Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Dayat Hadijaya1, Nikamah Rosidah2, Muhammad Akib2 1 Mahasiswa Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Lampung 2 Dosen Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Lampung Abstract :The difficulty of the police investigators in investigating environmental crime is caused by many factors that high financial costs. The problem in this research is how the duties and authority, and what factors become obstacles for national police investigators in investigating environmental crime such as B3 waste pollution in lampung province. The approach used in this study was trough two approaches, namely: a jurical normative approach, the study of literature related to the problem. The next approach is empirical juridical approach to field research by looking at the reality.The results showed that the duties and authorities of the police investigators in the investigation of criminal affenses in the form of environmental pollution B3 in Lampung Police jurisdiction goes by according to the provisions in the Criminal Procedure Code (KUHAP), Law No. 2 in 2002 on RI police, and law No. 32 in 2009 on the protection and management of the environment. But the implementation of the police investigators and PPNS-LH still have to coordinate for an expert witness with other government institutions in accordance with the field so it will take a long time and is not efficient. The constraints in the investigation of B3 waste pollution is waste sampling of an industry is not easy, not simple proof material, inadequate knowledge and skills of investigators in particular about the environment associated with the B3 waste pollution, inadequate infrastructure such as laboratories that make the workers was difficult to classify the pollution that has occurred.Technical guidelines should be made more clearly and firmly associated with the duties and authority of investigation in particular against environmental crime between police investigators and PPNS-LH. Next for the police of Lampung province should send members or investigators for training and education, especially related to environmental crime. Keyword : duties and authority, environmental crime, police Investigators PENDAHULUAN Kegiatan pembangunan yang makin meningkat sebagai upaya peningkatan kesejahteraan hidup yang bertumpu pada pembangunan industri yang diantaranya memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radio aktif. Disamping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3), yang apabila dibuang kedalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Berbagai jenis limbah B3 yang dibuang langsung ke lingkungan merupakan sumber pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk menghindari terjadinya dampak akibat limbah B3 diperlukan suatu sistem pengelolaan yang terintegrasi dan berkesinambungan. Upaya pengelolaan limbah B3 tersebut merupakan salah satu usaha dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Sistem manajemen pengelolaan yang baik perlu diterapkan agar usaha tersebut dapat berjalan dengan baik pula, terutama pada sektor-sektor kegiatan yang sangat berpotensi menghasilkan limbah 35 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 B3 seperti sektor Industri, rumah sakit dan pertambangan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sebagai dasar dalam pelaksanaannya. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, maka hak, kewajiban dan kewenangan dalam pengelolaan limbah B3 oleh setiap orang/badan usaha maupun organisasi kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh hukum. Indonesia dengan wilayah negara yang luas tentu memiliki masalah lingkungan yang kompleks dan perlu mendapat perhatian serius. Terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di Indonesia akan membawa dampak terhadap kehidupan rakyat Indonesia bahkan juga rakyat negara tetangga kita. Lihatlah bagaimana Malaysia dan Singapura memprotes pemerintah Indonesia atas asap kebakaran hutan Indonesia yang datang ke wilayah negara tersebut. Pepohonan di hutan ditebang tanpa ada upaya menanam kembali, sumber daya mineral digali dan diserap sementara limbah pertambangan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya. Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah. Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Masalah pencemaran sungai khususnya oleh industri di Provinsi Lampung tampaknya merupakan masalah yang seakan tiada akhir. Dari waktu ke waktu, tahun ke tahun telinga kita seringkali mendengar teriakan penduduk khususnya yang bermukim disekitar daerah aliran sungai baik Way Seputih, Way Tulang Bawang, Way Pangubuan, dan lain-lain. tentang matinya ikan-ikan di sungai, di kerambah, keluhan gatal-gatal pada kulit mereka setelah mandi di sungai, rusaknya daerah pertanian/sawah, dan lain-lain. Konon kabarnya dari dahulu masyarakat disana hampir tidak pernah mengalami hal seperti itu, namun semenjak kehadiran beberapa pabrik/industri, baik industry singkong/tapioka, gula, nanas, Crde Palm Oil (CPO), yang berarti minyak sawit mentah, seringkali air sungai mereka menjadi keruh dan berbusa dengan warna coklat kehitam-hitaman, belum lagi aroma bau tidak sedap yang terbawa angin yang biasanya berasal dari pabrik singkong menerpa pemukiman mereka sudah menjadi santapan sehari-hari. Dari catatan Walhi Lampung, selama kurun waktu 5 tahun terakhir sedikitnya telah terjadi 9 kali kasus pencemaran oleh industri khususnya yang berada di Lampung Tengah, Tulang Bawang, Lampung Timur, Lampung Selatan dan Lampung Utara. Jumlah itu barangkali baru yang terungkap dan di ekspose oleh media, dibalik itu angkanya mungkin jauh lebih besar mengingat banyaknya jumlah industri yang tersebar di wilayah ini. Menurut sumber Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Lampung total jumlah industri di Provinsi Lampung adalah sebanyak 193 buah yang umumnya adalah berupa Agroindustri, di mana 160 buah merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan 33 buah Penanaman Modal Asing (PMA), baik skala besar, menengah maupun kecil. Dari jumlah itu sebagian besar merupakan industri singkong/tapioka (33 buah), gula (6 buah), nanas, sawit/CPO, karet, dan yang kesemuanya itu bila pengelolaan lingkungannya dilakukan secara tidak 36 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 hati-hati sangat berpotensi dan riska sekali menimbulkan pencemaran lingkungan.1 Tragisnya setiap kali terjadi kasus pencemaran selama itu pula yang selalu menjadi korban adalah rakyat kecil/nelayan yang notabene hidupnya sangat tergantung dari apa apa yang bisa diberikan oleh sungai. Tragisnya lagi selama itu pula tidak ada satupun pihak yang merasa bersalah dan bertanggungjawab. Tidak perusahaan, tidak pemerintah, lantas siapa? Salah satu contoh pencemaraan lingkungan yang diduga akibat pembuangan limbah dari PT Sungai Mas Agung Abadi di Kabupaten Tulang Bawang Barat.2 Problem lingkungan hingga kini terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan. Segenap stakeholders harus mempunyai tekad untuk memelihara lingkungan dari kemerosotan fungsi yang senantiasa mengancam kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hukum lingkungan dengan demikian, mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)sebagai institusi di luar Polri untuk membantu tugas-tugas kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.Pasal 94 ayat (1) mengatur bahwa: 1 http://panisean.wordpress.com, pada tanggal 26 Oktober 2013 2 http://lampung.tribunnews.com, pada tanggal 26 Oktober 2013 diakses diakses Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. Ketentuan pada Pasal 94 ayat (1) seharusnya memberi batasan secara jelas tentang pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan sengketa lingkungan hidup, sehingga tidak menimbulkan sengketa kewenangan diantara Polri dan PPNS.Hal ini juga bisa dalam penjelasan ketentuan tersebut, dimana dalam penjelasannya di katakan cukup jelas. Tetapi justru ketentuan yang ada dalam Pasal 94 ayat (1) menimbulkan multitafsir (tidak jelas). Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk membahas permasalahan Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup yang diberjudul “Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi Pencemaran Limbah B3 di Provinsi Lampung)”. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Yuridis Normatifadalah pendekatan yang dilakukan dalam bentuk untuk mencari kebenaran dengan melihat asas-asas dalam ketentuan baik masalah perundangan, teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman 37 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas. 2. Pendekatan Yuridis Empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan yang ada misalnya dalam prilaku hukum, kepatuhan hukum dan lainnya yang terdapat di lingkungan masyarakat serta penegak hukum. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berupa Pencemaran Limbah B3di Provinsi Lampung Penyidikan merupakan salah satu Tugas Pokok Polri dalam rangka melaksanakan penegakan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 13 huruf (b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sementara dalam kaitannya dengan Polri sebagai penyidik didasarkan kepada ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” Jadi dapat dikatakan bahwa Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan wewenang kepada Polri untuk melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan, namun tidak secara eksplisit mengatur mengenai penyelidikan dan penyidikan, sehingga Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ini masih tetap mengacu kepada KUHAP maupun peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan penyelidikan dan penyidikan. Berkaitan dengan hal di atas, berikut ini diuraikan beberapa bentuk kegiatan pelaksanaan penyidikan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Penyidikan tindak pidana dilaksanakan setelah diketahui bahwa sesuatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana: a. Diketahuinya Tindak Pidana Dasar hukumnya adalah Pasal 102 ayat (2) dan (3) KUHAP; Pasal 106 KUHAP; Pasal 108 KUHAP; Pasal 109 ayat (1) KUHAP; Pasal 111 KUHAP. Suatu Tindak Pidana dapat diketahui melalui: Laporan, Pengaduan, tertangkap tangan, diketahui langsung oleh petugas Polri. Setiap petugas Polri tanpa menunggu surat perintah dapat melakukan tindakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan lain sebagainya seperti dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf (b) KUHAP ketika terjadi tindak pidana tertangkap tangan. Terhadap tindakan yang dilakukan, petugas tersebut wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum. Penyidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada kepolisian baik lisan maupun tertulis. Begitu juga bagi orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk me- 38 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 lakukan tindak pidana, seketika itu juga agar melaporkan hal tersebut kepada kepolisian. Kemudian pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada kepolisian. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda-tangani oleh pelapor atau pengadu. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. b. Pelaksanaan Penyidikan Setelah diketahui bahwa suatu peristiwa yang terjadi diduga atau merupakan tindak pidana, segera dilakukan penyidikan melalui kegiatan-kegiatan penyelidikan, penindakan, pemeriksaan serta penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. Yang dapat dilakukan oleh Penyelidikan Reserse, yang menjadi dasasr hukumnya adalah: Pasal 5 KUHAP; Pasal 9 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 102 s/d 105 KUHAP; Pasal 111 KUHAP. Petugas Polri mempunyai kewewenangan menerima laporan atau pengaduan tentan adanya tindak pidana, mencaru keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, serta melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: Penangkapan, larangan meninggalkan tempat penggeledahan dan penyitaan, Pemeriksaan dan penyitaan surat, Mengambil sidik jari dan memotret seorang, Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang: Pemeriksaan tersangka; Penangkapan; Penahanan; Penggeledahan; Pemasukan rumah; Penyitaan benda; Pemeriksaan surat; Pemeriksaan saksi; Pemeriksaan di tempat kejadian; Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan; Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan. Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut. Penyelidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan dan penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau 39 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 pengadu. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik. Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik. 2. Penindakan Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang maupun benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Berkaitan dengan hal di atas, tindakan hukum tersebut antara lain, sebagai berikut: a. Pemanggilan Tersangka dan Saksi Yang menjadi dasar hukumnya adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni Pasal 7 ayat (1) huruf (g) dan (h) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 112 KUHAP; Pasal 113 KUHAP; Pasal 116 ayat (4) KUHAP. Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana; Peraturan lain-lainnya. Penyidik Polri mempunyai kewenangan memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi serta mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya. Pada saat pemeriksaan tersangka, apabila si tersangka menghendaki untuk dipanggilnya saksi yang menguntunkan, penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut. b. Penangkapan Yang menjadi dasar hukumnya adalah: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 sampai dengan 19 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 111 KUHAP; Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana; Peraturan lainnya (untuk Pasal-pasal yang berhubungan dengan penangkapan). Di dalam 40 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP dijelaskan, “Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.” Penyidik Polri mempunyai kewenangan untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapt langsung diserahkan kepada penuntut umum. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memperlihatkan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Tembusan surat perintah penangkapan yang dilakukan oleh Polri harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. Dalam hal terjadi tindak pidana yang tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. Setelah menerima penyerahan tersangka, penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan. Penyelidik atau penyidik yang menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai. Hal-hal yang harus diperhatikan: 1) Setelah penangkapan dilakukan, segera diadakan pemeriksaan untuk dapat menentukan apakah perlu diadakan penahanan atau tidak, mengingat jangka waktu penangkapan yang diberikan oleh Undang-undang hanya 1×24 jam, kecuali terhadap tersangka kasus narkotik (2×24 jam); 2) Terhadap tersangka pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan, kecuali bila telah 41 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilam itu tanpa alas an yang sah; 3) Segera setelah dilakukan penangkapan supaya diberikan 1 (satu) surat perintah penangkapan wajib diberikan kepada tersangka dan 1 (satu) lembar kepada keluarganya. c. Penahanan Dasar hukum dalam melakukan penahanan oleh penyidik adalah: Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 20 ayat (1) KUHAP; Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 KUHAP; Pasal 29 sampai dengan Pasal 31 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 123 KUHAP. Dalam melakukan penahanan, penyidik Polri mempunyai kewenangan: …melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan…. Seperti tercantum di dalam pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. Tembusan surat penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim, harus diberikan kepada keluarganya. Penahanan tersebut hanya dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (4) huruf (b). Jenis penahanan dapat berupa: Penahanan rumah tahanan Negara, Penahanan rumah, Penahanan kota. Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 KUHAP. Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan. d. Penggeledahan Dasar hukum penyidik untuk melakukan penggeledahan adalah: Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 125 KUHAP; Pasal 126 KUHAP. 42 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 Penyelidik Polri atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Penyidik Polri mempunyai kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan. Pada saat keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan: Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya; Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya, serta di tempat penginapan dan tempat umum lainnya. Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki: Ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan, Ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan. Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan. Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka 43 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 tersebut terdapat benda yang dapat disita. Pada waktu menangkap tersangka dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka. Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 KUHAP. Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah. Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya. e. Penyitaan Dasar dalam penyitaan adalah: Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 38 sampai dengan 49 KUHAP; Pasal 128 sampai dengan 132 KUHAP. Penyelidik Polri atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Penyidik Polri mempunyai kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHAP ayat (1), yaitu: (1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang dipergunakan untuk mengahalang-halangi penyelidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. (2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1). Penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang 44 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti dalam hal tertangkap tangan. Penyidik juga berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan. Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Penyitaan surat atau tulisan dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia Negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. B. Faktor yang menjadi Kendala Penyidikan yang dilakukan Penyidik Polri dalam melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup berupa Pencemaran Limbah B3 di Provinsi Lampung Usaha menegakan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah. Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan. Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik. Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama. Di satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan. Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan mutu lingkungan. Upaya memupuk disiplin lingkungan amat urgen dalam artian menaati aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup. Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) me- 45 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 lebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana. Menurut Kepala Bidang (Kabid) Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan BLHD Provinsi Lampung menyatakan bahwa “hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan transparansi”.3 Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap lingkungan khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan. Segenap stakeholders harus mempunyai tekad untuk memelihara lingkungan dari kemerosotan fungsi yang senantiasa mengancam kehidupan masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian, hukum lingkungan mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka berikut adalah kendalakendala dalam penyidikan yang dilakukan penyidik polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung: 1. Faktor hukumnya sendiri Pembuktian tindak pidana lingkungan, terutama pembuktian materiil tidaklah sederhana. Prosesnya memerlukan dukungan para ahli dari berbagai latar belakang keilmuan.Untuk membuktikan tindak pidana lingkungan hidup, maka harus memenuhi unsur unsur yang terkadung dalam Pasal 97, 98 UUPLH No. 32 Tahun 2009 yaitu sengaja melakukan perbuatan yang 3 Wawancara yang dilakukan pada tanggal 24 April 2014 2. mengakibatkan dilampauinya bakut mutu udara ambien, baku mutu air, air laut, atau kriteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup dan bahaya keselamatan manusia dan akibatkan orang luka berat atau mati dapat dipidana dan memperoleh sanksi yang tegas. Dalam kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup terdapat kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP. Di samping itu, pembuktian unsur hubungan kausal merupakan kendala tersendiri. pencemaran lingkungan hidup sering terjadi secara kumulatif, sehingga sulit untuk membuktikan sumber pencemaran, terutama yang bersifat kimiawi. Selain menyediakan alat bukti, penyidik juga harus cermat dalam menentukan tersangkanya yang ternyata sulit untuk menempatkan korporasi sebagai tersangka. Kesulitan ini dirasakan oleh penyidik pada saat menghubungkan antara tindak pidana dengan bukti-bukti yang mengarah pada suatu pelaku tindak pidana yang notabene adalah fiksi hukum. Faktor aparat penegak hukum Pengetahuan dan keterampilan yang belum memadai pada kasus tindak pidana berupa pencemaran limbah B3, sehingga terjadi perbedaan pemahaman dalam penuntasan kasus lingkungan hidup biasanya terjadi pada penerapan asas ultimum remedium dan premium remedium, pembuktian terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, serta impor dan identifikasi limbah berbahaya dan beracun membuat penyelesaian perkara tindak pidana lingkungan berupa pencemaran B3 memakan waktu yang panjang. Selanjutnya Sulit menangkap pelaku pencemaran karena dalam pem- 46 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 3. 4. buktianya tidak sesederhana dalam kasus-kasus lain, dimana dalam kasus pencemaran limbah cair (air sungai) merupakan akibat kumulatif dari pembuagan limbah cair yang ada di aliran sungai, maka penerapan azas kausalitas akan memakan waktu, dan biasanya pelaku telah menghilangkan bukti-bukti pencemaran. Pembuktian dalam proses penegakan hukum pidana sejatinya telah dimulai dari proses pengumpulan bahan dan keterangan dan jika diindikasikan bahwa suatu laporan dan/atau pengaduan merupakan suatu tindak pidana maka penyidik Polri maupun PPNSLH dapat meningkatkan statusnya menjadi penyidikan. Penyidikan merupakan suatu tahapan untuk mencari dan menemukan alat bukti yang mendukung bahwa telah terjadi suatu tindak pidana lingkungan. Berikutnya yaitu pengambilan sampel limbah dari suatu industri tidak mudah, kadangkala petugas harus membawa surat pengantar dari instansi petugas, sehingga perusahaan yang diduga melakukan pencemaran sudah melakukan pembersihan terhadap pencemaran pada saat petugas datang. Faktor saran atau fasilitas pendukung penegakan hukum Kurang memadainya sarana prasarana seperti laboratorium membuat petugas kesulitan dalam hal penggolongan pencemaran yang telah terjadi. Faktor masyarakat Ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi sosial dilingkungannya turut mendorong terjadinya instabilitas sosial. Masyarakat yang seharusnya melaporkan beragam masalah sosial yang terjadi di lingkungannya kepada aparat berwajib namun justru bersikap diam akan menyebabkan kondisi instabilitas tetap tumbuh dan berkembang tanpa bisa di atasi. Ironisnya, banyak anggota masyarakat yang justru terlibat dalam aktivitas menyimpang tersebut. Pelibatan masyarakat dalam menjaga dan memelihara Kamtibmas sejatinya tidak sekedar membantu aparat Polri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai aparat pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, namun yang lebih penting adalah memberikan ruang bagi pemberdayaan masyarakat (empowerment). Masyarakat diberdayakan sehingga tidak sematamata sebagai obyek dalam penyelengaraan fungsi kepolisian melainkan sebagai subyek yang menentukan dalam mengelola sendiri upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib. Rendahnya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam upaya menjaga dan memelihara Kamtibmas dapat menjadi pemicu maraknya kasus-kasus kriminalitas di masyarakat. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah adanya kebersamaan antara aparat Polri dan masyarakat karena kebersamaan menjanjikan kekuatan yang luar biasa, sesuatu yang besar hanya dapat diraih melalui kebersamaan terutama dalam hal pencemaran limbah B3 yang terjadi dilingkungannya. 5. Faktor kebudayaan Pada faktor ini penulis menitik beratkan kepada budaya dari perusahaan yang melakukan pencemaran limbah, seperti: a. Pembuangan limbah cair, kadangkala dibarengi dengan kondisi alam seperti adanya banjir di aliran sungai, pada malam hari, dan membuat aliran pembuangan tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang luar perusahaan dan dilakukan secara tersembunyi dan kurangnya tenaga ahli di bidang lingkungan. 47 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 b. Tertutupnya Area perusahaan dengan pagar tinggi atau bangunan besar dan merupakan area yang tidak mudah dimasuki oleh masyarakat atau petugas sekalipun, sehingga menyulitkan masyarakat ikut mengawasi pencemaran di lingkungan. c. Urusan Ekonomi menjadi hal yang utama sehingga lingkungan dinomor duakan oleh para pengusaha. d. Tidak semua pimpinan perusahaan sampai tingkat manager atau pemilik mempunyai Visi dalam pengelolaan lingkungan sehingga pengelolaan limbah hanya merupakan pemborosan biaya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Kasubdit IV Krimsus Polda Lampung,4 bahwa teknik investigasi dalam pengumpulan data pada kasus pembuangan limbah yang tergolong dalam B3 oleh PT. Bea Sari Jelita secara garis besarnya dilakukan melalui: 1. Penelitian Dokumen Kegiatan pada penelitian dokumen mencakup penelitian keabsahan dokumen dan substansi dokumen. Dalam melaksanakan penelitian keabsahan dokumen, harus dilengkapi dengan pedomanpedoman teknis dan peraturan yang berlaku. Selanjutnya seluruh dokumen dan peta dinilai keabsahannya sesuai pedoman/peraturan yang berlaku. Penelitian substansi dokumen khususnya dokumen lingkungan (AMDAL, RPL/UKL) dimaksudkan untuk melihat sejauh mana informasi yang terkandung di dalam data dasar digunakan sebagai acuan perencanaan yang dibuat. Dalam penelitian substansi dokumen, informasi yang 4 Wawancara yang dilakukan pada 5 Mei 2014 dimuat dalam dokumen-dokumen perencanaan, laporan kegiatan pelaksanaan, dan dokumen data dasar, dilakukan uji silang (cross check) untuk melihat keterkaitan dalam hal target, materi, dan jangka waktunya atau mencocokan antara laporan perencanaan dengan laporan pelaksanaan di lapangan dalam upaya pencegahan dampak negatif atau kerusakan lingkungan yang akan terjadi. Kelemahan investigasi berdasarkan penelitian dokumen yaitu pihak pelaku pencemar dan atau perusakan lingkungan jarang memberikan dokumen kegiatan lapangan kepada pihak penyidik (dimusnahkan), sering kali data pada dokumen kurang akurat (perlu validasi) dan memerlukan waktu yang cukup lama dalam memahami keterkaitan data yang ada dengan kejadian kerusakan lingkungan yang terjadi. Kelebihan investigasi berdasarkan penelitian dokumen adalah cepat dan tidak memerlukan analisa laboratorium, dan merupakan barang otentik yang dapat digunakan sebagai bukti awal terjadinya tindak kerusakan lingkungan. Berdasarkan penelitian dokumen yang dilakukan bahwa PT. Bea Sari Jelita tidak memiliki ijin TPS Limbah B3, yang perijinan tersebut seharusnya dikeluarkan oleh BPLH Lampung Selatan. 2. Penelitian Lapangan Berdasarkan temuan-temuan pada penilaian substansi dokumen terkusus dokumen lingkungan, dilakukan pelingkupan kegiatan lapangan. Pelingkupan kegiatan lapangan dilakukan untuk memfokuskan hal-hal yang dianggap penting/kritis dalam pengambilan keputusan penapisan dan lebih memberi keyakinan dalam pengambilan 48 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 keputusan tentang terjadinya dugaan pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Berdasarkan temuan lapangan yang dilakukan bahwa bak IPA yang dimiliki PT. Bea Sari Jelita pada Pabrik pembuatan sabun tidak difungsikan dan dibuang langsung ke tanah kosong di samping pabrik, sedangkan sisa pembakaran batubara dibuang dan dihamparkan di halaman di halaman kosong belakang pabrik dan tidak ditempatkan di TPS Limbah B3. Pengamatan lapangan sangat diperlukan kompetensi saksi ahli dalam menggungkap dugaan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang meliputi tipe dan komponen sumberdaya alam dan ekosistem yang terkena dampak, proses dan mekanisme terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan, derajat kerusakan yang terjadi dan lamanya kerusakan. Hal tersebut sangat diperlukan untuk menentukan pengamatan, penelitian dan pengambilan sampel yang tepat dan akurat untuk dianalisa di laboratorium. Pengambilan sampel yang dilakukan harus diupayakan memenuhi komponen ekosistem yang mengalami kerusakan baik komponen biotik (flora, fauna, tanaman, tumbuhan bawah, jamur dan sebagainya) dan komponen abiotik (tanah, batu, bahan mineral, air, serasah, kayu terbakar, kayu dan sebagainya). Pengambilan komponen ekosistem tersebut juga berdasarkan metode ilmiah yang tepat, efektif dan efisien dengan ditunjang peralatan yang baik (kompas, GPS, penetrometer, altimeter, peta dan lain lain). Adapun pengamatan lapangan dapat dilakukan melalui metode analisa vegetasi dan pengambilan sampel tanah (legal sampling) serta mengamati dampaknya. Kelemahan investigasi berdasarkan penelitian lapangan yaitu pihak pelaku perusakan kurang kooperatif, data yang diperoleh terbatas, kadang memerlukan waktu yang lama, asessibilatas yang kurang baik dan terpengaruh oleh kondisi cuaca dan iklim. Kelebihan investigasi berdasarkan penelitian lapangan adalah obyektif, reprentatif, dapat mendukung atau membantu jawaban atas analisa laboratorium dan saksi ahli atau penyidik dapat mengamati komponen ekosistem atau lingkungan yang mengalami perusakan lingkungan yang terjadi. 3. Analisa Laboratorium Setelah didapat komponen dan proses perusakan dapat diungkap maka saksi ahli melakukan legal sampling terhadap komponen lingkungan untuk memastikan tingkat pencemaran dan atau perusakan yang terjadi. Sampel tersebut dibuatkan berita acara pengambilan sampel, penyegelan, penyitaan sampel dan analisa laboratorium terhadap sampel tanah yang didapat dari lapangan. Kelemahan investigasi berdasarkan analisa laboratorium yaitu memerlukan peralatan dan bahan kimia yang biayanya mahal, data sangat dipengaruhi pada metode analisis, data yang diperoleh ditentukan oleh sampling yang dilakukan, memerlukan waktu lama dan saksi ahli kuarng dapat menjelaskan proses dan mekanisme terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan (terutama apabila tidak melalukan sampling). Kelebihan investigasi berdasarkan analisa laboratorium adalah merupakan alat bukti yang akurat, data yang diperoleh akurat dan lebih objektif Indikator yang konsisten untuk menentukan derajat kerusakan 49 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 melalui kriteria baku kerusakan yaitu komponen. SIMPULAN DAN REKOMENDASI Simpulan 4. 5 Wawancara Teknik investigasi dengan wawancara umumnya dilakukan bersamaan dengan penelitian di lapangan. Wawancara umumnya merupakan data tambahan yang fungsinya bertujuan untuk lebih mengetahui mengungkap proses terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Kelemahan investigasi berdasarkan wawancara yaitu memerlukan kemampuan berkomunikasi, pihak pelaku perusak dan pencemar bersifat resisten, data kuantitatif kurang akurat, bersifat subjektif dan data bersifat kualitatis. Kelebihan investigasi berdasarkan wawancara adalah data yang diperoleh secara cepat, mudah dan murah. Tahap berikutnya menurut Penyidik Subdit IV Krimsus Polda Lampung yaitu perintah penangkapan terhadap seseorang berdasarkan Pasal 17 KUHAP, dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.5 Bukti permulaan yang cukup yaitu bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai Pasal 1 ayat (14) KUHAP. Dengan demikian, Ketentuan Pasal 17 KUHAP mengatur bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, akan tetapi hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang betul-betul telah melakukan tindak pidana. Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. 2. Pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana lingkungan berupa pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung berjalan berdasarkan sesuai ketentuan di dalam KUHAP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam pelaksanaannya Penyidik Polri dan PPNS-LH masih harus berkoordinasi dengan instansi pemerintah lain untuk saksi ahli sesuai dengan bidangnya, sehingga membutuhkan waktu yang lama dan tidak efisien. Faktor atau kendala yang dihadapi penyidik Polri khususnya pada Ditreskrimsus Polda Lampung dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan berupa pencemaran limbah B3 di Provinsi Lampung berupa: sulitnya pengambilan sampel limbah, pembuktian yang tidak sederhana, tertutupnya areal pabrik yang menyebabkan tidak mudah dimasuki masyarakat ataupun petugas, ketidakpedulian masyarakat sekitar seolah tutup mata dengan apa yang terjadi di sekitarnya termasuk dalam hal pencemaran limbah B3, kurang memadainya pengetahuan dan keterampilan penyidik, kurang memadainya sarana prasarana seperti laboratorium membuat petugas kesulitan dalam hal penggolongan pencemaran yang telah terjadi. Wawancara yang dilakukan pada tanggal 6 Mei 2014 50 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 Rekomendasi 1. 2. Kepada Pemerintah pusat hendaknya dibuat petunjuk teknis yang lebih jelas dan tegas terkait dengan tugas dan wewenang penyidikan khususnya terhadap tindak pidana lingkungan antara Penyidik Polri dengan PPNSLH. Hendaknya Kepolisian Daerah Lampung mengirimkan anggotanya atau penyidik untuk pelatihan dan pendidikan khususnya terkait dengan tindak pidana lingkungan guna meningkatkan kemampuan dan intelejensi penyidik Polri. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Chazawi, Adami, 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. Erwin, Muhammad, 2008. Hukum Lingkungan - Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, PT. Refika Aditama, Bandung. Farid, Zainal Abidin, 2007. Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Hamzah, Andi, 2010. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan keempat, P.T.Rienka Cipta, Jakarta. Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan Ke-8, Sinar Grafika, Jakarta. Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005. Hukum Tata Lingkungan. Cet. 18. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. I Nyoman, Nurjaya, 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta. Ilyas, Amir, 2012. Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, Yogyakarta. Lamintang, P.A.F., 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung. Machmud, Syahrul. 2012. Problematika Penerapan Delik Formil Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Di Indonesia, Indonesia,Mandar Maju, Bandung. Marpaung, Leden, 2012. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta. Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta. Mulyosudarmo, Suwoto. 1990. Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga,Surabaya. Ngani, Nico, I Nyoman Budi Jaya; Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan, Liberty, Yogyakarta. Prasetyo, Teguh, 2011. Hukum Pidana, Cetakan Kedua, P.T. Raja Grafindo, Jakarta. Prinst, Darwan, 1989. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono, 2010. TindakTindak Pidana Tertentu Indonesia, Cetakan Ketiga, Refka Aditama, Bandung. Rahardjo, Satjipto, 2009. Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta. 51 Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52 Rangkuti, Siti Sundar Rangkuti, 1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional-edisi ketiga, Airlangga University Press, Surabaya. Sadjijono, 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, Laks Bang Pressindo, Jogyakarta. Salim, 2007. Hukum Pertambangan Di Indonesia- edisi revisi. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Santoso, Mas Agus Good Governance, Hukum Lingkungan. Tanpa tahun. Setiardja, A. Gunawan. 1990. Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta. Siahaan, 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Erlangga, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1982. Penegakan Hukum. Bina Cipta, Bandung. ----------, 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta. Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor. Sudarsono, 2007. Kamus Hukum, Cetakan Kelima, P.T.Rineka Cipta, Jakarta. Muladi. Menjamin Kepastian Ketertiban Penegakan dan Pelindungan Hukum dalam era Globalisasi. (Jurnal Keadilan, 2001). M. Hadjon, Philipus. Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun. Syafrudin, Ateng. 2000 Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung. D. Website http://lampung.tribunnews.com http://panisean.wordpress.com B. Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. C. Jurnal, Makalah, Media Massa Lotulung, Paulus Efendie. 1994. Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik,Citra Aditya Bakti, Bandung. 52