pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik polri dalam

advertisement
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN PENYIDIK
POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Dayat Hadijaya1, Nikamah Rosidah2, Muhammad Akib2
1
Mahasiswa Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Lampung
2
Dosen Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Lampung
Abstract :The difficulty of the police investigators in investigating environmental crime is caused by
many factors that high financial costs. The problem in this research is how the duties and authority,
and what factors become obstacles for national police investigators in investigating environmental
crime such as B3 waste pollution in lampung province. The approach used in this study was trough
two approaches, namely: a jurical normative approach, the study of literature related to the problem.
The next approach is empirical juridical approach to field research by looking at the reality.The
results showed that the duties and authorities of the police investigators in the investigation of
criminal affenses in the form of environmental pollution B3 in Lampung Police jurisdiction goes by
according to the provisions in the Criminal Procedure Code (KUHAP), Law No. 2 in 2002 on RI
police, and law No. 32 in 2009 on the protection and management of the environment. But the
implementation of the police investigators and PPNS-LH still have to coordinate for an expert witness
with other government institutions in accordance with the field so it will take a long time and is not
efficient. The constraints in the investigation of B3 waste pollution is waste sampling of an industry is
not easy, not simple proof material, inadequate knowledge and skills of investigators in particular
about the environment associated with the B3 waste pollution, inadequate infrastructure such as
laboratories that make the workers was difficult to classify the pollution that has occurred.Technical
guidelines should be made more clearly and firmly associated with the duties and authority of
investigation in particular against environmental crime between police investigators and PPNS-LH.
Next for the police of Lampung province should send members or investigators for training and
education, especially related to environmental crime.
Keyword : duties and authority, environmental crime, police Investigators
PENDAHULUAN
Kegiatan pembangunan yang makin
meningkat sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan hidup yang bertumpu pada
pembangunan industri yang diantaranya
memakai berbagai jenis bahan kimia dan
zat radio aktif. Disamping menghasilkan
produk yang bermanfaat bagi masyarakat,
industrialisasi juga menimbulkan ekses,
antara lain dihasilkannya limbah bahan
berbahaya dan beracun (limbah B3), yang
apabila dibuang kedalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan
hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup
manusia serta makhluk hidup lain.
Berbagai jenis limbah B3 yang dibuang langsung ke lingkungan merupakan
sumber pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk menghindari terjadinya
dampak akibat limbah B3 diperlukan
suatu sistem pengelolaan yang terintegrasi
dan berkesinambungan. Upaya pengelolaan limbah B3 tersebut merupakan salah
satu usaha dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup.
Sistem manajemen pengelolaan
yang baik perlu diterapkan agar usaha
tersebut dapat berjalan dengan baik pula,
terutama pada sektor-sektor kegiatan yang
sangat berpotensi menghasilkan limbah
35
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
B3 seperti sektor Industri, rumah sakit dan
pertambangan. Hal ini dapat dilaksanakan
dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sebagai
dasar dalam pelaksanaannya. Dengan
diberlakukannya peraturan tersebut, maka
hak, kewajiban dan kewenangan dalam
pengelolaan limbah B3 oleh setiap
orang/badan usaha maupun organisasi
kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh
hukum.
Indonesia dengan wilayah negara
yang luas tentu memiliki masalah
lingkungan yang kompleks dan perlu
mendapat perhatian serius. Terjadinya
kerusakan dan pencemaran lingkungan di
Indonesia akan membawa dampak terhadap kehidupan rakyat Indonesia bahkan
juga rakyat negara tetangga kita. Lihatlah
bagaimana Malaysia dan Singapura memprotes pemerintah Indonesia atas asap
kebakaran hutan Indonesia yang datang ke
wilayah negara tersebut. Pepohonan di
hutan ditebang tanpa ada upaya menanam
kembali, sumber daya mineral digali dan
diserap sementara limbah pertambangan
yang mengandung bahan berbahaya dan
beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau
sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya.
Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan
sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat
perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan
yang ada. Kedua, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup
terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah. Era
reformasi dapat dipandang sebagai
peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum
lingkungan.
Masalah pencemaran sungai khususnya oleh industri di Provinsi Lampung
tampaknya merupakan masalah yang
seakan tiada akhir. Dari waktu ke waktu,
tahun ke tahun telinga kita seringkali
mendengar teriakan penduduk khususnya
yang bermukim disekitar daerah aliran
sungai baik Way Seputih, Way Tulang
Bawang, Way Pangubuan, dan lain-lain.
tentang matinya ikan-ikan di sungai, di
kerambah, keluhan gatal-gatal pada kulit
mereka setelah mandi di sungai, rusaknya
daerah pertanian/sawah, dan lain-lain.
Konon kabarnya dari dahulu masyarakat
disana hampir tidak pernah mengalami hal
seperti itu, namun semenjak kehadiran
beberapa pabrik/industri, baik industry
singkong/tapioka, gula, nanas, Crde Palm
Oil (CPO), yang berarti minyak sawit
mentah, seringkali air sungai mereka
menjadi keruh dan berbusa dengan warna
coklat kehitam-hitaman, belum lagi aroma
bau tidak sedap yang terbawa angin yang
biasanya berasal dari pabrik singkong
menerpa pemukiman mereka sudah
menjadi santapan sehari-hari. Dari catatan
Walhi Lampung, selama kurun waktu 5
tahun terakhir sedikitnya telah terjadi 9
kali kasus pencemaran oleh industri
khususnya yang berada di Lampung
Tengah, Tulang Bawang, Lampung
Timur, Lampung Selatan dan Lampung
Utara. Jumlah itu barangkali baru yang
terungkap dan di ekspose oleh media,
dibalik itu angkanya mungkin jauh lebih
besar mengingat banyaknya jumlah
industri yang tersebar di wilayah ini.
Menurut sumber Wahana Lingkungan
Hidup (WALHI) Lampung total jumlah
industri di Provinsi Lampung adalah
sebanyak 193 buah yang umumnya adalah
berupa Agroindustri, di mana 160 buah
merupakan Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) dan 33 buah Penanaman
Modal Asing (PMA), baik skala besar,
menengah maupun kecil. Dari jumlah itu
sebagian besar merupakan industri
singkong/tapioka (33 buah), gula (6 buah),
nanas, sawit/CPO, karet, dan yang
kesemuanya
itu
bila
pengelolaan
lingkungannya dilakukan secara tidak
36
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
hati-hati sangat berpotensi dan riska sekali
menimbulkan pencemaran lingkungan.1
Tragisnya setiap kali terjadi kasus
pencemaran selama itu pula yang selalu
menjadi korban adalah rakyat kecil/nelayan yang notabene hidupnya sangat
tergantung dari apa apa yang bisa
diberikan oleh sungai. Tragisnya lagi
selama itu pula tidak ada satupun pihak
yang merasa bersalah dan bertanggungjawab. Tidak perusahaan, tidak
pemerintah, lantas siapa? Salah satu
contoh pencemaraan lingkungan yang
diduga akibat pembuangan limbah dari PT
Sungai Mas Agung Abadi di Kabupaten
Tulang Bawang Barat.2
Problem lingkungan hingga kini
terus menjadi isu yang selalu aktual dan
belum tertanggulangi, terlebih di era
reformasi yang tak luput pula dari tuntutan
demokratisasi dan transparansi. Dalam
rangka mengantisipasi kian meluasnya
dampak kontraproduktif terhadap lingkungan khususnya akibat perkembangan
dunia industri yang pesat maka penegakan
hukum di bidang lingkungan hidup
menjadi mutlak diperlukan. Segenap
stakeholders harus mempunyai tekad
untuk memelihara lingkungan dari kemerosotan fungsi yang senantiasa mengancam kehidupan masa kini dan masa
mendatang. Hukum lingkungan dengan
demikian, mempunyai peran yang sangat
urgen dalam membantu mewujudkan
pembangunan berkelanjutan.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS)sebagai institusi di luar Polri untuk
membantu tugas-tugas kepolisian dalam
melakukan penyidikan dengan tegas diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.Pasal 94 ayat (1)
mengatur bahwa:
1
http://panisean.wordpress.com,
pada tanggal 26 Oktober 2013
2
http://lampung.tribunnews.com,
pada tanggal 26 Oktober 2013
diakses
diakses
Selain penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia, pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung
jawabnya
di
bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup diberi wewenang sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Hukum
Acara
Pidana
untuk
melakukan
penyidikan tindak pidana lingkungan
hidup.
Ketentuan pada Pasal 94 ayat (1)
seharusnya memberi batasan secara jelas
tentang pihak yang berwenang untuk
melakukan penyidikan sengketa lingkungan hidup, sehingga tidak menimbulkan
sengketa kewenangan diantara Polri dan
PPNS.Hal ini juga bisa dalam penjelasan
ketentuan tersebut, dimana dalam penjelasannya di katakan cukup jelas. Tetapi
justru ketentuan yang ada dalam Pasal 94
ayat (1) menimbulkan multitafsir (tidak
jelas).
Berdasarkan hal tersebut di atas
maka penulis tertarik untuk membahas
permasalahan Polri dalam melakukan
penyidikan tindak pidana lingkungan
hidup yang diberjudul “Pelaksanaan Tugas
dan Kewenangan Penyidik Polri dalam
Melakukan Penyidikan Tindak Pidana
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi
Pencemaran Limbah B3 di Provinsi
Lampung)”.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah melalui dua
pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Yuridis Normatifadalah
pendekatan yang dilakukan dalam bentuk untuk mencari kebenaran dengan
melihat asas-asas dalam ketentuan baik
masalah perundangan, teori-teori,
konsep-konsep serta peraturan yang
berkaitan dengan permasalahan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman
37
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas.
2. Pendekatan Yuridis Empiris adalah
pendekatan yang dilakukan dengan
cara mengadakan penelitian lapangan
dengan melihat kenyataan yang ada
misalnya dalam prilaku hukum,
kepatuhan hukum dan lainnya yang
terdapat di lingkungan masyarakat
serta penegak hukum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Tugas dan
Kewenangan Penyidik Polri dalam
Melakukan Penyidikan Tindak
Pidana Lingkungan Hidup Berupa
Pencemaran Limbah B3di Provinsi
Lampung
Penyidikan merupakan salah satu
Tugas Pokok Polri dalam rangka
melaksanakan penegakan hukum yang
didasarkan pada ketentuan Pasal 13 huruf
(b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Sementara dalam kaitannya
dengan Polri sebagai penyidik didasarkan
kepada ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf
(g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang menyatakan bahwa
Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertugas “melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya.”
Jadi dapat dikatakan bahwa Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia
memberikan wewenang kepada Polri
untuk melakukan tugas penyelidikan dan
penyidikan, namun tidak secara eksplisit
mengatur mengenai penyelidikan dan
penyidikan, sehingga Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia ini masih tetap
mengacu kepada KUHAP maupun
peraturan perundangan lainnya yang
berkaitan dengan penyelidikan dan
penyidikan.
Berkaitan dengan hal di atas,
berikut ini diuraikan beberapa bentuk
kegiatan pelaksanaan penyidikan sebagai
berikut:
1. Pelaksanaan
Penyidikan
tindak
pidana
dilaksanakan setelah diketahui bahwa
sesuatu
peristiwa
yang
terjadi
merupakan tindak pidana:
a. Diketahuinya Tindak Pidana
Dasar hukumnya adalah Pasal 102
ayat (2) dan (3) KUHAP; Pasal 106
KUHAP; Pasal 108 KUHAP; Pasal
109 ayat (1) KUHAP; Pasal 111
KUHAP. Suatu Tindak Pidana
dapat diketahui melalui: Laporan,
Pengaduan, tertangkap tangan,
diketahui langsung oleh petugas
Polri.
Setiap petugas Polri tanpa
menunggu surat perintah dapat
melakukan tindakan penangkapan,
larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan lain sebagainya
seperti dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf (b) KUHAP ketika terjadi
tindak pidana tertangkap tangan.
Terhadap tindakan yang dilakukan,
petugas tersebut wajib membuat
berita acara dan melaporkannya
kepada penyidik sedaerah hukum.
Penyidikan yang mengetahui,
menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristiwa
yang patut diduga merupakan tindak
pidana wajib segera melakukan
tindakan
penyidikan
yang
diperlukan.
Setiap orang yang mengalami,
melihat, menyaksikan dan atau
menjadi korban peristiwa yang
merupakan tindak pidana berhak
untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada kepolisian baik
lisan maupun tertulis. Begitu juga
bagi orang yang mengetahui
permufakatan jahat untuk me-
38
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
lakukan tindak pidana, seketika itu
juga agar melaporkan hal tersebut
kepada kepolisian. Kemudian pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui
tentang terjadinya peristiwa yang
merupakan tindak pidana wajib
segera melaporkan hal itu kepada
kepolisian. Laporan atau pengaduan
yang diajukan secara tertulis harus
ditanda-tangani oleh pelapor atau
pengadu. Laporan atau pengaduan
yang diajukan secara lisan harus
dicatat
oleh
penyidik
dan
ditandatangani oleh pelapor atau
pengadu dan penyidik. Setelah
menerima laporan atau pengaduan,
penyelidik atau penyidik harus
memberikan surat tanda penerimaan
laporan atau pengaduan kepada
yang bersangkutan. Dalam hal
penyidik telah mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum.
b. Pelaksanaan Penyidikan
Setelah diketahui bahwa suatu
peristiwa yang terjadi diduga atau
merupakan tindak pidana, segera
dilakukan
penyidikan
melalui
kegiatan-kegiatan penyelidikan, penindakan, pemeriksaan serta penyelesaian dan penyerahan berkas
perkara. Yang dapat dilakukan oleh
Penyelidikan Reserse, yang menjadi
dasasr hukumnya adalah: Pasal 5
KUHAP; Pasal 9 KUHAP; Pasal 75
KUHAP; Pasal 102 s/d 105
KUHAP; Pasal 111 KUHAP.
Petugas Polri mempunyai
kewewenangan menerima laporan
atau pengaduan tentan adanya
tindak pidana, mencaru keterangan
dan barang bukti, menyuruh
berhenti seorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri, serta melakukan
tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab. Atas perintah
penyidik dapat melakukan tindakan
berupa: Penangkapan, larangan
meninggalkan
tempat
penggeledahan
dan
penyitaan,
Pemeriksaan dan penyitaan surat,
Mengambil sidik jari dan memotret
seorang,
Membawa
dan
menghadapkan
seorang
pada
penyidik.
Berita acara dibuat untuk
setiap tindakan tentang: Pemeriksaan tersangka; Penangkapan;
Penahanan; Penggeledahan; Pemasukan rumah; Penyitaan benda;
Pemeriksaan surat; Pemeriksaan
saksi; Pemeriksaan di tempat
kejadian; Pelaksanaan penetapan
dan putusan pengadilan; Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang.
Berita acara dibuat oleh pejabat
yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut dan dibuat
atas kekuatan sumpah jabatan.
Berita
acara
tersebut
selain
ditandatangani oleh pejabat tersebut
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan
tersebut.
Penyelidikan yang mengetahui, menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana wajib
segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Dalam hal
tertangkap tangan tanpa menunggu
perintah penyidik, penyelidik wajib
segera melakukan tindakan yang
diperlukan
dalam
rangka
penyelidikan dan penyelidik wajib
membuat
berita
acara
dan
melaporkannya kepada penyidik
sedaerah hukum.
Laporan atau pengaduan yang
diajukan secara tertulis harus
ditandatangani oleh pelapor atau
39
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
pengadu. Laporan atau pengaduan
yang diajukan secara lisan harus
dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu
dan penyelidik. Dalam hal pelapor
atau pengadu tidak dapat menulis,
hal itu harus disebutkan sebagai
catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut. Dalam melaksanakan
tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya. Dalam melaksanakan tugas
penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk
oleh penyidik.
2. Penindakan
Penindakan adalah setiap tindakan
hukum yang dilakukan terhadap orang
maupun benda yang ada hubungannya
dengan tindak pidana yang terjadi.
Berkaitan dengan hal di atas, tindakan
hukum tersebut antara lain, sebagai
berikut:
a. Pemanggilan Tersangka dan Saksi
Yang
menjadi
dasar
hukumnya adalah Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, yakni Pasal 7
ayat (1) huruf (g) dan (h) KUHAP;
Pasal 11 KUHAP; Pasal 112
KUHAP; Pasal 113 KUHAP; Pasal
116 ayat (4) KUHAP. Undangundang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia; Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Hukum Acara Pidana;
Peraturan lain-lainnya.
Penyidik Polri mempunyai kewenangan memanggil orang untuk
didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi serta mendatangkan orang ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. Penyidik pembantu
mempunyai wewenang seperti
tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang
wajib diberikan dengan pelimpahan
wewenang dari penyidik.
Penyidik yang melakukan
pemeriksaan, dengan menyebutkan
alasan
pemanggilan
jelas,
berwenang memanggil tersangka
dan saksi yang dianggap perlu
untuk diperiksa dengan surat
panggilan
yang sah dengan
memperhatikan tenggang waktu
yang wajar antara diterimanya
panggilan dan hari seorang itu
diharuskan memenuhi panggilan
tersebut. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika
ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah
kepada petugas untuk membawa
kepadanya. Jika seorang tersangka
atau saksi yang dipanggil memberi
alasan yang patut dan wajar bahwa
ia tidak dapat datang kepada
penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat
kediamannya. Pada saat pemeriksaan tersangka, apabila si tersangka
menghendaki untuk dipanggilnya
saksi yang menguntunkan, penyidik
wajib memanggil dan memeriksa
saksi tersebut.
b. Penangkapan
Yang
menjadi
dasar
hukumnya adalah: Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, sebagai
berikut: Pasal 5 ayat (1) huruf (b)
angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1)
huruf (d) KUHAP; Pasal 11 sampai
dengan 19 KUHAP; Pasal 75
KUHAP; Pasal 111 KUHAP;
Undang-undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia; Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan Hukum Acara
Pidana; Peraturan lainnya (untuk
Pasal-pasal yang berhubungan
dengan penangkapan). Di dalam
40
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1)
KUHAP dijelaskan, “Atas perintah
penyidik dapat melakukan tindakan
berupa: penangkapan, larangan
meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.”
Penyidik Polri mempunyai kewenangan
untuk
melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Penyidik
pembantu mempunyai wewenang
seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat
(1), kecuali mengenai penahanan
yang wajib diberikan dengan
pelimpahan
wewenang
dari
penyidik.
Penyidik
pembantu
membuat
berita
acara
dan
menyerahkan berkas perkara kepada
penyidik, kecuali perkara dengan
acara pemeriksaan singkat yang
dapt langsung diserahkan kepada
penuntut umum. Untuk kepentingan
penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan
penangkapan. Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik dan penyidik
pembantu berwenang melakukan
penangkapan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang
yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.
Pelaksanaan
penangkapan
dilakukan oleh petugas kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan
memperlihatkan surat tugas serta
memperlihatkan kepada tersangka
surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka
dan
menyebutkan
alasan
penangkapan serta uraian singkat
perkara
kejahatan
yang
dipersangkakan serta tempat ia
diperiksa. Dalam hal tertangkap
tangan penangkapan dilakukan
tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus
segera menyerahkan tertangkap
beserta barang bukti yang ada
kepada penyidik atau penyidik
pembantu yang terdekat. Tembusan
surat perintah penangkapan yang
dilakukan oleh Polri harus diberikan
kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.
Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat
dilakukan untuk paling lama satu
hari. Terhadap tersangka pelaku
pelanggaran
tidak
diadakan
penangkapan kecuali dalam hal ia
telah dipanggil secara sah dua kali
berturut-turut tidak memenuhi
panggilan itu tanpa alasan yang sah.
Dalam hal terjadi tindak pidana
yang tertangkap tangan setiap orang
berhak, sedangkan setiap orang
yang mempunyai wewenang dalam
tugas ketertiban, ketentraman dan
keamanan umum wajib, menangkap
tersangka guna diserahkan beserta
atau tanpa barang bukti kepada
penyelidik atau penyidik. Setelah
menerima penyerahan tersangka,
penyelidik atau penyidik wajib
segera melakukan pemeriksaan dan
tindakan
lain dalam rangka
penyidikan.
Penyelidik
atau
penyidik yang menerima laporan
tersebut segera datang ke tempat
kejadian dapat melarang setiap
orang untuk meninggalkan tempat
itu selama pemeriksaan di situ
belum selesai. Hal-hal yang harus
diperhatikan:
1) Setelah penangkapan dilakukan,
segera diadakan pemeriksaan
untuk dapat menentukan apakah
perlu diadakan penahanan atau
tidak, mengingat jangka waktu
penangkapan yang diberikan
oleh Undang-undang hanya
1×24 jam, kecuali terhadap
tersangka kasus narkotik (2×24
jam);
2) Terhadap tersangka pelanggaran
tidak
dapat
dilakukan
penangkapan, kecuali bila telah
41
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
dipanggil secara sah dua kali
berturut-turut tidak memenuhi
panggilam itu tanpa alas an yang
sah;
3) Segera
setelah
dilakukan
penangkapan supaya diberikan 1
(satu)
surat
perintah
penangkapan wajib diberikan
kepada tersangka dan 1 (satu)
lembar kepada keluarganya.
c. Penahanan
Dasar
hukum
dalam
melakukan
penahanan
oleh
penyidik adalah: Pasal 7 ayat (1)
huruf (d) KUHAP; Pasal 11
KUHAP; Pasal 20 ayat (1)
KUHAP; Pasal 21 sampai dengan
Pasal 24 KUHAP; Pasal 29 sampai
dengan Pasal 31 KUHAP; Pasal 75
KUHAP; Pasal 123 KUHAP.
Dalam melakukan penahanan, penyidik Polri mempunyai kewenangan: …melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan…. Seperti tercantum di dalam pasal 7 ayat (1) huruf (d)
KUHAP. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut
dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali
mengenai penahanan yang wajib
diberikan
dengan
pelimpahan
wewenang dari penyidik.
Perintah penahanan
atau
penahanan
lanjutan
dilakukan
terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras
melakukan
tindak
pidana
berdasarkan bukti yang cukup,
dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana.
Penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau
terdakwa dengan memberikan surat
perintah penahanan atau penetapan
hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan
menyebutkan alasan penahanan
serta uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan atau
didakwakan serta tempat ia ditahan.
Tembusan surat penahanan atau
penahanan lanjutan atau penetapan
hakim, harus diberikan kepada
keluarganya. Penahanan tersebut
hanya dikenakan terhadap tersangka
atau terdakwa yang melakukan
tindak pidana dan atau percobaan
maupun pemberian bantuan dalam
tindak pidana tersebut dalam hal:
Tindak pidana itu diancam dengan
pidana penjara lima tahun atau
lebih, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
ayat (4) huruf (b). Jenis penahanan
dapat berupa: Penahanan rumah
tahanan Negara, Penahanan rumah,
Penahanan kota.
Penyidik atau penuntut umum
atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu
kepada jenis penahanan yang lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 KUHAP. Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri
dengan surat perintah dari penyidik
atau penuntut umum atau penetapan
hakim yang tembusannya diberikan
kepada tersangka atau terdakwa
serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan.
d. Penggeledahan
Dasar hukum penyidik untuk
melakukan penggeledahan adalah:
Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1)
KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d)
KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal
32 sampai dengan Pasal 37
KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal
125 KUHAP; Pasal 126 KUHAP.
42
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
Penyelidik Polri atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan,
larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan. Penyidik Polri mempunyai kewenangan
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
Penyidik pembantu mempunyai
wewenang seperti tersebut dalam
Pasal 7 ayat (1) KUHAP, kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik
dapat melakukan penggeledahan
rumah atau penggeledahan pakaian
atau penggeledahan badan menurut
tata cara yang ditentukan dalam
undang-undang. Dengan surat izin
ketua pengadilan negeri setempat
penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
Dalam hal yang diperlukan atas
perintah tertulis dari penyidik,
petugas kepolisian Negara Republik
Indonesia dapat memasuki rumah.
Setiap kali memasuki rumah harus
disaksikan oleh dua orang saksi
dalam hal tersangka atau penghuni
menyetujuinya. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh
kepala desa atau ketua lingkungan
dengan dua orang saksi, dalam hal
tersangka atau penghuni menolak
atau tidak hadir. Dalam waktu dua
hari setelah memasuki dan atau
menggeledah rumah, harus dibuat
suatu berita acara dan turunannya
disampaikan kepada pemilik atau
penghuni rumah yang bersangkutan.
Pada saat keadaan yang sangat
perlu dan mendesak bilamana
penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan
surat izin terlebih dahulu, dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal
33 ayat (5) penyidik dapat
melakukan penggeledahan: Pada
halaman rumah tersangka bertempat
tinggal, berdiam atau ada dan yang
ada di atasnya; Pada setiap tempat
lain tersangka bertempat tinggal,
berdiam atau ada; Di tempat tindak
pidana dilakukan atau terdapat bekasnya, serta di tempat penginapan
dan tempat umum lainnya. Dalam
hal penyidik melakukan penggeledahan, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita
surat, buku dan tulisan lain yang
tidak merupakan benda yang
berhubungan dengan tindak pidana
yang bersangkutan, kecuali benda
yang berhubungan dengan tindak
pidana yang bersangkutan atau yang
diduga telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana tersebut
dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna
memperoleh persetujuannya. Kecuali dalam hal tertangkap tangan,
penyidik tidak diperkenankan memasuki: Ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah; Tempat di mana sedang
berlangsung ibadah dan atau
upacara keagamaan, Ruang di mana
sedang berlangsung sidang pengadilan. Dalam hal penyidik harus
melakukan penggeledahan rumah di
luar daerah hukumnya, dengan tidak
mengurangi ketentuan tersebut
dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui
oleh ketua pengadilan negeri dan
didampingi oleh penyidik dari
daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.
Pada waktu menangkap tersangka,
penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda
yang dibawanya serta, apabila
terdapat dugaan keras dengan alasan
yang cukup bahwa pada tersangka
43
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
tersebut terdapat benda yang dapat
disita. Pada waktu menangkap
tersangka dibawa kepada penyidik,
penyidik berwenang menggeledah
pakaian dan atau menggeledah
badan tersangka. Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan
rumah terlebih dahulu menunjukkan
tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
dan Pasal 34 KUHAP.
Penyidik membuat berita
acara tentang jalannya dan hasil
penggeledahan rumah sebagaimana
dimaksud dalam waktu dua hari
setelah memasuki dan atau menggeledah rumah. Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara
tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian
diberi tanggal dan ditandatangani
oleh penyidik maupun tersangka
atau keluarganya dan atau kepala
desa atau ketua lingkungan dengan
dua orang saksi. Dalam hal
tersangka atau keluarganya tidak
mau membubuhkan tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita
acara dengan menyebut alasannya.
e. Penyitaan
Dasar
dalam
penyitaan
adalah: Pasal 5 ayat (1) huruf (b)
angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1)
huruf (d) KUHAP; Pasal 11
KUHAP; Pasal 38 sampai dengan
49 KUHAP; Pasal 128 sampai
dengan 132 KUHAP. Penyelidik
Polri atas perintah penyidik dapat
melakukan
tindakan
berupa:
penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan. Penyidik Polri mempunyai
kewenangan
melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
Penyitaan hanya dapat dilakukan
oleh penyidik dengan surat izin
ketua pengadilan negeri setempat.
Dalam keadaan yang sangat perlu
dan mendesak bilamana penyidik
harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan surat
izin terlebih dahulu, penyidik dapat
melakukan penyitaan hanya atas
benda bergerak dan untuk itu wajib
segera melaporkan kepada ketua
pengadilan negeri setempat guna
memperoleh persetujuannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHAP
ayat (1), yaitu:
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang
seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai
hasil dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan
untuk mengahalang-halangi
penyelidikan tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat
atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung
dengan tindak pidana yang
dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata
atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang
memenuhi ketentuan ayat (1).
Penyidik dapat menyita benda
dan alat yang ternyata atau yang
44
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
patut diduga telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana atau
benda lain yang dapat dipakai
sebagai barang bukti dalam hal
tertangkap tangan. Penyidik juga
berwenang menyita paket atau surat
atau benda yang pengangkutannya
atau pengirimannya dilakukan oleh
kantor pos dan telekomunikasi,
jawatan
atau
perusahaan
komunikasi atau pengangkutan,
sepanjang paket, surat atau benda
tersebut
diperuntukkan
bagi
tersangka atau yang berasal
daripadanya dan untuk itu kepada
tersangka dan atau kepada tersangka
dan atau kepada pejabat kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan
komunikasi
atau
pengangkutan yang bersangkutan,
harus
diberikan
surat
tanda
penerimaan.
Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang
menguasai benda yang disita,
menyerahkan
benda
tersebut
kepadanya
untuk
kepentingan
pemeriksaan dan kepada yang
menyerahkan benda itu harus
diberikan surat tanda penerimaan.
Surat atau tulisan lain hanya dapat
diperintahkan untuk diserahkan
kepada penyidik jika surat atau
tulisan itu berasal dari tersangka
atau terdakwa atau ditujukan
kepadanya atau kepunyaannya atau
diperuntukkan baginya atau jikalau
benda tersebut merupakan alat
untuk melakukan tindak pidana.
Penyitaan surat atau tulisan
dari mereka yang berkewajiban
menurut undang-undang untuk
merahasiakannya, sepanjang tidak
menyangkut rahasia Negara, hanya
dapat dilakukan atas persetujuan
mereka atau atas izin khusus ketua
pengadilan negeri setempat kecuali
undang-undang menentukan lain.
B.
Faktor yang menjadi Kendala
Penyidikan yang dilakukan
Penyidik Polri dalam melakukan
Penyidikan Tindak Pidana
Lingkungan Hidup berupa
Pencemaran Limbah B3 di
Provinsi Lampung
Usaha menegakan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan
sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat
perbedaan persepsi antara aparatur
penegak hukum dalam memahami dan
memaknai peraturan perundang-undangan
yang ada. Kedua, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup
terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah. Era
reformasi dapat dipandang sebagai
peluang yang kondusif untuk mencapai
keberhasilan dalam penegakan hukum
lingkungan. Untuk itu, sudah saatnya
penegakan hukum bagi setiap usaha dan
aktivitas yang membebani lingkungan
diintensifkan agar kelestarian fungsi
lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik. Persoalan lingkungan hidup bagi
negara berkembang seperti Indonesia
dilematis bagaikan buah simalakama. Di
satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan
pembangunan yang berdampak terhadap
lingkungan, di sisi lain harus melakukan
upaya-upaya
kelestarian lingkungan.
Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan
mutu lingkungan.
Upaya memupuk disiplin lingkungan amat urgen dalam artian menaati
aturan yang berlaku sebagai solusi dalam
menangani problem lingkungan yang kian
marak. Pada prinsipnya, setiap orang
berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup. Karena itu, setiap kegiatan
yang berakibat pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan
dan pembuangan zat berbahaya (B3) me-
45
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
lebihi ambang batas baku mutu bisa
dikategorikan sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan hukum, sehingga
dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana.
Menurut Kepala Bidang (Kabid)
Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan BLHD Provinsi Lampung menyatakan bahwa “hingga kini problem
lingkungan terus menjadi isu yang selalu
aktual dan belum tertanggulangi, terlebih
di era reformasi yang tak luput pula dari
tuntutan demokratisasi dan transparansi”.3
Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap
lingkungan khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat
maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Segenap stakeholders harus mempunyai
tekad untuk memelihara lingkungan dari
kemerosotan fungsi yang senantiasa
mengancam kehidupan masa kini dan
masa mendatang. Dengan demikian,
hukum lingkungan mempunyai peran yang
sangat urgen dalam membantu mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan maka berikut adalah kendalakendala dalam penyidikan yang dilakukan
penyidik polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup
berupa pencemaran limbah B3 di wilayah
hukum Polda Lampung:
1. Faktor hukumnya sendiri
Pembuktian tindak pidana lingkungan,
terutama
pembuktian
materiil
tidaklah
sederhana.
Prosesnya memerlukan dukungan
para ahli dari berbagai latar belakang
keilmuan.Untuk membuktikan tindak
pidana lingkungan hidup, maka harus
memenuhi
unsur
unsur
yang
terkadung dalam Pasal 97, 98
UUPLH No. 32 Tahun 2009 yaitu
sengaja melakukan perbuatan yang
3
Wawancara yang dilakukan pada tanggal
24 April 2014
2.
mengakibatkan dilampauinya bakut
mutu udara ambien, baku mutu air,
air laut, atau kriteria baku mutu
kerusakan lingkungan hidup dan
bahaya keselamatan manusia dan
akibatkan orang luka berat atau mati
dapat dipidana dan memperoleh
sanksi yang tegas. Dalam kasus
perusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup terdapat kesulitan
bagi
aparat
penyidik
untuk
menyediakan alat bukti yang sah
sesuai dengan ketentuan Pasal 183
dan Pasal 184 KUHAP. Di samping
itu, pembuktian unsur hubungan
kausal merupakan kendala tersendiri.
pencemaran lingkungan hidup sering
terjadi secara kumulatif, sehingga
sulit untuk membuktikan sumber
pencemaran, terutama yang bersifat
kimiawi. Selain menyediakan alat
bukti, penyidik juga harus cermat
dalam menentukan tersangkanya
yang
ternyata
sulit
untuk
menempatkan korporasi sebagai
tersangka. Kesulitan ini dirasakan
oleh penyidik pada saat menghubungkan antara tindak pidana dengan
bukti-bukti yang mengarah pada suatu pelaku tindak pidana yang notabene adalah fiksi hukum.
Faktor aparat penegak hukum
Pengetahuan dan keterampilan yang
belum memadai pada kasus tindak
pidana berupa pencemaran limbah
B3, sehingga terjadi perbedaan
pemahaman dalam penuntasan kasus
lingkungan hidup biasanya terjadi
pada penerapan asas ultimum
remedium dan premium remedium,
pembuktian terjadinya pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup,
serta impor dan identifikasi limbah
berbahaya dan beracun membuat
penyelesaian perkara tindak pidana
lingkungan berupa pencemaran B3
memakan waktu yang panjang.
Selanjutnya Sulit menangkap pelaku
pencemaran karena dalam pem-
46
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
3.
4.
buktianya tidak sesederhana dalam
kasus-kasus lain, dimana dalam kasus
pencemaran limbah cair (air sungai)
merupakan akibat kumulatif dari
pembuagan limbah cair yang ada di
aliran sungai, maka penerapan azas
kausalitas akan memakan waktu, dan
biasanya pelaku telah menghilangkan
bukti-bukti pencemaran. Pembuktian
dalam proses penegakan hukum
pidana sejatinya telah dimulai dari
proses pengumpulan bahan dan
keterangan dan jika diindikasikan
bahwa suatu laporan dan/atau pengaduan merupakan suatu tindak pidana
maka penyidik Polri maupun PPNSLH dapat meningkatkan statusnya
menjadi penyidikan. Penyidikan merupakan suatu tahapan untuk mencari
dan menemukan alat bukti yang mendukung bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana lingkungan. Berikutnya
yaitu pengambilan sampel limbah
dari suatu industri tidak mudah, kadangkala petugas harus membawa
surat pengantar dari instansi petugas,
sehingga perusahaan yang diduga
melakukan pencemaran sudah melakukan pembersihan terhadap pencemaran pada saat petugas datang.
Faktor saran atau fasilitas pendukung
penegakan hukum
Kurang memadainya sarana prasarana
seperti
laboratorium
membuat
petugas
kesulitan
dalam
hal
penggolongan pencemaran yang telah
terjadi.
Faktor masyarakat
Ketidakpedulian masyarakat terhadap
kondisi sosial dilingkungannya turut
mendorong terjadinya instabilitas
sosial. Masyarakat yang seharusnya
melaporkan beragam masalah sosial
yang terjadi di lingkungannya kepada
aparat berwajib namun justru
bersikap diam akan menyebabkan
kondisi instabilitas tetap tumbuh dan
berkembang tanpa bisa di atasi.
Ironisnya,
banyak
anggota
masyarakat yang justru terlibat dalam
aktivitas menyimpang tersebut.
Pelibatan masyarakat dalam
menjaga dan memelihara Kamtibmas
sejatinya tidak sekedar membantu
aparat Polri dalam melaksanakan
tugas-tugasnya
sebagai
aparat
pelindung, pengayom dan pelayan
masyarakat, namun yang lebih
penting adalah memberikan ruang
bagi
pemberdayaan
masyarakat
(empowerment).
Masyarakat
diberdayakan sehingga tidak sematamata
sebagai
obyek
dalam
penyelengaraan fungsi kepolisian
melainkan sebagai subyek yang
menentukan dalam mengelola sendiri
upaya penciptaan lingkungan yang
aman dan tertib.
Rendahnya
kesadaran
masyarakat untuk terlibat dalam
upaya menjaga dan memelihara
Kamtibmas dapat menjadi pemicu
maraknya kasus-kasus kriminalitas di
masyarakat. Oleh karena itu yang
dibutuhkan
adalah
adanya
kebersamaan antara aparat Polri dan
masyarakat karena kebersamaan
menjanjikan kekuatan yang luar
biasa, sesuatu yang besar hanya dapat
diraih melalui kebersamaan terutama
dalam hal pencemaran limbah B3
yang terjadi dilingkungannya.
5. Faktor kebudayaan
Pada faktor ini penulis menitik
beratkan
kepada
budaya
dari
perusahaan
yang
melakukan
pencemaran limbah, seperti:
a. Pembuangan
limbah
cair,
kadangkala dibarengi dengan
kondisi alam seperti adanya banjir
di aliran sungai, pada malam hari,
dan membuat aliran pembuangan
tersembunyi yang sulit diketahui
oleh orang luar perusahaan dan
dilakukan secara tersembunyi dan
kurangnya tenaga ahli di bidang
lingkungan.
47
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
b. Tertutupnya Area perusahaan
dengan
pagar
tinggi
atau
bangunan besar dan merupakan
area yang tidak mudah dimasuki
oleh masyarakat atau petugas
sekalipun, sehingga menyulitkan
masyarakat
ikut
mengawasi
pencemaran di lingkungan.
c. Urusan Ekonomi menjadi hal
yang utama sehingga lingkungan
dinomor duakan oleh para
pengusaha.
d. Tidak semua pimpinan perusahaan
sampai tingkat manager atau
pemilik mempunyai Visi dalam
pengelolaan lingkungan sehingga
pengelolaan
limbah
hanya
merupakan pemborosan biaya.
Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan dengan Kasubdit IV Krimsus
Polda Lampung,4 bahwa teknik investigasi
dalam pengumpulan data pada kasus
pembuangan limbah yang tergolong dalam
B3 oleh PT. Bea Sari Jelita secara garis
besarnya dilakukan melalui:
1. Penelitian Dokumen
Kegiatan
pada
penelitian
dokumen
mencakup
penelitian
keabsahan dokumen dan substansi
dokumen. Dalam melaksanakan
penelitian keabsahan dokumen, harus
dilengkapi
dengan
pedomanpedoman teknis dan peraturan yang
berlaku.
Selanjutnya
seluruh
dokumen
dan
peta
dinilai
keabsahannya
sesuai
pedoman/peraturan yang berlaku.
Penelitian substansi dokumen
khususnya dokumen lingkungan
(AMDAL, RPL/UKL) dimaksudkan
untuk melihat sejauh mana informasi
yang terkandung di dalam data dasar
digunakan sebagai acuan perencanaan
yang dibuat. Dalam penelitian
substansi dokumen, informasi yang
4
Wawancara yang dilakukan pada 5 Mei
2014
dimuat dalam dokumen-dokumen
perencanaan,
laporan
kegiatan
pelaksanaan, dan dokumen data
dasar, dilakukan uji silang (cross
check) untuk melihat keterkaitan
dalam hal target, materi, dan jangka
waktunya atau mencocokan antara
laporan perencanaan dengan laporan
pelaksanaan di lapangan dalam upaya
pencegahan dampak negatif atau
kerusakan lingkungan yang akan
terjadi.
Kelemahan investigasi berdasarkan penelitian dokumen yaitu
pihak pelaku pencemar dan atau
perusakan
lingkungan
jarang
memberikan
dokumen
kegiatan
lapangan kepada pihak penyidik
(dimusnahkan), sering kali data pada
dokumen kurang akurat (perlu
validasi) dan memerlukan waktu
yang cukup lama dalam memahami
keterkaitan data yang ada dengan
kejadian kerusakan lingkungan yang
terjadi.
Kelebihan
investigasi
berdasarkan penelitian dokumen
adalah cepat dan tidak memerlukan
analisa laboratorium, dan merupakan
barang otentik yang dapat digunakan
sebagai bukti awal terjadinya tindak
kerusakan lingkungan. Berdasarkan
penelitian dokumen yang dilakukan
bahwa PT. Bea Sari Jelita tidak
memiliki ijin TPS Limbah B3, yang
perijinan
tersebut
seharusnya
dikeluarkan oleh BPLH Lampung
Selatan.
2.
Penelitian Lapangan
Berdasarkan temuan-temuan
pada penilaian substansi dokumen
terkusus
dokumen
lingkungan,
dilakukan pelingkupan kegiatan
lapangan. Pelingkupan kegiatan lapangan dilakukan untuk memfokuskan
hal-hal yang dianggap penting/kritis
dalam
pengambilan
keputusan
penapisan dan lebih memberi
keyakinan
dalam
pengambilan
48
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
keputusan tentang terjadinya dugaan
pencemaran dan atau perusakan
lingkungan.
Berdasarkan temuan lapangan
yang dilakukan bahwa bak IPA yang
dimiliki PT. Bea Sari Jelita pada
Pabrik pembuatan sabun tidak difungsikan dan dibuang langsung ke
tanah kosong di samping pabrik,
sedangkan sisa pembakaran batubara
dibuang dan dihamparkan di halaman
di halaman kosong belakang pabrik
dan tidak ditempatkan di TPS Limbah
B3.
Pengamatan lapangan sangat
diperlukan kompetensi saksi ahli
dalam menggungkap dugaan terjadinya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan yang meliputi tipe dan
komponen sumberdaya alam dan ekosistem yang terkena dampak, proses
dan mekanisme terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan,
derajat kerusakan yang terjadi dan
lamanya kerusakan. Hal tersebut
sangat diperlukan untuk menentukan
pengamatan, penelitian dan pengambilan sampel yang tepat dan akurat
untuk dianalisa di laboratorium.
Pengambilan sampel yang dilakukan
harus diupayakan memenuhi komponen ekosistem yang mengalami
kerusakan baik komponen biotik
(flora, fauna, tanaman, tumbuhan
bawah, jamur dan sebagainya) dan
komponen abiotik (tanah, batu, bahan
mineral, air, serasah, kayu terbakar,
kayu dan sebagainya). Pengambilan
komponen ekosistem tersebut juga
berdasarkan metode ilmiah yang
tepat, efektif dan efisien dengan
ditunjang peralatan yang baik
(kompas, GPS, penetrometer, altimeter, peta dan lain lain). Adapun
pengamatan lapangan dapat dilakukan melalui metode analisa
vegetasi dan pengambilan sampel
tanah
(legal
sampling)
serta
mengamati dampaknya.
Kelemahan investigasi berdasarkan
penelitian lapangan yaitu pihak
pelaku perusakan kurang kooperatif,
data yang diperoleh terbatas, kadang
memerlukan waktu yang lama,
asessibilatas yang kurang baik dan
terpengaruh oleh kondisi cuaca dan
iklim. Kelebihan investigasi berdasarkan penelitian lapangan adalah
obyektif, reprentatif, dapat mendukung atau membantu jawaban atas
analisa laboratorium dan saksi ahli
atau penyidik dapat mengamati
komponen ekosistem atau lingkungan
yang mengalami perusakan lingkungan yang terjadi.
3.
Analisa Laboratorium
Setelah didapat komponen dan
proses perusakan dapat diungkap
maka saksi ahli melakukan legal
sampling
terhadap
komponen
lingkungan untuk memastikan tingkat
pencemaran dan atau perusakan yang
terjadi. Sampel tersebut dibuatkan
berita acara pengambilan sampel,
penyegelan, penyitaan sampel dan
analisa laboratorium terhadap sampel
tanah yang didapat dari lapangan.
Kelemahan
investigasi
berdasarkan analisa laboratorium
yaitu memerlukan peralatan dan
bahan kimia yang biayanya mahal,
data sangat dipengaruhi pada metode
analisis,
data
yang
diperoleh
ditentukan oleh sampling yang
dilakukan, memerlukan waktu lama
dan saksi ahli kuarng dapat
menjelaskan proses dan mekanisme
terjadinya pencemaran dan atau
perusakan lingkungan (terutama
apabila tidak melalukan sampling).
Kelebihan investigasi berdasarkan
analisa
laboratorium
adalah
merupakan alat bukti yang akurat,
data yang diperoleh akurat dan lebih
objektif Indikator yang konsisten
untuk menentukan derajat kerusakan
49
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
melalui kriteria baku kerusakan yaitu
komponen.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
4.
5
Wawancara
Teknik investigasi dengan
wawancara umumnya dilakukan
bersamaan dengan penelitian di
lapangan. Wawancara umumnya
merupakan data tambahan yang
fungsinya bertujuan untuk lebih
mengetahui mengungkap proses terjadinya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan.
Kelemahan investigasi berdasarkan wawancara yaitu memerlukan
kemampuan berkomunikasi, pihak
pelaku perusak dan pencemar bersifat
resisten, data kuantitatif kurang
akurat, bersifat subjektif dan data
bersifat kualitatis. Kelebihan investigasi berdasarkan wawancara
adalah data yang diperoleh secara
cepat, mudah dan murah.
Tahap berikutnya menurut
Penyidik Subdit IV Krimsus Polda
Lampung yaitu perintah penangkapan
terhadap seseorang berdasarkan Pasal
17 KUHAP, dilakukan terhadap
seorang
yang
diduga
keras
melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup.5 Bukti
permulaan yang cukup yaitu bukti
permulaan untuk menduga adanya
tindak pidana sesuai Pasal 1 ayat (14)
KUHAP.
Dengan
demikian,
Ketentuan
Pasal
17
KUHAP
mengatur
bahwa
perintah
penangkapan tidak dapat dilakukan
dengan sewenang-wenang, akan tetapi hanya dapat dilakukan terhadap
mereka yang betul-betul telah melakukan tindak pidana.
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
2.
Pelaksanaan tugas dan wewenang
penyidik Polri dalam penyidikan
tindak pidana lingkungan berupa
pencemaran limbah B3 di wilayah
hukum Polda Lampung berjalan
berdasarkan sesuai ketentuan di
dalam KUHAP, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian RI, dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam
pelaksanaannya Penyidik Polri dan
PPNS-LH masih harus berkoordinasi
dengan instansi pemerintah lain untuk
saksi ahli sesuai dengan bidangnya,
sehingga membutuhkan waktu yang
lama dan tidak efisien.
Faktor atau kendala yang dihadapi
penyidik Polri khususnya pada
Ditreskrimsus Polda Lampung dalam
melakukan penyidikan tindak pidana
lingkungan berupa pencemaran limbah B3 di Provinsi Lampung berupa:
sulitnya pengambilan sampel limbah,
pembuktian yang tidak sederhana,
tertutupnya areal pabrik yang menyebabkan tidak mudah dimasuki
masyarakat ataupun petugas, ketidakpedulian masyarakat sekitar seolah tutup mata dengan apa yang
terjadi di sekitarnya termasuk dalam
hal pencemaran limbah B3, kurang
memadainya pengetahuan dan keterampilan penyidik, kurang memadainya sarana prasarana seperti
laboratorium
membuat
petugas
kesulitan dalam hal penggolongan
pencemaran yang telah terjadi.
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 6
Mei 2014
50
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
Rekomendasi
1.
2.
Kepada Pemerintah pusat hendaknya
dibuat petunjuk teknis yang lebih
jelas dan tegas terkait dengan tugas
dan wewenang penyidikan khususnya
terhadap tindak pidana lingkungan
antara Penyidik Polri dengan PPNSLH.
Hendaknya
Kepolisian
Daerah
Lampung mengirimkan anggotanya
atau penyidik untuk pelatihan dan
pendidikan khususnya terkait dengan
tindak pidana lingkungan guna
meningkatkan
kemampuan
dan
intelejensi penyidik Polri.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Chazawi, Adami, 2005. Hukum Pidana
Materiil dan Formil Korupsi di
Indonesia, Bayumedia Publishing,
Malang.
Erwin, Muhammad, 2008. Hukum
Lingkungan - Dalam Sistem
Kebijaksanaan
Pembangunan
Lingkungan Hidup, PT. Refika
Aditama, Bandung.
Farid, Zainal Abidin, 2007. Hukum
Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar
Grafika, Jakarta.
Hamzah, Andi, 2010. Asas-Asas Hukum
Pidana,
Cetakan
keempat,
P.T.Rienka Cipta, Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP,
Penyidikan
dan
Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan
Ke-8, Sinar Grafika, Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005. Hukum
Tata Lingkungan. Cet. 18. Gadjah
Mada
University
Press.
Yogyakarta.
I Nyoman, Nurjaya, 2008. Pengelolaan
Sumber Daya Alam dalam
Perspektif Antropologi Hukum,
Prestasi Pustaka, Jakarta.
Ilyas, Amir, 2012. Asas-Asas Hukum
Pidana, Rengkang Education
Yogyakarta dan Pukap Indonesia,
Yogyakarta.
Lamintang, P.A.F., 2011. Dasar-Dasar
Hukum
Pidana
Indonesia,
Cetakan
Keempat,
P.T.Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Machmud, Syahrul. 2012. Problematika
Penerapan Delik Formil Dalam
Perspektif Penegakan Hukum
Pidana Lingkungan Di Indonesia,
Indonesia,Mandar
Maju,
Bandung.
Marpaung, Leden, 2012. Asas Teori
Praktik Hukum Pidana, Cetakan
ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta.
Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum
Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Mulyosudarmo, Suwoto. 1990. Kekuasaan
dan Tanggung Jawab Presiden
Republik
Indonesia,
Suatu
Penelitian Segi-Segi Teoritik dan
Yuridis
Pertanggungjawaban
Kekuasaan,
Universitas
Airlangga,Surabaya.
Ngani, Nico, I Nyoman Budi Jaya; Hasan
Madani, Mengenal Hukum Acara
Pidana, Bagian Umum Dan
Penyidikan, Liberty, Yogyakarta.
Prasetyo, Teguh, 2011. Hukum Pidana,
Cetakan Kedua, P.T. Raja
Grafindo, Jakarta.
Prinst, Darwan, 1989. Hukum Acara
Pidana
Suatu
Pengantar,
Djambatan, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 2010. TindakTindak
Pidana
Tertentu
Indonesia, Cetakan Ketiga, Refka
Aditama, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 2009. Penegakan
Hukum suatu tinjauan sosiologis,
Genta Publishing, Yogyakarta.
51
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52
Rangkuti, Siti Sundar Rangkuti, 1996.
Hukum
Lingkungan
dan
Kebijaksanaan
Lingkungan
Nasional-edisi ketiga, Airlangga
University Press, Surabaya.
Sadjijono, 2008. Memahami Beberapa
Bab Pokok Hukum Administrasi
Negara, Laks Bang Pressindo,
Jogyakarta.
Salim, 2007. Hukum Pertambangan Di
Indonesia- edisi revisi. PT.
RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Santoso, Mas Agus Good Governance,
Hukum Lingkungan. Tanpa tahun.
Setiardja, A. Gunawan. 1990. Dialektika
Hukum
dan
Moral
dalam
Pembangunan
Masyarakat
Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
Siahaan, 2004. Hukum Lingkungan dan
Ekologi Pembangunan. Erlangga,
Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1982. Penegakan
Hukum. Bina Cipta, Bandung.
----------, 1983. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Rajawali, Jakarta.
Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Politea, Bogor.
Sudarsono, 2007. Kamus Hukum, Cetakan
Kelima, P.T.Rineka Cipta, Jakarta.
Muladi.
Menjamin
Kepastian
Ketertiban Penegakan
dan
Pelindungan Hukum dalam era
Globalisasi. (Jurnal Keadilan,
2001).
M. Hadjon, Philipus. Tentang Wewenang,
Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya, tanpa tahun.
Syafrudin,
Ateng.
2000
Menuju
Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara
yang
Bersih
dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro
Justisia Edisi IV, Universitas
Parahyangan, Bandung.
D. Website
http://lampung.tribunnews.com
http://panisean.wordpress.com
B. Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian RI.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
C. Jurnal, Makalah, Media Massa
Lotulung,
Paulus
Efendie.
1994.
Himpunan Makalah Asas-Asas
Umum
Pemerintahan
yang
Baik,Citra Aditya Bakti, Bandung.
52
Download