Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengendalian Internal
2.1.1 Pengertian pengendalian internal
Amir Tunggal Widjaja dalam bukunya COSO-BASED AUDITING
(2000: 3), COSO (The Committee of Sponsoring Organization of The Treadway
Committee), yang didukung The American Institute of Certified Publik
Accountants (AICPA), The Institute of Internal Auditors (IIA), The American
Accounting Association (AAA), dan The Institute of Management Accountants
(IMA), serta para eksekutif perusahaan mendefinisikan pengendalian internal
sebagai:
“Internal Control: a process, effected by an entity’s board of directors,
management, and other personnel, designed to provide reasonable
assurance regarding the achievement of objectives in the following
categories:
• Effectiveness ang efficiency of operations.
• Reliability of financial reporting.
• Compliance with applicable laws and regulations.”
Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa pengendalian internal adalah
suatu proses yang dijalankan oleh direktur, manajemen dan personil lainnya dari
suatu organisasi, dan didesain untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam
pencapaian kategori:1) Efektifitas dan efisiensi operasi, 2) Keandalan laporan
keuangan dan 3) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
2.1.2 Tujuan pengendalian internal
Pengendalian internal dirancang dengan memperhatikan kepentingan
manajemen perusahaan dalam menyelenggarakan operasi perusahaannya dan juga
memperhatikan aspek biaya yang harus dikeluarkan, serta manfaat yang
diharapkan.
Sesuai dengan Standards for The Professional Practice of Internal
Auditing (Standar 300), Scope of Work, lima tujuan utama pengendalian internal
adalah untuk meyakinkan:
1. Keandalan dan integritas informasi.
Sistem informasi telah menjadi semakin meningkat seiring dengan
semakin besar dan kompleknya organisasi. Sistem informasi sendiri telah
berkembang pula menjadi semakin rumit. Pada prinsipnya sistem informasi
terbagi menjadi dua aspek, yaitu: aspek sistem informasi akuntansi keuangan dan
aspek sistem operasi. Tujuan pengendalian intern untuk menjaga dapat
dipercayanya dan integritas sistem informasi adalah sangat penting untuk proses
pengambilan keputusan oleh manajemen.
2. Ketaatan dengan kebijakan, rencana, prosedur, hukum dan peraturan.
Salah satu cara yang dipakai manajemen untuk menjaga pengendalian
intern adalah dengan menetapkan berbagai kebijakan, rencana dan prosedur.
Undang-undang dan peraturan biasanya ditetapkan oleh pihak luar organisasi.
Tujuan dari pengendalian ini adalah untuk memastikan bahwa suatu operasi dapat
berjalan dengan baik, sistematis dan beraturan.
3. Pengamanan aktiva.
Pengendalian yang paling nyata adalah desain dan implementasi untuk
melindungi aktiva-aktiva organisasi. Pengendalian-pengendalian ini mencakup
antara lain: kunci-kunci setiap akses pintu masuk/keluar, password komputer,
lemari dan lain-lain.
4. Ekonomis dan efisiansi operasi.
Prinsip dasar yang harus ditetapkan organisasi adalah menggunakan
sumber daya yang terbatas seekonomis dan seefisien mungkin untuk memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya.
5. Pencapaian tujuan dan sasaran operasi atau program yang ditetapkan.
Fokus seluruh pengendalian intern adalah bagaimana aktivitas organisasi
secara keseluruhan harus mengarah pada pencapaian tujuan organisasi.
2.1.3 Komponen-komponen pengendalian internal
Pengendalian internal suatu entitas terdiri dari lima komponen, yaitu:
1. Lingkungan pengendalian (control environment)
2. Penaksiran Risiko (risk assessment)
3. Aktivitas pengendalian (control activities)
4. Pemrosesan informasi dan komunikasi (information processing and
communication)
5. Pemantauan (monitoring)
Kelima komponen pengandalian semuanya harus ada dan berfungsi untuk
menyimpulkan bahwa pengendalian internal efektif dalam setiap kategori tujuan.
1. Lingkungan pengendalian (control environment)
Terdiri dari tindakan, kebijakan dan prosedur yang menggambarkan sikap
manajemen puncak, direksi, dan pemilih suatu entitas tentang pengendalian
internal dan pentingnya bagi entitas. Lingkungan pengendalian membentuk
fondasi untuk keempat komponen pengendalian yang lain. Ketiadaan satu atau
lebih unsur yang penting dari lingkungan pengendalian akan menyebabkan sistem
tidak efektif, meskipun terdapat kekuatan dari sisi empat komponen pengendalian
internal yang lain. Terdapat tujuh faktor lingkungan pengendalian, yaitu:
1) Integritas dan nilai etis
Efektifitas pengendalian internal suatu entitas merupakan fungsi dari
integritas dan nilai etis dari individual yang menciptakan, mengadministrasikan,
dan memonitor pengendalian. Suatu entitas perlu menetapkan standar etis dan
perilaku yang dikomunikasikan kepada karyawan dan diperkuat dengan praktik
dari hari ke hari. misalnya manajemen harus memindahkan insentif atau godaan
yang memungkinkan personil untuk melakukan tindakan yang tidak jujur, illegal,
atau yang tidak etis.
2) Komitmen terhadap kompetensi
Kompetensi merupakan pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan
untuk menyelesaikan tugas-tugas individual. Secara konseptual, manajemen harus
menspesifikasikan tingkat kompetensi kedalam tingkat pengetahuan dan
keterampilan. Contohnya, suatu entitas harus mempunyai uraian pekerjaan (job
description) yang formal atau tidak formal untuk setiap pekerjaan. Kemudian
manajemen harus merekrut karyawan yang mempunyai kompetensi yang tepat
untuk pekerjaan mereka. Kebijakan sumber daya manusia yang baik membantu
menarik dan mempertahankan karyawan yang dapat dipercaya.
3) Kebijakan dan praktik sumber daya manusia
Mutu pengendalian internal merupakan fungsi langsung dari mutu personil
yang menjalankan sistem. Entitas harus mempunyai kebijakan personil yang baik
untuk penerimaan, pelatihan, evaluasi, konseling, promosi, kompensasi, dan
tindakan perbaikan. Contohnya dalam menerima karyawan, standar-standar yang
menekankan mencari individual yang paling berkualifikasi, dengan penekanan
pada latar belakang pendidikan, pengalaman kerja sebelumnya, dan bukti
integritas dan perilaku etis yang menyatakan komitmen entitas untuk
mempekerjakan orang yang kompeten dan dapat dipercaya.
4) Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab
Pemberian wewenang dan tanggungjawab mencakup kebijakan yang
berkaitan dengan praktik bisnis yang dapat diterima, pengetahuan dan pengalaman
personil kunci, dan sumber daya yang diberikan untuk melaksanakan kewajiban.
Juga termasuk kebijakan dan komunikasi yang diarahkan untuk memastikan
bahwa semua personil memahami tujuan entitas.
5) Filosofi manajemen dan gaya operasi
Menetapkan, mempertahankan, dan memonitor pengendalian internal
suatu entitas merupakan tanggung jawab manajemen. Filosofi manajemen dan
gaya operasi dapat secara signifikan mempengaruhi mutu pengendalian internal.
Karakteristik seperti yang berikut dapat memberi isyarat informasi yang penting
kepada auditor filosofi manajemen dan gaya operasi:
-
Pendekatan manajemen dalam mengambil dan memonitor risiko bisnis.
-
Sikap dari tindakan manajemen terhadap pelaporan keuangan (seleksi
konservatif atau agresif dari berbagai prinsip akuntansi yang tersedia dan
ketelitian
dan
konservatisme
terhadap
estimasi
akuntansi
yang
dikembangkan.
-
Sikap manajemen terhadap pengolahan informasi, fungsi dan personil
akuntansi
6) Dewan direksi dan partisipasi panitia audit
Dewan direksi yang efektif adalah tidak terikat pada manajemen, dan
anggotanya dilibatkan dalam dan meneliti aktivitas manajemen. Dewan
mendelegasi tanggung jawab untuk pengendalian internal kepada manajemen dan
dibebankan untuk menyediakan penilaian independen secara teratur dari
pengadilan yang dibuat manajemen.
7) Struktur organisasi
Struktur organisasi mendefinisikan bagaimana wewenang dan tanggung
jawab didelegasikan dan dimonitor. Struktur organisasi memberikan suatu
kerangka kerja untuk merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, dan
memonitor operasi. menetapkan suatu struktur organisasi yang relevan mencakup
mempertimbangkan area kunci dari wewenang dan tanggung jawab dan lini
pelaporan yang tepat.
2. Penaksiran Risiko (risk assessment)
Resiko yang relevan dengan pelaporan keuangan mencakup peristiwa dan
keadaan intern dan ekstern yang dapat terjadi dan secara negatif mempengaruhi
kemampuan entitas untuk mencatat, mengolah, meringkas dan melaporkan data
keuangan dengan konsisten dengan asersi manajemen dalam laporan keuangan.
Jenis-jenis risiko adalah sebagai berikut:
-
Risiko bisnis, apa yang dapat menyebabkan pelanggan lari ke tempat lain.
-
Risik operasi, kesalahan yang terjadi pada sistem dan prosedur operasi
yang menimbulkan ketidak efektifan dan ketidakefisienan operasi.
-
Risiko keuangan, penyebab terkadinya kerugian financial dan ketidak
akuratan laporan keuangan.
-
Risiko ketaatan, penyebab terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang
berdampak pengenaan sanksi dan kerugian kepada organisasi.
3. Aktivitas pengendalian (control activities)
Aktivitas pengendalian merupakan kebijakan dan prosedur yang
membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan diambil untuk
menghadapi risiko-risiko yang bersangkutan dalam mencapai tujuan entitas.
Aktivitas pengendalian yang relevan terhadap audit mencakup:
1) Penelaahan kinerja (performance appraisal)
Sistem akuntansi yang baik harus mempunyai pengendalian yang secara
independen memeriksa kinerja individual atau proses dalam sistem. Beberapa
contoh mencakup membandingkan kinerja aktual dengan anggaran, forecast, dan
kinerja periode sebelumnya; menyelidiki hubungan data operasi dan keuangan
yang diikuti analisis, investigasi perbedaan yang tidak diharapkan, dan tindakan
korektif dan menelaah kinerja fungsional atau aktivitas.
2) Pengolahan informasi (informasi processing)
Terdapat dua kategori luas dari aktivitas pengendalian sistem informasi,
yaitu:
a. Pengendalian umum (general controls), berkaitan dengan lingkungan
pengolahan informasi secara keseluruhan dan meliputi pengendalian
terhadap operasi pusat data, akuisisi dan pemeliharaan perangkat lunak
sistem, access security, pengembangan dan pemeliharaan pengembangan
sistem.
b. Pengendalian aplikasi (application controls), berlaku pada pengolahan
aplikasi individual dan membantu untuk meyakinkan kelengkapan dan
akurasi pengolahan transaksi, otorisasi dan validitas.
3) Pengendalian fisik (physical controls)
Pengendalian ini mencakup pengamanan fisik aktiva. Pengendalian fisik
meliputi pengamanan yang memadai, seperti fasilitas yang diamankan, otorisasi
untuk akses ke program computer dan arsip data serta penghitungan aktiva
berkala, seperti persediaan dan perbandingan dengan catatan pengendalian.
4) Pemisahan fungsi (segregation of duties)
Pemisahan fungsi penting bagi suatu entitas untuk memisahkan otorisasi
transaksi, pencatatan transaksi, dan penyimpanan aktiva yang berkaitan. Kinerja
independen dari setiap fungsi tersebut mengurangi kesempatan bagi setiap orang
dalam posisi baik melakukan dan menyembunyikan kesalahan atau kecurangan
dalam tugas normalnya.
4. Pemrosesan informasi dan komunikasi (information processing and
communication)
Sistem informasi yang relevan terhadap tujuan pelaporan keuangan, yang
meliputi sistem akuntansi, terdiri dari metoda dan catatan yang ditetapkan untuk
mencatat, mengolah, mengikhtisarkan, dan melaporkan transaksi suatu entitas dan
mempertahankan akuntabilitas untuk aktiva dan utang yang berkaitan. Suatu
sistem akuntansi yang efektif memberikan pertimbangan yang tepat untuk
menempatkan metoda dan catatan yang akan:
1) Mengidentifikasi dan mencatat semua transaksi yang absah
2) Menguraikan dengan tepat waktu transaksi-transaksi dalam detil yang
memadai untuk memungkinkan klasifikasi transaksi yang tepat untuk
pelaporan keuangan.
3) Mengukur nilai transaksi dalam suatu keadaan yang memungkinkan
pencatatan nilai moneter transaksi tersebut secara tepat dalam laporan
keuangan.
4) Menentukan periode waktu transaksi tersebut terjadi untuk memungkinkan
pencatatan transaksi dalam periode akuntansi yang tepat.
5) Secara tepat menyajikan transaksi dan pengungkapan yang berkaitan
dalam laporan keuangan.
Komunikasi mencakup memberikan pemahaman peranan individual dan
tanggung jawab yang berkaitan dengan pengendalian internal atas pelaporan
keuangan. Komunikasi meliputi sejauh mana personil memahami bagaimana
aktivitas mereka dalam sistem informasi pelaporan keuangan berkaitan dengan
pekerjaan dari yang lain.
Manual kebijakan, manual akuntansi pelaporan dan memorandum
mengkomunikasikan kebijakan dan prosedur kepada personil entitas. Komunikasi
dapat dilakukan secara lisan atau melalui tindakan manajemen.
5. Pemantauan (monitoring)
Untuk memberikan kepastian yang memadai bahwa tujuan suatu entitas
dapat tercapai, manajemen harus memonitor pengendalian internal untuk
menentukan apakah pengendalian internal beroperasi seperti yang diinginkan dan
pengendalian internal dimodifikasi agar sesuai dengan perubahan dalam kondisi.
Monitoring merupakan suatu proses yang menilai mutu pengendalian
internal sepanjang waktu. Monitoring mencakup personil yang tepat untuk menilai
disain dan operasi pengendalian dengan dasar yang tepat waktu dan mengambil
tindakan perbaikan yang diperlukan. Motnitoring dapat dilakukan atas aktivitas
yang sedang berjalan atau evaluasi terpisah.
2.1.4 Keterbatasan pengendalian internal
Menurut Hiro Tugiman (2002: 8) beberapa keterbatasan pengendalian
internal dapat disebabkan antara lain:
1. Banyak pengendalian yang ditetapkan memiliki tujuan yang tidak
jelas.
2. Pengendalian lebih diartikan sebagai tujuan akhir yang harus dicapai
dan bukan sebagai alat atau sarana pencapaian tujuan organisasi.
3. Pengendalian intern ditetapkan secara berlebih tanpa memperhatikan
cost dan benefit-nya.
2.2 Zakat
2.2.1 Pengertian zakat
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al
barakatu ‘keberkahan’, al namaa ‘pertumbuhan dan perkembangan’ , aththaharatu ‘kesucian, dan ash-shalahu ‘keberesan’. Sedangkan secara istilah,
meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda
antara satu dan lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat itu
adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT
mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak
menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula.
2.2.2 Hikmah dan tujuan zakat
Salah satu pengertian zakat adalah “tumbuh”, yaitu menumbuhkan dan
mengembangkan martabat manusia. Di sini zakat mengandung makna
pemberdayaan diri terhadap seorang yang lemah. Untuk itu, zakat harus menjadi
kekuatan yang mendorong, memperbaiki, dan meningkatkan keadaan bagi
penerimanya.
Zakat adalah ibadah dalam bidang harta, mengandung hikmah dan manfaat
yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat
(muzakki), penerimanya (mustahik), harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun
bagi masyarakat keseluruhan.
Departemen Agama RI zakat mengandung hikmah dan tujuan tertentu.
Hikmah zakat adalah sifat-sifat rohaniah dan filosofis yang terkandung dalam
lembaga zakat. Dimaksud dengan tujuan zakat di sini ialah sasaran praktisnya.
Dari tujuan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Membantu, mengurangi dan mengangkat kaum fakir miskin dari
kesulitan hidup dan penderitaan mereka.
2. Membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh al
gharimin, ibnu sabil dan para mustahik lainnya.
3. Membina dan merentangkan tali solidaritas (persaudaraan) sesama
umat manusia.
4. Mengimbangi ideologi kapitalisme dan komunisme.
5. Menghilangkan sikap bakhil dan loba pemilik kekayaan dan penguasa
modal.
6. Menghindarkan
penumpukan
kekayaan
perseorangan
yang
dikumpulkan di atas penderitaan orang lain.
7. Mencegah jurang pemisah kaya miskin yang dapat menimbulkan
malapetaka dan kejahatan sosial.
8. Mengembangkan tanggung jawab perseorangan terhadap kepentingan
masyarakat dan kepentingan umum.
9. Mendidik untuk melaksanakan disiplin dan loyalitas seorang untuk
menjalankan kewajibannya dan menyerahkan hak orang lain.
Sedangkan tujuan dan hikmah lain dari zakat menurut Didin Hafidhuddin
dalam buku “Zakat dalam Perekonomian Modern” (2004: 10-15), antara lain:
1. Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmatNya, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi,
menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan
ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta
yang dimiliki.
2. Zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong
membantu dan membina mereka terutama fakir miskin, kearah kehidupan
yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT,
terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri,dengki
hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika mereka melihat
orang kaya yang memiliki harta cukup banyak
3. Sebagai pilar amal bersama (jama’i) antara orang-orang kaya yang
berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya
digunakan untuk berjihad dijalan Allah, yang karena kesibukannya
tersebut, ia tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan
berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya.
4. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana dan prasarana
yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan,
kesehatan, sosial, maupun ekonomi sekaligus sarana pengembangan
kualitas sumberdaya manusia muslim.
5. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah
membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak
orang lain dari harta kita yang kita usahakan dengan baik dan benar sesuai
dengan ketentuan Allah SWT yang terdapat dalam surah Al – Baqarah:
267, dan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Dalam hadits tersebut Rasulullah saw bersabda:
“Allah SWT tidak akan menerima sedekah (zakat) dari harta yang
didapat secara tidak sah.”
6. Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu
instrument pemerataan pendapatan.
Dengan demikian, tujuan zakat pada dasarnya apa saja yang dapat
memberikan dan melanggengkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat termasuk
usaha-usaha yang mengarah kesitu, maka dapat menjadi bagian dari
pendayagunaan zakat dilihat dari sisi syariah.
2.2.3 Urgensi zakat melalui lembaga (Amil)
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat
dalam QS. At-Taubah ayat 60, yang artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah
dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Juga pada firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 103, artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dalam QS. At-Taubah ayat 60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu
golongan yang berhak menerima zakat (mustahik zakat) adalah orang-orang yang
bertugas mengurus urusan zakat (‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam QS. AtTaubah ayat 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil dari orang-orang yang
berkewajiban untuk zakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka
yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil tersebut adalah para
petugas (amil). Imam Qurthubi ketika menafsirkan ayat tersebut (QS. At-Taubah
ayat 60) menyatakan bahwa amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan untuk
mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari
para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat, apalagi yang memiliki kekuatan
hukum formal, akan memiliki beberapa keuntungan, antra lain:
1. Untuk menjamin kepastian dan displin pembayar zakat.
2. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila
berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki.
3. Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam
penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu
tempat.
4. Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan
pemerintahan yang islami.
2.2.4 Organisasi pengelola zakat
Organisasi pengelola zakat adalah institusi yang bergerak dibidang
pengelolaan dana zakat, infaq, dan shodaqoh. Sedangkan definisi pengelolaan
dana zakat menurut UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat adalah
kegiatan perencanaan, pengorganisasian pelaksanaan dan pengawasan terhadap
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
Organisasi pengelola zakat adalah institusi yang tergolong organisasi
nirlaba, yang laporan keuangannya diatur dalam PSAK No 45.
Karakteristik organisasi nirlaba berbeda dengan organisasi bisnis.
Perbedaan utama yang mendasar terletak pada cara organisasi memperoleh
sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya.
Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para angota dan para
penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi
tersebut.
Sebagai akibat dari karakteristik tersebut, dalam organisasi nirlaba timbul
transaksi tertentu yang jarang atau bahkan tidak pernah terjadi dalam organisasi
bisnis, misalnya penerimaan sumbangan. Namun demikian dalam praktik
organisasi nirlaba sering tampil dalam berbagai bentuk sehingga sering kali sulit
dibedakan dengan bisnis pada umumnya. Pada beberapa bentuk organisasi nirlaba
meskipun tidak ada kepemilikan, organisasi tersebut mendanai kebutuhan
modalnya dari uang dan kebutuhan operasinya dari pendapatan atas jasa yang
diberikan kepada publik. Akibatnya, pengukuran jumlah, saat, dan kepastian
aliran pemasukkan kas menjadi ukuran kinerja penting para pengguna laporan
keuangan organisasi tersebut, seperti kreditur dan pemasok dana lainnya.
Organisasi semacam ini memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan
organisasi bisnis pada umumnya.
Para pengguna laporan keuangan organisasi nirlaba memiliki kepentingan
bersama yang tidak berbeda dengan organisasi bisnis, yaitu untuk menilai:
a) Jasa yang diberikan oleh organisasi nirlaba dan kemampuannya untuk
terus memberikan jasa tersebut.
b) Cara manajer melaksanakan tanggung jawabnya dan aspek kinerja
manajer.
Kemampuan organisasi untuk terus memberikan jasa dikomunikasikan
melalui laporan posisi keuangan yang menyediakan informasi mengenai aktiva,
kewajiban, aktiva bersih, dan informasi mengenai hubungan diantara unsur-unsur
tersebut. Laporan ini harus menyajikan secara terpisah aktiva bersih baik yang
terikat maupun yang tidak terikat penggunaannya. Pertanggung jawaban manajer
mengenai kemampuannya mengelola sumber daya organisai yang diterima dari
para penyumbang disajikan melalui laporan aktivitas dan laporan arus kas.
Laporan aktivitas harus menyajikan informasi mengapa perubahan yang terjadi
dalam kelompok aktiva bersih.
Keberadaan organisasi pengelola zakat di Indonesia diatur oleh beberapa
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, Keputusan Menteri Agama No 581 tahun 1994 tentang
pelaksanaan UU No 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji No D/291 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut, diakui dua
jenis organisasi pengelola zakat, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga
Amil Zakat (LAZ).
2.2.4.1 Badan Amil Zakat (BAZ)
Badan amil zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh
pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas
mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan
ketentuan agama.
Dalam Keputusan Menteri Agama RI No. 581 tentang pelaksanaan UU
No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat BAB II pasal 2 dikatakan bahwa
BAZ meliputi:
1. BAZ nasional yang berkedudukan di ibukota negara.
2. BAZ daerah propinsi berkedudukan di ibukota proponsi.
3. BAZ kabupaten/kota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.
4. BAZ kecamatan berkedudukan di ibukota kota kecamatan.
Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab keempat BAZ tersebut yang
tercantum dalam pasal 9, 10, 11 dan 12 adalah sebagai berikut:
1. Badan pelaksana amil zakat bertugas:
a. Menyelenggarakan tugas administratif dan teknis pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
b. Mengumpulkan dan mengolah data yang diperlukan untuk penyusunan
rencana pengelolaan zakat.
c. Menyelenggarakan bimbingan di bidang pengelolaan, pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
d. Menyelenggarakan tugas penelitian dan pengembangan, komunikasi,
informasi dan edukasi pengelolaan zakat.
2. Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional dan daerah propinsi
bertugas memberikan pertimbangan kepada Badan Pelaksana baik diminta
maupun tidak dalam pelaksanaan tugas organisasi.
3. Komisi Pengawas Badan Amil Zakat Nasional dan daerah propinsi
bertugas
melaksanakan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
tugas
administratif dan teknis pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan
zakat, serta penelitian dan pengembangan pengelolaan zakat.
2.2.4.2 Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Lembaga amil zakat adalah institusi pengelola zakat yang sepenuhnya
dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang bergerak di bidang
da’wah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi yang dikutip oleh Didin Hafidhudin dalam
buku “Zakat dalam Perekonomian Modern” (2004: 127-129); menyatakan
bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus
memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin
yang termasuk Rukun Islam (Rukun Islam ketiga), karena itu sudah
saatnya apabila urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesama
muslimin.
2. Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannyayang siap
menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.
3. Memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan
dengan
kepercayaan
umat.
Artinya
muzakki
akan
dengan
rela
menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini
memang patut dan layak dipercaya.
4. mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia
mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat
kepada masyarakat.
5. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang
baik adalah amil zakat yang full-time dalam melaksanakan tugasnya, tidak
asal-asalan dan tidak pula sambilan.
Di Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun
1999, dikemukakan bahwa lembaga zakat harus memiliki persyaratan teknis,
antara lain adalah:
1. Berbadan hukum
2. Memiliki data muzakki dan mustahik
3. Memiliki program kerja yang jelas
4. Memiliki pembukuan yang baik
5. Melampirkan surat pernyataan bersedia daudit
Persyaratan tersebut tentu mengarah pada profesionalitas dan transparansi
dari lembaga pengelola zakat. Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan
semakin bergairah menyalurkan zakatnya melalui lembaga pengelola.
2.2.5 Pengelolaan zakat
Dalam BAB I pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia No 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang dimaksud dengan pengelolaan zakat adalah
“Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian
serta pendayagunaan zakat.”
Dari pengertian tersebut ada tiga aktivitas yang dilakukan dalam
pengelolaan zakat, yaitu pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
1. Pengumpulan Zakat
Pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat dengan cara
menerima atau mengambil dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.
Zakat terdiri dari zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal adalah bagian harta yang
disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim
sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya. Zakat fitrah adalah sejumlah bahan makanan pokok yang
dikeluarkan pada bulan Ramadhan oleh setiap orang muslim bagi dirinya dan bagi
orang yang ditanggungnya yang memiliki kelebihan makanan pokok untuk sehari
pada hari raya Idul Fitri. Zakat mal dikumpulkan berdasarkan perhitungan
menurut nishab, kadar, dan waktunya ditetapkan berdasarkan hokum agama.
2. Pendistribusian Zakat
Pendistribusian zakat dapat diartikan sebagai perpindahan dana zakat dari
pengelola zakat selaku pengumpul zakat kepada mustahik, dalam rangka
pendayagunaan zakat.
3. Pendayagunaan Zakat
Pendayagunaan zakat adalah pemanfaatan dana zakat untuk kemaslahatan
umat, terutama yang ditujukan kepada delapan golongan asnaf.
2.3 Pendayagunaan Zakat
Dalam pengelolaan zakat penyaluran lebih dikenal dengan istilah
pendayagunaan. Pendayagunaan zakat dapat diartikan sebagai berikut:
“Pendayagunaan zakat adalah pemanfaatan dana zakat untuk
kemaslahatan umat, terutama yang ditujukan kepada delapan golongan
asnaf. Dalam pendayagunaan ini yang terpenting adalah peruntukan yang
jelas sesuai dengan surat At-Taubah ayat 60 dan penetapan skala prioritas,
sehingga hasil pengumpulan zakat disalurkan tepat sasaran, baik dalam
bentuk konsumtif maupun produktif.”
Sistem pendayagunaan zakat berarti membicarakan usaha yang saling
berkaitan dalam menciptakan tujuan tertentu dari penggunaan hasil zakat secara
baik, tepat dan terarah, sesuai dengan tujuan zakat itu disyariatkan. dalam
pendekatan fiqih, dasar pendayagunaan zakat didasarkan pada surat At-Taubah
ayat 60. Ayat ini menjelaskan tentang peruntukan kepada siapa zakat itu
diberikan.
Didin Hafidhuddin dalam bukunya “Zakat dalam Perekonomian
Modern” (2004:132-139), para mustahik delapan asnaf tersebut diuraikan sebagai
berikut:
1. Fakir dan miskin
Walaupun kedua kelompok ini mempunyai perbedaan yang cukup
signifkan, namun dalam teknis operasionalnya sering dipersamakan, yaitu mereka
yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memilikinya akan tetapi sangat
tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi
tanggungannya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat
konsumtif, yaitu untuk memenuhi keperluan konsumsi sehari-harinya dan dapat
pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usahanya. Zakat yang
bersifat konsumtifdinyatakan antara lain dalam Qs. Al-Baqarah: 273 yang artinya:
“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan
Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.
Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta
kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.”
Sedangkan penyaluran zakat secara produktif sebagaimana yang pernah
terjadi di zaman Rasulullah saw yang dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat
Imam Muslim dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah
saw. telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan
atau disedekahkan lagi.
2. Kelompok Amil (petugas zakat)
Kelompok ini berhak mendapatkan bagian zakat, maksimal satu
perdelapan atau 12,5 persen, dengan catatan bahwa petugas zakat ini memang
melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-baiknya dan waktunya sebagian
besar atau selurujnya untuk tugas tersebut. jika hanya diakhir bulan Ramadhan
saja (dan biasanya hanya untuk pengumpulan zakat fitrah saja), maka seyogyanya
para petugas ini tidak mendapatkan bagian zakat satu perdelapan, melainkan
hanyalah sekadarnya saja untuk keperluan administrasi ataupun konsumsi yang
mereka butuhkan, misalnya lima persen saja.
3. Kelompok muallaf
Kelompok muallaf yaitu kelompok orang yang dianggap masih lemah
imannya,
karena
baru
masuk
Islam.
Mereka
diberi
agar
bertambah
kesungguhannya dalam ber-Islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala
pengorbanan mereka dengan sebab masuk Islam tidaklah sia-sia. Bahwa Islam dan
umatnya sangat memperhatikan mereka, bahkan memasukkannya dalam bagian
penting dari salah satu Rukun Islam yaitu Rukun Islam ketiga.
4. Dalam memerdekakan budak belian
Artinya bahwa zakat itu antara lain harus dipergunakan untuk
membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk perbudakan.
5. Kelompok gharimin
Kelompok gharimin atau kelompok orang yang berutang, yang sama sekali
tidak melunasinya. Para ulama membagi kelompok ini pada dua bagian, yaitu
kelompok pertama adalah kelompok orang yang mempunyai utang untuk
kebaikan dan kemaslahatan diri dan keluarganya. Kelompok kedua adalah
kelompok orang yang mempunyai utang untuk kemaslahatan orang atau pihak
lain.
6. Dalam jalan Allah SWT ( fi sabilillah)
Pada zaman Rasulullah saw golongan yang termasuk kategori ini adalah
para sukarelawan perang yang tidak mempunyai gaji yang tetap. tetapi
berdasarkan lafaz dari sabilillah ‘dijalan Allah SWT’, sebagian ulama
membolehkan memberi zakat tersebut untuk membangun masjid, lembaga
pendidikan, perpustakaan, pelatihan para da’i, menerbitkan buku, majalah, brosur,
membangun mass media, dan lain sebagainya.
7. Ibnu Sabil
Ibnu Sabil yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan. Untuk
saat sekarang, disamping para musafir yang mengadakan perjalanan yang
dianjurkan agama, seperti silaturahmi, melakukan study tour pada objek-objek
yang bersejarah dan bermanfaat, mungkin juga dapat dipergunakan untuk
pemberian beasiswa atau beasantri (pondok pesantren) bagi mereka yang terputus
pendidikannya karena ketiadaan dana.
Persyaratan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat yang
terdapat dalam Keputusan Menteri Agama RI No. 581 tentang pelaksanaan UU
No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat BAB V pasal 28 dan 29 adalah
sebagai berikut:
Pasal 28
1. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk mustahik dilakukan
berdasarkan persyaratan sebagai berikut:
a. hasil pendapatan dan penelitian kebenaran mustahik delapan asnaf yaitu
fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnussabil
b. mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi
kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan
c. mendahulukan mustahik dalam wilayahnya masing-masing
2. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha yang produktif dilakukan
berdasarkan persyaratan sebagai berikut:
a. apabila pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)
sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan
b. terdapat usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan
c. mendapat persetujuan tertulis dari dewan pertimbangan.
Pasal 29
Prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha produktif
ditetapkan sebagai berikut:
a. melakukan studi kelayakan;
b. menetapkan jenis usaha produktif;
c. melakukan bimbingan dan penyuluhan;
d. melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan;
e. mengadakan evaluasi; dan
f. membuat pelaporan.
Dalam penyaluran produktif BAZ/LAZ berpegang pada prosedur
pendayagunaan tersebut. Mulai dari studi kelayakan dan penentuan jenis usaha,
dilakukannya pengarahan, bimbingan dan penyuluhan, pengawasan sampai
membuat pelaporan tentang pendayagunaan yang harus dilaporkan kepada
pemerintah daerah.
Dana pengumpulan zakat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesejahteraan lahir batin masyarakat, meliputi: bidang sarana ibadah, bidang
pendidikan, bidang kesehatan, bidang pelayanan sosial, dan bidang ekonomi.
Menurut Departemen Agama RI pendayagunaan yang efektif adalah efektif
manfaatnya (sesuai dengan tujuan) dan jatuh pada yang berhak (sesuai dengan
nash) secara tepat guna (www.bazisdki.go.id).
2.4 Efektifitas
Menurut Kamaruddin (1994: 768) pengertian efektifitas adalah sebagai
berikut:
“Efektifitas adalah suatu keadaan yang mampu menunjukkan
tingkatan keberhasilan (atau kegagalan) kegiatan manajemen dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.”
Sedangkan menurut Arens dan Loebbecke (2000: 768) efektifitas
didefinisikan sebagai berikut:
“Effectiveness refers to accomplishment of objective of objektif where as
efficiency refers to the reasources used to achieve those objectives.”
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa efektifitas cenderung
pada pencapaian suatu hasil yang berkaitan dengan derajat keberhasilan suatu
perusahaan untuk mencapai tujuannya. Jadi efektifitas adalah hubungan antara
hasil yang diperoleh dengan tujuan yang ingin dicapai suatu organisasi.
2.5 Prinsip-prinsip Good Organization Governance
Wacana tentang good governance atau kepemerintahan yang baik
merupakan isu yang paling mengemuka belakangan ini. Tuntutan masyarakat agar
pengelolaan negara dijalankan secara amanah dan bertanggung jawab adalah
sejalan dengan keianginan global masyarakat internasional pada saat ini.
Kata governance dalam bahasa Inggris sering diartikan dengan tata kelola
atau pengelolaan dengan kata dasar to govern yang bermakna memerintah.
“Memerintah” diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau mengurus
daerah sebagai bagian dari negara. Dari istilah tersebut diatas dapat diketahui
bahwa istilah governance tidak hanya berarti sebagai suatu kegiatan, tetapi juga
mengandung
arti
pengurusan,
pengelolaan,
pengarahan,
pembinaan,
penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan.
Pada perusahaan prinsip good governance ini berkembang menjadi Good
Corporate Governance (GCG) yang merupakan salah satu kunci sukses
perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus
memenangkan persaingan bisnis global – terutama bagi perusahaan yang telah
mampu berkembang sekaligus manjadi terbuka.
Dalam kelembagaan pengelolaan zakat prinsip good governance lebih
dikenal atau dipopulerkan dengan bahasa Good Organization Governance (GOG).
Pada dasarnya prinsip-prinsip dalam GCG dan GOG sama, dalam GCG terdapat 5
prinsip yaitu akuntabilitas (accountability), pertanggung-jawab (responsibility),
keterbukaan
(transparancy),
kewajaran
(fairness)
dan
kemandirian
(independency). Sedangkan dalam GOG lebih menekankan pada 3 kunci prinsip
yaitu amanah, transparasi, dan profesional.
Arif Mufraini dalam bukunya “Akuntansi dan manajemen Zakat” (2006:
191), menyatakan bahwa Agar pengelolaan zakat berjalan dengan baik, maka
BAZ/LAZ harus menerapkan prinsip-prinsip good organization governance (tata
kelola organisasi yang baik).
1. Amanah. Zakat merupakan salah satu Rukun Islam yang bicara tentang
kemasyarakatan. Kewajiban berzakat bagi para muzakki memiliki
landasan syar’i yang kuat dan jelas. Firman Allah:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs.At-Taubah (9): 103).
Amanah mengandung makna bahwa dana zakat yang dikelola
adalah titipan dari muzakki, dan secara esensial merupakan dana mustahik
atau orang yang berhak dapat zakat. Atas dasar itu, maka amil wajib
hukumnya berlaku jujur, dapat dipercaya dan bertanggung jawab atas
tugas yang diembannya (Ali Parman: 2007).
Pengertian
amanah menurut Kamus istilah Agama Islam
(1995:113) adalah
“Amanah diartikan sebagai kepercayaan/dipercayakan, sesuatu yang
harus ditunaikan sesuai dengan kewajiban yang dibebankan ;
termasuk bagian dari akhlakul karimah. Amanah dapat juga berarti
sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, seperti: tanggung
jawab, barang simpanan/titipan, pesan dan sebagainya.”
Amanah artinya sama dengan akuntabilitas, akuntabilitas yaitu kejelasan
fungsi pelaksanaan dan pertanggung jawaban organisasi sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif (Hiro Tugiman: 2006)
4. Transparansi. Transparansi disini diartikan sebagai suatu kewajiban
BAZ/LAZ selaku amil untuk mempertanggungjawabkan tugasnya kepada
publik baik kepada para muzakki, mustahik, maupun stakeholder lainnya.
Bentuk transparasi ini dapat dilakukan melalui publikasi laporan di media
cetak, auditable oleh Akuntan Publik, dan lain-lain.
5. Profesional. Amil zakat merupakan profesi. Oleh karenanya, amil mesti
profesional yang dicirikan bekerja full time, memiliki kompetensi, amanah,
jujur,
leadership,
pengelolaan
jiwa
profesional,
entrepreneurship,
amanah
dan
muzakki
lain-lain.
tertunaikan,
Dengan
mustahik
diperdayakan.
Amil yang profesional mengandung arti memiliki pengetahuan dan
keterampilan agar dia bisa lebih inovatif dan kreatif bekerja. Mereka tidak
sekadar membagi-bagi harta yang terkumpul tapi punya keahlian
mengelola dana zakat, agar zakat itu bisa bermanfaat bagi banyak orang
secara jangka panjangn (Ali Parman: 2007).
Ketiga hal di atas, dapat diimplementasikan apabila didukung oleh
penerapan
prinsip-prinsip
operasionalnya.
Prinsip-prinsip
operasionalisasi
Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) antara lain.
1. Aspek kelembagaan
Dari aspek kelembagaan, sebuah OPZ seharusnya memerhatikan berbagai
faktor sebagai berikut:
a. Visi dan misi
Setiap OPZ harus memiliki visi dan misi yang jelas. Hanya dengan
visi dan misi inilah maka aktivitas/kegiatan akan terarah dengan baik.
Jangan sampai program yang dibuat cenderung ‘sekedar bagi-bagi uang’.
Apalagi tanpa disadari dibuat program ‘pelestarian kemiskinan’.
b. Kedudukan dan sifat lembaga,
Kedudukan OPZ dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) BAZ adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah,
dimana pengelolanya terdiri dari unsur-unsur pemerintah (sekretaris
adalah ex-officio pejabat Depag) dan masyarakat. Pembentukannya
harus sesuai dengan mekanisme sebagaimana telah diatur dalam
keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun
2001.
2) LAZ adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk sepenuhnya atas
prakarsa masyarakat dan merupakan badan hukum tersendiri, serta
dikukuhkan oleh pemerintah.
Pengelolaan dari kedua jenis OPZ diatas haruslah bersifat:
1) Independen
Dengan dikelola secara indepeden, artinya lembaga ini tidak
mempunyai ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau lembaga
lain. Lembaga yang demikian akan lebih leluasa untuk memberikan
pertanggungjawaban kepada masyarakat donatur.
2) Netral
Karena didanai oleh masyarakat, berarti lembaga ini milik masyarakat,
sehingga dalam menjalankan aktivitasnya lembaga tidak boleh hanya
menguntungkan golongan tertentu saja (harus berdiri di atas semua
golongan). Karena jika tidak, maka tindakan itu telah menyakiti hati
donatur yang berasal dari golongan lain. Sebagai akibatnya, dapat
dipastikan lembaga akan ditinggalkan sebagian donatur potensialnya.
3) Tidak berpolitik (praktis)
Lembaga jangan sampai terjebak dalam kegiatan politik praktis. Hal
ini perlu dilakukan agar donatur dari partai lain yakin bahwa dana itu
tidak digunakan untuk kepentingan partai politik.
4) Tidak diskriminasi
Kekayaan dan kemiskinan bersifat universal. Di manapun, kapanpun,
dan siapapun dapat menjadi kaya atau miskin. Karena itu dalam
menyalurkan dananya, lembaga tidak boleh mendasarkan pada
perbedaan suku atau golongan, tetapi selalu menggunakan parameterparameter yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, baik secara
syari’ah maupun secara manajemen. Diharapkan dengan kedudukan
dan sifat itu OPZ dapat tumbuh dan berkembang secara alami.
c. Legalitas dan struktur organisasi,
Khususnya untuk LAZ, badan hukum yang dianjurkan adalah
Yayasan yang terdaftar pada akta notaris dan pengadilan negeri. Struktur
organisasi seramping mngkin dan disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga
organisasi akan lincah dan efisien.
d. Aliansi strategis.
OPZ harus melakukan aliansi strategis dengan berbagai pihak, baik
dalam hal pencarian dana, penyaluran dana, publikasi. Hal ini perlu
dilakukan agar efisiensi dan efektifitas dapat terjadi. Tidak mungkin
sebuah OPZ dapat melakukan segala hal.
2. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM merupakan aset yang paling berharga. Sehingga pemilihan siapa
yang akan menjadi amil zakat harus dilakukan hati-hati. Untuk itu perlu
diperhatikan faktor perubahan paradigma bahwa amil zakat adalah sebuah profesi
dan kuslifikasi SDM-nya.
a. Perubahan paradigma: Amil zakat adalah sebuah profesi
Begitu mendengar pengelolaan zakat, sering yang tergambar dalam
benak kita adalah pengelolaan yang tradisional, dikerjakan dengan waktu
sisa, SDM-nya paruh waktu, pengelolanya tidak boleh digaji, dan
seterusnya.
Sudah saatnya kita merubah paradigma dan cara berpikir kita. Amil zakat
adalah sebuah profesi. Konsekuensinya dia harus profesional. Untuk
profesional, salah satunya harus bekerja purna waktu (full time). Untuk itu
harus digaji secara layak, sehingga dia bisa mencurahkan segala
potensinya untuk mengelola dana zakat secara baik. Jangan sampai si amil
zakat masih harus mencari tambahan penghasilan, yang pada akhirnya
dapat mengganggu pekerjaannya selaku amil zakat.
b. Kualifikasi SDM
Jika kita mengacu di jaman Rasulullah SAW, yang dipilih dan
diangkat sebagai amil zakat merupakan orang-orang pilihan. Orang yang
memiliki kualifikasi tertentu. Secara umum kualifikasi yang harus dimiliki
oleh amil zakat adalah: muslim, amanah, dan paham fikih zakat.
3. Sistem Pengelolaan.
OPZ harus memiliki sistem pengelolaan yang baik, unsur-unsur yang
harus diperhatikan adalah: memiliki sistem, prosedur dan aturan yang jelas;
manajemen terbuka mempunyai activity plan; mempunyai komite penyaluran
(leading committe); memiliki sistem akuntansi dan manajemen keuangan; diaudit;
publikasi; perbaikan terus-menerus.
Agar lembaga pengelola zakat dapat berdaya guna, maka pengelolaan atau
manajemennya harus berjalan dengan baik. Kualitas manajemen suatu organisasi
pengelola zakat harus dapat diukur. Untuk itu, tiga kunci di atas Good
Organization Governance.yang dapat dijadikan sebagai kuncinya, yaitu amanah,
transparan dan profesional.
2.6 Hubungan Pengendalian Internal Pendayagunaan Zakat dengan
Efektifitas Implementasi Prinsip-prinsip Good Organization Governance
Keberhasilan zakat bergantung kepada pendayagunaan dan pemanfaatan
zakat. Penggunaan zakat yang baik, tepat, terarah dan sesuai dengan yang
disyari’atkan akan menimbulkan efektifitas pengelolaan zakat. Oleh karena itu,
dalam mendayagunakan zakat dibutuhkan kehati-hatian. Pengendalian internal
pendayagunaan zakat meliputi: analisis, penelaahan dan penelitian atas
pelaksanaannya yang harus sesuai dengan nash (Al-Quran dan As-sunnah).
Persyaratan-persyaratan dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan guna
mencapai
pendayagunaan
yang
sesuai
dengan
pemanfaatannya
untuk
meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin masyarakat.
Pengendalian internal pendayagunaan zakat dan efektifitas pengelolaan
zakat yang minimal erat sekali hubunganya. Semakin baik pengendalian internal
pendayagunaan zakat maka akan semakin efektif pengelolaan zakat. Pengendalian
internal yang memadai harus didukung oleh adanya unsur-unsur pengendalian
internal yang meliputi:
1. Lingkungan pengendalian (control environment)
2. Penaksiran Risiko (risk assessment)
3. Aktivitas pengendalian (control activities)
4. Pemrosesan informasi dan komunikasi (information processing and
communication)
5. Pemantauan (monitoring)
Yang akan mendukung untuk tercapainya tujuan pengendalian internal
yang meliputi:
1. Keandalan dan integritas informasi.
2. Ketaatan dengan kebijakan, rencana, prosedur, hukum dan peraturan.
3. Pengamanan aktiva.
4. Ekonomis dan efisiansi operasi.
5. Pencapaian tujuan dan sasaran operasi atau program yang ditetapkan.
Efektifitas pengelolaan zakat akan tercapai apabila diterapkannya prinsipprinsip manajemen lembaga pengelola zakat. Prinsip-prinsip tersebut dinamakan
good organization governance. Arif Mufraini (2006: 191) mengemukakan good
organization governance sebagai berikut:
1. Amanah
Amanah adalah sesuatu yang dipercayakan orang lain, dalam hal ini
muzakki mempercayakan zakatnya kepada lembaga pengelola zakat. Dalam
mewujudkan prinsip amanah ini dibuatlah suatu laporan yang merupakan
informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Sehingga dengan prinsip
amanah ini dapat menunjang tercapainya pengendalian interal demikian juga
sebaliknya. Misalnya, akan tercipta keandalan dan integritas informasi karena
adanya amanah zakat dari muzakki, ketaatan terhadap prosedur dan peraturan
pengelolaan zakat karena amanah zakat muzakki kepada pengelola zakat dalam
mendayagunakan zakat tersebut.
2. Transparansi
Dengan transparannya pengelolaan zakat, maka kita menciptakan suatu
sistem pengendalian yang baik, karena tidak hanya melibatkan pihak intern
organisasi saja tetapi juga akan melibatkan pihak ekstern seperti para muzakki
maupun masyarakat secara luas. Dan dengan transparasi inilah rasa curiga dan
ketidakpercayaan masyarakat akan dapat diminimalisasi.
3. Profesional
Sifat amanah belumlah cukup. Harus diimbangi dengan profesionalitas
pengelolaannya. Profesionalisme yaitu bagaimana lembaga pengelola zakat
dikelola dengan memperhatikan secara penuh kaidah-kaidah manajemen,
sehingga organisasinya berjalan secara terencana dan tidak serabutan. SDM
memiliki peran penting dalam mewujudkan LAZ yang professional. Pengelolaan
LAZ akan baik jika lembaga tersebut terus meningkatkan peningkatan kualitas
SDM-nya secara berkelanjutan. Tiga hal dasar harus dimiliki SDM zakat, yaitu
kompeten, amanah, dan memiliki etos kerja tinggi. Sehingga lembaga yang
professional dapat menciptakan ekonomis dan efisiensi dalam menggunakan
sumber daya serta terwujudnya pencapaian tujuan dan program-program dari
pengelolaan zakat.
Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
pengendalian
internal
pendayagunaan zakat berpengaruh terhadap efektifitas implementasi prinsipprinsip good organization governance, karena dengan adanya pengendalian
internal dapat menciptakan keefektifan dalam pengelolaan zakat yang
diperlihatkan
dengan
diterapkannya
prinsip-prinsip
good
organisation
governance.
Gambar 2.1
Paradigma Penelitian
Pengendalian Internal
Pendayagunaan Zakat
1.Lingkungan pengendalian
(control environment)
2.Penaksiran Risiko (risk
assessment)
3.Aktivitas pengendalian (control
activities)
4.Pemrosesan informasi dan
komunikasi (information
processing and communication)
5.Pemantauan (monitoring)
Efektifitas Implementasi
Prinsip-prinsip GOG
1. Amanah
2. Transparansi
3. Profesional
Download