BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Remaja 2.1.1

advertisement
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Remaja
2.1.1. Pengertian Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescare (kata
menjadi dewasa” (Hurlock, 1999). Remaja adalah suatu masa yang dianggap paling
rumit dalam kehidupan manusia.
Hal ini didefinisikan oleh masa transisi yang
mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Erickson (dalam Santrock, 2007) lebih menekankan masa remaja merupakan
masa pencarian identitas diri. Pada saat ini remaja akan mencari identitas sosialnya.
“Remaja dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan
kemana mereka menuju dalam kehidupannya”.
Menurut Hurlock (1999), masa remaja adalah periode perkembangan antara
masa anak-anak dan masa dewasa. Masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari
masa anak ke masa dewasa dari tahap individu banyak mengalami perubahan-perubahan
fisik maupun psikis.
WHO (World Health Organization, 1974) mendefinisikan remaja mencakup tiga
kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Maka, secara lengkap definisi
tersebut berbunyi sebagai berikut:
1. Individu berkembang mulai dari ia menunjukkan tanda seksual sekundernya hingga
mencapai kematangan seksual.
2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanakkanak menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh pada keadaan
yang relatif lebih mandiri
Selanjutnya, WHO menentukan batasan usia remaja adalah 10-20 tahun. WHO
mengkategorikan remaja menjadi dua, yakni remaja awal yang berusia 10-14 tahun dan
remaja akhir yang berusia 15-20 tahun.
2.1.2. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa remaja.
Masa ini merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan
individu, dan merupakan masa dewasa yang sehat. Dalam yudrik (2001)
mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja itu sebagai berikut:
1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang
mempunyai otoritas.
3. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul
dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok.
4. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.
5. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya
sendiri.
6. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai,
prinsip-prinsip, atau falsafah hidup.
7. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanakkanakan.
Sedangkan menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan
remaja meliputi :
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria
maupun wanita
b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab
e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya
f. Mempersiapkan karir ekonomi
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilakumengembangkan ideologi.
2.1.3. Ciri-ciri Masa Remaja
Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (2002) maka terdapat
tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju
kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :
a. Remaja awal (12-15 tahun)
Pada tahap ini, remaja mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahanperubahan tersebut. Individu berusaha untuk menghindari ketidaksetujuan sosial
atau penolakan dan mulai membentuk kode moral sendiri tentang benar dan
salah. Individu menilai baik terhadap apa yang disetujui orang lain dan buruk apa
yang ditolak orang lain. Pada tahap ini, sifat kritis terhadap ajaran agama mulai
timbul, karena ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima saat masih
kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka.
b. Remaja madya (15-18 tahun)
Pada tahap ini, remaja berda dalam kondisi kebingungan dan terhalang dari
pembentukan kode moral karena ketidak konsistenan dalam konsep benar dan salah
yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan keagamaan
mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Pada tahap ini,
mulai tumbuh semacam kesadaran akan kewajiban untuk mempertahankan aturanaturan yang ada, namun belum dapat mempertanggungjawabkannya.
c. Remaja akhir (18-21 tahun)
Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Individu
mau diatur secar ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Alasan
mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan
individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum adan aturan harus dipatuhi untuk
mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Remaja sudah memilih prinsip moral
untuk hidup. Individu melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh
tanggung jawab batin sendiri.
2.1.4. Remaja Delinkuen
2.1.4.1 Pengertian Delinkuensi Remaja (Juvenile Delinquency)
Delinkuensi remaja atau biasa disebut dengan Juvenile Delinquency berasal
dari bahasa latin. Juvenile artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada
masa muda atau sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan delinquent berasal
dari kata “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian
diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut,
pengacu, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan sebagainya.
Berdasarkan etimologi tersebut, Kartono (2001) mengartikan delinkuensi remaja
atau juvenile delinquency sebagai perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda,
dan merupakan gejala sakit atau patologis secara sosial pada anak-anak dan remaja
yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga remaja tersebut
mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
Bynum dan Thompson (2001) mendefinisikan delinkuensi remaja sebagai
perilaku ilegal serta pelanggaran, yang dapat dinilai oleh masyarakat sebagai suatu
penyimpangan. Perilaku menyimpang tersebut dapat diartikan sebagai perilaku yang
diterima oleh orang lain sebagai ancaman terhadap harapan orang banyak atau
merugikan orang lain serta merugikan diri sendiri. Menurut Dacey dan Kenny
(2001), delinkuensi remaja adalah segala perilaku ilegal yang dilakukan oleh remaja.
Perilaku delinkuen disini menekankan pada kriminalitas dan aspek illegal dari suatu
perilaku. Aktifitas ilegal tersebut tidak semua mengarah kepada pelanggaran yang
serius, hal ini dikarenakan frekuensi, keseriusan dan kekronisan remaja melakukan
dalam melakukan perilaku tersebut berbeda-beda. Lebih lanjut Newman dan
Newman (2006) mengemukakan bahwa perilaku delinkuen merupakan masalah dari
eksternalisasi yang berhubungan dengan kesulitan dalam mengontrol dan mengatur
dorongan tertentu.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan remaja delinkuen adalah
remaja yang melakukan perilaku ilegal serta pelanggaran yang dapat dinilai oleh
masyarakat sebagai suatu penyimpangan, yang dapat mengakibatkan kerugian dan
kerusakan baik itu terhadap orang lain maupun dirinya sendiri, yang meliputi
pencurian, perampokan, penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, minumminuman keras, penyalahgunaan obat, maupun pembunuhan.
2.1.4.2 Karakteristik Remaja Delinkuen
Ada beberapa karakteristik yang terlihat pada remaja yang delinkuen.
Diantaranya
adalah
bahwa
remaja
yang
delinkuen
merasakan
deprivasi
(keterasingan), tidak aman, dan cenderung dengan sengaja berusaha melanggar
hukum atau peraturan (Gunarsa, 2004). Penggunaan obat-obatan terlarang dan putus
sekolah merupakan beberapa hal yang dapat meningkatkan
Munculnya kenakalan remaja. Selain itu remaja delinkuen tidak menyukai
sekolah dan karenanya mereka seringkali membolos. Kegagalan akademis sendiri
merupakan salah satu kontributor dari delinkuensi (Gunarsa, 2004).
Menurut Cole (dalam Gunarsa, 2004) beberapa ciri kepribadian yang tampak
menonjol pada remaja delinkuen yaitu : bersikap menolak (resentful), bermusuhan
(hostile), penuh curiga, tidak konvensional (unconventional), tertuju pada diri sendiri
(self centered), tidak stabil emosinya, mudah dipengaruhi, ekstrovert dan suka
bertindak dengan tujuan merusak atau menghancurkan sesuatu. Banyak dari remaja
delinkuen juga implusif dan axcitable. Perbedaan mendasar yang mungkin terlihat
antara remaja delinkuen dan non delinkuen adalah dalam hal ketidakmatangan
emosional, ketidakstabilan, dan perasaan frustrasi pada remaja delinkuen yang
membuat remaja delinkuen tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik dirumah,
sekolah, dan masyarakat.
2.2. Penalaran Moral
2.2.1. Pengertian Penalaran Moral
Kohlberg (1995), mendefinisikan penalaran moral sebagai penilaian nilai,
penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam
melakukan suatu tindakan. Penalaran moral dapat dijadikan prediktor terhadap
dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Rest (1979) bahwa penalaran moral adalah konsep
dasar yang dimiliki individu untuk menganalisa masalah sosial-moral dan menilai
terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukannya.
Menurut Kohlberg (1995) penalaran moral adalah suatu pemikiran tentang
masalah moral. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan
melakukan suatu tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral dipandang sebagai suatu
struktur bukan isi. Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik
atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga
sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka
apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis moralitas, sehingga penalaran
moral bersifat universal.
Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap
kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih
memberi penjelasan dari pada memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan
mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975).
Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penalaran moral
adalah kemampuan (konsep dasar) seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosialmoral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap
nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.
2.2.2. Tahapan-tahapan Perkembangan Penalaran Moral
Kohlberg (1995) menyatakan bahwa proses perkembangan penalaran moral
merupakan sebuah proses alih peran, yaitu proses perkembangan yang menuju ke
arah struktur yang lebih komprehensif, lebih terdiferensiasi dan lebih seimbang
dibandingkan dengan struktur sebelumnya. Melihat pentingnya perkembangan
penalaran moral dalam kehidupan manusia, maka berbagai penelitian psikologi di
bidang ini dilakukan. Lawrence Kohlberg, memperluas penelitian Piaget tentang
penalaran aturan konvensi sosial, menjadi tiga tingkat penalaran moral yang terdiri
dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional.
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang
terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat
tersebut kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg, 1995).
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini si anak mulai mengakui adanya aturan-aturan baik atau
buruk mulai mempunyai arti baginya, tapi hal itu semata-mata dihubungkan
dengan reaksi orang lain. Penilaian moral terhadap perbuatan hanya didasarkan
atas akibat atau konsekuensi yang dibawakan oleh perilaku si anak : hukuman
atau ganjaran, hal yang pahit atau hal yang menyenangkan.
Pada tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan menjadi dua tahap :
Tahap 1) :
Orientasi hukuman dan kepatuhan
Anak
mendasarkan
perbuatannya
atas
otoritas
konkret
(orangtua,guru) dan atas hukuman yang akan menyusul, bila ia
tidak patuh. Anak kecil tidak memukul adiknya, karena hal itu
dilarang oleh dan karena melanggar kemauan ibu dan akan
membawa hukuman. Ia membatasi diri pada kepentingannya sendiri
dan belum memandang kepentingan orang lain.
Tahap 2) :
Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan adalah baik, jika ibarat instrumen (alat) dapat memenuhi
kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.
Anak mulai menyadari kepentingan orang lain juga tapi hubungan
antara manusia dianggapnya seperti hubungan orang di pasar:
tukar-menukar. Hubungan timbal balik antara manusia adalah soal
“jika kamu melakukan sesuatu untuk saya, maka saya akan
melakukan sesuatu untuk kamu”(do ut des), bukannya soal loyalitas
kesetiaan), rasa terimakasih atau keadilan.
b. Tingkat Konvensional
Menurut penelitian Kohlberg menunjukan bahwa biasanya (namun tidak selalu)
anak mulai beralih ke tingkat ini antara umur 10 dan 13 tahun. Di sini perbuatanperbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum dan kewajiban serta
otoritas dijunjung tinggi. Tingkat ini oleh Kohlberg disebut “konvensional”,
karena di sini anak mulai menyesuaikan
penilian dan perilakunya dengan
harapan orang lain atau kode yang berlaku dalam kelompok sosialnya.
Memenuhi harapan keluarga, kelompok atau bangsa dianggap sebagai sesuatu
yang berharga pada dirinya sendiri, terlepas dari konsekuensi atau akibatnya.
Dalam sikapnya si anak tidak hanya menyesuaikan diri dengan harapan orangorang tertentu atau dengan ketertiban sosial, melaikan juga menaruh loyalitas
kepadanya dan secaraaktif menunjang serta membenarkan ketertiban yang
berlaku. Singkatnya, anak mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya
beserta norma-normanya. Tingkatan ini juga mencakup dua tahap :
Tahap 3) :
penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak
manis”
Anak cenderung mengarahkan diri kepada keinginan serta harapan
dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah di sini tentu
penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan
dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak
mengambil sikap: saya adalah “anak manis”, yang artinya, ia
adalah sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru, atau
sebagainya. Ia ingin bertingkah laku secara “wajar”, artinya,
menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia menyimpang dari dari
norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah. Dalam
hal ini untuk pertama kali si anak mulai memperhatikan pentingnya
maksud perbuatan.
Tahap 4) :
Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara
keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau
buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan
terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi
peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau
kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan
aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi
sosial.
Perilaku
yang
baik
adalah
semata-mata
melakukan
kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib
sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
c. Tingkat Pasca-konvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada
tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip
moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula
dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk
didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat
yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini sudah dimulai dari
remaja awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 5) :
Orientasi kontrak sosial legalistis
Pada tingkatan perkembangan moral ini anak mulai memahami
nilai moral dan prinsip moral merupakan standar kebenaran yang
benar dan dapat terjadi pertentangan dengan apa saja yang
diterimanya.
(dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya
tahap 4).
Tahap 6) :
Orientasi prinsip etika universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsipprinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada
komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis.
Keenam tingkat penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg (1995)
tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya bukan berdasarkan keputusan yang
dibuat, tetapi berdasarkan alasan yang dipakai untuk mengambil keputusan.
2.2.3. Komponen Penalaran Moral
Rest (1979) membagi komponen penalaran moral menjadi empat hal. Adapun
empat komponen utama penalaran moral yang dikemukakan antara lain :
1. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral (mencakup
empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan bagaimana masingmasing pelaku dalam situasi terpengaruh oleh berbagai tindakan tersebut).
2. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, merumuskan suatu
rencana tindakan yang merujuk kepada suatu standar moral atau suatu ide tertentu
(mencakup konsep kewajaran & keadilan, penalaran moral, penerapan nilai moral
sosial).
3. Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan bagaimana
caranya orang memberikan penilaian moral atau bertentangan dengan moral, serta
memutuskan apa yang secara aktual akan dilakukan seseorang (mencakup proses
pengambilan keputusan, model integrasi nilai, dan perilaku mempertahankan diri).
4. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan yang berbobot moral
(mencakup ego-strength dan proses pengaturan diri).
2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral
Menurut Kohlberg (1995), ada 3 faktor umum yang memberikan kontribusi pada
perkembangan penalaran moral yaitu :
a. Kesempatan pengambilan peran
Perkembangan penalaran moral meningkat ketika seseorang terlibat dalam situasi
yang memungkinkan seseorang mengambil perspektif sosial seperti situasi dimana
seseorang sulit untuk menerima ide, perasaan, opini, keinginan, kebutuhan, hak,
kewajiban, nilai dan standar orang lain.
b. Situasi moral
Setiap lingkungan sosial dikarakteristikkan sebagai hak dan kewajiban yang
fundamental yang didistribusiakan dan melibatkan keputusan. Dalam beberapa
lingkungan, keputusan diambil sesuai dengan aturan, tradisi, hukum, atau figur
otoritas (tahap 1). Dalam lingkungan yang lain, keputusan didasarkan pada
pertimbangan pada system yang tersedia (tahap 4 atau lebih tinggi). Tahap penalaran
moral ditunjukkan oleh situasi yang menstimulasi orang untuk menunjukkan nilai
moral dan norma moral.
c. Konflik moral kognitif
Konflik moral kognitif merupakan pertentangan penalaran moral seseorang dengan
penalaran orang lain. Dalam beberapa studi, subjek bertentangan dengan orang lain
yang mempunyai penalaran moral lebih tinggi maupun lebih rendah. Anak yang
mengalami pertentangan dengan orang lain yang memiliki penalaran moral yang
lebih tinggi menunjukkan tahap perkembangan moral yang lebih tinggi dari pada
anak yang berkonfrontasi dengan orang lain yang memiliki tahap penalaran moral
yang sama dengannya.
Interaksi antara orangtua dan anak dalam berbagai situasi menunjukkan 3 faktor
umum di atas. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penalaran moral anak.
Menurut muslimin (2004) faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan moral
anak adalah keluarga, bahwa pengaruh utama dari keluarga adalah pada diskusi antara
orangtua dengan anak mengenai nilai-nilai dan norma, dari pada pengalaman anak
sendiri akan disiplin, hukuman, dan hadiah dari orangtua. Kohlberg juga menyatakan
bahwa penalaran moral dipengaruhi oleh tahap perkembangan kognitif yang tinggi
(seperti pendidikan) dan pengalaman sosiomoral. Pendidikan adalah prediktor yang kuat
dari perkembangan penalaran moral, karena lingkungan pendidikan yang lebih tinggi
menyediakan kesempatan, tantangan dan lingkungan yang lebih luas yang dapat
merangsang perkembangan kognitif.
Berdasarkan uraian di atas maka ada 5 faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan penalaran moral seseorang, yaitu kesempatan alih peran, situasi moral,
konflik moral kognitif, keluarga, dan pendidikan.
2.3. Kerangka Berpikir
Berdasarkan uraian konsep-konsep di atas, maka penulis merumuskan kerangka
berpikir sebagai berikut :
Tabel.2.1 Kerangka Berfikir
Pemahaman penalaran
moral
Remaja
Pendidikan formal
Pendidikan non-formal
Perbedaan
penalaran moral
Gambar 2.1 kerangka berfikir
Karakteristik remaja seharusnya dapat bertindak sesuai norma dan harapan masyarakat
dan melakukan tingkah laku moral, namu pada kenyataannya banyak remaja yang berprilaku
tidak sesuai dengan prisip-prinsip etis. Menururt Kohlberg ini menunjukan tingkat penalaran
moral remaja yang rendah. Bahwa di dalam Lapas mereka mendapatkan pemibinaan salah
satunya pendidikan formal dan nonformal. Oleh karena itu dapat ditinjau sebagaimana
penalaran moral dari perbedaan pendidikan yang mereka dapat.
2.4. Hipotesis
Hipotesis menurut Sudjana dalam Ridwan (2005 : 37) adalah asumsi atau
pdugaan mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu yang sering dituntut
untuk melakukan pengecekannya"
Adapun hipotesis pada penelitian ini, adalah :
Ha
:
Terdapat perbedaan penalaran moral pada penghuni Lapas remaja tangerang
berdasarkan keikut sertaan pendidikan formal dan non-formal didalam Lapas.
H0 :
Tidak terdapat perbedaan penalaran moral pada penghuni Lapas remaja
tangerang berdasarkan keikut sertaan pendidikan formal dan non-formal
didalam Lapas.
Download