BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam hubungan antara warga negara dengan pemerintah dalam suatu negara, kita tidak dapat menghindari pembahasan tentang pelayanan publik. Pada hakekatnya, pemerintah dengan warga negara selalu berinteraksi dengan cara melayani dan dilayani. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melayani warga negara, dan sebaliknya, warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah. Pada era globalisasi sekarang ini, isu pelayanan publik menjadi fokus utama di setiap negara. Berbicara tentang pelayanan publik tidak dapat dilepaskan dari birokrasi sebagai operator pelayanan publik. Birokrasi terbentuk untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan salah satunya adalah menyelenggarakan pelayanan publik. Dalam perjalanannya, manfaat adanya birokrasi berbanding lurus dengan munculnya patologi dalam birokrasi tersebut. Konsep pelayanan publik dan birokrasi telah menjadi fokus banyak penelitian tentang administrasi publik di berbagai negara. Dengan demikian, pelayanan publik dan birokrasi telah menjadi isu internasional dalam bidang administrasi publik. Dalam beberapa jurnal yang memuat hasil penelitian tentang birokrasi dan pelayanan publik, hampir semua membahas tentang dinamika birokrasi dalam rangka perbaikan pelayanan publik di negara masing-masing. Di negara maju seperti negara-negara di benua Eropa dan Australia, konsep pelayanan publik 1 masih terus dikembangkan dengan penataan manajemen birokrasi yang lebih baik. Sedangkan di negara-negara berkembang seperti pada negara-negara di Asia dan Afrika, jelas patologi birokrasi terutama dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik lebih banyak ditemukan. Beberapa penelitian yang dilakukan di negaranegara Eropa dan Australia menemukan fakta bahwa pelayanan publik dan birokrasi selalu berinovasi. Sebagaimana disebutkan oleh Jeannot dan Guillemot (2013), Prancis telah melakukan praktek manajemen sektor publik dengan menggunakan instrumen manajemen, seperti kualitas, produksi, teknologi informasi dan sumber daya manusia. Jadi, pelaksanaan pelayanan publik oleh pemerintah dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena menggunakan indikator dalam pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, kinerja birokrasi mencoba dikembangkan dengan meningkatkan anggaran. Sebagaimana disebutkan oleh Wyckoff (1990), bahwa inefisiensi birokrasi dapat diatasi dengan peningkatan anggaran kinerja yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan birokrat, inovasi birokrasi dan penataan manajemen pemerintahan. Peningkatan anggaran menjadi salah satu cara pemerintah untuk meningkatkan kualitas kinerja birokratnya. Sehingga terdapat keterkaitan hubungan dimana birokrat tidak akan mempunyai komitmen yang kuat selama minim anggaran dalam instansinya. Oleh karenanya, kesejahteraan birokrat harus ditingkatkan untuk menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Dalam beberapa kasus, perbaikan pelayanan publik dilakukan dengan melibatkan pihak swasta. Beberapa pelayanan yang menjadi kewajiban pemerintah diserahkan sebagian kepada swasta agar masyarakat mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Metode ini sering menimbulkan persaingan antara 2 pemerintah dengan swasta. Persaingan ini bersifat menguntungkan ketika dapat memotivasi pemerintah agar memberikan pelayanan yang lebih baik kepada publik. Namun, di sisi lain dapat merugikan jika swasta mendominasi pelayanan publik tersebut. Budd (2007) menawarkan suatu konsep Reanimating Public Governance (RPG) dimana pemerintah diberikan peran untuk mengontrol pihak swasta yang menyelenggarakan pelayanan publik. Konsep yang telah diterapkan di beberapa negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Selandia Baru dan Kanada ini berfungsi menjaga keseimbangan persaingan penyelenggaraan pelayanan publik antara pemerintah dan swasta. Salah satu konsep yang ditawarkan dalam rangka perbaikan pelayanan publik atau reformasi birokrasi adalah New Public Management (NPM). Penelitian yang dilakukan oleh Skalen (2007) di Swedia, Cheung (1996) di Hong Kong, serta De Vries dan Nemec (2013) di negara-negara maju dan Amerika Serikat, menemukan fakta bahwa konsep NPM dapat digunakan untuk membangun reformasi birokrasi. Bahkan De Vries dan Nemec lebih menyempurnakan konsep NPM dengan konsep Post-NPM karena NPM dipandang masih banyak kekurangannya. Reformasi birokrasi sangat erat kaitannya dengan terobosan baru dalam mendobrak kemapanan birokrasi sebagai momok dalam masyarakat. Sebagaimana dipaparkan oleh Sun Kang (2005), bahwa birokrasi merupakan sinonim dari inefisiensi dan terkadang menjadi kewenangan yang antidemokrasi. Masyarakat menuntut suatu perubahan dalam lingkungan birokrasi, dalam artian terdapat peningkatan kualitas pelayanan publik dan pembatasan hukum yang mengikat. Untuk dapat mencapai efisiensi maka diperlukan langkah inovatif yang harus 3 dilakukan oleh birokrat. Sebagaimana disebutkan oleh Currie (2008) dalam Stewart (2014) yang mendefinisikan inovasi sektor publik sebagai : “The quest for creative, unusual or novel solutions to problems and needs, including new services, new organizational forms and process improvements”. Dari definisi diatas dapat dicermati bahwa inefisiensi birokrasi dapat diatasi dengan perbaikan proses melalui langkah kreatif seperti memperbaharui sistem pelayanan dan struktur organisasi. Sistem pelayanan yang usang dan menimbulkan banyak keluhan dari masyarakat harus diubah dengan pelayanan yang lebih ramah, efektif dan efisien terhadap masyarakat. Di Indonesia, tanah dianggap sebagai objek vital dalam kehidupan seharihari. Tanah adalah salah satu aset yang dimiliki baik oleh individu maupun kelompok dan dimanfaatkan untuk kepentingan masing-masing. Dalam pengelolaannya, tanah sering menimbulkan banyak permasalahan. Oleh karenanya, untuk mengatur pengelolaan dan kepemilikan tanah, dibentuklah lembaga pemerintah yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN adalah sebuah lembaga pemerintah non departemen yang berwenang menyelenggarakan pelayanan di bidang pertanahan. Dahulu, lembaga ini berada dibawah Departemen Dalam Negeri (Depdagri) sebagai Direktorat Jenderal Agraria. Untuk mempermudah penyelenggaraan pelayanan publik di bidang pertanahan, Dirjen Agraria Depdagri kemudian dihapuskan dan dibentuk Badan Pertanahan Nasional yang garis koordinasinya melalui Menteri Negara Agraria pada tahun 1988. Perubahan mendasar dalam tubuh BPN terjadi pada tahun 2002 dimana BPN menjadi lembaga negara yang kedudukannya disejajarkan dengan kementerian dan berubah nama menjadi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN 4 RI). Pada tahun 2014, pemerintahan Presiden Joko Widodo mengubah nomenklatur BPN menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN RI dengan beberapa perubahan dalam tugas pokok dan fungsi (tupoksi) instansi. Kantor Pertanahan (Kantah) adalah satuan kerja dibawah BPN RI yang berada pada tingkat kabupaten. Sebagian besar teknis pertanahan ditangani oleh kantah, seperti pengukuran tanah, pembuatan sertipikat tanah, peralihan hak, pembebanan hak tanggungan, roya, dan lain sebagainya. Satuan kerja diatas kantah, seperti Kantor Wilayah (Kanwil) dan BPN RI hanya berwenang dalam hal pengukuran dan penerbitan Surat Keputusan Hak dalam luasan tertentu. Dengan demikian, kantah adalah ujung tombak BPN RI dalam melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat. Pelayanan pertanahan selalu mendapatkan keluhan dari masyarakat atau pemohon. Keluhan paling banyak berkisar pada lambatnya penerbitan sertipikat tanah dan mahalnya biaya untuk mengurus sertipikat tanah. BPN pernah menjadi lembaga negara terburuk dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2008, BPN berada pada peringkat 5 lembaga rawan suap dengan persentase mencapai 32 % dan rata-rata nilai transaksi suap mencapai Rp. 7,555 juta (Suara Merdeka, 22 Januari 2009). Sedangkan dalam survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun yang sama, BPN berada pada peringkat 5 lembaga dengan pelayanan publik terburuk (Suara Merdeka, 5 Februari 2009). Buruknya kinerja BPN diperkuat dengan data dari PSKK UGM yang menyatakan bahwa pengurusan sertipikat tanah berada pada peringkat 5 pertama pelayanan publik yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat kepada DPRD dengan prosentase sebesar 45 %. Sebagai respon atas buruknya pelayanan oleh BPN, akhirnya pada tahun 2010, Kepala BPN RI menerbitkan Peraturan Kepala BPN (Perkaban) No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. Perkaban ini menjadi pengganti dari Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan di Lingkungan BPN dan Perkaban No. 6 Tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan Untuk Jenis Pelayanan Tertentu. Substansi perubahan yang terkandung dalam Perkaban No.1 Tahun 2010 terdapat pada pasal 3 tentang tujuan Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan (SP3) adalah untuk mewujudkan kepastian hukum, keterbukaan dan akuntabilitas pelayanan publik. SP3 melampirkan prosedur, biaya dan waktu penyelesaian pekerjaan. Pada setiap Kantah diharuskan menampilkan SP3 ini di ruang yang terlihat oleh publik atau pemohon. Diharapkan masyarakat atau pemohon dapat mengetahui berapa lama dan biaya yang dibutuhkan untuk mengurus sertipikat tanahnya. Dengan demikian, akuntabilitas pelayanan publik yang hendak dibangun oleh BPN dapat terwujud. Selanjutnya, untuk lebih mendapatkan kepercayaan kembali dari masyarakat, BPN RI terus berupaya untuk memperbaiki pelayanannya dengan cara menjalankan reformasi birokrasi yang secara resmi dicanangkan mulai tanggal 15 Januari 2013. Dalam rangka perwujudan reformasi birokrasi di tubuh BPN RI, Kepala BPN RI Hendarman Supandji mencanangkan Sapta Tertib Pertanahan yang meliputi Tertib Administrasi, Tertib Anggaran, Tertib 6 Perlengkapan, Tertib Perkantoran, Tertib Kepegawaian, Tertib Disiplin Kerja dan Tertib Moral. Selain Sapta Tertib Pertanahan, Penataan dan Penguatan Organisasi dan Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur di BPN RI juga meliputi Sapta Pembaharuan Reformasi Birokrasi yang meliputi Pembangunan dan Penerapan Sistem Rekrutmen, Sistem Pendidikan, Kode Perilaku, Standar Minimum Profesi, Pola Jenjang Karier, Sistem Pengawasan dan Pembentukan Majelis Kehormatan Kode Etik dan Profesi. Upaya ini dilanjutkan dengan diserahkannya Dokumen Usulan dan Road Map BPN RI 2010-2014 kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, meliputi 9 program yang dijabarkan kedalam 27 kegiatan dan sekaligus menetapkan 2 (dua) program ”Quick Wins” BPN RI untuk tahun 2013-2014, yaitu Program Pelayanan Pengecekan Sertipikat Tanah dan Pelayanan Peralihan Hak Jual-Beli Atas Tanah (www.bpn.go.id). Salah satu program dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi di BPN RI adalah percepatan pelayanan pertanahan. Semakin dinamisnya masyarakat menyebabkan penyelenggara pelayanan publik harus segera merespon. Program percepatan pelayanan pertanahan yang dicanangkan oleh BPN RI seolah menjadi jawaban atas respon tersebut. Salah satu program percepatan pelayanan pertanahan oleh BPN RI adalah One Day Service (ODS) atau pelayanan satu hari selesai. Sebenarnya program ini bukanlah hal yang baru dalam pelaksanaan pelayanan publik. Instansi pemerintah lain telah melakukan pelayanan ini. Namun untuk pelayanan pertanahan yang selama ini dikenal membutuhkan banyak waktu untuk penyelesaian pekerjaannya, program ini dianggap sebagai terobosan yang menarik. Tentu saja, sesuai dengan kewenangannya, ODS ini diselenggarakan oleh Kantah. Diharapkan ODS dapat menjadi sarana untuk menciptakan reformasi 7 birokrasi di tubuh BPN RI khususnya di Kantah sebagai satuan kerja yang melaksanakan pelayanan pertanahan. Diantara 5 (lima) kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kabupaten Bantul merupakan wilayah yang mempunyai pertumbuhan pemukiman yang paling tinggi. Semakin tingginya harga tanah di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman membuat masyarakat pencari lahan terutama untuk tempat tinggal mengincar lahan di Bantul. Harga tanah di Bantul yang relatif masih terjangkau menjadi pertimbangan utama mereka. Selain untuk tempat tinggal, masyarakat juga banyak mencari lahan di Bantul dengan tujuan investasi. Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa saat ini tanah merupakan properti investasi paling menjanjikan. Harga tanah diklaim tidak bakal jatuh, bahkan bakal naik dari waktu ke waktu. Investasi merupakan suatu upaya yang paling realistis untuk menjaga kesejahteraan seseorang maupun badan hukum atau usaha. Secara umum, investasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh orang (natural person) maupun badan hukum (judicial person), dalam upaya meningkatkan dan/atau mempertahankan nilai modalnya, baik dalam bentuk uang tunai, peralatan, aset tak bergerak, hak atas kekayaan intelektual maupun keahlian (Haryono dalam Effendi, 2013 : 82). ODS menjadi salah satu sarana untuk mempercepat pemberian kepastian hukum terhadap aset yang dimiliki oleh masyarakat. Jika permohonan pelayanan pertanahan oleh masyarakat dapat lebih cepat terselesaikan, maka upaya investasi dari masyarakat akan lebih lancar. Kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diselenggarakan oleh BPN khususnya Kantah menjadi output reformasi birokrasi yang mulai dicanangkan. Sebagai daerah yang sedang berkembang, Bantul sangat 8 diuntungkan dengan program ODS dari BPN. Bertumbuhnya iklim investasi sangat mendukung pertumbuhan ekonomi di Bantul. Selain itu, penyebaran penduduk di Provinsi DIY juga akan lebih meningkat sehingga tidak terjadi penumpukan kepadatan penduduk di suatu Kabupaten/Kota di DIY. Tujuan lain diadakannya program ODS ini adalah untuk memangkas perilaku calo sertipikat tanah yang seringkali menjadi kendala dalam pelayanan pertanahan. Tingginya biaya pengurusan sertipikat tanah sebagian besar adalah kontribusi dari para calo ini. Luas wilayah kabupaten bantul yang mencapai 505,47 km2 atau 50.547 ha dan meliputi 17 kecamatan, 75 desa dan 933 pedukuhan (www.bantulkab.go.id) membuat mobilitas penduduk Bantul sangat terbatas ke ibukota kabupatennya. Situasi ini yang seringkali dimanfaatkan oleh para calo untuk menawarkan jasanya agar masyarakat tidak merasa repot dalam mengurus sertipikat tanahnya ke Kantah. Dengan mendapatkan pelayanan satu hari selesai, diharapkan masyarakat Bantul yang hendak mengurus sertipikat tanahnya tidak lagi menggunakan calo sehingga biaya yang dikeluarkan lebih sedikit. 9 1.2. Perumusan Masalah Dari latar belakang diatas, dimana program ODS menjadi suatu terobosan baru dari BPN RI, maka dapat ditarik perumusan masalah dengan menggunakan pertanyaan penelitian sebagai berikut : “Apakah program One Day Service (ODS) telah menjadi salah satu perwujudan reformasi birokrasi di Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul dan telah memberikan kepuasan terhadap masyarakat?” Selanjutnya, untuk lebih memperdalam analisis yang dilakukan, dari pertanyaan penelitian tersebut dapat diturunkan menjadi dua sub pertanyaan sebagai berikut : 1. ‘Bagaimana proses pelaksanaan ODS di Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul?’ 2. ‘Bagaimana persepsi masyarakat Kabupaten Bantul terhadap program ODS yang telah diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul?’ 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terbagi dalam dua jenis, yakni tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun tujuan umum penelitian ini adalah : ‘Untuk mengetahui apakah ODS di Kantah Kabupaten Bantul telah terlaksana dengan baik sesuai dengan cita-cita reformasi birokrasi yang telah dicanangkan oleh BPN RI’. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini antara lain : 10 1. ‘Untuk mengetahui proses pelaksanaan ODS di Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul.’ 2. ‘Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap proses ODS dalam rangka percepatan pelayanan pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul.’ 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain : 1. Sebagai bahan referensi, literatur atau kajian bagi ilmu administrasi publik; 2. Sebagai bahan informasi bagi yang hendak mengetahui proses pelayanan pertanahan terkait dengan reformasi birokrasi; 3. Sebagai rekomendasi untuk BPN RI dalam upaya meningkatkan pelayanan pertanahan terhadap masyarakat; dan 4. Sebagai sumber pengetahuan bagi masyarakat bagaimana proses pelaksanaan ODS oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul. 11