi sinkron; jika L2 adalah induktansi belitan rotor (yang merupakan besaran konstan karena ditentukan oleh konstruksinya) maka kita mempunyai hubungan X 22 = ω 2 L2 = sω1 L2 = sX 2 (4.10) Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron X 2 = ω1L2 . Karena Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita nyatakan resistansi rotor sebagai R2 = R22. Dengan demikian maka arus rotor menjadi 4-8 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga I2 = sE2 R2 + jsX 2 (4.11) Persamaan fasor tegangan dan arus rotor sekarang ini adalah pada frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang terlihat pada Gb.4.5.b. Tegangan pada terminal rotor A´B´ adalah tegangan karena ada slip yang besarnya adalah sE2. Dari rangkaian ini kita dapat menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor per fasa, yaitu Pcr = I 22 R2 (4.12) Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (4.11) kita bagi dengan s kita akan mendapatkan I2 = E2 R2 + jX 2 s (4.13) Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I2 dan rangkaian dari persamaan ini adalah seperti pada Gb.4.5.c. Walaupun demikian ada perbedaan penafsiran secara fisik. Tegangan pada terminal rotor A´B´ sekarang adalah tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan rotor tidak berputar dengan nilai seperti diberikan oleh (4.14) dan bukan tegangan karena ada slip. Jika pada Gb.4.5.b. kita mempunyai rangkaian riil rotor dengan resistansi konstan R dan tegangan terminal rotor yang tergantung dari slip, maka pada Gb.4.28.c. kita mempunyai rangkaian ekivalen rotor dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi yang tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir ini kita sebut tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya yang diserap rotor kita sebut daya celah udara, yaitu : Pg = I 22 R2 s (4.14) Daya ini jauh lebih besar dari Pcr pada (4.12). Pada mesin besar nilai s adalah sekitar 0,02 sehingga Pg sekitar 50 kali Pcr. Perbedaan antara (4.14) dan (4.12) terjadi karena kita beralih dari tegangan rotor riil yang berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan frekuensi sinkron. Daya nyata Pg tidak hanya mencakup daya hilang pada resistansi belitan saja tetapi mencakup daya mekanis dari motor. Daya mekanis dari rotor ini sendiri mencakup daya keluaran dari poros motor untuk memutar beban 4-9 ditambah daya untuk mengatasi rugi-rugi rotasi yaitu rugi-rugi akibat adanya gesekan dan angin. Oleh karena itu daya Pg kita sebut daya celah udara artinya daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara yang meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan daya mekanis rotor. Dua komponen daya ini dapat kita pisahkan jika kita menuliskan R2 1 − s = R2 + R2 s s (4.15) Suku pertama (4.15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor (per fasa) Pcr = I 22 R2 dan suku kedua memberikan daya keluaran mekanik ekivalen 1− s Pm = I 22 R2 s (4.16) Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor seperti pada Gb.4.5.d. Rangkaian Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian ekivalen untuk mesin asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar dapat menghubungkan rangkaian rotor dengan rangkaian stator, kita harus melihat tegangan rotor E2 dari sisi stator yang memberikan E1 = aE 2 . Jika E 2 pada Gb.4.5.d. kita ganti dengan E1 = a E 2 , yaitu tegangan rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor dan semua parameter rotor harus pula dilihat dari sisi stator menjadi I 2' , R 2' dan X 2' . Dengan demikian kita dapat menghubungkan terminal rotor A´B´ ke terminal AB dari rangkaian stator pada Gb.4.4. dan mendapatkan rangkaian ekivalen lengkap seperti terlihat pada Gb.4.6. 4-10 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga ' A I2 I1 V1 If jX1 R1 Rc jX 2' R2' R2' jXc 1− s s B Gb.4.6. Rangkaian ekivalen lengkap motor asikron. Aliran Daya. Aliran daya per fasa dalam motor asinkron dapat kita baca dari rangkaian ekivalen sebagai berikut. Daya (riil) yang masuk ke stator motor melalui tegangan V1 dan arus I1 digunakan untuk : • mengatasi rugi tembaga stator : Pcs = I12 R1 • mengatasi rugi-rugi inti stator : Pinti • daya masuk ke rotor, disebut daya celah udara Pg = ( I 2' ) 2 R2' , s yang digunakan untuk • • mengatasi rugi-rugi tembaga rotor : Pcr = ( I 2' ) 2 R2' memberikan daya mekanis rotor ' 2 ' 1 − s Pm = ( I 2 ) R2 , yang terdiri dari : s • daya untuk mengatasi rugi rotasi (gesekan dan angin) : Protasi • daya keluaran di poros rotor : Po. Jadi urutan aliran daya secara singkat adalah : Po = Pm − Protasi ; Pm = Pg − Pcr ; Pg = Pin − Pinti − Pcs 4-11 Rangkaian Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor asinkron kita sering menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan yang lebih sederhana seperti pada Gb.4.7. Dalam rangkaian ini rugi-rugi tembaga stator dan rotor disatukan menjadi ( I 2' ) 2 Re . jX e = jX1 + jX 2' I1 If V1 Rc Re = R1 + R2' jXc R2' 1− s s Gb.4.7. Rangkaian ekivalen pendekatan. Bagaimana Re dan Xe ditentukan akan kita bahas berikut ini. 4.3. Penentuan Parameter Rangkaian Pengukuran Resistansi. Resistansi belitan stator maupun belitan rotor dapat diukur. Namun perlu diingat bahwa jika pengukuran dilakukan dengan menggunakan metoda pengukuran arus searah dan pengukuran dilakukan pada temperatur kamar, harus dilakukan koreksi-koreksi. Dalam pelajaran lebih lanjut kita akan melihat bahwa resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dibandingkan dengan resistansi pada arus searah karena adanya gejala yang disebut efek kulit. Selain dari itu, pada kondisi kerja normal, temperatur belitan lebih tinggi dari temperatur kamar yang berarti nilai resistansi akan sedikit lebih tinggi. Uji Beban ol. Dalam uji beban nol stator diberikan tegangan nominal sedangkan rotor tidak dibebani dengan beban mekanis. Pada uji ini kita mengukur daya masuk dan arus saluran. Daya masuk yang kita ukur adalah daya untuk mengatasi rugi tembaga pada beban nol, rugi inti, dan daya celah udara untuk mengatasi rugi rotasi pada beban nol. Dalam uji ini slip sangat kecil, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan sehingga biasanya arus eksitasi dianggap sama dengan arus uji beban nol yang terukur. Uji Rotor Diam. Uji ini analog dengan uji hubng singkat pada transformator. Dalam uji ini belitan rotor di hubung singkat tetapi rotor ditahan untuk tidak berputar. Karena slip s = 1, maka daya mekanis keluaran adalah nol. Tegangan masuk pada stator dibuat cukup rendah 4-12 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga untuk membatasi arus rotor pada nilai yang tidak melebihi nilai nominal. Selain itu, tegangan stator yang rendah (antara 10 – 20 % nominal) membuat arus magnetisasi sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Rangkaian ekivalen dalam uji ini adalah seperti pada Gb.4.8. Perhatikan bahwa kita mengambil tegangan fasa-netral dalam rangkaian ekivalen ini. I0 jX e = jX1 + jX 2' Re = R1 + R2' V fn Gb.4.8. Rangkaian ekivalen motor asikron pada uji rotor diam. Jika Pd adalah daya tiga fasa yang terukur dalam uji rotor diam, Id adalah arus saluran dan Vd adalah tegangan fasa-fasa yang terukur dalam uji ini, maka P Re = X 1 + jX 2' = d 3I d2 Ze = Vd (4.17) Id 3 X e == Z e2 − Re2 = X 1 + X 2' Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan antara X1 dan X2´ tidak diperlukan dan kita langsung memanfaatkan Xe. COTOH-4.2 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga fasa 50 Hz adalah 75 kW. Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugi-rugi inti stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga stator adalah 2700 W. Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A.. Hitunglah efisiensi motor jika diketahui slip s = 3,75%. 4-13 Penyelesaian: Dari rangkaian ekivalen, daya mekanik ekivalen adalah 1 − s Pm = ( I 2' ) 2 R2' . s Pm dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor dan rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah daya keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui 900 W sehingga Pm = 75000 + 900 = 75900 W dan rugi-rugi tembaga rotor adalah P s 75900 × 0,0375 Pcr = ( I 2' ) 2 R2' = m = = 2957 W 1− s 1 − 0,0375 Efisiensi motor adalah η= Pkeluaran ×100% Pkeluaran + rugi − rugi 75000 × 100% 75000 + 4200 + 2700 + 900 + 2957 = 87,45% = COTOH-4.3 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga fasa rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data berikut: daya masuk Pd = 10 kW, arus saluran Id = 250 A, Vd = 65 Vdan pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R1 = 0,02 Ω per fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator. Penyelesaian : Menurut (4.17) kita dapat menghitung Re = Pd 3I d2 = 10000 3 × (250) 2 = 0,0533 Ω per fasa R2' = Re − R1 = 0,0533 − 0,02 = 0,0333 Ω per fasa 4-14 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga COTOH-4.4 : Pada sebuah motor asinkron tiga fasa 10 HP, 4 kutub, 220 V, 50 Hz, hubungan Y, dilakukan uji beban nol dan uji rotor diam. Beban nol : V0 = 220 V; I0 = 9,2 A; P0 = 670 W Rotor diam : Vd = 57 V; Id = 30 A; Pd = 950 W. Pengukuran resistansi belitan stator menghasilkan nilai 0,15 Ω per fasa. Rugi-rugi rotasi sama dengan rugi inti stator. Hitung: (a) parameter-parameter yang diperlukan untuk menggambarkan rangkaian ekivalen (pendekatan); (b) arus eksitasi dan rugi-rugi inti. Penyelesaian : a). Karena terhubung Y, tegangan per fasa adalah 220 V1 = = 127 V . 3 Uji rotor diam memberikan : Re = Pd 3( I d ) 2 = 950 3 × (30) 2 = 0,35 Ω ; R2' = Re − R1 = 0,35 − 0,15 = 0,2 Ω Ze = Vd 3 × Id = 57 3 × 30 = 1,1 Ω ; X e = Z e2 − Re2 = (1,1) 2 − (0,35) 2 = 3,14 Ω b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan; jadi arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap arus eksitasi If . Daya pada uji beban nol P0 = 670 = V0 I f cos θ 3 ⇒ cos θ = 670 220 3 × 9,2 = 0,19 lagging. Jadi : I f = 9,2∠θ = 9,2∠ − 79 o . 4-15 Rugi inti : Pinti = P0 − 3 × I 02 R1 = 670 − 3 × 9,2 2 × 0,15 = 632 W jX e = j 3,14 I1 o I f R = 0,35 e 127∠0 R c V jXc 0,2 1− s s COTOH-4.5 : Motor pada Contoh-4.3. dikopel dengan suatu beban mekanik, dan pengukuran pada belitan stator memberikan data : daya masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82. Tentukanlah : (a) arus rotor dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip yang terjadi; (d) efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika diketahui rugi rotasi 500 W. Penyelesaian : a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data pengukuran dapat kita ketahui fasor arus stator, yaitu: I1 = 28∠ − 35 o . Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah : I 2' = I1 − I f = 28∠ − 35 o − 9,2∠ − 79 o = 28(0,82 − j 0,57 ) − 9,2(0,19 − j 0,98) = 21,2 − j 6,94 = 22,3∠ − 18 o A b). Daya mekanik rotor adalah : Pm = Pin − Pinti − Pcs − Pcr = 9150 − 632 − 3 × 28 2 × 0,15 − 3 × 22,3 2 × 0,2 = 7867 W c). Slip dapat dicari dari formulasi Pg = Pin − Pinti − Pcs = s= 3 × ( I 2' ) 2 R2' . s 3( I 2' ) 2 R2' 3 × 22,3 2 × 0,2 = = 0,0365 Pg 9150 − 632 − 3 × 28 2 × 0,15 atau 3,65 % 4-16 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga e). Rugi rotasi = 500 W. Daya keluaran sumbu rotor : Po = Pm − Protasi = 7867 − 500 = 7367 W P 7367 × 100% = 80% Efisiensi motor : η = o × 100% = 9150 Pin 4.4. Torka Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya elektrik di stator menjadi daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga rotor, alih daya tersebut adalah sebesar daya celah udara Pg dan ini memberikan torka yang kita sebut torka elektromagnetik dengan perputaran sinkron. Jadi jika T adalah torka elektromagnetik maka Pg Pg = Tω s atau T = (4.18) ωs Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang dibangkitkan pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol. Besarnya arus rotor ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen Gb.4.7. dengan s = 1 adalah I 2' = (R 1 V1 + ) + (X 2 R2' 1 + (4.19) ) 2 X 2' Besar torka asut adalah Ta = Pg ωs = ( ) 1 × 3 I 2' ωs 2 × R2' 1 = ωs s (R ' 1 + R2 3V12 R2' ) + (X 2 ' 1 + X2 ) 2 (4.20) Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi besar. Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi dengan menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus. Sudah barang tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka asut. Persamaan (4.20) menunjukkan bahwa jika tegangan dturunkan setengahnya, torka asut akan turun menjadi seperempatnya. Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi pertimbangan awal pada waktu perancangan mesin dilakukan. Torka ini biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka nominal dan merupakan kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan motor melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa saat saja. 4-17 Perlu diingat bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan secara kontinyu sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak isolasi. j ( X1 + X 2' ) I1 If R1 V1 Rc R2' s jXc Gb.4.9. Rangkaian ekivalen pendekatan. Karena torka sebanding dengan daya celah udara Pg , maka torka maksimum terjadi jika alih daya ke rotor mencapai nilai maksimum. Dari rangkaian ekivalen pendekatan Gb.4.9., teorema alih daya maksimum mensyaratkan bahwa alih daya ke ( R2' = R12 + X 1 + X 2' sm ) 2 R2' akan maksimum jika s atau s m = R12 ( R2' + X1 + ) (4.21) 2 X 2' Persamaan (4.21) memperlihatkan bahwa sm dapat diperbesar dengan memperbesar R2' . Suatu motor dapat dirancang agar torka asut mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai resistansi rotor. Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah V1 I 2' = = 2 ( ' R + R2 + X + X ' 1 2 1 sm V1 2 R12 V1 = + 2 R1 R12 ( + X1 + ( ) R1 + R12 + X1 + X 2' 2 ) + 2(X 2 X 2' 1+ 2 ) + (X 2 ) 2 X 2' Torka maksimum adalah 4-18 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga 1+ X 2' ) (4.22) 2 Tm = ( ) 2 R2' 1 1 × 3 I 2' = sm ωs ωs 3 V12 ( ) 2 2 R1 + R12 + X 1 + X 2' (4.23) Persamaan (4.23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (4.21) slip maksimum sm berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi mengubah resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan memberikan torka maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya torka maksimum itu sendiri. torka dalam % nominal Karakteristik Torka – Perputaran. Gb.4.10. memperlihatkan bagaimana torka berubah terhadap perputaran ataupun terhadap slip. Pada gambar ini diperlihatkan pula pengaruh resistansi belitan rotor terhadap karakterik torka-perputaran. Makin tinggi resistansi belitan rotor, makin besar slip tanpa mengubah besarnya torka maksimum. resistansi rotor tinggi 300 resistansi rotor rendah 200 100 0 1 0 sm1 sm 0 ns slip perputaran Gb.4.10. Karakteristik torka – perputaran 4-19 Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut karakteristik spesifiknya sesuai dengan kemampuan dalam penggunaannya. Berikut ini data motor yang secara umum digunakan, untuk keperluan memutar beban dengan kecepatan konstan dimana tidak diperlukan torka asut yang terlalu tinggi. Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas angin, blower, alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam keadaan tertentu diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi dan jenis motor ini tidak boleh dibebani lebih secara berkepanjangan karena akan terjadi pemanasan. Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan pengendaliannya. Pengendalian berfungsi untuk melakukan asut dan menghentikan motor secara benar, membalik perputaran tanpa merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung pada sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu diperhatikan dalam pengendalian adalah : (a) pembatasan torka asut (agar beban tidak rusak); (b) pembatasan arus asut; (c) proteksi terhadap pembebanan lebih; (d) proteksi terhadap penurunan tegangan; (e) proteksi terhadap terputusnya salah satu fasa (yang dikenal dengan single phasing). Kita cukupkan sampai di sini pembahasan kita mengenai motor asinkron. Pengetahuan lebih lanjut akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin listrik. Tabel-4.1. Motor Dalam Aplikasi Ia s Ta Tmaks η f.d. HP 2p [%] [%] [%] [%] [%] 0,5 s/d 200 2 4 6 8 10 12 14 16 150 150 135 125 120 115 110 105 200 s/d 250 500 s/d 1000 3 s/d 5 0,87 s/d 0,89 87 s/d 89 2p : jumlah kutub; Ta : torka asut; Tmaks : torka maks Ia : arus asut; s : slip; f.d. : faktor daya; η : efisiensi. 4-20 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga