BAB I Latar belakang Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi 1.1 Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi Ekstradisi menurut UU RI No. 1 tahun 1979 adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang menghukumnya. meminta penyerahan tersebut karena berwenang mengadili dan Ekstradisi dilakukan atas dasar suatu ‘perjanjian´ (treaty) antara Negara Republik Indonesia dengan negara lain yang ratifikasinya dilakukan denganUndang-undang. Jika belum ada perjanjian maka ekstradisi dapat dilakukan atasdasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya (Pasal 2 ayat 1 dan 2). Sedangkan Mutual Legal Assistance (MLA) atau perjanjian saling bantuan hukum adalah perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana. Bantuan ini dapat berlangsung berupa memeriksa dan mengidentifikasi orang, tempat dan sesuatu, transfer dan memberikan bantuan dengan immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal1. Bantuan mungkin ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan perjanjian rincian) untuk politik atau alasan keamanan, atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak dihukum sama di kedua negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan dengan bantuan hukum bagi warga negara di negara-negara lain. Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang merupakan payung dari MLA, yaitu UU No 1 tahun 2006 yang berlaku sejak 3 Maret 2006. UU ini mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request (MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu. Di samping itu, di dalam UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 (UUTPPU), diatur juga masalah MLA pada Pasal 44 dan 44A. Mutual Legal Assistance (MLA) pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar 1 I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm 20. 1 hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China, Korea, dan AS.Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggarayang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Kehadiran orang di suatu negara sebenarnya dapat dibedakan dalam dua kelompok. Pertama, mereka benar-benar tidak memiliki latar belakang buruk di negara asalnya. Kedua, mereka memiliki latar belakang tidak baik, misalnya telah melakukan kejahatan dan kemudia melarikan diri. Terhadap kelompok pertama, bila yang bersangkutan melakukan tindakan yang melanggar hukum, atau perbuatan yang dapat meresahkan negara setempat, maka terhadap yang bersangkutan dapat dikenai hukuman misalnya menyidangkannya di Pengadilan, atau mengusirnya. Dengan tindakan-tindakan negara tersebut, dapat dikatakan selesailah persoalannya. Akan tetapi terhadap kelompok kedua, msalahnya berlainan. Kehadirannya di dalam suatu negara adalah untuk menghindari upaya penangkapan atas dirinya sehubungan dengan telah dilakukannya kejahatan di negara semula. Dengan larinya orang tersebut ke Negara lain, berarti ada dua Negara yang kepentingannya dirugikan karena tidak dapat menangkap orang yang bersangkutan, padahal orang tersebut telah melakukan pelanggaran hukum 2. Dalam hal ini aparat Negara yang dirugikan tidak dapat begitu saja memasuki wilayah territorial Negara lain untuk menangkap pelaku kejahatan tersebut. Hal ini karena di dalam hukum internasional berlaku prinsip penghormatan kedaulatan masingmasing Negara, sehingga untuk memasuki Negara lainpun harus ada persetujuan terlebih dulu dari Negara yang akan dimasuki. Berdasarkan asas umum dalam hukum internasional, setiap Negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan terbatas dalam wilayahnya sendiri. Kekuasaan suatu Negara berakhir dimana kekuasaan Negara lain dimulai. Oleh karena itu suatu Negara tidak dapat melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan di dalam wilayah Negara lain (tindakan penangkapan pelaku kejahatan oleh aparat penegak hukum adalah tindakan kedaulatan). 2 FX Adji Samekto dan Doddy Kridasaksana, Negara Dalam Tata Tertib Hukum Internasional, Buku Ajar Mata Kuliah Hukum Internasional Lanjut, Fakultas Hukum Universitas Semarang, Semarang, hlm 68. 2 Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang bersifat yuridis it, maka didalam praktek antara Negara muncullah kebutuhan untuk menyerahkan pelaku kejahatan oleh negara satu kepada negara dimana kejahatan yang bersangkutan dilakukan. Praktek inilah yang disebut “ekstradisi”, yang secara singkat diartikan sebagai penyerahan penjahat oleh satu negara kepada negara yang lain. Dengan adanya lembaga ekstradisi ini, maka pelaku kejahatan yang melarikan diri ke negara lain tidak akan lepas dari jangkauan hukum. Hal ini merupakan implementasi adagium yang pertama kali diajukan Grotius, aut punere ant dedere (pelaku kejahatan diadili oleh negara dimana kejahatan dilakukan). 1.2 Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi Istilah ekstradisi menunjukkan proses dimana berdasarkan suatu asas timbal balik atau berdasarkan perjanjian antar negara, suatu negara menyerahkan kepada negara yang lain, atas permintaannya, seorang pelaku kejahatan atau tersangka, karena negara yang meminta berwenang untuk mengadili pelaku atau tersangka tersebut 3. Adolf Huala menyebutkan, ekstradisi adalah proses penayerahan seorang atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili penjahat tersebut. Jelasnya penyerahan tersebut dilakukan oleh negara tempat orang itu berlindung kepada negara yang meminta penyerahan4. Di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan ekstradisi adalah “Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseoarng yang disangka atau dipidana karena melakukan sesuatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya”. Dari uraian tersebut, tampak tentang apa yang dinamakan ekstradisi. Ditinjau dari asal katanya, ekstradisi berasal dari bahasa Latin, “Extradere”, ex berarti keluar, sedangkan “tradere” berarti memberikan atau menyerahkan. Kata bendanya “extraditio”, berarti penyerahan. Tegasnya, yang dimaksud ekstradisi adalah penyerahan yang 3 J.G Starke, Introduction to International Law, 10th edition, Butterworths, London, 1989, hlm 352. Lihat juga dalam FX Adji Samekto dan Doddy Kridasaksana, op.cit, hlm 69. 4 Adolf Huala, Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Grafindo, Bandung, 1990, hlm 35. 3 dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik atas seorang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukan (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi, untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili5. Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapa t menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan, karena seringkali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seseorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya. Hal ini semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut. Karena itulah patut dan tepat penjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili oleh negara yang memiliki yurisdiksi atas penjahat tersebut6. Perkembangan ekstradisi mengalami perubahan semakin baik, terutama setelah kehidupan bernegara sudah mulai tampak agak lebih maju, khususnya mulai abad ke-17. Apalagi setelah Perjanjian Perdamaian Westphalia tahun 1648, dengan lahirnya negaranegara yang berdasarkan prinsip kewilayahan kebangsaan kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat, yang kemudian terus bertambah kokoh memasuki abad 18, 19, sampai awal abad 20 hingga perang dunia ke-2 (1939-1945). Hubungan dan pergaulan internasionalpun menemukan bentuk dan substansinya yang baru dan berbeda dengan jaman sebelum Perjanjian Perdamaian Westphalia tahun 16487. Negara-negara yang berdasarkan atas prinsip kemerdekaan kedaulatan dan kedudukan sederajat mulai menata dirinya masing-masing terutama masalah domestik dengan membentuk dan mengembangkan hukum nasionalnya, yang salah satunya di bidang hukum pidana nasional. Hukum pidana nasional masing-masing negara, terutama jenis-jenis kejahatan atau tindak pidananya, disamping pula ada kesamaan dan perbedaannya. 5 6 7 C.Oppenheim, International Law, a Treastie, 8th edition, 1960, hlm 696. M.Budhiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm 14. I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern,Cetakan I, Yrama Widya,Bandung, 2009, hlm 27. 4 Semakin menguat batas wilayah dan kedaulatan teritorial masing-masing negara, semakin menguat pula penerapan hukum nasionalnya di dalam batas wilayah negara masing-masing. Demikian pula dengan identitas kebangsaan atau kewarganegaraan dari tiap orang semakin jelas, sehingga menjadi lebih mudah bagi suatu negara untuk membedakan antara orang yang tergolong sebagai warganegaranya dan yang bukan warganegaranya atau orang asing. Berkenaan dengan pelaku kejahatan juga akan lebih mudah dapat dikenali kewarganegarannya. Pada pihak lain, hubungan-hubungan internasionalpun mengalami perkembangan yang dukup pesat. Hal ini antara lain ditandai oleh semakin banyaknya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara baik bilateral ataupun multilateral untuk mengatur suatu masalah tertentu yang sudah, sedang, dan akan dihadapi. Dalam pembuatan perjanjian tersebut mulai dilakukan pengkhususan atas substansinya, jadi tidak lagi satu perjanjian mancakup pelbagai macam substansi yang berbeda-beda. Salah satu bidang yang tidak luput dari perhatian internasional adalah tentang pelaku kejahatan pelarian lintas batas negara, yang sebenarnya sudah ada sejak jaman dulu. Dalam kehidupan negara-negara pada masa abad 17, 18, dan 19, tentang pelaku kejahatan pelarian lintas batas negara inipun mulai menemukan bentuk dan subtansi hukumnya baru, yang belakangan lebih banyak dikenal dengan nama ‘ekstradisi’. Ekstradisi sebelumnya lebih banyak berupa penerapan praktek-praktek yang sudah umum dan disadari sebagai suatu kaidah hukum atau dengan kata lain berwujud sebagai hukum kebiasaan internasional, kemudian mulai dirumuskan dalam bentuk perjanjian perdamaian bilateral. Kaidah hukumnyapun berkembang secara luas. Namun, eksistensinya sebagai hukum kebiasaan internasional masih tetap, bahkan substansinya yang baru dirumuskan di dalam perjanjian internasional yang sebelumnya belum pernah ada, juga kemudian berkembang terus menjadi hukum kebiasaan internasional karena diterima dan dipraktekkan secara luas dan umum. Beberapa diantaranya bahkan sudah berkembang menjadi prinsip atau asas yang diakui dan diterima secara umum. Ekstradisi dengan demikian telah tumbuh dan berkembang menjadi suatu pranata hukum yang mandiri dengan asas-asas dan kaidah-kaidah hukumnya semakin mapan8. 8 Ibid, hlm 28. 5 Dalam hal ekstradisi ada dua unsur yang sangat memegang peranan penting pada pelaksanaanya, yaitu kedaulatan negara dan hak asasi manusia 9. Berdasarkan kedua aspek ini maka ada tiga hal yang menjadi kerangka dasar dalam pelaksanaan ekstradisi yaitu: 1) kerangka dasar konvensional; 2) kerangka dasar obyeksional; 3) kerangka dasar prosedural. 1.2.1 Kerangka Dasar Konvensional Kerangka dasar konvensional adalah landasan yang digunakan berbentuk perjanjian antar negara. Bentuk perjanjian ekstradisi ada yang bilateral maupun multilateral. Beberapa contoh perjanjian ekstradisi yang bersifat bilateral, misalnya: a. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia 1974 (telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 9 Tahun 1974). b. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Filipina 1976 (telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 10 Tahun 1976). c. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Thailand 1978 (telah diratifikasi oleh pemerintah dengan UU Nomor 2 Tahun 1978). Di dalam praktek, setiap negara dapat mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain walaupun negara itu sendiri belum memiliki Undang-Undang Ekstradisi Nasional. Demikian pula sebaliknya, setiap negara dapat saja membuat Undang-undang ekstradisi walaupun belum pernah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara lain10. Mengingat masalah ekstradisi kadang-kadang melibatkan lebih dari dari dua negara, terutama negara-negara yang secara geografis berdekatan letaknya, maka perjanjian ekstradisi diadakan secara multilateral. Beberapa contoh perjanjian ekstradisi multilateral misalnya: a. Perjanjian ekstradisi Liga Arab tanggal 14 september 1952; b. Konvensi ekstradisi negara-negara eropa 13 Desember 1957; 9 1 Sulaiman Nitiatma, Hukum Internasional Teritorialitas (Buku Pedoman Mahasiswa S1 Ilmu Hukum), Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hlm 78. 0 I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm 23. 6 c. Konvensi ekstradisi negara-negara Benelux (Belgia, Nederland, dan Luxemburg) 27 Juni 1962. Negara-negara yang sudah terikat dalam perjanjian ekstradisi multilateral, tetap masih bisa membuat perjanjian ekstradisi bilateral dengan sesama negara yang juga terikat dalam perjanjian ekstradisi multilateral, atau sebaliknya dua negara yang telah terikat pada perjanjian ekstradisi bilateral juga tetap masih bisa ikut serta dalam perjanjian ekstradisi multilateral yang diadakan kemudian. 1.2.2 Kerangka Dasar Obyeksional Kerangka dasar obyeksional pada pelaksanaan ekstradisi itu adalah hal-hal (kejahatan-kejahatan) apa saja yang dijadikan obyek pengaturan perjanjian ekstradisi tersebut11. Praktek yang ada diantara negara-negara mengenai ekstradisi ialah menyusun daftar kejahatan-kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan dalam perjanjian. Pada umumnya perjanjian ekstradisi menentukan bahwa ekstradisi hanya berlaku untuk kejahatan-kejahatan berat12. Dengan demikian kejahatan yang tidak tercantum di dalam daftar itu merupakan kejahatan yang tidak dapat dijadikan dasar untuk meminta penyerahan. Contoh perjanjian ekstradisi yang menganut sistem seperti ini misalnya Perjanjian ekstradisi Indonesia – Malaysia yang didalam lampirannya menentukan 27 jenis kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta penyerahan. Di antara jenis kejahatan dimaksud adalah: 1. Pembunuhan berencana 2. Pembunuhan 3. Perkosaan 4. Penculikan dan penculikan anak 5. Kejahatan yang dilakukan terhadap wanita 6. Pemalsuan dan tindak pidana yang berkaitan dengan pemalsuan 7. Penipuan 8. Penyuapan dan korupsi 9. Penyelundupan 11 12 Sulaiman Nitiatma, op.cit, hlm 79. J.G. Starke, op.cit, hlm 354. 7 10.Bajak laut dan seterusnya Selain sistem daftar sebagaimana disebut di atas, di dalam praktek juga terdapat sistem tanpa daftar atau eliminative system13. Menurut sistem ini, jenis kejahatan yang dapat dimintakan penyerahan hanyalah kejahatan-kejahatan yang diancam sanksi pidana dalam batas minimum tertentu yang pasti, baik di negara yang meminta ekstradisi maupun di negara yang diminta ekstradisi. Dengan sistem ini maka hanya dengan melihat ancaman hukumnya saja, segera dapat dipastikan apakah kejahatan tersebut tergolong ke dalam jenis kejahatan yang pelakunya dapat dimintakan ekstradisi. Lebih lanjut, setiap jenis kejahatan baru yang telah dipenalisasi ke dalam masing-masing negara bersangkutan, dan ancamannya lebih dari batas minimum dalam perjanjian ekstradisi, dengan sendirinya termasuk dalam ruang lingkup perjanjian ekstradisi, sehingga pelakunya dapat diekstradisikan. Contoh perjanjian ekstradisi dalam jenis ini adalah perjanjian ekstradisi Italia-Panama tahun 1930, yang menentukan bahwa kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisi adalah kejahatan yang ancaman hukumannya minimal 2 (dua) tahun. Demikian pula perjanjian ekstradisi Afrika SelatanRhodesia (sekarang Zimbabwe) tahun 1962, yang menentukan bahwa kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisi adalah kejahatan yang ancaman hukumannya minimal 6 (enam) bulan. Akan tetapi dalam praktek telah diterima suatu pengaturan umum bahwa pelanggaran-pelanggaran, seperti 1). Kejahatan politik; 2). Kejahatan keagamaan, merupakan kejahatan yang pelakunya tidak dapat diekstradisikan. Dalam pengertian kejahatan politik ini bisa dimasukkan tindakan terorisme internasional. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politil didasarkan atas penghormatan hak asasi manusia untuk menganut suatu keyakinan politik, walaupun berbeda dengan politik penguasa yang sah14. Pada sebena sekarang ini sebenarnya sulit untuk membedakan secara tegas mana yang termasuk kejahatan politik dan yang bukan kejahatan politik. Hal ini karena pengaruh perkembangan hubungan internasional, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pengaruh-pengaruh itu berkaitan begitu rumitnya sehingga isi dan ruang 13 14 I Wayan Parthiana, op.cit, hlm 32-33. Ibid, hlm 61. 8 lingkup kejahatan politik menjadi meluas bahkan menjadi kabur. Maka suatu kejahatan disamping mengandung unsur kejahatan biasa, juga memuat unsur kejahatan politik, sehingga sangat sukar ditarik garis pembedanya. Kesulitan ini semakin bertambah karena secara teoritik tidak ada rumusan yang berlaku umum untuk kejahatan politik ini, yang dapat diterima oleh negara-negara. Usaha maksimal yang sampai saat ini masih dipegang adalah dengan menyerahkan kepada masing-masing negara untuk menentukan sendiri mana yang termasuk kejahatan politik dan mana yang merupakan kejahatan biasa15. 1.2.3 Kerangka Dasar Prosedural Kerangka dasar prosedural dalam pelaksanaan ekstradisi maksudnya adalah bagaimana tata cara menuntut pelaku kejahatan yang diekstradisikan. Jelas dalam ekstradisi ini tuntutan untuk menyerahkan pelaku kejahatan tersebut sifatnya tidak mutlak. Hal ini berarti permintaan untuk menyerahkan pelaku kejahatan tersebut tidak harus dipenuhi oleh pihak yang diminta, meskipun ada landasan perjanjiannya. Bila pihak yang diminta menganggap perlu berdasarkan pertimbangan yang wajar maka negara yang diminta boleh saja menolak untuk mengekstradisikan pelaku kejahatan tersebut16. Bila ditarik lebih dalam, hal ini merupakan refleksi dari kedaulatan negara. Dengan adanya kedaulatan, maka ada kesederajatan, sehingga suatu negara tidak dapat dipaksa oleh negara lain untuk melaksanakan perbuatan tertentu. 1.3. Kelemahan dari Pengusiran Di bawah ini dapat dikemukakan beberapa kelemahan dari tindakan pengusiran sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan kejahatan, yaitu: Pertama, individu si pelaku kejahatan yang diusir itu sedapat mungkin akan berusaha mencari negara lain yang mau menerimanya dan kalau bisa untuk selama mungkin, untuk menghindari tuntutan pidana dari negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatannya. Dengan demikian dia akan tetap lolos dari tuntutan pidana namun pada lain pihak akan mengakibatkan rasa keadilan dan kesadaran hukum dari rakyat negara yang memiliki yurisdiksi tetap belum terpulihkan. 15 16 FX Adji Samekto dan Doddy Kridasaksana, op.cit, hlm 73. Sulaiman Nitiatma, op.cit, hlm 81. 9 Kedua, tindakan pengusiran itu tidaklah membantu untuk mencegah dan memberantas kejahatan lintas batas negara sebab orang-orang pelarian semacam ini lolos dari proses peradilan pidana dan atau penghukuman atas kejahatannya. Dia justru menikmati impunitas, yaitu bebas dari tuntutan hukum atas kejahatannya. Bahkan bisa mendorong para pelaku kejahatan lainnya untuk melarikan diri dan mencari perlindungan ke negara lain. Meskipun dia bisa dikenakan tindakan pengusiran, dia merasa aman untuk memilih negara lain untuk mencari perlindungan. Ketiga, bagi si pelaku kejahatan itu sendiri, walaupun pengusiran mungkin dalam batas-batas tertentu, lebih menguntungkan dirinya seperti telah dikemukakan di atas. Tetapi bila negara tempatnya melarikan diri juga memiliki yurisdiksi atas kejahatannya kemudian ternyata mengadili sendiri orang tersebut dan jika terbukti bersalah akan dijatuhi hukuman. Setelah selesai menjalani hukumannya, dia merasa bebas untuk kembali ke negara asalnya ataupun ke negara lain yang juga memiliki yurisdiksi atas kejahatannya tersebut. Akan tetapi negara yang bersangkutan bermaksud untuk mengadilinya atas kejahatan yang sama tersebut. Negara itu dengan suatu alasan tertentu, tidak mau mengakui putusan dari pengadilan negara yang terdahulu, dengan kata lain menolak penerapan asas non/ne bis in idem. Dengan demikian, si pelaku kejahatan itu sendirilah yang akan memikul resiko karena dia diadili lebih dari satu kali atas kejahatan yang dilakukannya tersebut17. Para pelaku kejahatan di suatu negara yang memiliki niat untuk melarikan diri ke negara lain mungkin akan berpikir dua kali untuk melaksanakan niat tersebut. Alasanya karena dia akan dibayang-bayangi kemungkinan untuk diekstradisikan ke negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatannya. Bagi yang bersangkutan akan sia-sia untuk melarikan diri ke negara lain sebab kemungkinan besar dia akan diekstradisikan ke negara yang memiliki yurisdiksi. Jika negara tempatnya mencari perlindungan kebetulan juga memiliki yurisdiksi atas kejahatannya kemungkinan besar dia akan diadili dan atau dihukum di negara tersebut. Teganya dia tidak akan luput dari tuntutan hukum atas kejahatan yang telah dilakukannya. 1.4. Kelemahan dari Ekstradisi 1 7 I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern, Yrama Widya,Bandung 2009, hlm 32. 10 Adapun kelemahan dari ekstradisi tersebut setdak-tidaknya ditinjau dari segi peranannya sebagai sarana pemberantasan kejahatan lintas batas negara, antara lain18: Pertama, persyaratan materiilnya yng terlalu banyak dan jika salah satu saja tidak terpenuhi, meskipun yang lain semuanya terpenuhi, maka pengekstradisian tidak akan bisa dilakukan. Hampir sebagian besar asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi berisi persyaratan yang harus dipenuhi terutama oleh negara peminta untuk sampai pada keputusan apakah akan peminta semua persyaratan ataukah tidak. Meskipun menurut negara peminta semua persyaratan sudah terpenuhi tetapi belum tentu dikabulkan oleh negara peminta. Kedua, prosedu dan mekanismenya yang terlalu panjang birokratis, yaitu melalui saluran diplomatik mengingat masalah ekstradisi adalah masalah antar negara. Mulai dari maksud negara peminta untuk meminta pengekstradisian orang yang diminta. Selanjutnya, pemenuhan atas segala persyaratan materiil yang dibutuhkan kemudian mengenai prosedur untuk mengajukan permintaan sampai dengan keputusan dari negara diminta terhadap permintaan negara peminta yang ditindaklanjuti dengan pemberitahuannya oleh negara diminta kepada negara peminta yang juga harus dilakukan melalui saluran diplomatik, proses penyerahan orang yang diminta bila permintaan negara peminta dikabulkan oleh negara diminta. Ketiga, sebagai konsekuensi dari pertama dan kedua diatas dibutuhkan biaya, tenaga, dan pikiran yang cukup nesar terutama karena banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi serta lamanya waktu yang dibutuhkan dari awal hingga akhir proses esktradisi. Mengenai waktu yang dibutuhkan kadang-kadang bisa lebih dari satu tahun. Apalagi jika hukum nasional negara diminta mewajibkan proses yang harus ditempuh melalui pemeriksaan oleh badan peradilan nasionalnya, dari badan peradilan tingkatan yang paling rendah hingga paling tinggi. Keempat, dalam beberapa hal, implementasi ekstradisi sangat dipengaruhi oleh faktor politik subyektif dari negara diminta sebagai tempat beradanya orang yang diminta. Bagaimanapun juga harus disadari bahwa kenyataannya orang yang diminta berada di dalam wilayah negara diminta sehingga negara diminta memainkan posisi kunci dalam memutuskan apakah permintaan dari negara peminta akan dikabulkan atau 18 Ibid, hlm 33-34. 11 tidak. Meskipun sudah ada persyaratan yang tegas, namun tidak terlepas dari faktor politik yaitu pertimbangan-pertimbangan politik dari negara diminta dalam mengambil keputusan (mengabulkan ataupun menolak) terhadap permintaan dari negara peminta 12