FULL TEXT - Jurnal Ilmiah Poltekkes Medan

advertisement
ISSN 1907-3046
JURNAL ILMIAH
PANNMED
(Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwifery, Environment, Dentist)
VOL. 11, NO. 1, MEI – AGUSTUS 2016
TERBIT TIGA KALI SETAHUN (PERIODE JANUARI, MEI, SEPTEMBER)
Penanggung Jawab:
Dra. Ida Nurhayati, M.Kes.
DAFTAR ISI
Editorial
Redaktur:
Drg. Herlinawati, M.Kes.
Analisa Kadar Besi (Fe) pada Bayam Hijau Sesudah
Perebusan dengan Masa Simpan 1 Jam 3 Jam dan 5
Jam oleh Sri Bulan Nasution.......................................1-3
Penyunting Editor:
Soep, SKp., M.Kes.
Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes.
Nelson Tanjung, SKM., M.Kes.
Fauzi Romeli, SKM, M.Kes.
Cecep Triwibowo, S.Kp., M.Kes.
Hubungan Pengetahuan dan Sikap Bidan dengan
Tindakan Perawatan pada Pasien Penderita Kanker
Serviks di Rumah Sakit Haji Medan oleh Elisabeth
Surbakti, Efendi Sianturi..............................................4-7
Desain Grafis & Fotografer:
Nastika Sari Lubis, S.Kep., Ns.
Julia Hasanah
Pengaruh Mengkonsumsi Buah Pepaya Terhadap
Indeks Plak pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31
Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun
2016 oleh Herlinawati, Aminah Br. Saragih, Hana
Meyliani Harahap.......................................................8-11
Sekretariat:
Sumarni, SST
Robert Boyke R. Sinaga
Hubungan Sikap Tentang Mekanika Tubuh dengan
Nyeri Punggung Bawah Petani di Dusun V Desa
Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun
Tahun 2015 oleh Agustina Boru Gultom...............12-16
Mitra Bestari:
Dr. dr. Juliandi Harahap, M.A. (FK. USU Medan)P
Dr. Saryono, S.Kp., M.Kes. (FIKes Universitas Jenderal Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Perempuan
Sudirman, Purwokerto) Premenopause Menghadapi Perubahan pada Masa
Menopause di Kelurahan Buluran Kenali Kota Jambi
Alamat Redaksi: Tahun 2016 oleh Diniyati, Neny Heryani, Nelly
Jl. Let Jend Jamin Ginting KM 13.5 Herwani....................................................................17-22
Kelurahan Laucih Kec. Medan Tuntungan
Telp: 061-8368633 Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Ibu Hamil
Fax: 061-8368644 Terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik
Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat oleh
Elizawarda................................................................23-32
Pengaruh Pemberian Terapi Oksigen dengan
Menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM)
Terhadap Nilai Tekanan Parsial CO2 (PaCO2) pada
Pasien Cedera Kepala Sedang (Moderate Head Injury)
di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP H Adam
Malik Medan Tahun 2016 oleh Marlisa.................33-38
Gambaran Pengetahuan dan Tindakan Siswa/i
Terhadap Keluhan Sakit Gigi SMA PGRI 24 Talun
Kenas Kecamatan Stm Hilir Tahun 2016 oleh Nelly
Katharina Manurung................................................39-41
Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Lansia Terhadap
Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes
Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten
Humbang Hasundutan Tahun 2016 oleh Adelima C R
Simamora..................................................................42-46
Analisa Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku
Karyawan Kilang Papan dalam Penggunaan Alat
Pelindung Diri di PT Hidup Baru Kota Binjai Tahun
2014 oleh Netty Jojor Aritonang, Sitti Raha Agoes
Salim, Makmur Sinaga............................................47-50
Hubungan Perilaku Caring Perawat Terhadap
Kepuasan Pasien di Ruangan Penyakit Dalam Rumah
Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2016 oleh Suriani
Ginting......................................................................51-55
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Usia
Muda di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta
Tahun 2016 oleh Wiwik Dwi Arianti.....................56-60
Efektifitas Perawatan Luka Menggunakan Madu
dengan Lomatulle Terhadap Proses Penyembuhan
Luka Diabetik oleh Sri Siswati, Syammar Kurnia
Nasution....................................................................61-68
Aktivitas Sehari-Hari Pasien Stroke Non Hemoragik di
RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2016 oleh Solihuddin
Harahap, Erika Siringoringo .......................................69-73
Diterbitkan oleh : POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN
Jl. Jamin Ginting KM. 13,5 Kel. Lau Cih Medan Tuntungan Kode Pos : 20136
www.poltekkes-medan.ac.id/pannmed
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal PANNMED merupakan salah satu wadah untuk menampung hasil penelitian Dosen Politeknik
Kesehatan Kemenkes Medan.
Jurnal PANNMED Edisi Mei – Agustus 2016 Vol. 11 No.1 yang terbit kali ini menerbitkan sebanyak 14
Judul Penelitian.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Direktur atas supportnya sehingga Jurnal ini dapat terbit
2. Dosen-dosen yang telah mengirimkan tulisan hasil penelitiannya dan semoga dengan terbitnya jurnal
ini dapat memberi semangat kepada dosen yang lain untuk berkreasi menulis hasil penelitian sehingga
bisa diterbitkan ke Jurnal Pannmed ini.
Akhir kata, kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar jurnal ini dapat menjadi jurnal yang
berkualitas seperti harapan kita bersama.
Redaksi
ANALISA KADAR BESI (Fe) PADA BAYAM HIJAU SESUDAH
PEREBUSAN DENGAN MASA SIMPAN 1 JAM 3 JAM DAN 5 JAM
Sri Bulan Nasution
Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Medan
`
Abstrak
Bayam (Amaranthus) dianggap sebagai raja sayuran karena kandungan gizinya yang tinggi. Bayam banyak
mengandung vitamin, kalsium, fosfor dan besi. Zat besi yang berupa ferro (Fe2+) dalam bayam yang terlalu
lama berinteraksi dengan udara (teroksidasi) maka bisa berubah menjadi ferri (Fe3+). Walau keduanya samasama zat besi, ferro (Fe2+) adalah zat besi yang bermanfaat, sedangkan ferri (Fe3+) bersifat racun bagi tubuh
kita Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kadar besi total pada bayam hijau sesudah perebusan
dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam. Angka kecukupan besi sehari yang dianjurkan berdasarkan
Widyakarta Nasional Pangan dan Gizi (2004) untuk pria berumur 19-29 tahun adalah 13 mg dan untuk
wanita berumur 19-29 tahun adalah 26 mg. Kadar besi pada rebusan bayam hijau ditentukan dengan metode
kuantitatif yaitu mengukur kadar besi (Fe) pada bayam hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3
jam dan 5 jam. Penelitian ini dilakukan pada laboratorium kimia air dinas kesehatan provinsi sumatera utara
upt. Laboratorium kesehatan daerah jalan william iskandar pasar v barat I no.4 medan. Metode destruksi
basah menggunakan alat spektrofotometer serapan atom. Dari hasil penelitian diperoleh kadar besi pada
bayam hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam adalah 29,59 mg/kg; 29,54
mg/kg; 29,46 mg/kg. Kadar besi yang terdapat pada rebusan bayam hijau memiliki kadar besi yang hampir
sama. Diharapkan kepada masyarakat sebaiknya mengkonsumsi sayur bayam sekali makan dan tidak
dianjurkan untuk dipanaskan. Rebusan bayam hijau sebaiknya menggunakan sedikit air dan dimasak
menggunakan panci alumunium.
Kata kunci : Rebusan Sayur Bayam Hijau, Besi
PENDAHULUAN
Sayuran merupakan bahan pangan yang mudah
didapatkan diberbagai tempat. Ada beberapa jenis
sayuran yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Contohnya sayuran yang berasal dari daun daunan
seperti bayam, daun singkong, pakis dan sawi.
Dipasaran, bayam dijual dalam bentuk untaian yang
diikat dengan batangnya. Jenis bayam yang digunakan
sebagai sayuran yaitu bayam merah dan bayam hijau.
(Murdiati,dkk,2013)
Bayam banyak digemari oleh masyarakat
Indonesia karena rasanya yang enak, lunak dan dapat
memperlancar pencernaan. Selain itu, bayam juga
mudah diperoleh dipasar-pasar dengan harga yang
relative murah.
Bayam (Amaranthus sp) dianggap sebagai raja
sayuran karena kandungan gizinya yang tinggi.Bayam
banyak mengandung vitamin A, B dan C, selain itu
bayam banyak mengandung garam-garam mineral yang
penting seperti kalsium,fosfor dan besi. Bayam
mengandung zat mineral yang tinggi yaitu zat besi
untuk mendorong pertumbuhan badan dan menjaga
kesehatan. Kandungan besi dalam 100 gram bayam
hijau yaitu 3,9 (Rizki,2013)
Selain sebagai sayuran yang bergizi tinggi, bayam
juga dimanfaatkan sebagai obat berbagai macam
penyakit. Kandungan vitamin A dalam bayam berguna
untuk meningkatkan daya tahan tubuh dalam
menanggulangi penyakit mata, vitamin C dapat
membantu menyembuhkan sariawan. Zat besi dapat
mencegah penyakit anemia atau anemia gizi besi.
(Haryadi,2013)
Tetapi bayam juga mengandung zat yang bersifat
merugikan, salah satunya adalah asam oksalat. Asam
oksalat merupakan racun dalam bayam yang mampu
mengikat nutrien dalam tubuh. Hal ini menyebabkan
mengonsumsi makanan yang banyak mengandung
asam oksalat secara berlebihan bisa mengakibat
penghambatan penyerapan zat besi dan kalsium dalam
tubuh.(Haryadi, 2013)
Tubuh manusia membutuhkan zat besi untuk
kesehatan darah dan otot. Hal ini memainkan peranan
penting dalam produksi sel darah putih dan sel darah
merah yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh.
(Sunarya,2015)
Besi merupakan mineral yang membantu
mengangkut oksigen keseluruh tubuh. Angka
kecukupan besi sehari yang dianjurkan berdasarkan
Widyakarta Nasional Pangan dan Gizi (2004) untuk
pria berumur 19-29 adalah 13 mg dan untuk wanita
berumur 19-29 adalah 26 mg. (Sunita,2009)
1
Kekurangan zat besi dalam tubuh dapat
menyebabkan anemia defesiensi besi dan anemia gizi.
Kekurangan zat besi banyak dialami para ibu yang
sedang mengandung, menyusui dan wanita yang
sedang haid. (Almatsier,2009)
Zat besi yang berupa ferro (Fe2+) dalam bayam
yang terlalu lama berinteraksi dengan udara
(teroksidasi) maka bisa berubah menjadi ferri (Fe3+).
Walau keduanya sama-sama zat besi, ferro (Fe2+)
adalah zat besi yang bermanfaat, sedangkan ferri (Fe3+)
bersifat racun bagi tubuh kita (Rizki,2013)
Sayur bayam dilarang dimasak menggunakan
panci alumunium karena alumunium yang bereaksi
dengan zat besi dalam bayam bisa menyebabkan
terjadinya racun. Bagi yang memiliki kadar asam urat
dalam darah yang cukup tinggi tidak dianjurkan
mengkonsumsi bayam dalam jumlah banyak karena
kandungan purin yang cukup tinggi dalam bayam dapat
menyebabkan rasa nyeri yang berlebihan. (Rizki, 2013)
Untuk mendapatkan manfaat sayur bayam
sebaiknya mencuci bayam pada air mengalir kemudian
didihkan dahulu airnya setelah itu masukan bayam,
dapat ditambah dengan bahan makanan lainnya seperti
garam. Merebus sayuran adalah cara aman untuk
mengkonsumsi sayuran secara sehat. Bayam yang
direbus sebaiknya menggunakan sedikit air karena
sayuran ini cepat sekali masak yaitu hanya 4-6 menit.
Kandungan dalam bayam tidak tahan panas artinya
dapat berkurang atau rusak karena proses pemanasan.
Bayam sebaiknya habis sekali makan sebab masakan
bayam tak layak dikonsumsi setelah lebih dari 5 jam
dan tidak dianjurkan untuk dimasak ulang atau
dipanaskan. (Indrati,dkk, 2014)
Berdasarkan penjabaran diatas penulis ingin
mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar besi pada
bayam hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1
jam, 3 jam dan 5 jam.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui kadar besi total pada bayam hijau
sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5
jam.
Tujuan Khusus
Untuk menentukan kadar besi total pada bayam
hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3
jam dan 5 jam.
METODE
Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian
deskriptif yaitu untuk mengetahui gambaran kadar besi
pada bayam hijau sesudah perebusan dengan masa
simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia
Air Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara UPT.
Laboratorium Kesehatan Daerah Jalan Williem
Iskandar Pasar V Barat I No.4 Medan yang dilakukan
dari bulan Maret sampai Juni 2016.
2
Sampel penelitian ini adalah sayur bayam hijau
sesudah perebusan yang simpan selama 1 jam, 3 jam
dan 5 jam.
HASIL
Tabel 1. Data Pembacaan Pada AAS
No. Berat Sampel (gr) Absorbansi
1
2
3
10,1242
10,1024
10,0985
0,389
0,343
0,341
Pembacaan
Sampel
(ppm)
2,996
2,985
2,976
Tabel 2. Kadar Besi (mg/kg) Pada Rebusan Bayam Hijau
No.
Waktu Sesudah
Kadar Fe
Perebusan
1
1 Jam
29,59 mg/kg
2
3 Jam
29,54 mg/kg
3
5 Jam
29,46 mg/kg
Pembahasan
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap
kadar besi (Fe) pada sampel rebusan bayam hijau yang
disimpan selama 1 jam, 3 jam dan 5 jam yang telah
diperiksa di Laboratorium Kimia Air Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara UPT. Laboratorium Kesehatan
Daerah kadar besi (Fe) yang terdapat pada rebusan bayam
hijau memiliki kadar yang hampir sama. Kadar besi yang
tertinggi terdapat pada rebusan bayam hijau dengan masa
simpan 1 jam yaitu 29,59 mg/kg dan kandungan besi yang
terendah terdapat pada rebusan bayam hijau dengan masa
simpan 5 jam yaitu 29,46 mg/kg. Dari hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Novary (2014) di
Makassar menunjukkan kadar besi pada rebusan bayam
hijau dengan masa simpan 5 jam memiliki kadar besi yaitu
30,12 mg/kg.
Tingginya kadar besi pada sayur bayam hijau dapat
mencukupi asupan besi sehari-hari. Berdasarkan angka
kecukupan besi yang dianjurkan oleh Widyakarta Nasional
Pangan dan Gizi untuk pria berumur 19-29 tahun yaitu 13
mg dan untuk wanita berumur 19-29 yaitu 26 mg.
Dari data hasil penelitian di atas menunjukkan
bahwa kadar besi pada rebusan bayam hijau dengan masa
simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam tidak memiliki perbedaan
hasil yang tinggi. Kadar besi pada rebusan bayam hijau
memiliki kadar yang hampir sama ini disebabkan karena
besi merupakan zat anorganik yang tidak dapat terurai
sehingga dalam penyimpanan yang lama pun tidak
mempengaruhi kadar besinya. Pemberian pupuk pada
tanaman bayam akan mempengaruhi pada kualitas mineral
bayam tersebut. (Bandini, 2009). Kesalahan juga terdapat
pada metode kerja pemeriksaan yang dilakukan dalam
pengolahan sampel dan alat yang digunakan.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap
rebusan sayur bayam hijau dengan masa simpan 1 jam,
3 jam dan 5 jam diperoleh hasil yang hampir mendekati
yaitu 29, 54 mg/kg - 29,46 mg/kg. Hal ini dapat
disebabkan karena besi merupakan zat anorganik yang
tidak dapat terurai walau dalam penyimpanan yang
lama. Namun sayur bayam hijau yang disimpan terlalu
lama atau dipanaskan tidak layak dikonsumsi karena
zat besi berupa ferro (Fe2+) akan teroksidasi menjasi
ferri (Fe3+) dimana ferri (Fe3+) bersifat racun bagi tubuh
kita.
Saran
1. Masyarakat sebaiknya mengonsumsi sayur bayam
hijau habis sekali makan dan tidak dianjurkan
untuk dipanaskan.
2. Rebusan bayam hijau sebaiknya menggunakan
sedikit air dan dimasak menggunakan panci
alumunium.
3. Kepada peneliti selanjutnya dapat meneliti zat-zat
lain yang terdapat pada bayam hijau.
Indrati, Retno dan Gardjito Murdjiati, 2014. Pendidikan
Konsumsi Pangan. Cetakan ke I. Jakarta : PT
Fajar Interpratama Mandiri
Murdiati, Agnes dan Amaliah, 2013. Panduan Penyiapan
Pangan Sehat Untuk Semua. Cetakan ke I.
Jakarta : Kencana Prenadamedia Group
Rizki, Farah, 2013. The Miracle Of Vegetables. Cetakan
ke I. Jakarta : PT Agromedia Pustaka
Sediaoetama, Ahmad Djaeni, 2008. Ilmu Gizi. Jakarta :
Dian Rakyat
Sunarya, DR, 2015. Memilih Makana Bergizi dan
Aman. Cetakan ke I. Depok : Papas Sinar
Sinanti.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita, 2009. Prinsip Dasar IlmuGizi. Cetakan
ke VIII. Jakarta : PT Gramedia Pustakan Utama
Bandini,Yusni, 2009. Bayam. Cetakan ke V. Jakarta :
Penebar Swadaya
Haryadi, J., 2013. Fakta Buah Dan Sayur Yang
Berbahaya. Cetakan ke I. Jakarta : Niaga Swadaya
http :// novary. Blogspot.com/2014/06/Pemeriksaan kadar
besi pada bayam hijau yang disimpan 5 jam.
dipublikasikan oleh novary, kamis, 19 Juni 2014
3
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP BIDAN DENGAN
TINDAKAN PERAWATAN PADA PASIEN PENDERITA
KANKER SERVIKS DI RUMAH
SAKIT HAJI MEDAN
Elisabeth Surbakti, Efendi Sianturi
Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Kanker leher rahim merupakan kanker yang terjadi pada serviks, suatu daerah pada organ reproduksi wanita
yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina,
Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan pengetahuan dan sikap bidan dengan tindakan perawatan pada pasien penderita kanker serviks di
Rumah Sakit Haji Medan. Jenis penelitian ini analitik dengan desain cross sectional. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh Bidan yang ada di rumah sakit Haji Medan sebanyak 33 Orang. Pengambilan
sampel dengan teknik total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sampel. Pengumpulan data
dilakukan melalui pengisian kuesioner. Hasil penelitian ini adalah ada hubungan pengetahuan bidan dengan
tindakan perawatan pada pasien penderita kanker serviks, dimana nilai p value = 0,013. Ada hubungan sikap
bidan dengan tindakan perawatan pada pasien kanker serviks, p value = 0,018. Kepada pihak Rumah Sakit
agar memberi pelatihan yang berkelanjutan dan evidence base kepada bidan terkait dengan perawatan pada
pasien penderita kanker serviks untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan bidan dalam hal
perawatan pada pasien kanker serviks yang berkunjung. Kepada pasien penderita kanker serviks agar dapat
mengikuti penyuluhan yang diberikan oleh pihak rumah sakit serta aktif berkonsultasi sesuai dengan anjuran
petugas kesehatan dalam hal ini bidan.
Kata kunci : Pengetahuan dan Sikap Bidan, Tindakan Perawatan Pada Pasien Kanker serviks
Pendahuluan
Kanker merupakan penyakit yang tidak menular.
Kanker serviks merupakan keganasan atau neoplasma
yang terdapat pada daerah leher rahim atau mulut rahim.
Penyakit ini timbul akibat kondisi tubuh yang tidak normal
dan pola hidup yang tidak sehat. Kanker dapat menyerang
berbagai jaringan di dalam organ tubuh, termasuk organ
reproduksi wanita yang terdiri dari payudara, rahim,
indung telur dan vagina. Angka kejadian dan angka
kematian akibat kanker serviks di dunia mempunyai urutan
kedua setelah kanker payudara. Sementara itu di negara
berkembang masih menempati urutan teratas sebagai
penyebab kematian akibat kenker di usia reproduksi
(Rasjidi, 2007).
Kanker serviks merupakan salah satu penyakit
yang menimbulkan dampak psikososial yang luas,
terutama bagi pasien dan keluarganya. Menurut
Rachmadahniar (2008), pada tahun 2000 sekitar 80%
penyakit kanker serviks ada di negara berkembang yaitu di
Afrika sekitar 69.000 kasus, di Amerika Latin sekitar
77.000 kasus, dan di Asia sekitar 235.000 kasus. Penelitian
oleh Vavuhala (Rachmadahniar, 2008) pada tahun 2004
menunjukkan setiap tahunnya di dunia terdapat sekitar
500.000 kasus baru kanker serviks dengan tingkat
kematian sekitar 200.000 kasus.
4
Menurut data Organisasi Kesehatan Sedunia
(WHO) setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia
bertambah 6,25 juta orang atau setiap 11 menit ada satu
penduduk yang meninggal dunia karena kanker dan setiap
3 menit ada satu penderita kanker baru. Dalam 10 tahun
mendatang diperkirakan 9 juta akan meninggal setiap
tahun akibat kanker, 2/3 dari penderita kanker tersebut
berada di negara-negara yang sedang bekembang termasuk
Indonesia (Ratna, 2008).
Menurut Rono (2007) di Amerika Selatan dan
beberapa Negara Asia ditemukan kejadian kanker serviks
sebanyak 40/100.000 penduduk, sedangkan diwilayah
Australia Barat tercatat setiap tahunnya sebanyak 85 orang
wanita di diagnose positif menderita kanker serviks.
Di Indonesia di perkirakan terdapat 200 ribu
kasus baru per tahunnya. Insidens rate penderita kanker di
Indonesia berjumlah 100 orang per 100.000 (Ratna, 2008).
Data Departemen Kesehatan di Indonesia saat ini
ada sekitar 200.000 kasus kanker serviks setiap tahunnya,
atau 100 kasus per 100.000. Wanita, 70% kasus yang
datang ke rumah sakit ditemukan dalam stadium lanjut
(Mustari, 2009).
Masalah kanker serviks di Indonesia karena
beberapa kendala antara lain luasnya wilayah demografi,
kesinambungan dan kekurangan sumberdaya manusia
sebagai pelaku screening sehingga harapan untuk
menemukan kanker serviks stadium dini masih jauh
(Suwiyoga, Ketut 2008)
Data RS dr. Pringadi Medan tahun 2002
menunjukkan bahwa kanker serviks menempati peringkat
teratas dari seluruh kanker pada wanita. Pada tahun 2007
terdapat 345 kasus, tahun 2009 sebanyak 48 kasus, tahun
2010 sebanyak 40 kasus, tahun 2011 sebanyak 263 kasus,
tahun 2012 sebanyak 58 kasus, tahun 2013 sebanyak 64
kasus, dan tahun 2014 sebanyak 294 kasus.
Beberapa faktor yang diduga meningkatkan
kejadian kanker serviks yaitu usia, status sosial ekonomi,
pasangan seks yang berganti-ganti, paritas, kurang menjaga
kebersihan genital, merokok, riwayat penyakit kelamin,
trauma kronis pada serviks, serta penggunaan kontrasepsi
oral dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun (Diananda,
2007).
Menurut Bustan (2008) kanker bisa disembuhkan
jika dideteksi dan di tanggulangi sejak dini, namun
dikarenakan minimnya gejala yang ditimbulkan oleh
kanker serviks, penanganan terhadap penyakit ini sering
terlambat yang menyebabkan kematian.
Di sisi lain, Indonesia mempunyai sejumlah
bidan, dimana bidan merupakan tenaga kesehatan yang
dekat dengan masalah kesehatan wanita yang potensinya
perlu dioptimalkan khsususnya untuk program skrining
kanker serviks. Dari data sekretariat IBI (Ikatan Bidan
Indonesia) Pusat, pada tahun 1997 jumlah bidan di desa
sebanyak 55.000 orang dan bidan praktek swasta sebanyak
16.000 orang. Dari penelitian Nuranna L dan Aziz MF
pada tahun 1991, diperoleh data bahwa diantara petugas
kesehatan termasuk bidan, kemampuan kewaspadaannya
terhadap kanker serviks masih perlu diberdayakan.
(Nuranna L, 1999, Sheperd JH)
Penting bagi seorang bidan untuk memiliki
kepercayaan diri dalam keterampilan kebidanannya
mengenai observasi dan intervensi minimal dengan
maksud mengkaji kesehatan dan kemajuan maternal agar
bidan dapat mempercayai dan bertanggung jawab terhadap
tindakan mereka sendiri (Vicky Chapman, 2010)
Dalam penelitian Suaidah (2010), didapatkan
bahwa tingkat pengetahuan bidan dan perawat terhadap
bahaya kanker serviks yang baik adalah 18 orang
(54,5%) dan yang sedang adalah 15 orang (45,5%) dari
11 bidan dan 22 perawat yang menjadi responden.
Sedangkan responden yang memiliki sikap yang baik
adalah 28 orang (84,8%) dan yang memiliki sikap
sedang adalah 5 orang (15,2%), serta responden yang
memiliki tindakan baik ada 26 orang (70 %) dan
responden yang memiliki tindakan buruk ada sebanyak
4 orang (30 %).
Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa
tingkat pengetahuan, sikap serta tindakan bidan dan
perawat adalah cukup baik. Untuk itu kepada para pembuat
kebijakan kesehatan agar lebih memperhatikan upaya
tindakan pencegahan kanker serviks secara dini.
Sedangkan kepada bidan dan perawat untuk memperluas
wawasan tentang kanker serviks secara berkelanjutan
berdasarkan evidence base, dengan cara lebih banyak
mencari informasi tentang kanker serviks agar dapat
meningkatkan kinerjanya dalam program pencegahan
kanker serviks.
Data dari Rumah Sakit Haji Medan pada tahun
2010 terdapat 27 kasus kanker serviks dan pada tahun
2011 terdapat 32 kasus kanker serviks.
Metode
Jenis penelitian ini adalah metode analitik
dengan desain penelitian cross sectional, yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan Pengetahuan
dan Sikap Bidan dengan tindakan perawatan pada
pasien kanker serviks di Rumah Sakit Haji Medan.
Besar sampel 33 Orang, dengan pengambilan sampel
total populasi
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
kuesioner untuk Bidan, Data yang telah dikumpulkan
berupa jawaban dari setiap pernyataan kuesioner akan
diolah dan dianalisa secara Univariat dan Bivariat
Hasil
Karakteristik Responden
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik
di Rumah Sakit Haji Medan
No
Umur
Frekuensi
%
1
≤30 tahun
12
36,4
2
>30 tahun
21
63,6
Total
33
100
Masa kerja
Frekuensi
%
1
≤5 tahun
11
33,3
2
>5 tahun
22
66,7
Total
33
100
Berdasarkan tabel 1 bahwa umur bidan mayoritas
>30 tahun 21 orang (63,6%), dan masa kerja bidan
mayoritas >5 tahun sebanyak 22 orang (66,7%).
Tabel 2.
Gambaran distribusi Pengetahuan,
tindakan Perawat di RS Haji Medan
No
Pengetahuan
N
1
Baik
22
2
Cukup
8
3
Kurang
3
33
Sikap
1
Positif
29
2
Negatif
4
33
Tindakan
1
Baik
28
2
Kurang
5
Total
33
sikap dan
%
66,6
24,2
9,1
100
87,9
12,1
100
84,8
15,2
100
Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa
pengetahuan bidan mayoritas baik 22 orang (66,6%),
sikap bidan mayoritas positif 29 orang (87,9%) dan
tindakan bidan mayoritas baik 28 orang (84,8%).
5
Hubungan Pengetahuan Bidan Dengan Tindakan
Perawatan Pada Pasien Penderita Kanker serviks
Tabel 3. Distribusi Hubungan Pengetahuan Bidan
dengan Tindakan Perawatan Pada Pasien
Penderita Kanker serviks di Rumah Sakit
Haji Medan
Tindakan
Total
Baik
Kurang
P Value
No Pengetahuan
n
% n % n %
1 Baik
21 63,6 1 3,0 22 66,7
2 Cukup
6 18,2 2 6,1 8 24,2
0,013
3 Kurang
1
3,0 2 6,1 5 9,1
Total
28 84,8 5 15,2 33 100
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa ada
21 orang (63,6%) bidan yang berpengetahuan baik dengan
tindakan baik, 6 orang (18,2%) bidan yang berpengetahuan
cukup dengan tindakan baik, serta ada 2 orang (6,1%)
bidan yang berpengetahuan kurang dengan tindakan
kurang.Berdasarkan hasil uji chisquare diperoleh nilai p
value = 0,013 yang berarti ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan bidan dengan tindakan perawatan pada
pasien penderita serviks.
Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi
pada leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi
wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim,
letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau
vagina, Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita
berusia 35-55 tahun (Notodiharjo, 2008).
Bidan mengetahui tentang perawatan kanker
serviks, merupakan penyakit yang terjadi pada kandungan
(organ reproduksi), kanker yang terjadi pada wanita yang
sudah pernah melakukan hubungan seksual, terjadi pada
wanita usia 30-45 tahun, Tidak memakai kondom saat
melakukan hubungan seks dengan pria yang bukan
pasangan hidupnya, dapat menjadi pencetus kanker
serviks.
Bidan pada umumnya mengetahui perawatan
penderita kanker serviks. Bila dilihat dari pendidikan pada
umumnya D-III, sehingga memperoleh informasi tentang
kanker serviks baik dimasa pendidikan maupun sesudah
bekerja sehingga pengetahuan bidan tentang kenker serviks
mayoritas baik. Dengan pengetahuan yang baik maka
bidan dapat memberikan konseling kepada klien yang
berkunjung ke pelayanan kesehatan, sehingga dapat
mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapi.
Dalam penelitian Suaidah (2010), didapatkan
bahwa tingkat pengetahuan bidan dan perawat terhadap
bahaya kanker serviks baik adalah 18 orang (54,5%) dan
yang sedang adalah 15 orang (45,5%) dari 11 bidan dan 22
perawat yang menjadi responden.
Berdasarkan hasil uji chisquare diperoleh nilai p value
= 0,013 yang berarti ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan bidan dengan tindakan perawatan
pada pasien penderita kanker serviks. Hal ini sesuai
dengan penelitian Rospita (2007) bahwa ada hubungan
pengetahuan bidan dengan tindakan perawatan kanker
serviks, dimana nilai p value = 0,001. Dalam
penelitiannya ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan
bidan yang baik maka akan dapat mempengaruhi
6
tindakan menjadi baik, seseorang bisa bertindak baik
sesuai dengan apa yang diketahuinya.
Hubungan Sikap Bidan Dengan Tindakan
Perawatan Pada Pasien Penderita Kanker serviks
Tabel 4. Distribusi Hubungan Sikap Bidan Dengan
Tindakan Perawatan Pada Pasien Penderita
Kanker Serviks di Rumah Sakit Haji Medan
Tindakan
Total
No Sikap
Baik
Kurang
P value
n
%
n
%
n
%
1
Positif 26 78,8 3 9,1 29 87,9 0,018
2
Negatif 2
6,1 2 6,1
4 12,1
Total
28 84,8 5 15,2 33 100
Berdasarkan tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa 26
orang (78,8%) bidan yang memilik sikap positif dengan
tindakan baik, dan ada 2 orang (6,1%) bidan yang memiliki
sikap negatif dengan tindakan baik. Berdasarkan hasil uji
chisquare diperoleh nilai p value = 0,018 yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara sikap bidan dengan
tindakan perawatan pada pasien penderita kanker serviks.
Pembahasan
Hubungan Sikap Bidan Dengan Tindakan Perawatan
Pada Pasien Penderita Kanker Serviks
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa
ada sebanyak 26 orang (78,8%) bidan yang memilik sikap
positif dengan tindakan baik, dan ada 2 orang (6,1%) bidan
yang memiliki sikap negatif dengan tindakan baik.
Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan
kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor-faktor
penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2008) :
Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks
pada usia muda, pernikahan pada usia muda, dan bergantiganti pasangan seks. Wanita usia di atas 25 tahun, telah
menikah, dan sudah mempunyai anak perlu melakukan
pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut
petunjuk dokter. Kontrasepsi dengan metode barrier,
seperti diafragma dan kondom, dapat memberi
perlindungan terhadap kanker serviks
Bidan memiliki sikap positif dalam penanganan
kanker serviks seperti bidan harus selalu mencari informasi
terbaru (Evidance base), pendidikan (pelatihan) kesehatan
yang berkelanjutan dalam perawatan penderita kanker
serviks. Bidan akan melakukan tindakan untuk perawatan
penderita kanker serviks, dengan mengidentifikasi
penyebabnya. Sebaiknya bidan menginformasikan pada
keluarga tentang keadaan ibu sebelum melakukan
penanganan.
Hasil penelitian diperoleh bahwa sikap bidan
mayoritas positif sebanyak 29 orang (87,9%). Hal ini
terjadi karena pengetahuan bidan yang baik maka sikap
bidan juga menjadi positif. Sikap positif ini seperti bidan
aktif untuk mencari informasi berkaitan dengan kanker
serviks, memberikan dukungan serta perawatan kepada
pasien kanker serviks. Tindakan bidan baik seperti bidan
menganjurkan pasien menjalani kemoterapi bila kanker
telah menyebar ke luar panggul, mencatat semua tindakan
yang dilakukan bidan di catatan perawat.
Sikap sangat menentukan seseorang ke arah lebih
baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk membentuk sikap
tersebut dapat diwujudkan melalui pemberdayaan tenaga
kesehatan untuk memberikan pemahaman tentang
pentingnya pencegahan kanker serviks dengan pap smear
atau IVA kepada masyarakat secara berkala. Sikap positif
akan memunculkan perilaku yang baik untuk melakukan
pencegahan kanker serviks.
Berdasarkan hasil uji chisquare diperoleh nilai p
value = 0,018 yang berarti ada hubungan yang signifikan
antara sikap bidan dengan tindakan perawatan pada pasien
penderita kanker serviks. Hal ini sesuai dengan penelitian
Yanti (2008) yaitu ada hubungan sikap bidan dengan
tindakan perawatan pasien kenker serviks, dimana nilai
p value = 0,010. Sikap yang baik maka tindakan juga
menjadi baik. Menurut Notoadmodjo (2007) menyatakan
bahwa suatu sikap belum otomatis terwujud dalam bentuk
praktek. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan
yang nyata (praktik) diperlukan faktor pendukung atau
kondisi yang memungkinkan.
Kesimpulan
1. Ada hubungan pengetahuan bidan dengan tindakan
perawatan pada pasien penderita kanker serviks
2. Ada hubungan sikap bidan dengan tindakan perawatan
pada pasien penderita kanker serviks.
Saran
1. Kepada pihak Rumah Sakit agar memberi pelatihan
yang berkelanjutan dan evidence base kepada bidan
terkait dengan perawatan pada pasien penderita
kanker serviks, untuk meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan bidan dalam memberikan pelayanan.
2. Kepada pasien penderita kanker serviks agar dapat
mengikuti setiap penyuluhan yang diberikan oleh
pihak rumah sakit serta aktif berkonsultasi dengan
dokter setiap kali berkunjung di tempat pelayanan
kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, T. N. (2011). Wanita dan Deteksi Dini Kanker
Serviks (Studi Korelasi antara Sikap dan Norma
Subjektif dengan Intensi Wanita Dewasa dalam
Pemeriksaan Deteksi Dini Kanker Serviks). Acta
diurnA│ Vol, 7(2).
Bakhtiar MN, 2007, Epidemiologi Penyakit Tidak
Menular, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Dalimartha, 2008, Essential of Obstetri dan Gynecology,
alih bahasa Edi Nugroho, Penerbit J George
Hypocrates.
Dep Kes RI,2000 Rencana Strategis Nasional Making
Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia 2001-2010,
Jakarta.
Diananda E,2007, Hubungan Pengetahuan dan Sikap
Anggota Persatuan Isteri TNI AD Terhadap
Upaya Deteksi Dini Kanker Leher Rahim di
Denkavkud Bandung, Yogyakarta.
Maulana Y, 2009, Cara Bijak Menaklukkan Kanker, PT
Agromedia Pustaka, Depok
Mubarak, 2009, Standar pelayanan Kebidanan, Jakarta.
Notoatmodjo S,2007,Ilmu Kesehatan Masyarakat: PrinsipPrinsip Dasar, Cetakan Kedua, PT Rineka
Cipta,Jakarta
Notodiharjo R, 2008, Reproduksi, Kontrasepsi, dan
Keluarga Berencana, Yogyakarta.
Nuranna L. Skrining kanker serviks, uapaya down
staging dan metode skriming alternatif. Jakarta
: subbagian onkologi Bagian Obstetri dan
genekologi
FKUI/RSUPN
Dr.
Cipto
Mangunkumo, 1999
Rasjidi I, Sulistiyanto H, 2007, Vaksin Human Papilloma
Virus dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim,
Jakarta
Rasjidi I, Sulistiyanto H. 2007, Vaksin Human Papilloma
Virus dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim,DIVA
press, Jakarta.
Rono Yohanes, 2010, Kanker Leher Rahim, Dept of
Sugery Holliwood Hospital, Australia
Sagung O, 2007, Hubungan Antara Karakteristik Ibu
Dengan Partisipasi Ibu Melakukan Pemeriksaan
Papsmear di Klinik Adhiwarga PKBI
Yogyakarta,Yogyakarta.
Saragih, R. (2012). Peranan Dukungan Keluarga dan
Koping Pasien dengan Penyakit Kanker terhadap
Pengobatan Kemoterapi di RB 1 Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun
2010. Jurnal Keperawatan. FIK, UDA, Medan.
Sheperd JH. Curent management of the abnormal
smear and cervical intraepithelia neoplasia.
Consultant gynecological surgeon and
oncologist, St. Bartholomeus’s and the Royal
Marden hospital, London, England, In:
Bengkel HJ, Kresno SB,
Soekidjo Y, 2005 dan Wahyuningsih H. P. Etika Profesi
Kebidanan Cetakan Kedua, PT Ftramaya,
Jakarta.
Sofien 2007 AB, Buku Panduan Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Edisi I, Yayasan Bina Pustaka Sarworo
Prawiroharjo, Jakarta.
Wiknyosastro H, 2005, Ilmu Kandungan.Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawihardjo, Jakarta.
7
PENGARUH MENGKONSUMSI BUAH PEPAYA TERHADAP INDEKS
PLAK PADA SISWA/I KELAS VII SMP NEGERI 31 KODYA MEDAN
KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2016
Herlinawati, Aminah Br. Saragih, Hana Meyliani Harahap
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu
matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap indeks plak. Jenis penelitian yang
dilakukan adalah analitik dengan metode Quasi Eksperiment dengan desain penelitian one group pre test
post test design. Penelitian ini dilakukan pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan
Medan Tuntungan Tahun 2016 dengan pengambilan sampel secara purposive sampling yang berjumlah 40
orang. Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan siswa/i tentang pengaruh
mengkonsumsi buah pepaya terhadap Indeks Plak. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan
adanya penurunan indeks plak setelah mengkonsumsi buah pepaya, dimana rata-rata sebelum
mengkonsumsi buah pepaya adalah 2,32, sedangkan sesudah mengkonsumsi buah pepaya rata-rata indeks
plak menjadi 1,18. Hasil t-Test dependent didapat bahwa nilai probabilitas p < 0,0001, maka Ho ditolak (jika
p < 0,05) yang artinya adanya pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap penurunan indeks plak.
KeKesimpulan penelitian ini adalah ada pengaruh yang signifikan dari mengkonsumsi buah pepaya terhadap
penurunan indeks plak. Diharapkan kepada siswa/i agar meningkatkan kesehatan gigi dengan cara
mengkonsumsi makanan berserat dan mengandung air yang baik untuk kesehatan gigi, misalnya buah
pepaya
Kata kunci: buah papaya, indeks plak
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting
bagi setiap manusia untuk dapat melakukan berbagai
aktivitas baik secara fisik, mental dan kesejahteraan
sosial secara lengkap dan bukan hanya sekedar tidak
mengidap penyakit atau kelemahan (WHO : Organisasi
Kesehatan Sedunia). Salah satu upaya kesehatan adalah
mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat
(Depkes RI 2010). Kesehatan menjadi hal yang sangat
penting bagi setiap individu. Hal ini membuat sebagian
orang yang peduli dengan kesehatan melakukan
berbagai upaya proteksi kesehatan. Tubuh yang sehat
tidak terlepas dari memiliki rongga mulut yang sehat.
Banyak ahli mengatakan rongga mulut merupakan
bagian integral dari kesehatan umum (Petersen, 2003).
Menurut Undang-Undang Kesehatan No.36
Tahun 2009 Pasal 93 ayat 1 dan 2 yaitu pelayanan
kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
dapat dilakukan dengan tindakan pencegahan penyakit
gigi, serta pemulihan kesehatan gigi yang dilaksanakan
oleh pemerintah setempat dan dapat juga dilakukan
melalui pelayanan kesehatan gigi perorangan, sekolah
dan masyarakat. Berdasarkan hasil riset kesehatan
dasar (2013), prevalensi nasional masalah gigi dan
8
mulut mencapai 25,9 persen, sebanyak 14 provinsi
mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut diatas
angka nasional. Prevalensi nasional menyikat gigi
setiap hari adalah 94,2 persen sebanyak 15 provinsi
berada dibawah prevalensi nasional.
Karies gigi adalah penyakit multifaktor yang
merupakan hasil kombinasi dari 4 faktor utama yaitu
host (gigi), substrat, mikroorganisme di dalam plak dan
waktu (Samaranayake, 2002). Plak gigi memegang
peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies.
Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas
mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu
matriks yang terbentuk dan melekat erat pada
permukaan gigi yang tidak dibersihkan (Pintauli S,
Hamada T, 2008). Upaya pencegahan timbulnya plak
disebut dengan kontrol plak. Ada 3 cara yang
digunakan dalam kontrol plak yaitu mekanik, khemis,
dan modifikasi. Sampai saat ini, kontrol plak masih
mengandalkan pada kebersihan secara mekanik yaitu
menyikat gigi dan membersihkan gigi dengan
menggunakan bantuan ahli medis.
Konsumsi buah yang segar dan kaya akan
vitamin, serat dan air dapat melancarkan pembersihan
sendiri pada gigi, sehingga luas permukaan plak dapat
dikurangi dan pada akhirnya karies gigi dapat dicegah.
Kebiasaan makan- makanan berserat tidak bersifat
sebagai pengendali plak secara alamiah. Makanan
padat dan berserat secara fisiologis akan meningkatkan
intensitas pengunyahan dalam mulut. Proses
pengunyahan makanan ini akan merangsang dan
meningkatkan produksi saliva. Saliva akan membantu
membilas gigi dari partikel-partikel makanan yang
melekat pada gigi dan juga melarutkan komponen gula
dari sisa makanan yang terperangkap dalam sela-sela
pit dan fisur permukaan gigi (Mcdonald dan Avery,
2006).
Pepaya merupakan tanaman sumber vitamin,
mineral, serat dan mengandung enzim yang berguna
untuk kesehatan tubuh. Lebih dari 50 asam amino
terkadung dalam getah pepaya, antara lain asam
aspartat, treonin, serin, asam glutamate, prolin, glisin,
alanin, valine, isoleusin, leusin, tirosin, fenilanin,
histidin, lysine, arginin, tritophan, dan sistein. Mereka
bersatu padu menjadi bahan baku industri kosmetik
untuk menghaluskan kulit, menguatkan jaringan agar
lebih kenyal, dan menjaga gigi dari timbunan plak
(Faralia, 2012). Enzim papain dalam buah pepaya juga
dapat dijadikan bahan aktif dalam pembuatan pasta
gigi. Papain dalam pasta gigi dapat membersihkan sisa
protein
yang
melekat
pada
gigi.
(http://www.digilib.unimed.ac.id).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti di SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan
Medan Tuntungan Tahun 2016 pada siswa/i sebanyak
40 orang, dimana peneliti melakukan wawancara
langsung kepada siswa/i, ditemukan bahwa siswa/i
kurang dalam melakukan kebersihan gigi dan mulut
sehingga
mengakibatkan
terjadinya
plak.
Membersihkan gigi tidak hanya dengan menyikat gigi,
tetapi bisa dilakukan dengan mengkonsumsi buahbuahan seperti pepaya.
Berdasarkan uraian di atas dan studi
pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada anak
Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31, maka dari data
tersebut peneliti akan meneliti pengaruh mengkonsumsi
buah pepaya terhadap Indeks Plak pada Siswa/I Kelas
VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan
Tuntungan Tahun 2016. Adapun tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui pengaruh mengkonsumsi
buah pepaya terhadap Indeks Plak. Sedangkan
manfaat Penelitian yaitu :
1.
Sebagai informasi dan bahan masukan bagi
pihak sekolah tentang pengaruh mengkonsumsi
buah pepaya terhadap Indeks Plak pada Siswa/i
Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan
Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016.
2.
Menambah pengetahuan pada Siswa/i Kelas VII
SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan
Medan Tuntungan Tahun 2016 tentang
pengaruh
mengkonsumsi
buah
pepaya
terhadap Indeks Plak.
METODE
Jenis dan Desain
Penelitian ini menggunakan metode Quasi
Eksperiment dengan desain penelitian one group pre test
post test design yaitu eksperimen yang dilaksanakan pada
satu kelompok saja tanpa kelompok pembanding.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian adalah
Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan
Kecamatan Medan Tuntungan dengan jumlah 235
orang.
Sampel adalah objek penelitian yang dianggap
mewakili keseluruhan populasi. Pengambilan sampel
secara purposive sampling, yaitu teknik sampling yang
digunakan oleh peneliti karena peneliti mempunyai
pertimbangan-pertimbangan
dalam
pengambilan
sampel (Arikunto, 2013). Sampel penelitian adalah
siswa/i kelas VII 5 yang berjumlah 40 Siswa/i SMP
Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan
Tuntungan.
HASIL
Data yang dikumpulkan adalah hasil penelitian
yang dilakukan terhadap Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31
Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan
secara langsung pada siswa/i yang dijadikan sampel. Dari
penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh data
indeks plak sebelum dan sesudah mengkonsumsi buah
pepaya. Setelah seluruh data terkumpul, dibuatlah analisa
data dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi untuk
masing-masing sampel, kemudian dilakukan pengolahan
data statistik dengan menggunakan t-Test.
Tabel 4.1.
No
1
2
3
Distribusi Frekuensi Persentase Indeks
Plak Sebelum Mengkonsumsi Pepaya
Pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31
Kodya Medan Kecamatan Medan
Tuntungan Tahun 2016
Kategori
Frekuensi
Persentase
Indeks
Plak
Baik
0
0
Sedang
7
17,5
Buruk
33
82,5
Total
40
100,0
Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa dari 40 orang
sampel yang telah diteliti sebelum mengkonsumsi buah
pepaya dapat dikategorikan bahwa siswa/i memiliki indeks
plak sedang berjumlah 7 orang (17,5%), dan siswa/i yang
memiliki indeks plak buruk berjumlah 33 orang (82,5%).
9
Tabel 4.2.
No
1
2
3
Distribusi Frekuensi Persentase Indeks
Plak Sesudah Mengkonsumsi Pepaya
Pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31
Kodya Medan Kecamatan Medan
Tuntungan Tahun 2016
Kategori
Frekuensi
Persentase
Indeks
Plak
Baik
14
35,0
Sedang
26
65,0
Buruk
0
0
Total
40
100,0
Dari tabel 4.2 dapat diketahui bahwa dari 40 orang
sampel yang telah diteliti sesudah mengkonsumsi buah
pepaya dapat dikategorikan bahwa siswa/i tidak memiliki
indeks plak buruk tetapi dari 40 sampel siswa/i sesudah
mengkonsumsi pepaya memiliki kategori baik berjumlah
14 orang (35,0%), dan siswa/i yang memiliki kategori
sedang berjumlah 26 orang (65,0%).
Tabel 4.3.
No
1
2
Perbedaan Rata-Rata Mengkonsumsi
Buah Pepaya Terhadap Penurunan
Indeks Plak Pada Siswa/i Kelas VII SMP
Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan
Medan
Tuntungan
Tahun
2016
Berdasarkan t-Test
Indeks Plak
Mean
N
Indeks Plak Sebelum
2,32
40
Mengkonsumsi
Buah Pepaya
Indeks Plak Sesudah
1,18
40
Mengkonsumsi
Buah Pepaya
Dari tabel 4.3 diketahui bahwa dari hasil t-Test
sebelum dan sesudah mengkonsumsi buah pepaya
didapat dengan nilai rata-rata indeks plak sebelum
mengkonsumsi buah pepaya 2,32 dan indeks plak
sesudah mengkonsumsi buah pepaya 1,18, maka dapat
disimpulkan bahwa terjadi penurunan indeks plak
sesudah mengkonsumsi buah pepaya.
Tabel 4.4. Perbedaan Mengkonsumsi Buah Pepaya
Terhadap Penurunan Indeks Plak Pada
Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya
Medan Kecamatan Medan Tuntungan
Tahun 2016 Berdasarkan t-Test
Selisih
Mean
SD
T
Df
Sig.(2Indeks
tailed)
Plak
IP Sbl- IP
1,14
.27
26,29
39
.0001
Ssd
Dari tabel 4.4 diketahui bahwa dari hasil t-Test
dependent yang telah dilakukan adanya terjadi penurunan
indeks plak sebelum dan sesudah mengkonsumsi buah
pepaya, yang berarti ada perbedaan mengkonsumsi buah
pepaya terhadap indeks plak. Hal ini terlihat dari hasil yang
10
dilakukan dimana diperoleh hasil yang signifikan dengan
probabilitas (p) yaitu 0,0001.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini peneliti ingin melihat
pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap
penurunan indeks plak. Jumlah sampel pada penelitian
ini adalah 40 sampel dari Siswa/i Kelas VII SMP
Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan
Tahun 2016 yang dipilih secara purposive sampling
pada kelas VII 5. Dari hasil penelitian yang di dapat
maka diketahui banyak siswa/i yang memiliki indeks
plak dengan kategori buruk. Hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan siswa/i tentang cara menjaga
kebersihan gigi dan mulut.
Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas
mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu
matriks yang terbentuk dan melekat erat pada
permukaan gigi yang tidak dibersihkan (Pintauli S,
Hamada T, 2008). Plak memegang peranan penting
dalam terjadinya penyakit gigi dan mulut. Bakteri yang
terdapat dalam plak bertanggung jawab pada terjadinya
kerusakan gigi, karena bakteri-bakteri tersebut akan
melakukan metabolisme terhadap sisa-sisa makanan
yang tertinggal (Putri, Megananda Hiranya, Eliza H,
Neneng N, 2010).
Makanan padat dan berserat secara fisiologis
akan meningkatkan intensitas pengunyahan dalam
mulut. Proses pengunyahan makanan ini akan
merangsang dan meningkatkan produksi saliva. Saliva
akan membantu membilas gigi dari partikel-partikel
makanan yang melekat pada gigi dan juga melarutkan
komponen gula dari sisa makanan yang terperangkap
dalam sela-sela pit dan fisur permukaan gigi (Mcdonald
dan Avery, 2006).
Pepaya merupakan tanaman sumber vitamin,
mineral, serat dan mengandung enzim yang berguna
untuk kesehatan tubuh. Enzim papain dalam buah
pepaya dapat dijadikan bahan aktif dalam pembuatan
pasta gigi. Papain dalam pasta gigi dapat
membersihkan sisa protein yang melekat pada gigi
(htttp://www.digilib.unimed.ac.id).
Dari hasil t-Test dependent yang dilakukan oleh
peneliti diperoleh nilai probabilitas (p) 0,0001, maka Ho
ditolak (jika p<0,05). Maka dari hasil tersebut
menunjukkan bahwa ada pengaruh mengkonsumsi buah
pepaya terhadap penurunan indeks plak pada Siswa/i Kelas
VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan
Tuntungan Tahun 2016. Dimana dapat dilihat dari rata-rata
sebelum mengunyah buah pepaya pada sampel adalah 2,32
sedangkan sesudah mengkonsumsi buah pepaya rata-rata
indeks plak berubah menjadi 1,18. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa mengkomsi buah pepaya dapat
menurunkan nilai indeks plak. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Faralia (2012)
yaitu 1001 Khasiat Istimewa Buah-buahan dan Sayuran,
yang menyatakan bahwa pepaya dapat menurunkan indeks
plak
Kesimpulan
1.
Indeks plak rata-rata sebelum mengkonsumsi
buah pepaya pada sampel adalah 2,32,
sedangkan sesudah mengkonsumsi buah pepaya
dengan rata-rata indeks plak berubah menjadi
1,18.
2.
Hasil dari t-Test dependent didapat hasil bahwa
hipotesis ditolak yang artinya ada pengaruh
yang signifikan dari mengkonsumsi buah
pepaya terhadap penurunan indeks plak sebesar
1,14 pada siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31
Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan
Tahun 2016.
Saran
1.
Perlu adanya peningkatan penyuluhan kepada
Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan
Kecamatan
Medan
Tuntungan
tentang
kebersihan gigi serta manfaat mengkonsumsi
makanan berserat dan mengandung banyak air
yang baik untuk kesehatan gigi, misalnya buah
pepaya.
2.
Diharapkan kepada Siswa/i Kelas VII SMP
Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan
Tuntungan agar meningkatkan kebersihan gigi
dan mulut dengan cara menyikat gigi dan
melakukan pemeriksaan gigi secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S., 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
Depkes RI., 2000. Rencana Pembangunan Kesehatan.
Jakarta.
Faralia., 2012. 1001 Khasiat Istimewa Buah-buahan dan
Sayuran. Yogyakarta : Aulia Publishing.
Haryoto., 1998. Membuat Saus Pepaya. Yogyakarta :
Kanisius.
Hongini S Y, M Aditiawarman., 2012. Kesehatan Gigi dan
Mulut. Bandung : Pustaka RekaCipta.
Irianto K, K Waluyo., 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat.
Bandung : Yrama Widya.
M Edwina A, S Joyston., 1991. Dasar Dasar Karies.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
McDonald RE, Avery DR, Dean JE. Dentistry For The
Child And Andolescent. 8th ed. Mosby Elsevier.,
2006.
Mulyana W., 1996. Bercocok Tanam Pepaya. Semarang :
Aneka Ilmu Semarang.
Notoatmodjo S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta : RinekaCipta.
Petersen., 2003. Serious Sequele of Maxilofacial Infection.
Royal Brisbane Hospital.
Pintauli S, T Hamada., 2008. Menuju Gigi dan Mulut
Sehat Pencegahan dan Pemeliharaan. Medan : USU
Press.
Putri, Megananda Hiranya, Eliza H, Neneng N., 2010.
Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan
Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Rusilanti, M Kusharto., 2007. Sehat dengan Makanan
Berserat. Jakarta : AgroMedia Pustaka.
Samaranayake LP, MacFarlane TW (eds). Oral
Candidosis. Cambridge : Butterworth & Co.
(Publisher) Ltd, 1990.
Silaban R, 2013, Pemanfaatan Enzim Papain Getah Buah
Pepaya Untuk Melunakkan Daging, Medan,
http://www.Urldigilib.Unimed.Pdf, 27 April 2013.
World Health Organization. The World Health Report
2003. Geneva, 2003.
.
11
HUBUNGAN SIKAP TENTANG MEKANIKA TUBUH DENGAN NYERI
PUNGGUNG BAWAH PETANI DI DUSUN V DESA DOLOGHULUAN
KECAMATAN RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2015
Agustina Boru Gultom
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Nyeri punggung bawah atau low back pain merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama dan
mempengaruhi individu, komunitas dan secara global. Nyeri punggung bawah adalah masalah gangguan
muskuloskletal yang sangat umum terjadi diantara petani. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganlisis
hubungan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah pada petani di Dusun V Desa
Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
korelatif dengan desain cross sectional untuk menganalis hubungan sikap tentang mekanika tubuh dengan
nyeri punggung bawah pada petani. Analisis data menggunakan uji statistik exact fisher dengan α = 0.05.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri
punggung bawah (0,017 < 0,05). Disarankan adanya peningkatan pemahaman sikap tentang mekanika
tubuh yang baik bagi petani di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun
melalui Puskesmas setempat.
Kata kunci : Sikap Tentang Mekanika tubuh, Nyeri Punggung Bawah, Petani
PENDAHULUAN
Nyeri punggung bawah atau low back pain
merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama
dan mempengaruhi individu, komunitas dan secara
global. (Hoy et al,2012) Nyeri punggung bawah pada
hakekatnya merupakan keluhan atau gejala dan bukan
merupakan penyakit spesifik.
Penyebab nyeri
punggung bawah antara lain kelainan muskuloskletal,
sistem saraf, vascular, visceral dan psikogenik.
(Pinzon,2012).
Prevalensi nyeri muskuloskletal, termasuk low
back pain, dideskripsikan sebagai sebuah epidemik.
Sekitar 80 persen dari populasi pernah menderita nyeri
punggung bawah paling tidak sekali dalam hidupnya.
(Dellito et al, 2012). Nyeri punggung bawah
merupakan masalah utama didunia, dengan prevalensi
tertinggi pada populasi perempuan antara umur 40
sampai 80 tahun. (Hoy et al, 2012).
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa
nyeri punggung bawah (LBP) adalah masalah
gangguan muskuloskletal yang sangat umum terjadi
diantara petani. Pada negara-negara berkembang, ratarata prevalensi pertama diantara petani sebesar 47 % di
Sweden, 23% di Finland dan 37% di US. Namun,
dinegara-negara berkembang rata-ratanya lebih tinggi
terutama South West Nigeria sebesar 72% dan China
sebesar 64%. Prevalensi nyeri punggung bawah adalah
tinggi pada petani padi di komunitas desa yaitu
Phitsanulok yang ada di Thailand (Taechasubamorn et
al, 2011)
12
Prevalensi penyakit musculoskletal di
Indonesia berdasarkan pernah didiagnosis oleh tenaga
kesehatan yaitu 11,9 persen dan berdasarkan diagnosis
atau gejala yaitu 24,7 persen. Prevalensi penyakit
muskuloskletal tertinggi berdasarkan pekerjaan adalah
pada petani, nelayan atau buruh yaitu 31,2
persen.(Riskesdas, 2013)
Sikap seseorang berkaitan dengan mekanika
tubuh memiliki keterkaitan dengan terjadinya resiko
cedera. Menurut Kozier et al (2010), mekanika tubuh
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
penggunaan tubuh secara efisien, terkoordinasi, dan
aman untuk memindahkan benda dan melaksanakan
aktifitas kehidupan sehari-hari.
Tujuan utama
mekanika tubuh adalah untuk memfasilitasi
penggunaan kelompok otot yang tepat secara efisien
dan aman untuk mempertahankan keseimbangan,
mengurangi energi yang dibutuhkan, mengurangi
keletihan dan menurunkan resiko cedera.
Berat beban yang diangkat, frekuensi angkat
serta cara atau teknik mengangkat beban sering dapat
mempengaruhi kesehatan pekerja berupa kecelakaan
kerja ataupun timbulnya nyeri atau cedera pada
punggung. (Effendi, 2007). Sekitar 90% dari seluruh
cedera punggung bawah bukan disebabkan oleh
kelainan organik, melainkan oleh kesalahan posisi
tubuh dalam bekerja. Data penelitian menunjukkan
dalam satu bulan rata-rata 23% pekerja tidak bekerja
dengan benar dan absen kerja selama delapan hari
dikarenakan sakit pinggang. Berdasarkan hasil survey
tentang akibat sakit leher dan pinggang, produktifitas
kerja dapat menurun sebesar 60% (Mayrika, 2009).
Nyeri punggung biasanya terjadi pada petani
dikarenakan gambaran fisik dari pekerjaan sebagai
petani. Petani membutuhkan untuk mengangkat beban
yang berat dan jumlah berjalan dalam kapasitas yang
lama dan penggunaan dorongan dan tarikan dalam
penyelesaikan tugas-tugas. (Jepsen et al, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Samara dkk,
2005 mengenai sikap membungkuk dan memutar
selama bekerja sebagai faktor resiko nyeri punggung
bawah, didapatkan bahwa prevalensi nyeri punggung
bawah pada pekerja pabrik sebesar 36,8% dan faktor
resiko utama untuk timbulnya nyeri punggung bawah
adalah sikap membungkuk dan memutar serta tidak
mengertinya pekerja akan sikap yang benar.
Berdasarkan survey pendahuluan yang
dilakukan di Dusun V Desa Dologhuluan, petani di
dusun tersebut sering mengeluhkan terjadinya nyeri
pada otot-otot mereka setelah melakukan pekerjaan
mereka sehari-hari sebagai petani. Rasa nyeri yang
dialami petani berkisar dari rasa nyeri ringan sampai
dari rasa nyeri sedang. Menurut penuturan beberapa
petani, rasa nyeri disebabkan sikap mengenai pola
gerak petani dalam bekerja.Tujuan umum penelitian
ini adalah untuk menganlisis hubungan sikap tentang
mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah pada
petani di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya
Kabupaten Simalungun.
METODE
Jenis penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif korelatif dengan desain cross sectional untuk
menganalis hubungan sikap tentang mekanika tubuh
dengan nyeri punggung bawah pada petani. Penelitian ini
dilakukan di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya
Kabupaten Simalungun bulan Juli 2015. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh petani di dusun V Desa
Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun
berjumlah 147 orang. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus sampel
yaitu :
n=
N____
1+N (d2)
n=
147___ = 60 orang
1+147 (0,12)
Keterangan :
n
: jumlah sampel
N
: jumlah populasi
d
: nilai kepercayaan
(Saryono, 2010)
Tehnik pengambilan sampel adalah dengan
simple random sampling dengan menggunakan undian.
Adapun kriteria sampel pada penelitian ini adalah
sebagai berikut : 1) petani mempunyai usia ≥ 25 tahun;
2) petani palawija penggarap milik; 3) petani yang
bersedia menjadi responden. Variabel penelitian
meliputi variabel independen yaitu sikap tentang
mekanika tubuh adalah suatu respon responden yang
menunjukkan kecenderungan untuk melakukan
tindakan mekanika tubuh yang baik dalam mencegah
terjadinya nyeri punggung bawah meliputi sikap
berdiri, duduk, mengangkat, menarik dan mendorong,
diukur dengan skala ordinal. Sedangkan variabel
dependen adalah nyeri punggung bawah adalah
pernyataan yang diungkapkan responden mengenai
perasaan yang tidak enak pada bagian punggung bawah
yang diukur dengan skala ordinal. Metode
pengumpulan data untuk sikap tentang mekanika tubuh
menggunakan kuesioner, sedangkan untuk kejadian
nyeri punggung bawah diukur menggunakan numerical
rating scale atau skala pengukuran numerik dimana
responden diminta untuk memberikan pilihan
pernyataan atas perasaaan nyerinya dari angka 1
sampai 10. Tehnik analisa data menggunakan uji chi
square bila tidak terdapat terdapat nilai expected count
≤ 5 dan bila terdapat nilai expected count ≤ 5 maka
mempergunakan uji statistik eksak fisher (α = 0,05).
HASIL
Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini
meliputi umur, jenis kelamin, dan pendidikan.
Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden
Variabel
Frekuensi
Total (%)
Umur
25 – 35
19
31,7%
36 – 45
15
25,0%
46 - 55
13
21,7%
>55
13
21,7%
Jenis Kelamin
Laki-Laki
30
50,0%
Perempuan
30
50,0 %
Pendidikan
SD
5
8,3%
SMP
15
25,0%
SMA
31
51,7%
Perguruan TInggi
9
15,0%
Tabel 1 menunjukkan distribusi karakteristik
responden paling banyak berumur 25-35 tahun
sebanyak 19 orang (31,7%). Sedangkan berdasarkan
jenis kelamin sama laki-laki dan perempuan yaitu
masing-masing sebanyak 30 responden (50%).
Responden paling banyak berpendidikan SMA
sebanyak 31 orang (51,7%).
Sikap Tentang Mekanika Tubuh
Hasil penelitian ini menggambarkan frekuensi sikap
responden tentang mekanika tubuh, dapat dilihat pada tabel
2.
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Sikap Responden
Tentang Mekanika Tubuh
No
Sikap
F
%
1
Positif
51
85,0
2
Negatif
9
15,0
Total
60
100,0
13
Tabel 2 menunjukkan
responden
paling
banyak memiliki sikap tentang mekanika tubuh
kategorii positif sebanyak 51 orang (85,0%).
Kejadian Nyeri Punggung Bawah
Hasil penelitian ini menggambarkan frekuensi
kejadian nyeri punggung bawah, dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Nyeri Punggung Bawah
Responden
Nyeri
N Punggung
f
%
Bawah
o
1
Ringan
44
73,3
2
Sedang
16
26,7
Total
60
100,0
Tabel 3 menunjukkan responden paling
banyak memiliki kejadian nyeri punggung bawah
ringan sebanyak 44 responden (73,4%).
Hubungan Sikap Tentang Mekanika Tubuh Dengan
Kejadian Nyeri Punggung Bawah
Hasil penelitian ini menggambarkan hubungan sikap
tentang mekanika tubuh dengan kejadian nyeri punggung
bawah, dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hubungan SIkap Tentang Mekanika
Tubuh
Dengan
Kejadian
Nyeri
Punggung Bawah
No
Sikap
Nyeri Punggung Bawah
Rgn
1
2
(-)
(+)
Total
4
40
44
P
Sdg
%
6,7
66,7
73,4
6
10
16
%
10
0,017
16,6
26,6
Tabel 4 menunjukkan
paling banyak
responden memiliki nyeri punggung bawah ringan
dengan sikap tentang mekanika tubuh positif sebanyak
40 responden (66,7%). Berdasarkan tabel 4 juga
didapat berdasarkan hasil analisis chi-square terdapat
nilai expected count ≤ 5 maka sebaiknya
mempergunakan uji statistik eksak fisher. Berdasarkan
hasil uji dengan menggunakan fisher’s exact test nilai
ρ = 0,017 lebih kecil dari 0,05, menunjukkan ada
hubungan signifikan sikap tentang mekanika tubuh
dengan nyeri punggung bawah.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas
responden memiliki sikap yang positif tentang
mekanika tubuh sebanyak 51 responden (85,0%), Hal
ini menunjukkan bahwa sikap petani tentang mekanika
tubuh didesa dologhuluan kecamatan raya kabupaten
simalungun adalah mayoritas positif atau menyetujui
tentang definisi mekanika tubuh yang tepat, mekanika
tubuh berdiri yang tepat, mekanika tubuh duduk yang
tepat, mekanika tubuh mengangkat yang tepat,
14
mekanika tubuh menarik dan mendorong yang tepat,
dampak mekanika tubuh yang tidak baik.
Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan
Charles Osgood dalam Azwar (2011), sikap adalah
suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap
seorang terhadap suatu objek adalah perasaan
mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak
(unfavorable) pada objek tersebut.
Menurut
Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau
respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan atau perilaku.
Sikap kerja yang salah merupakan penyebab
terjadinya kelelahan dan keluhan nyeri otot yang sering
tidak disadari oleh penderitanya. Terutama sikap kerja
yang telah menjadi kebiasaan. Kebiasaan seseorang
seperti
duduk,
berdiri,
membungkuk
dapat
menyebabkan terjadinya kelelahan, ketegangan otot,
dan akhirnya rasa sakit selain itu tulang tidak jadi lurus,
otot-otot, ruas serta ligamen pun akan tertarik lebih
keras (Widyastoeti, 2009 dalam Payuk, Kasih L dkk,
2013)
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
Samara dkk (2005), mengenai sikap membungkuk dan
memutar selama bekerja sebagai faktor resiko nyeri
punggung bawah, didapatkan bahwa prevalensi nyeri
punggung bawah pada pekerja pabrik sebesar 36,8%
dan faktor resiko utama untuk timbulnya nyeri
punggung bawah adalah sikap membungkuk dan
memutar serta tidak mengertinya pekerja akan sikap
yang benar.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas
responden memiliki kejadian nyeri punggung bawah
dengan kategori ringan sebannyak 44 responden (73,3
%). Hal ini menunjukkan bahwa kejadian nyeri
punggung bawah
pada petani didesa dologhuluan
kecamatan raya kabupaten simalungun adalah
mayoritas kategori nyeri ringan atau nyeri skala 1
sampai 3. Menurut Bull dan Archard (2007), nyeri
merupakan perasaan yang sangat subjektif dan tingkat
keparahannya sangat dipengaruhi oleh pendapat pribadi
dan keadaan saat nyeri tersebut terjadi. Dengan
membuat klasifikasi nyeri pada skala 1-10 dapat
membantu untuk lebih mudah menggambarkan nyeri.
Berdasarkan hasil penelitian Umami, dkk
(2014), mengenai hubungan antara karakteristik
responden dan sikap kerja duduk dengan keluhan nyeri
punggung bawah (low back pain) pada pekerja batik
tulis, dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS)
yang ditandai dari awal garis (0) penanda tidak ada
nyeri dan akhir garis (10) yang menandakan nyeri
hebat, dengan kategori 0 menunjukkan tidak ada nyeri,
1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang, 7-10 nyeri berat
terkontrol, dan 10 nyeri sangat hebat, didapat tidak ada
nyeri sebanyak 3 responden, nyeri ringan 7 responden,
nyeri sedang 24 responden dan nyeri berat terkontrol 2
responden.
Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan
tabulasi silang antara kejadian nyeri punggung bawah
dengan sikap tentang mekanika tubuh adalah mayoritas
berada pada pada kejadian nyeri punggung bawah
ringan dengan sikap tentang mekanika tubuh positif
sebanyak 40 responden (66,7%). Hal ini menunjukkan
bahwa mayoritas sikap tentang mekanika tubuh petani
didesa dologhuluan kecamatan raya kabupaten
simalungun yang positif menyebabkan kejadian nyeri
punggung yang ringan. Berdasarkan fisher’s exact test
nilai ρ = 0,017 lebih kecil dari 0,05, menunjukkan ada
hubungan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri
punggung bawah.
Sikap tubuh yang baik sangat penting karena
akan membantu
tubuh bekerja maksimal juga
membuat daya tahan dan pergerakan tubuh jadi efektif
dan dapat menyumbang kesehatan secara menyeluruh
(Tarwaka, 2011). Tidak hanya itu, sikap tentang
mekanika tubuh yang baik ternyata juga merupakan
pencegahan yang terbaik agar tidak menderita keluhan
nyeri punggung bawah
Hal ini sesuai dengan penelitian Umami, dkk
(2014), mengenai hubungan antara karakteristik
responden dan sikap kerja duduk dengan keluhan nyeri
punggung bawah (low back pain) pada pekerja batik
tulis, dimana didapat sikap kerja yang ergonomis
mayoritas mengalami keluhan nyeri punggung bawah
yang ringan, dan sikap kerja yang tidak ergonomis
mayoritas mengalami keluhan nyeri punggung bawah
yang sedang dibanding dengan ringan dan sangat berat.
Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian
Samara, dkk (2005), mengenai sikap membungkuk dan
memutar selama bekerja sebagai faktor risiko nyeri
punggung bawah, menunjukkan bahwa pekerja dengan
sikap kerja yang cenderung membungkuk atau miring,
maupun sikap batang badan kombinasi yaitu dengan
berbagai sikap tegak, membungkuk, miring atau
memutar ternyata merupakan faktor resiko utama
terjadinya nyeri punggung bawah.
Hasil penelitian menunjukkan masih ada 10
responden (16,6%) yang memiliki sikap tentang mekanika
tubuh yang positif tetapi memiliki kejadian nyeri punggung
bawah dalam kategori sedang atau antara skala 4 sampai 6.
Hal ini menunjukkan bahwa sikap yang positif tentang
mekanika tubuh tidak menyebabkan penurunan kategori
kejadian nyeri punggung bawah. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh karena adanya penyebab lain terjadinya
kejadian nyeri punggung bawah. Menurut WHO (2013),
ada faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan nyeri
punggung bawah antara lain faktor penyebaba fisik antara
lain trauma pada bagian punggung, osteoporosis dengan
fraktur, atau penggunaan kortikosteroid pada waktu dahulu
dalam jangka waktu lama pada lanjut usia, kegemukan dan
faktor psikologis. Faktor-faktor ini belum diteliti, dan dapat
diteliti dalam penelitian lanjutan.
Hasil penelitian menunjukkan masih ada 4
responden (6,7%) yang memiliki sikap tentang
mekanika tubuh yang negatif tetapi memiliki kejadian
nyeri punggung bawah yang ringan. Hal ini
menunjukkan bahwa sikap tentang mekanika tubuh
yang negatif tidak menyebabkan peningkatan kejadian
nyeri punggung bawah. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh karena adanya penyebab lain terjadi
nyeri punggung bawah.
Berdasarkan penelitian Umami, dkk (2014),
mengenai hubungan antara karakteristik responden dan
sikap kerja duduk dengan keluhan nyeri punggung
bawah (low back pain) pada pekerja batik tulis, didapat
semakin tua umur seseorang yaitu diatas 30 tahun maka
mayoritas terjadi keluhan nyeri punggung bawah
sedang, semakin lama bekerja seseorang yaitu lebih
dari 10 tahun maka mayoritas terjadi keluhan nyeri
punggung bawah sedang, kebiasaan berolahraga yaitu
tidak berolahraga maka mayoritas terjadi keluhan nyeri
punggung bawah sedang, status gizi yaitu kurus maka
mayoritas terjadi keluhan nyeri punggung bawah
sedang.
Oleh karena adanya hubungan sikap tentang
mekanika tubuh dengan kejadian nyeri punggung
bawah pada petani didusun V desa dologhuluan
kecamatan raya kabupaten simalungun maka perlu
peningkatan sikap petani mengenai mekanika tubuh
yang baik dalam bekerja. Menurut Azwar (2011),
sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang
dialami oleh individu, Dalam interaksi sosial, individu
bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap
berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Salah
satu faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
melalui pendidikan dengan memberikan pengertian
dalam diri individu mengenai pemahaman akan baik
dan buruk secara khusus tentang sikap tentang
mekanika tubuh yang baik dan yang buruk.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap tentang
mekanika tubuh dengan kategori positif ada 51 orang
(85%), dan dengan kategori negatif ada 9 orang (15%),
kejadian nyeri punggung bawah dengan kategori nyeri
ringan ada 44 orang (73,3%), dan dengan kategori nyeri
sedang ada 16 orang (26,7%) dan dengan menggunakan
fisher’s exact test nilai ρ = 0,017 lebih kecil dari 0,05,
menunjukkan ada hubungan signifikan sikap tentang
mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah pada
petani di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya
Kabupaten Simalungun. SIkap tentang mekanika tubuh
merupakan salah satu faktor penting untuk
meminimalisir nyeri punggung bawah pada petani, oleh
karena itu.
SARAN
Perlu ada peningkatan pemahaman tentang sikap
tentang mekanika tubuh yang baik bagi petani di Dusun
V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten
Simalungun melalui Puskesmas setempat.
15
DAFTAR PUSTAKA
Azwar,
S, 2011. Sikap Manusia. Teori dan
Pengukurannya, Edisi 2, Yogyakarta : Pustaka
Belajar.
Bull, E., Archard, G., 2007. Nyeri Punggung, Jakarta :
Erlangga
Dellito,A., George,S,Z., Dillen,L,V., Whitman,J,M.,
Sowa,G., Shekelle,P., et al, 2012. Low Back
Pain Clinical Practice Guidelines Linked To The
International Classification Of Functioning,
Disability, And Health From The Orthopaedic
Section Of The American Physical Therapy
Association, J.Orthop Sports Phys Ther 2012;
42(4):A11
Effendi,F., 2007. Ergonomi Bagi Pekerja Sektor
Informal, Cermin Dunia Kedokteran 2007; 34:1154
Hoy,D., Bain,C., Williams,G., March,L., Brooks,P.,
Blyth,F., Woolf,A., Vos,T., Buchbinder,R.,
2012. A Systematic Review of the Global
Prevalence Low Back Pain, Arthritis &
Rheumatism,Vol 64,No.6,June 2012, pp 20282037,DOI 10.1002/art.34347, American College
of Rheumatology
Jepsen,S,D., McGuire,K., Poland,D., 2013. Farming
with Chronic Back Pain, Fact Sheet. Agriculture
and Natural Resources, Ohio AgrAbility Fact
Sheet Series, The Ohio State University
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Cetakan 3, Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Kozier,B., Erb,G., Berman,A., Snyder,S,J., 2010. Buku
Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep,
Proses, & Praktik, Terjemahan, Edisi 7 Volume
2, Alih Bahasa Wahyuningsih,E., Yulianti,D.,
Yuningsih,Y., Lusyana,A., Jakarta : EGC
Mayrika,P., et al., 2009. Beberapa Faktor Yang
Berpengaruh
Terhadap
Keluhan
Nyeri
Punggung Bawah Pada Penjual Jamu Gendong,
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia vol 4
No.1/Januari 2009. (serial online)
Noor,
Z,H.,
2012.
Buku
Ajar
Gangguan
Muskuloskletal, Jakarta : Salemba Medika
Notoatmodjo, S, 2007. Kesehatan Masyarakat, Ilmu
dan Seni, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
____________ , 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku, Jakarta : Rineka Cipta.
16
____________ , 2007. Metodologi Penelitian
Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta
Payuk, Kasih L Dkk, 2013. Hubungan Faktor
Ergonomis Dengan Beban Kerja Pada Petani
Padi Tradisional Di Desa Congko Kecamatan
Marioriwawo Kabupaten Soppeng, Jurnal
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Pinzon,R., 2012. Profil Klinis Pasien Nyeri Punggung
Bawah, Cermin Dunia Kedokteran 198, vol 39
no 10 tahun 2012
Potter&Perry, 2009. Fundamental of Nursing.
Fundamental Keperawatan, Edisi 2 Buku 7,
Terjemahan,
Penerjemah
:Nggie,
A,F.,
Albar,M., Singapore : Elsevier.
Riskesdas, 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Nasional, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Samara,D., Sulistio,J., Rachmawati,M,R., Harrianto,R.,
2005. Sikap Membungkuk Dan Memutar
Selama Bekerja Sebagai Faktor Risiko Nyeri
Punggung Bawah, Jurnal Universa Medicina
Juli-September 2005, Vol 24 No.3.
Saryono, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan,
Jogjakarta : Mitra Cenokia Press
Taechasubamorn,P., Nopkesorn,T., Pannarunothai,S.,
2011. Prevalence of Low Back Pain among Rice
Farmers in a Rural Community in Thailand, J
Med Assoc Thai Vol.94 No.5.
Umami, A,R., Hartanti, R,I., Dewi P S, A., 2014.
Hubungan antara Karakteristik Responden dan
Sikap Kerja Duduk dengan Keluhan Nyeri
Punggung Bawah (Low Back Pain) Pada
Pekerja Batik Tulis, e-Jurnal Pustaka Kesehatan,
vol 2 (no.1) Januari 2014
WHO, 2003. Low Back Pain, Bulletin of the World
Health Organization 2003, 81 : 671-6.
HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP PEREMPUAN
PREMENOPAUSE MENGHADAPI PERUBAHAN PADA MASA
MENOPAUSE DI KELURAHAN BULURAN
KENALI KOTA JAMBI TAHUN 2016
Diniyati, Neny Heryani, Nelly Herwani
Jurusan Kebidanan Poltekkes Jambi
Abstrak
Setiap perempuan akan mengalami menopause, pada saat menjelang menopause akan terjadi perubahan
dalam tubuh seperti gejala vasomotor yang disebabkan ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan
progesteron sehingga akan mengganggu psikososial, fisik, dan seksual pada perempuan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap perempuan premenopause dalam
menghadapi perubahan pada masa menopause. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
crossectional. Metode pengambilan sampel dengan stratifait random sampling. Dengan jumlah sampel 100
orang. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner . analisa dengan menggunakan chai square. Hasil
penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengetahuan baik 24%, cukup 74%, kurang 2%.
Responden yang memiliki pengetahuan baik dan sikap positif 24%, cukup 71%, kurang 1% sedangkan yang
memiliki pengetahuan cukup dan sikap negati 4%. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap (p=
0,5). Diharapkan bagi keluarga selalu mendukung kegiatan positif pada perempuan menjelang menopause
agar dapat menjalani masa premenopaue dengan baik dan dapat berperilaku secara wajar dengan menerima
bahwa hal tersebut adalah masa yang dapat dilalui dengan tenang dan bahagia.
Kata kunci : Pengetahuan, Sikap, Premenopause
PENDAHULUAN
Sejalan dengan bertambahnya usia, banyak terjadi
proses perkembangan dan pertumbuhan pada manusia,
namun suatu saat akan terhenti pada suatu tahapan,
sehingga berikutnya akan terjadi penurunan fungsi tubuh.
Perubahan tersebut paling banyak terjadi pada perempuan
karena pada proses menua terjadi suatu fase yaitu fase
menopause.1,2
Menopause adalah proses alami dari penuaan ketika
perempuan tidak lagi mendapatkan menstruasi selama satu
tahun. Perempuan Indonesia memasuki menopause pada
usia rata-rata 50 tahun. Sebagian ada yang mengalami
pada usia awal atau lebih lanjut, faktor fisik dan faktor
psikis yang memengaruhi kapan terjadi menopause.2
Perempuan yang mengalami masa menopause, baik
menopause dini, premenopause, perimenopause dan
pascamenopause akan mengalami gejala klimakterium
serta mempunyai masa transisi atau masa peralihan.
Periode klimakterium ini ditandai dengan rasa panas, haid
tidak teratur, jantung berdebar dan nyeri saat buang air
kecil, hal ini disebabkan keluarnya hormon dari ovarium
berkurang, masa menstruasi menjadi tidak teratur dan
kemudian tidak menstruasi lagi. Perubahan fisik pada
tahap perimenopause terjadi pula pergeseran atau erosi
dalam kehidupan psikis pribadi, hal tersebut tentunya akan
semakin memperbesar terjadinya sindrom perimenopause.1
Gangguan vasomotor berupa perasaan panas dari dada
hingga wajah dan menjadi berkeringat menyebabkan kulit
menjadi kemerahan terjadi beberapa bulan atau beberapa
tahun sebelum dan sesudah berhentinya menstruasi.
Perasaan panas terjadi akibat peningkatan aliran darah di
dalam pembuluh darah wajah, leher, dada, punggung, dan
disertai keringat yang berlebihan. Hot flush dialami sekitar
75% perempuan premenopause sampai menopause terjadi.
Hot flush kebanyakan dialami selama lebih dari satu tahun
dan 25−50% hot flush berlangsung selama 30 detik sampai
5 menit.5-7
Kekurangan estrogen dapat menyebabkan
gangguan pada beberapa organ yaitu otak, saluran kencing,
payudara, dan tulang. Penurunan hormon estrogen secara
fisiologis dimulai pada masa klimakterium. Penurunan ini
menyebabkan keluhan yang mengganggu, diawali
umumnya dengan gangguan menstruasi yang tadinya
teratur dan siklis, menjadi tidak teratur, tidak siklik, serta
jumlah darah dapat berkurang atau bertambah. Perempuan
nulipara akan memasuki masa perimenopause lebih awal
dibandingkan dengan perempuan multipara.1,11
Penelitian telah membuktikan bahwa perempuan yang
keinginan seksualnya berkurang selama menopause lebih
banyak melaporkan gangguan tidur, keringat malam, dan
depresi, sehingga masalah ini mengganggu kehidupan
perempuan.
Keluhan vasomotor pada masa menopause telah
dilaporkan terjadi sekitar 18% dari pekerja pabrik Cina di
Hongkong, 70% perempuan Amerika Utara, dan 80%
perempuan di Belanda. Langenberg dkk3 menemukan
variasi etnis yang signifikan dalam insiden gejala
17
vasomotor setelah histerektomi. Perempuan kulit hitam
secara signifikan lebih cenderung memiliki gejolak panas
dibandingkan dengan perempuan kulit putih. Pada
perempuan Eropa dijumpai keluhan menopause lebih
tinggi yaitu sekitar 45−75% dan penelitian lain
menunjukkan angka keluhan menopause sekitar 53% dan
51%.12
Keluhan psikis sifatnya sangat individual yang
dipengaruhi oleh sosial budaya, pendidikan, lingkungan,
dan ekonomi. Keluhan fisik maupun psikis ini tentu saja
akan mengganggu kesehatan perempuan yang
bersangkutan termasuk perkembangan psikisnya. Keadaan
ini akan memengaruhi hubungannya dengan suami
maupun lingkungan sosialnya, selain itu usia dikaitkan
dengan timbulnya penyakit kanker atau penyakit lain yang
sering timbul pada saat perempuan tersebut memasuki usia
premenopause atau pascamenopause.1
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa
tekanan psikis yang timbul dari nilai sosial mengenai
perempuan menopause memberikan kontribusi terhadap
gejala fisik selama
periode perimenopause dan
pascamenopause. Gejala fisik yang dirasakan dapat
memicu masalah psikis. Perasaan yang biasa muncul pada
fase ini antara lain rapuh, sedih, tertekan, depresi, tidak
konsentrasi bekerja, serta mudah tersinggung. Pada suku
Bugis fase menopause dinilai sebagai hal positif karena
perempuan menopause merasa tubuhnya lebih bersih dan
dapat menjalankan ibadah dengan penuh.1,13,14
Survei pendahuluan yang dilaksanakan di kelurahan
buluran Kenali Kota Jambi di dapatkan 6 dari 10
perempuan premenopause yang tidak memahami tentang
perubahan masa menopause. Dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan
perempuan
premenopause
terhadap
perubahan pada masa menopasue cukup.
Berdasarkan uraian di atas, maka tema sentral
penelitian ini bahwa menopause adalah fase alami
dalam kehidupan setiap perempuan yang menandai
berakhirnya masa subur. Banyak
perempuan di
Indonesia yang memasuki usia menopause kurang baik
dan belum banyak terungkap keluhan pada masa
perimenopause dan pascamenopause. Menopause
merupakan suatu hal yang alami terjadi karena
penurunan sekresi hormon ovarium sehingga terjadi
perubahan sistem hormonal yang memengaruhi
vasomotor, psikososial, fisik, dan seksual. Faktor
biopsikososial perempuan yang mengalami menopause
sangat dipengaruhi oleh budaya, agama, organ
reproduksi, persepsi, dan Pendahuluan masalah
psikososial yang dialami sebelumnya. Keluhan
perempuan
pada
masa
perimenopause
dan
pascamenopause seperti pada urogenital berkaitan
dengan keluhan seksual dan kekeringan vagina. Kadar
hormon estrogen yang rendah menyebabkan
perlindungan terhadap penyakitpun menurun dan hal
ini akan menimbulkan berbagai keluhan fisik, baik
yang berhubungan dengan organ reproduksi maupun
organ tubuh lainnya, proses pada tulang juga terganggu
dan mempermudah terjadinya osteoporosis serta risiko
untuk terkena penyakit jantung dan pembuluh darah
meningkat.
18
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk
mengungkap hubungan pengetahuan dan sikap perempuan
dalam menghadapi menopause di kelurahan buluran kenali
kota jambi tahun 2016.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan
rmasalah dalam penelitian ini adalah
apakah ada
hubungan antara pengetahuan dengan sikap ibu
premenopause dalam menghadapi perubahan pada masa
menopause di kelurahan buluran kenali kota jambi tahun
2016.
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik tahun 2006
jumlah penduduk di Indonesia sekitar 225 juta dan 52%nya adalah perempuan. Pada tahun 2001 usia 50−55 tahun
diperkirakan mencapai 30,3 juta atau kira-kira 15% dari
jumlah penduduk. Pada usia tersebut sebenarnya
perempuan masih produktif dalam mendukung
perekonomian keluarga, namun banyak perempuan yang
menghadapi permasalahan alami yaitu menurunnya
aktivitas hormon estrogen dan progesteron yang berakibat
berhentinya haid.6,11
Berhentinya haid tersebut dalam istilah kedokteran
dinamakan menopause. Sebenarnya menopause diawali
sejak perempuan mulai berusia 40−45 tahun yang disebut
pramenopause yang ditandai dengan tidak teraturnya haid,
sakit pada saat haid, dan kondisi ini terjadi selama 6 tahun.
Fase berikutnya adalah perimenopause yaitu fase peralihan
antara pra dan pascamenopause.15-18
Secara harfiah kata menopause yang berasal dari
bahasa Yunani berarti akhir siklus bulanan, istilah ini
bersinonim dengan akhir kesuburan. Secara istilah
menopause berarti penghentian fisiologi permanen fungsi
utama ovarium karena usia lanjut. Kedua fungsi ovarium
yang berhenti tersebut untuk mematangkan dan melepas
sel telur, serta melepaskan hormon yang mendukung
pembentukan serta peluruhan dinding rahim. Menopause
terjadi apabila ovarium berhenti berfungsi secara permanen
selama satu tahun.27,28,29
Beberapa negara menyatakan batas usia lanjut
berbeda-beda, di Amerika Serikat usia lanjut
Apabila estrogen berkurang, aliran darah ke saluran
reproduksi dan saluran kemih ikut menurun. Gejala
menopause dialami sekitar 75%, di Eropa 70−80%, di
Amerika 60%, di Malaysia 57%, di Cina 18%, sedangkan
di Jepang dan di Indonesia 10%. Dari beberapa data salah
satu faktor dari perbedaan jumlah tersebut yaitu karena
pola makannya.20,28
Penelitian tentang ovarium manusia, percepatan
kehilangan mulai terjadi ketika jumlah folikel mencapai
kira-kira 25.000, suatu jumlah yang dicapai pada
perempuan normal usia 37−38 tahun. Kehilangan ini
berkaitan dengan peningkatan FSH yang tidak terlihat
tetapi nyata dan penurunan inhibin. Percepatan kehilangan
disebabkan oleh pengaruh sekunder terhadap rangsangan
peningkatan FSH, merefleksikan penurunan kualitas dan
kapabilitas folikel-folikel yang menua, dan penurunan
sekresi inhibin
yaitu produk sel granulosa yang
menghasilkan pengaruh umpan balik negatif pada sekresi
FSH oleh kelenjar hipofise. Kemungkinan bahwa kedua
inhibin-A dan inhibin-B berperan, karena kadar inhibin-A
dan inhibin-B pada fase luteal menurun dengan usia
semakin tua dan mendahului peningkatan FSH.2,8,9
Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan tindakan
terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui indera manusia yaitu indra
penglihatan, pendengaran, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007 A
:139).
2. Proses Adopsi Perilaku Pengetahuan
3. Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007 A:140–142)
pengetahuan yang dicakup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu:
a. Tahu (know)
b. Memahami (comprehension)
c. Aplikasi (aplication)
d. Analisis (analysis)
e. Sintesis (synthesis)
f. Evaluasi (evaluation)
4. Indikator tentang Kesadaran dan Pengetahuan
Terhadap Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2007 B:146–
147) Indikator yang dapat digunakan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran
terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan
menjadi :
a. Pengetahuan tentang sakit dan
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan
kesehatan dan cara hidup sehat
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan
5. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pengetahuan
Menurut Teori Rogers (1974) dalam
Wawan dan Dewi (2010: 16) faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan adalah sebagai
berikut:
a. Faktor Internal
1) Pendidikan
2) Pekerjaan
3) Umur
b. Faktor Eksternal
1) Lingkungan
2) Sosial Budaya
Sikap
1. Menurut Campbel (1950) dalam buku Notoadmojdo
(2003) mengemukakan bahwa sikap adalah sekumpulan
respon yang konsisten terhadap objek sosial
2. Tingkatan sikap
a. Menerima (receiving)
b. Merespon (responding)
c. Menghargai( valuing)
d. Bertanggung jawab (responsible)
3.
a.
b.
c.
d.
e.
Faktor yang memengaruhi sikap
Pengalaman pribadi
Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pengaruh kebudayaan
Media massa
Lembaga pendidikan dan lembaga agama
METODE
A.
B.
C.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survei
analitik.
Desain
penelitian
ini
adalah
crosssectional
yaitu
pengukuran
variabel
independen dan dependen dilakukan dalam waktu
yang sama.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelurahan buluran
kenali Kota Jambi pada bulan Juni ̶ September
2016.
Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objke penelitian
atau objek yang diteliti (Arikunto, 2010) pada
penelitian ini populasi yang dimaksud adalah
seluruh perempuan
premenopause di
kelurahan buluran kenali kota jambi
2. Sampel
Sampel adalah bagian populasi yang akan
diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik
yang dimiliki oleh populasi
a. Besar sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil
dengan cara random sampling dan
Rumus besar sampel didapat adalah
dengan rumus Slovin:
Keterangan :
N=Jumlah populasi
n= Jumlah sampel
d= Tingkat Kesalahan (0,1)
Didapatkan sampel sejumlah 95 orang,
dibulatkan menjadi 100
b. Kriteria inklusi
1. Perempuan premenopause usia
40−50 tahun
2. Bersedia menjadi responden
3. Bisa baca tulis
Hasil
Penelitian ini dilaksanakan bulan September di
Kelurahan Buluran Kenali. Jumlah responden sebanyak
100 orang.
19
1. Distribusi responden berdasarkan tingkat usia di
kelurahan Buluran Kenali tahun 2016
Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan tingkat
usia di kelurahan Buluran Kenali Tahun
2016
No
Usia
Jumlah
%
1
40 − 45
59
59
2
45−50
41
41
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa usia
responden rata-rata 40−45 tahun yaitu 59%.
2. Distribusi
responden
berdasarkan
tingkat
pendidikan di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016
Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan tingkat
pendidikan di kelurahan Buluran Kenali
Tahun 2016
No
Pendidikan
Jumlah
%
1 Tidak sekolah
3
3
2 SD
27
27
3 SMP
25
25
4 SMU
30
30
5 PT
14
14
Dari tabel 5.2 diketahui bahwa tingkat
pendidikan terakhir responden yang paling banyak terdapat
di kelurahan buluran kenali tahun 2016 adalah SMU
sebesar 30%.
3. Distribusi
responden
berdasarkan
tingkat
pendapatan di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016
Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan tingkat
pendapatan di kelurahan Buluran Kenali
Tahun 2016
No Pendapatan (rupiah)
Jumlah
%
1
1-2 juta
75
75
2
2-3 juta
23
23
Dari tabel 5.3 diketahui bahwa tingkat
pendapatan responden yang paling banyak terdapat di
kelurahan buluran kenali tahun 2016 adalah 1-2 juta
sebesar 75%.
4. Distribusi responden berdasarkan status perkawinan
di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016
Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan status
perkawinan di kelurahan Buluran Kenali
Tahun 2016
No
Status perkawinan
Jumlah
%
1
Menikah
99
99
2
Janda
1
1
Dari tabel 5.4 diketahui bahwa status perkawinan
responden yang paling banyak terdapat di kelurahan
buluran kenali tahun 2016 adalah menikah sebesar 99 %.
20
5. Distribusi responden berdasarkan status pekerjaan
di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016
Tabel 5.5 Distribusi
responden
berdasarkan
pekerjaan di kelurahan Buluran Kenali
Tahun 2016
No
Pekerjaan
Jumlah
%
1
Tidak bekerja
85
85
2
Wiraswasta
0
0
3
PNS
14
14
4
Lain-lain
1
1
Dari tabel 5.5 diketahui bahwa pekerjaan
responden yang paling banyak terdapat di kelurahan
buluran kenali tahun 2016 adalah lain-lain sebesar 85 %.
6. Distribusi responden berdasarkan sikap
di
kelurahan Buluran Kenali tahun 2016
Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan sikap di
kelurahan Buluran Kenali Tahun 2016
No
Sikap
Jumlah
%
1
Negatif
4
4
2
Positif
97
97
Dari tabel 5.6 diketahui bahwa responden yang
paling banyak terdapat di Kelurahan Buluran Kenali tahun
2016 adalah sikap positif sebesar 97%.
7. Distribusi responden berdasarkan pengetahuan di
kelurahan Buluran Kenali tahun 2016
Tabel 5.7 Distribusi
responden
berdasarkan
pengetahuan di kelurahan
Buluran
Kenali Tahun 2016
No
Pengetahuan
Jumlah
%
1
Baik
24
24
2
Cukup
74
74
3
Kurang
2
2
Dari tabel 5.7 diketahui bahwa responden yang
paling banyak terdapat di Kelurahan Buluran Kenali tahun
2016 adalah pengetahuan cukup sebesar 74%.
8. Hubungan pengetahuan dan sikap perempuan
premenopause dalam menghadapi perubahan pada
masa menopause di Kelurahan Buluran Kenali Kota
Jambi tahun 2016.
Tabel 5.8 Hubungan pengetahuan dan sikap
perempuan
premenopause
dalam
menghadapi perubahan pada masa
menopause di kelurahan Buluran Kenali
Tahun 2016
Pengetahuan
f
Positif
%
Sikap Menghadapi Menopause
negatif
Jumlah
f
%
f
%
Baik
24
24
0
0
24
100
Cukup
71
71
4
4
75
100
urang
1
1
0
0
1
100
Jumlah
96
96
4
4
100
P
value
0.5
Dari tabel di atas didapatkan bahwa dari 100
responden yang berpengetahuan baik terdapat 24 orang
yang bersikap positif sedangkan yang berpengetahuan
cukup 71 orang yang bersikap positif dan 4 orang yang
bersikap negatif. Dari analisis hasil statistik uji chi-square
diperoleh nilai p value 0,5 ≥ 0,005 sehingga tidak ada
hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan
sikap perempuan premenopause menghadapi perubahan
pada masa menopause.
Kesimpulan
1. Responden yang memiliki pengetahuan baik 24%,
cukup 74%, kurang 2%.
2. Responden yang memiliki pengetahuan baik dan
sikap positif 24%, cukup 71%, kurang 1%
sedangkan yang memiliki pengetahuan cukup dan
sikap negatif 4 %
3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dengan
sikap
perempuan
premenopause menghadapi perubahan pada masa
menopause.
Saran
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi
masukan penelitian lebih lanjut sehingga hasilnya
dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
kebidanan terutama untuk memberikan asuhan
dalam penatalaksaan pada perempuan menjelang
menopause.
2. Bagi keluarga agar selalu mendukung kegiatan
yang positif pada perempuan menjelang
menopause agar dapat menjalani masa
premenopause dengan baik dan dapat berperilaku
secara wajar dengan menerima bahwa hal tersebut
adalah masa yang dapat dilalui dengan tenang dan
bahagia serta menerima bahwa menopause adalah
hal yang alami.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Anwar M, Baziad A, Prabowo P, 2011.
Ilmu kandungan. Edisi ke-3. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Baziad A, 2003.
Menopause dan andropause. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Beliveau R, Gingras D, 2009.
11 Makanan ampuh pencegah kanker hidup sehat
melalui pola makan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Benson C,Ralph, Pernol L, Martin, 2008.
Buku saku obstetri dan ginekologi. Edisi ke-9.
Jakarta: EGC.
Brashers VL. Kuncara HY (alih bahasa), 2008.
Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan dan
manajemen. Cetakan ke-1. Jakarta: Buku
kedokteran EGC.
Ceballos PAO et al, 2006.
Reproductive and lifestyle factors associated with
early menopause in mexican women. Salud
Publica Mex,2006;48:300.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Corwin EJ. Subekti NB (alih bahasa), 2009.
Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: Buku
kedokteran EGC.
Dinas kesehatan provinsi Jambi, 2010.
Profil kesehatan provinsi Jambi.
Geri M, Carole H, Obstetri & Ginekologi, 2009.
Panduan praktik. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
Gress Maretta, 2010.
Jangka reproduksi wanita di Lampung [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Hajikazemi E, Javadikia M, Seyedfatemi N,
Nikpour S, Hossini F, 2010.
Relation between menopause age, body mass
index, and reproductive history European Journal
of Scientific Research, 46:410−415.
Jusup L, 2011.
Kiat menghadapi masalah kesehatan lansia (usia
lanjut) + 35 resep pilihan hidangan sehat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kumalaningsih S, 2008.
Sehat + bahagia menjelang dan saat menopause.
Surabaya: Tiara Aksa.
Li L at,al, 2013.
Factors associated with the age of natural
menopause and menopausal symptoms in Chinese
women. [serialonline][diunduh 2 maret 2013].
http://www.ncbi.nlm. nih.gov/ pubmed/17019377.
Manuaba IAC, Manuaba IBG, Manuaba IBG,
2009.
Memahami kesehatan reproduksi wanita. Edisi
ke-2. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Mary T, Isaac C, Debu T, 2007.
The new menopause book: ihwal yang perlu anda
ketahui tentang menopause. Jakarta: PT. Indeks.
Noor Verawati S, Rahayu L, 2011.
Menjaga dan merawat kesehatan seksual wanita.
Bandung: Grafindo. hlm 219−267.
Pangkahila Wimpie, 2011.
Anti-aging tetap muda dan sehat. Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara.
Sinclair C, 2010.
Buku saku kebidanan (Amidwife’s handbook).
Jakarta: Buku Kedokteran EGC; hlm 704−734.
Srikandi W, Budhi MP, 2010.
100 Questions & answers: Menopause atau mati
haid. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Sulistyawati E, Proverawati A, 2010.
Menopause
dan
sindrom
premenopause.
Jogjakarta: Nuha Medika.
Susan K, Fiona T, 2010.
Panduan lengkap kebidanan.Yogyakarta: Palmaal.
hlm 361−382.
Sutanto B Luciana, Sutanto B Doddy, 2007.
Wanita dan gizi menopause. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Varney H, Jan MK, Carolyn LG, 2006.
Buku ajar asuhan kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta:
EGC.
21
25. Yanti, 2010.
Buku ajar kesehatan reproduksi (bagi mahasiswa
DIII kebidanan). Yogyakarta: Pustaka Rihama.
26. Yeyeh AR, Yulianti L, Maemunah, Susilawati L,
2009.
Asuhan kebidanan 2 (Persalinan). Jakarta: CV.
Trans Info Media. hlm 176−180.
27. Zan Pieter H, Namora LL, 2010.
Pengantar psikologi untuk kebidanan. Edisi ke-1.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
22
HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP IBU HAMIL TERHADAP
SENAM HAMIL DI DESA SEI LITUR TASIK KECAMATAN SAWIT
SEBERANG KABUPATEN LANGKAT
Elizawarda
Jurusan Kebidanan Medan Poltekkes Medan
Abstrak
Angka kematian maternal masih cukup tinggi. Menurut WHO (Word Health Organization), 1400
perempuan meninggal setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena
kehamilan dan persalinan.Senam hamil sangat memiliki andil yang besar dalam proses kehamilan dan
persalinan. Salah satu manfaatnya adalah ibu hamil yang melakukan senam hamil sekitar 3-5 jam setiap
minggunya mempunyai peluang yang lebih kecil untuk melahirkan dini ( premature ) dari pada yang tidak
melakukan senam hamil.Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan
sikap ibu hamil terhadap senam hamil di desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten
Langkat. Desain penelitian bersifat analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan
mencari hubungan antara pengetahuan dengan sikap ibu hamil terhadap senam hamil.Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang ada di Desa Sei Litur tasik Kecamatan Sawit Seberang
kabupaten langkat sebanyak 36 orang dengan menggunakan kuesioner. Analisis datanya diolah secara SPSS
dengan menggunakan uji chi-square dengan tarap signifikansi (α) 0,05. Setelah dilakukan perhitungan
didapat nilai X2 = 9,00 dan nilai X2 tabel adalah 3,841. diperoleh nilai X2 hitung sebesar 9,0 dan nilai X2
tabel sebesar 3,841 (df=1), karena ada 2 cell atau 50% yang nilainya < 5 maka yang digunakan adalah
“Fisher’s Exact Test” dan ternyata hasil yang diperoleh adalah < 0,05 atau 0,06 hasil tersebut menunjukkan
yang berarti bahwa Hipotesa alternat Hal ini berarti bahwa Ho di tolak berarti hubungan yang signifikan
antara pengetahuan dengan sikap ibu hamil terhadap senam hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit
Seberang Kabupaten Langkat. Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk tetap memberikan motivasi dan
informasi kepada ibu hamil tentang pentingnya senam hamil, Bagi prangkat desa tempat penelitian di
harapkan membuat kebijakan untuk mendorong ibu hamil melakukan senam hamil. Demikian juga untuk
ibu hamil diharapkan menambah pengetahuan tentang senam hamil sehingga sikapnya semakin positif
terhadap senam hamil.
Kata kunci : Pengetahuan. sikap ibu hamil. senam hamil
PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator keberhasilan
layanan kesehatan di suatu Negara, AKI di Indonesia
relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain di ASEAN
(Association of South East Asia Nations ) yaitu sebesar
373 per 100.000 kelahiran hidup (SKRT, 2002). Menurut
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (2001)
menunjukkan bahwa terdapat penurunan AKI dari 390
menjadi 334 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut Depkes
2000, AKI di Indonesia sekitar 3-6 kali lebih besar dari
negara-negara lain di ASEAN dan 50 kali lebih besar dari
angka di negara lebih maju. Diharapkan pada tahun 2010,
menurun menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup
(Prawiharjo, 2002). Departemen Kesehatan sendiri
menargetkan angka kematian ibu pada 2010 sekitar 226
orang dan pada tahun 2015 menjadi 102 orang per tahun.
Untuk mewujudkan hal ini, Depkes sedang menggalakkan
program Making Pregnancy Saver (MPS) dengan program
antara lain Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K) (Depkes, 2010).
Menurut WHO (Word health organization) di
seluruh dunia setiap menit seorang perempuan meninggal
karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan
persalinan. Dengan kata lain, 1400 perempuan meninggal
setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal
setiap tahun karena kehamilan dan persalinan (Riswandi,
2005). AKI di Indonesia masih tertinggi di Negara
ASEAN . Berdasarkan data resmi Dapartemen Kesehatan
AKI terus mengalami penurunan . Pada tahun 2003 di
Indonesia yaitu 307 per 100.000 KH , tahun 2006 yaitu
255 per 100.000 KH, tahun 2007 yaitu 248 per 100.000
KH . Target Millennium Development Goals (MDGS)
AKI di Indonesia tahun 2015 harus mencapai 125 per
100.000 KH (Barata, 2008 ).
AKI dan AKB mengalami penurunan yang
cukup signifikan dari tahun 2004 sampai tahun 2007.Di
23
tahun 2007,angka kematian bayi mencapai 26,9 persen per
1000 kelahiran hidup, dan AKI berkisar 248 per 100.000
ribu kelahiran hidup.Padahal di tahun 2004 AKB sekitar
30,8 persen per 1000 kelahiran hidup dan AKI sekitar 270
persen dari per 100.000 ribu kelahiran (Menkes, 2009).
Angka kematian maternal dan perinatal di
Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab
kematian maternal dan perinatal di Indonesia dan negara –
negara berkembang lainya adalah akibat partus lama.
Menurut SDKI tahun 2003 penyebab kematian ibu, yaitu
karena komplikasi persalinan (45 %), retensio plasenta
(21%), robekan jalan lahir (19 %), partus lama (11 %),
perdarahan dan pre eklamsi masing-masing (10 %),
komplikasi selama nifas (5 %) dan demam infeksi (4 %)
(Dinkes Sumut, 2008).
Dalam proses persalinan ada 3 faktor yang
menyebabkan persalinan memanjang atau lama yaitu :
tenaga, jalan lahir dan janin. Salah satu cara
mengendalikan masalah tersebut seperti masalah tenaga
yaitu dengan senam hamil. Senam hamil merupakan
bentuk olahraga yang berguna untuk membantu wanita
hamil untuk memperoleh tenaga yang baik sehingga
memperlancar proses persalinan (Huliana, 2001).
Selain tujuan persiapan fisik, senam hamil
memiliki tujuan untuk mempersiapkan mental ibu hamil,
yaitu untuk tercapainya ketenangan rohani dan
terbentuknya percaya diri dalam menghadapi persalinan
(Huliana, 2001).
Menurut Depkes RI, 2003, senam hamil dapat
mengoptimalkan keseimbangan fisik, sikap serta gerak
selama kehamilan, mengurangi keluhan - keluhan fisik
seperti sakit pinggang dan kejang otot dan menurut
penelitian yang lain menyatakan bahwa wanita yang
melakukan senam hamil secara teratur selama
kehamilanya, melaporkan tingkat kelemahan yang` rendah
selama kehamilan dan persalinan, sedikit mengalami
ketidaknyamanan dan lebih cepat sembuh dari pada ibu
yang tidak melakukan senam hamil (Ammilliya, 8
Http://infoolo.blogspot.com diperoleh 14 oktober 2011).
Selain itu, menurut Supriatmaja (2005), Senam
hamil juga memberikan efek positif terhadap pembukaan
serviks dan aktifitas uterus yang terkoordinasi saat
persalinan, hal ini menyebabkan proses persalinan yang
lebih cepat dan dan singkat dibandingkan dengan yang
tidak melakukan senam hamil. Penemuan ini juga
didukung oleh penelitian Artal dkk (1999) menyatakan
bahwa lama persalinan lebih singkat pada wanita yang
melakukan senam hamil dibandingkan yang tidak
melakukan senam hamil, dengan perbandingan 233 menit
vs 302 menit.
Manfaat lainya menurut penelitian Hatch (2001),
diungkapkan bahwa ibu hamil yang melakukan senam
hamil sekitar 3-5 jam setiap minggunya mempunyai
peluang yang lebih kecil untuk melahirkan dini (prematur)
dari pada yang tidak melakukan senam hamil (Kurnia,
2009).
Semua sasaran ini akan mengarah kepersiapan
untuk menjadi orang tua yang berhasil, maka diperlukan
upaya - upaya untuk meningkatkan hal tersebut terutama
bagi ibu - ibu hamil dalam hal peningkatan pengetahuan
ibu hamil tentang senam hamil.
24
Di negara maju Metode senam hamil telah lama
diterapkan, begitu juga di negara berkembang seperti
Indonesia. Namun, penerapanya belum merata diseluruh
daerah hanya diterapkan dibeberapa Rumah Sakit
terkemuka, seperti Medan misalnya, metode Senam hamil
hanya diterapkan dibeberapa klinik terkemuka saja seperti,
RS. Colombia Asia, RS. Stella Maris, RS. Santa Elisabeth
dan beberapa klinik lainya, di Rumah Sakit pemerintah
sekalipun seperti RS.Pirngadi, senam hamil tampaknya
belum diterapkan, hal ini mungkin dikarenakan belum
tersedianya tempat atau lokasi untuk melakukan senam
hamil dan juga dikarenakan ketidaktahuan ibu hamil
tetang senam hamil tersebut.
Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan yang
dilakukan di desa sei litur tasik Kecamatan Sawitseberang
Kabupaten Langkat dari 10 orang ibu hamil yang penulis
wawancara dengan pertanyaan seputar senam hamil ada 8
orang yang tidak mengetahui tentang apa itu senam hamil,
dan apa manfaatnya. Selain itu peneliti juga mendapatkan
informasi secara lisan dari delapan orang ibu hamil yang
tidak mengetahui senam hamil tersebut mengatakan bahwa
alasan mereka tidak mengikuti senam hamil karena kurang
mengerti tentang senam hamil dan tidak ada waktu untuk
mengikuti kelas senam hamil tersebut.
Berdasarkan Pendahuluan diatas , penulis tertarik
untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “
Hubungan Pengetahuanan dengan sikap Ibu Hamil
terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan
Sawit Seberang Kabupaten Langkat”.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Antara pengetahuan
dengan sikap ibu hamil terhadap Senam hamil di Desa
Sei Litur Tasik Kec.Sawitseberang Kab. Langkat.
Tujuan Khusus
a.Untuk mengetahui pengetahuan resonden terhadap
senam hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan
Sawit Seberang Kabupaten Langkat
b.Untuk mengetahui sikap responden terhadap senam
hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit
Seberang Kabupaten Langkat
c. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan
sikap responden terhadap senam hamil di Desa Sei
Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten
Langkat
Manfaat Penelitian
Bagi tempat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan
menambah informasi sebagai masukan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat di Desa Sei
Litur Tasik Kec.Sawitseberang Kab. Langkat.
Bagi institusi pendidikan
Sebagai bahan referensi tambahan di perpustakaan
Akademi Kebidanan Bakti Inang Persada Medan
tentang Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap
Ibu Hamil terhadap senam hamil.
Bagi Ibu hamil
Sebagai bahan masukan agar menambah
pengetahuan dan wawasan ibu hamil tentang
senam hamil.
Bagi peneliti selanjutnya
Untuk menambah pengetahuan serta bermanfaat
sebagai sumber informasi dalam merancang dan
menyelesaikan penelitian.
TINJAUAN TEORITIS
Pengetahuan
Menurut Maulana (2009, hlm 194) pada dasarnya
pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan juga merupakan pedoman dalam membentuk
tindakan seseorang.
Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan, yaitu merupakan hasil dari
tahu.yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu (Maulana
2009, hlm 192).
Tingkat Pengetahuan
Menurut Maulana (2009, hlm 195), tingkat
pengetahuan di dalam domain kofnitif di kualifikasikan
menjadi 6 tingkatan, yakni :
a. Tahu ( Know )
Tahu, yaitu suatu materi yang dipelajari
sebelumnya termasuk di dalamnya mengingat
kembali terhadap suatu spesifik dari seluruh
rangsangan yang diterima.
b. Memahami ( Comperhention )
Memahami, yaitu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan
tempat menginterprestasikan materi tersebut secara
benar.
c. Aplikasi ( Application )
Aplikasi, yaitu suatu kemampuan untuk
menggunakan materi.
d. Analisis ( Analysis )
Analisa, yaitu suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau objek ke dalam komponen – komponen,
tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut
dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis ( syntetis )
Sintesis, yaitu suatu kemampuan meletakkan atau
menghubungkan bagian - bagian di dalam suatu
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis itu
suatu kemampuan untuk menyusun formulasi dari
formulasi yang sudah ada.
f. Evaluasi ( Evaluation )
Evaluasi, yaitu kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penelitian suatumateri atau obek
pengukuran pengetahuan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003, hlm 15), faktor faktor yang mempengaruhi pengetahuan diantaranya
sebagai berikut:
a. Umur
Umur adalah lama seorang hidup dihitung dari
tahun lahirnya sampai dengan ulang tahunnya yang
terakhir. Umur merupakan konsep yang masih abstrak
bahkan cenderung menimbulkan valiasi dalam
pengukurannya. Seseorang menghitung umur dengan
tepat tahun kelahirannya, sementara yang lain
menghitungnya dalam ukuran tahun saja .
b. Pendidikan
Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha
mendewasakan manusia mulai upaya pengajaran dan
pelatihan, maka jelas jika dikerucutkan sebuah visi
pendidikan yaitu mencerdaskan manusia (Meliono, 2007).
Tingkat pendidikan menentukan pola pikir dan
wawasan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang
maka diharapkan stok modal semakin meningkat.
Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam kualitas.
Lewat pendidikan manusia dianggap akan memperoleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2003, hlm 95).
c. Sumber informasi
Informasi adalah data yang telah diproses kedalam
suatu bentuk yang mempunyai arti bagi si penerima dan
mempunyai nilai nyata dan terasa bagi keputusan saat ini
atau keputusan mendatang, informasi yang datang dari
pengirim pesan yang ditujukan kepada penerima pesan.
Selain itu sumber informasi dapat diperoleh dari media
cetak, media elektronik, non - media seperti keluarga,
teman, tenaga kesehatan (Notoatmodjo, 2005 hlm 65).
Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek. Manifestasi
sikap tidak dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan. Sikap
merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri
individu untuk berkelakuan dengan pola - pola tertentu,
terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan
terhadap objek tersebut (Azwar, 2008 hlm 5).
Pengertian Sikap
Sikap adalah suatu pola prilaku, tendensi atau
kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri
dalam situasi social, atau secara sederhana, yang
merupakan respon terhadap stimulasi sosial yang telah
terkoordinasi. Sikap dapat juga didefenisikan sebagai asfek
atau penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek
(Azwar, 2008 hlm 5).
Komponen Pokok Sikap
Menurut Maulana (2009, hlm 198), Komponen pokok
sikap meliputi hal - hal berikut :
a . Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu
objek.
c. Kecenderungan bertindak.
Tingkatan Sikap
Menurut Maulana (2009, hlm 200), tingkatan sikap
meliputi :
a. Menerima diartikan mau dan memperhatikan
stimulasi yang diberikan objek.
b. Merespon, yaitu memberikan jawaban jika ditanya,
mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang
diberikan merupakan indikasi sikap.
25
c. Menghargai, yaitu pada tingkat ini individu
mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
d. Bertanggung jawab, yaitu merupakan sikap yang
paling tinggi, dengan segala resiko bertanggung
jawab terhadap sesuatu yang telah dipilih.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Menurut Maulana (2009, hlm 202), faktor - faktor
yang mempengaruhi sikap yaitu:
a.
Faktor Internal, yaitu faktor yang terdapat dalam
diri pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini berupa
daya pilih seseorang untuk menerima atau menolak
pengaruh – pengaruh yang datang dari luar.
b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang terdapat dari luar
diri manusia itu sendiri.Faktor ini berupa interaksi
sosial di luar kelompok. Misalnya interaksi antara
manusia dalam bentuk kebudayaan yang sampai
kepada individu melalui surat kabar, majalah dan
sebagainya.
Kehamilan
Beberapa Defenisi Kehamilan
Kehamilan manusia terjadi selama 40 minggu
antara waktu menstruasi terakhir dan kelahiran (38 minggu
dari pembuahan). Istilah medis untuk wanita hamil adalah
gravida, sedangkan manusia di dalamnya disebut embrio
(minggu-minggu awal) dan kemudian janin (sampai
kelahiran).
Seorang wanita yang hamil untuk pertama
kalinya disebut primigravida atau gravida 1. Seorang
wanita yang belum pernah hamil dikenal sebagai gravida 0
(Williams, 2000).
Dalam banyak masyarakat definisi medis dan
legal kehamilan manusia dibagi menjadi tiga periode
triwulan, sebagai cara memudahkan tahap berbeda dari
perkembangan janin. Triwulan pertama membawa risiko
tertinggi keguguran (kematian alami embrio atau janin),
sedangkan pada masa triwulan ke-2 perkembangan janin
dapat dimonitor dan didiagnosa. Triwulan ke-3
menandakan awal 'viabilitas', yang berarti janin dapat tetap
hidup bila terjadi kelahiran awal alami atau kelahiran
dipaksakan (Williams, 2000).
Kehamilan merupakan suatu proses yang alamia
dan fisiologis. Setiap wanita yang memiliki organ
reproduksi sehat, yang telah mengalami menstruasi, dan
melakukan hubungan seksual dengan pria yang organ
reproduksinya sehat maka sangat besar kemungkinannya
akan mengalami kehamilan (Mandriwati, 2008).
Kehamilan merupakan saat yang menakjubkan
dalam kehidupan seorang wanita. Hal itu juga merupakan
saat yang menegangkan ketika sebuah kehidupan baru
yang misterius tumbuh dan berkembang di dalam rahim.
Sekali kehamilan terjadi, berbagai macam efek terjadi
dalam tubuh wanita, baik efek karena perubahan hormon,
bentuk tubuh, maupun kondisi emosional wanita yang
mengalami kehamilan
(Asrinah, 2010).
26
Ibu Hamil
Ibu hamil adalah ibu yang mengalami proses
ovulasi sampai partus adalah kira-kira 280 hari (40
minggu), dan tidak boleh dari 300 hari (43 minggu).
Kehamilan 40 minggu ini kehamilan matur (cukup bulan)
(Priwiraharjo, 2000).
Ibu hamil adalah seseorang wanita yang
mengalami perubahan terutama pada alat kandungan dan
juga organ lainnya (Mochtar, 2000).
Senam Hamil
Pengertian Senam Hamil
Senam hamil adalah latihan fisik berupa
beberapa gerakan tertentu yang dilakukan khusus untuk
meningkatkan kesehatan ibu hamil (Mandriwati, 2008 hlm
171).
Senam hamil adalah terapi latihan gerak yang
diberikan kepada ibu hamil untuk mempersiapkan dirinya,
baik persiapan fisik maupun mental untuk menghadapi dan
mempersiapkan persalinan yang cepat, aman dan spontan
(Huliana, 2001 hlm 90).
Senam hamil merupakan suatu program latihan
bagi ibu hamil sehat untuk mempersiapkan kondisi fisik
ibu dengan menjaga kondisi otot – otot persendian yang
berperan dalam proses persalinan, serta mempersiapkan
kondisi psikis ibu terutama menumbuhkan kepercayaan
diri dalam menghadapi persalinan. Senam hamil
memberikan manfaat terhadap otot yang dilatih, dan juga
dapat meningkatkan daya
tahan tubuh dengan
meningkatkan konsumsi oksigen (nelly, 2002).
Senam hamil adalah sebuah program berupa
latihan fisik yang sangat penting bagi calon ibu untuk
mempersiapkan saat persalinannya (Indiarti, 2008 hlm
28).
Tujuan Senam Hamil
Menurut Mandriawati (2008, hlm 171) tujuan
senam hamil adalah :
a. Memperkuat dan mempertahankan elastisitas otot otot dinding perut, ligamen – ligamen, otot dasar
panggul yang berhubungan dengan proses
pesalinan.
b. Membentuk sikap tubuh. Sikap tubuh yang baik
selama kelahiran dan persalinan dapat mengatasi
keluhan - keluhan umum pada wanita hamil,
mengharapkan letak janin normal , mengurangi
sesak nafas akibat bertambah besarnya perut.
c. Menguasaai teknik - teknik pernafasan yang
mempunyai peranan penting dalam persalinan dan
selama hamil untuk mempercepat relaksasi tubuh
yang diatasi dengan napas dalam , selain itu juga
untuk mengatasi rasa nyeri pada saat his.
d. Menguatkan otot - otot tungkai, mengingat tungkai
akan menopang berat tubuh ibu yang makin lama
makin berat seiring dengan bertambahnya usia
kehamilan.
e. Mencegah varises, yaitu pelebaran pembuluh darah
balik (vena) secara segmental yang tak jarang
terjadi pada ibu hamil.
f. Memperpanjang nafas, karena seiring bertambah
besarnya janin maka dia akan mendesak isi perut ke
arah dada . Hal ini akan membuat rongga dada
lebih sempit dan nafas ibu tidak bisa optimal.
Dengan senam hamil maka ibu akan dapat berlatih
agar nafasnya lebih panjang dan tetap relaks.
g. Latihan pernapasan khusus yang disebut panting
quick breathing terutama dilakukan setiap saat
perut terasa kencang.
h. Latihan mengejan latihan ini khusus utuk
menghadapi persalinan, agar mengejan secara
benar sehingga bayi dapat lancar keluar dan tidak
tertahan di jalan lahir.
i. Mendukung ketenangan fisik (Huliana, 2001 hlm
91).
j. Memberi dorongan serta melatih jasmani dan
rohani dari ibu secara bertahap agar ibu dapat
menghadapi persalinan dengan tenang, sehingga
proses persalinan dapat berjalan lancar dan mudah
(Salmah, 2006 hlm 117).
Manfaat Senam Hamil
Menurut Mandriawati (2008, hlm 172) manfaat
senam hamil adalah :
a. Mengatasi sembelit (konstipasi), kram dan nyeri
punggung
b. Memperbaiki sirkulasi darah
c. Membuat tubuh segar dan kuat dalam aktivitas
sehari – hari
d. Tidur lebih nyenyak
e. Mengurangi resiko kelahiran premature
f. Mengurangi stress
g. Membantu mengembalikan bentuk tubuh lebih
cepat setelah melahirkan
h. Tubuh lebih siap dan kuat di saat proses
persalinan
i. Bertemu dengan calon ibu lain bila ibu
melakukannya kelas senam hamil (Huliana ,
2001 hlm 91)
j. Mengurangi pembengkakan
k. Memperbaiki keseimbangan otot
l. Menguatkan otot perut (Salmah, 2006 hlm 118).
Syarat Melakukan Senam Hamil
Menurut Mandriawati (2008, hlm 172) syarat
yang harus dipenuhi dalam melakukan senam hamil
adalah :
a. Kehamilan berjalan normal
b. Diutamakan pada kehamilan pertama atau
kehamilan berikutnya yang mengalami kesulitan
persalinan
c. Telah dilakukan pemeriksaan kesehatan dan
kehamilan oleh dokter atau bidan
d. Latihan dilakukan secara teratur dan disiplin, dalam
batas kemampuan fisik ibu
e. Jangan membiarkan tubuh ibu kepanasan dalam
jangka waktu panjang. istirahatlah sejenak
f. Gunakan bra yang cukup baik untuk olah raga
dan semacam decker yang bisa menyokong
kaki.
Menurut Mandriawati (2008, hlm 174)
kontraindikasi senam hamil adalah :
a. Kelainan jantung
b. Tromboplebitis
c. Emboli Paru
d. Perdarahan pervaginam
e. Ada tanda kelainan pada janin
f. Plasenta previa
Waktu Untuk Melakukan Senam Hamil
Menurut Mandriawati (2008, hlm 172)
dianjurkan untuk melakukan senam hamil yaitu setelah
usia kehamilan 22 minggu.
Tempat Melakukan Senam Hamil
Untuk menjamin dilakukanya senam hamil
dengan aman dan benar dibutuhkan tuntunan yang jelas
atau instruktur yang berpengetahuan dan terampil. Oleh
karena itu, dianjurkan agar ibu hamil melakukan senam
hamil bersama ibu hamil yang lain di Rumah Sakit atau
Rumah Bersalin yang akan digunakan untuk bersalin.
Karena ditempat tersebut akan ada saling tukar
pengalaman, bertambah semangat juga akan ada
penambahan wawasan bisa diberikan oleh petugas medis
yang merangkap sebagai instruktur (Kushartanti, 2004
hlm 24).
Namun jika tidak sempat atau jarak rumah terlalu
jauh dari Rumah Sakit atau Klinik, bisa juga dilaksanakan
dirumah dengan dibantu instruktur atau ibu sudah pernah
mengikuti senam hamil dan sudah mengerti bagaiman cara
melakukannya misalnya diteras atau diruang keluarga
(Musbikin, 2005 hlm 145).
Tahapan Senam Hamil
a. Latihan Pendahuluan
Lakukan pemanasan ( pendahuluan ) sebelum
memulai program olah raga yang berguna merangasang
sirkulasi darah, menggendorkan otot-otot dan tulang-tulang
sendi sehingga bergerak bebas, yang berarti mengurangi
resiko kerusakan (Stoppartd, 2002 hlm 191).
Cara melakukan latihan pemanasan yaitu :
1) Latihan I. Duduk tegak bersandar pada kedua
lengan, kedua tungkai diluruskan dan dibuka
sedikit, seluruh tubuh lemas .
2) Latihan II. Duduk tegak, kedua tungkai kaki lurus
dan rapat.
3) Latihan III. Duduk tegak, kedua tungkai kaki lurus,
rapat dan releks.
4) Latihan IV. Duduk bersila tegak, kedua tangan
diatas bahu dan kedua lengan disamping buah dada.
5) Latihan V. Berbaring terlentang, kedua lengan
disamping badan dan kedua lutut ditekuk.
6) Latihan VI. Berbaring terlentang, kedua lengan
disamping badan kedua tungkai luarus dan enak.
7) Latihan VII. Putarkan panggul kekiri sebanyak 4
kali dan kanan 4 kali dengan menggerakan panggul
kekiri, tekannkan punggung kekanan sambil
mengempiskan perut dan mengerutkan liang
dubur. Gerakkan panggul kekanan, anggkat
pinggang, gerakan kembali panggul kekiri dan
seterusnya sampai 4 kali gerakan memutar,
kemudian lakukan hal tersebut kearah kanan
sebanyak 4 kali.
b. Latihan Inti
Latihan inti ini bertujuan untuk pembentukan
sikap tubuh yang baik. Sikap tubuh yang baik akan
menyebabkan tulang panggul naik, sehingga janin berada
27
pada kedudukan yang normal. Latihan kontraksi dan
relaksasi latihan untuk memperoleh dan mengatur sikap
tubuh untuk releks pada saat yang diperlukan.Latihan
pernafasan untuk menguasai berbagai aspek pernafasan.
Cara melakukan latihan inti yaitu :
1) Berbaring dengan satu bantal di bawah kepala dan
satu bantal lagi di bawah lutut, silangkan kaki dan
dekaplah kedua kaki secara bersama erat-erat.
Kencangkan otot - otot pantat dan tarik ke atas
seolah - olah ingin menghabiskan kencing secara
perlahan. Ini akan membantu memantapkan otot otot dasar panggul.
2) Sikap merangkak, jarak antara kedua tangan sama
dengan jarak antara kedua bahu. Keempat anggota
tubuh tegak lurus pada lantai dan badan sejajar
dengan lantai.
3) Berbaring terlentang, kedua lutut ditekuk, kedua
lengan di samping badan, dan rileks.
c. Latihan pendinginan
Senam hendaknya diakhiri dengan gerakan
pendinginan. Latihan ini berguna untuk mengembalikan
denyut jantung kearah normal dan mencegah
mengumpulnya darah pada bagian kaki.
Cara melakukan latihan pendinginan,
yaitu berjalan secara biasa, lalu berjalan secara menjinjit,
berjalan dengan telapak kaki menggenggam sambil
menarik dan membuang napas, dan sambil mengerakkan
tangan naik turun. Lakukan selama 5-10 menit.
METODE
Defenisi Operasional
Pengetahuan Ibu Hamil
Pengetahuan ibu hamil adalah segala sesuatu yang
diketahui oleh ibu hamil untuk menjawab pertanyaan
tentang senam hamil, yang akan dinilai dari jawaban yang
diberikan atas pertanyaan yang diajukan dari kuesioner.
Kategori
:
a. Baik bila menjawab ( 11- 20 soal) dengan skor 55
- 100
b. Kurang bila menjawab ( < 11 soal ) dengan skor <
55
Skala
: Ordinal
Alat Ukur
: Kuesioner sebanyak 20 soal.
Sikap Ibu Hamil
Sikap adalah pendapat atau pandangan ibu
hamil mengenai senam hamil. Untuk Mengetahui sikap
dapat dilakukan berdasarkan pada jawaban responden
dari semua pertanyaan yang diberikan. Pengukuran
terhadap sikap dilakukan dengan menggunakan Skala
Likert yang terdiri dari 5 kategori.berdasarkan pada
jawaban responden, diperoleh kategori sebagai berikut
a. Positif, apabila responden mendapat nilai > 50
b. Negatif, apabila responden mendapat nilai < 50
Skala ukura
: Nominal
Alat ukur
: kuesioner
28
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian
ini adalah analitik korelasi dengan pendekatan cross
sectional yang bertujuan mencari hubungan antara
pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap senam hamil.
Dalam penelitian cross sectional, variabel
sebab atau resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada
objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan
(dalam waktu bersamaan). Pengumpulan data untuk jenis
penelitian ini, baik untuk variabel sebab (independent
variable) maupun variabel akibat (dependent variable)
dilakukan secara bersama-sama atau sekaligus.
(Notoatmodjo, 2005).
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek ibu hamil
yang ada di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit
Seberang Kabupaten Langkat. Pada saat di lakuan survey
pendahuluan terdapat 36 ibu hamil. Diantara 36 ibu hamil
tersebut terdadap 2 diantaranya dengan usia kehamilan 33
dan 35 minggu. Maka yang akan dijadikan sampel
sebanyak 34 ibu hamil. 34 orang tersebut diantaranya
berada pada usia kehamilan 16 – 28 minggu.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh ibu
hamil yang ada di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit
Seberang Kabupaten Langkat sebanyak 36 orang, 2
diantaranya berada pada usia kehamilan 33 dan 35 minggu.
Maka yang akan dijadikan sampel sebanyak 34 orang.
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara total
sampling, dimana keseluruan populasi ibu hamil yang ada
di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang
Kabupaten Langkat akan di jadikan sampel seluruhnya.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan Di Desa Sei Litur Tasik
Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat. Alasan
peneliti memilih lokasi ini sebagai tempat penelitian
adalah:
a. Di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang
Kabupaten Langkat terdapat jumlah populasi ibu hamil
yang mencukupi untuk dijadikan sampel dalam
penelitian.
b. Di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang
Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat
merupakan desa yang belum pernah dijadikan tempat
penelitian dengan judul yang sama, lokasinya mudah
dijangkau oleh peneliti dan lokasinya dekat dengan
tempat tinggal peneliti.
Waktu Penelitian
Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
penelitian ini adalah mulai dari bulan Oktober 2011- Juni
2012.
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer
untuk kedua variabel yaitu pengetahuan dan sikap ibu
hamil. Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri
oleh peneliti.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan cara
peneliti untuk mengumpulkan data yang akan dilakukan
dalam penelitian. Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini yaitu menggunakan kuesioner atau angket
yang berjenis angket tertutup untuk variabel pengetahuan
ibu hamil tentang senam hamil dan menggunakan daftar
cek (checklist) untuk variabel sikap ibu hamil terhadap
senam hamil.Dimana prosedur pengumpulan data
dilakukan dengan cara :
1. Peneliti terlebih dahulu meminta persetujuan ibu
hamil untuk menjadi responden
2. Peneliti memberikan penjelasan singkat kepada
responden tentang cara pengisian kuesioner
3. Peneliti membagikan kuesioner untuk diisi oleh
responden dengan jawaban yang sesuai dengan
dirinya tanpa menghiraukan jawaban dari responden
lain
4. Data yang telah diisi oleh responden dikumpulkan
kembali kepada peneliti
5. Peneliti memperhatikan kembali kelengkapan dari
kuesioner yang diisi oleh responden, jika data
maupun kuesioner tidak lengkap, peneliti langsung
meminta responden untuk melengkapi data saat itu
juga.
a. Positif, apabila responden mendapat nilai > 50
b. Negatif, apabila responden mendapat nilai < 50
a . Sangat setuju ( SS )
b. Setuju ( S )
c. Ragu – Ragu ( RR )
d.Tidak Setuju ( TS )
e.Sangat Tidak Setuju ( STS )
Penilaian untuk pertanyaan yang bersufat
positif ( Favorable ), yaitu :
a. Sangat Setuju ( SS ) bernilai 5
b.Setuju ( S ) bernilai 4
c.Ragu – Ragu ( RR ) bernilai 3
d.Tidak Setuju ( TS ) bernilai 2
e.Sangat Tidak Setuju ( STS ) bernilai 1
Penilaian untuk pertanyaan yang bersifat
negative ( Infavorable ), yaitu :
a.Sangat Tidak Setuju ( STS ) bernilai 5
b.Tidak Setuju ( TS ) bernilai 4
c.Ragu – Ragu ( RR ) bernilai 3
d.Setuju ( S ) bernilai 2
e.Sangat Setuju ( SS ) bernilai 1
Sebelum menentukan kategori sikap terlebih
dahulu menentukan criteria (tolak ukur), yaitu Median:
Median : Jumlah skor maksimum x jumlah soal = 5 x 20 = 50
2
2
Kategori dari pengukuran sikap adalah sebagai berikut :
a. Positif, apabila responden mendapat nilai >50.
b.Negatif, apabila responden mendapat nilai < 50
Skala ukur
: Nominal
Alat ukur
: Kuesioner 20 soal
Dengan kisi – kisi sebagai berikut:
Tabel 3.3 Kisi-kisi Sikap
Instrumen Penelitian
Pengetahuan
Instrumen penelitian yang akan digunakan untuk
pengetahuan adalah menggunakan kuesioner. Diukur
dengan menggunakan pertanyaan tettutup dengan pilihan
jawaban seperti a, b, c dengan jumlah 20 pertanyaan
dimana jika satu jawaban benar diberi skor 5 dan jika
jawaban salah diberi skor 0 sehingga skor maksimal adalah
100 dan skor minimum 0, dengan kisi-kisi sebagai berikut:
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Pengetahuan
No. Indikator
Jumlah Soal Nomor Soal
1. Defenisi senam hamil
1
1
2. Tujuan senam hamil
1
2
3. Manfaat Senam Hamil
4
3, 4, 5, 6
4. Syarat dilakukan Senam
7
7, 8, 9, 10,
5. Hamil
1
11, 12,13
6. Tempat
pelaksanaan
6
14
. Senam Hamil
15, 16, 17,
Cara awal melakukan
18, 19, 20
Senam Hamil
Jumlah
20 soal
20 soal
Sikap
Instrumen penelitian yang akan digunakan untuk
mengukur sikap adalah menggunakan angket dalam Skala
Likert.
Pernyataan
No.
Positif Negatif
1.
2.
3.
4.
5
Nomor Soal
Indikator
Senam hamil
Manfaat
Senam
Hamil
Waktu pelaksanaan
Senam Hamil
Syarat melakukan
Senam Hamil
Tempat
Pelaksanaan Senam
hamil
Motivasi ibu
Waktu
mulai
menggunakan
Positif
Negatif
Jumlah
Soal
2
2
1
1
2
2
1, 2
4, 5
8
3
6, 7
9, 10
3
4
3
4
3
11, 12,
13, 14
7
1
2
15, 16,
17
19, 20
3
18
Jumlah
20 soal
Analisa Data
Analisa data yang digunakan adalah analisa
bevariate untuk mengetahui adanya hubungan antara
dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi
(Notoatmodjo, 2002 ).
29
Analisa data ini menggunakan tes kemaknaan chisquare dengan signifikansi
( α = 0,05 ) dengan titik kritis x2 pada α = 0,05. Hasil
perhitungan statistik dapat menunjukan ada tidaknya
hubungan yang signifikan antara variabel yang diteliti
yaitu dengan melihat nilai X2 . Bila nilai X2 hitung > X2
tabel, maka Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara dua variabel katagori
pada α yang sesuai. Karena adanya dua cell dengan
nilai 50% yang nilainya < 5 maka, yang digunakan
adalah “ Fisher’s Exact Test.
Hasil uji berdasarkan Uji chi- square diperoleh
nilai X2 hitung sebesar 9,0 dan nilai X2 tabel sebesar 3,841
(df=1), karena ada 2 cell atau 50% yang nilainya < 5 maka
yang digunakan adalah “Fisher’s Exact Test dan ternyata
hasil yang diperoleh adalah < 0,05 atau 0,06 hasil tersebut
menunjukkan yang berarti bahwa Hipotesa alternative (Ha)
diterima atau Hipotesa nol (Ho) ditolak, artinya terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
sikap ibu hamil terhadap senam hamil di Desa Sei Litur
Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat .
PEMBAHASAN
Hasil
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti
terhadap “Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Ibu
Hamil Terhadap Senam Hamil Di Desa Sei Litur Tasik
Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat “ dengan
jumlah sampel 36 responden dan dengan menggunakan
kuesioner sebagai alat bantu penelitian, yang hasilnya
disajikan dalam bentuk tabel dan pembahasan sebagai
berikut :
Analisa Univariat
Setelah data dikumpulkan kemudian dianalisis
dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
seperti dibawah ini :
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi
Pengetahuan Ibu
Hamil Terhadap Senam Hamil di Desa Sei
Litur Tasik Kecamatan Sawitseberang
Kabupaten Langkat
No
Kategori
F
% ( Persentase )
1 Baik
26
72,2
2 Kurang
10
27,8
Total
36
100,0
Tabel 4. 2 Distribusi Frekuensi Sikap Ibu Hamil
Terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur
Tasik
Kecamatan
Sawitseberang
Kabupaten Langkat
No
Kategori
F
% ( Persentase )
1
Positif
27
75,0
2
Negatif
9
25,0
Jumlah
36
100,0
Analisa Bivariat
Berdasarkan Hubungan Pengetahuan Dengan
Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam Hamil Di Desa Sei
Litur Tasik Kecamatan Sawitseberang Kabupaten Langkat,
didapat tabel distribusi silang sebagai berikut :
Tabel 4. 3 Tabulasi
SilangAntara
Pengetahuan
Dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam
Hamil Di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan
Sawitseberang Kabupaten Langkat
No Pengetahuan
Ibu Hamil
1
2
30
Baik
Kurang
Total
Sikap Ibu Hamil Total % 𝒙𝟐 hitung X2
tabel
Positif Negatif
F % F %
23 88,5 3 11,5 26
72,2
4 40,0 6 60,0 10
27,8
9,0
3,841
27 75,0 9 25,0 36 100,0
Setelah dilakukan penelitian berjudul “Hubungan
Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam
Hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang
Kabupaten Langkat.
Pengetahuan Responden
Berdasarkan hasil penelitian didapat hasil dari 36
responden mayoritas responden memiliki pengetahuan
baik sebanyak 26 orang (72,2%) dan yang berpengetahuan
kurang sebanyak 10 orang ( 27%). Dapat dinyatakan
bahwa mayoritas pengetahuan responden adalah baik.
Pengetahuan ini diperoleh dengan cara baru atau
modern yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap
gejala – gejala alam atau masyarakat, kemudian hasil
pengamatan tersebut dikumpulkan, diklasifikasikan dan
akhirnya pengamatan tersebut diambil keKesimpulan
umum. Faktor –faktor yang mempengaruh pengetahuan
adalah umur, pendidikan, pekerjaan, sumber informasi dan
hasil interaksi dengan lingkungan. (Notoatmodjo, 2005 ).
Pengetahuan merupakan hasil dari “ tahu” dan
ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan suatu
objek tertentu. Dalam pembagian tingkat pengetahuan
dinyatakan bahwa tahap evaluasi itu kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi
atau objek pengukuran pengetahuan (Maulana, 2009).
Menurut asumsi penulis tidak ada kesenjangan
antara hasil penelitian dengan teori. Bahwa dari hasil
penelitian didapat mayoritas ibu berpengetahuan baik dan
pada teori dikatakan bahwa pengetahuan didapat dari hasil
pengalaman pribadi seseorang berarti semakin banyak
pengalaman pribadi seseorang maka akan semakin baik
pengetahuannya. Pengetahuan juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain umur, pendidikan dan sumber
informasi serta hasil berinteraksi dengan lingkungan
sekitar.
Sikap Responden
Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa dari
36 responden mayoritas memiliki sikap positif yaitu 27
responden (75,0 %) terhadap senam hamil dan ada 9
responden ( 25,0 %) yang bersikap negatif terhadap senam
hamil.Dapat dinyatakan bahwa mayoritas responden
mempunyai sikap positif.
Menurut G. W. All Port (1935), sikap merupakan
keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur
melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik
atau terarah terhadap respon individu pada suatu objek dan
situasi yang berkaitan dengannya .Sikap adalah suatu pola
prilaku, kesiapan antisifatif, predisposisi untuk
menyelesaikan diri dalam situasi sosial, atau sederhana,
yang merupakan respon terhadap stimulasi sosial yang
telah terkoordinasi. Sikap dapat juga didefenisikan sebagai
aspek atau penilaian positif atau negative terhadap suatu
objek (Azwar,2008).
Sikap seseorang dipengaruhi oleh factor internal
dan eksternal.Faktor internal tersebut antara lainfactor yang
terdapat dalam diri pribadi manusia itu sendiri dan factor
eksternal yaitu factor yang terdapat dari luar diri manusia
itu sendiri.
(Maulana, 2009 ).
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek.manginfestasi
sikap tidak dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan.Sikap
merupakan kecendrungan yang berasal dari dalam diri
individu unt berkelakuan dengan pola – pola tertentu,
terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan
terhadap objek tersebut (Azwar, 2008).
Menurut asumsi penulis, tidak ada kesenjangan
antara hasil penelitian dengan teori.Bahwa dari hasil
penelitian didapatkan bahwa mayoritas responden
mempunyai sikap yang positif. Hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa semakin banyak pengalaman
seseorang maka semakin terarah sikapnya untuk merespon
sesuatu artinya sikapnya akan semakin baik karna sudah
ada hasil pembelajaran dari pengalaman tersebut. Sama
halnya dengan pengetahuan, sikap juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu tingkat pengetahuan, sumber
informasi, pengalaman pribadi, pengaruh orang lain dan
lingkungan sekitar.
Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil
Terhadap Senam Hamil
Dari hasil penelitian didapat bahwa dari 36
responden, mayoritas berpengetahuan baik dan bersikap
positif yaitu 23 responden (88,5 %) sedangkan responden
yang berpengetahuan kurang dan bersikap positif sebanyak
4 responden (40,0 %) .
Pengetahuan ini diperoleh dengan cara baru atau modern
yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala –
gejala alam atau masyarakat, kemudian hasil pengamatan
tersebut dikumpulkan, diklasifikasikan dan akhirnya
pengamatan tersebut diambil keKesimpulan umum. Faktor
–faktor yang mempengaruh pengetahuan adalah umur,
pendidikan, pekerjaan, sumber informasi dan hasil
interaksi dengan lingkungan. (Notoatmodjo, 2005 ).
Pengetahuan merupakan hasil dari “ tahu” dan
ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan suatu
objek tertentu. Dalam pembagian tingkat pengetahuan
dinyatakan bahwa tahap evaluasi itu kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi
atau objek pengukuran pengetahuan (Maulana, 2009).
Menurut G. W. All Port (1935), sikap merupakan keadaan
mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau
terarah terhadap respon individu pada suatu objek dan
situasi yang berkaitan dengannya .Sikap adalah suatu pola
prilaku, kesiapan antisifatif, predisposisi untuk
menyelesaikan diri dalam situasi sosial, atau sederhana,
yang merupakan respon terhadap stimulasi sosial yang
telah terkoordinasi. Sikap dapat juga didefenisikan sebagai
aspek atau penilaian positif atau negative terhadap suatu
objek (Azwar,2008)
.
Sikap seseorang dipengaruhi oleh factor internal
dan eksternal.Faktor internal tersebut antara lainfactor yang
terdapat dalam diri pribadi manusia itu sendiri dan factor
eksternal yaitu factor yang terdapat dari luar diri manusia
itu sendiri.
(Maulana, 2009 ).
Menurut pernyataan Bloum (2003) terbentuknya
suatu prilaku baru dimulai pada dominan kongitif dalam
arti subjektiferlebih dahulu terhadap standart yang berupa
maksud atau objek sehingga menimbulkan pengetahuan.
Pada subjek terhadap objek yang diketahui dan didasari
sepenuhnya, tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh
lagi yaitu berupa tindakan (action) sehingga dengan
sekaligus dapat diketahui.
Pernyataan ini tidak sejalan dengan hasil
penelitian Wismanto (2003) yakni hasil korelasi antara
sikap dengan pengetahuan sebesar 0,366 hasil ini relatif
kecil, hal ini kemunginan disebabkan bahwa antara
pengetahuan dan sikap tidak berhubungan secara, akan
berbeda terhadap variable antara yaitu kehendak atau niat.
Beberapa penelitian sebelumnya meneliti tentang
hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap ibu hamil
terhadap senam hamil. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Rahayuningsih (2005), ada hubungan yang cukup
kuat antara pengetahuan ibu dengan sikap ibu hamil
terhadap senam hamil. Sama halnya dengan penelitian
yang dilakukan oleh Wahyuningrum (2007) yang
menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan ibu hamil dengan sikap ibu hamil
terhadap senam hamil. Selain kedua penelitian tersebut,
ada pula penelitian yang meneliti tentang hubungan sikap
terhadap perilaku ibu untuk malakukan senam hamil.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yuliarti (2009) di
Kabupaten Sragen dengan hasil bahwa ada hubungan
yang bermakna antara pengetahuan dengan sikap ibu
terhadap senam hamil.
Hasil uji berdasarkan Uji chi- square diperoleh
nilai X2 hitung sebesar 9,0 dan nilai X2 tabel sebesar 3,841
(df=1), karena ada 2 cell atau 50% yang nilainya < 5 maka
yang digunakan adalah “Fisher’s Exact Test dan ternyata
hasil yang diperoleh adalah < 0,05 atau 0,06 hasil tersebut
menunjukkan yang berarti bahwa Hipotesa alternative (Ha)
diterima atau Hipotesa nol (Ho) ditolak, artinya terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
sikap ibu hamil terhadap senam hamil di Desa Sei Litur
Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat
Tahun 2012 .
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti
yang berjudul “Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu
Hamil Terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik
Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat Tahun
2012”.
31
1
2
3
Dari hasil penelitian mayoritas responden memiliki
tingkat pengetahuan baik yaitu sebanyak 26 orang
(72,22 %).
Dari hasil penelitian mayoritas responden memiliki
sikap yang positif terhadap senam hamil yaitu
sebanyak 27 orang (75,0 %).
Terdapat hubungan yang signifikan antara
Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap
Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan
Sawit Seberang Kabupaten Langkat.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang
Kabupaten Langkat, menyarankan :
1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk
melanjutkan penelitian ini lebih lanjut dengan
variable yang berbeda.
2. Diharapkan kepada ibu-ibu hamil, sikap yang
positif harus diikuti dengan perilaku nyata yaitu
mengikuti senam hamil dan bukan hanya sebatas
keinginan. Meskipun ibu bekerja, ibu masih tetap
bisa melakukan senam hamil yaitu minimal
dengan menggerakkan badan agar metabolisme
tubuh bekerja.
3. Kepada perangkat desa terutama kepala desa atau
lurah, hendaknya membuat suatu kebijakan
tentang pentingnya melakukan senam hamil
terutama di masa kehamilan trimester II, serta
melakukan kerjasama dengan petugas-petugas
kesehatan yang ada diwilayahnya untuk
melakukan penyuluhan kepada ibu hamil yang
ada dalam suatu keluarga tersebut tentang manfaat
dan tujuan Senam Hamil bagi bayi dan ibu. Ayah
dapat mendorong ibu agar mau melakukan senam
hamil, dan diharapkan agar kader-kader yang ada
lebih aktif mengajak para ibu hamil untuk datang
ke posyandu sehingga dapat memberikan
penyuluhan tentang senam hamil sehingga
pengetahuan ibu hamil tentang senam hamil
meningkat.
4. Kepada
pihak
Puskesmas
Kecamatan
Sawitseberang Kabupaten Langkat hendaknya
lebih meningkatkan pelayanan terutama promosi
kesehatan dan sosialisasi tentang Senam Hamil
sehingga dapat menumbuhkan kesadaran ibu
hamil untuk mau melakukan senam hamil.Jadi,
bukan hanya sekedar menumbuhkan sikap setuju
saja terhadap senam hamil tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asrina, dkk, 2010. Asuhan kebidanan Pada Masa
Kehamilan
Azwar, S. (2007). Sikap Manusia Teori dan
Pengukurannya. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
32
DinkesPropsu. (2008). ProfilKesehatanPropinsi Sumatera
Utara 2007.DinasKesehatanPropinsi Sumatera
Utara. Medan
Hidayat, Azis Alimul. 2010. Metode Kebidanan Teknik
Analisa Data . Jakarta : Salemba Medika
Huliana, Mellyna. (2006). Panduan Menjalani Kehamilan
Sehat. Puspa Swara. Jakarta
Indiarti, MT. (2008). Senam Hamil dan Balita. Cemerlang
Publishing. Yogyakarta
Kushartanti.( 2005). Senam Hamil. Lintang Pustaka.
Yogyakarta
Kurnia, S. Nova. (2009). Menghindari Gangguan Saat
Melahirkan dan Panduan Lengkap mengurut Bayi.
Paji Pustaka. Yogyakarta
Mandriawati, G.A. (2008). Panduan Belajar Asuhan
Kebidanan Ibu Hamil. EGC. Jakarta
Maulana, J.D.H. (2009). Promosi Kesehatan. EGC. Jakarat
Muchtar, 2000. Kebutuhan Selama Kehamilan, Jakarta :
EGC
Musbikin, imam. (2005). Panduan Bagi Ibu Hamil dan
Melahirkan. Mitra Pustaka. Yogyakarta
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi 2. Salemba
Medika. Jakarta
Notoatmodjo, Soekidjo. (2002). Metodeologi Penelitian
Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta
, (2003). Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. PT.
Rineka Cipta. Jakarta
, (2005). Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. PT.
Rineka Cipta. Jakarta
Sudjana, Dr.(2002). Metode Statistik Cetakan ke-IV.
Tarsito. Bandung.
Ammililliya, Kiki Riski. (2009). Hubungan Pengetahuan
ibu Hamil tentang Senam Hamil dengan Minat Ibu
Hamil untuk Melakukan Senam Hamil di RB. Riens
Kediri.Http://infoolo.blogspot.com/2009/08/hubun
gan-pengetahuan-ibu-hamil-tentang
28.html/14
Oktober 2011
David, Januarahmawati. (2008). Hubungan antara
Pengetahuan dengan Sikap Ibu Hamil tentang
senam hamil di RSU Islam Kustanti Surakarta.
Http://www.bidanku..com.14Oktober2011
Meliono,
I.
(2007).
MPKT
Modul
I.
(http://id.wikipedia.org/wiki/pengetahuan)
Supriatmaja. (2005). Pengaruh Senam Hamil terhadap
Persalinan Kala Satu dan Kala Dua di RS.
Sangladenpasar. www.resep.web.id/kehamilan/6manfaat-senam-hamill14Oktober2011
PENGARUH PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN DENGAN MENGGUNAKAN
NON-REBREATHING MASK (NRM) TERHADAP NILAI TEKANAN
PARSIAL CO2 (PaCO2) PADA PASIEN CEDERA KEPALA SEDANG
(MODERATE HEAD INJURY) DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
RSUP H ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2016
Marlisa
Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan
Abstract
Head injury is any cases that caused high disability and mortallity rate. In neurology, head injury occupies
the first squence and become the main of health problem to most youth, health and productive peoples. The
treatment of head injury treatment is to prevent damage of brain cells by adequate oxygenation. The
objective of the research was to find out the influence of giving oxygent therapy by using non-rebreathing
mask (NRM) towards changing of partial pressure CO2 (PaCO2) value to head injury patients in ICU room
of H. Adam Malik Hospital Medan. The research used the quasi experiment method with time series design.
The samples were 10 respondents, taken by purpossive sampling technique. The instrument of the research
was observation sheet. The result of the research showed that before given the oxygent therapy by using nonrebreathing mask (NRM), 5 respondents (50%) had normal blood pH value, 6 respondents (60%) had low
blood HCO3- value, and 6 respondents (60%) had normal blood PaCO2 value. After given oxygent therapy
found that 5 respondents (50%) had low blood pH value, 6 respondents (60%) had low blood HCO3- value,
and 7 respondents (70%) had low blood PaCO2 value. The result of statistic analyze with T-Test was found
significant influence of changing PaCO2 value with p value = 0,000 (p<0,05). The reduction of PaCO2 value
is followed by increasing of blood pH value and reduction of blood HCO3- value. Using of non-rebreathing
mask (NRM) is only effective for head injury patients with high blood PaCO2.
Keywords : Oxygent Therapy, Non-Rebreathing Mask (NRM), Partial Pressure CO2 (PaCO2), Head Injury
PENDAHULUAN
Cedera kepala (head injury) merupakan salah satu
kasus penyebab kecacatan dan kematian yang tinggi.
Cedera kepala (head injury) dalam neurologi menempati
urutan pertama dan menjadi masalah kesehatan utama oleh
karena korban gawat darurat pada umumnya sebagian
besar orang muda, sehat dan produktif (Sartono et al,
2014).
Cedera kepala (head injury) meliputi luka pada
kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala (head
injury) dapat menimbulkan berbagai kondisi, dari gegar
otak ringan, koma, sampai kematian; kondisi paling serius
disebut dengan istilah cedera otak traumatik (traumatik
brain injury [TBI]). Penyebab paling umum TBI
(traumatik brain injury) adalah jatuh (28%), kecelakaan
kendaraan bermotor (20%), tertabrak benda (19%), dan
perkelahian (11%). Kelompok beresiko tinggi mengalami
TBI (traumatik brain injury) adalah individu yang berusia
15-19 tahun, dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan 2:1. Individu yang berusia 75 tahun atau lebih
memiliki angka rawat inap (hospitalisasi) dan kematian
TBI (traumatik brain injury) tertinggi (Brunner & Suddart,
2013).
Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentasi
cedera kepala (head injury) adalah yang tertinggi, yaitu
sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira sekitar 5%
korban gawat darurat cedera kepala (head injury),
meninggal ditempat kejadian. Cedera kepala (head injury)
memiliki dampak emosi, psikososial, ekonomi yang cukup
besar sebab korban gawat daruratnya sering menjalani
perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah
perawatan rumah sakit masih membutuhkan fasilitas
pelayanan jangka panjang (Sartono et al, 2014).
Cedera kepala (head injury) akan terus menjadi
problem masyarakat yang sangat besar, meskipun
pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini.
Sebagian besar korban dengan cedera kepala (head injury)
(75-80%) adalah cedera kepala ringan, sisanya merupakan
trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah
yang sama. Di indonesia, data tentang cedera kepala (head
injury) ini belum ada. Yang ada barulah data dari beberapa
Rumah Sakit (sporaditis) (Sartono et al, 2014).
Di Amerika Serikat, insidensi terjadinya cedera
otak traumatika sebesar 1,7 juta penduduk/tahun, dari
jumlah tersebut sebanyak 50.000 penduduk/tahun
mengalami kematian, dan sebanyak 5 juta penduduk/tahun
mengalami disabilitas akibat cedera kepala. Cedera kepala
33
umumnya mengenai penderita usia muda (15-19 tahun)
dan dewasa tua usia lebih atau sama dengan 65 tahun,
dimana angka kejadian pada laki-laki 2 kali lebih sering
dibandingkan perempuan. Mekanisme cedera kepala di
Amerika Serikat adalah akibat terjatuh (35,2%),
kecelakaan kendaraan bermotor (34,1%), perkelahian
(10%), dan penyebab lain yang tidak diketahui (21%)
(Iwan A et al, 2015).
Di Indonesia, cedera kepala (head injury)
diakibatkan para pengguna kendaraan bermotor roda dua
terutama bagi yang tidak memakai helm. Hal ini menjadi
tantangan yang sulit karena diantara mereka datang dari
golongan ekonomi rendah sehingga secara sosioekonomi
cukup sulit memperoleh pelayanan kesehatan. Cedera
kepala diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda dua dan
diperkirakan 39% kenaikan per tahun (Lumban toruan,
2015).
Data di ruang bedah saraf RSCM pada September
2014 sampai dengan Maret 2015, pasien cedera kepala
(head injury) yang mengalami intra Cerebral Haematoma
(ICH) sebanyak 8 orang, Sub Dural Haematoma (SDH)
sebanyak 14 orang, Sub Arachnoid Haematoma (SAH)
sebanyak 1 orang, Epidural Haematoma (EDH) sebanyak
18 orang. Cedera kepala ringan (CKR) sebanyak 2 orang,
Cedera kepala sedang (CKS) sebanyak 2 orang, dan
Cedera kepala berat (CKB) sebanyak 2 orang (Lumban
toruan, 2015).
Pengelolaan yang benar dan tepat akan
mempengaruhi outcome pasien. Tujuan utama pengelolaan
cedera kepala (head injury) adalah untuk mencegah atau
mengurangi kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan oleh
keadaan iskemia dan mengoptimalkan pemulihan. Metode
dasar dalam melakukan proteksi otak adalah dengan cara
membebaskan jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat.
Pasien cedera kepala (head injury) penting menjaga kadar
PaO2 dalam batas normal minimal 100 mmHg, bahkan
nilai yang lebih tinggi, yaitu berkisar antara 140-160
mmHg. Apabila PaO2 berada dalam kadar yang terlalu
rendah, maka akan menimbulkan hipoksia yang dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak yang akan
diikuti oleh peningkatan laju aliran darah ke otak, dan
mengakibatkan
terjadinya
peningkatan
tekanan
intrakranial. Apabila kadar PaO2 terlalu tinggi, akan terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah (Safrizal, 2013).
Salah satu cara tata laksana untuk mengendalikan
peningkatan tekanan intrakranial adalah dilakukan suatu
tindakan penurunan PaCO2, pada fase akut terjadinya
trauma. Penurunan dilakukan hingga mencapai kadar
PaCO2 sekitar 20-30 mmHg, yang dikenal sebagai
tindakan hiperventilasi. Penurunan PaCO2 ini akan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak dan
kondisi ini secara langsung akan menyebabkan penurunan
laju aliran darah ke otak; dengan akibat (secara tidak
langsung) akan menurunkan tekanan intrakranial
(Hendrizal, 2013).
Penelitian terhadap 16 sampel pasien cedera kepala
sedang dari bulan Desember 2012 sampai Januari 2013
yang masuk IGD RS. Dr. M. Djamil Padang didapatkan
nilai rata-rata pCO2 sebelum dan sesudah terapi oksigen
34
menggunakan Non-Rebreathing mask (NRM) masingmasing 32,06 ± 6,35 dan 39,00 ± 3,74. Nilai pH darah
setelah pemberian terapi ini 75% berada pada nilai normal
(Hendrizal, 2013).
Berdasarkan hasil study pendahuluan yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan pada tanggal
22 Desember 2015, ditemukan data pasien cedera kepala
(head injury) yang dirawat di ruang bedah syaraf mulai
dari Januari 2015-22 Desember 2015 sebanyak 116 orang.
Angka ini telah menurun secara signifikan apabila
dibandingkan dengan jumlah kasus yang terjadi selama
dua tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2014 sebanyak
235 orang dan pada tahun 2013 sebanyak 572 orang
(Rekam Medik, 2015).
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi
experiment dengan desain penelitian time series design.
Penelitian dilakukan Di ICU RSUP H. Adam Malik
Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
pasien cedera kepala sedang yang dirawat di ruang ICU
RSUP H. Adam Malik Tahun 2016.
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien cedera
kepala yang baru masuk dari IGD dengan GCS 9-13.
Pengambilan sampel menggunakan Puposive Sampling.
Besar sampel dalam penelitian ini adalah 10 responden.
HASIL
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan oleh
peneliti di Ruang ICU RSUP H. Adam Malik Medan pada
tanggal 17-24 Juli 2016 ditemukan data sebagai berikut:
Tabel 1
Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Nilai pH Darah Sebelum
Diberikan Terapi Oksigen Dengan
Menggunakan Non-Rebreathing Mask
(NRM)
Nilai Rujukan pH
f
%
Darah
Rendah (<7.35)
2
20.0
Normal (7.35-7.45)
5
50.0
Tinggi (>7.45)
3
30.0
Total
10
100.0
Dari tabel 4.1 diatas dapat diketahui bahwa dari 10
responden mayoritas responden memiliki nilai pH
darah yang normal yaitu, 5 responden (50%).
Tabel 4.2
Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Nilai pH Darah Sesudah
Diberikan Terapi Oksigen Dengan
Menggunakan Non-Rebreathing Mask
(NRM)
Nilai Rujukan pH Darah
f
%
Rendah (<7.35)
5
50.0
Normal (7.35-7.45)
5
50.0
Total
10
100.0
Dari tabel 4.2 diatas dapat diketahui bahwa dari 10
responden responden sebanyak 5 responden (50%)
memiliki nilai pH darah yang normal dan 5 responden
(50%) memiliki nilai pH darah yang rendah.
Tabel 4.3
Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Nilai Bikarbonat (HCO3-)
Dalam Darah Sebelum Diberikan Terapi
Oksigen Dengan Menggunakan NonRebreathing Mask (NRM)
Nilai Rujukan Bikarbonat
f
%
(HCO3-) Darah
Rendah (<22 mmol/L)
6
60.0
Normal (22-26 mmol/L)
3
30.0
Tinggi (>26 mmol/L)
1
10.0
Total
10
100.0
Dari tabel 4.3 diatas dapat diketahui bahwa dari 10
responden mayoritas responden memiliki nilai
Bikarbonat (HCO3-) dalam darah yang rendah, yaitu 6
responden (60%).
Tabel 4.4
Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Nilai Bikarbonat (HCO3-)
Dalam Darah Sesudah Diberikan Terapi
Oksigen Dengan Menggunakan NonRebreathing Mask (NRM)
Nilai Rujukan Bikarbonat
f
%
(HCO3-) Darah
Rendah (<22 mmol/L)
7
70.0
Normal (22-26 mmol/L)
3
30.0
Total
10
100.0
Dari tabel 4.4 diatas dapat diketahui bahwa dari 10
responden mayoritas responden memiliki nilai
Bikarbonat (HCO3-) dalam darah yang rendah, yaitu 7
responden (70%).
Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Nilai Tekanan Parsial CO2
(PaCO2) Darah Sebelum Diberikan
Terapi Oksigen Dengan Menggunakan
Non-Rebreathing Mask (NRM)
Nilai Rujukan
Tekanan
f
%
Parsial CO2 (PaCO2) Darah
Normal (35-45 mmHg)
6
60.0
Tinggi (>45 mmHg)
4
40.0
Total
10
100.0
Tabel 4.6
1Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Nilai Tekanan Parsial CO2
(PaCO2)
Dalam
Darah
Sesudah
Diberikan Terapi Oksigen Dengan
Menggunakan Non-Rebreathing Mask
(NRM)
Nilai Rujukan Tekanan
Parsial
CO2
(PaCO2)
f
%
Darah
Rendah (<35 mmHg)
7
70.0
Normal (35-45 mmHg)
3
30.0
Total
10
100.0
Dari tabel 4.6 diatas dapat diketahui bahwa dari 10
responden mayoritas responden memiliki nilai tekanan
parsial CO2 (PaCO2) dalam darah yang rendah, yaitu 7
responden (70%).
Tabel 4.7
Distribusi Pengaruh Perubahan Nilai
Pengaruh Perubahan Tekanan Parsial
CO2 (PaCO2) Terhadap Perubahan Nilai
pH Darah Sesudah Diberikan Terapi
Oksigen Dengan Menggunakan NonRebreathing Mask (NRM)
PaCO2
AGDA
Total %
<35
35-45
%
%
mmHg
mmHg
<7.35
3
60
2
40
5
50
pH 7.354
80
1
20
5
50
7.45
Total
10 100
Dari tabel 4.7 diatas dapat diketahui bahwa penurunan nilai
tekanan parsial CO2 (PaCO2) diikuti dengan peningkatan
nilai pH darah, yaitu sebanyak 4 responden (80%).
Tabel 4.8
Tabel 4.5
Dari tabel 4.5 diatas dapat diketahui bahwa dari 10
responden mayoritas responden memiliki nilai tekanan
parsial CO2 (PaCO2) dalam darah yang normal, yaitu 6
responden (60%).
Distribusi Pengaruh Perubahan Nilai
Pengaruh Perubahan Tekanan Parsial
CO2 (PaCO2) Terhadap Perubahan Nilai
Bikarbonat (HCO3-) Dalam Darah
Sesudah Diberikan Terapi Oksigen
Dengan Menggunakan Non-Rebreathing
Mask (NRM)
AGDA
<22
H mmol/L
CO3- 22-26
mmol/L
<35
mmHg
PaCO2
35-45
%
mmHg
%
Total
%
7
100
0
0
7
70
0
0
3
100
3
30
10
100
Total
Dari tabel 4.8 diatas dapat diketahui bahwa
penurunan nilai tekanan
parsial CO2 (PaCO2) diikuti
dengan penurunan nilai bikarbonat (HCO3-) dalam darah,
yaitu sebanyak 7 responden (100%).
Berdasarkan hasil analisis dengan mengunakan
Uji-T
berpasangan
ditemukan
pengaruh
yang
bermakna/signifikan dari terapi oksigen dengan
menggunakan non - rebreathing mask (NRM) terhadap
35
perubahan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) sebelum dan
sesudah dengan nilai p value = 0,000 (p<0.05).
PEMBAHASAN
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala yang disebabkan oleh benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi dan mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik. Tujuan utama pengelolaan cedera
kepala adalah untuk mencegah dan mengurangi
kerusakan sel-sel otak dengan cara membebaskan jalan
napas dan oksigenasi yang adekuat. Suplai oksigen ke
jaringan otak bergantung pada molekul Hb dan
selanjutnya bergantung pada pH darah dan PaCO2
darah. Kadar CO2 akan menimbulkan efek asiditas atau
alkalinitas darah. Hal ini ditentukan oleh nilai
bikarbonat darah (HCO3-) sebagai sistem bufer utama
dalam tubuh. Salah satu tata laksana untuk
mengendalikan tekanan intrakranial dilakukan dengan
tindakan penurunan PaCO2.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17-24
Juli 2016 di ruang ICU RSUP H. Adam Malik Medan.
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui
pengaruh
pemberian
terapi
oksigen
dengan
menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) terhadap
perubahan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) pada
pasien cedera kepala sedang (moderate head injury).
Non-Rebreathing Mask (NRM) memungkinkan
penghantaran oksigen dengan konsentrasi sekitar 95%
pada laju aliran 12 L/mnt untuk mempertahankan kadar
tekanan parsial CO2 (PaCO2) darah sekitar 20-30
mmHg.
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 10
sampel pasien cedera kepala sedang di ruang ICU
RSUP H. Adam Malik Medan ditemukan bahwa
sebelum diberikan terapi oksigen dengan menggunakan
Non-Rebreathing Mask (NRM) mayoritas responden
memiliki nilai pH darah yang normal yaitu sebanyak
5 responden (50%), nilai Bikarbonat (HCO3-) dalam
darah yang rendah, yaitu 6 responden (60%), dan nilai
tekanan parsial CO2 (PaCO2) dalam darah yang normal,
yaitu 6 responden (60%). Sesudah diberikan terapi
oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask
(NRM) ditemukan bahwa sebanyak 5 responden (50%)
memiliki nilai pH darah yang normal dan 5
responden(50%) memiliki nilai pH darah yang rendah,
nilai Bikarbonat (HCO3-) dalam darah yang rendah,
yaitu 7 responden (70%) dan tekanan parsial CO2
(PaCO2) dalam darah yang rendah, yaitu 7 responden
(70%). Berdasarkan hasil crosstab perubahan nilai
tekanan parsial CO2 (PaCO2) terhadap nilai pH dan
nilai Bikarbonat (HCO3-) dalam darah setelah terapi
oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask
(NRM) memperlihatkan bahwa
penurunan nilai
tekanan parsial CO2 (PaCO2) diikuti dengan
peningkatan nilai pH darah, yaitu sebanyak 4
responden (80%) dan penurunan nilai bikarbonat
(HCO3-) dalam darah, yaitu sebanyak 7 responden
(100%).
36
Berdasarkan hasil Uji-T berpasangan ditemukan
hubungan bermakna perubahan nilai PaCO2 sebelum
dan sesudah diberikan terapi oksigen dengan
menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) dengan
nilai nilai p value = 0,000 (p<0,05) dan hubungan
bermakna perubahan nilai PaCO2 terhadap perubahan
nilai pH dan dan HCO3- sesudah diberikan terapi
oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask
(NRM), dengan nilai p value = 0,000 (p<0.05). Dari
hasil uji ini dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam
penelitian ini diterima.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Hendrizal (2013). Penelitian yang dilakukan terhadap
16 sampel pasien cedera kepala sedang dari bulan
Desember 2012 sampai Januari 2013 yang masuk IGD
RS. Dr. M. Djamil Padang didapatkan nilai rata-rata
paCO2 sebelum dan sesudah terapi oksigen
menggunakan Non-Rebreathing mask (NRM) masingmasing 32,06 ± 6,35 dan 39,00 ± 3,74. Nilai pH darah
setelah pemberian terapi ini 75% berada pada nilai
normal.
Menurut Guyton, A (2008) konsentrasi CO2
dalam alveolus 40 mmHg (5,3%) dan konsentrasi O2
104 mmHg (13,6%). Sedangkan terapi oksigen dengan
menggunakan
Non-Rebreathing
mask
(NRM)
memungkinkan
penghantaran
oksigen
dengan
konsentrasi 95%. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan
ekskresi
CO2
dan
menurunkan
konsentarasi CO2 dengan cepat. Keadaan ini disebut
Efek Haldane. Efek Haldane disebabkan oleh gabungan
O2 dengan Hb dalam paru menyebabkan Hb menjadi
asam yang lebih kuat. Hal ini akan menyebabkan
berpindahnya CO2 dengan dua cara yaitu, (1) semakin
tinggi
keasaman
Hb,
semakin
berkurang
kecenderungannya untuk bergabung dengan CO2 untuk
membentuk karbaminohemoglobin, jadi memindahkan
banyak CO2 dari darah dalam bentuk karbamino dan
(2) meningkatnya keasaaman Hb juga menyebabkan
Hb melepaskan sejumlah H+, dan ion-ion ini akan
berikatan dengan bikarbonat (HCO3-) untuk
membentuk asam karbonat (H2CO3), kemudian akan
terurai menjadi H2O dan CO2 yang akan dikeluarkan
dari darah masuk ke alveoli dan akhirnya ke udara.
Penurunan 1 mEq bikarbonat (HCO3-), akan
menurunkan tekanan parsial CO2 (PaCO2) sebesar 1,3
mmHg. Sementara itu, apabila kadar PaCO2 arteri turun
terlalu rendah, melalui mekanisme vasokonstriksi akan
menyebabkan spasme pada pembuluh darah otak serta
mengancam terjadinya iskemik. Karena penurunan
PaCO2 1 mmHg akan menurunkan laju aliran darah ke
otak sebesar 2%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa,
tidak semua pasien cedera kepala terutama pasien
cedera kepala sedang harus diberikan terapi oksigen
dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM).
Penggunaan Non-Rebreathing Mask (NRM) hanya
efektif pada pasien cedera kepala dengan PaCO2 darah
yang tinggi (Hiperkarbia).
Berdasarkan pembahasan diatas, diperlukan
manajemen keperawatan dalam menlaksanakan
tindakan
pemberian
terapi
oksigen
dengan
menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM).
Manajemen keperawatan adalah rangkaian kegiatan
pelayanan keperawatan yang menerapkan fungsi-fungsi
manajemen mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan dan pengawasan (Suarli, 2013). Fungsi
perawat dalam perencanaan adalah melakukan
penilaian awal terhadap kondisi pasien dengan cedera
kepala sedang. Fungsi perawat dalam pengorganisasian
adalah melaporkan hasil pengkajian kepada dokter
untuk menentukan terapi oksigen yang akan diberikan,
melibatkan keluarga pasien dengan cara memberikan
informed consent dan menjelaskan tujuan terapi terapi
oksigen Non-Rebreathing Mask (NRM). Fungsi
perawat dalam penggerakan adalah melukukan
implementasi keperawatan dengan cara berkolaborasi
dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen dengan
menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM). Dan
fungsi perawat dalam pengawasan adalah melakukan
pemantauan tehadap kondisi fisik pasien dan hasil
AGDA pasien.
KESIMPULAN
1.
2.
3.
Sebelum dan sesudah diberikan terapi oksigen
dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask
(NRM) adalah mayoritas responden memiliki nilai
pH darah normal dan nilai Bikarbonat (HCO3-)
darah rendah sedangkan nilai tekanan parsial CO2
(PaCO2) darah responden mayoritas normal dan
rendah.
Penurunan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2)
sesudah diberikan terapi oksigen dengan
menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM)
diikuti dengan peningkatan
nilai pH darah dan
penurunan nilai bikarbonat (HCO3-) darah.
Ditemukan pengaruh yang bermakna/signifikan
perubahan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2)
sebelum dan sesudah terapi dengan nilai p value =
0,000 (p<0.05).
SARAN
1.
2.
3.
Bagi Keluarga Pasien
Keluarga pasien harus lebih aktif dalam
pengambilan keputusan tentang terapi yang akan
diberikan.
Bagi Perawat
Perawat diharapkan selalu melakukan pemantauan
terhadap hasil AGDA pasien cedera kepala sedang
untuk menentukan terapi apa yang harus diberikan
kepada pasien selanjutnya.
Bagi RSUP H. Adam Malik Medan
Tenaga kesehatan perlu diberikan pelatihan
mengenai perawatan terbaru pasien cedera kepala
sedang. Sehingga tenaga kesehatan lebih hati-hati
dalam pemberian terapi oksigen dengan
menggunankan Non-Rebreathing Mask (NRM)
pada pasien cedera kepala sedang.
4.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan pada peneliti selanjutnya meneliti
tentang pengaruh pemberian terapi oksigen dengan
menggunakan Non-Breathing Mask (NRM)
terhadap perubahan nilai tekanan intrakranial
(TIK) pada pasien cedera kepala.
DAFTAR PUSTAKA
AR, Iwan et al. 2015. Terapi Hiperosmolar Pada
Cadera Otak Traumatika. Jurnal Neurologi
Indonesia:http://inasnacc.org/images/Artikel/
vol4no2juni2015/iwanAjuni2015.pdf,
diunduh
pada tanggal 03 Desember 2015
Brunner & Suddart. 2013. Keperawatan Medikal –
bedah Edisi 12. Jakarta : EGC
Depkes RI. 2006. Standart Pelayanan Keperawatan
di
ICU.http://perpustakaan.depkes.go.id:8
180/bitstream//123456789/760/4/BK2006G90.pdf, diunduh pada tanggal 31 Januari
2016
Dewi, NMA. 2012. Autoregulasi Serebral Pada
CederaKepala.http://download.portalgaruda.
org/article.php?article=82587&val=970,
diunduh pada tanggal 02 Desember 2015
Francis, Caia. 2008. Perawatan Respirasi. Jakarta:
Erlangga
Ganong, FW. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC
Guyton & Hall. 2007. Fisiologi Kedokteran.Jakarta:
EGC
Hendrizal, 2013. Pengaruh Pemberian Terapi Oksigen
Dengan Menggunakan
NonRebreathing Mask
(NRM) terhadap Nilai
Tekanan
Parsial
CO2
(PaCO2) pada
Pasien
Cedera
Kepala
Sedang. http://jurnal.fk.unand.
ac.id/index
.php/jka/article/download/23/18,
diunduh
pada tanggal 01
Desember 2015
Isyan, YA et al. 2009. Cedera Kepala Dan Fraktur
Kriris. Riau: Fakultas
Kedokteran
Riau
Japardi, Iskandar. 2004. Cedera Kepala. Jakarta:
PT Buana Ilmu Populer
Jevon, Philip et al. 2008. Pemantauan Pasien Kritis
Edisi 2. Jakarta: Erlangga
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Interpretasi Data
Klinik.http://binfar.kemkes.go.id/?wpdmact=p
rocess&did=MTcyLmhvdGxpbms=, di
unduh pada tanggal 06 Juli 2015
Kemenkes RI. 2011. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan
Intensive Care unit (ICU) di
Rumah
Sakit.
http://www.perdici.org/wp- content/uploads/PedomanICU.pdf, diunduh pada tanggal 25 Februari 2016
Muttaqin,
Arif.
2008.
Buku
Ajar
Asuhan
Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba
Medika
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
Sartono, H et al. 2014. Basic Trauma Cardiac Life
Support.Bekasi: GADAR Medik Indonesia
37
Setiadi. 2013. Konsep Dan Praktik Penulisan Riset
Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Suarli, S et al. 2013. Manajemen Keperawatan Dengan
Pendekatan Praktis.Jakarta: Erlangga
Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Bandung:
CV. Alfabeta
Sumatri, Fritz. 2005. Resiko kematian pada pasien
cedera kranioserebral berat ditinjau
dari
aspek
PaO2
dan
PaCO2.
http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak110377.pdf, diunduh pada 03 Desember
20015
38
Potter
& Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A et al.2005. Patofisiologi Konsep
Klinis dan Proses – Proses Penyakit.
Jakata: EGC.
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN TINDAKAN SISWA/I TERHADAP
KELUHAN SAKIT GIGI SMA PGRI 24 TALUN KENAS
KECAMATAN STM HILIR TAHUN 2016
Nelly Katharina Manurung
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Persepsi sakit bisa dipengaruhi oleh pengetahuan tentang penyakit karena semakin besar persepsinya
terhadap sakit, semakin besar pengetahuannya tentang penyakit. Banyak orang keliru dalam memilih cara
pengobatan yang tepat, disebabkan mereka tidak tahu tentang penyebab penyakit dan upaya pencegahannya.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan tindakan siswa/i terhadap keluhan
sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Tahun 2016. Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan metode survey yang menggunakan kuesioner. Sampel dalam penelitian ini adalah total
populasi yang berjumlah 52 orang siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Tahun 2016.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan siswa/i tentang keluhan sakit gigi paling banyak
dalam kriteria baik, yaitu sebanyak 44 responden (84,6%). Sebagian besar (71,15%) siswa/i pernah
mengalami sakit gigi. Tindakan siswa/i dalam mengatasi keluhan sakit gigi paling banyak berada dalam
kriteria baik, yaitu sebanyak 35 responden (67,3%). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan dan tindakan siswa/i sudah baik. Namun siswa/i belum mengetahui tindakan yang tepat untuk
menanggulangi gigi berlubang.
Kata kunci: Pengetahuan, Tindakan, Keluhan Sakit Gigi
Pendahuluan
Kesehatan merupakan bagian terpenting dalam
kehidupan manusia, sehat secara jasmani dan rohani.
Tidak terkecuali anak-anak, setiap orang tua
menginginkan anaknya bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal, hal ini dapat dicapai jika tubuh mereka
sehat. Kesehatan yang perlu diperhatikan selain
kesehatan tubuh secara umum, juga kesehatan gigi dan
mulut, karena kesehatan gigi dan mulut dapat
mempengaruhi kesehatan tubuh secara menyeluruh.
Dengan kata lain bahwa kesehatan gigi dan mulut
merupakan bagian integral dari kesehatan tubuh secara
keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan dari kesehatan
tubuh secara umum. Untuk mencapai kesehatan gigi
dan mulut yang optimal, maka harus dilakukan
perawatan secara berkala (Kusumawardani, E, 2011).
Pada UU kesehatan tahun 2009 BAB VI pasal
93 dan pasal 94, di sebutkan bahwa pelayanan
kesehatan dan mulut dilakukan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan
penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi dan pemulihan
kesehatan gigi oleh pemerintah, pemerintah daerah,
atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu,
terintegrasi
dan
berkesinambungan.
Pelayanan
kesehatan gigi dapat dilaksanakan meliputi pelayanan
kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi
masyarakat, dan usaha kesehatan gigi sekolah.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat
kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman,
bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat (UU
Kesehatan, 2009).
Di Indonesia masalah kesehatan gigi cukup
besar, hal ini di sebabkan karena kesadaran masyarakat
dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut masih
rendah, terlihat masih tingginya angka kesehatan gigi
dan mulut. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) nasional tahun 2013, sebesar 25,9 persen
penduduk Indonesia mempunyai masalah gigi dan
mulut. Sebanyak 31,1 persen diantaranya menerima
perawatan dan pengobatan dari tenaga medis gigi
(perawatan gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis),
sementara 68,9 persen lainnya tidak dilakukan
perawatan.
Secara
keseluruhan
keterjangkauan/kemampuan
untuk
mendapatkan
pelayanan dari tenaga medis gigi hanya 8,1 persen
(Depkes RI, 2013).
Penyebab sakit gigi yang sering terjadi adalah
gigi berlubang atau karies gigi. Karies mula-mula
terjadi pada email. Bila tidak segera dibersihkan dan
tidak segera ditambal, karies akan menjalar ke dentin
hingga sampai ke ruangan pulpa yang berisi pembuluh
saraf dan pembuluh darah, sehingga menimbulkan rasa
sakit dan akhirnya gigi tersebut bisa mati
(Kusumawardani, E, 2011).
Rasa nyeri merupakan tanda adanya masalah
fisik yang harus segera diatasi termasuk rasa nyeri pada
gigi. Rasa nyeri ini bisa terjadi pada anak-anak dan
orang dewasa. Rasa nyeri pada gigi yang dirasakan
biasanya terjadi akibat abses pulpa dan abses
39
dentoalveolar. Rasa nyeri ini dapat muncul tiba-tiba
dan biasanya ditandai dengan inflamasi dan infeksi
pada gigi yang berlubang, mengalami trauma, dan gigi
yang ditambal. Nyeri akan terasa selama beberapa jam
terakhir pada saat tidur, makan , minum minuman yang
sangat dingin, atau kegiatan lainnya (Mumpuni, Y,
2013).
Persepsi sakit ini bisa dipengaruhi oleh
pengetahuan tentang penyakit. Semakin besar
persepsinya
terhadap
sakit,
semakin
besar
pengetahuannya tentang penyakit. Banyak orang keliru
memilih cara pengobatan yang tepat, disebabkan
mereka tidak tahu tentang penyebab penyakit dan
upaya pencegahannya.
Rendahnya pengetahuan mengenai kesehatan
merupakan factor predisposisi dari perilaku kesehatan
yang mengarah kepada timbulnya penyakit.
Pengetahuan ini erat pula kaitannya dengan sikap
seseorang tentang penyakit dan upaya pencegahannya.
Hubungan perilaku berupa tindakan dengan
pengetahuan, kepercayaan, dan persepsi dijelaskan oleh
Rosenstock (1974) dalam model kepercayaan
kesehatan atau Health Belief Model. Penjelasannya
adalah
bahwa kepercayaan seseorang terhadap
kerentanan dirinya dari suatu penyakit dan potensi
penyakit, akan menjadi dasar seseorang melakukan
tindakan pencegahan atau pengobatan terhadap
penyakit tersebut (Budiharto, 2010).
Hasil survey awal di SMA PGRI 24 Talun
Kenas menunjukkan bahwa sebagian besar siswa/i yang
pernah mengalami sakit gigi. Berdasarkan dari uraian
diatas maka peneliti tertarik meneliti gambaran
pengetahuan dan tindakan siswa/i terhadap keluhan
sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun Kenas
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran pengetahuan dan tindakan siswa/i terhadap
keluhan sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun Kenas
Kecamatan STM Hilir Tahun 2016.
Metode
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif
dengan metode survey. Pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan kuesioner tentang pengetahuan
dan tindakan siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas
Kecamatan STM Hilir terhadap keluhan sakit gigi.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di SMA PGRI 24
Talun Kenas Kecamatan STM Hilir, dengan
pertimbangan bahwa di tempat tersebut belum pernah
dilakukan penelitian sejenis.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan
siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir
yang berjumlah 52 orang.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini siswa/i SMA PGRI
24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir yang pernah
mengalami sakit gigi sebanyak 52 orang.
40
Hasil
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada
52 orang siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas
Kecamatan STM Hilir. Data yang sudah terkumpul
dibuat kedalam tabel distribusi frekuensi sebagi
berikut.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan kriteria
pengetahuan siswa/i dalam mengatasi
keluhan sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun
Kenas Kecamatan STM Hilir
Kriteria
Sampel (n)
Persentase
Pengetahuan
Baik
44
84,6
Sedang
7
13,5
Buruk
1
1,9
Jumlah
52
100
Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat
bahwa tingkat pengetahuan siswa/i SMA PGRI 24
Talun Kenas Kecamatan STM Hilir yang paling banyak
dalam kriteria baik yaitu sebanyak 44 responden
(84,6%), kriteria sedang sebanyak 7 responden (13,5%)
dan hanya 1 orang (1,9%) dengan kriteria buruk.
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi berdasarkan kriteria
tindakan siswa/i dalam mengatasi keluhan
sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun Kenas
Kecamatan STM Hilir
Kriteria
Sampel (n)
Persentase
Tindakan
Baik
35
67,3
Sedang
17
32,7
Buruk
0
0
Jumlah
52
100
Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat dilihat
bahwa tingkat tindakan siswa/i SMA PGRI 24 Talun
Kenas Kecamatan STM Hilir yang paling banyak
dalam kriteria baik yaitu sebanyak 35 responden
(67,3%), kriteria sedang sebanyak 17 responden
(32,7%) dan tidak ada (0%) dengan kriteria buruk.
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pengalaman pernah
dan tidak pernah mengalami sakit gigi
pada siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas
Kecamatan STM Hilir
NO
Pengalaman
Sampel (n)
Persentase
Sakit Gigi
1.
Pernah
37
71,15
2.
Tidak pernah
15
28,85
Jumlah
52
100
Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat
bahwa pengalaman pernah dan tidak pernah mengalami
sakit gigi siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas
Kecamatan STM Hilir yang paling banyak pernah
mengalami sakit gigi yaitu sebanyak 37 responden
(71,15%), dan yang tidak pernah mengalami sakit gigi
yaitu sebanyak 15 responden (28,85%).
Pembahasan
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat
pengetahuan siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas
Kecamatan STM Hilir dalam kriteria baik yaitu sebanyak
44 responden (84,6%). Namun masih ada siswa/i yang
tidak tahu tindakan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap
gigi berlubang yaitu sebanyak 24 responden (46,15%).
Gigi yang berlubang harus segera dirawat karena
dapat mengakibatkan rasa sakit pada gigi yang timbul
secara berulang-ulang dan dapat mengganggu aktivitas
sehari–hari. Gigi berlubang sangat rentan terhadap infeksi
bakteri, untuk gigi berlubang pada permukaan, penambalan
gigi dapat dilakukan segera setelah keluhan sakit gigi
berkurang. Sedangkan untuk gigi berlubang yang dalam,
sebelum dilakukan penambalan terlebih dahulu harus
dilakukan perawatan PSA yang bertujuan untuk
membersihkan saluran akar gigi agar menjadi steril dan
terbebas dari infeksi bakteri. Saluran akar gigi ini
kemudian diisikan dengan bahan pengisi saluran akar
untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri pada
saluran akar. Setelah beberapa hari kemudian dan pasien
tidak mempunyai keluhan pada gigi, lubang yang
menganga tersebut kemudian ditutup dengan cara restorasi
(Muhlisin, A, 2016).
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa tingkat
tindakan siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas
Kecamatan STM Hilir dalam kriteria baik yaitu
sebanyak 35 responden (67,3%). Namun 39 responden
(75%) tidak melakukan tindakan yang tepat agar gigi
berlubang tidak semakin meluas (parah) dan tidak sakit.
Penambalan merupakan suatu prosedur medis
untuk mengembalikan fungsi gigi akibat kerusakan
gigi, seperti fraktur gigi, pembusukan gigi (karies) atau
akibat trauma lain pada permukaan gigi. Penambalan
ada kalanya diawali pengeboran yang tujuan untuk
mengangkat dan membersihkan struktur gigi yang telah
dirusak oleh asam yang diproduksi bakteri. Setelah
struktur yang rusak dibersihkan, lubang gigi harus diisi
kembali untuk mengembalikan fungsi gigi seperti
semula dan untuk mencegah proses kerusakan gigi
yang lebih lanjut. Gigi yang mengalami kerusakan akan
sulit digunakan untuk makan, dapat menjadi nyeri, atau
bahkan mengalami infeksi. Tindakan penambalan gigi
tanpa pengeboran hanya dilakukan pada karies dini dan
pada gigi yang rentan terhadap karies (Pratiwi, 2009).
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian
besar siswa/i (71,15%) pernah mengalami sakit gigi.
Masalah terbesar yang dihadapi saat ini di
bidang kesehatan gigi dan mulut adalah penyakit
jaringan keras gigi (caries dentis) dan penyakit gusi.
Menurut Riskesdas 2013 terjadi peningkatan prevalensi
terjadinya karies aktif pada penduduk Indonesia
dibandingkan tahun 2007 lalu, yaitu dari 43,4 % (2007)
menjadi 53,2 % (2013). Hal ini menunjukkan suatu
peningkatan yang cukup tinggi terlebih jika kita
konversikan ke dalam jumlah absolut penduduk
Indonesia. Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan
prevalensi karies aktif karies yang belum ditangani atau
belum dilakukan perawatan 53,2 %, ini berarti bahwa
di Indonesia terdapat 93.998.727 jiwa yang menderita
karies aktif. Angka ini cukup fantastis dalam status
kesehatan masyarakat di Indonesia, karena hampir
mengenai separuh penduduk di Indonesia (Evida, D,
2015).
Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang gambaran pengetahuan
dan tindakan siswa/i terhadap keluhan sakit gigi di
SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir
dapat ditarik keKesimpulan sebagai berikut :
1. Pengetahuan siswa/i tentang sakit gigi berada
dalam kriteria baik, yaitu sebanyak 44 responden
(84,6%).
2. Sebagian besar siswa/i (35 responden atau 67,3%)
sudah dapat mengatasi keluhan sakit gigi dengan
tepat.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
peneliti memberikan saran sebagai berikut:
1. Diharapkan kepada pihak Sekolah SMA PGRI 24
Talun Kenas Kecamatan STM Hilir agar dapat
menyampaikan materi tentang kesehatan gigi dan
mulut dalam pendidikan jasmani dan kesehatan
bagi siswa/i.
2. Diharapkan agar Kepala Sekolah SMA PGRI 24
Talun Kenas Kecamatan STM Hilir dapat bekerja
sama dengan Puskesmas atau instansi kesehatan
terkait untuk mengadakan penyuluhan tentang
sakit gigi dan cara mengatasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta: 2013
Budiharto. 2010. Pengetahuan Ilmu Perilaku Kesehatan
Dan Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta: EGC.
Kusumawardani, E. 2011. Buruknya Kesehatan Gigi dan
Mulut. Yogyakarta: Hanggar Kreator.
Margareta, S. 2012. 101 Tips dan Terapi Alami Agar Gigi
Putih dan Sehat. Yogyakarta: Pustaka Cerdas.
Mumpuni, Y dan E Pratiwi. 2013. 45 Masalah dan Solusi
Penyakit Gigi dan Mulut. Yogyakarta: Rapha
Publishing.
Notoadmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Tarigan, R. 2012. Karies Gigi. Jakarta: EGC.
Pratama,
A
.
2015.
Karies
Gigi.
http://adifkgugm.blogspot.co.id/2015/09/kariesgigi.html. 22 Februari 2016
Zulmiyusrini, P. 2014. Sakit Gigi.
http://www.kerjanya.net/faq/10947-sakit-gigi.html.
22
Februari 2016.
Evida,D, 2015. 93 Juta Lebih Penduduk Indonesia
Menderita
Karies
Aktif
http://www.kompasiana.com/de-be/93-juta-lebihpenduduk-indonesia-menderita-karies-aktif. 30 Juni
2016.
Muhlisin, A, 2016. Gigi dan mulut, obat sakit gigi
http://mediskus.com/tips/obat-sakit-gigi. 30 Juni
2016.
41
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU LANSIA TERHADAP
PENCEGAHAN PENINGKATAN ASAM URAT DI POSKESDES
DESA PARULOHAN KECAMATAN LINTONGNIHUTA
KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
TAHUN 2016
Adelima C R Simamora
Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan
Abstrak
Asam urat adalah sisa metabolik berupa kristal purin yang secara alamiah berada dalam darah, kadar asam
urat normal dalam darah pria dewasa adalah 3,5 -7,2 mg/dl dan pada wanita 2,6 - 6,0 mg/dl. Zat purin adalah
zat alami yang merupakan salah satu kelompok struktur kimia pembentuk DNA dan RNA yang berasal dari
hasil produksi tubuh sendiri dan dari makanan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan Design Crossectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia penderita asam urat
yang datang berobat ke Poskesdes Desa Parulohan. Besar sampel adalah 35 responden. Pengumpulan data
menggunakan kuesioner. Analisa data menggunakan uji uji chi-square dengan taraf signifikasi α = 0,05. Dari
hasil penelitian terhadap 35 responden menunjukkan bahwa mayoritas berpengetahuan cukup sebanyak 20
orang (57,1%), mayoritas perilaku kategori baik sebanyak 17 orang (48,6%). Sedangkan mayoritas untuk
pencegahan kategori baik sebanyak 27 orang (80,0%). Tidak ada hubungan pengetahuan lansia asam urat
terhadap pencegahan peningkatan asam urat dimana X2 hitung < X2 tabel dan ada hubungan perilaku lansia
asam urat terhadap pencegahan peningkatan asam urat dimana uji chi-square X2 hitung > X2 tabel. Kepada
lansia penderita asam urat agar lebih meningkatkan pengetahuannya mengenai pencegahan peningkatan
asam urat dan memperhatikan kesehatannya khususnya dalam mengurangi mengonsumsi makanan tinggi
protein dan pemeriksaaan dini..
Kata kunci : Pengetahuan, Perilaku, lansia, terhadap peningkatan asam urat
Pendahuluan
Masalah asam urat atau biasa disebut dengan
gout merupakan salah satu penyakit tertua yang
dikenal manusia. Asam urat dianggap sebagai penyakit
para raja atau penyakit kalangan sosial elite yang
disebabkan karena terlalu banyak makan dan minum
minuman keras, seperti daging dan anggur, atau dapat
dikatakan bahwa asupan makanan dan minuman yang
tidak teratur sangat berhubungan erat dengan kejadian
asam urat.
Asam urat dapat tertimbun di mana saja.
Sekitar 75 % serangan pertama gout adalah sendi pada
pangkal ibu jari kaki. Selain pada sendi, penimbunan
asam urat bisa juga pada ginjal, saluran kencing,
jantung, telinga dan ujung-ujung jari (ibu jari kaki).
Tumpukan asam urat di sendi dan jaringan sekitar sendi
akan menyebabkan rasa nyeri yang kuat dan
pembengkakan sekitar sendi. Timbunan asam urat di
ginjal dan saluran kencing akan menyebabkan penyakit
pada ginjal yang bisa berkembang menjadi gagal ginjal
permanen, akibatnya seseorang harus melakukan cuci
darah sepanjang hidupnya. Selain itu, timbunan asam
urat pada jantung, akan menimbulkan penyakit jantung
dan hipertensi (Damayanti, 2012).
42
Menurut
badan kesehatan dunia/WHO
(2007), penderita asam urat pada tahun 2004 mencapai
230 juta. Prevalensi asam urat di dunia sangat
bervariasi dan penelitian epidemiologi menunjukkan
peningkatan kejadian asam urat, terutama di Negara –
negara maju, karena di Negara maju mereka
mengkonsumsi makanan yang berlemak dan
mengandung kadar purin yang tinggi. Berdasarkan
data asam urat di dunia tercatat sebanyak 47.150 jiwa
orang di dunia menderita asam urat, kejadian asam urat
terus meningkat pada tahun 2005 dan menyerang pada
usia pertengahan 40-59 tahun (Achmad, 2009).
Berdasarkan
survei
WHO,
Indonesia
merupakan Negara terbesar ke 4 di dunia yang
penduduknya menderita asam urat dan berdasarkan
sumber dari Buletin Natural, di Indonesia penyakit
asam urat 35% terjadi pada pria di bawah usia 34
tahun. Peningkatan kadar asam urat darah atau
hiperurisemia adalah kadar asam urat darah di atas 7
mg/dl pada laki-laki dan di atas 6 mg/dl pada
perempuan. Insiden gout meningkat dengan usia,
memuncak pada usia 30 sampai 50 tahun, dengan
kejadian tahunan berkisar dari 1 dalam 1.000 untuk pria
berusia antara 40 hingga 44 tahun dan 1,8 banding
1.000 bagi mereka yang usia 55-64 tahun.Tingkat
terendah gout yaitu pada wanita muda, kira-kira 0,8
kasus per 10.000 pasien.
Di Indonesia, pertama kali di teliti oleh seorang
dokter Belanda, Horst (1935) yaitu menemukan 15 kasus
asam urat berat pada masyarakat kurang mampu. Dari
beberapa data hasil penelitian seperti di Sinjai (Sulawesi
Selatan) di dapatkan angka kejadian asam urat 10% pada
pria dan 4% pada wanita. Di Minahasa (Sulawesi Utara)
diperoleh angka kejadian asam urat 34,30% pada pria dan
23,31% pada wanita usia dewasa awal, sedangkan
penelitian yang dilakukan di Bandungan (Jawa Tengah)
kerja sama dengan WHO-COPCORD terhadap 4.683
sampel berusia antara 15-45 tahun didapatkan angka
kejadian asam urat pada pria 24,3% dan wanita 11,7%.
Penyakit peningkatan kadar asam ini tidak hanya
menyerang lanjut usia tetapi seseorang dengan usia
produktif juga bisa terserang penyakit ini (Mutoharoh,
2013).
Asam urat adalah kelompok keadaan
heterogenous yang berhubungan dengan defek genetik
pada metabolisme purin. Pada keadaan ini bisa terjadi
oversekresi asam urat atau defek renal yang
mengakibatkan penurunan ekskresi asam urat, atau
kombinasi keduanya (Smeltzer, 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Eni Kurniawati, dkk (2014) yang berjudul “Pengaruh
Penyuluhan Kesehatan Terhadap Pengetahuan dan
Sikap Klien Gout Arthritis di Puskesmas Tahuna Timur
Kabupaten Sangihe” didapat ada pengaruh penyuluhan
kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap klien Gout
Arthritis di Puskesmas Tahuna Timur, dimana
berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon diperoleh nilai
α = 0.000, yang berarti nilai α lebih kecil dari α (0,05).
Dari hasil observasi awal di Poskesdes Desa
Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten
Humbang Hasundutan didapat jumlah lansia sebanyak
168 orang dengan yang menderita asam urat sebanyak
70 orang.
Dari Pendahuluan diatas, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang Hubungan
Pengetahuan dan Perilaku Lansia terhadap Pencegahan
Peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan
Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang
Hasundutan Tahun 2016.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan
perilaku lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat
di poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta
Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui hubungan pengetahuan lansia
terhadap pencegahan peningkatan asam urat di
Poskesdes
Desa
Parulohan
Kecamatan
Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan
Tahun 2016.
2. Mengetahui hubungan perilaku lansia terhadap
pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes
Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta
Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016.
METODE
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
dengan menggunakan Design Crossectional. Yang
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana “
Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Lansia Terhadap
Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa
Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang
Hasundutan Tahun 2016”.
Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau
objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh lansia penderita asam urat yang datang berobat ke
Poskesdes Desa Parulohan berjumlah 70 orang.
Sampel
Sampel adalah sebagian dari objek yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo,
2010). Pada penelitian ini menggunakan metode
Systematic Random Sampling. Caranya adalah membagi
jumlah atau anggota populasi dengan perkiraan jumlah
sampel yang diinginkan hasilnya adalah interval sampel.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagian dari jumlah populasi akan diambil menjadi
sampel penelitian. Dimana sebagian dari pasien asam urat
yang berobat ke Poskedes Desa Parulohan sebanyak 35
orang.
HASIL
Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan untuk menggambarkan
penyajian data dari beberapa variabel dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi meliputi pengetahuan dan
perilaku lansia terhadap pencegahan peningkatan asam
urat.
Tabel 1 Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Pengetahuan dan Perilaku
Lansia Terhadap Pencegahan Peningkatan
Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan
Kecamatan Lintongnihuta
Kabupaten
Humbang Hasundutan Tahun 2016
No Variabel
Jumlah Presentase
(%)
1.
Pengetahuan
Baik
12
34,3
Cukup
20
57,1
Kurang
3
8,6
Total
35
100,0
2.
Perilaku
Baik
17
48,6
Cukup
13
37,1
Kurang
5
14,3
Total
35
100,0
43
3
Pencegahan peningkatan
asam urat
Baik
28
Tidak baik
7
Total
35
80,0
20,0
100,0
Berdasarkan tabel 1 diperoleh bahwa dari 35
jumlah responden, lansia asam urat yang berpengetahuan
baik sebanyak 12 orang (34,3%), yang berpengetahuan
cukup sebanyak 20 orang (57,1%), dan yang
berpengetahuan kurang sebanyak 3 orang (8,6%).
Berdasarkan tabel 1 diperoleh bahwa dari 35
jumlah responden, lansia asam urat yang memiliki perilaku
baik sebanyak 17 orang (48,6%), cukup sebanyak 13 orang
(37,1%), dan yang memiliki perilaku kurang sebanyak 5
orang (14,3%).
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa mayoritas
pencegahan terhadap pencegahan peningkatan asam urat
adalah baik sebanyak 27 orang (80,0%) dan minoritas
pencegahan peningkatan asam urat adalah tidak baik
sebanyak 8 orang (20,0%).
Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah setelah diketahui
variabel, maka dilakukan analisa lebih lanjut berupa
analisa bivariat, data yang didapat dari kedua variabel
merupakan data kategori.
Tabel 2
Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Pengetahuan Lansia Asam
Urat Dengan Pencegahan Peningkatan
Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan
Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten
Humbang Hasundutan Tahun 2016
No Pengetahuan Pencegahan
Peningkatan df X2
Asam Urat
Baik
Tidak
Total
baik
n
% n % n
%
1 Baik
12 100,0 0 0 12 100,0 2 3,422
2 Cukup
16 80,0 4 20,0 20 100,0
3 Kurang
2 66,7 1 33,3 3 100,0
Total
35 100,0
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dari 35
responden yang berpengetahuan baik sebanyak 12 orang
dengan mayoritas yang melakukan pencegahan
peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 12 responden
(100%), dan minoritas yang melakukan pencegahan
peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 0
responden (0%). Dari 20 responden yang berpengetahuan
cukup, mayoritas
yang melakukan pencegahan
peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 16 responden
(80,0%), dan minoritas yang melakukan pencegahan
peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 4
responden (20,0%). Dari 3 responden yang berpengetahuan
kurang, mayoritas yang melakukan pencegahan
peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 2 responden
(66,7%) dan minoritas yang melakukan pencegahan
peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 1
responden (33,3%).
44
Dengan menggunakan uji chi-square dengan
tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) dan df=2 diperoleh
X2 hitung (3,422) < X2 tabel (5,591), maka Ho
diterima, Ha ditolak berarti tidak ada hubungan
pengetahuan lansia terhadap pencegahan peningkatan
asam urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan
Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun
2016.
Tabel 3
Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Perilaku Lansia Asam Urat
Dengan Pencegahan Peningkatan Asam
Urat di Poskesdes Desa Parulohan
Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten
Humbang Hasundutan Tahun 2016
No Perilaku Pencegahan
Peningkatan df X2
Asam Urat
Baik
Tidak
Total
baik
n % n % n %
1 Baik
16 94,1 1 5,9 17 100,0 2 7,195
2 Cukup 10 76,9 3 23,1 13 100,0
3 Kurang 2 40,0 3 60,0 5 100,0
Total
35 100,0
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa dari 35
responden yang memiliki perilaku baik sebanyak 17 orang
dengan mayoritas yang memiliki perilaku baik dalam
melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan baik
sebanyak 16 responden (94,1%), dan minoritas yang
melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan
tidak baik sebanyak 1 responden (5,9%). Dari 13
responden yang memiliki perilaku cukup, mayoritas yang
melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan
baik sebanyak 10 responden (76,9%), dan minoritas yang
melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan
tidak baik sebanyak 3 responden (23,1%). Dari 5
responden yang memiliki perilaku kurang, mayoritas yang
melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan
tidak baik sebanyak 3 responden (60,0%) dan minoritas
yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat
dengan baik sebanyak 2 responden (40,0%).
Dengan menggunakan uji chi-square dengan
tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) dan df=2 diperoleh X2
hitung (7,195) > X2 tabel (5,591), maka Ho ditolak, Ha
diterima berarti ada hubungan perilaku lansia terhadap
pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes Desa
Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang
Hasundutan Tahun 2016.
PEMBAHASAN
Hubungan Pengetahuan Lansia Terhadap Pencegahan
Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan
Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang
Hasundutan Tahun 2016.
Dari tabel 2 diketahui bahwa dari 35 responden,
presentase yang berpengetahuan cukup sebanyak 20
responden, mayoritas
yang melakukan pencegahan
peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 16 responden
(80,0%), dan minoritas yang melakukan pencegahan
peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 4
responden (20,0%). Berdasarkan uji chi-square, tidak ada
hubungan pengetahuan lansia terhadap pencegahan
peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan
Kecamatan Lintongnihuta.
Menurut asumsi peneliti pada penelitian ini
diketahui bahwa tingkat pengetahuan seseorang itu dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga pengetahuan
seseorang itu berbeda- beda. Dalam penelitian ini
Pengetahuan responden tidak ada hubungannya terhadap
pencegahan peningkatan asam urat. Buktinya kurangnya
kesadaran dalam menjaga kesehatan. Pengetahuan
responden perlu ditingkatkan dengan mengikuti segala
penyuluhan atau instruksi dari tim kesehatan.
Saran
Berdasarkan
hasil
penelitian,
peneliti
memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Diharapkan bagi lansia penderita asam urat untuk
lebih meningkatkan pengetahuan dan perilakunya
tentang pencegahan peningkatan asam urat.
2. Diharapkan bagi lansia supaya rutin memeriksakan
kadar asam urat ke petugas kesehatan, Serta
mengurangi
mengkonsumsi
makanan
yang
mengandung tinggi protein.
3. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya meneliti
hubungan lansia penderita asam urat terhadap
pencegahan peningkatan asam urat dengan faktor
gaya hidup diluar dari pengetahuan dan perilaku.
DAFTAR PUSTAKA
Hubungan Perilaku Lansia Terhadap Pencegahan
Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan
Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang
Hasundutan Tahun 2016.
Dari tabel 3 diketahui bahwa dari 35 responden,
presentase yang memiliki perilaku baik sebanyak 17
responden dengan mayoritas yang memiliki perilaku baik
dalam melakukan pencegahan peningkatan asam urat
dengan baik sebanyak 16 responden (94,1%), dan
minoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam
urat dengan tidak baik sebanyak 1 responden (5,9%).
Berdasarkan uji chi-square, ada hubungan perilaku lansia
terhadap pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes
Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta kabupaten
Humbang Hasundutan Tahun 2016.
Menurut asumsi peneliti bahwa perilaku
seseorang dalam melakukan sesuatu memiliki nilai
tersendiri baik untuk dirinya maupun orang lain. Dimana
perilaku dapat mempengaruhi aspek kehidupan seseorang.
Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi
pencegahan peningkatan asam urat adalah perilaku, oleh
sebab itu dengan perilaku yang baik, maka perilaku
responden terhadap pencegahan peningkatan asam urat
juga baik. Dari hasil penelitian menunjukkan ada
hubungan perilaku terhadap pencegahan peningkatan asam
urat.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Lansia Terhadap
Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa
Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang
Hasundutan tahun 2016 dengan jumlah responden 35
orang, peneliti dapat mengambil keKesimpulan sebagai
berikut:
1. Tidak ada hubungan pengetahuan lansia terhadap
pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes
Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta
Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016.
2. Ada hubungan perilaku lansia terhadap
pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes
Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta
Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016.
Aminah, N, 2013. Rematik dan Asam Urat. PT. Bhuana
Ilmu Populer: ndry, dkk, 2009. Analisis Faktorfactor yang Mempengaruhi Kadar Asam Urat pada
Pekerja Kantordi Kabupaten Brubes, Jurnal
Keperawatan Soediman
Arikunto, Prof. Dr. Suharimi. 2010. Prosedur Penelitian
(Suatu Pendekatan Praktik). Edisi Previsi. Jakarta:
PT. Rineka Cipta
Damayanti. 2012. Mencegah dan Mengobati Asam Urat.
Jogyakarta: Araska
Depkes, RI, 2009. Profil Kesehatan Indonesia.
Departemen Republik Indonesia: Jakarta
Eni Kurniawati, dkk. 2014. Pengaruh Penyuluhan
Kesehatan Terhadap Pengetahuan dan Sikap Klien
Gout Arthritis di Puskesmas Tahuna Timur
Kabupaten Sangihe
Heri Irwan Tedy Kanis, dkk. 2010. Hubungan Tingkat
Pengetahuan Masyarakat Tentang Asam Urat
Dengan Perilaku Pencegahan Asam Urat di Dusun
Janti, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta
Hidayat, A, 2008. Metode Keperawatan, dan Tehnik
Analisa Data. Surabaya: Salemba Medika
Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selecta Kedokteran. Edisi
keempat. Jakarta: EGC
Mutoharoh. (2013). Perbedaan Tingkat Nyeri Sendi Lutut
Pada Penderita Sebelum Dan Sesudah Diberikan
Terapi Kompres Air Dingin Di Desa Lelayan
Kecamatan Unggaran Timur Kabupaten.
http://xa.yimg.com/kq/groups/40920657/1093964501/nam
e/GOUT. Diakses tanggal 10 Desember 2014
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku
Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Petri, K, (2011). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Arthritis
Gout Terhadap Perilaku Pencegahan Arthritis
Gout Pada Lansia di Posyandu Kedungtangkil
Karangsari Pengasih Kulon Progo Yogyakarta.
http://sim.stikesaisyiyah.ac.id/simpttpencarianpustaka/datapustaka.zul?kdpustaka=9278
&kddetailpustaka=98640501541. Diakses tanggal
10 Desember 2014
45
Pipit, F, 2010. Hubungan Antara Pola Makan dengan
Kadar Asam Urat DarahPada Wanita Post
Menopause Di Posdyandu Lansia Wilayah Kerja
Puskesmas dr. Soetomo Surabaya, Jurnal
Keperawatan.
Ranti, I, 2012. Pengaruh Pemberian Buku Saku Gout
Arthritis Terhadap Pengetahuan Sikap Dan
Perilaku Pasien Gout Arthritis Rawat Jalan Di
RSUP. Prof. Dr. R. Kandow.
46
http://ejurnal.poltekkesmanado.ac.id/index.php/gizido/artic
le/download/21/69. Diakses tanggal 13 Desember
2014
Smeltzer, Dkk. 2013. Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC
Sutanto, I, 2013. Asam Urat. PT. Bintang Pustaka:
Yogyakarta
ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERILAKU
KARYAWAN KILANG PAPAN DALAM PENGGUNAAN ALAT
PELINDUNG DIRI DI PT HIDUP BARU KOTA BINJAI
TAHUN 2014
Netty Jojor Aritonang1, Sitti Raha Agoes Salim2, Makmur Sinaga2
1
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Medan
2
Staf Pengajar FKM USU
Abstract
Occupational health and safety is an attempt to guarantee safety and improve the health standard of workers
by preventing them from accidence and illness caused by job, controlling danger in the job sites, and
promoting health, medication, and rehabilitation. The use of personal protection equitment (PPE) is one of
the efforts to decrease the incidence of health danger and job accidence. The objective of the research is to
analyze some factors which influenced the behavior of lumber mill workers in using personal protection
equitment at PT Hidup Baru, Binjai, in May, 2014. Cross sectional design was used to analyze some factors
which influenced the behavior of lumber mill workers in using personal protection equitmentat PT Hidup
Baru. The population was all 43 lumber mill workers. The data were analyzed by using chi square test and
multiple logistic regression tests. The result of the research showed that there was the influence of the
workers’ knowledge (p = 0.038) and attitude (p = 0.026) at PT Hidup Baru, Binjai, on the use of personal
protection equitment. The variable of attitude had the most dominant influence on the use of PPE at Odds
Ratio (OR) of 7,405 which indicated that the workers who had positive attitude had the opportunity to use
personal protection equitment 9.7,405 times than those who had negativeattitude.
It is recommended
that the management of the lumber mill, PT. Hidup Baru, Binjai, should improve the workers’ knowledge of
the risk and provide facility of training about job health and safety for them and the workers improve their
knowledge, attitude, and behavior about their job safety in their job.
Keywords : PPE, Knowledge, Attitude, Workers
PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan industri yang
begitu pesat telah mendorong makin meningkatnya
penggunaan mesin, peralatan kerja dan bahan bahan kimia
dalam proses produksi dengan disertai tehnik dan tehnologi
dari berbagai tingkatan di segenap sektor. Kemajuan ilmu
dan tehnologi tersebut di satu pihak akan memberikan
kemudahan dan meningkatkan produktivitas tetapi dilain
pihak cenderung akan menimbulkan risiko kecelakaan
apabila
tidak
dibarengi
dengan
peningkatan
pengetahuan,dan ketrampilan pekerja. Kecelakaan dan
sakit ditempat kerja, membunuh dan memakan lebih
banyak korban jika dibandingkan dengan perang
dunia(Suardi,R, 2007). Oleh karena itu saat ini ilmu
kesehatan kerja semakin berkembang.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah upaya
untuk
memberikan
jaminan
keselamatan
dan
meningkatkan derajat kesehatan pekerja dengan cara
pencegahan kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja (PAK),
pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan,
pengobatan dan rehabilitasi (KepMenkes-RI, 2010).
Kesehatan dan Keselamatan kerja juga merupakan promosi
dan pemeliharaan tertinggi tingkat fisik, mental dan
kesejahteraan sosial, dimana ada pencegahan risiko
mengalami kecelakaan kerja yang disebabkan oleh kondisi
pekerjaan, ada perlindungan pekerja dari resiko yang dapat
merugikan kesehatan menempatkan dan memelihara
pekerja dalam lingkungan kerja yang disesuaikan dengan
peralatan fisiologis yang tidak membahayakan nyawa
(Suma’mur, 2009). Secara implisit kesehatan kerja
mencangkup sebagai alat mencapai derajat kesehatan
tenaga kerja setinggi-tingginya, yang terdiri dari pekerja
informal dan formal, dan sebagai alat untuk meningkatkan
produksi yang berlandaskan kepada meningkatnya
efisiensi dan produktivitas.
Melalui upaya kesehatan kerja akan terwujud
tenaga kerja yang sehat dan produktif hingga mampu
meningkatkan kesejahteraan dan keluarganya serta
masyarakat yang luas. Tenaga kerja tidak saja diharapkan
sehat dan produktif selama masa kerjanya tetapi juga
sesudahnya, sehingga ia dapat menjalani masa pensiun dan
hari tuanya tanpa diganggu oleh berbagai penyakit dan
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pekerjaan
maupun lingkungan kerja pada waktu masih aktif bekerja.
Oleh karena salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
melalui Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
47
Kondisi Keselamatan dam Kesehatan Kerja (K3)
dalam lingkungan kerja di Indonesia cukup
memprihatinkan sehingga angka kecelakaan kerja yang
mengakibatkan tenaga kerja mengalami cacat dan
meninggal dunia cukup tinggi. Berdasarkan data dari PT
Jamsostek selama Tahun 2010, petugas setiap hari
melayani klaim asuransi kematian sebanyak 52 kasus dan
kecelakaan kerja berupa jatuh dan lainnya sebanyak 400
kasus dan jumlah itu meningkat setiap tahunnya. Hal ini
disebabkan karena faktor perilaki 31.776 kasus (32,06%
dari total kasus), dan kondisiyang tidak aman 57.626 kasus
(58,15%) dari total kasus.
PT Hidup Baru adalah industri formal yang
bergerak di bidang kilang papan. Pada olahan produksinya
memiliki potensi bahaya yaitu debu yang dihasilkan oleh
serpihan kayu yang dapat menyebabkan terganggunya
fungsi paru, serpihan kayu yang dapat menyebabkan
tertusuknya tangan hingga terluka, suara mesin yang bising
yang lama kelamaan dapat menggangu pendegaran para
pekerja dan potensi bahaya lainnya yaitu tertimpa balok
kayu saat memindahkan kayu.
Alat pelindung diri adalah suatu alat yang
mempunyai kemempuan untuk melindungi seseorang
dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tubuh tenaga
kerja dari bahaya di tempat kerja. Alat pelindung diri
dipakai setelah usaha rekayasa (engineering) dan cara kerja
yang aman telah maksimun (Depnakertrans RI, 2004).
Penggunakan alat pelindung diri sangat dipengaruhi oleh
motivasi pekerja. Pekerja sering merasa remeh dan
menganggap ringan potensi bahaya kerja yang ada di
tempat kerja. Perilaku demikian disebabkan karena
kurangnya pengetahuan, sikap para pekerja dalam menjaga
dirinya dari potensi bahaya kesehatan dan kecelakaan
kerja.
Dari survei pendahuluan yang dilakukan pada
kilang papan di PT Hidup Baru. Saat ini pihak
manajemennya tidak menyediakan APD seperti masker,
sarung tangan, ear plug, maupun pakaian ganti dahulu
pihak manajemen menyediakan alat pelindung diri bagi
pekerjanya seperti masker dan sarung tangan, akan tetapi
banyak pekerja yang tidak mau menggunakan, sehingga
perusahaan tidak lagi menyediakan APD. Sebagian kecil
pekerja sudah memakai APD, walaupun APD yang
mereka gunakan masih belum lengkap ada yang hanya
menggunakan masker saja ataupun hanya menggunakan
sarung tangan saja dan sebagian besar dari pekerja tersebut
tidak menggunakan APD. Dari Pendahuluan di atas,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian analisa faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku karyawan kilang
papan dalam penggunaan alat pelindung diri di PT Hidup
Baru Kota Binjai Tahun 2014.
PERMASALAHAN
Penggunaan alat pelindung diri merupakan upaya
untuk mengurangi terjadinya bahaya kesehatan dan
kecelakaan kerja, namun hasil observasi yang dilakukan di
lapangan masih banyak pekerja yang tidak menggunkan
APD. Maka peneliti ingin mengetahui faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi perilaku karyawan kilang papan
48
dalam tindakan penggunaan alat pelindung diri di PT
Hidup Baru Kota Binjai Tahun 2014.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku karyawan kilang papan dalam tindakan
penggunaan alat pelindung diri di PT Hidup Baru Kota
Binjai Tahun 2014.
MANFAAT PENELITIAN
Memberikan masukan bagi PT Hidup Baru
Kota Binjai dalam meningkatkan perilaku pekerja
dalam penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) untuk
mencapai derajat kesehatan pekerja setinggi-tingginya
sehingga dapat meningkatkan kualitas produktivitas
kerja.
METODE
Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik
dengan menggunakan pendekatan desain cross sectional.
Penelitian dilaksanakan di di PT Hidup Baru Kota
Binjai Tahun 2014. Penelitian dilaksanakan mulai Mei
2014. Sampel penelitian adalah 43 karyawan. Data
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Analisis data dilakukan menggunakan analisis univariat,
dan analisis bivariat(ujiChi-square).
HASIL
1. Karakteristik Responden
proporsi umur responden tertinggi pada
kelompok 21-40 tahun sebesar 88,4%. Sebesar 100%
karyawan yang bekerja di kilang papan berjenis kelamin
laki-laki. Berdasarkan pendidikan, proporsi pendidikan
yang paling banyak tamat SMA yaitu sebesar 53,5%.Pada
perusahaan kilang papan di bagian pabriknya sangatlah
dibutuhkan tenaga laki-laki sehingga perekrutan bagi
pekerja wanita tidak ada. Para pekerja sebagian besar
adalah tamatan SMA, hal ini disebabkan saat ini
perekurutan pekerja lebih banyak diutamakan tamatan
SMA Selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1 Distribusi Karakteristik Karyawan Kilang
Papan di PT Hidup Baru Kota Binjai
No
Identitas Responden
n
Persentase
1 Umur
≤ 20 tahun
2
4,7
21-40 tahun
38
88,4
≥ 41 tahun
3
7,0
2 Jenis Kelamin
Laki-laki
43
100,0
Perempuan
0
0,0
3 Pendidikan
SD
4
9,3
SMP
16
37,2
SMA
23
53,5
Total
43
100,0
2.
Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Motivasi
dengan Tindakan Penggunaan Alat Pelindung
Diri
Hasil penelitian didapatkan terdapat hubungan
antara pengetahuandengan tindakan penggunaan alat
pelindung diridi PT Hidup Baru Kota Binjai dengan nilai
p=0,038. Hasil penelitian ini sesuai dengan Mulyanti
(2008) tentangpenggunaan alat pelindung diri dalam
asuhan persalinan normal di Rumah Sakit Meuraxa Banda
Aceh tahun 2008, dimana hasil penelitiannya menyatakan
variabel pengetahuan mempengaruhi perilaku terhadap
penggunaan APD.Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa
pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Hasil penelitian didapatkan terdapat hubungan
antara antara sikapdengan tindakan penggunaan alat
pelindung diridi PT Hidup Baru Kota Binjaidengan nilai
p=0,014, dengan demikian terdapat hubungan. Menurut
Newcomb dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa
sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak. Dalam penelitian ini sikap yang baik
menunjukkan perilaku yang baik terhadap penggunaan
APD saat bekerja. Sikap karyawan tersebut terwujud dari
tingkat pemahamannya tentang kegunaan APD, akibat
yang ditimbulkan jika tidak menggunakan APD.
Hasil penelitian ini diperkuat oleh Ratnaningsih
(2010)) di PT.X Semarang (Studi proyek pembangunan
Rumah Sakit Pendidikan) menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara sikap dengan praktik pemakaian APD.
Hasil penelitian ini dapat menunjukkan bahwa seseorang
bertindak yang baik bukan hanya karena memiliki sikap
yang positif saja tetapi juga bisa dipengaruhi oleh faktor
lingkungannya. Akan tetapi, hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian Farida (2006) yang berjudul
Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemakaian Alat
Pelindung Diri (APD) pada juru las listrik diwilayah
Kecamatan Tembalang Kota Semarang yang menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antara sikap responden dengan
pemakaian APD.
Hasil penelitian didapatkan tidak terdapat
hubungan antara antara motivasidengan tindakan
penggunaan alat pelindung diridi PT Hidup Baru Kota
Binjai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
motivasi dari pihak perusahaan hal ini dikarenakan tidak
ada peraturan yang ditetapkan, sehingga pihak perusahaan
kurang peduli kepada karyawan yang menggunakan atau
tidak menggunakan APD.
Tabel 2 Hubungan Variabel Pengetahuan. Sikap, dan
Motivasi
Motivasi
dengan
Tindakan
Penggunaan Alat Pelindung Diri di PT Hidup
Baru Kota Binjai
Variabel
Pengetahuan
Rendah
Tinggi
Sikap
Negatif
Positif
Tindakan Penggunaan
APD
Tidak
Ya
n
%
n
%
n
%
22
12
91,7%
63,2%
2 8,3%
7 36,8%
24
19
100,0
100,0
26
8
89,7%
57,1%
3 10,3%
6 42,9%
29
14
100,0
100,0
Jumlah
p
0,022
0,014
Motivasi
Tidak ada
Ada
34
0
79,1%
0,0
9 20,9%
0
0,0
43
0
100,0
100,0
-
3. Pengetahuan dan Sikap terhadap Tindakan
Penggunaan Alat Pelindung Diri di PT Hidup Baru
Kota Binjai
Hasil analisa bivariat yang dilakukan terhadap variabel
bebas dan variabel terikat ternyata yang mempunyai
hubungan bermakna adalah variabel pengetahuan dan
sikapsecara bersama-sama dihubungkan dengan tindakan
penggunaan alat pelindung diri melalui regresi ganda,
maka ternyata pengetahuan dan sikapyang berpengaruh
terhadap tindakan penggunaan alat pelindung diri
Variabel yang terpilih dalam model akhir regresi logistik
seperti pada Tabel berikut :
Tabel 3
Pengaruh Pengetahuan dan Sikap
terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri
di PT Hidup Baru Kota Binjai
Exponen
Variabel
Koefisien B (B)/ Odds
p
Ratio
Pengetahuan
1,991
7,323
0,038
Sikap
2,002
7,405
0,026
Constant
-3,362
Uji statistik regresi logistik berganda
menunjukkan variabel pengetahuan menunjukkan
adapengaruh terhadap tindakan penggunaan APD dengan
nilai p= 0,022 <α=0,05.Hal ini dikarenakan perilaku
karyawan dipengaruhi oleh pengetahuan. Seorang
karyawan akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan
yang dimilikinya. Selain itu pengetahuan akan
menimbulkan kesadaran dan akhirnya menyebakan
karyawan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini
memakan waktu yang lama karena didasari oleh kesadaran
mereka sendiri bukan karena paksaan.
Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Farida
(2006) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) pada juru las listrik
diwilayah kecamatan Tembalang kota Semarang
mengatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan
responden dengan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)
dengan tingkat keeratan sedang
Uji statistik regresi logistik berganda
menunjukkan variabel sikap menunjukkan adapengaruh
terhadap tindakan penggunaan APD dengan nilai p= 0,026
<α=0,05.Green dan Kreuter (2005) juga menyatakan sikap
merupakan faktor untuk mempermudah terjadinya
perubahan perilaku.Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap menurut Azwar (2007) antara lain
pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap
penting, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga
agama serta pengaruh factor emosional.
Menurut Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa
pengetahuan selain diperoleh dari bangku pendidikan, juga
dapat diperoleh dari pengalaman langsung seperti
informasi yang diterima dari pelayanan yang sering
49
dikunjungi dan pengalaman tidak langsung seperti
informasi yang didapatkan dari media massa dan media
elektronik, hal ini dapat mempengaruhi tingkat
pengetahuan.Oleh karena itu pihak perusahaan perlu
meningkatkan pengetahuan karyawan terutama pentingnya
penggunaan APD saat bekerja sehingga resiko terjadinya
cedera dan kecelakaan kerja dapat diminimalis atau bahkan
meniadakan kecelakaan kerja dan meningkatkan
pengetahuan pekerja tentang keselamatan kerja, yaitu lebih
diberikan arahan atau pelatihan oleh manajemen
perusahaan agar semua pekerja memiliki pengetahuan
yang cukup tentang penggunaan APD. Pelatihan dapat
dilakuakan dengan cara simulasi yang tidak perlu terlalu
lambat, sehingga tidak menggangu proses produksi
perusahaan. Selain itu perusahaan dapat melakukan
berbagai cara dalam mengingatkan kembali para
karyawannya dengan cara menempelkan poster-poster
ataupun arahan-arahan mengenai penggunaan APD.
Sikap mempunyai segi motivasi berarti segi
dinamis menuju suatu tujuan berusaha mencapai suatu
tujuan. Sikap dapat merupakan suatu pengetahuan, tetapi
pengetahuan yang disertai kesediaan kecenderungan
bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Sikap juga akan
diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan berdasarkan pada
banyak atau sedikitnya pengalaman yang dimiliki oleh
seseorang. Sikap juga di pengaruhi oleh nilai-nilai yang
menjadi pegangan setiap orang dalam bermasyarakat.
Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa sikap ditentukan
oleh beberapa faktor salah satunya adalah pengetahuan.
Sikap negatif yang ditampilakan oleh karyawan bukan
hanya dipengaruhi oleh pengetahuan karyawan, tetapi juga
faktor lain. Kebiasaan menganggap remeh dan merasa
bahwa pemakaian APD tidak begitu penting tidak begitu
penting justru memberikan efek buruk bagi keselamatan
kerja karyawan. Pembentukan sikap dapat dilakukan
secara berlahan dan dapat memberikan hasil saat dilakukan
dengan disiplin.
Kesimpulan
1. Ada pengaruh pengetahuan karyawan (p = 0,038)
terhadap tindakan penggunaan Alat Pelindung diri
di PT Hidup Baru Kota Binjai.
2. Ada pengaruh Sikap karyawan (p = 0,026)
terhadap tindakan penggunaan Alat Pelindung diri
di PT Hidup Baru Kota Binjai.
3. Tidak ada pengaruh motivasi terhadap tindakan
penggunaan Alat Pelindung diri di PT Hidup Baru
Kota Binjai.
4. Sikap merupakan pengaruh yang paling dominan
terhadap tindakan APD yaitu karyawan yang
memiliki sikap positif mempunyai peluang untuk
menggunakan APD 7 kali lebih besar
dibandingkan dengan karyawan yang sikapnya
negatif.
50
Saran
1. Disarankan kepada manajemen pabrik kilang
papan, PT Hidup Baru Kota Binjaiuntuk
meningkatkan pengetahuan karyawan mengenai
resiko pekerjaan di setiap bagian produksi,
menjelaskan perilaku yang aman bagi pekerja,
menjelaskan cara menghadapi resiko pekerjaan di
setiap bagian produksi, memberikan pelatihan
mengenai kesehatan dan keselamatan kerja bagi
karyawan dan menyediakan sarana dan prasarana
untuk mendukung kesehatan dan keselamatan
pekerja.
2. Diharapkan agar para pekerja meningkatkan
pengetahuan dan sikap atas keselamatan mereka
disaat bekerja, dan berperilaku aman.
3. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk
melakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui faktor lain yang diduga berpengaruh
terhadap penggunaan APD
DAFTAR PUSTAKA
Depnakertrans RI. 2004. Pengawasan K3 Lingkungan
Kerja. Jakarta: Ditjen Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan
Farida, A, M. 2006. Faktor-faktor yagberhubungan dengan
pemakaian AlatPelindung Diri (APD) pada
jurulaslistrik
di
wilayah
Kecamatan
TembalangKota Semarang. Semarang: Skripsi
FKM UNDIP
Green, L. W. dan Kreuter, M. W. 2005. Health Program
Planning: An Educational and Ecological
Approach. Fourth edition. New York: MC GrawHil
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta:
Kementrian Kesehatan
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat
Prinsip-Prinsip Dasar Jakarta: PT Rineka Cipta
Suardi, Rudi .2007. Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, seri
Manajemen Operasi No.11, PMM, Jakarta Pusat
Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan
Kerja (Hiperkes). Jakarta : Sagung Seto.
HUBUNGAN PERILAKU CARING PERAWAT TERHADAP KEPUASAN
PASIEN DI RUANGAN PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA
ELISABETH MEDAN TAHUN 2016
Suriani Ginting
Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan
Abstrak
Caring adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dengan praktik aktivitas manusia itu sendiri, karena caring
memiliki sifat yang holistik yang terarah pada iman, harap dan kasih. Teori Jean Watson yang telah
diaplikasikan dalam keperawatan yaitu Human Science and Human Care, yang menjadi menjadi prinsip
utama dalam teori ini adalah care dan cinta yang merupakan energi utama dan universal yang menjadi syarat
hidup utama pada manusia. Kepuasan klien menjadi prioritas utama dalam lingkungan yang penuh
ketegangan atau kesibukan seperti unit rawat inap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
perilaku caring perawat terhadap kepuasan pasien di ruangan penyakit dalam. Desain penelitian cross
sectional, sampel penelitian sebanyak 40 orang, pengambilan sampel purpose sampling, menggunakan
kriteria inklusi dalam penentuan sampel. Dari hasil penelitian ini didapatkan 38 (95,2%) orang pasien
mengatakan perilaku caring perawat baik dan 2 (4,7%) orang pasien mengatakan perilaku caring perawat
kurang baik. Untuk nilai kepuasan 38 (95,2%) orang pasien mengatakan baik dan 2 (4,7%) orang
mengatakan kurang baik. Hasil uji chi-square P=0,000 yang berarti p< 0,05, disimpulkan ada hubungan yang
signifikan antara perilaku caring perawat terhadap kepuasan pasien. Dalam hal ini caring merupakan kunci
utama dalam keperawatan sehingga caring harus selalu ditingkatkan dalam pelayanan keperawatan bagi
setiap perawat dengan mengadakan pembinaan seminar maupun pelatihan-pelatihan di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan terhadap perawat dan diharapkan untuk peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian ini
dirumah sakit yang berbeda.
Kata kunci : perilaku caring perawat, kepuasan pasien
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan merupakan suatu organisasi
yang sangat kompleks, karena bergerak dalam pelayanan
jasa yang melibatkan berbagai kelompok profesi dengan
berbagai Pendahuluan pendidikan dan kehidupannya.
Kelompok keperawatan merupakan salah satu komponen
profesi yang dianggap sebagai kunci dari keberhasilan
asuhan kesehatan di rumah sakit. Hal ini terjadi karena
perawat harus selalu berada di samping pasien, sentuhan
asuhan keperawatan telah di rasakan pasien sejak dia
masuk ke rumah sakit, selama dirawat dan pada waktu
pulang (Sumijatun, 2010).
Keperawatan mempunyai pengetahuan tersendiri
yaitu teoritis dan praktis. elemen, dan fase dari sebuah
konsep keperawatan. Tujuan pengetahuan teoritis
merangsang pemikiran, kreasi dan praktik disiplin
keperawatan, sedangkan pengetahuan praktis merupakan
dasar pengalaman perawat dalam memberikan pelayanan
kepada klien (Potter & Perry, 2009).
Perilaku caring dipengaruhi oleh berbagai faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
yaitu pengetahuan, persepsi, emosi, motivasi dan
sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan
dari luar sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan
sekitar, baik fisik maupun nonfisik seperti: iklim, manusia,
sosial, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya (Retno,
2010).
Kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas
pelayanan rumah sakit, klien, dan profesional kesehatan
lain. Perawat yang berkomunikasi secara efektif lebih
mampu membina hubungan antara diri mereka sendiri dan
orang lain, termasuk klien dan keluarga serta komponen
masyarakat lainnya. Untuk perilaku caring perawat sangat
diperlukan dalam membina hubungan agar tercipta
hubungan yang baik antara perawat, klien, dan keluarga
(Yuni, 2009).
Caring adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dan
pada saat yang sama mengindikasikan bahwa beberapa
aktivitas praktik dilakukan dalam proses caring di
lingkungan keperawatan. Sudut pandang ini diperluas oleh
Grifin (1980, 1983) dalam kutipan Morrison & Burnard
(2009) yang membagi konsep caring ke dalam dua domain
utama. Salah satu konsep caring ini berkenaan dengan
sikap dan emosi perawat, sementara konsep caring yang
lain terfokus pada aktivitas yang dilakukan perawat saat
melaksanakan fungsi keperawatannya (Morrison &
Burnard, 2009).
Periaku caring merupakan suatu sikap, rasa peduli,
hormat dan menghargai orang lain, artinya memberikan
51
perhatian yang lebih kepada sesorang dan bagaimana
seseorang bertindak. Perilaku caring merupakan perpaduan
perilaku manusia yang berguna dalam peningkatan derajat
kesehatan dalam membantu klien yang sakit. Perilaku
caring sangat penting dalam pelayanan keperawatan karena
akan memberikan kepuasan pada klien dalam perawatan
akan lebih memahami konsep caring, khususnya perilaku
caring dan mengaplikasikan dalam pelayanan keperawatan
(Kozier, 2010).
Tidak semua klien sama, setiap individu
mempunyai Pendahuluan pengalaman, nilai-nilai, dan
kultur dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Caring
bersifat khusus bergantung pada hubungan perawat-klien.
Semakin banyak pengalaman yang dimiliki perawat,
mereka biasanya akan mempelajari bahwa caring
membantu mereka untuk fokus pada klien yang mereka
layani. Caring memfasilitasi kemampuan perawat untuk
mengenali masalah klien dan mencari serta melaksanakan
solusinya (Perry & Potter, 2009).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan di ruangan penyakit
dalam, dari 10 responden yang diwawancarai, 5 pasien
mengatakan puas terhadap pelayanan rumah sakit dan
perawat, mereka mengatakan perawatnya sangat ramah
dan selalu ada apabila pasien membutuhkan. Tetapi 5
pasien mengatakan kurang puas terhadap pelayanannya
terutama perawat yang terkadang kurang ramah, terkadang
muka tampak cemberut ketika melakukan suatu tindakan
keperawatan. Dan berdasarkan hasil praktek klinik yang
pernah peneliti lakukan di salah satu ruangan penyakit
dalam Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan bahwa ada
pasien yang mengatakan bahwa perawat kurang care dan
kurang ramah pada saat melakukan tindakan keperawatan.
Berdasarkan hasil data rekam medis Rumah Sakit
Santa Elisabeth Medan tahun 2016 didapatkan jumlah
pasien yang dirawat diruangan penyakit dalam yaitu
sebesar 6547 pasien yang mencakup ruangan St. Melania,
St. Ignasius, St. Pia, St. Yosef, St. Fransiskus, St. Laura, St.
Pauline. Berdasarkan data tersebut maka sekitar 35,73%
pasien mengatakan puas terhadap pelayanan yang
dilakukan oleh perawat dan sekitar 29,73% pasien kurang
puas terhadap pelayanan yang dilakukan oleh perawat.
METODE
Desain penelitian merupakan rancangan penelitian
yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menuntun
peneliti untuk dapat memperoleh jawaban peneliti. Dalam
pengertian yang lebih luas desain penelitian mencakup
pelbagai hal yang dilakukan peneliti, mulai dari identifikasi
masalah, rumusan hipotesis, operasionalisasi hipotesis, cara
pengumpulan data. Desain penelitian yang digunakan
adalah analitik dengan menggunakan desain cross
sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang
rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
terkhusus di ruangan penyakit dalam, sampel adalah pasien
yang rawat inap kurang lebih tiga hari yang sudah dirawat
terkhusus diruangan penyakit dalam di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan. Adapun jumlah sampel dalam penelitian
52
ini yaitu sebanyak 40 orang yang diambil dari data yang
sesuai dengan kriteria inklusi yaitu St. Melania 85 orang,
St. Ignasius 48 orang, St. Pia 38 orang, St. Yosef 35 orang,
St. Fransiskus 92 orang, St. Laura 38 orang, dan St. Pauline
32 orang dengan jumlah populasi secara keseluruhan yaitu
368 orang.
HASIL
Kepuasan pasien rawat inap dinilai berdasarkan
jawaban responden dalam menjawab kuisioner yang telah
dibagikan.
Tabel 1 Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Data Demografi Pasien
tehadap perilaku caring perawat dan
Kepuasan Pasien
n = 40
Kategori Jenis Kelamin
F
%
Laki-laki
23
57.5
Perempuan
17
42.5
Total
40 100%
Kategori Jenis Kelamin
F
%
Tidak sekolah
0
0
SD
1
2.5
SMP
13
32.5
SMA
18
45.0
PT
8
20.0
Total
40 100%
Berdasarkan tabel 1 di atas didapatkan bahwa
jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki dengan 53
(57,5%), untuk jenis pendidikan responden mayoritas
berpendidikan SMA sekitar 18 (45%)
Tabel 2. Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan
Perilaku Caring Perawat Yang di Berikan
Kepada Pasien
n=40
Perilaku Caring Perawat
F
%
Baik
38
95.2
Kurang baik
2
4.7
Total
40
100%
Berdasarkan tabel 2 di atas diperoleh data bahwa
95,2% perilaku caring perawat sudah baik dan sekitar 4,7%
dikatakan kurang baik.
Tabel 3
Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan
Kepuasan Pasien Rawat Inap di rumah
Sakit Santa Elisabeth Tahun 2013
n=40
Kepuasan Pasien
Baik
Kurang baik
Total
F
38
2
40
%
95.2
4.7
100%
Berdasarkan tabel 3 di atas diperoleh data bahwa
38 orang (95,2%) kepuasan pasien yang baik dan kepuasan
pasien yang kurang baik sekitar 2 orang (4,7%).
Tabel 4 Tabulasi Hubungan Perilaku Caring Perawat
Terhadap Kepuasan Pasien di ruangan
penyakit dalam Rumah Sakit Santa Elisabeth
Medan tahun 2016
n=40
Kepuasan Pasien
Total
Perilaku
Tidak
Baik
caring perawat
Baik
F
%
F
%
F
%
Perilaku caring
Baik
38 95.2 0
0
38 100
Kurang baik
0
0
2
4.7
2
100
Berdasarkan tabel 4 diperoleh hasil bahwa perilaku
caringnya baik dan kepuasan pasien yang baik sebanyak 38
orang (95,2%), perawat perilaku caringnya dan kepuasan
pasien kurang baik sebanyak 2 orang (4,7%).
PEMBAHASAN
1. Perilaku caring perawat
Hasil penelitian yang didapat diketahui distribusi
proporsi caring perawat di ruangan penyakit dalam Rumah
Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016, perawat yang
memiliki perilaku caring yang baik sebesar 95,2%, perawat
yang perilaku caring tidak baik sebesar 4,7%.
Jean Watson mengemukakan praktek caring
merupakan pusat/inti dari perawatan. Prinsip utama yang
mendasari nilai keperawatan ini adalah care dan cinta yang
merupakan energi utama dan universal yang menjadi
syarat hidup pada manusia. Caring juga tidak dapat
terpisahkan terhadap praktik hidup manusia karena caring
memiliki suatu sifat yang holistik yaitu iman, harap dan
kasih. Caring dapat di dilihat dari setiap perilaku seseorang
yang sedang melakukan tugasnya misalkan kelengkapan
seragam (uniform), ketamakan dalam melakukan tindakan
dalam pemberian asuhan keperawatan.
Morrison dan Burnard (2002) mendefenisikan
Caring sebagai sesuatu yang tidak dapat terpisahkan antara
praktik dalam aktivitas manusia itu sendiri. Dimana teori
ini memiliki dua konsep domain yang utama yaitu sikap
dan emosi. Sementara konsep caring yang lain terfokus
pada aktivitas yang dilakukan perawat saat melaksanakan
fungsi keperawatannya dari reaksi.
Sikap merupakan pandangan atau perasaan yang
disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan
sikap yang ada, jadi sikap senantiasa terarah terhadap suatu
hal yang mempunyai bermacam-macam komponen antara
lain bagian evaluasi atau perasaan terhadap objek,
keyakinan dan behavioural (perilaku). Sikap tersebut dapat
bersifat positif maupun negatif. Dalam sikap positif
kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi,
dan mengharapkan objek tertentu sedangkan sikap yeng
bersifat negatif memiliki kecendrungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci dan tidak menyukai objek
tertentu.
Begitu juga halnya dengan perawat, sikap sangat
mempengaruhi respon yang diterima oleh pasien yang
dalam arti perawat menyesuaikan sikapnya kepada pasien
sehingga pasien dapat berespon terhadap sikap yang
diekspresikan oleh seorang perawat.
Perilaku perawat yang caring membuat pasien
merasa dihargai, sehingga hal tersebut memberi kepuasan
yang sesuai dengan harapan pasien, dimana hasil penelitian
menunjukkan bahwa hasil analisa data memperlihatkan
94,3% perilaku caring perawat baik sehingga pasien
memiliki harapan yang tinggi terhadap caring dan sekitar
78,6% pasien merasa puas terhadap perilaku caring
perawat (Novayanti Tanjung, 2012).
Responden mengatakan perilaku caring yang
dilakukan tidak baik karena sebagian besar perawatnya
angkuh saat melakukan tindakan keperawatan, jarang
untuk memperkenalkan diri kepada pasien, dan sebagian
perawat bersikap ceroboh dalam melakukan tindakan
keperawatan kepada pasien. Perilaku caring tidak hanya
dipengaruhi oleh kualitas pribadi dan sikap tetapi juga
dapat dipengaruhi dari gaya kerja perawat, pendekatan
interpersonal, tingkat motivasi, perhatian terhadap orang
lain dan penggunaan waktu.
Hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti
bahwa perilaku caring yang dilakukan oleh seseorang itu
sangat dipengaruhi oleh sikap, keramahan dan kedekatan
kepeda seseorang, sehingga apabila seseorang telah
melakukan perilaku tersebut maka caring akan tercapai
dengan sebaik-baiknya.
2. Kepuasan pasien yang rawat inap di ruangan
penyakit dalam rumah sakit Santa Elisabeth
Medan
Hasil penelitian yang didapat, diketahui distribusi
proporsi kepuasan pasien yang rawat inap di ruangan
penyakit dalam yang dikategorikan baik adalah sekitar
95,2% sedangkan kepuasan pasien yang tidak baik adalah
4,7%. Menurut asumsi Burnard dan Suddarth,
menunjukkan bahwa pasien yang merasa puas lebih
cenderung lebih mematuhi regimen medis dan perawat
memainkan peran penting dalam menyampaikan dan
menguatkan instruksi serta menjadi agen promosi
kesehatan.
Pasien yang merasa puas dengan asuhan profesional
lebih cenderung menggunakan pelayanan di waktu
mendatang sehingga asuhan psikologis yang baik dapat
membuat perbedaan yang signifikan pada konsumen.
Fokus lain dalam literatur adalah konsep ketidak berdayaan
yang dipelajari dalam rumah sakit. Penelitian mengenai
pengalaman pasien selama di rawat di rumah sakit
khususnya diruangan penyakit dalam menguatkan
pendapat bahwa rasa ketidakberdayaan yang dipelajari
menggabarkan keadaan psikologis yang sangat baik, ini
merupakan asumsi salah yang dimiliki pasien.
Hasil penelitian Wike Diah (2009) mengatakan
bahwa kepuasan bagi pasien adalah jika perawat banyak
senyum, ramah, terampil, dan cepat dalam penanganan,
sehingga pasien nyaman dan tenang. Dalam penelitiannya,
pasien tidak berani berkomentar banyak mengenai
ketidakpuasan yang dialaminya. Kualitas pelayanan
kesehatan sebenarnya menunjukkan kepada penampilan
(fermormance), dari pelayanan kesehatan. Secara umum
disebutkan bahwa semakin sempurna penampilan
pelayanan kesehatan, maka semakin sempurna pula
kualitasnya.
53
Penelitian ini dilakukan dengan membagikan
kuesioner terhadap pasien yang dirawat diruangan penyakit
dalam bahwa pasien sudah merasa puas terhadap
pelayanan yang diberikan oleh perawat maupun rumah
sakit, akan tetapi sebagian kecil pasien merasa tidak puas
akan pelayanan perawat dan pelayanan rumah sakit yang
diberikan kepada pasien terutama dalam perawat yang
tidak menanyakan kecukupan dan rasa makanan pasien
setiap hari, kelengkapan dan peralatan yang tersedia
tampak tidak bersih dan rapi dan tidak tersedianya
kecukupan kursi untuk keluarga.
Seseorang merasa puas apabila perawat telah
melakukan tugasnya dengan baik, terutama dalam
pemberian asuhan keperawatan kepada pasien. Apabila
perilaku tersebut sudah tercapai maka seseorang akan
merasa puas.
3. Hubungan perilaku caring perawat terhadap
kepuasan pasien di ruangan penyakit dalam rumah
sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016
Berdasarkan tabel 3 diperoleh hasil bahwa diperoleh
hasil bahwa perilaku caringnya baik dan kepuasan pasien
yang baik sebanyak 38 orang (95,2%), perawat perilaku
caringnya dan kepuasan pasien kurang baik sebanyak 2
orang(4,7%).
Hasil uji SPSS 14 didapat data pada Tabel crosstab
ada dua cell yang expected count kurang dari 0,05, maka
didapatkan p = 0,000 sehingga p < 0,05 dimana nilai alpha
yaitu 0,03. Angka tersebut menunjukkan Ho ditolak dan
Ha diterima sehingga terdapat hubungan yang signifikan
antara perilaku caring perawat dengan kepuasan pasien.
Maka dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan positif
antara perilaku caring perawat terhadap kepuasan pasien di
ruangan penyakit dalam rumah sakit Santa Elisabeth
Medan tahun 2016. Terdapat hubungan yang positif antara
perilaku caring perawat dengan kepuasan pasien, yaitu
perilaku caring perawat baik dan kepuasan pasien sudah
baik atau puas.
Hipotesis menunjukkan perilaku caring perawat
berhubungan dengan kepuasan pasien di ruangan penyakit
dalam rumah sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016.
Perilaku caring perawat yang baik akan
menunjukkan kepuasan yang tinggi terhadap pelanggan.
Dimana kepuasan pasien dapat dipengaruhi oleh
pengalaman, kemampuan dalam berkomunikasi, peka
terhadap kesulitan orang lain,memiliki rasa percaya diri,
ketanggapan dalam melaksanakan tindakan keperawatan
dan adanya sikap yang ramah dan tidak sombong kepada
pasien selama memberikan asuhan keperawatan. Perilaku
caring yang tidak baik dan menurunnya angka kepuasan
pasien dipengaruhi oleh perawat yang bekerja dengan tidak
sungguh-sungguh dan tidak menyadari akan profesinya
sendiri dan tidak bertanggung jawab akan tindakannya dan
kurang tepat dalam melakukan setiap tindakan
keperawatannya.
Perawat merupakan sumber daya terbanyak di
rumah sakit, diharapkan mempunyai pengetahuan dan
keterampilan untuk membantu pasien mengembalikan dan
mencapai keseimbangan dirinya. Perilaku caring perawat
sangat dibutuhkan dalam memberi asuhan keperawatan,
54
hendaknyabperawat menempatkan caring sebagai pusat
perhatian yang sangat mendasar dalam praktek
keperawatan. Perilaku caring perawat juga berdampak
pada peningkatan rasa percaya diri perawat, walaupun
kenyataan yang dihadapi hingga saat ini perawat masih
melaksanakan tugas yang berorientasi pada proses
penyakit dan tindakan medik.
KESIMPULAN
1.
2.
3.
Perilaku caring perawat di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan tahun 2016 ditemukan 95,2%
baik.
Kepuasaan pasien di ruangan penyakit dalam
rumah sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016
sudah baik atau pasien sudah merasa cukup puas
terhadap tindakan yang telah diberikan bahwa
sebagian besar responden mengatakan sudah
merasa puas akan pelayanan yang telah diberikan
oleh perawat maupun rumah sakit. Kepuasan
sangat berpengaruh terhadap tindakan atau
perilaku yang diberikan kepada seseorang
khususnya dalam bidang keperawatan.
Adanya hubungan yang signifikan antara perilaku
caring perawat dengan kepuasan pasien, dimana
diperoleh nilai alpha yaitu 0,03 dimana angka
tersebut menunjukkan Ho ditolak dan Ha diterima.
SARAN
1.
2.
3.
Bagi instansi rumah sakit
Kepada pihak rumah sakit agar lebih menekankan
dalam pemberian informasi mengenai perilaku caring
khususnya kepada perawat dalam pemberian asuhan
keperawatan misalnya dalam mengadakan seminar
ataupun pelatihan kepada perawat.
Bagi perawat
Kepada perawat agar lebih meningkatkan skillnya
misalkan perawat mengikuti suatu pelatihan atau
seminar mengenai caring, apabila perilaku caring
perawat kurang terhadap pasien terutama dalam
pemberian asuhan keperawatan maka kepuasan
pasien belum tercapai secara optimal.
Bagi peneliti
Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan peneliti tentang hubungan perilaku caring
perawat terhadap kepuasan pasien diruangan
penyakit dalam Rumah Sakit Santa Elisabeth
Medan tahun 2016. Peneliti mengharapkan kepada
peneliti selanjutnya untuk melanjutkan penelitian
ini dirumah sakit lain.
DAFTAR PUSTAKA
Kozier. (2010). Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses, dan praktik, edisi.7 vol. 1. Jakarta: EGC
Morisson & Burnard, 2008. Caring & Communicating.
Jakarta: EGC
Potter & Perry, 2009. Fundamental Keperawatan, buku 1
edisi 7. Jakarta. Salemba Medika
Retno. 2010. Tingkat Steres Kerja Dan Perilaku Caring
Perawat. Journal Ners. Volume 5 (2). 165-171
Sumijatun. 2010. Konsep Dasar Menuju Keperawatan
Profesional. Jakarta: Trans Info Media
(TIM).
Wike Diah. 2009. Kepuasan Pasien Rawat Inap Terhadap
Pelayanan Perawat di RSUD Tugu Rejo
Semarang. eprints. undip.ac.Indonesia / 23824 /
1/ WIKE_DIAH_ANJARYANI.pdf
Yuni.dkk. 2009. Perilaku Caring Perawat Meningkatkan
Kepuasan Ibu Pasien. Journal Ners.Volume 4
(2)146-145.
55
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERNIKAHAN USIA MUDA
DI DESA SARIBUDOLOK KECAMATAN SILIMAKUTA
TAHUN 2016
Wiwik Dwi Arianti
Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan
Abstrak
Pernikahan usia muda merupakan pernikahan yang terjadi dimana salah satu pasangan berusia kurang dari
18 tahun atau remaja, atau sedang mengikuti pendidikan sekolah menengah atas. Faktor – faktor yang
mempengaruhi pernikahan usia muda adalah Pendahuluan pendidikan orangtua, status ekonomi orangtua,
tanggungjawab orangtua, serta pengaruh lingkungan masyarakat. Tujuan umum dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda di Desa Saribudolok Kecamatan
Silimakuta Tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan desain Cross Sectional,
teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara teknik total sampel, dimana semua populasi dijadikan
sampel. Data dikumpulkan dengan cara membagikan kuesioner kepada responden sebanyak 38 orang. Dari
hasil penelitian diperoleh berdasarkan Pendahuluan pendidikan orangtua responden mayoritas SD sebanyak
16 orang (42%). Status ekonomi orangtua yang mempengaruhi pernikahan usia muda adalah pada Keluarga
Sejahtera Tahap I yaitu sebanyak 21 orang (55%). Berdasarkan tanggungjawab orangtua, mayoritas
responden mendapatkan tanggungjawab kurang dari orangtua, yaitu sebanyak 16 orang (42%), sedangkan
berdasarkan pengaruh lingkungan masyarakat mayoritas responden menikah karena MBA (married by
accident), yaitu sebanyak 24 orang (63%). Mengingat banyaknya dampak dari pernikahan usia muda, maka
peran profesional pihak promosi kesehatan sangat dibutuhkan dalam memberikan pendidikan kesehatan
kepada para remaja yang beresiko menikah di usia muda.
Kata kunci : Faktor yang mempengaruhi : pernikahan muda
PENDAHULUAN
Pernikahan di usia muda pada era sekarang ini
masih sering terjadi. Mayoritas perempuan muda di
sebagian wilayah dunia, menikah pada usia belasan tahun.
Jumlah wanita muda yang menikah di usia muda, seperti di
Negara Amerika Latin dan Karabia sekitar 50%-75%. Di
Negara-negara maju mencapai 75% atau bahkan lebih, dan
berbagai Negara di Afrika Sub Sahara ada 9 dari 10 wanita
yang menikah di usia muda.
Di Negara Afrika Sub Sahara paling sedikit 50%
perempuan muda mulai hidup bersama sebelum usia 18
tahun, ini terjadi melalui pernikahan formal secara agama
atau hukum atau keputusan bersama, yang menuju
pernikahan. Tetapi di beberapa Negara di wilayah itu, hal
demikian hanya dilakukan oleh satu dari tujuh wanita
muda. Di Amerika Latin dan Karabia terdapat 20-40%
wanita yang menikah di usia muda. Di Afrika Utara dan
Timur Tengah, jumlah wanita muda yang menikah di usia
muda sekitar 30%.
Di Asia kemungkinan pernikahan muda berbeda
sekali. Sekitar 73% perempuan di Bangladesh memasuki
kehidupan bersama sebelum usia 18 tahun, Srilangka 14%,
dan sekitar 5% di Cina. Di Negara Perancis, Inggris, dan
Amerika sekitar 10-11% yang menikah di usia muda,
56
tetapi di Jerman dan Polandia hanya 3-4% yang menikah
di usia muda.
Pernikahan di usia muda sudah berkurang
dibandingkan generasi yang lalu, walau terdapat perbedaan
di dalam daerah, misalnya di Afrika Sub Sahara, proporsi
wanita yang menikah sebelum 18 tahun sudah hampir 39%
dari 40-44 tahun dibanding usia 20-24 tahun. Di Pantai
Gading (49% dibanding 44%), tetapi di Kenya telah
menurun dengan tajam (47% dibanding 28%), penurunan
hebat juga terjadi di wilayah Asia, sedangkan di Amerika
latin dan Karabia tingkat pernikahan di usia muda boleh
dikatakan tidak stabil.
Di Indonesia jumlah pasangan yang menikah di usia
muda sekitar 45%, dan tidak sedikit dari mereka yang
menikah di bawah umur 17 tahun. Berdasarkan catatan
kantor Pengadilan Agama, di Malang angka pernikahan di
bawah usia 15 tahun meningkat 50% dibanding 2010,
hingga September 2011 tercatat 10 pernikahan di usia
pengantin perempuannya yang masih anak-anak.
Tingginya angka pernikahan di usia muda disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya lingkungan, status ekonomi,
dan orangtua. Begitu juga yang terjadi di Kabupaten Nias,
berdasarkan hasil penelitian PKPA tahun 2008, angka
pernikahan antara 13-18 tahun 9,4% dari 218 responden
perempuan yang telah menikah dan akan menikah. Angka
pernikahan di usia muda bagi anak perempuan 3 kali lebih
besar dibanding anak laki-laki (Arini, 2009).
Beberapa daerah Indonesia berdasarkan laporan
pencapaian Millennium Development Goal’s (MDG’s)
Indonesia 2007 yang diterbitkan oleh Bappenas (Badan
Pengawasan Nasional) menyebutkan, bahwa Penelitian
Monitoring Pendidikan oleh Education Network for Justice
pada enam desa/kelurahan di Kabupaten Serdang Badagai
(Sumatera Utara), Kota Bogor (Jawa Barat), dan
Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) menemukan 28,10 %
informan menikah pada usia di bawah 18 tahun. Mayoritas
dari mereka adalah perempuan yakni sebanyak 76,03 %
(Hafizh, 2011).
Remaja merupakan individu yang akan
melaksanakan pernikahan di usia muda tersebut,
sedangkan orangtua adalah orang yang paling
bertanggungjawab kepada anak-anaknya, terutama anak
remajanya.
Faktor-faktor terjadinya pernikahan usia muda dapat
disebabkan dari segi remaja. Hal ini sesuai dengan
pendapat Algies Rachim bahwa :
“Faktor pergaulan dengan teman, masalah seks remaja,
masalah status sosial remaja. Masalah remaja adalah
masa yang penuh gejolak untuk menuju ke masa dewasa.
Pada masa remaja ini kematangan fisik, mental, sosial
dan materialnya belum cukup matang karena pada masa
remaja ini remaja mempunyai sifat-sifat yang ingin
memberontak dan kurang percaya diri”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada
diri remaja akan timbul minat pada lawan jenis, apabila
pada masa ini remaja tidak bisa mengendalikan dirinya,
akan berakibat buruk terhadap remaja itu sendiri. Akibatakibat tersebut misalnya terjadinya pergaulan bebas,
kehamilan di luar nikah, dan akhirnya remaja tersebut akan
putus sekolah. Terjadinya masalah-masalah yang dihadapi
oleh remaja tidak terlepas dari peranan orangtua terhadap
anak remajanya. Apabila terjadi hal-hal seperti kehamilan,
maka orangtua akan cepat-cepat menikahkan anaknya,
walaupun usia anaknya belum cukup untuk melaksanakan
pernikahan, sehingga akan terjadi pernikahan di usia muda.
Berdasarkan survey pendahuluan yang telah
dilakukan penulis, dari Kepala desa Saribudolok
Kecamatan Silimakuta pada tahun 2016 sekitar 276 orang
remaja yang ada di desa tersebut ditemukan 38 remaja
yang menikah di usia muda, yaitu laki-laki di bawah umur
19 tahun dan perempuan di bawah umur 17 tahun. Setelah
itu peneliti mengadakan penelitian sementara pada 10
remaja di desa tersebut. Setelah diwawancarai, 5 dari
pasangan remaja tersebut memiliki orangtua dengan
Pendahuluan pendidikan SD dan SMP, dan menikah
karena hamil di luar nikah, 3 pasangan lainnya menikah
karena status ekonomi, 2 pasangan lainnya menikah karena
faktor pergaulan atau sudah merasa cocok dengan
pasangannya. Oleh karena meningkatnya pernikahan di
usia muda Kepala Desa setempat merencanakan program
KB bagi seluruh penduduk di Desa Saribudolok khususnya
pada remaja yang menikah di usia muda.
METODE
Jenis penilitian yang digunakan adalah dengan jenis
penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui
faktor – faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda
di desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Tahun
2016.Desain penelitian yang digunakan adalah metode
cross sectional yaitu suatu metode yang dapat menggali
beberapa variabel dalam satu waktu yang sama.
Populasi penelitian ini adalah remaja yang menikah
di usia muda, dan berdomisili di Desa Saribudolok Kec.
Silimakuta dengan batasan laki-laki menikah di bawah 19
tahun dan perempuan menikah di bawah usia 17 tahun
yaitu 38 orang. Cara pengambilan sampel dalam penelitian
ini adalah teknik total sampling, dimana seluruh populasi
dijadikan sebagai sampel.
HASIL
Faktor- faktor yang mempengaruhi pernikahan usia
muda yang telah dilaksanakan pada bulan Juni di Desa
Saribudolok
Kecamatan
Silimakuta
Kabupaten
Simalungun dengan jumlah responden 38 orang dan
gambaran umum responden adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Pernikahan Usia Muda
Berdasarkan Pendahuluan Pendidikan
Orangtua di Desa Saribudolok Kecamatan
Silimakuta Tahun 2016
Pendidikan
Jumlah
Persentase (%)
16
42
SD
11
29
SLTP
8
21
SLTA
3
8
P. TINGGI
Jumlah
38
100 %
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa
responden yang menikah usia muda di Desa Saribudolok
Kecamatan Silimakuta memiliki Pendahuluan pendidikan
orangtua mayoritas SD yaitu 16 orang (42 %), sedangkan
Pendahuluan pendidikan SLTP 11 orang (29 %),
pendididikan SLTA 8 orang (21%) dan minoritas
responden memiliki orangtua dengan Pendahuluan
pendidikan Perguruan Tinggi yaitu 3 orang (8 %).
Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Pernikahan Usia
Muda Berdasarkan Status Ekonomi
Orangtua di Desa Saribudolok Kecamatan
Silimakuta Tahun 2016
Status Ekonomi
Frekuensi Persentase
Keluarga Pra Sejahtera
5
13
Keluarga Sejahtera I
21
55
Keluarga Sejahtera II
4
11
Keluarga Sejahtera III
5
13
Keluarga Sejahtera Plus
3
8
Jumlah
38
100 %
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa
responden yang menikah usia muda di Desa Saribudolok
Kecamatan Silimakuta memiliki orangtua dengan status
57
ekonomi keluarga Pra Sejahtera yaitu sebanyak 5 orang
(13 %), status ekonomi Sejahtera Tahap I sebanyak 21
orang (55%), status ekonomi Sejahtera Tahap II sebesar 4
orang (11%), keluarga dengan status ekonomi Sejahtera
Tahap III sebanyak 5 orang (13%), dan status ekonomi
Keluarga Sejahtera III Plus yaitu sebanyak 3 orang (8 %).
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pernikahan Usia Muda
Berdasarkan Tanggungjawab Orangtua di
Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta
Tanggungjawab
Frekuensi
Persentase
Baik
8
21
Cukup
14
37
Kurang
16
42
Jumlah
38
100 %
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa
responden yang melakukan pernikahan usia muda di Desa
Saribudolok Kecamatan Silimakuta memiliki orangtua
yang mayoritas bertanggungjawab baik yaitu sebanyak 8
orang (21 %), orangtua dengan tanggungjawab kurang
sebanyak 16 orang (42%), dan orangtua dengan
tanggungjawab cukup sebanyak 14 orang (37%).
Tabel 4.
Distribusi Frekuensi Pernikahan Usia
Muda
Berdasarkan
Lingkungan
Masyarakat yang Mempengaruhi di Desa
Saribudolok Kecamatan Silimakuta Tahun
2016
Ling. Masyarakat
Frekuensi
Persentase
yang Mempengaruhi
MBA (married by
24
63
accident)
Bukan MBA (married
14
37
by accident)
Jumlah
38
100 %
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa
responden yang melakukan pernikahan usia muda di Desa
Saribudolok Kecamatan Silimakuta akibat dari MBA
(hamil di luar pernikahan) berjumlah 24 orang (63 %) dan
jumlah responden yang menikah bukan karena MBA
adalah 14 orang (37 %).
PEMBAHASAN
1.
Berdasarkan
Pendahuluan
Pendidikan
Orangtua
Pendidikan adalah suatu hal yang membentuk watak
dan pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan
bakat minat dan kemampuan dan sebagai pembentuk sikap
manusia. Dengan tingkat pendidikan yang berbeda akan
mempunyai pandangan yang berbeda pula dalam
menanggapi sesuatu (Aputra, 2005).
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa responden yang
melakukan pernikahan usia muda mayoritas memiliki
orang tua dengan Pendahuluan pendidikan SD sebanyak 16
orang (42%) dan minoritas orangtua memiliki
Pendahuluan pendidikan Perguruan Tinggi sebanyak 3
orang (8%).
58
Hal ini dapat dikaitkan pendapat Jasman Aputra, dkk
bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi
pandangannya terhadap sesuatu yang datang dari luar.
Orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan
memberikan tanggapan yang lebih rasional dibandingkan
dengan orang yang berpendidikan lebih rendah atau tidak
berpendidikan sama sekali.
Menurut peneliti, Pendahuluan pendidikan orangtua
yang tinggi pendidikannya, mereka tidak setuju
menikahkan anak mereka pada usia muda karena orangtua
telah memiliki wawasan yang luas untuk era zaman
sekarang dan merupakan hal yang tidak wajar jika
orangtua yang memiliki pendidikan yang tinggi
menikahkan anak di usia muda.
Sementara itu, bagi orangtua yang memiliki
pendidikan yang lebih rendah atau bahkan tidak
berpendidikan sama sekali akan lebih mudah menikahkan
anaknya di usia muda karena kurangnya wawasan pada
orangtua.
2.
Status Sosial Ekonomi Orangtua
Ekonomi merupakan salah satu faktor yang sangat
mendukung dalam mendukung terjadinya pernikahan usia
muda, karena hal ini berhubungan dengan tingkat finansial
ataupun tingkat kesejaahteraan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan hidup
sehari- hari , kebutuhan perkembangan, kesehatan, dan
kebutuhan hidup lainnya.
Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa mayoritas
responden yang melakukan pernikahan usia muda
memiliki orangtua yang memiliki status ekonomi Sejahtera
Tahap I yaitu sebanyak 55% (21 orang), dan monoritas
orangtua memilki status ekonomi dengan Keluarga
Sejahtera Tahap III Plus yaitu 3 orang (8%). Keluarga
dengan status ekonomi Sejahtera Tahap I merupakan
keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya namun
secara minimal, namun belum dapat memenuhi kebutuhan
psikologisnya, yaitu kebutuhan akan pendidikan, interaksi
dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal
dan transportasi, karena kategori UMP keluarga Sejahtera
tahap I adalah =
Rp. 1. 200.000,Menurut peneliti, UMP dengan Keluarga Sejahtera
Tahap I akan lebih rentan terhadap pernikahan usia muda.
Hal ini disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan
psikologis remaja, seperti misalnya pendidikan. Jika
remaja memiliki pendidikan yang rendah, atau tidak
berpendidikan sama sekali tentu saja tingkat
pengetahuannya/wawasan yang tidak luas. Ini akan
mendorong terjadinya pernikahan usia muda.
Lain halnya dengan keadaan sosial ekonomi orangtua
yang kurang mencukupi kebutuhan anggota keluarga tidak
akan terpenuhi, dan anak – mereka tidak mempunyai
kesempatan yang luas. Orang tua yang memiliki ekonomi
rendah akan cepat – cepat menikahkan anaknya khususnya
anak gadisnya yang belum cukup umur menikah.
Istilahnya apabila anaknya telah menikah, maka orangtua
telah lepas tanggungjawab, atau mengurangi beban.
(Mustafa, 2005).
3.
Berdasarkan Tanggungjawab Orangtua
Berdasarkan tabel 3 diperoleh data bahwa
responden yang menikah di usia muda mayoritas
mendapatkan tanggung jawab yang kurang dari orangtua
yaitu sekitar 16 orang (42%). Sementara yang
mendapatkan tanggungjawab orangtua secara penuh / baik
minoritas adalah sekitar 8 orang (21%).
Menurut peneliti, sesuai dengan pendapat Sulastri
bahwa tanggungjawab orangtua sangat berperan dalam
terjadinya pernikahan usia muda. Responden yang
mendapatkan tanggungjawab kurang dari orangtua akan
lebih rentan terhadap pernikahan usia muda. Karena salah
satu tanggungjawab orangtua yang tidak didapatkan anak
akan mempengaruhi psikososial anak.
Lingkungan Sosial Masyarakat
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan
perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosio-psikologis. Dalam hal ini lingkungan
sosial masyarakat yang mempengaruhi adalah pergaulan
yaitu pergaulan bebas. Pada remaja berpengaruh dalam
terjadinya pernikahan di usia Pergaulan muda. Pergaulan
dalam hal ini adalah pergaulan bebas. Zaman modern
sekarang dikenal istilah MBA (married by accident). Faktor
inilah yang selama ini identik dengan pernikahan usia
muda. Tak jarang ketika orang mendengar tentang
pernikahan dini, asumsi pertama yang muncul, MBA
(Married By Accident) adalah penyebabnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
dapat diketahui dari tabel 4 bahwa mayoritas responden
melakukan pernikahan usia muda adalah karena MBA
(married by accident) atau lebih dikenal dengan menikah
akibat hamil di luar pernikahan sebanyak 24 orang dari 38
responden atau sekitar 63%. Sedangkan yang menikah
bukan karena hamil di luar pernikahan adalah hanya sekitar
14 orang dari 38 responden atau sekitar 37%.
Menurut teori Sri Sulastri, masa remaja merupakan
masa yang mengalamii perubahan jasmani, kepribadian
maupun pengaruh lingkungan. Proses perkembangan yang
dialami remaja dan sekelilingnya khususnya orangtua, di
dalam masa perubahan remaja tersebut ingin mencari
identitas diri. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yaitu
mayoritas remaja menikah di usia muda adalah karena
faktor kehamilan di luar pernikahan akibat pengaruh dari
lingkungan sekitarnya.
Menurut peneliti, MBA (married by accident)
merupakan hal yang paling mendukung dalam pernikahan
usia muda. Dalam hal ini, MBA (married by accident)
terjadi karena remaja merupakan masa- masa yang labil,
masa dimana mereka belum mampe sepenuhnya dalam
mengontrol diri dan emosi. Hal inilah terkadang yang
menjadi penyebab MBA (married by accident). Jika MBA
(married by accident ) sudah terjadi, tentu saja harus
melaksanakan pernikahan.
Dan memang fenomena yang sering dilihat, hamil di
luar nikah kerap menjadi alasan para remaja zaman
sekarang melakukan pernikahan usia muda ini. Banyak
generasi yang gagal membangun hidupnya hanya
dikarenakan kesalahan mereka dalam memanage apa yang
seharusnya mereka lakukan. Ketika mereka sudah dalam
kondisi under control, rasio mereka kalah. Sehingga
potensi kegagalan semakin besar, apalagi didukung dengan
tingkat emosional mereka yang cenderung labil. Faktor
inilah yang menjadi salah satu poros munculnya konotasi
negatif.
KESIMPULAN
1.
4.
2.
3.
4.
Berdasarkan Pendahuluan pendidikan orangtua,
responden yang menikah usia muda mayoritas
memiliki
orangtua
dengan
Pendahuluan
pendidikan SD yaitu sebanyak 16 orang atau
sekitar 42%, dan minoritas orangtua responden
memiliki Pendahuluan pendidikan Perguruan
Tinggi yaitu sebanyak 3 orang atau sekitar 8%.
Berdasarkan status ekonomi orangtua, dapat
diketahui bahwa mayoritas orangtua responden
memiliki status ekonomi Sejahtera Tahap I yaitu
sekitar 21 orang (55%), dan minoritas dengan
status ekonomi Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
yaitu 3 orang (8%).
Berdasarkan tanggungjawab orangtua, dapat
diketahui bahwa mayoritas responden yang
menikah di usia muda memiliki orangtua dengan
tanggungjawab kurang yaitu sekitar 16 orang
(42%). Dan minoritas responden memiliki
orangtua dengan tanggungjawab penuh hanya
sekitar 8 orang (21%).
Berdasarkan faktor dari pengaruh lingkungan
masyarakat, dapat diketahui bahwa responden
yang melakukan pernikahan di usia muda adalah
mayoritas karena MBA (married by accident) ,
yaitu sekitar 24 orang dari 38 responden (63%) dan
minoritas responden menikah bukan karena MBA
(married by accident) hanya sekitar 14 orang dari
38 orang (37%).
SARAN
1.
2.
3.
4.
5.
Kepada petugas promosi kesehatan agar
meningkatkan dan menggalakkan perhatian,
penyuluhan tentang dampak pernikahan usia muda.
Kepada remaja yang menikah di usia muda agar
memanfaatkan Program pemerintah, yaitu program
KB. Karena pernikahan usia muda sangat
memungkinkan terjadinya angka kelahiran yang
tinggi sehingga kurang mendukung pembangunan
di bidang kesejahteraan.
Kepada orangtua yang memiliki anak remaja, agar
lebih memberikan perhatian dan tanggungjawab
sebagai orangtua karena remaja merupakan masa
labil.
Kepada para remaja agar menghindari pergaulan
bebas MBA (married by accident) dengan cara
mengembangkan bakat dan minat yang kreatif dan
inovatif.
Kepada orangtua, agar lebih meningkatkan status
ekonomi yang dapat mencukupi kebutuhan remaja,
seperti pendidikan dan kebutuhan sosial lainnya.
59
6.
Dan diharapkan orangtua tidak mudah memberi
izin kepada remaja untuk menikah di usia muda
hanya karena status ekonomi.
Kepada orangtua yang kurang berpendidikan atau
bahkan tidak berpendidikan sama sekali
diharapkan agar tetap menikahkan anak sesuai
umur yang telah ditetapkan oleh undang-undang
negara, sehingga anak memiliki kesiapan untuk
mengarungi bahtera rumah tangga yang sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Aputra, J. et al., 2005. Buku Sumber Pendidikan KB.
BKKBN. Jakarta: EGC
Mustafa, K., 2005. Tanggung Jawab Orangtua. Semarang:
Kharisma Putra
Hafizh.,
2010.
Perkawinan
di
Usia
Muda
http://.agiusa.org.com.2010.perkawinan
di.usia.muda
Arini., 2009. Pasangan yang Menikah di Usia Muda
http://ratna.arini.com.2009.
pasangan-yangmenikah-di-usia-muda
60
Rahman.,
2011. Pernikahan Dini di Indonesia
http://.referensimakalah.
com.2011
/08/pernikahan-dini-di-indonesia 1271.html
Supryanto., M.Kes. 2011. Konsep Pernikahan Dini
http://dr.supryanto.blg.
spot.com/2011/02/konsep-pernikahan-dinihtml
Supryanto.,
M.Kes.
2011.
Konsep
Orangtua
http://dr.supryanto.
blg.spot.com
/2011/02/konsep-orangtua-html.
EFEKTIFITAS PERAWATAN LUKA MENGGUNAKAN MADU
DENGAN LOMATULLE TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN
LUKA DIABETIK
Sri Siswati, Syammar Kurnia Nasution
Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan
Abstrak
Diabetes mellitus adalah gangguan hormonal kronik yang menyebabkan glukosa dalam darah berlebih
disertai dengan berbagai kelainan metabolik, yang menimbulkan berbagai komplikasi pada mata, ginjal,
saraf, dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
perbedaan efektivitas perawatan luka menggunakan madu dan lomatulle terhadap proses penyembuhan luka
diabetik pasien diabetes mellitus. Desain penelitian yang digunakan adalah quasy-experimental dengan
rancangan non randomized control grouppretest-posttest design. Sampel penelitian ini adalah 20 pasien
diabetes mellitus yang mengalami luka diabetik derajat I, II dan III yang dibagi menjadi dua kelompok
dengan rincian 10 pasien sebagai kelompok eksperimen perawatan luka menggunakan madu dan 10 pasien
lainnya sebagai kelompok eksperimen perawatan luka menggunakan lomatulle. Teknik analisa data yang
digunakan adalah uji beda parametrik yaitu independen t-test dengan nilai α = 0,01. Hasil uji statistik
parametrik menggunakan independent t-test menunjukkan nilai rata-rata selisih skor penilaian luka
sebelum dan sesudah dilakukan perawatan luka menggunakan madu adalah 20,2. Rata-rata selisih skor
penilaian luka sebelum dan sesudah dilakukan perawatan luka menggunakan Lomatulle adalah 6,6. P
value = 0,000 < a (a = 0,01) berada pada nilai kemaknaan p < 0,001, maka hasil yang diperoleh amat
sangat bermakna. Secara statistik Ho ditolak, sehingga hipotesis penelitian (Ha) gagal ditolak, artinya ada
perbedaan efektivitas perawatan luka menggunakan madu dan lomatulle terhadap proses penyembuhan luka
diabetik pasien diabetes mellitus di RS Sembiring Delitua dan RS Grand medistra Lubuk Pakam.
Kata kunci : Diabetes Mellitus, Luka Diabetik, Madu dan Lomatulle
PENDAHULUAN
Diabetes merupakan penyakit tidak menular yang
semakin meningkat keberadaannya di seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Diabetes mellitus adalah gangguan
hormonal kronik yang menyebabkan glukosa dalam darah
berlebih disertai dengan berbagai kelainan metabolik, yang
menimbulkan berbagai komplikasi pada mata, ginjal, saraf,
dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis
dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron
(Mansjoer et al, 2000).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat
perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pasien diabetes
mellitus diatas usia 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan
dalam kurun waktu 25 tahun kemudian yaitu pada tahun
2025, jumlah tersebut akan meningkat menjadi 300 juta
orang (Sudoyo et al, 2006). Prevalensi diabetes mellitus di
dunia mengalami peningkatan yang cukup besar.
Pasien diabetes mellitus di Indonesia pada tahun
2000 mencapai 8,4 juta dan diperkirakan akan meningkat
menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (WHO, 2008).
Berdasarkan data WHO dan Departemen Kesehatan
(Depkes) pada tahun 2008, prevalensi pasien diabetes
mellitus di Indonesia mencapai 5,7% dari jumlah
penduduk atau sekitar 12,4 juta jiwa. Tingginya angka
tersebut menjadikan Indonesia peringkat kelima jumlah
pasien diabetes mellitus terbanyak di dunia setelah India,
Cina, Amerika Serikat dan Pakistan (Sudoyo et al, 2006;
Rumah Diabetes Indonesia, 2012).
Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi
yang tercatat jumlah pasien diabetes mellitus cukup tinggi.
Pada tahun 2010 tercatat 8.557 pasien dengan rincian 2.745
pasien diabetes mellitus tipe I dan 5.812 pasien diabetes
mellitus tipe II (DINKES SUMUT, 2011). Pada tahun
2015 jumlah pasien diabetes mellitus di Provinsi SUMUT
mengalami kenaikan sebesar 3.030 dibanding tahun 2013,
tercatat 11.587 pasien dengan rincian 4.204 pasien diabetes
mellitus tipe I dan 7.383 pasien diabetes mellitus tipe II.
(DINKES SUMUT, 2015).
Saat ini Kota Medan memiliki pelayanan
kesehatan yang cukup canggih. Sehingga banyak Rumah
Sakit besar yang berdiri untuk melayani berbagai
penyakit.Salah satu Rumah Sakit tersebut adalah RS
Sembiring Delitua dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam.
Berdasarkan data rekam medis di RS Sembiring Delitua
diperoleh data tahun 2014 rata-rata pertahun jumlah pasien
dengan luka diabetik sebanyak 101 orang, dan tahun 2015
meningkat menjadi 125 orang. Sedangkan di RS Grand
Medistra Lubuk Pakam diperoleh data tahun 2014 rata-rata
pertahun jumlah pasien dengan luka diabetik sebanyak 135
orang, dan tahun 2015 meningkat menjadi 165 orang
(Rekam Medik, 2015).
61
Luka diabetik mudah berkembang menjadi
infeksi akibat masuknya kuman atau bakteri dan adanya
gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk
pertumbuhan kuman (Sudoyo et al, 2006). Apabila luka
diabetik tidak ditangani dengan tepat akan menimbulkan
kecacatan bahkan berujung pada amputasi (Misnadiarly,
2006; Iqbal, 2008 dalam Situmorang, 2009).
Madu telah digunakan sebagai obat alami untuk
berbagai penyembuhan penyakit sejak ribuan tahun yang
lalu (Mwipatayi et al., 2004). Orang terdahulu telah
menggunakan madu sebagai sebuah terapi pengobatan
selama beberapa milenium dan belakangan ini ditemukan
kembali sebagai pengobatan yang potensial dalam
perawatan luka (Marshall, 2002). Yapuca et al (2007)
menyebutkan bahwa madu dapat mempercepat proses
penyembuhan luka.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Subrahmanyam et al (1998) tentang perbedaan efektivitas
perawatan luka antara menggunakan madu dansilver
sulphadiazin menyebutkan bahwa pada hari ke-21, seluruh
luka yang dirawat dengan madu mengalami epitelisasi,
sedangkan luka yang dirawat dengansilver sulphadiazin
hanya 84% yang mengalami epitelisasi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
perbedaan efektivitas perawatan luka menggunakan madu
dan lomatulle terhadap proses penyembuhan luka diabetik
pasien diabetes mellitus di RS Sembiring Delitua dan RS
Grand Medistra Lubuk Pakam.
Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
bagi instansi pendidikan keperawatan dalam
prosedur perawatan luka dan sebagai referensi
baru yang menarik untuk dikembangkan pada
penelitian selanjutnya.
b. Menggugah
keinginan
perawat
dalam
mengembangkan keilmuannya khususnya dalam
perawatan luka serta dapat dijadikan sebagai
informasi dan studi pustaka tambahan untuk
penelitian selanjutnya berkaitan dengan perawatan
luka menggunakan madu dan lomatulle terhadap
proses penyembuhan luka.
c. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan
masyarakat terutama bagi pasien diabetes mellitus
dengan luka diabetik untuk dapat menggunakan
madu atau lomatulle dalam melakukan perawatan
luka.
TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes mellitus adalah gangguan hormonal
kronik yang menyebabkan glukosa dalam darah berlebih
disertai dengan berbagai kelainan metabolik, yang
menimbulkan berbagai komplikasi pada mata, ginjal, saraf,
dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis
dalam pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron
(Mansjoer et al, 2000).
62
Luka diabetik adalah luka yang terjadi karena
adanya kelainan pada saraf, pembuluh darah dan kemudian
adanya infeksi. Apabila infeksi tidak diatasi dengan baik,
hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat
diamputasi (Prabowo, 2007 dalam Situmorang, 2009).
Gangren adalah luka diabetik yang ditandai dengan
kematian jaringan dan umumnya diikuti dengan
kehilangan preparat vaskular (nutrisi) dan diikuti dengan
invasi bakteri dan pembusukan (Dorland, 2002).
Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
penyembuhan luka, antara lain: nutrisi, kelembaban, usia,
gangguan oksigenasi, gangguan suplai darah dan pengaruh
hipoksia, eksudat yang berlebihan, jaringan nekrotik,
krusta yang berlebihan dan benda asing, perawatan luka,
obat-obatan, stres luka.
Madu
Madu adalah produk alami dari lebah jenis Apis
dan Meliponinae. Lebah- lebah mengumpulkan nektar dari
bunga tumbuh-tumbuhan, nektar kemudian diproses secara
enzimatik In Vivo yang kedua kegiatan tersebut yaitu
pengumpulan dan proses pembuatan madu dilakukan di
dalam sarang lebah (Namias, 2003).
Dalam madu terdapat kandungan zat gula
berupa fruktosa dan glukosa yang merupakan jenis gula
monosakarida yang mudah diserap oleh usus. Selain
itu, madu mengandung vitamin, mineral, asam amino,
hormon, antibiotik dan bahan-bahan aromatik.
(Nuryati, Tanpa Tahun). Pada umumnya madu tersusun
atas 17,1% air, 82,4% karbohidrat total, 0,5% protein,
asam amino, vitamin dan mineral. Selain asam amino
nonesensial ada juga asam amino esensial di antaranya
lysin, histadin, triptofan, dll. Karbohidrat yang
terkandung dalam madu termasuk tipe karbohidrat
sederhana. Karbohidrat tersebut utamanya terdiri dari
38,5% fruktosa dan 31% glukosa. Sisanya, 12,9%
karbohidrat yang tersusun dari maltosa, sukrosa, dan
gula lain (Intanwidya, 2005; Khan et al, dalam Kartini,
2009).
Lomatulle
Lomatulle adalah kasa steril yang telah direndam
dalam antibiotik (Asnamusad, 2008). Lomatulle adalah
kasa yang diresapi dengan salep yang mengandung
lanoparaffin framycetin sulphate 1%. Lomatulle
merupakan antibiotik untuk organisme yang sensitif
terhadap framycetin (Carville, 1998).
Metode
Desain penelitian yang dilakukan adalah
penelitian quasy-experimental dengan rancangan non
randomized control grouppretest-posttest design. Non
randomized control grouppretest-posttest design
adalahrancangan yang tidak ada kelompok pembanding
(kontrol) dan tidak dilakukan secara random namun
sudahdilakukan observasi pertama(pretest) yang
memungkinkan peneliti dapat mengujiperubahan yang
terjadi setelah adanya eksperimen (Notoatmodjo, &
Fathoni, 2010).
yang terdiri dari 10 orangkelompok perlakuan dengan
madu dan 10 orang kelompok perlakuan dengan lomatulle.
Sampling yang digunakan dalam penelitian ini
adalah non probability sampling dengan pendekatan
accidental samplingyaitu teknik untuk menentukan sampel
daripopulasi dengan pertimbangan tertentu sesuai yang
dikehendaki oleh peneliti(Setiadi, 2007). Peneliti memilih
sampel penelitian yang memiliki variasi derajat luka
diabetik sama pada masing-masing kelompok.
Lokasi penelitian dilaksanakan di RS Sembiring
Delitua dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam.
Pelaksanaan intervensi dan pengambilan data pasien
dilaksanakan di RS saat melakukan kontrak penelitian.
Madu
Luka Diabetik
Perawatan Luka
Analisis Perbedaan
Lomatulle
a. Ukuran Luka
b. Kedalaman Luka
c. Lama Sembuh
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 125
orang di RS Sembiring Delitua dan 165 orang di RS Grand
Medistra Lubuk Pakam.Sampel pada penelitian ini
diperoleh pada saat dilakukannya penelitian dengan
pengambilan accidental sampling yaitu sebanyak 20 orang
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a. Hasil Penelitian
Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Golongan Jenis Kelamin, LokasiLuka dan Derajat Luka Diabetik pada
Kelompok Madu dan KelompokLomatulle
Karakteristik Responden
Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. perempuan
Total
Lokasi Luka
a. Ekstremitas atas
b. Ekstremitas bawah
Total
Derajat Luka Diabetik
a. Derajat I
b. Derajat II
c. Derajat III
Total
Kelompok Madu
Jumlah
(%)
Kelompok Lomatulle
Jumlah
(%)
6
4
10
60
40
100
8
2
10
80
20
100
0
10
10
0
100
100
0
10
10
0
100
100
2
4
4
10
20
40
40
100
2
4
4
10
20
40
40
100
Sumber: Data Primer (2016)
Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Kadar Glukosa DarahSewaktu
a.
b.
Variabel
Usia Responden (tahun)
Kadar Glukosa Darah Sewaktu
(mg/dl)
1. KGD I (hari kerja ke-1)
2. KGD II (hari kerja ke-8)
3. KGD III (hari kerja ke-15)
Mean
59,4
SD
5,98517
Min-Max
46-67
302,7
277,6
267,3
65,16654
111,02772
102,53677
214-390
117-438
159-437
Sumber: Data Primer (2016)
Tabel 5.3
Distribusi Skor Luka Diabetik Sebelum dan Sesudah Perawatan Luka MenggunakanMadu dan Lomatulle
Parameter
1.
Ukuran Luka
a. 0 = P dan/atau L tetap
b. 1 = P dan/atau L mengecil < 0,5 cm
c. 2 = P dan/atau L mengecil 0,5-1 cm
d. 3 = P dan/atau L mengecil 1-1,5 cm
e. 4 = P dan/ atau L mengecil >1,5 cm
Total
2. Kedalaman Luka
a. 0 = mengenai otot, tulang / tendon
b. 1 = nekrosis yang tidak jelas
c. 2 = tidak melewati fascia dibawahnya
d. 3 = epidermis dan/ atau dermis hilang
e. 4 = eritema pada kulit utuh
Total
Madu
Sebelum
Sesudah
Jlh/ %
Jlh/ %
Lomatulle
Sebelum
Sesudah
Jlh/ %
Jlh/ %
10/ 100
0
0
0
0
10
0
0
0
2/ 20
8/ 80
10
10/ 100
0
0
0
0
10
2/ 20
0
0
2/ 20
6/ 60
10
4/ 40
0
6/ 60
0
0
10
2/ 20
0
6/ 60
2/ 20
0
10
6/ 60
0
4/ 40
0
0
10
4/ 40
0
6/ 60
0
0
10
63
3.
Jenis Jaringan Nekrotik
a. 0 = eschar sangat lengket
b. 1 = eschar lengket
c. 2 = jaringan kuning/ putih dan lengket
d. 3 = jaringan putih/ kuning dan tidak lengket
e. 4 = tidak terlihat nekrotik
Total
4. Jumlah Jaringan Nekrotik
a. 0 = 75% hingga 100%
b. 1 = > 50% dan < 75%
c. 2 = 25% hingga 50%
d. 3 = < 25%
e. 4 = tidak terdapat nekrotik
Total
5. Jenis Eksudat
a. 0 = sangat purulent
b. 1 = purulent
c. 2 = serosa
d. 3 = serosanguinosa
e. 4 = tidak ada atau disertai berdarah
Total
6.
Jumlah Eksudat
a. 0 = banyak
b. 1 = sedang
c. 2 = sedikit
d. 3 = sangat sedikit
e. 4 = tidak ada
Total
7. Warna kulit di sekitar luka
a. 0 = hitam atau hiperpigmentasi
b. 1 = merah gelap atau ungu
c. 2 = putih pucat atau hipopigmentasi
d. 3 = merah terang dan/atau pucat
e. 4 = kulit normal
Total
8. Edema Jaringan Perifer
a. 0 = pitting edema ≥ 4 cm
b. 1 = pitting edema < 4 cm
c. 2 = non-pitting edema ≥ 4 cm
d. 3 = non-pitting edema < 4 cm
e. 4 = sedikit pembengkakan
Total
9. Granulasi Jaringan
a. 0 = tidak ada jaringan granulasi
b. 1 = merah muda ≤ 25% luka
c. 2 = merah terang < 75% &> 25%
d. 3 = merah terang 75% hingga 100%
e. 4 = kulit utuh
Total
10. Epitelisasi Jaringan
a. 0 = < 25%
b. 1 = 25% hingga < 50%
c. 2 = 50% hingga < 75%
d. 3 = 75% hingga 100%
e. 4 = permukaan luka utuh
Total
P = panjang luka dan L = lebar luka
Sumber: Data Primer (2016)
64
2/ 20
0
6/ 60
2/ 20
0
10/ 100
0
0
0
2/ 20
8/ 80
10/ 100
0
2/ 20
6/ 60
2/ 20
0
10/ 100
0
0
6/ 60
4/ 40
0
10/ 100
4/ 40
4/ 40
0
2/ 20
0
10/ 100
0
0
0
2/ 20
8/ 80
10/ 100
2/ 20
0
6/ 60
2/ 20
0
10/ 100
0
2/ 20
4/ 40
4/ 40
0
10/ 100
4/ 40
0
2/ 20
4/ 40
0
10/ 100
0
0
2/ 20
0
8/ 80
10/ 100
2/ 20
2/ 20
6/ 60
0
0
10/ 100
2/ 20
0
2/ 20
6/ 60
0
10/ 100
4/ 40
0
2/ 20
4/ 40
0
10/ 100
0
0
4/ 40
0
6/ 60
10/ 100
2/ 20
0
6/ 60
2/ 20
0
10/ 100
2/ 20
0
4/ 40
4/ 40
0
10/ 100
0
8/ 80
0
0
4/ 40
0
0
4/ 40
0
0
2/ 20
4/ 40
0
2/ 20
10/ 100
0
6/ 60
10/ 100
0
6/ 60
10/ 100
0
4/ 40
10/ 100
8/ 80
0
2/ 20
0
0
10/ 100
2/ 20
0
4/ 40
0
4/ 40
10/ 100
2/ 20
0
4/ 40
2/ 20
2/ 20
10/ 100
4/ 40
0
2/ 20
0
4/ 40
10/ 100
2/ 20
8/ 80
0
0
0
0
0
10/ 100
0
0
4/ 40
0
0
10/ 100
0
6/ 60
0
10/ 100
0
10/ 100
0
10/ 100
0
10/ 100
10/ 100
0
0
0
0
10/ 100
2/ 20
2/ 20
0
6/ 60
0
10/ 100
10/ 100
0
0
0
0
10/ 100
2/ 20
0
0
8/ 80
0
10/ 100
Tabel 5.4
Distribusi Rata-rata Selisih Skor Luka Diabetik Sebelum dan SesudahPerawatan Luka antara Menggunakan
Madu danLomatulle
Variabel
Perawatan Luka
Madu
Lomatulle
Mean
SD
SE
p value
N
20,20
6,60
3,63
2,96
1,62
1,32
0,000
10
10
Sumber: Data Primer (2016)
b. Pembahasan
Karakteristik responden penelitian (jenis
kelamin responden) pada tabel5.1 menunjukkan bahwa
14 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 6
perempuan.Peneliti menganalisa bahwa pasien laki-laki
memiliki
aktivitas
lebih
beratdaripada pasien
perempuan. Aktivitas sebanding dengan tekanan, semakin
tinggiaktivitas pasien semakin tinggi pula tekanan yang
diperoleh, sehingga pasien laki-laki memiliki resiko lebih
tinggi untuk mengalami luka diabetik. Pendapattersebut
didukung oleh teori yang menyatakan bahwa tekanan
dan kekuatangesekan akan mengganggu sirkulasi
jaringan lokal
dan mengakibatkan
hipoksiaserta
memperbesar pembuangan metabolik yang dapat
menyebabkan nekrosis(Morison, 2004).
Seluruh pasien memiliki luka diabetik di
ekstremitas bawah (kaki). Hal inisesuai dengan pendapat
Riyadi dan Sukarmin (2008) dan Iqbal (2008
dalamSitumorang, 2009) yang menyatakan bahwa
komplikasi yang sering terjadi padapasien diabetes
mellitus adalah perubahan patologis anggota gerak
ekstremitasbawah akibat gangguan sirkulasi, penurunan
sensasi dan hilangnya fungsi sarafsensorik yang bisa
menyebabkan luka atau tidak terkontrolnya infeksi
sehinggadapat mengakibatkan luka gangren.
Peneliti berpendapat bahwa anggota tubuh
ekstremitas bawah pasiendiabetes mellitus memiliki
risiko
yang
lebih
besar
mengalami
luka
diabetikdibandingkan anggota tubuh ektremitas atas.
Selain itu, penurunan sensasi rasapada kaki dan bagian
tubuh lainya akan meningkatkan resiko terjadinya luka
yangtidak disadari oleh pasien.
Pasien diabetes mellitus pada masing-masing
kelompok
(baik
kelompokmadu
maupun
kelompoklomatulle) yang memiliki luka diabetik derajat
Isejumlah 2 orang, derajat II sejumlah 4 orang dan
derajat III sejumlah 4 orang.Variasi derajat luka diabetik
sama pada masing-masing kelompok perawatan luka.Hal
ini sesuai dengan teknik pemilihan sampel yang
digunakan oleh peneliti.Peneliti memilih sampel
penelitian yang memiliki variasi derajat luka
diabetiksama pada masing-masing kelompok. Derajat luka
diabetik responden penelitianditentukan
berdasarkan
klasifikasi
Wagner.
Wagner
mengklasifikasikan
lukadiabetik berdasarkan luas dan kedalaman luka.
Luka diabetik derajat I yaituterdapat ulkus superfisial,
terbatas hanya pada kulit. Luka diabetik derajat II,
yaituulkus yang dalam sampai tendon/tulang. Luka
diabetik derajat III, yaitu ulkusdengan atau tanpa
osteomilitis (Sudoyoat al,2006; Scemons dan Elston,
2009).
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa rata-rata usia
pasien adalah 59,4 tahun, usiapaling muda 46 tahun
sedangkan usia paling tua 67 tahun. Menurut Riyadi
danSukarmin (2008), salah satu faktor penyebab
resistensi insulin pada diabetesmellitus adalah usia.
Setelah usia 40 tahun manusia akan mengalami
penurunanfisiologis yang sangat cepat, penurunan ini
akan berisiko pada penurunan fungsipankreas untuk
memproduksi insulin.
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata kadar
glukosa darahsewaktu pada pengukuran pertama adalah
302,7 mg/dl, KGD paling rendah 214mg/dl dan KGD
paling tinggi 390 mg/dl. Rata-rata kadar glukosa darah
sewaktupada pengukuran kedua adalah 277,6 mg/dl, KGD
paling rendah 117 mg/dl danKGD paling tinggi 438
mg/dl. Rata-rata kadar glukosa darah sewaktu
padapengukuran ketiga adalah 267,3 mg/dl, KGD paling
rendah 159 mg/dl dan KGDpaling tinggi 437 mg/dl.
Diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan
berdasarkan keluhan dangejala khas yang dialami pasien
ditambah hasil pemeriksaan kadar glukosa darahsewaktu
lebih dari 200 mg/dl atau kadar glukosa darah puasa
sama dengan ataulebih dari 126 mg/dl (Mansjoeret
al,2000). Melihat rata-rata kadar glukosa darahsewaktu
pada tiga kali pengukuran menunjukkan rata-rata kadar
glukosa darahresponden melebihi batas normal (> 200
mg/dl).
Glukosa darah yang normal akan memberikan
suasana yang kondusif bagiviskositas darah, perfusi
oksigen dan imunitas serta nutrisi ke dalam sel otot,
hatidan lemak
(Supriyatin, Saryono, dan Latifah,
2007).Sirkulasi darah yang buruk pada pembuluh darah
besar dapatmemperlambat penyembuhan luka. Riyadi
dan Sukarmin (2008); Iqbal (2008dalam Situmorang,
2009)
menyebutkan
bahwa
akibat
gangguan
sirkulasi,penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf
sensorik bisa menyebabkanterjadinya luka diabetik.
Selain itu, infeksi yang tidak terkontrol dapat
berujungpada timbulnya luka gangren.
Secara umum, sifat penyembuhan pada semua
jenis luka sama denganvariasinya yang bergantung
pada lokasi luka, tingkat keparahan luka, dan luasatau
ukuran luka. Proses penyembuhan luka melibatkan
integrasi proses fisiologis.Proses penyembuhan luka juga
dipengaruhi oleh kemampuan sel dan jaringantubuh
dalam melakukan regenerasi ke struktur normal (Potter dan
Perry, 2005b).Luka dikatakan mengalami proses
penyembuhan apabila mengalami fase responinflamasi
akut, fasedestruktif, fase proliferatif dan fase maturasi
(Morison, 2004).Selain itu juga disertai dengan
berkurangnya luas luka, berkurangnya jumlaheksudat,
dan jaringan luka semakin membaik (NPUAP, 2009).
Secara deskriptif status luka diabetik yang
dirawat menggunakan madumenunjukkan hasil berbeda
dibandingkan
status
luka
diabetik
yang
65
dirawatmenggunakanlomatulle.Hal ini sangat tampak
pada hasil penilaian status lukapada semua parameter.
Pada kelompok perawatan luka menggunakan madu
yangmengalami pengecilan panjang dan/atau lebar luka >
1,5% sebanyak 80% pasiendan tidak ada pasien yang
memiliki ukuran luka tetap. Sedangkan pada
kelompokperawatan luka menggunakanlomatullehanya
60% yang mengalami pengecilanpanjang dan/atau lebar
luka > 1,5 cm dan 20% pasien tidak mengalami
perubahanukuran luka (ukuran luka statis).
Observasi
parameter
kedalaman
luka
menunjukkan bahwa 20% pasienyang dirawat
menggunakan madu memiliki kedalaman luka sebatas
hilangnyasebagian ketebalan kulit, baik lapisan
epidermis dan/atau dermis. Pasien yangdirawat
menggunakanlomatullebelum
ada yang memiliki
kedalaman lukasebatas hilangnya sebagian ketebalan
kulit, baik epidermis dan/atau dermis.Sebanyak 20%
pasien yang dirawat menggunakan madu memiliki
kedalaman lukayang mengalami
kerusakan hingga
jaringan otot, tulang atau struktur penyanggalainnya.
Tetapi
40%
pasien
yang
dirawat
menggunakanlomatullemasih memilikikedalaman luka
yang mengalami kerusakan hingga jaringan otot, tulang
ataustruktur penyangga lainnya.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa
pengecilan ukuran dankedalaman pada luka diabetik
yang
dirawat
menggunakan
madu
salah
satunyadisebabkan oleh adanya pertumbuhan jaringan
granulasi dan jaringan epitel.Granulasi pada luka yang
dirawat menggunakan madu tumbuh dengan baikkarena
madu dapat memberikan lingkungan yang lembab untuk
luka. Hal tersebutsesuai dengan pendapat Molan (2006)
yang menyatakan bahwa rata-ratapenyembuhan yang
sangat cepat terlihat ketika luka dibalut menggunakan
balutanyang diolesi madu karena madu dapat
menciptakan
kelembaban
yang
tidakdipengaruhi
lingkungan.
Berdasarkan teori yang ada, lomatullehanya
bertindak sebagai antibiotik.Peneliti berpendapat bahwa
perubahan ukuran dan kedalaman luka diabetik
yangdirawat menggunakan lomatulle disebabkan oleh
penurunan
edema
pada
luka, seiring dengan
berkurangnya edema tersebut maka tepi luka akan tertarik
ke pusatluka dan ukuran luka tampak mengecil. Hal inilah
yang membedakan mekanismeperubahan ukuran luka
antara yang dirawat menggunakan madu dan
lomatulle.Madu bekerja dengan sifatnya yang lembab
sehingga mendukung pertumbuhanjaringan granulasi dan
epitelisasi yang dapat mendukung pengecilan ukuran
luka.Lomatullebekerja dengan mengurangi edema pada
luka, sehingga ukuran lukatampak mengecil.
Gambaran
jenis
jaringan
nekrotik
menunjukkan sebagian besar (80%)pasien yang dirawat
menggunakan
madu
tidak
memiliki
jaringan
nekrotik.Sebagian kecil (20%) pasien memiliki jaringan
nekrotik berupa jaringan yangtidak dapat hidup
berwarna putih dan/atau jaringan yang mengelupas
berwarnakuning dan tidak lengket. Pada kelompok
perawatan luka menggunakanlomatullemenunjukkan
66
bahwa40% pasien masih memiliki jaringan nekrotik
berupajaringan yang tidak dapat hidup berwarna putih
dan/atau jaringan yangmengelupas berwarna kuning dan
tidak lengket.
Gambaran
jumlah
jaringan
nekrotik
menunjukkan bahwa sebagian besar(80%) pasien yang
dirawat menggunakan madu tidak memiliki jaringan
nekrotikdan hanya sebagian kecil (20%) pasien yang
memiliki jaringan nekrotik denganjumlah < 25% dari
dasar luka. Pada kelompok perawatan luka
menggunakan lomatulle menunjukkan sebagian (40%)
pasien memiliki jaringan nekrotik < 25%dasar luka dan
sebagian kecil (20%) pasien lainnya masih memiliki
jaringannekrotik > 50% dan < 75% luka.
Peneliti berasumsi bahwa efek kelembaban yang
ditimbulkan oleh madupada jaringan nekrotik akan
melunakkan jaringan nekrotik tersebut sehinggajaringan
nekrotik pada luka yang dirawat menggunakan madu
lebih mudahdilakukan debridemen dibandingkan dengan
jaringan nekrotik pada luka yangdirawat menggunakan
lomatulle.
Disisi lain, luka yang dirawat menggunakan
lomatulle cenderung menimbulkan terbentuknya jaringan
nekrotik baru yang lengket dan berwarnaputih pada
kulit di sekitar luka. Peneliti menemukan jaringan nekrotik
ini pada 3pasien yang dirawat menggunakan lomatulle.
Peneliti berasumsi bahwa jaringanputih tersebut adalah
penebalan lapisan stratum korneum atau hyperkeratosis.
Scemons dan Elston (2009) menyebutkan bahwa
hyperkeratosis adalah salah satukondisi yang tidak normal
dari fase epitelisasi dalam proses penyembuhan lukadan
dapat berujung pada pembentukan lapisan tanduk.
Gambaran jenis eksudat luka diabetik yang
dirawat menggunakan madudiperoleh bahwa sebagian
besar pasien tidak mengeluarkan eksudat atau
hanyadisertai darah dan sebagian kecil pasien masih
mengeluarkan eksudat serosa.Untuk luka yang dirawat
menggunakanlomatulle,sebagian
besar
pasien
masihmemproduksi eksudat jenis serosanguinosa dan
sebagian kecil mengeluarkaneksudat yang sangat purulen.
Parameter jumlah eksudat pada kelompok perawatanluka
menggunakan madu diperoleh sebagian besar pasien
tidak mengeluarkaneksudat dan hanya sebagian kecil
pasien masih menghasilkan eksudat denganjumlah yang
sedikit.
Sebagian
pasien
yang
dirawat
menggunakanlomatullemenghasilkan eksudat dengan
jumlah yang sangat sedikit dan sebagian kecilpasien
lainnya masih menghasilkan eksudat dalam jumlah yang
banyak.
Kandungan air pada madu yang digunakan
dalam perawatan luka sebesar18,25% dan AW sebesar
0,58. Hal ini tidak mendukung pertumbuhan
kebanyakanbakteri yang membutuhkan AW sebesar 0,940,99 (Bansalet al,2005).
Madu bekerja sebagai antibiotik alami yang
mampu mengalahkan bakteri.Madu bersifat sangat asam
sehingga
tidak
cocok
untuk
pertumbuhan
danperkembangbiakan bakteri. Madu menghasilkan
hidrogen peroksida yangbertindak sebagai antiseptik
(Rostita, 2008). Madu yang digunakan dalampenelitian
ini memiliki pH 3,95 dan hidrogen peroksida sebesar
0,038 mmol/l.Menurut Molan (1992 dalam Jeffrey dan
Echazaretta, 1997) dan Bansalet al(2005) bakteri
patogen hanya bisa hidup pada pH antara 4,0-4,5 dan
pertumbuhanbakteri dihambat oleh 0,02-0,05 mmol/l
hidrogen peroksida.
Hidrogen peroksida pada madu dapat
menghambat sekitar 60 jenis bakteriaerob maupun
anaerob termasuk bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif.Begitupun antioksidan fenolik yang
terkandung dalam madu diketahui dapatmenghambat
bakteri gram positif maupun gram negatif (Molan,
1992 dalamJeffrey dan Echazaretta, 1997).
Hasil yang diperolehini kurang sesuai dengan
teori yang ada. Carville (1998) menyebutkan
bahwalomatulleadalah antibiotik spektrum luas. Namun
beberapa luka yang dirawatmenggunakanlomatullemasih
memproduksi eksudat, diantara berupaeksudatyang
purulen. Lambatnya proses penyembuhan luka yang
dirawatmenggunakanlomatullesalah satunya disebabkan
oleh produksi eksudat tersebut.
Studi
proses
penyembuhan
luka
memperlihatkan
bahwa
lingkunganlembab
lebih
diperlukan dalam penyembuhan luka dibandingkan
denganlingkungan
kering.Lingkungan
yang
lembabmerupakan hal yang paling penting untuk
penyembuhan
luka
karena
lingkunganlembab
mempengaruhi kecepatan epitelisasi (Potter dan Perry,
2005b). Semakincepat pertumbuhan jaringan granulasi dan
jaringan epitel maka luka akan semakincepat mengalami
penyembuhan.
Perbedaan yang sangat signifikan antara luka
yang dirawat menggunakan madu dan lomatulle terlihat
pada parameter jenis dan jumlah jaringan nekrotikserta
jenis dan
jumlah eksudat. Setelah luka dirawat
menggunakan madu selama15 hari, sebagian besar pasien
sudah tidak memiliki jaringan nekrotik dan tidak
menghasilkan eksudat. Dengan waktu perawatan luka
yang sama (15 hari),seluruh luka pasien yang dirawat
menggunakanlomatullemasih memilikijaringan nekrotik
dan menghasilkan eksudat, diantaranya berupa eksudat
yangsangat purulen dan berbau.
Secara keseluruhan luka diabetik yang dirawat
menggunakan madutampak lebih membaik dan dalam
waktu yang sama (15 hari) luka mengalamiproses
penyembuhan yang lebih cepat. Hal ini disebabkan
karena madu tidakhanya sebagai antibakteri, tetapi juga
sebagai aniinflamasi, menstimulasi danmempercepat
penyembuhan luka. Sedangkanlomatullehanya sebagai
antibiotik(antibakteri) yang dapat menangani infeksi
pada luka serta mengurangi traumapada luka.
Perbedaan
efektivitas perawatan
luka
menggunakan madu danlomatulleterhadap proses
penyembuhan luka diabetik dapat dilihat setelah hasil
selisihpenilaian sebelum dan sesudah perawatan luka
antara
menggunakan
madu
danlomatullediuji
menggunakanindependent t-test.Hasil uji
statistik
menggunakanindependent t-testdiperoleh nilai rata-rata
selisih skor penilaian luka sebelum dansesudah dilakukan
perawatan luka menggunakan madu adalah 20,2. Rata-
rataselisih skor penilaian luka sebelum dan sesudah
dilakukan perawatan lukamenggunakanlomatulle adalah
6,6.P value =0,000 < a (a = 0,01) berada padanilai
kemaknaan p < 0,001, maka hasil yang diperoleh amat
sangat bermakna(Supadi, 2000). Secara statistik dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaanefektivitas perawatan
luka
menggunakan
madu
danlomatulleterhadap
prosespenyembuhan luka diabetik pasien diabetes
mellitus di RS Sembiring Delitua dan Grand Medistra
Lubuk Pakam.
Kesimpulan
a. Sebagian besar responden berjenis kelamin
laki-laki,
seluruh
respondenmemiliki luka
diabetik di ektremitas bawah (kaki) dengan
derajat I, II dan III,rata-rata usia responden 59,4
tahun, rata-rata kadar glukosa darah sewaktu
padatiga kali pengukuran berturut-turut sebesar
302,7 mg/dl, 277,6 mg/dl dan 267,3mg/dl;
b. Ada perbedaan
efektivitas perawatan luka
menggunakan madu
dan lomatulle terhadap
proses penyembuhan luka diabetik pasien
diabetes mellitus di RS Sembiring Delitua dan
Grand Medistra Lubuk Pakam (p value= 0,000 <
a)
Saran
a. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
teoridan konsep tentang perawatan luka
diabetik
antara
menggunakan
madu
danlomatulle.Penelitian lanjutan perlu dilakukan
untuk lebih menyempurnakan pembahasan dan
penggunaan agen alernatif lain untuk perawatan
luka
yang
dapatmempercepat
proses
penyembuhan luka.
b. Menjadi referensi tambahan bagi perawatyang
bergerak di bidang pendidikan terutama bidang
keperawatan medikal bedahuntuk
dijadikan
sebagai
suatu
prosedur
baru
dalam
penatalaksanaan luka secarakomplementer.
c. Dapat dijadikan
sebagai
langkah
awal
penelitian selanjutnya untuk mengembangkan
asuhan
keperawatan
berkaitan
dengan
perawatan luka secara konvensional, modern
maupun komplementer yang nantinya dapat
memperkaya keilmuanperawat khususnya dalam
bidang perawatan luka.
d. Masyarakat diharapkan dapat menggunakan
madu untuk merawat lukakhususnya luka
diabetik untuk mempercepat penyembuhan dan
mencegahsemakin parahnya luka.
DAFTAR PUSTAKA
Carville, K. 1998. Wound Care Manual. 3rd Edition.
Western Australia: Silver Chain Foundation.
Cooper, R. 2007. ”Honey in Wound Care:
Antibacterial
Properties”.
GMS
Krankenhaushygiene Interdisziplinar . Vol 2 (2):
1863-5245.
67
DINKES Sumut. 2010. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Timur
2010. Surabaya: Dinas Kesehatan
Sumatera Utara.
Dorland, W.A.N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi
29. Alih Bahasa oleh Huriawati Hartanto et al.
Jakarta: EGC.
Intanwidya, Y. 2005. Analisa Madu dari Segi
Kandungannya Berikut Khasiatnya Masing2.
[serial
online].
http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg01046.html. [07 Desember
2015] .
Mansjoer, A., et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran.
Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Ulcer, Infeksi,
Ganggren . Jakarta: Populer Obor.
Morison, M.J. 2004. Manajemen Luka. Alih Bahasa oleh
Tyasmono A.F. Jakarta: EGC.
Mwipatayi, B.P., et al. 2004. “The Use of Honey in
Chronic Leg Ulcers: A Literature Review” .
Primary Intention. Vol 12 (3): 107-108, 110-112.
Namias, N. 2003. Honey in The Management of
Infection . Miami: De Witt Dughtry Family
Departement of Surgery, University School of
Medicine.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan
. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Nuryati, S. (Tanpa Tahun). “Status dan Potensi Pasar
Madu Organis Nasional dan Internasional”.
Tidak Diterbitkan. Laporan Penelitian. Bogor:
Aliansi Organis Indonesia.
Potter, P.A., dan Perry, A.G. 2005a. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
68
dan Praktik . Vol. 1. Edisi 4. Alih Bahasa oleh
Renata Komalasari et al . Jakarta: EGC.
Scemons, D., dan Elston, D. 2009. Nurse to Nurse
Wound Care: Expert Interventions . United
States of America: Mc Graw Hill. Setiadi. 2007.
Konsep & Penulisan Riset Keperawatan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudoyo, A.W., et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: FK Universitas
Indonesia.
Supadi, et al. 2000. Statistika Kesehatan: Bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: FK UGM.
Supriyatin, dkk. 2007. ”Efektivitas Penggunaan
Kompres Metronidazol dan NaCl 0,9%
terhadap Proses Penyembuhan Luka Diabetik
di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto”.
The Soedirman Journal of Nursing. Vol. 2 (1):
11-16. Taormina, P.J., Niemira, B.A., dan
Beuchat, L.R. 2001. “Inhibitory Activity of
Honey Against Foodborne Pathogens as
Influenced by The Presence of Hydrogen
Peroxide and Level of Antioxidant Power”.
Internasional Journal of Food Mycrobiology. Vol
69: 217-225.
WHO. 2008. Data and Statistics of Diabetes Mellitus.
[serial
online].
http://www.who.int/topics/diabetes_mellitus/en/
[13 Desember 2015].
Yapuca et al. 2007. “Effectiveness of a Honey
Dressing for Healing Pressure Ulcer”.
Journal
of
Wound,
Ostomy,
and
Continence Nursing (WOCN). Vol (34).
AKTIVITAS SEHARI-HARI PASIEN STROKE NON HEMORAGIK
DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2016
Solihuddin Harahap, Erika Siringoringo
Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan
Abstrak
Stroke Non Hemoragik adalah stroke karena pecahnya pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah
yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah otak dan merusaknya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada pasien stroke non
hemoragik di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh pasien stroke non hemoragik yang dirawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan dari
tahun 2015 sampai januari 2016 yang berjumlah 248 orang. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 37 orang
dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen pengkajian menggunakan barthel index berupa
lembar observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri
dalam melakukan aktivitas makan sebanyak 19 orang (51,4%),dan mayoritas pasien stroke non hemoragik
membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas mandi sebanyak 25 orang (67,6%), mayoritas pasien
stroke non hemoragik mandiri dalam perawatan diri sebanyak 26 orang (70,3%), mayoritas pasien stroke non
hemoragik membutuhkan bantuan dalam berpakaian sebanyak 21 orang (56,8%), mayoritas pasien stroke
non hemoragik mengalami kontinensia dalam melakukan aktivitas buang air kecil sebanyak 22 orang
(59,5%), mayoritas pasien stroke non hemoragik mengalami kontinensia dalam melakukan aktivitas buang
air besar sebanyak 25 orang (67,6%), mayoritas pasien stroke non hemoragik membutuhkan bantuan dalam
penggunaan toilet sebanyak 21 orang (56,8%), mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri dalam
melakukan aktivitas transfer sebanyak 16 orang (43,2%), dan sebanyak 20 orang (54,1%) pasien stroke non
hemoragik mandiri dalam melakukan aktivitas mobilitas.Dari hasil penelitian ini bahwa mayoritas pasien
stroke non hemoragik mengalami ketergantungan ringan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yaitu
sebanyak 43,2% dengan frekuensi 16. Dengan demikian diharapkan kepada pasien untuk memiliki motivasi
yang kuat agar selalu berlatih menggerakkan bagian tubuhnya agar terbiasa dan tidak kaku.
Kata kunci : Stroke Non Hemoragik, Aktivitas
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang memerlukan
gerak dan berpindah tempat. Aktivitas pergerakan normal
sangat dibutuhkan dalam menunjang aktivitas sehari-hari.
Pergerakan yang dilakukan baik secara volunter maupun
involunter. Gangguan gerak pada manusia dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit, dimana salah satunya
adalah stroke.
Stroke merupakan gangguan serebrovaskular
utama dan penyebab kecacatan serius menetap nomor satu
di seluruh dunia. Meskipun upaya pencegahan telah
membawa penurunan dalam angka kejadian selama
beberapa tahun terakhir, stroke masih merupakan
penyebab kematian utama setelah jantung dan kanker
(Cahyati, 2011)
Orang yang menderita stroke, biasanya
mengalami banyak gangguan fungsional , seperti gangguan
motorik, psikologis atau perilaku,dimana gejala yang
paling khas adalah hemiparesis, kehilangan kemampuan
sesisi, hilang sensasi wajah,kesulitan bicara dan kehilangan
penglihatan sesisi (Irfan, 2010). Data dari 28 rumah sakit di
Indonesia, pasien yang mengalami gangguan motorik
sekitar 90,5% (Misbach & Soertidewi, 2011). Semua
keadaan ini akan menyebabkan gangguan pada aktivitas
sehari-hari penderita. Oleh karena itu diperlukan program
rehabilitasi medik dengan tujuan utama dapat mencapai
kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
Menurut World Health Organitation (WHO),
terdapat 15 juta orang mengalami stroke setiap tahun dan
merupakan penyebab kematian kedua diatas usia 60 tahun
dan penyebab kelima pada usia 15-59 tahun. Setiap tahun,
hampir 6 juta orang meninggal karena stroke dan
merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang
tanpa membedakan usia, jenis kelamin, dan etnis (WHO,
2010). Stroke menduduki urutan ketiga sebagai penyebab
utama kematian setelah penyakit jantung koroner dan
kanker di negara-negara berkembang. Negara berkembang
juga menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke
di seluruh dunia. Dua pertiga penderita stroke terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang. Terdapat sekitar
13 juta korban stroke baru setiap tahun.
Menteri
kesehatan
Republik
Indonesia
menjelaskan, berdasarkan data hasil Riset Keperawatan
69
(2010) dari tahun 2000 hingga 2010 menunjukkan bahwa
stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama
hampir di seluruh rumah sakit di Indonesia. Sementara data
Perhimpunan Rumah Sakit (PERSI) tahun 2012
menunjukkan bahwa penyebab kematian utama di rumah
sakit akibat stroke adalah sebesar 15%, artinya 1 dari 7
kematian disebabkan oleh stroke dengan tingkat kecacatan
mencapai 65% (DepKes, 2013).
Medan merupakan salah satu kota di Indonesia
yang juga mengalami peningkatan prevalensi penyakit
stroke. Pernyataan di atas di dukung dengan data survey
yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia dalam profil kesehatan Indonesia (2013)
menunjukkan di kota Medan terdapat peningkatan
prevalensi penyakit stroke dari 7 per 1000 penduduk pada
tahun 2007 menjadi 10 per 1000 penduduk di tahun 2013.
Stroke dibagi menjadi dua kategori yaitu stroke
hemoragik dan stroke iskemik atau stroke non hemoragik.
Stroke hemoragik adalah stroke karena pecahnya
pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah yang
normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah otak
dan merusaknya (Pudiastuti,2011). Stroke non hemoragik
adalah suatu gangguan peredaran darah otak akibat
tersumbatnya pembuluh darah tanpa terjadi suatu
perdarahan, hampir sebagian besar pasien atau 83%
mengalami stroke non hemoragik (Wiwit, 2010), sehingga
pada penelitian ini saya mengambil kasus stroke non
hemoragik.
Kejadian stroke non hemoragik dapat
menimbulkan kecacatan bagi penderita yang mampu
bertahan hidup. Salah satunya adalah ketidakmampuan
perawatan diri akibat kelemahan pada ekstremitas dan
penurunan fungsi mobilitas yang dapat menghambat
pemenuhan aktivitas kehidupan seharihari (AKS).
Aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) merupakan
kegiatan sehari-hari yang dilakukan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. (Alvin, 2013)
Menurut
penelitian
Milikan
(2003)
mengemukakan kira-kira 50% penderita stroke non
hemoragik menderita sekuele deficit neurologik yang
bermakna yang membatasi kemandirian dan 25% sisanya
tergantung total pada orang lain. Bell (1842) dalam
Thomas (2003) mengemukakan 67% penderita
penyandang disabilitas permanen dan 31% tergantung total
dalam melakukan Aktivitas sehari-hari.
Tingkat keberhasilan penderita stroke non
hemoragik dalam melakukan aktivitas sehari-hari dapat
dinilai dengan kemampuan merawat dirinya sendiri.
Aktivitas sehari-hari yang rutin dilakukan merupakan
keterampilan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk
dapat merawat dirinya secara mandiri, yang meliputi
makan, mandi, perawatan diri, berpakaian, buang air kecil,
buang air besar, penggunaan toilet, berpindah, dan
mobilitas.
Kebutuhan fungsional sehari-hari dalam bentuk
aktivitas fisik, kognitif dan emosi diusahakan untuk bisa
mencapai pemenuhan didalam memaksimalkan kualitas
hidup, sehingga harus ada keseimbangan antara perbaikan
kesehatan dan fungsional individu.
70
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan
di RSUD Dr. Pirngadi Medan di dapat jumlah data
penderita penyakit stroke pada periode Januari-Desember
2015 sebanyak 248 penderita. Sekitar 87 orang atau 35%
penderita stroke yang mengalami kelumpuhan dini pada
tungkai bawah tidak kembali ke fungsi yang berguna dan
tidak dapat berjalan tanpa bantuan fisik lengkap. Dan 161
orang atau 65% penderita stroke tidak dapat melakukan
aktivitas yang biasa dilakukannya dengan tangan yang
terkena dampak stroke.
Berdasarkan Pendahuluan di atas, peneliti ingin
meneliti gambaran aktivitas sehari-hari pasien stroke non
hemoragik di RSUD DR Pirngadi Medan, dan bagaimana
pasien dalam melakukan aktivitasnya tersebut apakah
mampu melakukannya secara mandiri atau tergantung total
pada orang lain.
METODE
penelitian ini adalah metode deskriptif yang
menggambarkan kemampuan pasien dalam melakukan
aktivitas sehari-hari pasien stroke di RSUD Dr. Pirngadi
Medan tahun 2016.
Populasi penelitian adalah seluruh pasien stroke
yang dirawat diruang rawat inap RSUD Dr. Pirngadi
Medan. Jumlah pasien stroke yang dirawat diruang rawat
inap pada bulan Januari - Mei tahun 2016 adalah sebanyak
248 orang.
Cara pengambilan sample dalam penelitian ini
adalah semua pasien yang ada di ruangan RSUD Dr.
Pirngadi Medan yang bersedia menjadi responden, maka
teknik yang digunakan pada pengambilan sample yaitu
purposive sampling yaitu pengambilan sample yang
dilakukan dengan sengaja mengambil atau memilih kasus
atau responden berdasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang di buat oleh peneliti sendiri. Menurut
Arikunto (2006), bila populasi lebih dari 100, maka
pengambilan sample 10-15% atau 20-25% dari jumlah
populasi, dimana total populasi berjumlah 248 orang dan
peneliti mengambil 15% dari total populasi. Maka jumlah
sample penelitian ini adalah: 248 x 15% = 37 orang.
Namun untuk menghindari pasien yang secara mendadak
tidak bersedia untuk menjadi sampel, maka peneliti
menambahkan 10% responden tambahan dari 37 orang
sampel yaitu sebanyak 4 orang, maka jumlah sampel
keseluruhan adalah = 41 orang.
Cara pengumpulan data untuk variabel dilakukan
dengan lembar observasi (pengamatan) terhadap responden
dengan menggunakan instrumen pengkajian barthel
indeks. Pengumpulan data dilakukan terlebih dahulu
dengan memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan
penelitian dan meminta persetujuan ketersediaan menjadi
responden.
Data yang dikumpul di analisa secara deskriptif
dengan cara melihat persentase data yang terkumpul, dan
ditulis dalam tabel-tabel distribusi frekuensi sehingga akan
di peroleh persentasi dari variabel yang diteliti.
Hasil dan Pembahasan
A. Makan
Hasil penelitian dari 37 pasien stroke non
hemoragik dalam tabel 4.1 terdapat mayoritas pasien stroke
non hemoragik mandiri dalam melakukan aktivitas makan
sebanyak 19 orang (51,4%). Selebihnya sebanyak 16 orang
(43,2%) mengalami ketergantungan sedang dalam
melakukan aktivitas makan, dan 2 orang (5,4%)
mengalami ketergantungan total.
Dalam penelitian Raeni (2016) mengemukakan
bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri
dalam melakukan aktivitas makan sebanyak 23 orang, dan
selebihnya mengalami ketergantuan sedang.
Berbeda dengan penelitian Westergen et al
(2001) dalam Ardi (2011) melaporkan dari 162 pasien
stroke mayoritas terdapat 85 orang (52,2%) membutuhkan
bantuan untuk makan. Terdiri dari 46 orang membutuhkan
bantuan sedang, dan 39 orang membutuhkan bantuan total.
Dan hanya 77 orang yang mandiri dalam melakukan
aktivitas makan.
Hal ini tidak sejalan dengan peneliti karena dalam
penelitian ini mayoritas pasien stroke non hemoragik dapat
mandiri dalam melakukan aktivitas makan. Peneliti
berasumsi bahwa pasien stroke non hemoragik dapat
mandiri dalam melakukan aktivitas makan karena motivasi
yang kuat pada diri pasien dan mendapat dorongan serta
dukungan keluarga dalam melatih bagian tubuh pasien
yang mengalami gangguan sehingga pasien stroke non
hemoragik terbiasa melakukan aktivitas makan secara
mandiri.
B. Mandi
Hasil penelitian dari 37 pasien stroke non
hemoragik dalam tabel 4.2 terdapat mayoritas pasien
stroke non hemoragik membutuhkan bantuan dalam
melakukan aktivitas mandi sebanyak 25 orang (67,6%).
Selebihnya sebanyak 12 orang mandiri dalam
melakukan aktivitas mandi.
Mandi merupakan komponen yang sangat
penting dalam perawatan yang bertujuan untuk kebersihan
diri. Pasien dengan keterbatasan fisik tidak dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri
sehingga harus
didampingi atau dibantu termasuk mandi (Hilton, 2004
dalam Ardi, 2011). Ketidakmampuan mandi adalah
ketidakmampuan untuk mencuci atau mengeringkan tubuh
tanpa bantuan orang lain, dipengaruhi oleh usia dan
kelemahan fisik (Gill et al, 2007 dalam Ardi 2011)
Hal ini sejalan dengan penelitian Raeni (2016)
mengatakan bahwa dari 25 responden mayoritas 13 orang
mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas
mandi.
Pasien stroke yang menjalani perawatan, hampir
seluruhnya membutuhkan bantuan untuk mandi akibat
kelemahan yang dialami. Hal tersebut dapat berlanjut
sampai pasien keluar dari rumah sakit. (Maeir et al 2007,
dalam Ardi, 2011).
C. Perawatan diri
Hasil penelitian dari 37 pasien stroke non
hemoragik dapat dilihat dari tabel 4.3 bahwa mayoritas
responden pasien stroke non hemoragik 26 orang
(70,3%) mandiri dalam melakukan aktivitas perawatan
diri, dan 11 orang (29,7%) membutuhkan bantuan
orang lain.
Hal ini sejalan dengan penelitian Raeni
(2016) yang mengatakan bahwa mayoritas pasien
stroke non hemoragik mandiri dalam melakukan
aktivitas perawatan diri 17 orang (73,9%) dan minoritas
4 orang (17,4%) tergantung pada orang lain dalam
melakukan aktivitas perawatan diri.
Perawatan diri meliputi mencuci tangan,
membasuh wajah, menyisir rambut, menggosok gigi,
dan mencukur. Menurut Hilton (2004) dalam Ardi
(2011) beberapa pasien stroke mungkin terlihat mampu
untuk melakukan perawatan diri, namun ada juga
beberapa pasien yang tidak mampu melakukan
perawatan diri, termasuk melakukan tugas sederhana
seperti membasuh muka atau menggosok gigi.
D. Berpakaian
Hasil penelitian dari 37 pasien stroke non
hemoragik mayoritas responden 21 orang (56,8%)
membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas
berpakaian.
Sejalan dengan penelitian Raeni (2016)
bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik 10 orang
(43,5%) membutuhkan bantuan dalam melakukan
aktivitas berpakaian.
Berpakaian memungkinkan pasien untuk
mempertahankan konsep diri dan harga diri selain
memberi perlindungan. Ketidakmampuan berpakaian
yang benar, sering kali terjadi pada lesi hemisfer kanan
yang menyebabkan masalah visuospasial berhubungan
dengan orintasi terhadap bagian tubuh atau berpakaian
(Ginsberg, 2007 dalam Ardi 2011)
E.
Buang air kecil
Hasil penelitian dari 37 pasien stroke non
hemoragik mayoritas 22 orang (59,5%) kontinensia
dapat mengontrol pengeluaran urine. Hal
ini
disebabkan karena responden dalam penelitian ini
mayoritas terkena stroke non hemoragik sudah lebih
dari 8 minggu.
Masalah perkemihan yang sering dialami
setelah stroke adalah inkontinensia urine yaitu
ketidakmampuan untuk mengontrol pengeluaran urine
(Konvidha, 2010). Sebagian besar pasien mengalami
inkontinensia segera setelah mengalami stroke dan
banyak pasien dapat mengontrol kembali pengeluaran
urine setelah 8 minggu. (Nazarko, 2010 dalam Ardi
2011).
Sejalan dengan penelitian Raeni (2016) yang
mengatakan bahwa mayoritas 21 orang (91,3%) pasien
stroke non hemoragik mampu mengontrol pengeluaran
urine.
F. Buang air besar
Dapat dilihat dari tabel 4.6 bahwa 25 orang
responden (67,6%) pasien stroke non hemoragik
kontinensia dalam melakukan aktivitas buang air besar.
71
Sejalan dengan penelitian Raeni (2016)
bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik 23 orang
kontinensia (teratur) dalam melakukan aktivitas buang
air besar. Ini disebabkan karena responden dalam
penelitian ini mayoritas terkena stroke sudah lebih dari
4 minggu pertama terkena stroke.
Stroke menyebabkan perubahan eliminasi
buang air besar. Masalah buang air besar yang paling
sering dialami pasien stroke adalah mengalami
konstipasi dalam 4 minggu pertama. (Su et al, 2009
dalam Ardi 2011)
G. Penggunaan Toilet
Berdasarkan pengamatan dalam penelitian
ini, terdapat 56,8% pasien stroke non hemoragik
mayoritas membutuhkan bantuan dalam penggunaan
toilet meskipun dapat melakukan beberapa hal sendiri.
Pasien yang mengalami keterbatasan dan
ketidakmampuan akan mengalami kesulitan dalam
menggunakan toilet. Pasien membutuhkan adaptasi dan
harus diberi dorongan serta dukungan untuk
meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka. (Hilton
2004 dalam Ardi 2011)
Hal ini sejalan dengan penelitian Raeni
(2016) yaitu mayoritas 18 orang (78,2%) pasien stroke
non hemoragik membutuhkan bantuan dalam
melakukan aktivitas penggunaan toilet
H. Transfer (berpindah)
Pasien yang mengalami kelemahan akan
mengalami kesulitan untuk duduk dan berpindah sehingga
membutuhkan bantuan. Pada saat bangkit dari duduk
membutuhkan kekuatan yang lebih besar dibandingkan
saat akan duduk. Pasien yang lemah membutuhkan
bantuan dan penggunaan sabuk sangat berguna pada
kondisi seperti ini. Aktivitas ini bertujuan untuk
mempertahankan status fungsional dan keselamatan pasien
(DeLaune dan Ladner, 2002 dalam Ardi 2011)
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian,
karena tidak semua pasien stroke non hemoragik
mengalami kesulitan untuk duduk dan berpindah.
Tergantung berapa lamanya pasien terserang stroke
pertama kali. Dalam tabel 4.8 sebanyak 20 orang (54,1%)
responden sudah mandiri dalam melakukan aktivitas
transfer (berpindah). Hal ini didukung oleh lamanya
responden setelah terkena stroke non hemoragik, dan
mereka sudah dilatih keluarga maupun perawat dalam
melakukan aktivitas berpindah dari bed ke kursi.
Adapun sebagian responden yang masih
membutuhkan bantuan dalam melakukan transfer
(berpindah) dikarenakan kurangnya dukungan keluarga
dalam melatih responden untuk melakukan aktivitas
transfer (berpindah)
I. Mobilitas
Kemampuan seseorang untuk bergerak bebas
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus
terpenuhi. Tujuan mobilitas adalah memenuhi kebutuhan
dasar termasuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
Adanya gangguan yang melibatkan sistem neuromuskular
72
seperti pada penderita stroke dapat mengakibatkan
hambatan dalam melakukan mobilitas.
Dalam tabel 4.9 bahwa 20 orang (54,1%)
responden mandiri dalam melakukan aktivitas mobilitas
meskipun menggunakan alat bantu seperti tongkat.
Sebagian responden lainnya dapat melakukan aktivitas
mobilitas dengan bantuan orang dan kursi roda. Dan
5,4% responden tidak mampu melakukan aktivitas
mobilitas.
Hal ini sejalan dengan penelitan Raeni (2016)
bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri
dalam melakukan aktivitas mobilitas.
KESIMPULAN
Hasil penelitian yang dilakukan mengenai “Gambaran
Aktivitas Sehari-hari Pasien Stroke Non Hemoragik Di
RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2016” Hasil penelitian
bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri
dalam melakukan aktivitas makan, membutuhkan bantuan
orang lain dalam melakukan aktivitas mandi, mandiri
dalam melakukan aktivitas perawatan diri, membutuhkan
bantuan dalam melakukan aktivitas berpakaian, aktivitas
buang air kecil mengalami kontinensia (teratus untuk lebih
dari 7 hari), melakukan aktivitas buang air besar
mengalami kontinensia (teratur, bantuan dalam melakukan
aktivitas penggunaan toilet, mandiri dalam melakukan
aktivitas transfer (berpindah), mandiri dalam melakukan
aktivitas mobilitas
SARAN
Setelah melakukan penelitian terhadap aktivitas sehari-hari
pasien stroke non hemoragik di RSUD Dr. Pirngadi Medan
tahun 2016, maka disarankan agar selalu berlatih untuk
menggerakkan bagian tubuhnya yang mengalami
gangguan agar terbiasa dan tidak kaku. Sebaiknya
mengikuti fisioterapi bila perlu
DAFTAR PUSTAKA
Ardi, 2011. Analisis Hubungan Ketidakmampuan Fisik
Dan Kognitif Dengan Keputusasaan Pada
Pasien Stroke Di Makassar. Depok : FIK UI.
Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta
Cahyati, Yanti, 2011. Perbandingan latihan ROM
Unilateral dan Latihan ROM Bilateral
Terhadap Kekuatan Otot Pasien Hemiparese
Akibat Stroke Iskemik di RSUD Kota
Tasikmalaya Tahun 2011. Depok : FIK UI.
Deppenkeb, 2005. Pengertian Aktivitas Dalam KBBI.
Jakarta
Hasil Riskesdas, 2013. Diakses tanggal 20 januari 2015
Henderson,Leila : 2002.Stroke : Panduan Perawatan.
Jakarta : Arcan
http://eprints.undip.ac.id/12631/1/2003PPDS417
8.pdf
Irfan, M. 2010. Fisioterapi Bagi Insan Stroke.
Yogyakarta : Graha Ilmu
Kurniawati, 2014. Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Gangguan Sistem Persarafan Stroke.
Padalarang : D-III Keperawatan STIKES St
Borromeus.
Mutaqqin, Arif, 2008. Asuhan Keperawatan Klien
dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
Salemba Medika.
Notoatmodjo, S, 2012. Metode Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta
Prakasita, M. 2015. Hubungan Antara Lama
Pembacaan CT Scan Terhadap Outcome
Penderita Stroke Non Hemoragik
http://ejournal.s1.undip.ac.id/index.php/medico
Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan, 2015. Panduan
Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Medan.
Pudiastuti, 2011. Penyakit Pemicu Stroke.Yogyakarta :
Nuha Medika
Santoso, Thomas, 2003. Kemandirian Aktivitas Makan,
Mandi, Dan Berpakaian Pada Penderita
Stroke 6-24 Bulan Pasca Okupasi Terapi.
Semarang : FK UNDIP
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20281864T%20Muhammad%20Ardi.pdf
Setiono, 2014. Laporan Pendahuluan Stroke. Jakarta
Setyawan, Hilal, 2012. Instrumen Pengkajian ADL
dengan Indeks Barthel
https://www.scribd.com/doc/138832898/Skala-BarthelAtau-Barthel-Indeks-ADL-Adalah-Skala-
Ordinal-Digunakan-Untuk-Mengukur-KinerjaDalam-Aktivitas-Sehari
Suharsimi, A. 2013. Prosedur Penelitian. Jakarta :
Rineka Cipta
Towarto, Wartonal. 2007. Kebutuhan Dasar & Prose
Keperawatan . Edisi 3. Salemba Medika.
Jakarta.
Utami, P. 2009. Solusi Sehat Mengatasi Stroke. Jakarta
Selatan : AgroMedia
Wardhana, W.A. 2011. Strategi Mengatasi dan Bangkit
dari Stroke. Yogyakarta : Pustaka Belajar
Wijaya Andra Saferi & Yessie Mariza Putri, 2013.
Keperawatan
Medikal
Bedah
2
:
Keperawatan Dewasa Teori dan Askep.
Yogyakarta : Nuha Medika.
73
UNDANGAN MENULIS DI JURNAL POLTEKKES MEDAN
Redaktur Jurnal Poltekkes Medan mengundang para pembaca untuk menulis di jurnal ini. Tulisan ilmiah yang
dimuat adalah berupa hasil penelitian atau pemikiran konseptual dalam lingkup kesehatan.
Persyaratan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Tulisan adalah naskah asli yang belum pernah dipublikasikan.
2. Tulisan disertai abstrak, ditulis satu spasi dengan bahasa Indonesia atau Inggris, maksimal 200 kata.
3. Kata kunci (keywords) minimal dua kata, ditulis di bawah abstrak.
4. Setiap naskah memiliki sistematika sub judul pendahuluan, diikuti oleh beberapa sub judul lain dan
berakhir dengan sub judul penutup atau Kesimpulan.
5. Naskah diketik rapi dua spasi dalam bahasa Indonesia atau Inggris, font: Times New Roman, size: 11,
format: A4 justify.
6. Panjang naskah minimal empat dan maksimal 8 halaman, termasuk rujukan.
7. Sistem rujukan adalah yang lazim digunakan dalam tulisan ilmiah, dengan konsistensinya.
8. Sumber rujukan/kutipan dimasukkan dalam tulisan (tanpa footnote)
9. Tulisan dikirim dalam CD, disertai print out-nya satu eksemplar, atau dikirim lewat E-mail.
10. Redaktur berhak mengedit dengan tidak merubah isi dan maksud tulisan.
11. Redaksi memberikan hasil cetak sebanyak satu eksemplar bagi penulis.
12. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan bila dalam pengirimannya disertakan perangko
pengembalian, atau diambil langsung dari redaktur.
74
Download