BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan mempunyai makna yang cukup luas, tergantung siapa yang mengartikannya dalam konteks apa, lingkup apa dan jenjang mana. Secara umum, pendidikan berkenaan dengan peningkatan kualitas manusia, pengembangan potensi, kecakapan, dan karakteristik generasi muda ke arah yang diharapkan masyarakat (Syaodih,2012: 1). Pendidikan harus mampu menyesuaikan dinamika yang berkembang dalam masyarakat., terutama tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini bisa dijawab dengan perubahan kurikulum. Salah satu kurikulum yang telah diterapkan dalam dunia pendidikan Indonesia adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebuah konsep kurikulum dengan menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu sehingga hasilnya dapat dirasakan peserta didik, berupa penguasaan terhadap kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Bentuk-bentuk pembelajaran yang disarankan dari KTSP meliputi pembelajaran autentik, pembelajaran berbasis inquiri, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran layanan, pembelajaran berbasis kerja, dan pembelajaran berbasis portofolio (Kunandar, 2011). Kunandar (2011: 135) mengatakan dalam KTSP, guru ditempatkan sebagai fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik.Fungsi fasilitator dan mediator berarti menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik bertanggung jawab dalam membuat rancangan dan proses, menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasan, menyediakan sarana yang merangsang peserta didik berpikir secara produktif, menyediakan kesempatan dan pengalaman konflik, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik jalan atau tidak, guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru, membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik. Guru sebagai seorang pendidik merupakan salah satu pembawa perubahan yang sangat berperan dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal-hal yang juga harus diperhatikan guru adalah bagaimana guru mampu untuk meningkatkan kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajibankewajiban secara bertanggung jawab dan layak.Selanjutnya Sanjaya (2011: 70), menyatakan bahwa kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Guru terlibat langsung dalam proses pendidikan, oleh karena itu guru harus selalu meningkatkan kemampuan profesinya agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Ada empat kompetensi atau kemampuan yang harus dimiliki guru, yaitu kemampuan pedagogik, kemampuan profesional, kemampuan sosial, dan kemampuan personal. Kriteria penilaian kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran meliputi: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dalam mengelola pembelajaran, diharapkan tidak hanya berlangsung interaksi intruksional, tetapi juga interaksi pedagogis yang mengutamakan sentuhan-sentuhan emosional sehingga peserta didik merasa senang. Dalam proses pembelajaran dituntut untuk memahami betapa pentingnya keseimbangan antara akal dan emosi. Yang mendasari semua ini adalah bagaimana peserta didik memahami penggunaan emosi secara cerdas dan guru memperhatikan kemampuan emosional peserta didik sehingga proses pembelajaran berjalan dengan lebih baik (Aunurrahman,2014) Kecerdasan emosional merupakan hasil dari aktivitas individu dalam melatih fungsifungsi emosional diri sendiri atau oleh orang lain sehingga lebih merupakan hasil belajar. Kecerdasan emosional meliputi kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Aunuhrrahman, 2014). Kekhawatiran yang diungkapkan Sundem (Sukma, 2013) disebabkan karena masih banyak program pendidikan yang berpusat pada kecerdasan intelektual. Kecerdasan intelektual ini diukur dari nilai rapor dan indeks prestasi. Nilai rapor yang baik,indeks prestasi yang tinggi, atau sering juara kelas merupakan tolak ukur dari kesuksesan seseorang. Tolak ukur ini tidak salah tetapi tidak seratus persen bisa dibenarkan. Ada faktor lain yang yang menyebabkan seseorang mencapai sukses, yaitu kecerdasan emosional. Gunanjar (TVRI, Februari 2016) mengatakan bahwa dalam sistem pendidikan di Indonesia belum adanya suatu pengajaran khusus tentang kecerdasan emosional, yang diajarkan umumya hanya kecerdasan intelektual. Hal ini kemudian diselidiki di sebuah lembagaEmotion Quotient Inventory (EQI) yaitu lembaga yang mengumpulkan data-data orang sukses di muka bumi ini, diperoleh bahwa kecerdasan intelektual hanya 6% membawa keberhasilan dan maksimal 20%. Dari hasil disimpulkan bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh IQ, namun ada kecerdasan-kecerdasan lainnya. Kemudian Goleman (1996: 42) mengatakan bahwa faktor IQ hanya menyumbang maksimal 20% untuk menentukan kesuksesan, sedangkan 80% kesuksesan ditentukan oleh faktor kemampuan–kemampuan lain, dan kecerdasan emosional merupakan salah satunya. Persoalan yang sering terjadi dalam pendidikan di NTT adalah nilai ujian peserta didik yang masih sangat rendah. Ratulanggi (Pos Kupang, 29 Januari 2015) mengatakan “ beberapa kegiatan seperti penataran, pelatihan dan bimbingan lainya sudah dilakukan puluhan tahun oleh berbagai lembaga mitra khususnya Dinas Pendidikan, tapi kenyataannya mutu lulusan ujian akhir tetap saja berada di bawah garis normal. Pelatihan persiapan menghadapi ujian bagi peserta didik selalu dilakukan, namun hasilnya juga bagai mengguling batu besar ke puncak gunung. Kalau demikian persoalan apa yang dikelola sekolah untuk disempurnakan? Apakah kompetensi guru, managerial kepala sekolah, lemahnya kesadaran peserta didik, pudarnya dukungan orang tua, atau kurangnya sarana prasarana?”. Selanjutnya, diuraikan point-point tersebut menjadi lebih terperinci: 1. Persoalan guru. Persoalan utama yang harus dikelola dalam diri guru adalah kemampuan menciptakan ketenangan proses pembelajaran, penguasaan materi ajar, perhatian terhadap peserta didik yang lalai mengikuti pelajaran, keberanian menghadapi peserta didik yang bandel dan tegas dalam bersikap, namun menjadi guru yang siap mendengarkan curhatnya anak-anak. 2. Kepala sekolah. Kepala sekolah harus memiliki tiga macam keterampilan, yaitu keterampilan konseptual, keterampilan manusiawi, dan keterampilan teknik. 3. Kesadaran Peserta didik. Ada sejumlah anak bersekolah karena berbagai motivasi yang negatif seperti sekedar mengikuti perintah orang tua, ingin mengisi waktu, dan sekedar mendapat ijazah. Peserta didik seperti ini sering bermain pada jam sekolah, tidak pernah membaca buku, begadang pada malam hari, tidak membawa buku ke sekolah, dan berbagai tingkah yang menyesatkan. Untuk itu perlu diperhatikan khusus dalam pembinaan karaktek. 4. Orang tua. Pada umumnya orang tua beranggapan bahwa ketika anak ke sekolah itu menjadi tanggung jawab guru. Ketika anak tidak ke sekolah, orang tua hanya sekedar mengancam akan melaporkan ke guru tanpa ada tindakan lanjut yang tegas dari orang tua sendiri. Itulah sebabnya orang tua dan sekolah harus menyatu menyelesaikan kasus anak. 5. Sarana prasarana. Ada sekolah swasta yang hanya membangun ruang kelas tanpa laboratorium. Sekolah seperti ini harus diberi motivasi secara serius dalam bentuk sumbangan pikiran bagi yayasan pendiri dalam rangka pembetulan. Inovasi atau perubahan dalam pendidikan perlu untuk dilakukan. Salah satu inovasi dan reformasi dunia pendidikan yaitu pada level kelas. Melalui kreativitas guru, proses pembelajaran di kelas menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan. Persoalan di atas menjelaskan bahwa untuk mencapai suatu nilai ujian yang diharapkan, perlu adanya kerjasama antara pihak sekolah, orang tua dan peserta didik itu sendiri. Dalam proses pembelajaran diharapkan guru bukan sekedar memperhatikan kemampuan intelektual peserta didik namum guru juga harus mampu memperhatikan kemampuan emosional sehingga peserta didik merasa senang mengikuti pelajaran. Peserta didik diharapkan memiliki motivasi dari dalam diri sendiri untuk mengikuti pelajaran, serta mampu untuk mengendalikan diri agar terjalin kerjasama yang baik dalam pembelajaran.Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah intelegensi yang meliputi IQ, EQ dan kecerdasan lainnya. Lennick (Uno, 2005: 69) menegaskan bahwa yang diperlukan untuk sukses dimulai dengan keterampilan intelektual, tetapi orang juga memerlukan kecakapan emosional untuk memanfaatkan potensinya. Kecerdasan emosional peserta didik sangat berpengaruh terhadap hasil belajar. Dengan adanya kecerdasan emosional, peserta didik mampu untuk menyemangati diri sendiri untuk mengikuti pembelajaran, mengendalikan diri terhadap godaan-godaan sehingga berkonsentrasi dalam pembelajaran, menghindari frustasi berlebihan terhadap materi yang sulit, mampu untuk berempati, berkomunikasi, dan bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya. Adapun hasil penelitan sebelumnya oleh Faya Sukma Putri diketahui bahwa Kecerdasan Emosional berpengaruh sebesar 48,58% terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI IS 1-3 SMAN 3 Magelang tahun 2011/2012. Hasil belajar ini didapatkan melalui proses evaluasi pembelajaran. Evaluasi dilaksanakan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik. Pengukurannya dilakukan secara tidak langsung. Evaluasi tersebut meliputi kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Untuk melihat keberhasilan belajar peserta didik digunakan ukuran yang bersifat kuantitatif, atau sering menggunakan simbol-simbol angka. Berdasarkan Depdikbud bahwa acuan ketuntasan yang digunakan bagi SMP dan SMA adalah 75. Hal yang sama peneliti temukan pada saat melakukan observasi di SMA Negeri 7 Kupang. SMA Negeri 7 Kupang merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) untuk mata pelajaran Fisika adalah 68 sedangkan KKM menurut Depdiknas adalah 75. Berdasarkan hasil observasi di SMA Negeri 7 Kupang dan wawancara dengan guru mata pelajaran fisika diperoleh data sebagai berikut: 1. Pembelajaran di kelas guru belum menggunakan metode yang bervariasi. Sehingga Peserta didik cenderung mengikuti pelajaran hanya dengan mendengar, mencatat dan selebihnya mengerjakan tugas yang diberikan guru tanpa adanya respon, kritik dan pertanyaan sebagai umpan balik (feed back). 2. Peserta didik kurang memiliki kecerdasan emosional dalam aspek pengendalian diri sehingga peserta didik cendrung ribut, menganggu teman, bahkan ada yang melamun dan menjadi terheran-heran ketika ditegur atau dimintai guru untuk menjawab pertanyaan. 3. Guru kurang memperhatikan kecerdasan emosional peserta didik akibatnya guru kurang kreatif dalam menumbuhkan rasa senang peserta didik terhadap pembelajaran 4. Guru jarang memberikan praktek/eksprimen kepada peserta didik pada saat pembelajaran yang dikarenakan kurang lengkap alat laboratorium. Hal di atas sangat berpengaruh pada hasil belajar peserta didik SMA Negeri 7 Kupang. Rata-rata nilai ulangan harianuntuk materi Optik dan Kalor, tahun 2013 dan 2014 Semester 2 kelas XE adalah 56,2. Sementara untuk tahun 2015 rata-rata nilai ulangan harian untuk 32 peserta didik adalah 44,6. Angka ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai ulangan untuk 32 peserta didik berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Jika dibandingkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan Depdiknas maka rata-rata nilai yang diperoleh peserta didik juga berada di bawah KKM.Untuk memperbaiki rendahnya rata-rata nilai yang diperoleh, guru perlu mengembangkan kreativitasnya dalam mengelola pembelajaran. Dalam hal ini guru harus menyesuaikan pendekatan pembelajaran yang tepat dengan materi yang diajarkan. Contextual Teaching and Learning (CTL) atau pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata peserta didik sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya. Adapun karakteristik pendekatan pembelajaran Kontektual secara umum adalah pendekatan pembelajaran yang menerapkan konsep keterkaitan (relating), konsep pengalaman langsung (experiencing), konsep aplikasi (applying), konsep kerja sama (cooperating ), konsep pengaturan diri (self-regulating), konsep penilaian autentik (authentic assessment). Contextual Teaching and Learning sangat cocok diterapkan pada mata pelajaran fisika sebab fisika mempelajari tentang gejala-gejala alam yang terjadi. Misalnya materi tentang Kalor dan perpindahannya. Kompetensi dasar yang harus dicapai adalah menganalisis pengaruh kalor dan perpindahan kalor dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran tentang materi ini peserta didik juga diminta untuk bekerja dalam tim kecil guna bekerja sama sehingga bisa saling membantu menyelesai eksperimen-eksperimen sederhana. Ketika bekerja sama, dan mencoba mengaitkan materi dengan hal yang kontekstual, kecerdasan emosional peserta didik yang berkaitan kesadaran bekerja dalam kelompok pun bisa terlihat. Dalam pembelajaran CTL peserta didik didorong untuk mengatur diri dalam pembelajaran, hal ini pun berkaitan dengan kecerdasan emosional dalam hal pengendalian diri. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Hasil Belajar dengan menerapkan Pendekatan Kontekstual Materi Pokok Kalor dan Perpindahannya pada Peserta Didik Kelas XE Semester Genap SMA Negeri 7 Kupang Tahun Ajaran 2015/2016.” B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka secara terperinci rumusan masalah penelitian dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan kontekstual materi pokok Kalor dan perpindahannya pada peserta didik kelas XE semester genap SMA Negeri 7 Kupang Tahun Ajaran 2015/ 2016? 2. Bagaimana ketuntasan Indikator Hasil Belajar (IHB) dan Ketuntasan Hasil Belajar dengan menerapkan pendekatan kontekstual materi pokok Kalor dan perpindahannya pada peserta didik kelas XE semester genap SMA Negeri 7 Kupang Tahun Ajaran 2015/ 2016? 3. Bagaimana kecerdasan emosional peserta didik dalam pembelajaran dengan menerapkan pendekatan kontekstual materi pokok Kalor dan perpindahannyapada peserta didik kelas XE semester genap SMA Negeri 7 Kupang Tahun Ajaran 2015/ 2016? 4. Adakah pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap hasil belajar materi pokok Kalor dan perpindahannyapada peserta didik kelas XE semester genap SMA Negeri 7 Kupang Tahun Ajaran 2015/ 2016? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara terperinci tujuan penelitian adalah : 1. Mendeskripsikan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan kontekstual materi pokok Kalor dan perpindahannyapada peserta didik kelas XE semester genap SMA Negeri 7 Kupang Tahun Ajaran 2015/ 2016. 2. Mendekripsikan Ketuntasan Indikator Hasil Belajar (IHB) dan Ketuntasan Hasil Belajar dengan menerapkan pendekatan kontekstual materi pokok Kalor dan perpindahannya pada peserta didik kelas XE semester genap SMA Negeri 7 Kupang Tahun Ajaran 2015/ 2016. 3. Mendeskripsikan kecerdasan emosional dalam pembelajaran dengan menerapkan pendekatan kontekstual materi pokok Kalor dan perpindahannya pada peserta didik kelas XE semester genap SMA Negeri 7 Kupang Tahun Ajaran 2015/ 2016. 4. Mengetahui pengaruh kecerdasan emosi terhadap hasil belajar materi pokok Kalor dan perpindahannyapada peserta didik kelas XE semester genap SMA Negeri 7 Kupang Tahun Ajaran 2015/2016. D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. 2. Bagi peserta didik a. Meningkatkan peran aktif peserta didik dalam proses pembelajaran. b. Meningkatkan semangat belajar peseta didik. c. Meningkatkan hasil belajar peserta didik. Bagi guru a. Sebagai bahan refleksi bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran Fisika terutama dengan menerapkan pendekatan kontekstual untuk materi pokok lainnya. b. Membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi peserta didik dalam proses pembelajaran khususnya mata pelajaran Fisika. 3. Bagi sekolah Sebagai bahan informasi bagi lembaga pendidikan, khususnya SMA Negeri 7 Kupang dalam rangka memperbaiki kegiatan pembelajaran yang selanjutnya dapat meningkatkan mutu sekolah. 4. Bagi peneliti a. Memperluas wawasan tentang pendekatan kontekstual b. 5. Mengetahui adanya pengaruh kecerdasan emosional terhadap hasil belajar. Bagi LPTK UNWIRA Sebagai bahan panduan Bapak/Ibu dosen yang bernaung di lembaga ini, dalam membimbing para calon guru generasi mendatang dan sebagai bahan referensi bagi para peneliti selanjutnya. E. Pembatasan dan Asumsi Penelitian Adapun pembatasan dan asumsi penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pembatasan Batasan penelitian ini adalah: a. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas XE SMA Negeri 7 Kupang dan guru ( peneliti ) b. Perlakuan kurang dari semester genap yakni beberapa pertemuan Tahun Ajaran 2015/ 2016 pada materi pokok Kalor dan perpindahannya. c. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan kontekstual. 2. Asumsi Asumsi dari penelitian ini adalah: a. Dalam proses pembelajaran peserta didik tekun mengikuti kegiatan pembelajaran. b. Peneliti berlaku obyektif dalam memberikan penilaian terhadap peserta didik. c. Pengamat berlaku obyektifdalam mengamati dan memberikan penilaian terhadap peneliti. d. Peserta didik dalam mengisi angket kecerdasan emosional sesuai dengan keadaan dan fakta yang sebenarnya. e. Peserta didik sebagai obyek penelitian dalam menyelesaikan tes hasil belajar dan bekerja dengan tekun dan hasil yang diperoleh merupakan hasilnya sendiri. F. Penjelasan Istilah Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa istilah yang digunakan yakni: 1. Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. 2. Kecerdasan adalah kemampuan memahami dunia, berpikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan pada tantangan. 3. Emosi adalah menerapkan gerakan baik secara metafora maupun harafiah, untuk mengeluarkan perasaan. 4. Kecerdasan emosional merupakan hasil dari aktivitas individu dalam melatih fungsifungsi emosional diri sendiri atau oleh orang lain sehingga lebih merupakan hasil belajar. 5. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yaitu merujuk pada pandangan kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalam mewadahi, menginspirasi, menguatkan dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. 6. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari mereka. 7. Hasil belajar merupakan pencapaian bentuk perubahan perilaku yang cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif dan psikomotoris dari proses yang dilakukan dalam waktu tertentu. 8. Kalor adalah salah satu bentuk energi yang dapat berpindah dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah jika kedua benda tersebut saling bersentuhan. 9. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan, baik pendidikan informal, formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.