ISSN 1907-3046 JURNAL ILMIAH PANNMED (Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwifery, Environment, Dentist) VOL. 11, NO. 1, MEI – AGUSTUS 2016 TERBIT TIGA KALI SETAHUN (PERIODE JANUARI, MEI, SEPTEMBER) Penanggung Jawab: Dra. Ida Nurhayati, M.Kes. DAFTAR ISI Editorial Redaktur: Drg. Herlinawati, M.Kes. Analisa Kadar Besi (Fe) pada Bayam Hijau Sesudah Perebusan dengan Masa Simpan 1 Jam 3 Jam dan 5 Jam oleh Sri Bulan Nasution.......................................1-3 Penyunting Editor: Soep, SKp., M.Kes. Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes. Nelson Tanjung, SKM., M.Kes. Fauzi Romeli, SKM, M.Kes. Cecep Triwibowo, S.Kp., M.Kes. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Bidan dengan Tindakan Perawatan pada Pasien Penderita Kanker Serviks di Rumah Sakit Haji Medan oleh Elisabeth Surbakti, Efendi Sianturi..............................................4-7 Desain Grafis & Fotografer: Nastika Sari Lubis, S.Kep., Ns. Julia Hasanah Pengaruh Mengkonsumsi Buah Pepaya Terhadap Indeks Plak pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016 oleh Herlinawati, Aminah Br. Saragih, Hana Meyliani Harahap.......................................................8-11 Sekretariat: Sumarni, SST Robert Boyke R. Sinaga Hubungan Sikap Tentang Mekanika Tubuh dengan Nyeri Punggung Bawah Petani di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun Tahun 2015 oleh Agustina Boru Gultom...............12-16 Mitra Bestari: Dr. dr. Juliandi Harahap, M.A. (FK. USU Medan)P Dr. Saryono, S.Kp., M.Kes. (FIKes Universitas Jenderal Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Perempuan Sudirman, Purwokerto) Premenopause Menghadapi Perubahan pada Masa Menopause di Kelurahan Buluran Kenali Kota Jambi Alamat Redaksi: Tahun 2016 oleh Diniyati, Neny Heryani, Nelly Jl. Let Jend Jamin Ginting KM 13.5 Herwani....................................................................17-22 Kelurahan Laucih Kec. Medan Tuntungan Telp: 061-8368633 Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Ibu Hamil Fax: 061-8368644 Terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat oleh Elizawarda................................................................23-32 Pengaruh Pemberian Terapi Oksigen dengan Menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) Terhadap Nilai Tekanan Parsial CO2 (PaCO2) pada Pasien Cedera Kepala Sedang (Moderate Head Injury) di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP H Adam Malik Medan Tahun 2016 oleh Marlisa.................33-38 Gambaran Pengetahuan dan Tindakan Siswa/i Terhadap Keluhan Sakit Gigi SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan Stm Hilir Tahun 2016 oleh Nelly Katharina Manurung................................................39-41 Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Lansia Terhadap Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016 oleh Adelima C R Simamora..................................................................42-46 Analisa Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Karyawan Kilang Papan dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri di PT Hidup Baru Kota Binjai Tahun 2014 oleh Netty Jojor Aritonang, Sitti Raha Agoes Salim, Makmur Sinaga............................................47-50 Hubungan Perilaku Caring Perawat Terhadap Kepuasan Pasien di Ruangan Penyakit Dalam Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2016 oleh Suriani Ginting......................................................................51-55 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Usia Muda di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Tahun 2016 oleh Wiwik Dwi Arianti.....................56-60 Efektifitas Perawatan Luka Menggunakan Madu dengan Lomatulle Terhadap Proses Penyembuhan Luka Diabetik oleh Sri Siswati, Syammar Kurnia Nasution....................................................................61-68 Aktivitas Sehari-Hari Pasien Stroke Non Hemoragik di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2016 oleh Solihuddin Harahap, Erika Siringoringo .......................................69-73 Diterbitkan oleh : POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN Jl. Jamin Ginting KM. 13,5 Kel. Lau Cih Medan Tuntungan Kode Pos : 20136 www.poltekkes-medan.ac.id/pannmed PENGANTAR REDAKSI Jurnal PANNMED merupakan salah satu wadah untuk menampung hasil penelitian Dosen Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan. Jurnal PANNMED Edisi Mei – Agustus 2016 Vol. 11 No.1 yang terbit kali ini menerbitkan sebanyak 14 Judul Penelitian. Redaksi mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Direktur atas supportnya sehingga Jurnal ini dapat terbit 2. Dosen-dosen yang telah mengirimkan tulisan hasil penelitiannya dan semoga dengan terbitnya jurnal ini dapat memberi semangat kepada dosen yang lain untuk berkreasi menulis hasil penelitian sehingga bisa diterbitkan ke Jurnal Pannmed ini. Akhir kata, kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar jurnal ini dapat menjadi jurnal yang berkualitas seperti harapan kita bersama. Redaksi ANALISA KADAR BESI (Fe) PADA BAYAM HIJAU SESUDAH PEREBUSAN DENGAN MASA SIMPAN 1 JAM 3 JAM DAN 5 JAM Sri Bulan Nasution Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Medan ` Abstrak Bayam (Amaranthus) dianggap sebagai raja sayuran karena kandungan gizinya yang tinggi. Bayam banyak mengandung vitamin, kalsium, fosfor dan besi. Zat besi yang berupa ferro (Fe2+) dalam bayam yang terlalu lama berinteraksi dengan udara (teroksidasi) maka bisa berubah menjadi ferri (Fe3+). Walau keduanya samasama zat besi, ferro (Fe2+) adalah zat besi yang bermanfaat, sedangkan ferri (Fe3+) bersifat racun bagi tubuh kita Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kadar besi total pada bayam hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam. Angka kecukupan besi sehari yang dianjurkan berdasarkan Widyakarta Nasional Pangan dan Gizi (2004) untuk pria berumur 19-29 tahun adalah 13 mg dan untuk wanita berumur 19-29 tahun adalah 26 mg. Kadar besi pada rebusan bayam hijau ditentukan dengan metode kuantitatif yaitu mengukur kadar besi (Fe) pada bayam hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam. Penelitian ini dilakukan pada laboratorium kimia air dinas kesehatan provinsi sumatera utara upt. Laboratorium kesehatan daerah jalan william iskandar pasar v barat I no.4 medan. Metode destruksi basah menggunakan alat spektrofotometer serapan atom. Dari hasil penelitian diperoleh kadar besi pada bayam hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam adalah 29,59 mg/kg; 29,54 mg/kg; 29,46 mg/kg. Kadar besi yang terdapat pada rebusan bayam hijau memiliki kadar besi yang hampir sama. Diharapkan kepada masyarakat sebaiknya mengkonsumsi sayur bayam sekali makan dan tidak dianjurkan untuk dipanaskan. Rebusan bayam hijau sebaiknya menggunakan sedikit air dan dimasak menggunakan panci alumunium. Kata kunci : Rebusan Sayur Bayam Hijau, Besi PENDAHULUAN Sayuran merupakan bahan pangan yang mudah didapatkan diberbagai tempat. Ada beberapa jenis sayuran yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia. Contohnya sayuran yang berasal dari daun daunan seperti bayam, daun singkong, pakis dan sawi. Dipasaran, bayam dijual dalam bentuk untaian yang diikat dengan batangnya. Jenis bayam yang digunakan sebagai sayuran yaitu bayam merah dan bayam hijau. (Murdiati,dkk,2013) Bayam banyak digemari oleh masyarakat Indonesia karena rasanya yang enak, lunak dan dapat memperlancar pencernaan. Selain itu, bayam juga mudah diperoleh dipasar-pasar dengan harga yang relative murah. Bayam (Amaranthus sp) dianggap sebagai raja sayuran karena kandungan gizinya yang tinggi.Bayam banyak mengandung vitamin A, B dan C, selain itu bayam banyak mengandung garam-garam mineral yang penting seperti kalsium,fosfor dan besi. Bayam mengandung zat mineral yang tinggi yaitu zat besi untuk mendorong pertumbuhan badan dan menjaga kesehatan. Kandungan besi dalam 100 gram bayam hijau yaitu 3,9 (Rizki,2013) Selain sebagai sayuran yang bergizi tinggi, bayam juga dimanfaatkan sebagai obat berbagai macam penyakit. Kandungan vitamin A dalam bayam berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh dalam menanggulangi penyakit mata, vitamin C dapat membantu menyembuhkan sariawan. Zat besi dapat mencegah penyakit anemia atau anemia gizi besi. (Haryadi,2013) Tetapi bayam juga mengandung zat yang bersifat merugikan, salah satunya adalah asam oksalat. Asam oksalat merupakan racun dalam bayam yang mampu mengikat nutrien dalam tubuh. Hal ini menyebabkan mengonsumsi makanan yang banyak mengandung asam oksalat secara berlebihan bisa mengakibat penghambatan penyerapan zat besi dan kalsium dalam tubuh.(Haryadi, 2013) Tubuh manusia membutuhkan zat besi untuk kesehatan darah dan otot. Hal ini memainkan peranan penting dalam produksi sel darah putih dan sel darah merah yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh. (Sunarya,2015) Besi merupakan mineral yang membantu mengangkut oksigen keseluruh tubuh. Angka kecukupan besi sehari yang dianjurkan berdasarkan Widyakarta Nasional Pangan dan Gizi (2004) untuk pria berumur 19-29 adalah 13 mg dan untuk wanita berumur 19-29 adalah 26 mg. (Sunita,2009) 1 Kekurangan zat besi dalam tubuh dapat menyebabkan anemia defesiensi besi dan anemia gizi. Kekurangan zat besi banyak dialami para ibu yang sedang mengandung, menyusui dan wanita yang sedang haid. (Almatsier,2009) Zat besi yang berupa ferro (Fe2+) dalam bayam yang terlalu lama berinteraksi dengan udara (teroksidasi) maka bisa berubah menjadi ferri (Fe3+). Walau keduanya sama-sama zat besi, ferro (Fe2+) adalah zat besi yang bermanfaat, sedangkan ferri (Fe3+) bersifat racun bagi tubuh kita (Rizki,2013) Sayur bayam dilarang dimasak menggunakan panci alumunium karena alumunium yang bereaksi dengan zat besi dalam bayam bisa menyebabkan terjadinya racun. Bagi yang memiliki kadar asam urat dalam darah yang cukup tinggi tidak dianjurkan mengkonsumsi bayam dalam jumlah banyak karena kandungan purin yang cukup tinggi dalam bayam dapat menyebabkan rasa nyeri yang berlebihan. (Rizki, 2013) Untuk mendapatkan manfaat sayur bayam sebaiknya mencuci bayam pada air mengalir kemudian didihkan dahulu airnya setelah itu masukan bayam, dapat ditambah dengan bahan makanan lainnya seperti garam. Merebus sayuran adalah cara aman untuk mengkonsumsi sayuran secara sehat. Bayam yang direbus sebaiknya menggunakan sedikit air karena sayuran ini cepat sekali masak yaitu hanya 4-6 menit. Kandungan dalam bayam tidak tahan panas artinya dapat berkurang atau rusak karena proses pemanasan. Bayam sebaiknya habis sekali makan sebab masakan bayam tak layak dikonsumsi setelah lebih dari 5 jam dan tidak dianjurkan untuk dimasak ulang atau dipanaskan. (Indrati,dkk, 2014) Berdasarkan penjabaran diatas penulis ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar besi pada bayam hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui kadar besi total pada bayam hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam. Tujuan Khusus Untuk menentukan kadar besi total pada bayam hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam. METODE Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui gambaran kadar besi pada bayam hijau sesudah perebusan dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Air Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara UPT. Laboratorium Kesehatan Daerah Jalan Williem Iskandar Pasar V Barat I No.4 Medan yang dilakukan dari bulan Maret sampai Juni 2016. 2 Sampel penelitian ini adalah sayur bayam hijau sesudah perebusan yang simpan selama 1 jam, 3 jam dan 5 jam. HASIL Tabel 1. Data Pembacaan Pada AAS No. Berat Sampel (gr) Absorbansi 1 2 3 10,1242 10,1024 10,0985 0,389 0,343 0,341 Pembacaan Sampel (ppm) 2,996 2,985 2,976 Tabel 2. Kadar Besi (mg/kg) Pada Rebusan Bayam Hijau No. Waktu Sesudah Kadar Fe Perebusan 1 1 Jam 29,59 mg/kg 2 3 Jam 29,54 mg/kg 3 5 Jam 29,46 mg/kg Pembahasan Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap kadar besi (Fe) pada sampel rebusan bayam hijau yang disimpan selama 1 jam, 3 jam dan 5 jam yang telah diperiksa di Laboratorium Kimia Air Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara UPT. Laboratorium Kesehatan Daerah kadar besi (Fe) yang terdapat pada rebusan bayam hijau memiliki kadar yang hampir sama. Kadar besi yang tertinggi terdapat pada rebusan bayam hijau dengan masa simpan 1 jam yaitu 29,59 mg/kg dan kandungan besi yang terendah terdapat pada rebusan bayam hijau dengan masa simpan 5 jam yaitu 29,46 mg/kg. Dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Novary (2014) di Makassar menunjukkan kadar besi pada rebusan bayam hijau dengan masa simpan 5 jam memiliki kadar besi yaitu 30,12 mg/kg. Tingginya kadar besi pada sayur bayam hijau dapat mencukupi asupan besi sehari-hari. Berdasarkan angka kecukupan besi yang dianjurkan oleh Widyakarta Nasional Pangan dan Gizi untuk pria berumur 19-29 tahun yaitu 13 mg dan untuk wanita berumur 19-29 yaitu 26 mg. Dari data hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kadar besi pada rebusan bayam hijau dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam tidak memiliki perbedaan hasil yang tinggi. Kadar besi pada rebusan bayam hijau memiliki kadar yang hampir sama ini disebabkan karena besi merupakan zat anorganik yang tidak dapat terurai sehingga dalam penyimpanan yang lama pun tidak mempengaruhi kadar besinya. Pemberian pupuk pada tanaman bayam akan mempengaruhi pada kualitas mineral bayam tersebut. (Bandini, 2009). Kesalahan juga terdapat pada metode kerja pemeriksaan yang dilakukan dalam pengolahan sampel dan alat yang digunakan. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap rebusan sayur bayam hijau dengan masa simpan 1 jam, 3 jam dan 5 jam diperoleh hasil yang hampir mendekati yaitu 29, 54 mg/kg - 29,46 mg/kg. Hal ini dapat disebabkan karena besi merupakan zat anorganik yang tidak dapat terurai walau dalam penyimpanan yang lama. Namun sayur bayam hijau yang disimpan terlalu lama atau dipanaskan tidak layak dikonsumsi karena zat besi berupa ferro (Fe2+) akan teroksidasi menjasi ferri (Fe3+) dimana ferri (Fe3+) bersifat racun bagi tubuh kita. Saran 1. Masyarakat sebaiknya mengonsumsi sayur bayam hijau habis sekali makan dan tidak dianjurkan untuk dipanaskan. 2. Rebusan bayam hijau sebaiknya menggunakan sedikit air dan dimasak menggunakan panci alumunium. 3. Kepada peneliti selanjutnya dapat meneliti zat-zat lain yang terdapat pada bayam hijau. Indrati, Retno dan Gardjito Murdjiati, 2014. Pendidikan Konsumsi Pangan. Cetakan ke I. Jakarta : PT Fajar Interpratama Mandiri Murdiati, Agnes dan Amaliah, 2013. Panduan Penyiapan Pangan Sehat Untuk Semua. Cetakan ke I. Jakarta : Kencana Prenadamedia Group Rizki, Farah, 2013. The Miracle Of Vegetables. Cetakan ke I. Jakarta : PT Agromedia Pustaka Sediaoetama, Ahmad Djaeni, 2008. Ilmu Gizi. Jakarta : Dian Rakyat Sunarya, DR, 2015. Memilih Makana Bergizi dan Aman. Cetakan ke I. Depok : Papas Sinar Sinanti. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, Sunita, 2009. Prinsip Dasar IlmuGizi. Cetakan ke VIII. Jakarta : PT Gramedia Pustakan Utama Bandini,Yusni, 2009. Bayam. Cetakan ke V. Jakarta : Penebar Swadaya Haryadi, J., 2013. Fakta Buah Dan Sayur Yang Berbahaya. Cetakan ke I. Jakarta : Niaga Swadaya http :// novary. Blogspot.com/2014/06/Pemeriksaan kadar besi pada bayam hijau yang disimpan 5 jam. dipublikasikan oleh novary, kamis, 19 Juni 2014 3 HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP BIDAN DENGAN TINDAKAN PERAWATAN PADA PASIEN PENDERITA KANKER SERVIKS DI RUMAH SAKIT HAJI MEDAN Elisabeth Surbakti, Efendi Sianturi Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Kanker leher rahim merupakan kanker yang terjadi pada serviks, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina, Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap bidan dengan tindakan perawatan pada pasien penderita kanker serviks di Rumah Sakit Haji Medan. Jenis penelitian ini analitik dengan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Bidan yang ada di rumah sakit Haji Medan sebanyak 33 Orang. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sampel. Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian kuesioner. Hasil penelitian ini adalah ada hubungan pengetahuan bidan dengan tindakan perawatan pada pasien penderita kanker serviks, dimana nilai p value = 0,013. Ada hubungan sikap bidan dengan tindakan perawatan pada pasien kanker serviks, p value = 0,018. Kepada pihak Rumah Sakit agar memberi pelatihan yang berkelanjutan dan evidence base kepada bidan terkait dengan perawatan pada pasien penderita kanker serviks untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan bidan dalam hal perawatan pada pasien kanker serviks yang berkunjung. Kepada pasien penderita kanker serviks agar dapat mengikuti penyuluhan yang diberikan oleh pihak rumah sakit serta aktif berkonsultasi sesuai dengan anjuran petugas kesehatan dalam hal ini bidan. Kata kunci : Pengetahuan dan Sikap Bidan, Tindakan Perawatan Pada Pasien Kanker serviks Pendahuluan Kanker merupakan penyakit yang tidak menular. Kanker serviks merupakan keganasan atau neoplasma yang terdapat pada daerah leher rahim atau mulut rahim. Penyakit ini timbul akibat kondisi tubuh yang tidak normal dan pola hidup yang tidak sehat. Kanker dapat menyerang berbagai jaringan di dalam organ tubuh, termasuk organ reproduksi wanita yang terdiri dari payudara, rahim, indung telur dan vagina. Angka kejadian dan angka kematian akibat kanker serviks di dunia mempunyai urutan kedua setelah kanker payudara. Sementara itu di negara berkembang masih menempati urutan teratas sebagai penyebab kematian akibat kenker di usia reproduksi (Rasjidi, 2007). Kanker serviks merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan dampak psikososial yang luas, terutama bagi pasien dan keluarganya. Menurut Rachmadahniar (2008), pada tahun 2000 sekitar 80% penyakit kanker serviks ada di negara berkembang yaitu di Afrika sekitar 69.000 kasus, di Amerika Latin sekitar 77.000 kasus, dan di Asia sekitar 235.000 kasus. Penelitian oleh Vavuhala (Rachmadahniar, 2008) pada tahun 2004 menunjukkan setiap tahunnya di dunia terdapat sekitar 500.000 kasus baru kanker serviks dengan tingkat kematian sekitar 200.000 kasus. 4 Menurut data Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang atau setiap 11 menit ada satu penduduk yang meninggal dunia karena kanker dan setiap 3 menit ada satu penderita kanker baru. Dalam 10 tahun mendatang diperkirakan 9 juta akan meninggal setiap tahun akibat kanker, 2/3 dari penderita kanker tersebut berada di negara-negara yang sedang bekembang termasuk Indonesia (Ratna, 2008). Menurut Rono (2007) di Amerika Selatan dan beberapa Negara Asia ditemukan kejadian kanker serviks sebanyak 40/100.000 penduduk, sedangkan diwilayah Australia Barat tercatat setiap tahunnya sebanyak 85 orang wanita di diagnose positif menderita kanker serviks. Di Indonesia di perkirakan terdapat 200 ribu kasus baru per tahunnya. Insidens rate penderita kanker di Indonesia berjumlah 100 orang per 100.000 (Ratna, 2008). Data Departemen Kesehatan di Indonesia saat ini ada sekitar 200.000 kasus kanker serviks setiap tahunnya, atau 100 kasus per 100.000. Wanita, 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam stadium lanjut (Mustari, 2009). Masalah kanker serviks di Indonesia karena beberapa kendala antara lain luasnya wilayah demografi, kesinambungan dan kekurangan sumberdaya manusia sebagai pelaku screening sehingga harapan untuk menemukan kanker serviks stadium dini masih jauh (Suwiyoga, Ketut 2008) Data RS dr. Pringadi Medan tahun 2002 menunjukkan bahwa kanker serviks menempati peringkat teratas dari seluruh kanker pada wanita. Pada tahun 2007 terdapat 345 kasus, tahun 2009 sebanyak 48 kasus, tahun 2010 sebanyak 40 kasus, tahun 2011 sebanyak 263 kasus, tahun 2012 sebanyak 58 kasus, tahun 2013 sebanyak 64 kasus, dan tahun 2014 sebanyak 294 kasus. Beberapa faktor yang diduga meningkatkan kejadian kanker serviks yaitu usia, status sosial ekonomi, pasangan seks yang berganti-ganti, paritas, kurang menjaga kebersihan genital, merokok, riwayat penyakit kelamin, trauma kronis pada serviks, serta penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun (Diananda, 2007). Menurut Bustan (2008) kanker bisa disembuhkan jika dideteksi dan di tanggulangi sejak dini, namun dikarenakan minimnya gejala yang ditimbulkan oleh kanker serviks, penanganan terhadap penyakit ini sering terlambat yang menyebabkan kematian. Di sisi lain, Indonesia mempunyai sejumlah bidan, dimana bidan merupakan tenaga kesehatan yang dekat dengan masalah kesehatan wanita yang potensinya perlu dioptimalkan khsususnya untuk program skrining kanker serviks. Dari data sekretariat IBI (Ikatan Bidan Indonesia) Pusat, pada tahun 1997 jumlah bidan di desa sebanyak 55.000 orang dan bidan praktek swasta sebanyak 16.000 orang. Dari penelitian Nuranna L dan Aziz MF pada tahun 1991, diperoleh data bahwa diantara petugas kesehatan termasuk bidan, kemampuan kewaspadaannya terhadap kanker serviks masih perlu diberdayakan. (Nuranna L, 1999, Sheperd JH) Penting bagi seorang bidan untuk memiliki kepercayaan diri dalam keterampilan kebidanannya mengenai observasi dan intervensi minimal dengan maksud mengkaji kesehatan dan kemajuan maternal agar bidan dapat mempercayai dan bertanggung jawab terhadap tindakan mereka sendiri (Vicky Chapman, 2010) Dalam penelitian Suaidah (2010), didapatkan bahwa tingkat pengetahuan bidan dan perawat terhadap bahaya kanker serviks yang baik adalah 18 orang (54,5%) dan yang sedang adalah 15 orang (45,5%) dari 11 bidan dan 22 perawat yang menjadi responden. Sedangkan responden yang memiliki sikap yang baik adalah 28 orang (84,8%) dan yang memiliki sikap sedang adalah 5 orang (15,2%), serta responden yang memiliki tindakan baik ada 26 orang (70 %) dan responden yang memiliki tindakan buruk ada sebanyak 4 orang (30 %). Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan, sikap serta tindakan bidan dan perawat adalah cukup baik. Untuk itu kepada para pembuat kebijakan kesehatan agar lebih memperhatikan upaya tindakan pencegahan kanker serviks secara dini. Sedangkan kepada bidan dan perawat untuk memperluas wawasan tentang kanker serviks secara berkelanjutan berdasarkan evidence base, dengan cara lebih banyak mencari informasi tentang kanker serviks agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam program pencegahan kanker serviks. Data dari Rumah Sakit Haji Medan pada tahun 2010 terdapat 27 kasus kanker serviks dan pada tahun 2011 terdapat 32 kasus kanker serviks. Metode Jenis penelitian ini adalah metode analitik dengan desain penelitian cross sectional, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan Pengetahuan dan Sikap Bidan dengan tindakan perawatan pada pasien kanker serviks di Rumah Sakit Haji Medan. Besar sampel 33 Orang, dengan pengambilan sampel total populasi Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk Bidan, Data yang telah dikumpulkan berupa jawaban dari setiap pernyataan kuesioner akan diolah dan dianalisa secara Univariat dan Bivariat Hasil Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik di Rumah Sakit Haji Medan No Umur Frekuensi % 1 ≤30 tahun 12 36,4 2 >30 tahun 21 63,6 Total 33 100 Masa kerja Frekuensi % 1 ≤5 tahun 11 33,3 2 >5 tahun 22 66,7 Total 33 100 Berdasarkan tabel 1 bahwa umur bidan mayoritas >30 tahun 21 orang (63,6%), dan masa kerja bidan mayoritas >5 tahun sebanyak 22 orang (66,7%). Tabel 2. Gambaran distribusi Pengetahuan, tindakan Perawat di RS Haji Medan No Pengetahuan N 1 Baik 22 2 Cukup 8 3 Kurang 3 33 Sikap 1 Positif 29 2 Negatif 4 33 Tindakan 1 Baik 28 2 Kurang 5 Total 33 sikap dan % 66,6 24,2 9,1 100 87,9 12,1 100 84,8 15,2 100 Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa pengetahuan bidan mayoritas baik 22 orang (66,6%), sikap bidan mayoritas positif 29 orang (87,9%) dan tindakan bidan mayoritas baik 28 orang (84,8%). 5 Hubungan Pengetahuan Bidan Dengan Tindakan Perawatan Pada Pasien Penderita Kanker serviks Tabel 3. Distribusi Hubungan Pengetahuan Bidan dengan Tindakan Perawatan Pada Pasien Penderita Kanker serviks di Rumah Sakit Haji Medan Tindakan Total Baik Kurang P Value No Pengetahuan n % n % n % 1 Baik 21 63,6 1 3,0 22 66,7 2 Cukup 6 18,2 2 6,1 8 24,2 0,013 3 Kurang 1 3,0 2 6,1 5 9,1 Total 28 84,8 5 15,2 33 100 Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa ada 21 orang (63,6%) bidan yang berpengetahuan baik dengan tindakan baik, 6 orang (18,2%) bidan yang berpengetahuan cukup dengan tindakan baik, serta ada 2 orang (6,1%) bidan yang berpengetahuan kurang dengan tindakan kurang.Berdasarkan hasil uji chisquare diperoleh nilai p value = 0,013 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan bidan dengan tindakan perawatan pada pasien penderita serviks. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina, Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun (Notodiharjo, 2008). Bidan mengetahui tentang perawatan kanker serviks, merupakan penyakit yang terjadi pada kandungan (organ reproduksi), kanker yang terjadi pada wanita yang sudah pernah melakukan hubungan seksual, terjadi pada wanita usia 30-45 tahun, Tidak memakai kondom saat melakukan hubungan seks dengan pria yang bukan pasangan hidupnya, dapat menjadi pencetus kanker serviks. Bidan pada umumnya mengetahui perawatan penderita kanker serviks. Bila dilihat dari pendidikan pada umumnya D-III, sehingga memperoleh informasi tentang kanker serviks baik dimasa pendidikan maupun sesudah bekerja sehingga pengetahuan bidan tentang kenker serviks mayoritas baik. Dengan pengetahuan yang baik maka bidan dapat memberikan konseling kepada klien yang berkunjung ke pelayanan kesehatan, sehingga dapat mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapi. Dalam penelitian Suaidah (2010), didapatkan bahwa tingkat pengetahuan bidan dan perawat terhadap bahaya kanker serviks baik adalah 18 orang (54,5%) dan yang sedang adalah 15 orang (45,5%) dari 11 bidan dan 22 perawat yang menjadi responden. Berdasarkan hasil uji chisquare diperoleh nilai p value = 0,013 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan bidan dengan tindakan perawatan pada pasien penderita kanker serviks. Hal ini sesuai dengan penelitian Rospita (2007) bahwa ada hubungan pengetahuan bidan dengan tindakan perawatan kanker serviks, dimana nilai p value = 0,001. Dalam penelitiannya ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan bidan yang baik maka akan dapat mempengaruhi 6 tindakan menjadi baik, seseorang bisa bertindak baik sesuai dengan apa yang diketahuinya. Hubungan Sikap Bidan Dengan Tindakan Perawatan Pada Pasien Penderita Kanker serviks Tabel 4. Distribusi Hubungan Sikap Bidan Dengan Tindakan Perawatan Pada Pasien Penderita Kanker Serviks di Rumah Sakit Haji Medan Tindakan Total No Sikap Baik Kurang P value n % n % n % 1 Positif 26 78,8 3 9,1 29 87,9 0,018 2 Negatif 2 6,1 2 6,1 4 12,1 Total 28 84,8 5 15,2 33 100 Berdasarkan tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa 26 orang (78,8%) bidan yang memilik sikap positif dengan tindakan baik, dan ada 2 orang (6,1%) bidan yang memiliki sikap negatif dengan tindakan baik. Berdasarkan hasil uji chisquare diperoleh nilai p value = 0,018 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara sikap bidan dengan tindakan perawatan pada pasien penderita kanker serviks. Pembahasan Hubungan Sikap Bidan Dengan Tindakan Perawatan Pada Pasien Penderita Kanker Serviks Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa ada sebanyak 26 orang (78,8%) bidan yang memilik sikap positif dengan tindakan baik, dan ada 2 orang (6,1%) bidan yang memiliki sikap negatif dengan tindakan baik. Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor-faktor penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2008) : Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda, pernikahan pada usia muda, dan bergantiganti pasangan seks. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak perlu melakukan pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk dokter. Kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan kondom, dapat memberi perlindungan terhadap kanker serviks Bidan memiliki sikap positif dalam penanganan kanker serviks seperti bidan harus selalu mencari informasi terbaru (Evidance base), pendidikan (pelatihan) kesehatan yang berkelanjutan dalam perawatan penderita kanker serviks. Bidan akan melakukan tindakan untuk perawatan penderita kanker serviks, dengan mengidentifikasi penyebabnya. Sebaiknya bidan menginformasikan pada keluarga tentang keadaan ibu sebelum melakukan penanganan. Hasil penelitian diperoleh bahwa sikap bidan mayoritas positif sebanyak 29 orang (87,9%). Hal ini terjadi karena pengetahuan bidan yang baik maka sikap bidan juga menjadi positif. Sikap positif ini seperti bidan aktif untuk mencari informasi berkaitan dengan kanker serviks, memberikan dukungan serta perawatan kepada pasien kanker serviks. Tindakan bidan baik seperti bidan menganjurkan pasien menjalani kemoterapi bila kanker telah menyebar ke luar panggul, mencatat semua tindakan yang dilakukan bidan di catatan perawat. Sikap sangat menentukan seseorang ke arah lebih baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk membentuk sikap tersebut dapat diwujudkan melalui pemberdayaan tenaga kesehatan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya pencegahan kanker serviks dengan pap smear atau IVA kepada masyarakat secara berkala. Sikap positif akan memunculkan perilaku yang baik untuk melakukan pencegahan kanker serviks. Berdasarkan hasil uji chisquare diperoleh nilai p value = 0,018 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara sikap bidan dengan tindakan perawatan pada pasien penderita kanker serviks. Hal ini sesuai dengan penelitian Yanti (2008) yaitu ada hubungan sikap bidan dengan tindakan perawatan pasien kenker serviks, dimana nilai p value = 0,010. Sikap yang baik maka tindakan juga menjadi baik. Menurut Notoadmodjo (2007) menyatakan bahwa suatu sikap belum otomatis terwujud dalam bentuk praktek. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata (praktik) diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Kesimpulan 1. Ada hubungan pengetahuan bidan dengan tindakan perawatan pada pasien penderita kanker serviks 2. Ada hubungan sikap bidan dengan tindakan perawatan pada pasien penderita kanker serviks. Saran 1. Kepada pihak Rumah Sakit agar memberi pelatihan yang berkelanjutan dan evidence base kepada bidan terkait dengan perawatan pada pasien penderita kanker serviks, untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan bidan dalam memberikan pelayanan. 2. Kepada pasien penderita kanker serviks agar dapat mengikuti setiap penyuluhan yang diberikan oleh pihak rumah sakit serta aktif berkonsultasi dengan dokter setiap kali berkunjung di tempat pelayanan kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Adi, T. N. (2011). Wanita dan Deteksi Dini Kanker Serviks (Studi Korelasi antara Sikap dan Norma Subjektif dengan Intensi Wanita Dewasa dalam Pemeriksaan Deteksi Dini Kanker Serviks). Acta diurnA│ Vol, 7(2). Bakhtiar MN, 2007, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Dalimartha, 2008, Essential of Obstetri dan Gynecology, alih bahasa Edi Nugroho, Penerbit J George Hypocrates. Dep Kes RI,2000 Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia 2001-2010, Jakarta. Diananda E,2007, Hubungan Pengetahuan dan Sikap Anggota Persatuan Isteri TNI AD Terhadap Upaya Deteksi Dini Kanker Leher Rahim di Denkavkud Bandung, Yogyakarta. Maulana Y, 2009, Cara Bijak Menaklukkan Kanker, PT Agromedia Pustaka, Depok Mubarak, 2009, Standar pelayanan Kebidanan, Jakarta. Notoatmodjo S,2007,Ilmu Kesehatan Masyarakat: PrinsipPrinsip Dasar, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta,Jakarta Notodiharjo R, 2008, Reproduksi, Kontrasepsi, dan Keluarga Berencana, Yogyakarta. Nuranna L. Skrining kanker serviks, uapaya down staging dan metode skriming alternatif. Jakarta : subbagian onkologi Bagian Obstetri dan genekologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkumo, 1999 Rasjidi I, Sulistiyanto H, 2007, Vaksin Human Papilloma Virus dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim, Jakarta Rasjidi I, Sulistiyanto H. 2007, Vaksin Human Papilloma Virus dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim,DIVA press, Jakarta. Rono Yohanes, 2010, Kanker Leher Rahim, Dept of Sugery Holliwood Hospital, Australia Sagung O, 2007, Hubungan Antara Karakteristik Ibu Dengan Partisipasi Ibu Melakukan Pemeriksaan Papsmear di Klinik Adhiwarga PKBI Yogyakarta,Yogyakarta. Saragih, R. (2012). Peranan Dukungan Keluarga dan Koping Pasien dengan Penyakit Kanker terhadap Pengobatan Kemoterapi di RB 1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2010. Jurnal Keperawatan. FIK, UDA, Medan. Sheperd JH. Curent management of the abnormal smear and cervical intraepithelia neoplasia. Consultant gynecological surgeon and oncologist, St. Bartholomeus’s and the Royal Marden hospital, London, England, In: Bengkel HJ, Kresno SB, Soekidjo Y, 2005 dan Wahyuningsih H. P. Etika Profesi Kebidanan Cetakan Kedua, PT Ftramaya, Jakarta. Sofien 2007 AB, Buku Panduan Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi I, Yayasan Bina Pustaka Sarworo Prawiroharjo, Jakarta. Wiknyosastro H, 2005, Ilmu Kandungan.Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo, Jakarta. 7 PENGARUH MENGKONSUMSI BUAH PEPAYA TERHADAP INDEKS PLAK PADA SISWA/I KELAS VII SMP NEGERI 31 KODYA MEDAN KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2016 Herlinawati, Aminah Br. Saragih, Hana Meyliani Harahap Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap indeks plak. Jenis penelitian yang dilakukan adalah analitik dengan metode Quasi Eksperiment dengan desain penelitian one group pre test post test design. Penelitian ini dilakukan pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016 dengan pengambilan sampel secara purposive sampling yang berjumlah 40 orang. Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan siswa/i tentang pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap Indeks Plak. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan adanya penurunan indeks plak setelah mengkonsumsi buah pepaya, dimana rata-rata sebelum mengkonsumsi buah pepaya adalah 2,32, sedangkan sesudah mengkonsumsi buah pepaya rata-rata indeks plak menjadi 1,18. Hasil t-Test dependent didapat bahwa nilai probabilitas p < 0,0001, maka Ho ditolak (jika p < 0,05) yang artinya adanya pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap penurunan indeks plak. KeKesimpulan penelitian ini adalah ada pengaruh yang signifikan dari mengkonsumsi buah pepaya terhadap penurunan indeks plak. Diharapkan kepada siswa/i agar meningkatkan kesehatan gigi dengan cara mengkonsumsi makanan berserat dan mengandung air yang baik untuk kesehatan gigi, misalnya buah pepaya Kata kunci: buah papaya, indeks plak PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia untuk dapat melakukan berbagai aktivitas baik secara fisik, mental dan kesejahteraan sosial secara lengkap dan bukan hanya sekedar tidak mengidap penyakit atau kelemahan (WHO : Organisasi Kesehatan Sedunia). Salah satu upaya kesehatan adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat (Depkes RI 2010). Kesehatan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap individu. Hal ini membuat sebagian orang yang peduli dengan kesehatan melakukan berbagai upaya proteksi kesehatan. Tubuh yang sehat tidak terlepas dari memiliki rongga mulut yang sehat. Banyak ahli mengatakan rongga mulut merupakan bagian integral dari kesehatan umum (Petersen, 2003). Menurut Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 93 ayat 1 dan 2 yaitu pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang dapat dilakukan dengan tindakan pencegahan penyakit gigi, serta pemulihan kesehatan gigi yang dilaksanakan oleh pemerintah setempat dan dapat juga dilakukan melalui pelayanan kesehatan gigi perorangan, sekolah dan masyarakat. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (2013), prevalensi nasional masalah gigi dan 8 mulut mencapai 25,9 persen, sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut diatas angka nasional. Prevalensi nasional menyikat gigi setiap hari adalah 94,2 persen sebanyak 15 provinsi berada dibawah prevalensi nasional. Karies gigi adalah penyakit multifaktor yang merupakan hasil kombinasi dari 4 faktor utama yaitu host (gigi), substrat, mikroorganisme di dalam plak dan waktu (Samaranayake, 2002). Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies. Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan (Pintauli S, Hamada T, 2008). Upaya pencegahan timbulnya plak disebut dengan kontrol plak. Ada 3 cara yang digunakan dalam kontrol plak yaitu mekanik, khemis, dan modifikasi. Sampai saat ini, kontrol plak masih mengandalkan pada kebersihan secara mekanik yaitu menyikat gigi dan membersihkan gigi dengan menggunakan bantuan ahli medis. Konsumsi buah yang segar dan kaya akan vitamin, serat dan air dapat melancarkan pembersihan sendiri pada gigi, sehingga luas permukaan plak dapat dikurangi dan pada akhirnya karies gigi dapat dicegah. Kebiasaan makan- makanan berserat tidak bersifat sebagai pengendali plak secara alamiah. Makanan padat dan berserat secara fisiologis akan meningkatkan intensitas pengunyahan dalam mulut. Proses pengunyahan makanan ini akan merangsang dan meningkatkan produksi saliva. Saliva akan membantu membilas gigi dari partikel-partikel makanan yang melekat pada gigi dan juga melarutkan komponen gula dari sisa makanan yang terperangkap dalam sela-sela pit dan fisur permukaan gigi (Mcdonald dan Avery, 2006). Pepaya merupakan tanaman sumber vitamin, mineral, serat dan mengandung enzim yang berguna untuk kesehatan tubuh. Lebih dari 50 asam amino terkadung dalam getah pepaya, antara lain asam aspartat, treonin, serin, asam glutamate, prolin, glisin, alanin, valine, isoleusin, leusin, tirosin, fenilanin, histidin, lysine, arginin, tritophan, dan sistein. Mereka bersatu padu menjadi bahan baku industri kosmetik untuk menghaluskan kulit, menguatkan jaringan agar lebih kenyal, dan menjaga gigi dari timbunan plak (Faralia, 2012). Enzim papain dalam buah pepaya juga dapat dijadikan bahan aktif dalam pembuatan pasta gigi. Papain dalam pasta gigi dapat membersihkan sisa protein yang melekat pada gigi. (http://www.digilib.unimed.ac.id). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016 pada siswa/i sebanyak 40 orang, dimana peneliti melakukan wawancara langsung kepada siswa/i, ditemukan bahwa siswa/i kurang dalam melakukan kebersihan gigi dan mulut sehingga mengakibatkan terjadinya plak. Membersihkan gigi tidak hanya dengan menyikat gigi, tetapi bisa dilakukan dengan mengkonsumsi buahbuahan seperti pepaya. Berdasarkan uraian di atas dan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada anak Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31, maka dari data tersebut peneliti akan meneliti pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap Indeks Plak pada Siswa/I Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap Indeks Plak. Sedangkan manfaat Penelitian yaitu : 1. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi pihak sekolah tentang pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap Indeks Plak pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016. 2. Menambah pengetahuan pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016 tentang pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap Indeks Plak. METODE Jenis dan Desain Penelitian ini menggunakan metode Quasi Eksperiment dengan desain penelitian one group pre test post test design yaitu eksperimen yang dilaksanakan pada satu kelompok saja tanpa kelompok pembanding. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian adalah Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan dengan jumlah 235 orang. Sampel adalah objek penelitian yang dianggap mewakili keseluruhan populasi. Pengambilan sampel secara purposive sampling, yaitu teknik sampling yang digunakan oleh peneliti karena peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan sampel (Arikunto, 2013). Sampel penelitian adalah siswa/i kelas VII 5 yang berjumlah 40 Siswa/i SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan. HASIL Data yang dikumpulkan adalah hasil penelitian yang dilakukan terhadap Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan secara langsung pada siswa/i yang dijadikan sampel. Dari penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh data indeks plak sebelum dan sesudah mengkonsumsi buah pepaya. Setelah seluruh data terkumpul, dibuatlah analisa data dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi untuk masing-masing sampel, kemudian dilakukan pengolahan data statistik dengan menggunakan t-Test. Tabel 4.1. No 1 2 3 Distribusi Frekuensi Persentase Indeks Plak Sebelum Mengkonsumsi Pepaya Pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016 Kategori Frekuensi Persentase Indeks Plak Baik 0 0 Sedang 7 17,5 Buruk 33 82,5 Total 40 100,0 Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa dari 40 orang sampel yang telah diteliti sebelum mengkonsumsi buah pepaya dapat dikategorikan bahwa siswa/i memiliki indeks plak sedang berjumlah 7 orang (17,5%), dan siswa/i yang memiliki indeks plak buruk berjumlah 33 orang (82,5%). 9 Tabel 4.2. No 1 2 3 Distribusi Frekuensi Persentase Indeks Plak Sesudah Mengkonsumsi Pepaya Pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016 Kategori Frekuensi Persentase Indeks Plak Baik 14 35,0 Sedang 26 65,0 Buruk 0 0 Total 40 100,0 Dari tabel 4.2 dapat diketahui bahwa dari 40 orang sampel yang telah diteliti sesudah mengkonsumsi buah pepaya dapat dikategorikan bahwa siswa/i tidak memiliki indeks plak buruk tetapi dari 40 sampel siswa/i sesudah mengkonsumsi pepaya memiliki kategori baik berjumlah 14 orang (35,0%), dan siswa/i yang memiliki kategori sedang berjumlah 26 orang (65,0%). Tabel 4.3. No 1 2 Perbedaan Rata-Rata Mengkonsumsi Buah Pepaya Terhadap Penurunan Indeks Plak Pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016 Berdasarkan t-Test Indeks Plak Mean N Indeks Plak Sebelum 2,32 40 Mengkonsumsi Buah Pepaya Indeks Plak Sesudah 1,18 40 Mengkonsumsi Buah Pepaya Dari tabel 4.3 diketahui bahwa dari hasil t-Test sebelum dan sesudah mengkonsumsi buah pepaya didapat dengan nilai rata-rata indeks plak sebelum mengkonsumsi buah pepaya 2,32 dan indeks plak sesudah mengkonsumsi buah pepaya 1,18, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan indeks plak sesudah mengkonsumsi buah pepaya. Tabel 4.4. Perbedaan Mengkonsumsi Buah Pepaya Terhadap Penurunan Indeks Plak Pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016 Berdasarkan t-Test Selisih Mean SD T Df Sig.(2Indeks tailed) Plak IP Sbl- IP 1,14 .27 26,29 39 .0001 Ssd Dari tabel 4.4 diketahui bahwa dari hasil t-Test dependent yang telah dilakukan adanya terjadi penurunan indeks plak sebelum dan sesudah mengkonsumsi buah pepaya, yang berarti ada perbedaan mengkonsumsi buah pepaya terhadap indeks plak. Hal ini terlihat dari hasil yang 10 dilakukan dimana diperoleh hasil yang signifikan dengan probabilitas (p) yaitu 0,0001. PEMBAHASAN Pada penelitian ini peneliti ingin melihat pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap penurunan indeks plak. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 40 sampel dari Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016 yang dipilih secara purposive sampling pada kelas VII 5. Dari hasil penelitian yang di dapat maka diketahui banyak siswa/i yang memiliki indeks plak dengan kategori buruk. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan siswa/i tentang cara menjaga kebersihan gigi dan mulut. Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan (Pintauli S, Hamada T, 2008). Plak memegang peranan penting dalam terjadinya penyakit gigi dan mulut. Bakteri yang terdapat dalam plak bertanggung jawab pada terjadinya kerusakan gigi, karena bakteri-bakteri tersebut akan melakukan metabolisme terhadap sisa-sisa makanan yang tertinggal (Putri, Megananda Hiranya, Eliza H, Neneng N, 2010). Makanan padat dan berserat secara fisiologis akan meningkatkan intensitas pengunyahan dalam mulut. Proses pengunyahan makanan ini akan merangsang dan meningkatkan produksi saliva. Saliva akan membantu membilas gigi dari partikel-partikel makanan yang melekat pada gigi dan juga melarutkan komponen gula dari sisa makanan yang terperangkap dalam sela-sela pit dan fisur permukaan gigi (Mcdonald dan Avery, 2006). Pepaya merupakan tanaman sumber vitamin, mineral, serat dan mengandung enzim yang berguna untuk kesehatan tubuh. Enzim papain dalam buah pepaya dapat dijadikan bahan aktif dalam pembuatan pasta gigi. Papain dalam pasta gigi dapat membersihkan sisa protein yang melekat pada gigi (htttp://www.digilib.unimed.ac.id). Dari hasil t-Test dependent yang dilakukan oleh peneliti diperoleh nilai probabilitas (p) 0,0001, maka Ho ditolak (jika p<0,05). Maka dari hasil tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh mengkonsumsi buah pepaya terhadap penurunan indeks plak pada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016. Dimana dapat dilihat dari rata-rata sebelum mengunyah buah pepaya pada sampel adalah 2,32 sedangkan sesudah mengkonsumsi buah pepaya rata-rata indeks plak berubah menjadi 1,18. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mengkomsi buah pepaya dapat menurunkan nilai indeks plak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Faralia (2012) yaitu 1001 Khasiat Istimewa Buah-buahan dan Sayuran, yang menyatakan bahwa pepaya dapat menurunkan indeks plak Kesimpulan 1. Indeks plak rata-rata sebelum mengkonsumsi buah pepaya pada sampel adalah 2,32, sedangkan sesudah mengkonsumsi buah pepaya dengan rata-rata indeks plak berubah menjadi 1,18. 2. Hasil dari t-Test dependent didapat hasil bahwa hipotesis ditolak yang artinya ada pengaruh yang signifikan dari mengkonsumsi buah pepaya terhadap penurunan indeks plak sebesar 1,14 pada siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2016. Saran 1. Perlu adanya peningkatan penyuluhan kepada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan tentang kebersihan gigi serta manfaat mengkonsumsi makanan berserat dan mengandung banyak air yang baik untuk kesehatan gigi, misalnya buah pepaya. 2. Diharapkan kepada Siswa/i Kelas VII SMP Negeri 31 Kodya Medan Kecamatan Medan Tuntungan agar meningkatkan kebersihan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi dan melakukan pemeriksaan gigi secara berkala. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S., 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Depkes RI., 2000. Rencana Pembangunan Kesehatan. Jakarta. Faralia., 2012. 1001 Khasiat Istimewa Buah-buahan dan Sayuran. Yogyakarta : Aulia Publishing. Haryoto., 1998. Membuat Saus Pepaya. Yogyakarta : Kanisius. Hongini S Y, M Aditiawarman., 2012. Kesehatan Gigi dan Mulut. Bandung : Pustaka RekaCipta. Irianto K, K Waluyo., 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung : Yrama Widya. M Edwina A, S Joyston., 1991. Dasar Dasar Karies. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. McDonald RE, Avery DR, Dean JE. Dentistry For The Child And Andolescent. 8th ed. Mosby Elsevier., 2006. Mulyana W., 1996. Bercocok Tanam Pepaya. Semarang : Aneka Ilmu Semarang. Notoatmodjo S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : RinekaCipta. Petersen., 2003. Serious Sequele of Maxilofacial Infection. Royal Brisbane Hospital. Pintauli S, T Hamada., 2008. Menuju Gigi dan Mulut Sehat Pencegahan dan Pemeliharaan. Medan : USU Press. Putri, Megananda Hiranya, Eliza H, Neneng N., 2010. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Rusilanti, M Kusharto., 2007. Sehat dengan Makanan Berserat. Jakarta : AgroMedia Pustaka. Samaranayake LP, MacFarlane TW (eds). Oral Candidosis. Cambridge : Butterworth & Co. (Publisher) Ltd, 1990. Silaban R, 2013, Pemanfaatan Enzim Papain Getah Buah Pepaya Untuk Melunakkan Daging, Medan, http://www.Urldigilib.Unimed.Pdf, 27 April 2013. World Health Organization. The World Health Report 2003. Geneva, 2003. . 11 HUBUNGAN SIKAP TENTANG MEKANIKA TUBUH DENGAN NYERI PUNGGUNG BAWAH PETANI DI DUSUN V DESA DOLOGHULUAN KECAMATAN RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2015 Agustina Boru Gultom Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan ` Abstrak Nyeri punggung bawah atau low back pain merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama dan mempengaruhi individu, komunitas dan secara global. Nyeri punggung bawah adalah masalah gangguan muskuloskletal yang sangat umum terjadi diantara petani. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganlisis hubungan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah pada petani di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan desain cross sectional untuk menganalis hubungan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah pada petani. Analisis data menggunakan uji statistik exact fisher dengan α = 0.05. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah (0,017 < 0,05). Disarankan adanya peningkatan pemahaman sikap tentang mekanika tubuh yang baik bagi petani di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun melalui Puskesmas setempat. Kata kunci : Sikap Tentang Mekanika tubuh, Nyeri Punggung Bawah, Petani PENDAHULUAN Nyeri punggung bawah atau low back pain merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama dan mempengaruhi individu, komunitas dan secara global. (Hoy et al,2012) Nyeri punggung bawah pada hakekatnya merupakan keluhan atau gejala dan bukan merupakan penyakit spesifik. Penyebab nyeri punggung bawah antara lain kelainan muskuloskletal, sistem saraf, vascular, visceral dan psikogenik. (Pinzon,2012). Prevalensi nyeri muskuloskletal, termasuk low back pain, dideskripsikan sebagai sebuah epidemik. Sekitar 80 persen dari populasi pernah menderita nyeri punggung bawah paling tidak sekali dalam hidupnya. (Dellito et al, 2012). Nyeri punggung bawah merupakan masalah utama didunia, dengan prevalensi tertinggi pada populasi perempuan antara umur 40 sampai 80 tahun. (Hoy et al, 2012). Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa nyeri punggung bawah (LBP) adalah masalah gangguan muskuloskletal yang sangat umum terjadi diantara petani. Pada negara-negara berkembang, ratarata prevalensi pertama diantara petani sebesar 47 % di Sweden, 23% di Finland dan 37% di US. Namun, dinegara-negara berkembang rata-ratanya lebih tinggi terutama South West Nigeria sebesar 72% dan China sebesar 64%. Prevalensi nyeri punggung bawah adalah tinggi pada petani padi di komunitas desa yaitu Phitsanulok yang ada di Thailand (Taechasubamorn et al, 2011) 12 Prevalensi penyakit musculoskletal di Indonesia berdasarkan pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan yaitu 11,9 persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala yaitu 24,7 persen. Prevalensi penyakit muskuloskletal tertinggi berdasarkan pekerjaan adalah pada petani, nelayan atau buruh yaitu 31,2 persen.(Riskesdas, 2013) Sikap seseorang berkaitan dengan mekanika tubuh memiliki keterkaitan dengan terjadinya resiko cedera. Menurut Kozier et al (2010), mekanika tubuh adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan tubuh secara efisien, terkoordinasi, dan aman untuk memindahkan benda dan melaksanakan aktifitas kehidupan sehari-hari. Tujuan utama mekanika tubuh adalah untuk memfasilitasi penggunaan kelompok otot yang tepat secara efisien dan aman untuk mempertahankan keseimbangan, mengurangi energi yang dibutuhkan, mengurangi keletihan dan menurunkan resiko cedera. Berat beban yang diangkat, frekuensi angkat serta cara atau teknik mengangkat beban sering dapat mempengaruhi kesehatan pekerja berupa kecelakaan kerja ataupun timbulnya nyeri atau cedera pada punggung. (Effendi, 2007). Sekitar 90% dari seluruh cedera punggung bawah bukan disebabkan oleh kelainan organik, melainkan oleh kesalahan posisi tubuh dalam bekerja. Data penelitian menunjukkan dalam satu bulan rata-rata 23% pekerja tidak bekerja dengan benar dan absen kerja selama delapan hari dikarenakan sakit pinggang. Berdasarkan hasil survey tentang akibat sakit leher dan pinggang, produktifitas kerja dapat menurun sebesar 60% (Mayrika, 2009). Nyeri punggung biasanya terjadi pada petani dikarenakan gambaran fisik dari pekerjaan sebagai petani. Petani membutuhkan untuk mengangkat beban yang berat dan jumlah berjalan dalam kapasitas yang lama dan penggunaan dorongan dan tarikan dalam penyelesaikan tugas-tugas. (Jepsen et al, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Samara dkk, 2005 mengenai sikap membungkuk dan memutar selama bekerja sebagai faktor resiko nyeri punggung bawah, didapatkan bahwa prevalensi nyeri punggung bawah pada pekerja pabrik sebesar 36,8% dan faktor resiko utama untuk timbulnya nyeri punggung bawah adalah sikap membungkuk dan memutar serta tidak mengertinya pekerja akan sikap yang benar. Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di Dusun V Desa Dologhuluan, petani di dusun tersebut sering mengeluhkan terjadinya nyeri pada otot-otot mereka setelah melakukan pekerjaan mereka sehari-hari sebagai petani. Rasa nyeri yang dialami petani berkisar dari rasa nyeri ringan sampai dari rasa nyeri sedang. Menurut penuturan beberapa petani, rasa nyeri disebabkan sikap mengenai pola gerak petani dalam bekerja.Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganlisis hubungan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah pada petani di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. METODE Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan desain cross sectional untuk menganalis hubungan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah pada petani. Penelitian ini dilakukan di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun bulan Juli 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun berjumlah 147 orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus sampel yaitu : n= N____ 1+N (d2) n= 147___ = 60 orang 1+147 (0,12) Keterangan : n : jumlah sampel N : jumlah populasi d : nilai kepercayaan (Saryono, 2010) Tehnik pengambilan sampel adalah dengan simple random sampling dengan menggunakan undian. Adapun kriteria sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) petani mempunyai usia ≥ 25 tahun; 2) petani palawija penggarap milik; 3) petani yang bersedia menjadi responden. Variabel penelitian meliputi variabel independen yaitu sikap tentang mekanika tubuh adalah suatu respon responden yang menunjukkan kecenderungan untuk melakukan tindakan mekanika tubuh yang baik dalam mencegah terjadinya nyeri punggung bawah meliputi sikap berdiri, duduk, mengangkat, menarik dan mendorong, diukur dengan skala ordinal. Sedangkan variabel dependen adalah nyeri punggung bawah adalah pernyataan yang diungkapkan responden mengenai perasaan yang tidak enak pada bagian punggung bawah yang diukur dengan skala ordinal. Metode pengumpulan data untuk sikap tentang mekanika tubuh menggunakan kuesioner, sedangkan untuk kejadian nyeri punggung bawah diukur menggunakan numerical rating scale atau skala pengukuran numerik dimana responden diminta untuk memberikan pilihan pernyataan atas perasaaan nyerinya dari angka 1 sampai 10. Tehnik analisa data menggunakan uji chi square bila tidak terdapat terdapat nilai expected count ≤ 5 dan bila terdapat nilai expected count ≤ 5 maka mempergunakan uji statistik eksak fisher (α = 0,05). HASIL Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, dan pendidikan. Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden Variabel Frekuensi Total (%) Umur 25 – 35 19 31,7% 36 – 45 15 25,0% 46 - 55 13 21,7% >55 13 21,7% Jenis Kelamin Laki-Laki 30 50,0% Perempuan 30 50,0 % Pendidikan SD 5 8,3% SMP 15 25,0% SMA 31 51,7% Perguruan TInggi 9 15,0% Tabel 1 menunjukkan distribusi karakteristik responden paling banyak berumur 25-35 tahun sebanyak 19 orang (31,7%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin sama laki-laki dan perempuan yaitu masing-masing sebanyak 30 responden (50%). Responden paling banyak berpendidikan SMA sebanyak 31 orang (51,7%). Sikap Tentang Mekanika Tubuh Hasil penelitian ini menggambarkan frekuensi sikap responden tentang mekanika tubuh, dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Sikap Responden Tentang Mekanika Tubuh No Sikap F % 1 Positif 51 85,0 2 Negatif 9 15,0 Total 60 100,0 13 Tabel 2 menunjukkan responden paling banyak memiliki sikap tentang mekanika tubuh kategorii positif sebanyak 51 orang (85,0%). Kejadian Nyeri Punggung Bawah Hasil penelitian ini menggambarkan frekuensi kejadian nyeri punggung bawah, dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Nyeri Punggung Bawah Responden Nyeri N Punggung f % Bawah o 1 Ringan 44 73,3 2 Sedang 16 26,7 Total 60 100,0 Tabel 3 menunjukkan responden paling banyak memiliki kejadian nyeri punggung bawah ringan sebanyak 44 responden (73,4%). Hubungan Sikap Tentang Mekanika Tubuh Dengan Kejadian Nyeri Punggung Bawah Hasil penelitian ini menggambarkan hubungan sikap tentang mekanika tubuh dengan kejadian nyeri punggung bawah, dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Hubungan SIkap Tentang Mekanika Tubuh Dengan Kejadian Nyeri Punggung Bawah No Sikap Nyeri Punggung Bawah Rgn 1 2 (-) (+) Total 4 40 44 P Sdg % 6,7 66,7 73,4 6 10 16 % 10 0,017 16,6 26,6 Tabel 4 menunjukkan paling banyak responden memiliki nyeri punggung bawah ringan dengan sikap tentang mekanika tubuh positif sebanyak 40 responden (66,7%). Berdasarkan tabel 4 juga didapat berdasarkan hasil analisis chi-square terdapat nilai expected count ≤ 5 maka sebaiknya mempergunakan uji statistik eksak fisher. Berdasarkan hasil uji dengan menggunakan fisher’s exact test nilai ρ = 0,017 lebih kecil dari 0,05, menunjukkan ada hubungan signifikan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden memiliki sikap yang positif tentang mekanika tubuh sebanyak 51 responden (85,0%), Hal ini menunjukkan bahwa sikap petani tentang mekanika tubuh didesa dologhuluan kecamatan raya kabupaten simalungun adalah mayoritas positif atau menyetujui tentang definisi mekanika tubuh yang tepat, mekanika tubuh berdiri yang tepat, mekanika tubuh duduk yang tepat, mekanika tubuh mengangkat yang tepat, 14 mekanika tubuh menarik dan mendorong yang tepat, dampak mekanika tubuh yang tidak baik. Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood dalam Azwar (2011), sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap kerja yang salah merupakan penyebab terjadinya kelelahan dan keluhan nyeri otot yang sering tidak disadari oleh penderitanya. Terutama sikap kerja yang telah menjadi kebiasaan. Kebiasaan seseorang seperti duduk, berdiri, membungkuk dapat menyebabkan terjadinya kelelahan, ketegangan otot, dan akhirnya rasa sakit selain itu tulang tidak jadi lurus, otot-otot, ruas serta ligamen pun akan tertarik lebih keras (Widyastoeti, 2009 dalam Payuk, Kasih L dkk, 2013) Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Samara dkk (2005), mengenai sikap membungkuk dan memutar selama bekerja sebagai faktor resiko nyeri punggung bawah, didapatkan bahwa prevalensi nyeri punggung bawah pada pekerja pabrik sebesar 36,8% dan faktor resiko utama untuk timbulnya nyeri punggung bawah adalah sikap membungkuk dan memutar serta tidak mengertinya pekerja akan sikap yang benar. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden memiliki kejadian nyeri punggung bawah dengan kategori ringan sebannyak 44 responden (73,3 %). Hal ini menunjukkan bahwa kejadian nyeri punggung bawah pada petani didesa dologhuluan kecamatan raya kabupaten simalungun adalah mayoritas kategori nyeri ringan atau nyeri skala 1 sampai 3. Menurut Bull dan Archard (2007), nyeri merupakan perasaan yang sangat subjektif dan tingkat keparahannya sangat dipengaruhi oleh pendapat pribadi dan keadaan saat nyeri tersebut terjadi. Dengan membuat klasifikasi nyeri pada skala 1-10 dapat membantu untuk lebih mudah menggambarkan nyeri. Berdasarkan hasil penelitian Umami, dkk (2014), mengenai hubungan antara karakteristik responden dan sikap kerja duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah (low back pain) pada pekerja batik tulis, dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS) yang ditandai dari awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) yang menandakan nyeri hebat, dengan kategori 0 menunjukkan tidak ada nyeri, 1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang, 7-10 nyeri berat terkontrol, dan 10 nyeri sangat hebat, didapat tidak ada nyeri sebanyak 3 responden, nyeri ringan 7 responden, nyeri sedang 24 responden dan nyeri berat terkontrol 2 responden. Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan tabulasi silang antara kejadian nyeri punggung bawah dengan sikap tentang mekanika tubuh adalah mayoritas berada pada pada kejadian nyeri punggung bawah ringan dengan sikap tentang mekanika tubuh positif sebanyak 40 responden (66,7%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas sikap tentang mekanika tubuh petani didesa dologhuluan kecamatan raya kabupaten simalungun yang positif menyebabkan kejadian nyeri punggung yang ringan. Berdasarkan fisher’s exact test nilai ρ = 0,017 lebih kecil dari 0,05, menunjukkan ada hubungan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah. Sikap tubuh yang baik sangat penting karena akan membantu tubuh bekerja maksimal juga membuat daya tahan dan pergerakan tubuh jadi efektif dan dapat menyumbang kesehatan secara menyeluruh (Tarwaka, 2011). Tidak hanya itu, sikap tentang mekanika tubuh yang baik ternyata juga merupakan pencegahan yang terbaik agar tidak menderita keluhan nyeri punggung bawah Hal ini sesuai dengan penelitian Umami, dkk (2014), mengenai hubungan antara karakteristik responden dan sikap kerja duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah (low back pain) pada pekerja batik tulis, dimana didapat sikap kerja yang ergonomis mayoritas mengalami keluhan nyeri punggung bawah yang ringan, dan sikap kerja yang tidak ergonomis mayoritas mengalami keluhan nyeri punggung bawah yang sedang dibanding dengan ringan dan sangat berat. Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian Samara, dkk (2005), mengenai sikap membungkuk dan memutar selama bekerja sebagai faktor risiko nyeri punggung bawah, menunjukkan bahwa pekerja dengan sikap kerja yang cenderung membungkuk atau miring, maupun sikap batang badan kombinasi yaitu dengan berbagai sikap tegak, membungkuk, miring atau memutar ternyata merupakan faktor resiko utama terjadinya nyeri punggung bawah. Hasil penelitian menunjukkan masih ada 10 responden (16,6%) yang memiliki sikap tentang mekanika tubuh yang positif tetapi memiliki kejadian nyeri punggung bawah dalam kategori sedang atau antara skala 4 sampai 6. Hal ini menunjukkan bahwa sikap yang positif tentang mekanika tubuh tidak menyebabkan penurunan kategori kejadian nyeri punggung bawah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena adanya penyebab lain terjadinya kejadian nyeri punggung bawah. Menurut WHO (2013), ada faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan nyeri punggung bawah antara lain faktor penyebaba fisik antara lain trauma pada bagian punggung, osteoporosis dengan fraktur, atau penggunaan kortikosteroid pada waktu dahulu dalam jangka waktu lama pada lanjut usia, kegemukan dan faktor psikologis. Faktor-faktor ini belum diteliti, dan dapat diteliti dalam penelitian lanjutan. Hasil penelitian menunjukkan masih ada 4 responden (6,7%) yang memiliki sikap tentang mekanika tubuh yang negatif tetapi memiliki kejadian nyeri punggung bawah yang ringan. Hal ini menunjukkan bahwa sikap tentang mekanika tubuh yang negatif tidak menyebabkan peningkatan kejadian nyeri punggung bawah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena adanya penyebab lain terjadi nyeri punggung bawah. Berdasarkan penelitian Umami, dkk (2014), mengenai hubungan antara karakteristik responden dan sikap kerja duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah (low back pain) pada pekerja batik tulis, didapat semakin tua umur seseorang yaitu diatas 30 tahun maka mayoritas terjadi keluhan nyeri punggung bawah sedang, semakin lama bekerja seseorang yaitu lebih dari 10 tahun maka mayoritas terjadi keluhan nyeri punggung bawah sedang, kebiasaan berolahraga yaitu tidak berolahraga maka mayoritas terjadi keluhan nyeri punggung bawah sedang, status gizi yaitu kurus maka mayoritas terjadi keluhan nyeri punggung bawah sedang. Oleh karena adanya hubungan sikap tentang mekanika tubuh dengan kejadian nyeri punggung bawah pada petani didusun V desa dologhuluan kecamatan raya kabupaten simalungun maka perlu peningkatan sikap petani mengenai mekanika tubuh yang baik dalam bekerja. Menurut Azwar (2011), sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu, Dalam interaksi sosial, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap melalui pendidikan dengan memberikan pengertian dalam diri individu mengenai pemahaman akan baik dan buruk secara khusus tentang sikap tentang mekanika tubuh yang baik dan yang buruk. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap tentang mekanika tubuh dengan kategori positif ada 51 orang (85%), dan dengan kategori negatif ada 9 orang (15%), kejadian nyeri punggung bawah dengan kategori nyeri ringan ada 44 orang (73,3%), dan dengan kategori nyeri sedang ada 16 orang (26,7%) dan dengan menggunakan fisher’s exact test nilai ρ = 0,017 lebih kecil dari 0,05, menunjukkan ada hubungan signifikan sikap tentang mekanika tubuh dengan nyeri punggung bawah pada petani di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. SIkap tentang mekanika tubuh merupakan salah satu faktor penting untuk meminimalisir nyeri punggung bawah pada petani, oleh karena itu. SARAN Perlu ada peningkatan pemahaman tentang sikap tentang mekanika tubuh yang baik bagi petani di Dusun V Desa Dologhuluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun melalui Puskesmas setempat. 15 DAFTAR PUSTAKA Azwar, S, 2011. Sikap Manusia. Teori dan Pengukurannya, Edisi 2, Yogyakarta : Pustaka Belajar. Bull, E., Archard, G., 2007. Nyeri Punggung, Jakarta : Erlangga Dellito,A., George,S,Z., Dillen,L,V., Whitman,J,M., Sowa,G., Shekelle,P., et al, 2012. Low Back Pain Clinical Practice Guidelines Linked To The International Classification Of Functioning, Disability, And Health From The Orthopaedic Section Of The American Physical Therapy Association, J.Orthop Sports Phys Ther 2012; 42(4):A11 Effendi,F., 2007. Ergonomi Bagi Pekerja Sektor Informal, Cermin Dunia Kedokteran 2007; 34:1154 Hoy,D., Bain,C., Williams,G., March,L., Brooks,P., Blyth,F., Woolf,A., Vos,T., Buchbinder,R., 2012. A Systematic Review of the Global Prevalence Low Back Pain, Arthritis & Rheumatism,Vol 64,No.6,June 2012, pp 20282037,DOI 10.1002/art.34347, American College of Rheumatology Jepsen,S,D., McGuire,K., Poland,D., 2013. Farming with Chronic Back Pain, Fact Sheet. Agriculture and Natural Resources, Ohio AgrAbility Fact Sheet Series, The Ohio State University Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Cetakan 3, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kozier,B., Erb,G., Berman,A., Snyder,S,J., 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses, & Praktik, Terjemahan, Edisi 7 Volume 2, Alih Bahasa Wahyuningsih,E., Yulianti,D., Yuningsih,Y., Lusyana,A., Jakarta : EGC Mayrika,P., et al., 2009. Beberapa Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Keluhan Nyeri Punggung Bawah Pada Penjual Jamu Gendong, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia vol 4 No.1/Januari 2009. (serial online) Noor, Z,H., 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskletal, Jakarta : Salemba Medika Notoatmodjo, S, 2007. Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni, Jakarta : PT. Rineka Cipta. ____________ , 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta : Rineka Cipta. 16 ____________ , 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta Payuk, Kasih L Dkk, 2013. Hubungan Faktor Ergonomis Dengan Beban Kerja Pada Petani Padi Tradisional Di Desa Congko Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng, Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar. Pinzon,R., 2012. Profil Klinis Pasien Nyeri Punggung Bawah, Cermin Dunia Kedokteran 198, vol 39 no 10 tahun 2012 Potter&Perry, 2009. Fundamental of Nursing. Fundamental Keperawatan, Edisi 2 Buku 7, Terjemahan, Penerjemah :Nggie, A,F., Albar,M., Singapore : Elsevier. Riskesdas, 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Samara,D., Sulistio,J., Rachmawati,M,R., Harrianto,R., 2005. Sikap Membungkuk Dan Memutar Selama Bekerja Sebagai Faktor Risiko Nyeri Punggung Bawah, Jurnal Universa Medicina Juli-September 2005, Vol 24 No.3. Saryono, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jogjakarta : Mitra Cenokia Press Taechasubamorn,P., Nopkesorn,T., Pannarunothai,S., 2011. Prevalence of Low Back Pain among Rice Farmers in a Rural Community in Thailand, J Med Assoc Thai Vol.94 No.5. Umami, A,R., Hartanti, R,I., Dewi P S, A., 2014. Hubungan antara Karakteristik Responden dan Sikap Kerja Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) Pada Pekerja Batik Tulis, e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol 2 (no.1) Januari 2014 WHO, 2003. Low Back Pain, Bulletin of the World Health Organization 2003, 81 : 671-6. HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP PEREMPUAN PREMENOPAUSE MENGHADAPI PERUBAHAN PADA MASA MENOPAUSE DI KELURAHAN BULURAN KENALI KOTA JAMBI TAHUN 2016 Diniyati, Neny Heryani, Nelly Herwani Jurusan Kebidanan Poltekkes Jambi Abstrak Setiap perempuan akan mengalami menopause, pada saat menjelang menopause akan terjadi perubahan dalam tubuh seperti gejala vasomotor yang disebabkan ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron sehingga akan mengganggu psikososial, fisik, dan seksual pada perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap perempuan premenopause dalam menghadapi perubahan pada masa menopause. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan crossectional. Metode pengambilan sampel dengan stratifait random sampling. Dengan jumlah sampel 100 orang. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner . analisa dengan menggunakan chai square. Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengetahuan baik 24%, cukup 74%, kurang 2%. Responden yang memiliki pengetahuan baik dan sikap positif 24%, cukup 71%, kurang 1% sedangkan yang memiliki pengetahuan cukup dan sikap negati 4%. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap (p= 0,5). Diharapkan bagi keluarga selalu mendukung kegiatan positif pada perempuan menjelang menopause agar dapat menjalani masa premenopaue dengan baik dan dapat berperilaku secara wajar dengan menerima bahwa hal tersebut adalah masa yang dapat dilalui dengan tenang dan bahagia. Kata kunci : Pengetahuan, Sikap, Premenopause PENDAHULUAN Sejalan dengan bertambahnya usia, banyak terjadi proses perkembangan dan pertumbuhan pada manusia, namun suatu saat akan terhenti pada suatu tahapan, sehingga berikutnya akan terjadi penurunan fungsi tubuh. Perubahan tersebut paling banyak terjadi pada perempuan karena pada proses menua terjadi suatu fase yaitu fase menopause.1,2 Menopause adalah proses alami dari penuaan ketika perempuan tidak lagi mendapatkan menstruasi selama satu tahun. Perempuan Indonesia memasuki menopause pada usia rata-rata 50 tahun. Sebagian ada yang mengalami pada usia awal atau lebih lanjut, faktor fisik dan faktor psikis yang memengaruhi kapan terjadi menopause.2 Perempuan yang mengalami masa menopause, baik menopause dini, premenopause, perimenopause dan pascamenopause akan mengalami gejala klimakterium serta mempunyai masa transisi atau masa peralihan. Periode klimakterium ini ditandai dengan rasa panas, haid tidak teratur, jantung berdebar dan nyeri saat buang air kecil, hal ini disebabkan keluarnya hormon dari ovarium berkurang, masa menstruasi menjadi tidak teratur dan kemudian tidak menstruasi lagi. Perubahan fisik pada tahap perimenopause terjadi pula pergeseran atau erosi dalam kehidupan psikis pribadi, hal tersebut tentunya akan semakin memperbesar terjadinya sindrom perimenopause.1 Gangguan vasomotor berupa perasaan panas dari dada hingga wajah dan menjadi berkeringat menyebabkan kulit menjadi kemerahan terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum dan sesudah berhentinya menstruasi. Perasaan panas terjadi akibat peningkatan aliran darah di dalam pembuluh darah wajah, leher, dada, punggung, dan disertai keringat yang berlebihan. Hot flush dialami sekitar 75% perempuan premenopause sampai menopause terjadi. Hot flush kebanyakan dialami selama lebih dari satu tahun dan 25−50% hot flush berlangsung selama 30 detik sampai 5 menit.5-7 Kekurangan estrogen dapat menyebabkan gangguan pada beberapa organ yaitu otak, saluran kencing, payudara, dan tulang. Penurunan hormon estrogen secara fisiologis dimulai pada masa klimakterium. Penurunan ini menyebabkan keluhan yang mengganggu, diawali umumnya dengan gangguan menstruasi yang tadinya teratur dan siklis, menjadi tidak teratur, tidak siklik, serta jumlah darah dapat berkurang atau bertambah. Perempuan nulipara akan memasuki masa perimenopause lebih awal dibandingkan dengan perempuan multipara.1,11 Penelitian telah membuktikan bahwa perempuan yang keinginan seksualnya berkurang selama menopause lebih banyak melaporkan gangguan tidur, keringat malam, dan depresi, sehingga masalah ini mengganggu kehidupan perempuan. Keluhan vasomotor pada masa menopause telah dilaporkan terjadi sekitar 18% dari pekerja pabrik Cina di Hongkong, 70% perempuan Amerika Utara, dan 80% perempuan di Belanda. Langenberg dkk3 menemukan variasi etnis yang signifikan dalam insiden gejala 17 vasomotor setelah histerektomi. Perempuan kulit hitam secara signifikan lebih cenderung memiliki gejolak panas dibandingkan dengan perempuan kulit putih. Pada perempuan Eropa dijumpai keluhan menopause lebih tinggi yaitu sekitar 45−75% dan penelitian lain menunjukkan angka keluhan menopause sekitar 53% dan 51%.12 Keluhan psikis sifatnya sangat individual yang dipengaruhi oleh sosial budaya, pendidikan, lingkungan, dan ekonomi. Keluhan fisik maupun psikis ini tentu saja akan mengganggu kesehatan perempuan yang bersangkutan termasuk perkembangan psikisnya. Keadaan ini akan memengaruhi hubungannya dengan suami maupun lingkungan sosialnya, selain itu usia dikaitkan dengan timbulnya penyakit kanker atau penyakit lain yang sering timbul pada saat perempuan tersebut memasuki usia premenopause atau pascamenopause.1 Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa tekanan psikis yang timbul dari nilai sosial mengenai perempuan menopause memberikan kontribusi terhadap gejala fisik selama periode perimenopause dan pascamenopause. Gejala fisik yang dirasakan dapat memicu masalah psikis. Perasaan yang biasa muncul pada fase ini antara lain rapuh, sedih, tertekan, depresi, tidak konsentrasi bekerja, serta mudah tersinggung. Pada suku Bugis fase menopause dinilai sebagai hal positif karena perempuan menopause merasa tubuhnya lebih bersih dan dapat menjalankan ibadah dengan penuh.1,13,14 Survei pendahuluan yang dilaksanakan di kelurahan buluran Kenali Kota Jambi di dapatkan 6 dari 10 perempuan premenopause yang tidak memahami tentang perubahan masa menopause. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan perempuan premenopause terhadap perubahan pada masa menopasue cukup. Berdasarkan uraian di atas, maka tema sentral penelitian ini bahwa menopause adalah fase alami dalam kehidupan setiap perempuan yang menandai berakhirnya masa subur. Banyak perempuan di Indonesia yang memasuki usia menopause kurang baik dan belum banyak terungkap keluhan pada masa perimenopause dan pascamenopause. Menopause merupakan suatu hal yang alami terjadi karena penurunan sekresi hormon ovarium sehingga terjadi perubahan sistem hormonal yang memengaruhi vasomotor, psikososial, fisik, dan seksual. Faktor biopsikososial perempuan yang mengalami menopause sangat dipengaruhi oleh budaya, agama, organ reproduksi, persepsi, dan Pendahuluan masalah psikososial yang dialami sebelumnya. Keluhan perempuan pada masa perimenopause dan pascamenopause seperti pada urogenital berkaitan dengan keluhan seksual dan kekeringan vagina. Kadar hormon estrogen yang rendah menyebabkan perlindungan terhadap penyakitpun menurun dan hal ini akan menimbulkan berbagai keluhan fisik, baik yang berhubungan dengan organ reproduksi maupun organ tubuh lainnya, proses pada tulang juga terganggu dan mempermudah terjadinya osteoporosis serta risiko untuk terkena penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat. 18 Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengungkap hubungan pengetahuan dan sikap perempuan dalam menghadapi menopause di kelurahan buluran kenali kota jambi tahun 2016. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan rmasalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap ibu premenopause dalam menghadapi perubahan pada masa menopause di kelurahan buluran kenali kota jambi tahun 2016. TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik tahun 2006 jumlah penduduk di Indonesia sekitar 225 juta dan 52%nya adalah perempuan. Pada tahun 2001 usia 50−55 tahun diperkirakan mencapai 30,3 juta atau kira-kira 15% dari jumlah penduduk. Pada usia tersebut sebenarnya perempuan masih produktif dalam mendukung perekonomian keluarga, namun banyak perempuan yang menghadapi permasalahan alami yaitu menurunnya aktivitas hormon estrogen dan progesteron yang berakibat berhentinya haid.6,11 Berhentinya haid tersebut dalam istilah kedokteran dinamakan menopause. Sebenarnya menopause diawali sejak perempuan mulai berusia 40−45 tahun yang disebut pramenopause yang ditandai dengan tidak teraturnya haid, sakit pada saat haid, dan kondisi ini terjadi selama 6 tahun. Fase berikutnya adalah perimenopause yaitu fase peralihan antara pra dan pascamenopause.15-18 Secara harfiah kata menopause yang berasal dari bahasa Yunani berarti akhir siklus bulanan, istilah ini bersinonim dengan akhir kesuburan. Secara istilah menopause berarti penghentian fisiologi permanen fungsi utama ovarium karena usia lanjut. Kedua fungsi ovarium yang berhenti tersebut untuk mematangkan dan melepas sel telur, serta melepaskan hormon yang mendukung pembentukan serta peluruhan dinding rahim. Menopause terjadi apabila ovarium berhenti berfungsi secara permanen selama satu tahun.27,28,29 Beberapa negara menyatakan batas usia lanjut berbeda-beda, di Amerika Serikat usia lanjut Apabila estrogen berkurang, aliran darah ke saluran reproduksi dan saluran kemih ikut menurun. Gejala menopause dialami sekitar 75%, di Eropa 70−80%, di Amerika 60%, di Malaysia 57%, di Cina 18%, sedangkan di Jepang dan di Indonesia 10%. Dari beberapa data salah satu faktor dari perbedaan jumlah tersebut yaitu karena pola makannya.20,28 Penelitian tentang ovarium manusia, percepatan kehilangan mulai terjadi ketika jumlah folikel mencapai kira-kira 25.000, suatu jumlah yang dicapai pada perempuan normal usia 37−38 tahun. Kehilangan ini berkaitan dengan peningkatan FSH yang tidak terlihat tetapi nyata dan penurunan inhibin. Percepatan kehilangan disebabkan oleh pengaruh sekunder terhadap rangsangan peningkatan FSH, merefleksikan penurunan kualitas dan kapabilitas folikel-folikel yang menua, dan penurunan sekresi inhibin yaitu produk sel granulosa yang menghasilkan pengaruh umpan balik negatif pada sekresi FSH oleh kelenjar hipofise. Kemungkinan bahwa kedua inhibin-A dan inhibin-B berperan, karena kadar inhibin-A dan inhibin-B pada fase luteal menurun dengan usia semakin tua dan mendahului peningkatan FSH.2,8,9 Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan tindakan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui indera manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007 A :139). 2. Proses Adopsi Perilaku Pengetahuan 3. Tingkatan Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007 A:140–142) pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: a. Tahu (know) b. Memahami (comprehension) c. Aplikasi (aplication) d. Analisis (analysis) e. Sintesis (synthesis) f. Evaluasi (evaluation) 4. Indikator tentang Kesadaran dan Pengetahuan Terhadap Kesehatan Menurut Notoatmodjo (2007 B:146– 147) Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi : a. Pengetahuan tentang sakit dan b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan 5. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pengetahuan Menurut Teori Rogers (1974) dalam Wawan dan Dewi (2010: 16) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah sebagai berikut: a. Faktor Internal 1) Pendidikan 2) Pekerjaan 3) Umur b. Faktor Eksternal 1) Lingkungan 2) Sosial Budaya Sikap 1. Menurut Campbel (1950) dalam buku Notoadmojdo (2003) mengemukakan bahwa sikap adalah sekumpulan respon yang konsisten terhadap objek sosial 2. Tingkatan sikap a. Menerima (receiving) b. Merespon (responding) c. Menghargai( valuing) d. Bertanggung jawab (responsible) 3. a. b. c. d. e. Faktor yang memengaruhi sikap Pengalaman pribadi Pengaruh orang lain yang dianggap penting Pengaruh kebudayaan Media massa Lembaga pendidikan dan lembaga agama METODE A. B. C. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik. Desain penelitian ini adalah crosssectional yaitu pengukuran variabel independen dan dependen dilakukan dalam waktu yang sama. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kelurahan buluran kenali Kota Jambi pada bulan Juni ̶ September 2016. Populasi dan sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan objke penelitian atau objek yang diteliti (Arikunto, 2010) pada penelitian ini populasi yang dimaksud adalah seluruh perempuan premenopause di kelurahan buluran kenali kota jambi 2. Sampel Sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi a. Besar sampel Sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara random sampling dan Rumus besar sampel didapat adalah dengan rumus Slovin: Keterangan : N=Jumlah populasi n= Jumlah sampel d= Tingkat Kesalahan (0,1) Didapatkan sampel sejumlah 95 orang, dibulatkan menjadi 100 b. Kriteria inklusi 1. Perempuan premenopause usia 40−50 tahun 2. Bersedia menjadi responden 3. Bisa baca tulis Hasil Penelitian ini dilaksanakan bulan September di Kelurahan Buluran Kenali. Jumlah responden sebanyak 100 orang. 19 1. Distribusi responden berdasarkan tingkat usia di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016 Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan tingkat usia di kelurahan Buluran Kenali Tahun 2016 No Usia Jumlah % 1 40 − 45 59 59 2 45−50 41 41 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa usia responden rata-rata 40−45 tahun yaitu 59%. 2. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016 Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan di kelurahan Buluran Kenali Tahun 2016 No Pendidikan Jumlah % 1 Tidak sekolah 3 3 2 SD 27 27 3 SMP 25 25 4 SMU 30 30 5 PT 14 14 Dari tabel 5.2 diketahui bahwa tingkat pendidikan terakhir responden yang paling banyak terdapat di kelurahan buluran kenali tahun 2016 adalah SMU sebesar 30%. 3. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016 Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan di kelurahan Buluran Kenali Tahun 2016 No Pendapatan (rupiah) Jumlah % 1 1-2 juta 75 75 2 2-3 juta 23 23 Dari tabel 5.3 diketahui bahwa tingkat pendapatan responden yang paling banyak terdapat di kelurahan buluran kenali tahun 2016 adalah 1-2 juta sebesar 75%. 4. Distribusi responden berdasarkan status perkawinan di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016 Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan status perkawinan di kelurahan Buluran Kenali Tahun 2016 No Status perkawinan Jumlah % 1 Menikah 99 99 2 Janda 1 1 Dari tabel 5.4 diketahui bahwa status perkawinan responden yang paling banyak terdapat di kelurahan buluran kenali tahun 2016 adalah menikah sebesar 99 %. 20 5. Distribusi responden berdasarkan status pekerjaan di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016 Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan di kelurahan Buluran Kenali Tahun 2016 No Pekerjaan Jumlah % 1 Tidak bekerja 85 85 2 Wiraswasta 0 0 3 PNS 14 14 4 Lain-lain 1 1 Dari tabel 5.5 diketahui bahwa pekerjaan responden yang paling banyak terdapat di kelurahan buluran kenali tahun 2016 adalah lain-lain sebesar 85 %. 6. Distribusi responden berdasarkan sikap di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016 Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan sikap di kelurahan Buluran Kenali Tahun 2016 No Sikap Jumlah % 1 Negatif 4 4 2 Positif 97 97 Dari tabel 5.6 diketahui bahwa responden yang paling banyak terdapat di Kelurahan Buluran Kenali tahun 2016 adalah sikap positif sebesar 97%. 7. Distribusi responden berdasarkan pengetahuan di kelurahan Buluran Kenali tahun 2016 Tabel 5.7 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan di kelurahan Buluran Kenali Tahun 2016 No Pengetahuan Jumlah % 1 Baik 24 24 2 Cukup 74 74 3 Kurang 2 2 Dari tabel 5.7 diketahui bahwa responden yang paling banyak terdapat di Kelurahan Buluran Kenali tahun 2016 adalah pengetahuan cukup sebesar 74%. 8. Hubungan pengetahuan dan sikap perempuan premenopause dalam menghadapi perubahan pada masa menopause di Kelurahan Buluran Kenali Kota Jambi tahun 2016. Tabel 5.8 Hubungan pengetahuan dan sikap perempuan premenopause dalam menghadapi perubahan pada masa menopause di kelurahan Buluran Kenali Tahun 2016 Pengetahuan f Positif % Sikap Menghadapi Menopause negatif Jumlah f % f % Baik 24 24 0 0 24 100 Cukup 71 71 4 4 75 100 urang 1 1 0 0 1 100 Jumlah 96 96 4 4 100 P value 0.5 Dari tabel di atas didapatkan bahwa dari 100 responden yang berpengetahuan baik terdapat 24 orang yang bersikap positif sedangkan yang berpengetahuan cukup 71 orang yang bersikap positif dan 4 orang yang bersikap negatif. Dari analisis hasil statistik uji chi-square diperoleh nilai p value 0,5 ≥ 0,005 sehingga tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan sikap perempuan premenopause menghadapi perubahan pada masa menopause. Kesimpulan 1. Responden yang memiliki pengetahuan baik 24%, cukup 74%, kurang 2%. 2. Responden yang memiliki pengetahuan baik dan sikap positif 24%, cukup 71%, kurang 1% sedangkan yang memiliki pengetahuan cukup dan sikap negatif 4 % 3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan sikap perempuan premenopause menghadapi perubahan pada masa menopause. Saran 1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan penelitian lebih lanjut sehingga hasilnya dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kebidanan terutama untuk memberikan asuhan dalam penatalaksaan pada perempuan menjelang menopause. 2. Bagi keluarga agar selalu mendukung kegiatan yang positif pada perempuan menjelang menopause agar dapat menjalani masa premenopause dengan baik dan dapat berperilaku secara wajar dengan menerima bahwa hal tersebut adalah masa yang dapat dilalui dengan tenang dan bahagia serta menerima bahwa menopause adalah hal yang alami. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. Anwar M, Baziad A, Prabowo P, 2011. Ilmu kandungan. Edisi ke-3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Baziad A, 2003. Menopause dan andropause. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Beliveau R, Gingras D, 2009. 11 Makanan ampuh pencegah kanker hidup sehat melalui pola makan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Benson C,Ralph, Pernol L, Martin, 2008. Buku saku obstetri dan ginekologi. Edisi ke-9. Jakarta: EGC. Brashers VL. Kuncara HY (alih bahasa), 2008. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan dan manajemen. Cetakan ke-1. Jakarta: Buku kedokteran EGC. Ceballos PAO et al, 2006. Reproductive and lifestyle factors associated with early menopause in mexican women. Salud Publica Mex,2006;48:300. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Corwin EJ. Subekti NB (alih bahasa), 2009. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: Buku kedokteran EGC. Dinas kesehatan provinsi Jambi, 2010. Profil kesehatan provinsi Jambi. Geri M, Carole H, Obstetri & Ginekologi, 2009. Panduan praktik. Edisi ke-2. Jakarta: EGC. Gress Maretta, 2010. Jangka reproduksi wanita di Lampung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hajikazemi E, Javadikia M, Seyedfatemi N, Nikpour S, Hossini F, 2010. Relation between menopause age, body mass index, and reproductive history European Journal of Scientific Research, 46:410−415. Jusup L, 2011. Kiat menghadapi masalah kesehatan lansia (usia lanjut) + 35 resep pilihan hidangan sehat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kumalaningsih S, 2008. Sehat + bahagia menjelang dan saat menopause. Surabaya: Tiara Aksa. Li L at,al, 2013. Factors associated with the age of natural menopause and menopausal symptoms in Chinese women. [serialonline][diunduh 2 maret 2013]. http://www.ncbi.nlm. nih.gov/ pubmed/17019377. Manuaba IAC, Manuaba IBG, Manuaba IBG, 2009. Memahami kesehatan reproduksi wanita. Edisi ke-2. Jakarta: Buku kedokteran EGC. Mary T, Isaac C, Debu T, 2007. The new menopause book: ihwal yang perlu anda ketahui tentang menopause. Jakarta: PT. Indeks. Noor Verawati S, Rahayu L, 2011. Menjaga dan merawat kesehatan seksual wanita. Bandung: Grafindo. hlm 219−267. Pangkahila Wimpie, 2011. Anti-aging tetap muda dan sehat. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Sinclair C, 2010. Buku saku kebidanan (Amidwife’s handbook). Jakarta: Buku Kedokteran EGC; hlm 704−734. Srikandi W, Budhi MP, 2010. 100 Questions & answers: Menopause atau mati haid. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Sulistyawati E, Proverawati A, 2010. Menopause dan sindrom premenopause. Jogjakarta: Nuha Medika. Susan K, Fiona T, 2010. Panduan lengkap kebidanan.Yogyakarta: Palmaal. hlm 361−382. Sutanto B Luciana, Sutanto B Doddy, 2007. Wanita dan gizi menopause. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Varney H, Jan MK, Carolyn LG, 2006. Buku ajar asuhan kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC. 21 25. Yanti, 2010. Buku ajar kesehatan reproduksi (bagi mahasiswa DIII kebidanan). Yogyakarta: Pustaka Rihama. 26. Yeyeh AR, Yulianti L, Maemunah, Susilawati L, 2009. Asuhan kebidanan 2 (Persalinan). Jakarta: CV. Trans Info Media. hlm 176−180. 27. Zan Pieter H, Namora LL, 2010. Pengantar psikologi untuk kebidanan. Edisi ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 22 HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP IBU HAMIL TERHADAP SENAM HAMIL DI DESA SEI LITUR TASIK KECAMATAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT Elizawarda Jurusan Kebidanan Medan Poltekkes Medan Abstrak Angka kematian maternal masih cukup tinggi. Menurut WHO (Word Health Organization), 1400 perempuan meninggal setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan.Senam hamil sangat memiliki andil yang besar dalam proses kehamilan dan persalinan. Salah satu manfaatnya adalah ibu hamil yang melakukan senam hamil sekitar 3-5 jam setiap minggunya mempunyai peluang yang lebih kecil untuk melahirkan dini ( premature ) dari pada yang tidak melakukan senam hamil.Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan sikap ibu hamil terhadap senam hamil di desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat. Desain penelitian bersifat analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan mencari hubungan antara pengetahuan dengan sikap ibu hamil terhadap senam hamil.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang ada di Desa Sei Litur tasik Kecamatan Sawit Seberang kabupaten langkat sebanyak 36 orang dengan menggunakan kuesioner. Analisis datanya diolah secara SPSS dengan menggunakan uji chi-square dengan tarap signifikansi (α) 0,05. Setelah dilakukan perhitungan didapat nilai X2 = 9,00 dan nilai X2 tabel adalah 3,841. diperoleh nilai X2 hitung sebesar 9,0 dan nilai X2 tabel sebesar 3,841 (df=1), karena ada 2 cell atau 50% yang nilainya < 5 maka yang digunakan adalah “Fisher’s Exact Test” dan ternyata hasil yang diperoleh adalah < 0,05 atau 0,06 hasil tersebut menunjukkan yang berarti bahwa Hipotesa alternat Hal ini berarti bahwa Ho di tolak berarti hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap ibu hamil terhadap senam hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat. Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk tetap memberikan motivasi dan informasi kepada ibu hamil tentang pentingnya senam hamil, Bagi prangkat desa tempat penelitian di harapkan membuat kebijakan untuk mendorong ibu hamil melakukan senam hamil. Demikian juga untuk ibu hamil diharapkan menambah pengetahuan tentang senam hamil sehingga sikapnya semakin positif terhadap senam hamil. Kata kunci : Pengetahuan. sikap ibu hamil. senam hamil PENDAHULUAN Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu Negara, AKI di Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain di ASEAN (Association of South East Asia Nations ) yaitu sebesar 373 per 100.000 kelahiran hidup (SKRT, 2002). Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (2001) menunjukkan bahwa terdapat penurunan AKI dari 390 menjadi 334 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut Depkes 2000, AKI di Indonesia sekitar 3-6 kali lebih besar dari negara-negara lain di ASEAN dan 50 kali lebih besar dari angka di negara lebih maju. Diharapkan pada tahun 2010, menurun menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup (Prawiharjo, 2002). Departemen Kesehatan sendiri menargetkan angka kematian ibu pada 2010 sekitar 226 orang dan pada tahun 2015 menjadi 102 orang per tahun. Untuk mewujudkan hal ini, Depkes sedang menggalakkan program Making Pregnancy Saver (MPS) dengan program antara lain Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) (Depkes, 2010). Menurut WHO (Word health organization) di seluruh dunia setiap menit seorang perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan. Dengan kata lain, 1400 perempuan meninggal setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan (Riswandi, 2005). AKI di Indonesia masih tertinggi di Negara ASEAN . Berdasarkan data resmi Dapartemen Kesehatan AKI terus mengalami penurunan . Pada tahun 2003 di Indonesia yaitu 307 per 100.000 KH , tahun 2006 yaitu 255 per 100.000 KH, tahun 2007 yaitu 248 per 100.000 KH . Target Millennium Development Goals (MDGS) AKI di Indonesia tahun 2015 harus mencapai 125 per 100.000 KH (Barata, 2008 ). AKI dan AKB mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2004 sampai tahun 2007.Di 23 tahun 2007,angka kematian bayi mencapai 26,9 persen per 1000 kelahiran hidup, dan AKI berkisar 248 per 100.000 ribu kelahiran hidup.Padahal di tahun 2004 AKB sekitar 30,8 persen per 1000 kelahiran hidup dan AKI sekitar 270 persen dari per 100.000 ribu kelahiran (Menkes, 2009). Angka kematian maternal dan perinatal di Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab kematian maternal dan perinatal di Indonesia dan negara – negara berkembang lainya adalah akibat partus lama. Menurut SDKI tahun 2003 penyebab kematian ibu, yaitu karena komplikasi persalinan (45 %), retensio plasenta (21%), robekan jalan lahir (19 %), partus lama (11 %), perdarahan dan pre eklamsi masing-masing (10 %), komplikasi selama nifas (5 %) dan demam infeksi (4 %) (Dinkes Sumut, 2008). Dalam proses persalinan ada 3 faktor yang menyebabkan persalinan memanjang atau lama yaitu : tenaga, jalan lahir dan janin. Salah satu cara mengendalikan masalah tersebut seperti masalah tenaga yaitu dengan senam hamil. Senam hamil merupakan bentuk olahraga yang berguna untuk membantu wanita hamil untuk memperoleh tenaga yang baik sehingga memperlancar proses persalinan (Huliana, 2001). Selain tujuan persiapan fisik, senam hamil memiliki tujuan untuk mempersiapkan mental ibu hamil, yaitu untuk tercapainya ketenangan rohani dan terbentuknya percaya diri dalam menghadapi persalinan (Huliana, 2001). Menurut Depkes RI, 2003, senam hamil dapat mengoptimalkan keseimbangan fisik, sikap serta gerak selama kehamilan, mengurangi keluhan - keluhan fisik seperti sakit pinggang dan kejang otot dan menurut penelitian yang lain menyatakan bahwa wanita yang melakukan senam hamil secara teratur selama kehamilanya, melaporkan tingkat kelemahan yang` rendah selama kehamilan dan persalinan, sedikit mengalami ketidaknyamanan dan lebih cepat sembuh dari pada ibu yang tidak melakukan senam hamil (Ammilliya, 8 Http://infoolo.blogspot.com diperoleh 14 oktober 2011). Selain itu, menurut Supriatmaja (2005), Senam hamil juga memberikan efek positif terhadap pembukaan serviks dan aktifitas uterus yang terkoordinasi saat persalinan, hal ini menyebabkan proses persalinan yang lebih cepat dan dan singkat dibandingkan dengan yang tidak melakukan senam hamil. Penemuan ini juga didukung oleh penelitian Artal dkk (1999) menyatakan bahwa lama persalinan lebih singkat pada wanita yang melakukan senam hamil dibandingkan yang tidak melakukan senam hamil, dengan perbandingan 233 menit vs 302 menit. Manfaat lainya menurut penelitian Hatch (2001), diungkapkan bahwa ibu hamil yang melakukan senam hamil sekitar 3-5 jam setiap minggunya mempunyai peluang yang lebih kecil untuk melahirkan dini (prematur) dari pada yang tidak melakukan senam hamil (Kurnia, 2009). Semua sasaran ini akan mengarah kepersiapan untuk menjadi orang tua yang berhasil, maka diperlukan upaya - upaya untuk meningkatkan hal tersebut terutama bagi ibu - ibu hamil dalam hal peningkatan pengetahuan ibu hamil tentang senam hamil. 24 Di negara maju Metode senam hamil telah lama diterapkan, begitu juga di negara berkembang seperti Indonesia. Namun, penerapanya belum merata diseluruh daerah hanya diterapkan dibeberapa Rumah Sakit terkemuka, seperti Medan misalnya, metode Senam hamil hanya diterapkan dibeberapa klinik terkemuka saja seperti, RS. Colombia Asia, RS. Stella Maris, RS. Santa Elisabeth dan beberapa klinik lainya, di Rumah Sakit pemerintah sekalipun seperti RS.Pirngadi, senam hamil tampaknya belum diterapkan, hal ini mungkin dikarenakan belum tersedianya tempat atau lokasi untuk melakukan senam hamil dan juga dikarenakan ketidaktahuan ibu hamil tetang senam hamil tersebut. Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di desa sei litur tasik Kecamatan Sawitseberang Kabupaten Langkat dari 10 orang ibu hamil yang penulis wawancara dengan pertanyaan seputar senam hamil ada 8 orang yang tidak mengetahui tentang apa itu senam hamil, dan apa manfaatnya. Selain itu peneliti juga mendapatkan informasi secara lisan dari delapan orang ibu hamil yang tidak mengetahui senam hamil tersebut mengatakan bahwa alasan mereka tidak mengikuti senam hamil karena kurang mengerti tentang senam hamil dan tidak ada waktu untuk mengikuti kelas senam hamil tersebut. Berdasarkan Pendahuluan diatas , penulis tertarik untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “ Hubungan Pengetahuanan dengan sikap Ibu Hamil terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat”. TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum Untuk mengetahui Hubungan Antara pengetahuan dengan sikap ibu hamil terhadap Senam hamil di Desa Sei Litur Tasik Kec.Sawitseberang Kab. Langkat. Tujuan Khusus a.Untuk mengetahui pengetahuan resonden terhadap senam hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat b.Untuk mengetahui sikap responden terhadap senam hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat c. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap responden terhadap senam hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat Manfaat Penelitian Bagi tempat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menambah informasi sebagai masukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di Desa Sei Litur Tasik Kec.Sawitseberang Kab. Langkat. Bagi institusi pendidikan Sebagai bahan referensi tambahan di perpustakaan Akademi Kebidanan Bakti Inang Persada Medan tentang Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil terhadap senam hamil. Bagi Ibu hamil Sebagai bahan masukan agar menambah pengetahuan dan wawasan ibu hamil tentang senam hamil. Bagi peneliti selanjutnya Untuk menambah pengetahuan serta bermanfaat sebagai sumber informasi dalam merancang dan menyelesaikan penelitian. TINJAUAN TEORITIS Pengetahuan Menurut Maulana (2009, hlm 194) pada dasarnya pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan juga merupakan pedoman dalam membentuk tindakan seseorang. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan, yaitu merupakan hasil dari tahu.yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu (Maulana 2009, hlm 192). Tingkat Pengetahuan Menurut Maulana (2009, hlm 195), tingkat pengetahuan di dalam domain kofnitif di kualifikasikan menjadi 6 tingkatan, yakni : a. Tahu ( Know ) Tahu, yaitu suatu materi yang dipelajari sebelumnya termasuk di dalamnya mengingat kembali terhadap suatu spesifik dari seluruh rangsangan yang diterima. b. Memahami ( Comperhention ) Memahami, yaitu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan tempat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi ( Application ) Aplikasi, yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan materi. d. Analisis ( Analysis ) Analisa, yaitu suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis ( syntetis ) Sintesis, yaitu suatu kemampuan meletakkan atau menghubungkan bagian - bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi dari formulasi yang sudah ada. f. Evaluasi ( Evaluation ) Evaluasi, yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian suatumateri atau obek pengukuran pengetahuan. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003, hlm 15), faktor faktor yang mempengaruhi pengetahuan diantaranya sebagai berikut: a. Umur Umur adalah lama seorang hidup dihitung dari tahun lahirnya sampai dengan ulang tahunnya yang terakhir. Umur merupakan konsep yang masih abstrak bahkan cenderung menimbulkan valiasi dalam pengukurannya. Seseorang menghitung umur dengan tepat tahun kelahirannya, sementara yang lain menghitungnya dalam ukuran tahun saja . b. Pendidikan Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia mulai upaya pengajaran dan pelatihan, maka jelas jika dikerucutkan sebuah visi pendidikan yaitu mencerdaskan manusia (Meliono, 2007). Tingkat pendidikan menentukan pola pikir dan wawasan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka diharapkan stok modal semakin meningkat. Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam kualitas. Lewat pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003, hlm 95). c. Sumber informasi Informasi adalah data yang telah diproses kedalam suatu bentuk yang mempunyai arti bagi si penerima dan mempunyai nilai nyata dan terasa bagi keputusan saat ini atau keputusan mendatang, informasi yang datang dari pengirim pesan yang ditujukan kepada penerima pesan. Selain itu sumber informasi dapat diperoleh dari media cetak, media elektronik, non - media seperti keluarga, teman, tenaga kesehatan (Notoatmodjo, 2005 hlm 65). Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan. Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan pola - pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut (Azwar, 2008 hlm 5). Pengertian Sikap Sikap adalah suatu pola prilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi social, atau secara sederhana, yang merupakan respon terhadap stimulasi sosial yang telah terkoordinasi. Sikap dapat juga didefenisikan sebagai asfek atau penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek (Azwar, 2008 hlm 5). Komponen Pokok Sikap Menurut Maulana (2009, hlm 198), Komponen pokok sikap meliputi hal - hal berikut : a . Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan bertindak. Tingkatan Sikap Menurut Maulana (2009, hlm 200), tingkatan sikap meliputi : a. Menerima diartikan mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan objek. b. Merespon, yaitu memberikan jawaban jika ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan merupakan indikasi sikap. 25 c. Menghargai, yaitu pada tingkat ini individu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. d. Bertanggung jawab, yaitu merupakan sikap yang paling tinggi, dengan segala resiko bertanggung jawab terhadap sesuatu yang telah dipilih. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Menurut Maulana (2009, hlm 202), faktor - faktor yang mempengaruhi sikap yaitu: a. Faktor Internal, yaitu faktor yang terdapat dalam diri pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini berupa daya pilih seseorang untuk menerima atau menolak pengaruh – pengaruh yang datang dari luar. b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang terdapat dari luar diri manusia itu sendiri.Faktor ini berupa interaksi sosial di luar kelompok. Misalnya interaksi antara manusia dalam bentuk kebudayaan yang sampai kepada individu melalui surat kabar, majalah dan sebagainya. Kehamilan Beberapa Defenisi Kehamilan Kehamilan manusia terjadi selama 40 minggu antara waktu menstruasi terakhir dan kelahiran (38 minggu dari pembuahan). Istilah medis untuk wanita hamil adalah gravida, sedangkan manusia di dalamnya disebut embrio (minggu-minggu awal) dan kemudian janin (sampai kelahiran). Seorang wanita yang hamil untuk pertama kalinya disebut primigravida atau gravida 1. Seorang wanita yang belum pernah hamil dikenal sebagai gravida 0 (Williams, 2000). Dalam banyak masyarakat definisi medis dan legal kehamilan manusia dibagi menjadi tiga periode triwulan, sebagai cara memudahkan tahap berbeda dari perkembangan janin. Triwulan pertama membawa risiko tertinggi keguguran (kematian alami embrio atau janin), sedangkan pada masa triwulan ke-2 perkembangan janin dapat dimonitor dan didiagnosa. Triwulan ke-3 menandakan awal 'viabilitas', yang berarti janin dapat tetap hidup bila terjadi kelahiran awal alami atau kelahiran dipaksakan (Williams, 2000). Kehamilan merupakan suatu proses yang alamia dan fisiologis. Setiap wanita yang memiliki organ reproduksi sehat, yang telah mengalami menstruasi, dan melakukan hubungan seksual dengan pria yang organ reproduksinya sehat maka sangat besar kemungkinannya akan mengalami kehamilan (Mandriwati, 2008). Kehamilan merupakan saat yang menakjubkan dalam kehidupan seorang wanita. Hal itu juga merupakan saat yang menegangkan ketika sebuah kehidupan baru yang misterius tumbuh dan berkembang di dalam rahim. Sekali kehamilan terjadi, berbagai macam efek terjadi dalam tubuh wanita, baik efek karena perubahan hormon, bentuk tubuh, maupun kondisi emosional wanita yang mengalami kehamilan (Asrinah, 2010). 26 Ibu Hamil Ibu hamil adalah ibu yang mengalami proses ovulasi sampai partus adalah kira-kira 280 hari (40 minggu), dan tidak boleh dari 300 hari (43 minggu). Kehamilan 40 minggu ini kehamilan matur (cukup bulan) (Priwiraharjo, 2000). Ibu hamil adalah seseorang wanita yang mengalami perubahan terutama pada alat kandungan dan juga organ lainnya (Mochtar, 2000). Senam Hamil Pengertian Senam Hamil Senam hamil adalah latihan fisik berupa beberapa gerakan tertentu yang dilakukan khusus untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil (Mandriwati, 2008 hlm 171). Senam hamil adalah terapi latihan gerak yang diberikan kepada ibu hamil untuk mempersiapkan dirinya, baik persiapan fisik maupun mental untuk menghadapi dan mempersiapkan persalinan yang cepat, aman dan spontan (Huliana, 2001 hlm 90). Senam hamil merupakan suatu program latihan bagi ibu hamil sehat untuk mempersiapkan kondisi fisik ibu dengan menjaga kondisi otot – otot persendian yang berperan dalam proses persalinan, serta mempersiapkan kondisi psikis ibu terutama menumbuhkan kepercayaan diri dalam menghadapi persalinan. Senam hamil memberikan manfaat terhadap otot yang dilatih, dan juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dengan meningkatkan konsumsi oksigen (nelly, 2002). Senam hamil adalah sebuah program berupa latihan fisik yang sangat penting bagi calon ibu untuk mempersiapkan saat persalinannya (Indiarti, 2008 hlm 28). Tujuan Senam Hamil Menurut Mandriawati (2008, hlm 171) tujuan senam hamil adalah : a. Memperkuat dan mempertahankan elastisitas otot otot dinding perut, ligamen – ligamen, otot dasar panggul yang berhubungan dengan proses pesalinan. b. Membentuk sikap tubuh. Sikap tubuh yang baik selama kelahiran dan persalinan dapat mengatasi keluhan - keluhan umum pada wanita hamil, mengharapkan letak janin normal , mengurangi sesak nafas akibat bertambah besarnya perut. c. Menguasaai teknik - teknik pernafasan yang mempunyai peranan penting dalam persalinan dan selama hamil untuk mempercepat relaksasi tubuh yang diatasi dengan napas dalam , selain itu juga untuk mengatasi rasa nyeri pada saat his. d. Menguatkan otot - otot tungkai, mengingat tungkai akan menopang berat tubuh ibu yang makin lama makin berat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. e. Mencegah varises, yaitu pelebaran pembuluh darah balik (vena) secara segmental yang tak jarang terjadi pada ibu hamil. f. Memperpanjang nafas, karena seiring bertambah besarnya janin maka dia akan mendesak isi perut ke arah dada . Hal ini akan membuat rongga dada lebih sempit dan nafas ibu tidak bisa optimal. Dengan senam hamil maka ibu akan dapat berlatih agar nafasnya lebih panjang dan tetap relaks. g. Latihan pernapasan khusus yang disebut panting quick breathing terutama dilakukan setiap saat perut terasa kencang. h. Latihan mengejan latihan ini khusus utuk menghadapi persalinan, agar mengejan secara benar sehingga bayi dapat lancar keluar dan tidak tertahan di jalan lahir. i. Mendukung ketenangan fisik (Huliana, 2001 hlm 91). j. Memberi dorongan serta melatih jasmani dan rohani dari ibu secara bertahap agar ibu dapat menghadapi persalinan dengan tenang, sehingga proses persalinan dapat berjalan lancar dan mudah (Salmah, 2006 hlm 117). Manfaat Senam Hamil Menurut Mandriawati (2008, hlm 172) manfaat senam hamil adalah : a. Mengatasi sembelit (konstipasi), kram dan nyeri punggung b. Memperbaiki sirkulasi darah c. Membuat tubuh segar dan kuat dalam aktivitas sehari – hari d. Tidur lebih nyenyak e. Mengurangi resiko kelahiran premature f. Mengurangi stress g. Membantu mengembalikan bentuk tubuh lebih cepat setelah melahirkan h. Tubuh lebih siap dan kuat di saat proses persalinan i. Bertemu dengan calon ibu lain bila ibu melakukannya kelas senam hamil (Huliana , 2001 hlm 91) j. Mengurangi pembengkakan k. Memperbaiki keseimbangan otot l. Menguatkan otot perut (Salmah, 2006 hlm 118). Syarat Melakukan Senam Hamil Menurut Mandriawati (2008, hlm 172) syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan senam hamil adalah : a. Kehamilan berjalan normal b. Diutamakan pada kehamilan pertama atau kehamilan berikutnya yang mengalami kesulitan persalinan c. Telah dilakukan pemeriksaan kesehatan dan kehamilan oleh dokter atau bidan d. Latihan dilakukan secara teratur dan disiplin, dalam batas kemampuan fisik ibu e. Jangan membiarkan tubuh ibu kepanasan dalam jangka waktu panjang. istirahatlah sejenak f. Gunakan bra yang cukup baik untuk olah raga dan semacam decker yang bisa menyokong kaki. Menurut Mandriawati (2008, hlm 174) kontraindikasi senam hamil adalah : a. Kelainan jantung b. Tromboplebitis c. Emboli Paru d. Perdarahan pervaginam e. Ada tanda kelainan pada janin f. Plasenta previa Waktu Untuk Melakukan Senam Hamil Menurut Mandriawati (2008, hlm 172) dianjurkan untuk melakukan senam hamil yaitu setelah usia kehamilan 22 minggu. Tempat Melakukan Senam Hamil Untuk menjamin dilakukanya senam hamil dengan aman dan benar dibutuhkan tuntunan yang jelas atau instruktur yang berpengetahuan dan terampil. Oleh karena itu, dianjurkan agar ibu hamil melakukan senam hamil bersama ibu hamil yang lain di Rumah Sakit atau Rumah Bersalin yang akan digunakan untuk bersalin. Karena ditempat tersebut akan ada saling tukar pengalaman, bertambah semangat juga akan ada penambahan wawasan bisa diberikan oleh petugas medis yang merangkap sebagai instruktur (Kushartanti, 2004 hlm 24). Namun jika tidak sempat atau jarak rumah terlalu jauh dari Rumah Sakit atau Klinik, bisa juga dilaksanakan dirumah dengan dibantu instruktur atau ibu sudah pernah mengikuti senam hamil dan sudah mengerti bagaiman cara melakukannya misalnya diteras atau diruang keluarga (Musbikin, 2005 hlm 145). Tahapan Senam Hamil a. Latihan Pendahuluan Lakukan pemanasan ( pendahuluan ) sebelum memulai program olah raga yang berguna merangasang sirkulasi darah, menggendorkan otot-otot dan tulang-tulang sendi sehingga bergerak bebas, yang berarti mengurangi resiko kerusakan (Stoppartd, 2002 hlm 191). Cara melakukan latihan pemanasan yaitu : 1) Latihan I. Duduk tegak bersandar pada kedua lengan, kedua tungkai diluruskan dan dibuka sedikit, seluruh tubuh lemas . 2) Latihan II. Duduk tegak, kedua tungkai kaki lurus dan rapat. 3) Latihan III. Duduk tegak, kedua tungkai kaki lurus, rapat dan releks. 4) Latihan IV. Duduk bersila tegak, kedua tangan diatas bahu dan kedua lengan disamping buah dada. 5) Latihan V. Berbaring terlentang, kedua lengan disamping badan dan kedua lutut ditekuk. 6) Latihan VI. Berbaring terlentang, kedua lengan disamping badan kedua tungkai luarus dan enak. 7) Latihan VII. Putarkan panggul kekiri sebanyak 4 kali dan kanan 4 kali dengan menggerakan panggul kekiri, tekannkan punggung kekanan sambil mengempiskan perut dan mengerutkan liang dubur. Gerakkan panggul kekanan, anggkat pinggang, gerakan kembali panggul kekiri dan seterusnya sampai 4 kali gerakan memutar, kemudian lakukan hal tersebut kearah kanan sebanyak 4 kali. b. Latihan Inti Latihan inti ini bertujuan untuk pembentukan sikap tubuh yang baik. Sikap tubuh yang baik akan menyebabkan tulang panggul naik, sehingga janin berada 27 pada kedudukan yang normal. Latihan kontraksi dan relaksasi latihan untuk memperoleh dan mengatur sikap tubuh untuk releks pada saat yang diperlukan.Latihan pernafasan untuk menguasai berbagai aspek pernafasan. Cara melakukan latihan inti yaitu : 1) Berbaring dengan satu bantal di bawah kepala dan satu bantal lagi di bawah lutut, silangkan kaki dan dekaplah kedua kaki secara bersama erat-erat. Kencangkan otot - otot pantat dan tarik ke atas seolah - olah ingin menghabiskan kencing secara perlahan. Ini akan membantu memantapkan otot otot dasar panggul. 2) Sikap merangkak, jarak antara kedua tangan sama dengan jarak antara kedua bahu. Keempat anggota tubuh tegak lurus pada lantai dan badan sejajar dengan lantai. 3) Berbaring terlentang, kedua lutut ditekuk, kedua lengan di samping badan, dan rileks. c. Latihan pendinginan Senam hendaknya diakhiri dengan gerakan pendinginan. Latihan ini berguna untuk mengembalikan denyut jantung kearah normal dan mencegah mengumpulnya darah pada bagian kaki. Cara melakukan latihan pendinginan, yaitu berjalan secara biasa, lalu berjalan secara menjinjit, berjalan dengan telapak kaki menggenggam sambil menarik dan membuang napas, dan sambil mengerakkan tangan naik turun. Lakukan selama 5-10 menit. METODE Defenisi Operasional Pengetahuan Ibu Hamil Pengetahuan ibu hamil adalah segala sesuatu yang diketahui oleh ibu hamil untuk menjawab pertanyaan tentang senam hamil, yang akan dinilai dari jawaban yang diberikan atas pertanyaan yang diajukan dari kuesioner. Kategori : a. Baik bila menjawab ( 11- 20 soal) dengan skor 55 - 100 b. Kurang bila menjawab ( < 11 soal ) dengan skor < 55 Skala : Ordinal Alat Ukur : Kuesioner sebanyak 20 soal. Sikap Ibu Hamil Sikap adalah pendapat atau pandangan ibu hamil mengenai senam hamil. Untuk Mengetahui sikap dapat dilakukan berdasarkan pada jawaban responden dari semua pertanyaan yang diberikan. Pengukuran terhadap sikap dilakukan dengan menggunakan Skala Likert yang terdiri dari 5 kategori.berdasarkan pada jawaban responden, diperoleh kategori sebagai berikut a. Positif, apabila responden mendapat nilai > 50 b. Negatif, apabila responden mendapat nilai < 50 Skala ukura : Nominal Alat ukur : kuesioner 28 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan mencari hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap senam hamil. Dalam penelitian cross sectional, variabel sebab atau resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan (dalam waktu bersamaan). Pengumpulan data untuk jenis penelitian ini, baik untuk variabel sebab (independent variable) maupun variabel akibat (dependent variable) dilakukan secara bersama-sama atau sekaligus. (Notoatmodjo, 2005). Populasi dan Sampel Populasi Populasi adalah keseluruhan objek ibu hamil yang ada di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat. Pada saat di lakuan survey pendahuluan terdapat 36 ibu hamil. Diantara 36 ibu hamil tersebut terdadap 2 diantaranya dengan usia kehamilan 33 dan 35 minggu. Maka yang akan dijadikan sampel sebanyak 34 ibu hamil. 34 orang tersebut diantaranya berada pada usia kehamilan 16 – 28 minggu. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang ada di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat sebanyak 36 orang, 2 diantaranya berada pada usia kehamilan 33 dan 35 minggu. Maka yang akan dijadikan sampel sebanyak 34 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara total sampling, dimana keseluruan populasi ibu hamil yang ada di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat akan di jadikan sampel seluruhnya. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan Di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat. Alasan peneliti memilih lokasi ini sebagai tempat penelitian adalah: a. Di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat terdapat jumlah populasi ibu hamil yang mencukupi untuk dijadikan sampel dalam penelitian. b. Di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat merupakan desa yang belum pernah dijadikan tempat penelitian dengan judul yang sama, lokasinya mudah dijangkau oleh peneliti dan lokasinya dekat dengan tempat tinggal peneliti. Waktu Penelitian Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penelitian ini adalah mulai dari bulan Oktober 2011- Juni 2012. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer untuk kedua variabel yaitu pengetahuan dan sikap ibu hamil. Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data merupakan cara peneliti untuk mengumpulkan data yang akan dilakukan dalam penelitian. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan kuesioner atau angket yang berjenis angket tertutup untuk variabel pengetahuan ibu hamil tentang senam hamil dan menggunakan daftar cek (checklist) untuk variabel sikap ibu hamil terhadap senam hamil.Dimana prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara : 1. Peneliti terlebih dahulu meminta persetujuan ibu hamil untuk menjadi responden 2. Peneliti memberikan penjelasan singkat kepada responden tentang cara pengisian kuesioner 3. Peneliti membagikan kuesioner untuk diisi oleh responden dengan jawaban yang sesuai dengan dirinya tanpa menghiraukan jawaban dari responden lain 4. Data yang telah diisi oleh responden dikumpulkan kembali kepada peneliti 5. Peneliti memperhatikan kembali kelengkapan dari kuesioner yang diisi oleh responden, jika data maupun kuesioner tidak lengkap, peneliti langsung meminta responden untuk melengkapi data saat itu juga. a. Positif, apabila responden mendapat nilai > 50 b. Negatif, apabila responden mendapat nilai < 50 a . Sangat setuju ( SS ) b. Setuju ( S ) c. Ragu – Ragu ( RR ) d.Tidak Setuju ( TS ) e.Sangat Tidak Setuju ( STS ) Penilaian untuk pertanyaan yang bersufat positif ( Favorable ), yaitu : a. Sangat Setuju ( SS ) bernilai 5 b.Setuju ( S ) bernilai 4 c.Ragu – Ragu ( RR ) bernilai 3 d.Tidak Setuju ( TS ) bernilai 2 e.Sangat Tidak Setuju ( STS ) bernilai 1 Penilaian untuk pertanyaan yang bersifat negative ( Infavorable ), yaitu : a.Sangat Tidak Setuju ( STS ) bernilai 5 b.Tidak Setuju ( TS ) bernilai 4 c.Ragu – Ragu ( RR ) bernilai 3 d.Setuju ( S ) bernilai 2 e.Sangat Setuju ( SS ) bernilai 1 Sebelum menentukan kategori sikap terlebih dahulu menentukan criteria (tolak ukur), yaitu Median: Median : Jumlah skor maksimum x jumlah soal = 5 x 20 = 50 2 2 Kategori dari pengukuran sikap adalah sebagai berikut : a. Positif, apabila responden mendapat nilai >50. b.Negatif, apabila responden mendapat nilai < 50 Skala ukur : Nominal Alat ukur : Kuesioner 20 soal Dengan kisi – kisi sebagai berikut: Tabel 3.3 Kisi-kisi Sikap Instrumen Penelitian Pengetahuan Instrumen penelitian yang akan digunakan untuk pengetahuan adalah menggunakan kuesioner. Diukur dengan menggunakan pertanyaan tettutup dengan pilihan jawaban seperti a, b, c dengan jumlah 20 pertanyaan dimana jika satu jawaban benar diberi skor 5 dan jika jawaban salah diberi skor 0 sehingga skor maksimal adalah 100 dan skor minimum 0, dengan kisi-kisi sebagai berikut: Tabel 3.2 Kisi-Kisi Pengetahuan No. Indikator Jumlah Soal Nomor Soal 1. Defenisi senam hamil 1 1 2. Tujuan senam hamil 1 2 3. Manfaat Senam Hamil 4 3, 4, 5, 6 4. Syarat dilakukan Senam 7 7, 8, 9, 10, 5. Hamil 1 11, 12,13 6. Tempat pelaksanaan 6 14 . Senam Hamil 15, 16, 17, Cara awal melakukan 18, 19, 20 Senam Hamil Jumlah 20 soal 20 soal Sikap Instrumen penelitian yang akan digunakan untuk mengukur sikap adalah menggunakan angket dalam Skala Likert. Pernyataan No. Positif Negatif 1. 2. 3. 4. 5 Nomor Soal Indikator Senam hamil Manfaat Senam Hamil Waktu pelaksanaan Senam Hamil Syarat melakukan Senam Hamil Tempat Pelaksanaan Senam hamil Motivasi ibu Waktu mulai menggunakan Positif Negatif Jumlah Soal 2 2 1 1 2 2 1, 2 4, 5 8 3 6, 7 9, 10 3 4 3 4 3 11, 12, 13, 14 7 1 2 15, 16, 17 19, 20 3 18 Jumlah 20 soal Analisa Data Analisa data yang digunakan adalah analisa bevariate untuk mengetahui adanya hubungan antara dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2002 ). 29 Analisa data ini menggunakan tes kemaknaan chisquare dengan signifikansi ( α = 0,05 ) dengan titik kritis x2 pada α = 0,05. Hasil perhitungan statistik dapat menunjukan ada tidaknya hubungan yang signifikan antara variabel yang diteliti yaitu dengan melihat nilai X2 . Bila nilai X2 hitung > X2 tabel, maka Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara dua variabel katagori pada α yang sesuai. Karena adanya dua cell dengan nilai 50% yang nilainya < 5 maka, yang digunakan adalah “ Fisher’s Exact Test. Hasil uji berdasarkan Uji chi- square diperoleh nilai X2 hitung sebesar 9,0 dan nilai X2 tabel sebesar 3,841 (df=1), karena ada 2 cell atau 50% yang nilainya < 5 maka yang digunakan adalah “Fisher’s Exact Test dan ternyata hasil yang diperoleh adalah < 0,05 atau 0,06 hasil tersebut menunjukkan yang berarti bahwa Hipotesa alternative (Ha) diterima atau Hipotesa nol (Ho) ditolak, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap ibu hamil terhadap senam hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat . PEMBAHASAN Hasil Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap “Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam Hamil Di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat “ dengan jumlah sampel 36 responden dan dengan menggunakan kuesioner sebagai alat bantu penelitian, yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan pembahasan sebagai berikut : Analisa Univariat Setelah data dikumpulkan kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi seperti dibawah ini : Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Hamil Terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawitseberang Kabupaten Langkat No Kategori F % ( Persentase ) 1 Baik 26 72,2 2 Kurang 10 27,8 Total 36 100,0 Tabel 4. 2 Distribusi Frekuensi Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawitseberang Kabupaten Langkat No Kategori F % ( Persentase ) 1 Positif 27 75,0 2 Negatif 9 25,0 Jumlah 36 100,0 Analisa Bivariat Berdasarkan Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam Hamil Di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawitseberang Kabupaten Langkat, didapat tabel distribusi silang sebagai berikut : Tabel 4. 3 Tabulasi SilangAntara Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam Hamil Di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawitseberang Kabupaten Langkat No Pengetahuan Ibu Hamil 1 2 30 Baik Kurang Total Sikap Ibu Hamil Total % 𝒙𝟐 hitung X2 tabel Positif Negatif F % F % 23 88,5 3 11,5 26 72,2 4 40,0 6 60,0 10 27,8 9,0 3,841 27 75,0 9 25,0 36 100,0 Setelah dilakukan penelitian berjudul “Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat. Pengetahuan Responden Berdasarkan hasil penelitian didapat hasil dari 36 responden mayoritas responden memiliki pengetahuan baik sebanyak 26 orang (72,2%) dan yang berpengetahuan kurang sebanyak 10 orang ( 27%). Dapat dinyatakan bahwa mayoritas pengetahuan responden adalah baik. Pengetahuan ini diperoleh dengan cara baru atau modern yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala – gejala alam atau masyarakat, kemudian hasil pengamatan tersebut dikumpulkan, diklasifikasikan dan akhirnya pengamatan tersebut diambil keKesimpulan umum. Faktor –faktor yang mempengaruh pengetahuan adalah umur, pendidikan, pekerjaan, sumber informasi dan hasil interaksi dengan lingkungan. (Notoatmodjo, 2005 ). Pengetahuan merupakan hasil dari “ tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan suatu objek tertentu. Dalam pembagian tingkat pengetahuan dinyatakan bahwa tahap evaluasi itu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek pengukuran pengetahuan (Maulana, 2009). Menurut asumsi penulis tidak ada kesenjangan antara hasil penelitian dengan teori. Bahwa dari hasil penelitian didapat mayoritas ibu berpengetahuan baik dan pada teori dikatakan bahwa pengetahuan didapat dari hasil pengalaman pribadi seseorang berarti semakin banyak pengalaman pribadi seseorang maka akan semakin baik pengetahuannya. Pengetahuan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, pendidikan dan sumber informasi serta hasil berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Sikap Responden Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa dari 36 responden mayoritas memiliki sikap positif yaitu 27 responden (75,0 %) terhadap senam hamil dan ada 9 responden ( 25,0 %) yang bersikap negatif terhadap senam hamil.Dapat dinyatakan bahwa mayoritas responden mempunyai sikap positif. Menurut G. W. All Port (1935), sikap merupakan keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada suatu objek dan situasi yang berkaitan dengannya .Sikap adalah suatu pola prilaku, kesiapan antisifatif, predisposisi untuk menyelesaikan diri dalam situasi sosial, atau sederhana, yang merupakan respon terhadap stimulasi sosial yang telah terkoordinasi. Sikap dapat juga didefenisikan sebagai aspek atau penilaian positif atau negative terhadap suatu objek (Azwar,2008). Sikap seseorang dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal.Faktor internal tersebut antara lainfactor yang terdapat dalam diri pribadi manusia itu sendiri dan factor eksternal yaitu factor yang terdapat dari luar diri manusia itu sendiri. (Maulana, 2009 ). Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek.manginfestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan.Sikap merupakan kecendrungan yang berasal dari dalam diri individu unt berkelakuan dengan pola – pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut (Azwar, 2008). Menurut asumsi penulis, tidak ada kesenjangan antara hasil penelitian dengan teori.Bahwa dari hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas responden mempunyai sikap yang positif. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin banyak pengalaman seseorang maka semakin terarah sikapnya untuk merespon sesuatu artinya sikapnya akan semakin baik karna sudah ada hasil pembelajaran dari pengalaman tersebut. Sama halnya dengan pengetahuan, sikap juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tingkat pengetahuan, sumber informasi, pengalaman pribadi, pengaruh orang lain dan lingkungan sekitar. Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam Hamil Dari hasil penelitian didapat bahwa dari 36 responden, mayoritas berpengetahuan baik dan bersikap positif yaitu 23 responden (88,5 %) sedangkan responden yang berpengetahuan kurang dan bersikap positif sebanyak 4 responden (40,0 %) . Pengetahuan ini diperoleh dengan cara baru atau modern yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala – gejala alam atau masyarakat, kemudian hasil pengamatan tersebut dikumpulkan, diklasifikasikan dan akhirnya pengamatan tersebut diambil keKesimpulan umum. Faktor –faktor yang mempengaruh pengetahuan adalah umur, pendidikan, pekerjaan, sumber informasi dan hasil interaksi dengan lingkungan. (Notoatmodjo, 2005 ). Pengetahuan merupakan hasil dari “ tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan suatu objek tertentu. Dalam pembagian tingkat pengetahuan dinyatakan bahwa tahap evaluasi itu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek pengukuran pengetahuan (Maulana, 2009). Menurut G. W. All Port (1935), sikap merupakan keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada suatu objek dan situasi yang berkaitan dengannya .Sikap adalah suatu pola prilaku, kesiapan antisifatif, predisposisi untuk menyelesaikan diri dalam situasi sosial, atau sederhana, yang merupakan respon terhadap stimulasi sosial yang telah terkoordinasi. Sikap dapat juga didefenisikan sebagai aspek atau penilaian positif atau negative terhadap suatu objek (Azwar,2008) . Sikap seseorang dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal.Faktor internal tersebut antara lainfactor yang terdapat dalam diri pribadi manusia itu sendiri dan factor eksternal yaitu factor yang terdapat dari luar diri manusia itu sendiri. (Maulana, 2009 ). Menurut pernyataan Bloum (2003) terbentuknya suatu prilaku baru dimulai pada dominan kongitif dalam arti subjektiferlebih dahulu terhadap standart yang berupa maksud atau objek sehingga menimbulkan pengetahuan. Pada subjek terhadap objek yang diketahui dan didasari sepenuhnya, tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan (action) sehingga dengan sekaligus dapat diketahui. Pernyataan ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Wismanto (2003) yakni hasil korelasi antara sikap dengan pengetahuan sebesar 0,366 hasil ini relatif kecil, hal ini kemunginan disebabkan bahwa antara pengetahuan dan sikap tidak berhubungan secara, akan berbeda terhadap variable antara yaitu kehendak atau niat. Beberapa penelitian sebelumnya meneliti tentang hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap ibu hamil terhadap senam hamil. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahayuningsih (2005), ada hubungan yang cukup kuat antara pengetahuan ibu dengan sikap ibu hamil terhadap senam hamil. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningrum (2007) yang menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu hamil dengan sikap ibu hamil terhadap senam hamil. Selain kedua penelitian tersebut, ada pula penelitian yang meneliti tentang hubungan sikap terhadap perilaku ibu untuk malakukan senam hamil. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yuliarti (2009) di Kabupaten Sragen dengan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan sikap ibu terhadap senam hamil. Hasil uji berdasarkan Uji chi- square diperoleh nilai X2 hitung sebesar 9,0 dan nilai X2 tabel sebesar 3,841 (df=1), karena ada 2 cell atau 50% yang nilainya < 5 maka yang digunakan adalah “Fisher’s Exact Test dan ternyata hasil yang diperoleh adalah < 0,05 atau 0,06 hasil tersebut menunjukkan yang berarti bahwa Hipotesa alternative (Ha) diterima atau Hipotesa nol (Ho) ditolak, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap ibu hamil terhadap senam hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat Tahun 2012 . KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang berjudul “Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat Tahun 2012”. 31 1 2 3 Dari hasil penelitian mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan baik yaitu sebanyak 26 orang (72,22 %). Dari hasil penelitian mayoritas responden memiliki sikap yang positif terhadap senam hamil yaitu sebanyak 27 orang (75,0 %). Terdapat hubungan yang signifikan antara Pengetahuan Dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap Senam Hamil di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat, menyarankan : 1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melanjutkan penelitian ini lebih lanjut dengan variable yang berbeda. 2. Diharapkan kepada ibu-ibu hamil, sikap yang positif harus diikuti dengan perilaku nyata yaitu mengikuti senam hamil dan bukan hanya sebatas keinginan. Meskipun ibu bekerja, ibu masih tetap bisa melakukan senam hamil yaitu minimal dengan menggerakkan badan agar metabolisme tubuh bekerja. 3. Kepada perangkat desa terutama kepala desa atau lurah, hendaknya membuat suatu kebijakan tentang pentingnya melakukan senam hamil terutama di masa kehamilan trimester II, serta melakukan kerjasama dengan petugas-petugas kesehatan yang ada diwilayahnya untuk melakukan penyuluhan kepada ibu hamil yang ada dalam suatu keluarga tersebut tentang manfaat dan tujuan Senam Hamil bagi bayi dan ibu. Ayah dapat mendorong ibu agar mau melakukan senam hamil, dan diharapkan agar kader-kader yang ada lebih aktif mengajak para ibu hamil untuk datang ke posyandu sehingga dapat memberikan penyuluhan tentang senam hamil sehingga pengetahuan ibu hamil tentang senam hamil meningkat. 4. Kepada pihak Puskesmas Kecamatan Sawitseberang Kabupaten Langkat hendaknya lebih meningkatkan pelayanan terutama promosi kesehatan dan sosialisasi tentang Senam Hamil sehingga dapat menumbuhkan kesadaran ibu hamil untuk mau melakukan senam hamil.Jadi, bukan hanya sekedar menumbuhkan sikap setuju saja terhadap senam hamil tersebut. DAFTAR PUSTAKA Asrina, dkk, 2010. Asuhan kebidanan Pada Masa Kehamilan Azwar, S. (2007). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar.Yogyakarta. 32 DinkesPropsu. (2008). ProfilKesehatanPropinsi Sumatera Utara 2007.DinasKesehatanPropinsi Sumatera Utara. Medan Hidayat, Azis Alimul. 2010. Metode Kebidanan Teknik Analisa Data . Jakarta : Salemba Medika Huliana, Mellyna. (2006). Panduan Menjalani Kehamilan Sehat. Puspa Swara. Jakarta Indiarti, MT. (2008). Senam Hamil dan Balita. Cemerlang Publishing. Yogyakarta Kushartanti.( 2005). Senam Hamil. Lintang Pustaka. Yogyakarta Kurnia, S. Nova. (2009). Menghindari Gangguan Saat Melahirkan dan Panduan Lengkap mengurut Bayi. Paji Pustaka. Yogyakarta Mandriawati, G.A. (2008). Panduan Belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil. EGC. Jakarta Maulana, J.D.H. (2009). Promosi Kesehatan. EGC. Jakarat Muchtar, 2000. Kebutuhan Selama Kehamilan, Jakarta : EGC Musbikin, imam. (2005). Panduan Bagi Ibu Hamil dan Melahirkan. Mitra Pustaka. Yogyakarta Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi 2. Salemba Medika. Jakarta Notoatmodjo, Soekidjo. (2002). Metodeologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta , (2003). Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta , (2005). Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta Sudjana, Dr.(2002). Metode Statistik Cetakan ke-IV. Tarsito. Bandung. Ammililliya, Kiki Riski. (2009). Hubungan Pengetahuan ibu Hamil tentang Senam Hamil dengan Minat Ibu Hamil untuk Melakukan Senam Hamil di RB. Riens Kediri.Http://infoolo.blogspot.com/2009/08/hubun gan-pengetahuan-ibu-hamil-tentang 28.html/14 Oktober 2011 David, Januarahmawati. (2008). Hubungan antara Pengetahuan dengan Sikap Ibu Hamil tentang senam hamil di RSU Islam Kustanti Surakarta. Http://www.bidanku..com.14Oktober2011 Meliono, I. (2007). MPKT Modul I. (http://id.wikipedia.org/wiki/pengetahuan) Supriatmaja. (2005). Pengaruh Senam Hamil terhadap Persalinan Kala Satu dan Kala Dua di RS. Sangladenpasar. www.resep.web.id/kehamilan/6manfaat-senam-hamill14Oktober2011 PENGARUH PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN DENGAN MENGGUNAKAN NON-REBREATHING MASK (NRM) TERHADAP NILAI TEKANAN PARSIAL CO2 (PaCO2) PADA PASIEN CEDERA KEPALA SEDANG (MODERATE HEAD INJURY) DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU) RSUP H ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2016 Marlisa Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan Abstract Head injury is any cases that caused high disability and mortallity rate. In neurology, head injury occupies the first squence and become the main of health problem to most youth, health and productive peoples. The treatment of head injury treatment is to prevent damage of brain cells by adequate oxygenation. The objective of the research was to find out the influence of giving oxygent therapy by using non-rebreathing mask (NRM) towards changing of partial pressure CO2 (PaCO2) value to head injury patients in ICU room of H. Adam Malik Hospital Medan. The research used the quasi experiment method with time series design. The samples were 10 respondents, taken by purpossive sampling technique. The instrument of the research was observation sheet. The result of the research showed that before given the oxygent therapy by using nonrebreathing mask (NRM), 5 respondents (50%) had normal blood pH value, 6 respondents (60%) had low blood HCO3- value, and 6 respondents (60%) had normal blood PaCO2 value. After given oxygent therapy found that 5 respondents (50%) had low blood pH value, 6 respondents (60%) had low blood HCO3- value, and 7 respondents (70%) had low blood PaCO2 value. The result of statistic analyze with T-Test was found significant influence of changing PaCO2 value with p value = 0,000 (p<0,05). The reduction of PaCO2 value is followed by increasing of blood pH value and reduction of blood HCO3- value. Using of non-rebreathing mask (NRM) is only effective for head injury patients with high blood PaCO2. Keywords : Oxygent Therapy, Non-Rebreathing Mask (NRM), Partial Pressure CO2 (PaCO2), Head Injury PENDAHULUAN Cedera kepala (head injury) merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang tinggi. Cedera kepala (head injury) dalam neurologi menempati urutan pertama dan menjadi masalah kesehatan utama oleh karena korban gawat darurat pada umumnya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Sartono et al, 2014). Cedera kepala (head injury) meliputi luka pada kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala (head injury) dapat menimbulkan berbagai kondisi, dari gegar otak ringan, koma, sampai kematian; kondisi paling serius disebut dengan istilah cedera otak traumatik (traumatik brain injury [TBI]). Penyebab paling umum TBI (traumatik brain injury) adalah jatuh (28%), kecelakaan kendaraan bermotor (20%), tertabrak benda (19%), dan perkelahian (11%). Kelompok beresiko tinggi mengalami TBI (traumatik brain injury) adalah individu yang berusia 15-19 tahun, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1. Individu yang berusia 75 tahun atau lebih memiliki angka rawat inap (hospitalisasi) dan kematian TBI (traumatik brain injury) tertinggi (Brunner & Suddart, 2013). Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentasi cedera kepala (head injury) adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira sekitar 5% korban gawat darurat cedera kepala (head injury), meninggal ditempat kejadian. Cedera kepala (head injury) memiliki dampak emosi, psikososial, ekonomi yang cukup besar sebab korban gawat daruratnya sering menjalani perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit masih membutuhkan fasilitas pelayanan jangka panjang (Sartono et al, 2014). Cedera kepala (head injury) akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar korban dengan cedera kepala (head injury) (75-80%) adalah cedera kepala ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama. Di indonesia, data tentang cedera kepala (head injury) ini belum ada. Yang ada barulah data dari beberapa Rumah Sakit (sporaditis) (Sartono et al, 2014). Di Amerika Serikat, insidensi terjadinya cedera otak traumatika sebesar 1,7 juta penduduk/tahun, dari jumlah tersebut sebanyak 50.000 penduduk/tahun mengalami kematian, dan sebanyak 5 juta penduduk/tahun mengalami disabilitas akibat cedera kepala. Cedera kepala 33 umumnya mengenai penderita usia muda (15-19 tahun) dan dewasa tua usia lebih atau sama dengan 65 tahun, dimana angka kejadian pada laki-laki 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan. Mekanisme cedera kepala di Amerika Serikat adalah akibat terjatuh (35,2%), kecelakaan kendaraan bermotor (34,1%), perkelahian (10%), dan penyebab lain yang tidak diketahui (21%) (Iwan A et al, 2015). Di Indonesia, cedera kepala (head injury) diakibatkan para pengguna kendaraan bermotor roda dua terutama bagi yang tidak memakai helm. Hal ini menjadi tantangan yang sulit karena diantara mereka datang dari golongan ekonomi rendah sehingga secara sosioekonomi cukup sulit memperoleh pelayanan kesehatan. Cedera kepala diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda dua dan diperkirakan 39% kenaikan per tahun (Lumban toruan, 2015). Data di ruang bedah saraf RSCM pada September 2014 sampai dengan Maret 2015, pasien cedera kepala (head injury) yang mengalami intra Cerebral Haematoma (ICH) sebanyak 8 orang, Sub Dural Haematoma (SDH) sebanyak 14 orang, Sub Arachnoid Haematoma (SAH) sebanyak 1 orang, Epidural Haematoma (EDH) sebanyak 18 orang. Cedera kepala ringan (CKR) sebanyak 2 orang, Cedera kepala sedang (CKS) sebanyak 2 orang, dan Cedera kepala berat (CKB) sebanyak 2 orang (Lumban toruan, 2015). Pengelolaan yang benar dan tepat akan mempengaruhi outcome pasien. Tujuan utama pengelolaan cedera kepala (head injury) adalah untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemia dan mengoptimalkan pemulihan. Metode dasar dalam melakukan proteksi otak adalah dengan cara membebaskan jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat. Pasien cedera kepala (head injury) penting menjaga kadar PaO2 dalam batas normal minimal 100 mmHg, bahkan nilai yang lebih tinggi, yaitu berkisar antara 140-160 mmHg. Apabila PaO2 berada dalam kadar yang terlalu rendah, maka akan menimbulkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak yang akan diikuti oleh peningkatan laju aliran darah ke otak, dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Apabila kadar PaO2 terlalu tinggi, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah (Safrizal, 2013). Salah satu cara tata laksana untuk mengendalikan peningkatan tekanan intrakranial adalah dilakukan suatu tindakan penurunan PaCO2, pada fase akut terjadinya trauma. Penurunan dilakukan hingga mencapai kadar PaCO2 sekitar 20-30 mmHg, yang dikenal sebagai tindakan hiperventilasi. Penurunan PaCO2 ini akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak dan kondisi ini secara langsung akan menyebabkan penurunan laju aliran darah ke otak; dengan akibat (secara tidak langsung) akan menurunkan tekanan intrakranial (Hendrizal, 2013). Penelitian terhadap 16 sampel pasien cedera kepala sedang dari bulan Desember 2012 sampai Januari 2013 yang masuk IGD RS. Dr. M. Djamil Padang didapatkan nilai rata-rata pCO2 sebelum dan sesudah terapi oksigen 34 menggunakan Non-Rebreathing mask (NRM) masingmasing 32,06 ± 6,35 dan 39,00 ± 3,74. Nilai pH darah setelah pemberian terapi ini 75% berada pada nilai normal (Hendrizal, 2013). Berdasarkan hasil study pendahuluan yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan pada tanggal 22 Desember 2015, ditemukan data pasien cedera kepala (head injury) yang dirawat di ruang bedah syaraf mulai dari Januari 2015-22 Desember 2015 sebanyak 116 orang. Angka ini telah menurun secara signifikan apabila dibandingkan dengan jumlah kasus yang terjadi selama dua tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2014 sebanyak 235 orang dan pada tahun 2013 sebanyak 572 orang (Rekam Medik, 2015). METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan desain penelitian time series design. Penelitian dilakukan Di ICU RSUP H. Adam Malik Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien cedera kepala sedang yang dirawat di ruang ICU RSUP H. Adam Malik Tahun 2016. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien cedera kepala yang baru masuk dari IGD dengan GCS 9-13. Pengambilan sampel menggunakan Puposive Sampling. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 10 responden. HASIL Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan oleh peneliti di Ruang ICU RSUP H. Adam Malik Medan pada tanggal 17-24 Juli 2016 ditemukan data sebagai berikut: Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nilai pH Darah Sebelum Diberikan Terapi Oksigen Dengan Menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) Nilai Rujukan pH f % Darah Rendah (<7.35) 2 20.0 Normal (7.35-7.45) 5 50.0 Tinggi (>7.45) 3 30.0 Total 10 100.0 Dari tabel 4.1 diatas dapat diketahui bahwa dari 10 responden mayoritas responden memiliki nilai pH darah yang normal yaitu, 5 responden (50%). Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nilai pH Darah Sesudah Diberikan Terapi Oksigen Dengan Menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) Nilai Rujukan pH Darah f % Rendah (<7.35) 5 50.0 Normal (7.35-7.45) 5 50.0 Total 10 100.0 Dari tabel 4.2 diatas dapat diketahui bahwa dari 10 responden responden sebanyak 5 responden (50%) memiliki nilai pH darah yang normal dan 5 responden (50%) memiliki nilai pH darah yang rendah. Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nilai Bikarbonat (HCO3-) Dalam Darah Sebelum Diberikan Terapi Oksigen Dengan Menggunakan NonRebreathing Mask (NRM) Nilai Rujukan Bikarbonat f % (HCO3-) Darah Rendah (<22 mmol/L) 6 60.0 Normal (22-26 mmol/L) 3 30.0 Tinggi (>26 mmol/L) 1 10.0 Total 10 100.0 Dari tabel 4.3 diatas dapat diketahui bahwa dari 10 responden mayoritas responden memiliki nilai Bikarbonat (HCO3-) dalam darah yang rendah, yaitu 6 responden (60%). Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nilai Bikarbonat (HCO3-) Dalam Darah Sesudah Diberikan Terapi Oksigen Dengan Menggunakan NonRebreathing Mask (NRM) Nilai Rujukan Bikarbonat f % (HCO3-) Darah Rendah (<22 mmol/L) 7 70.0 Normal (22-26 mmol/L) 3 30.0 Total 10 100.0 Dari tabel 4.4 diatas dapat diketahui bahwa dari 10 responden mayoritas responden memiliki nilai Bikarbonat (HCO3-) dalam darah yang rendah, yaitu 7 responden (70%). Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nilai Tekanan Parsial CO2 (PaCO2) Darah Sebelum Diberikan Terapi Oksigen Dengan Menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) Nilai Rujukan Tekanan f % Parsial CO2 (PaCO2) Darah Normal (35-45 mmHg) 6 60.0 Tinggi (>45 mmHg) 4 40.0 Total 10 100.0 Tabel 4.6 1Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nilai Tekanan Parsial CO2 (PaCO2) Dalam Darah Sesudah Diberikan Terapi Oksigen Dengan Menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) Nilai Rujukan Tekanan Parsial CO2 (PaCO2) f % Darah Rendah (<35 mmHg) 7 70.0 Normal (35-45 mmHg) 3 30.0 Total 10 100.0 Dari tabel 4.6 diatas dapat diketahui bahwa dari 10 responden mayoritas responden memiliki nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) dalam darah yang rendah, yaitu 7 responden (70%). Tabel 4.7 Distribusi Pengaruh Perubahan Nilai Pengaruh Perubahan Tekanan Parsial CO2 (PaCO2) Terhadap Perubahan Nilai pH Darah Sesudah Diberikan Terapi Oksigen Dengan Menggunakan NonRebreathing Mask (NRM) PaCO2 AGDA Total % <35 35-45 % % mmHg mmHg <7.35 3 60 2 40 5 50 pH 7.354 80 1 20 5 50 7.45 Total 10 100 Dari tabel 4.7 diatas dapat diketahui bahwa penurunan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) diikuti dengan peningkatan nilai pH darah, yaitu sebanyak 4 responden (80%). Tabel 4.8 Tabel 4.5 Dari tabel 4.5 diatas dapat diketahui bahwa dari 10 responden mayoritas responden memiliki nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) dalam darah yang normal, yaitu 6 responden (60%). Distribusi Pengaruh Perubahan Nilai Pengaruh Perubahan Tekanan Parsial CO2 (PaCO2) Terhadap Perubahan Nilai Bikarbonat (HCO3-) Dalam Darah Sesudah Diberikan Terapi Oksigen Dengan Menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) AGDA <22 H mmol/L CO3- 22-26 mmol/L <35 mmHg PaCO2 35-45 % mmHg % Total % 7 100 0 0 7 70 0 0 3 100 3 30 10 100 Total Dari tabel 4.8 diatas dapat diketahui bahwa penurunan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) diikuti dengan penurunan nilai bikarbonat (HCO3-) dalam darah, yaitu sebanyak 7 responden (100%). Berdasarkan hasil analisis dengan mengunakan Uji-T berpasangan ditemukan pengaruh yang bermakna/signifikan dari terapi oksigen dengan menggunakan non - rebreathing mask (NRM) terhadap 35 perubahan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) sebelum dan sesudah dengan nilai p value = 0,000 (p<0.05). PEMBAHASAN Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala yang disebabkan oleh benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi dan mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Tujuan utama pengelolaan cedera kepala adalah untuk mencegah dan mengurangi kerusakan sel-sel otak dengan cara membebaskan jalan napas dan oksigenasi yang adekuat. Suplai oksigen ke jaringan otak bergantung pada molekul Hb dan selanjutnya bergantung pada pH darah dan PaCO2 darah. Kadar CO2 akan menimbulkan efek asiditas atau alkalinitas darah. Hal ini ditentukan oleh nilai bikarbonat darah (HCO3-) sebagai sistem bufer utama dalam tubuh. Salah satu tata laksana untuk mengendalikan tekanan intrakranial dilakukan dengan tindakan penurunan PaCO2. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17-24 Juli 2016 di ruang ICU RSUP H. Adam Malik Medan. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) terhadap perubahan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) pada pasien cedera kepala sedang (moderate head injury). Non-Rebreathing Mask (NRM) memungkinkan penghantaran oksigen dengan konsentrasi sekitar 95% pada laju aliran 12 L/mnt untuk mempertahankan kadar tekanan parsial CO2 (PaCO2) darah sekitar 20-30 mmHg. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 10 sampel pasien cedera kepala sedang di ruang ICU RSUP H. Adam Malik Medan ditemukan bahwa sebelum diberikan terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) mayoritas responden memiliki nilai pH darah yang normal yaitu sebanyak 5 responden (50%), nilai Bikarbonat (HCO3-) dalam darah yang rendah, yaitu 6 responden (60%), dan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) dalam darah yang normal, yaitu 6 responden (60%). Sesudah diberikan terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) ditemukan bahwa sebanyak 5 responden (50%) memiliki nilai pH darah yang normal dan 5 responden(50%) memiliki nilai pH darah yang rendah, nilai Bikarbonat (HCO3-) dalam darah yang rendah, yaitu 7 responden (70%) dan tekanan parsial CO2 (PaCO2) dalam darah yang rendah, yaitu 7 responden (70%). Berdasarkan hasil crosstab perubahan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) terhadap nilai pH dan nilai Bikarbonat (HCO3-) dalam darah setelah terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) memperlihatkan bahwa penurunan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) diikuti dengan peningkatan nilai pH darah, yaitu sebanyak 4 responden (80%) dan penurunan nilai bikarbonat (HCO3-) dalam darah, yaitu sebanyak 7 responden (100%). 36 Berdasarkan hasil Uji-T berpasangan ditemukan hubungan bermakna perubahan nilai PaCO2 sebelum dan sesudah diberikan terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) dengan nilai nilai p value = 0,000 (p<0,05) dan hubungan bermakna perubahan nilai PaCO2 terhadap perubahan nilai pH dan dan HCO3- sesudah diberikan terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM), dengan nilai p value = 0,000 (p<0.05). Dari hasil uji ini dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hendrizal (2013). Penelitian yang dilakukan terhadap 16 sampel pasien cedera kepala sedang dari bulan Desember 2012 sampai Januari 2013 yang masuk IGD RS. Dr. M. Djamil Padang didapatkan nilai rata-rata paCO2 sebelum dan sesudah terapi oksigen menggunakan Non-Rebreathing mask (NRM) masingmasing 32,06 ± 6,35 dan 39,00 ± 3,74. Nilai pH darah setelah pemberian terapi ini 75% berada pada nilai normal. Menurut Guyton, A (2008) konsentrasi CO2 dalam alveolus 40 mmHg (5,3%) dan konsentrasi O2 104 mmHg (13,6%). Sedangkan terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing mask (NRM) memungkinkan penghantaran oksigen dengan konsentrasi 95%. Hal ini akan menyebabkan peningkatan ekskresi CO2 dan menurunkan konsentarasi CO2 dengan cepat. Keadaan ini disebut Efek Haldane. Efek Haldane disebabkan oleh gabungan O2 dengan Hb dalam paru menyebabkan Hb menjadi asam yang lebih kuat. Hal ini akan menyebabkan berpindahnya CO2 dengan dua cara yaitu, (1) semakin tinggi keasaman Hb, semakin berkurang kecenderungannya untuk bergabung dengan CO2 untuk membentuk karbaminohemoglobin, jadi memindahkan banyak CO2 dari darah dalam bentuk karbamino dan (2) meningkatnya keasaaman Hb juga menyebabkan Hb melepaskan sejumlah H+, dan ion-ion ini akan berikatan dengan bikarbonat (HCO3-) untuk membentuk asam karbonat (H2CO3), kemudian akan terurai menjadi H2O dan CO2 yang akan dikeluarkan dari darah masuk ke alveoli dan akhirnya ke udara. Penurunan 1 mEq bikarbonat (HCO3-), akan menurunkan tekanan parsial CO2 (PaCO2) sebesar 1,3 mmHg. Sementara itu, apabila kadar PaCO2 arteri turun terlalu rendah, melalui mekanisme vasokonstriksi akan menyebabkan spasme pada pembuluh darah otak serta mengancam terjadinya iskemik. Karena penurunan PaCO2 1 mmHg akan menurunkan laju aliran darah ke otak sebesar 2%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, tidak semua pasien cedera kepala terutama pasien cedera kepala sedang harus diberikan terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM). Penggunaan Non-Rebreathing Mask (NRM) hanya efektif pada pasien cedera kepala dengan PaCO2 darah yang tinggi (Hiperkarbia). Berdasarkan pembahasan diatas, diperlukan manajemen keperawatan dalam menlaksanakan tindakan pemberian terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM). Manajemen keperawatan adalah rangkaian kegiatan pelayanan keperawatan yang menerapkan fungsi-fungsi manajemen mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan (Suarli, 2013). Fungsi perawat dalam perencanaan adalah melakukan penilaian awal terhadap kondisi pasien dengan cedera kepala sedang. Fungsi perawat dalam pengorganisasian adalah melaporkan hasil pengkajian kepada dokter untuk menentukan terapi oksigen yang akan diberikan, melibatkan keluarga pasien dengan cara memberikan informed consent dan menjelaskan tujuan terapi terapi oksigen Non-Rebreathing Mask (NRM). Fungsi perawat dalam penggerakan adalah melukukan implementasi keperawatan dengan cara berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM). Dan fungsi perawat dalam pengawasan adalah melakukan pemantauan tehadap kondisi fisik pasien dan hasil AGDA pasien. KESIMPULAN 1. 2. 3. Sebelum dan sesudah diberikan terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) adalah mayoritas responden memiliki nilai pH darah normal dan nilai Bikarbonat (HCO3-) darah rendah sedangkan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) darah responden mayoritas normal dan rendah. Penurunan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) sesudah diberikan terapi oksigen dengan menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) diikuti dengan peningkatan nilai pH darah dan penurunan nilai bikarbonat (HCO3-) darah. Ditemukan pengaruh yang bermakna/signifikan perubahan nilai tekanan parsial CO2 (PaCO2) sebelum dan sesudah terapi dengan nilai p value = 0,000 (p<0.05). SARAN 1. 2. 3. Bagi Keluarga Pasien Keluarga pasien harus lebih aktif dalam pengambilan keputusan tentang terapi yang akan diberikan. Bagi Perawat Perawat diharapkan selalu melakukan pemantauan terhadap hasil AGDA pasien cedera kepala sedang untuk menentukan terapi apa yang harus diberikan kepada pasien selanjutnya. Bagi RSUP H. Adam Malik Medan Tenaga kesehatan perlu diberikan pelatihan mengenai perawatan terbaru pasien cedera kepala sedang. Sehingga tenaga kesehatan lebih hati-hati dalam pemberian terapi oksigen dengan menggunankan Non-Rebreathing Mask (NRM) pada pasien cedera kepala sedang. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan pada peneliti selanjutnya meneliti tentang pengaruh pemberian terapi oksigen dengan menggunakan Non-Breathing Mask (NRM) terhadap perubahan nilai tekanan intrakranial (TIK) pada pasien cedera kepala. DAFTAR PUSTAKA AR, Iwan et al. 2015. Terapi Hiperosmolar Pada Cadera Otak Traumatika. Jurnal Neurologi Indonesia:http://inasnacc.org/images/Artikel/ vol4no2juni2015/iwanAjuni2015.pdf, diunduh pada tanggal 03 Desember 2015 Brunner & Suddart. 2013. Keperawatan Medikal – bedah Edisi 12. Jakarta : EGC Depkes RI. 2006. Standart Pelayanan Keperawatan di ICU.http://perpustakaan.depkes.go.id:8 180/bitstream//123456789/760/4/BK2006G90.pdf, diunduh pada tanggal 31 Januari 2016 Dewi, NMA. 2012. Autoregulasi Serebral Pada CederaKepala.http://download.portalgaruda. org/article.php?article=82587&val=970, diunduh pada tanggal 02 Desember 2015 Francis, Caia. 2008. Perawatan Respirasi. Jakarta: Erlangga Ganong, FW. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Guyton & Hall. 2007. Fisiologi Kedokteran.Jakarta: EGC Hendrizal, 2013. Pengaruh Pemberian Terapi Oksigen Dengan Menggunakan NonRebreathing Mask (NRM) terhadap Nilai Tekanan Parsial CO2 (PaCO2) pada Pasien Cedera Kepala Sedang. http://jurnal.fk.unand. ac.id/index .php/jka/article/download/23/18, diunduh pada tanggal 01 Desember 2015 Isyan, YA et al. 2009. Cedera Kepala Dan Fraktur Kriris. Riau: Fakultas Kedokteran Riau Japardi, Iskandar. 2004. Cedera Kepala. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Jevon, Philip et al. 2008. Pemantauan Pasien Kritis Edisi 2. Jakarta: Erlangga Kemenkes RI. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik.http://binfar.kemkes.go.id/?wpdmact=p rocess&did=MTcyLmhvdGxpbms=, di unduh pada tanggal 06 Juli 2015 Kemenkes RI. 2011. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Intensive Care unit (ICU) di Rumah Sakit. http://www.perdici.org/wp- content/uploads/PedomanICU.pdf, diunduh pada tanggal 25 Februari 2016 Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Sartono, H et al. 2014. Basic Trauma Cardiac Life Support.Bekasi: GADAR Medik Indonesia 37 Setiadi. 2013. Konsep Dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu Suarli, S et al. 2013. Manajemen Keperawatan Dengan Pendekatan Praktis.Jakarta: Erlangga Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta Sumatri, Fritz. 2005. Resiko kematian pada pasien cedera kranioserebral berat ditinjau dari aspek PaO2 dan PaCO2. http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak110377.pdf, diunduh pada 03 Desember 20015 38 Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC Price, Sylvia A et al.2005. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses – Proses Penyakit. Jakata: EGC. GAMBARAN PENGETAHUAN DAN TINDAKAN SISWA/I TERHADAP KELUHAN SAKIT GIGI SMA PGRI 24 TALUN KENAS KECAMATAN STM HILIR TAHUN 2016 Nelly Katharina Manurung Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Persepsi sakit bisa dipengaruhi oleh pengetahuan tentang penyakit karena semakin besar persepsinya terhadap sakit, semakin besar pengetahuannya tentang penyakit. Banyak orang keliru dalam memilih cara pengobatan yang tepat, disebabkan mereka tidak tahu tentang penyebab penyakit dan upaya pencegahannya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan tindakan siswa/i terhadap keluhan sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Tahun 2016. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survey yang menggunakan kuesioner. Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi yang berjumlah 52 orang siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Tahun 2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan siswa/i tentang keluhan sakit gigi paling banyak dalam kriteria baik, yaitu sebanyak 44 responden (84,6%). Sebagian besar (71,15%) siswa/i pernah mengalami sakit gigi. Tindakan siswa/i dalam mengatasi keluhan sakit gigi paling banyak berada dalam kriteria baik, yaitu sebanyak 35 responden (67,3%). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan tindakan siswa/i sudah baik. Namun siswa/i belum mengetahui tindakan yang tepat untuk menanggulangi gigi berlubang. Kata kunci: Pengetahuan, Tindakan, Keluhan Sakit Gigi Pendahuluan Kesehatan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, sehat secara jasmani dan rohani. Tidak terkecuali anak-anak, setiap orang tua menginginkan anaknya bisa tumbuh dan berkembang secara optimal, hal ini dapat dicapai jika tubuh mereka sehat. Kesehatan yang perlu diperhatikan selain kesehatan tubuh secara umum, juga kesehatan gigi dan mulut, karena kesehatan gigi dan mulut dapat mempengaruhi kesehatan tubuh secara menyeluruh. Dengan kata lain bahwa kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dari kesehatan tubuh secara keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan dari kesehatan tubuh secara umum. Untuk mencapai kesehatan gigi dan mulut yang optimal, maka harus dilakukan perawatan secara berkala (Kusumawardani, E, 2011). Pada UU kesehatan tahun 2009 BAB VI pasal 93 dan pasal 94, di sebutkan bahwa pelayanan kesehatan dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi dan pemulihan kesehatan gigi oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan gigi dapat dilaksanakan meliputi pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, dan usaha kesehatan gigi sekolah. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat (UU Kesehatan, 2009). Di Indonesia masalah kesehatan gigi cukup besar, hal ini di sebabkan karena kesadaran masyarakat dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut masih rendah, terlihat masih tingginya angka kesehatan gigi dan mulut. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) nasional tahun 2013, sebesar 25,9 persen penduduk Indonesia mempunyai masalah gigi dan mulut. Sebanyak 31,1 persen diantaranya menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis gigi (perawatan gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis), sementara 68,9 persen lainnya tidak dilakukan perawatan. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi hanya 8,1 persen (Depkes RI, 2013). Penyebab sakit gigi yang sering terjadi adalah gigi berlubang atau karies gigi. Karies mula-mula terjadi pada email. Bila tidak segera dibersihkan dan tidak segera ditambal, karies akan menjalar ke dentin hingga sampai ke ruangan pulpa yang berisi pembuluh saraf dan pembuluh darah, sehingga menimbulkan rasa sakit dan akhirnya gigi tersebut bisa mati (Kusumawardani, E, 2011). Rasa nyeri merupakan tanda adanya masalah fisik yang harus segera diatasi termasuk rasa nyeri pada gigi. Rasa nyeri ini bisa terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Rasa nyeri pada gigi yang dirasakan biasanya terjadi akibat abses pulpa dan abses 39 dentoalveolar. Rasa nyeri ini dapat muncul tiba-tiba dan biasanya ditandai dengan inflamasi dan infeksi pada gigi yang berlubang, mengalami trauma, dan gigi yang ditambal. Nyeri akan terasa selama beberapa jam terakhir pada saat tidur, makan , minum minuman yang sangat dingin, atau kegiatan lainnya (Mumpuni, Y, 2013). Persepsi sakit ini bisa dipengaruhi oleh pengetahuan tentang penyakit. Semakin besar persepsinya terhadap sakit, semakin besar pengetahuannya tentang penyakit. Banyak orang keliru memilih cara pengobatan yang tepat, disebabkan mereka tidak tahu tentang penyebab penyakit dan upaya pencegahannya. Rendahnya pengetahuan mengenai kesehatan merupakan factor predisposisi dari perilaku kesehatan yang mengarah kepada timbulnya penyakit. Pengetahuan ini erat pula kaitannya dengan sikap seseorang tentang penyakit dan upaya pencegahannya. Hubungan perilaku berupa tindakan dengan pengetahuan, kepercayaan, dan persepsi dijelaskan oleh Rosenstock (1974) dalam model kepercayaan kesehatan atau Health Belief Model. Penjelasannya adalah bahwa kepercayaan seseorang terhadap kerentanan dirinya dari suatu penyakit dan potensi penyakit, akan menjadi dasar seseorang melakukan tindakan pencegahan atau pengobatan terhadap penyakit tersebut (Budiharto, 2010). Hasil survey awal di SMA PGRI 24 Talun Kenas menunjukkan bahwa sebagian besar siswa/i yang pernah mengalami sakit gigi. Berdasarkan dari uraian diatas maka peneliti tertarik meneliti gambaran pengetahuan dan tindakan siswa/i terhadap keluhan sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun Kenas Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan tindakan siswa/i terhadap keluhan sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Tahun 2016. Metode Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survey. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner tentang pengetahuan dan tindakan siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir terhadap keluhan sakit gigi. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir, dengan pertimbangan bahwa di tempat tersebut belum pernah dilakukan penelitian sejenis. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir yang berjumlah 52 orang. Sampel Sampel dalam penelitian ini siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir yang pernah mengalami sakit gigi sebanyak 52 orang. 40 Hasil Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 52 orang siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir. Data yang sudah terkumpul dibuat kedalam tabel distribusi frekuensi sebagi berikut. Tabel 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan kriteria pengetahuan siswa/i dalam mengatasi keluhan sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Kriteria Sampel (n) Persentase Pengetahuan Baik 44 84,6 Sedang 7 13,5 Buruk 1 1,9 Jumlah 52 100 Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir yang paling banyak dalam kriteria baik yaitu sebanyak 44 responden (84,6%), kriteria sedang sebanyak 7 responden (13,5%) dan hanya 1 orang (1,9%) dengan kriteria buruk. Tabel 4.2 Distribusi frekuensi berdasarkan kriteria tindakan siswa/i dalam mengatasi keluhan sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir Kriteria Sampel (n) Persentase Tindakan Baik 35 67,3 Sedang 17 32,7 Buruk 0 0 Jumlah 52 100 Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa tingkat tindakan siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir yang paling banyak dalam kriteria baik yaitu sebanyak 35 responden (67,3%), kriteria sedang sebanyak 17 responden (32,7%) dan tidak ada (0%) dengan kriteria buruk. Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pengalaman pernah dan tidak pernah mengalami sakit gigi pada siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir NO Pengalaman Sampel (n) Persentase Sakit Gigi 1. Pernah 37 71,15 2. Tidak pernah 15 28,85 Jumlah 52 100 Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa pengalaman pernah dan tidak pernah mengalami sakit gigi siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir yang paling banyak pernah mengalami sakit gigi yaitu sebanyak 37 responden (71,15%), dan yang tidak pernah mengalami sakit gigi yaitu sebanyak 15 responden (28,85%). Pembahasan Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir dalam kriteria baik yaitu sebanyak 44 responden (84,6%). Namun masih ada siswa/i yang tidak tahu tindakan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap gigi berlubang yaitu sebanyak 24 responden (46,15%). Gigi yang berlubang harus segera dirawat karena dapat mengakibatkan rasa sakit pada gigi yang timbul secara berulang-ulang dan dapat mengganggu aktivitas sehari–hari. Gigi berlubang sangat rentan terhadap infeksi bakteri, untuk gigi berlubang pada permukaan, penambalan gigi dapat dilakukan segera setelah keluhan sakit gigi berkurang. Sedangkan untuk gigi berlubang yang dalam, sebelum dilakukan penambalan terlebih dahulu harus dilakukan perawatan PSA yang bertujuan untuk membersihkan saluran akar gigi agar menjadi steril dan terbebas dari infeksi bakteri. Saluran akar gigi ini kemudian diisikan dengan bahan pengisi saluran akar untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri pada saluran akar. Setelah beberapa hari kemudian dan pasien tidak mempunyai keluhan pada gigi, lubang yang menganga tersebut kemudian ditutup dengan cara restorasi (Muhlisin, A, 2016). Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa tingkat tindakan siswa/i SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir dalam kriteria baik yaitu sebanyak 35 responden (67,3%). Namun 39 responden (75%) tidak melakukan tindakan yang tepat agar gigi berlubang tidak semakin meluas (parah) dan tidak sakit. Penambalan merupakan suatu prosedur medis untuk mengembalikan fungsi gigi akibat kerusakan gigi, seperti fraktur gigi, pembusukan gigi (karies) atau akibat trauma lain pada permukaan gigi. Penambalan ada kalanya diawali pengeboran yang tujuan untuk mengangkat dan membersihkan struktur gigi yang telah dirusak oleh asam yang diproduksi bakteri. Setelah struktur yang rusak dibersihkan, lubang gigi harus diisi kembali untuk mengembalikan fungsi gigi seperti semula dan untuk mencegah proses kerusakan gigi yang lebih lanjut. Gigi yang mengalami kerusakan akan sulit digunakan untuk makan, dapat menjadi nyeri, atau bahkan mengalami infeksi. Tindakan penambalan gigi tanpa pengeboran hanya dilakukan pada karies dini dan pada gigi yang rentan terhadap karies (Pratiwi, 2009). Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa/i (71,15%) pernah mengalami sakit gigi. Masalah terbesar yang dihadapi saat ini di bidang kesehatan gigi dan mulut adalah penyakit jaringan keras gigi (caries dentis) dan penyakit gusi. Menurut Riskesdas 2013 terjadi peningkatan prevalensi terjadinya karies aktif pada penduduk Indonesia dibandingkan tahun 2007 lalu, yaitu dari 43,4 % (2007) menjadi 53,2 % (2013). Hal ini menunjukkan suatu peningkatan yang cukup tinggi terlebih jika kita konversikan ke dalam jumlah absolut penduduk Indonesia. Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi karies aktif karies yang belum ditangani atau belum dilakukan perawatan 53,2 %, ini berarti bahwa di Indonesia terdapat 93.998.727 jiwa yang menderita karies aktif. Angka ini cukup fantastis dalam status kesehatan masyarakat di Indonesia, karena hampir mengenai separuh penduduk di Indonesia (Evida, D, 2015). Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang gambaran pengetahuan dan tindakan siswa/i terhadap keluhan sakit gigi di SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir dapat ditarik keKesimpulan sebagai berikut : 1. Pengetahuan siswa/i tentang sakit gigi berada dalam kriteria baik, yaitu sebanyak 44 responden (84,6%). 2. Sebagian besar siswa/i (35 responden atau 67,3%) sudah dapat mengatasi keluhan sakit gigi dengan tepat. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Diharapkan kepada pihak Sekolah SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir agar dapat menyampaikan materi tentang kesehatan gigi dan mulut dalam pendidikan jasmani dan kesehatan bagi siswa/i. 2. Diharapkan agar Kepala Sekolah SMA PGRI 24 Talun Kenas Kecamatan STM Hilir dapat bekerja sama dengan Puskesmas atau instansi kesehatan terkait untuk mengadakan penyuluhan tentang sakit gigi dan cara mengatasinya. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: 2013 Budiharto. 2010. Pengetahuan Ilmu Perilaku Kesehatan Dan Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta: EGC. Kusumawardani, E. 2011. Buruknya Kesehatan Gigi dan Mulut. Yogyakarta: Hanggar Kreator. Margareta, S. 2012. 101 Tips dan Terapi Alami Agar Gigi Putih dan Sehat. Yogyakarta: Pustaka Cerdas. Mumpuni, Y dan E Pratiwi. 2013. 45 Masalah dan Solusi Penyakit Gigi dan Mulut. Yogyakarta: Rapha Publishing. Notoadmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Tarigan, R. 2012. Karies Gigi. Jakarta: EGC. Pratama, A . 2015. Karies Gigi. http://adifkgugm.blogspot.co.id/2015/09/kariesgigi.html. 22 Februari 2016 Zulmiyusrini, P. 2014. Sakit Gigi. http://www.kerjanya.net/faq/10947-sakit-gigi.html. 22 Februari 2016. Evida,D, 2015. 93 Juta Lebih Penduduk Indonesia Menderita Karies Aktif http://www.kompasiana.com/de-be/93-juta-lebihpenduduk-indonesia-menderita-karies-aktif. 30 Juni 2016. Muhlisin, A, 2016. Gigi dan mulut, obat sakit gigi http://mediskus.com/tips/obat-sakit-gigi. 30 Juni 2016. 41 HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU LANSIA TERHADAP PENCEGAHAN PENINGKATAN ASAM URAT DI POSKESDES DESA PARULOHAN KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN TAHUN 2016 Adelima C R Simamora Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan Abstrak Asam urat adalah sisa metabolik berupa kristal purin yang secara alamiah berada dalam darah, kadar asam urat normal dalam darah pria dewasa adalah 3,5 -7,2 mg/dl dan pada wanita 2,6 - 6,0 mg/dl. Zat purin adalah zat alami yang merupakan salah satu kelompok struktur kimia pembentuk DNA dan RNA yang berasal dari hasil produksi tubuh sendiri dan dari makanan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan Design Crossectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia penderita asam urat yang datang berobat ke Poskesdes Desa Parulohan. Besar sampel adalah 35 responden. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisa data menggunakan uji uji chi-square dengan taraf signifikasi α = 0,05. Dari hasil penelitian terhadap 35 responden menunjukkan bahwa mayoritas berpengetahuan cukup sebanyak 20 orang (57,1%), mayoritas perilaku kategori baik sebanyak 17 orang (48,6%). Sedangkan mayoritas untuk pencegahan kategori baik sebanyak 27 orang (80,0%). Tidak ada hubungan pengetahuan lansia asam urat terhadap pencegahan peningkatan asam urat dimana X2 hitung < X2 tabel dan ada hubungan perilaku lansia asam urat terhadap pencegahan peningkatan asam urat dimana uji chi-square X2 hitung > X2 tabel. Kepada lansia penderita asam urat agar lebih meningkatkan pengetahuannya mengenai pencegahan peningkatan asam urat dan memperhatikan kesehatannya khususnya dalam mengurangi mengonsumsi makanan tinggi protein dan pemeriksaaan dini.. Kata kunci : Pengetahuan, Perilaku, lansia, terhadap peningkatan asam urat Pendahuluan Masalah asam urat atau biasa disebut dengan gout merupakan salah satu penyakit tertua yang dikenal manusia. Asam urat dianggap sebagai penyakit para raja atau penyakit kalangan sosial elite yang disebabkan karena terlalu banyak makan dan minum minuman keras, seperti daging dan anggur, atau dapat dikatakan bahwa asupan makanan dan minuman yang tidak teratur sangat berhubungan erat dengan kejadian asam urat. Asam urat dapat tertimbun di mana saja. Sekitar 75 % serangan pertama gout adalah sendi pada pangkal ibu jari kaki. Selain pada sendi, penimbunan asam urat bisa juga pada ginjal, saluran kencing, jantung, telinga dan ujung-ujung jari (ibu jari kaki). Tumpukan asam urat di sendi dan jaringan sekitar sendi akan menyebabkan rasa nyeri yang kuat dan pembengkakan sekitar sendi. Timbunan asam urat di ginjal dan saluran kencing akan menyebabkan penyakit pada ginjal yang bisa berkembang menjadi gagal ginjal permanen, akibatnya seseorang harus melakukan cuci darah sepanjang hidupnya. Selain itu, timbunan asam urat pada jantung, akan menimbulkan penyakit jantung dan hipertensi (Damayanti, 2012). 42 Menurut badan kesehatan dunia/WHO (2007), penderita asam urat pada tahun 2004 mencapai 230 juta. Prevalensi asam urat di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi menunjukkan peningkatan kejadian asam urat, terutama di Negara – negara maju, karena di Negara maju mereka mengkonsumsi makanan yang berlemak dan mengandung kadar purin yang tinggi. Berdasarkan data asam urat di dunia tercatat sebanyak 47.150 jiwa orang di dunia menderita asam urat, kejadian asam urat terus meningkat pada tahun 2005 dan menyerang pada usia pertengahan 40-59 tahun (Achmad, 2009). Berdasarkan survei WHO, Indonesia merupakan Negara terbesar ke 4 di dunia yang penduduknya menderita asam urat dan berdasarkan sumber dari Buletin Natural, di Indonesia penyakit asam urat 35% terjadi pada pria di bawah usia 34 tahun. Peningkatan kadar asam urat darah atau hiperurisemia adalah kadar asam urat darah di atas 7 mg/dl pada laki-laki dan di atas 6 mg/dl pada perempuan. Insiden gout meningkat dengan usia, memuncak pada usia 30 sampai 50 tahun, dengan kejadian tahunan berkisar dari 1 dalam 1.000 untuk pria berusia antara 40 hingga 44 tahun dan 1,8 banding 1.000 bagi mereka yang usia 55-64 tahun.Tingkat terendah gout yaitu pada wanita muda, kira-kira 0,8 kasus per 10.000 pasien. Di Indonesia, pertama kali di teliti oleh seorang dokter Belanda, Horst (1935) yaitu menemukan 15 kasus asam urat berat pada masyarakat kurang mampu. Dari beberapa data hasil penelitian seperti di Sinjai (Sulawesi Selatan) di dapatkan angka kejadian asam urat 10% pada pria dan 4% pada wanita. Di Minahasa (Sulawesi Utara) diperoleh angka kejadian asam urat 34,30% pada pria dan 23,31% pada wanita usia dewasa awal, sedangkan penelitian yang dilakukan di Bandungan (Jawa Tengah) kerja sama dengan WHO-COPCORD terhadap 4.683 sampel berusia antara 15-45 tahun didapatkan angka kejadian asam urat pada pria 24,3% dan wanita 11,7%. Penyakit peningkatan kadar asam ini tidak hanya menyerang lanjut usia tetapi seseorang dengan usia produktif juga bisa terserang penyakit ini (Mutoharoh, 2013). Asam urat adalah kelompok keadaan heterogenous yang berhubungan dengan defek genetik pada metabolisme purin. Pada keadaan ini bisa terjadi oversekresi asam urat atau defek renal yang mengakibatkan penurunan ekskresi asam urat, atau kombinasi keduanya (Smeltzer, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eni Kurniawati, dkk (2014) yang berjudul “Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap Pengetahuan dan Sikap Klien Gout Arthritis di Puskesmas Tahuna Timur Kabupaten Sangihe” didapat ada pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap klien Gout Arthritis di Puskesmas Tahuna Timur, dimana berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon diperoleh nilai α = 0.000, yang berarti nilai α lebih kecil dari α (0,05). Dari hasil observasi awal di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan didapat jumlah lansia sebanyak 168 orang dengan yang menderita asam urat sebanyak 70 orang. Dari Pendahuluan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Lansia terhadap Pencegahan Peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan perilaku lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat di poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. Tujuan Khusus 1. Mengetahui hubungan pengetahuan lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. 2. Mengetahui hubungan perilaku lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. METODE Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan Design Crossectional. Yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana “ Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Lansia Terhadap Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016”. Populasi Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia penderita asam urat yang datang berobat ke Poskesdes Desa Parulohan berjumlah 70 orang. Sampel Sampel adalah sebagian dari objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2010). Pada penelitian ini menggunakan metode Systematic Random Sampling. Caranya adalah membagi jumlah atau anggota populasi dengan perkiraan jumlah sampel yang diinginkan hasilnya adalah interval sampel. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian dari jumlah populasi akan diambil menjadi sampel penelitian. Dimana sebagian dari pasien asam urat yang berobat ke Poskedes Desa Parulohan sebanyak 35 orang. HASIL Analisa Univariat Analisa univariat dilakukan untuk menggambarkan penyajian data dari beberapa variabel dalam bentuk tabel distribusi frekuensi meliputi pengetahuan dan perilaku lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan dan Perilaku Lansia Terhadap Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016 No Variabel Jumlah Presentase (%) 1. Pengetahuan Baik 12 34,3 Cukup 20 57,1 Kurang 3 8,6 Total 35 100,0 2. Perilaku Baik 17 48,6 Cukup 13 37,1 Kurang 5 14,3 Total 35 100,0 43 3 Pencegahan peningkatan asam urat Baik 28 Tidak baik 7 Total 35 80,0 20,0 100,0 Berdasarkan tabel 1 diperoleh bahwa dari 35 jumlah responden, lansia asam urat yang berpengetahuan baik sebanyak 12 orang (34,3%), yang berpengetahuan cukup sebanyak 20 orang (57,1%), dan yang berpengetahuan kurang sebanyak 3 orang (8,6%). Berdasarkan tabel 1 diperoleh bahwa dari 35 jumlah responden, lansia asam urat yang memiliki perilaku baik sebanyak 17 orang (48,6%), cukup sebanyak 13 orang (37,1%), dan yang memiliki perilaku kurang sebanyak 5 orang (14,3%). Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa mayoritas pencegahan terhadap pencegahan peningkatan asam urat adalah baik sebanyak 27 orang (80,0%) dan minoritas pencegahan peningkatan asam urat adalah tidak baik sebanyak 8 orang (20,0%). Analisa Bivariat Analisa bivariat adalah setelah diketahui variabel, maka dilakukan analisa lebih lanjut berupa analisa bivariat, data yang didapat dari kedua variabel merupakan data kategori. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan Lansia Asam Urat Dengan Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016 No Pengetahuan Pencegahan Peningkatan df X2 Asam Urat Baik Tidak Total baik n % n % n % 1 Baik 12 100,0 0 0 12 100,0 2 3,422 2 Cukup 16 80,0 4 20,0 20 100,0 3 Kurang 2 66,7 1 33,3 3 100,0 Total 35 100,0 Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dari 35 responden yang berpengetahuan baik sebanyak 12 orang dengan mayoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 12 responden (100%), dan minoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 0 responden (0%). Dari 20 responden yang berpengetahuan cukup, mayoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 16 responden (80,0%), dan minoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 4 responden (20,0%). Dari 3 responden yang berpengetahuan kurang, mayoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 2 responden (66,7%) dan minoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 1 responden (33,3%). 44 Dengan menggunakan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) dan df=2 diperoleh X2 hitung (3,422) < X2 tabel (5,591), maka Ho diterima, Ha ditolak berarti tidak ada hubungan pengetahuan lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Lansia Asam Urat Dengan Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016 No Perilaku Pencegahan Peningkatan df X2 Asam Urat Baik Tidak Total baik n % n % n % 1 Baik 16 94,1 1 5,9 17 100,0 2 7,195 2 Cukup 10 76,9 3 23,1 13 100,0 3 Kurang 2 40,0 3 60,0 5 100,0 Total 35 100,0 Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa dari 35 responden yang memiliki perilaku baik sebanyak 17 orang dengan mayoritas yang memiliki perilaku baik dalam melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 16 responden (94,1%), dan minoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 1 responden (5,9%). Dari 13 responden yang memiliki perilaku cukup, mayoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 10 responden (76,9%), dan minoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 3 responden (23,1%). Dari 5 responden yang memiliki perilaku kurang, mayoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 3 responden (60,0%) dan minoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 2 responden (40,0%). Dengan menggunakan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) dan df=2 diperoleh X2 hitung (7,195) > X2 tabel (5,591), maka Ho ditolak, Ha diterima berarti ada hubungan perilaku lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. PEMBAHASAN Hubungan Pengetahuan Lansia Terhadap Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. Dari tabel 2 diketahui bahwa dari 35 responden, presentase yang berpengetahuan cukup sebanyak 20 responden, mayoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 16 responden (80,0%), dan minoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 4 responden (20,0%). Berdasarkan uji chi-square, tidak ada hubungan pengetahuan lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta. Menurut asumsi peneliti pada penelitian ini diketahui bahwa tingkat pengetahuan seseorang itu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga pengetahuan seseorang itu berbeda- beda. Dalam penelitian ini Pengetahuan responden tidak ada hubungannya terhadap pencegahan peningkatan asam urat. Buktinya kurangnya kesadaran dalam menjaga kesehatan. Pengetahuan responden perlu ditingkatkan dengan mengikuti segala penyuluhan atau instruksi dari tim kesehatan. Saran Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Diharapkan bagi lansia penderita asam urat untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan perilakunya tentang pencegahan peningkatan asam urat. 2. Diharapkan bagi lansia supaya rutin memeriksakan kadar asam urat ke petugas kesehatan, Serta mengurangi mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi protein. 3. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya meneliti hubungan lansia penderita asam urat terhadap pencegahan peningkatan asam urat dengan faktor gaya hidup diluar dari pengetahuan dan perilaku. DAFTAR PUSTAKA Hubungan Perilaku Lansia Terhadap Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. Dari tabel 3 diketahui bahwa dari 35 responden, presentase yang memiliki perilaku baik sebanyak 17 responden dengan mayoritas yang memiliki perilaku baik dalam melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan baik sebanyak 16 responden (94,1%), dan minoritas yang melakukan pencegahan peningkatan asam urat dengan tidak baik sebanyak 1 responden (5,9%). Berdasarkan uji chi-square, ada hubungan perilaku lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. Menurut asumsi peneliti bahwa perilaku seseorang dalam melakukan sesuatu memiliki nilai tersendiri baik untuk dirinya maupun orang lain. Dimana perilaku dapat mempengaruhi aspek kehidupan seseorang. Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi pencegahan peningkatan asam urat adalah perilaku, oleh sebab itu dengan perilaku yang baik, maka perilaku responden terhadap pencegahan peningkatan asam urat juga baik. Dari hasil penelitian menunjukkan ada hubungan perilaku terhadap pencegahan peningkatan asam urat. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Lansia Terhadap Pencegahan Peningkatan Asam Urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2016 dengan jumlah responden 35 orang, peneliti dapat mengambil keKesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak ada hubungan pengetahuan lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. 2. Ada hubungan perilaku lansia terhadap pencegahan peningkatan asam urat di Poskesdes Desa Parulohan Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016. Aminah, N, 2013. Rematik dan Asam Urat. PT. Bhuana Ilmu Populer: ndry, dkk, 2009. Analisis Faktorfactor yang Mempengaruhi Kadar Asam Urat pada Pekerja Kantordi Kabupaten Brubes, Jurnal Keperawatan Soediman Arikunto, Prof. Dr. Suharimi. 2010. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Edisi Previsi. Jakarta: PT. Rineka Cipta Damayanti. 2012. Mencegah dan Mengobati Asam Urat. Jogyakarta: Araska Depkes, RI, 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Departemen Republik Indonesia: Jakarta Eni Kurniawati, dkk. 2014. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap Pengetahuan dan Sikap Klien Gout Arthritis di Puskesmas Tahuna Timur Kabupaten Sangihe Heri Irwan Tedy Kanis, dkk. 2010. Hubungan Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Asam Urat Dengan Perilaku Pencegahan Asam Urat di Dusun Janti, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta Hidayat, A, 2008. Metode Keperawatan, dan Tehnik Analisa Data. Surabaya: Salemba Medika Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selecta Kedokteran. Edisi keempat. Jakarta: EGC Mutoharoh. (2013). Perbedaan Tingkat Nyeri Sendi Lutut Pada Penderita Sebelum Dan Sesudah Diberikan Terapi Kompres Air Dingin Di Desa Lelayan Kecamatan Unggaran Timur Kabupaten. http://xa.yimg.com/kq/groups/40920657/1093964501/nam e/GOUT. Diakses tanggal 10 Desember 2014 Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Petri, K, (2011). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Arthritis Gout Terhadap Perilaku Pencegahan Arthritis Gout Pada Lansia di Posyandu Kedungtangkil Karangsari Pengasih Kulon Progo Yogyakarta. http://sim.stikesaisyiyah.ac.id/simpttpencarianpustaka/datapustaka.zul?kdpustaka=9278 &kddetailpustaka=98640501541. Diakses tanggal 10 Desember 2014 45 Pipit, F, 2010. Hubungan Antara Pola Makan dengan Kadar Asam Urat DarahPada Wanita Post Menopause Di Posdyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas dr. Soetomo Surabaya, Jurnal Keperawatan. Ranti, I, 2012. Pengaruh Pemberian Buku Saku Gout Arthritis Terhadap Pengetahuan Sikap Dan Perilaku Pasien Gout Arthritis Rawat Jalan Di RSUP. Prof. Dr. R. Kandow. 46 http://ejurnal.poltekkesmanado.ac.id/index.php/gizido/artic le/download/21/69. Diakses tanggal 13 Desember 2014 Smeltzer, Dkk. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC Sutanto, I, 2013. Asam Urat. PT. Bintang Pustaka: Yogyakarta ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERILAKU KARYAWAN KILANG PAPAN DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DI PT HIDUP BARU KOTA BINJAI TAHUN 2014 Netty Jojor Aritonang1, Sitti Raha Agoes Salim2, Makmur Sinaga2 1 Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Medan 2 Staf Pengajar FKM USU Abstract Occupational health and safety is an attempt to guarantee safety and improve the health standard of workers by preventing them from accidence and illness caused by job, controlling danger in the job sites, and promoting health, medication, and rehabilitation. The use of personal protection equitment (PPE) is one of the efforts to decrease the incidence of health danger and job accidence. The objective of the research is to analyze some factors which influenced the behavior of lumber mill workers in using personal protection equitment at PT Hidup Baru, Binjai, in May, 2014. Cross sectional design was used to analyze some factors which influenced the behavior of lumber mill workers in using personal protection equitmentat PT Hidup Baru. The population was all 43 lumber mill workers. The data were analyzed by using chi square test and multiple logistic regression tests. The result of the research showed that there was the influence of the workers’ knowledge (p = 0.038) and attitude (p = 0.026) at PT Hidup Baru, Binjai, on the use of personal protection equitment. The variable of attitude had the most dominant influence on the use of PPE at Odds Ratio (OR) of 7,405 which indicated that the workers who had positive attitude had the opportunity to use personal protection equitment 9.7,405 times than those who had negativeattitude. It is recommended that the management of the lumber mill, PT. Hidup Baru, Binjai, should improve the workers’ knowledge of the risk and provide facility of training about job health and safety for them and the workers improve their knowledge, attitude, and behavior about their job safety in their job. Keywords : PPE, Knowledge, Attitude, Workers PENDAHULUAN Pertumbuhan dan perkembangan industri yang begitu pesat telah mendorong makin meningkatnya penggunaan mesin, peralatan kerja dan bahan bahan kimia dalam proses produksi dengan disertai tehnik dan tehnologi dari berbagai tingkatan di segenap sektor. Kemajuan ilmu dan tehnologi tersebut di satu pihak akan memberikan kemudahan dan meningkatkan produktivitas tetapi dilain pihak cenderung akan menimbulkan risiko kecelakaan apabila tidak dibarengi dengan peningkatan pengetahuan,dan ketrampilan pekerja. Kecelakaan dan sakit ditempat kerja, membunuh dan memakan lebih banyak korban jika dibandingkan dengan perang dunia(Suardi,R, 2007). Oleh karena itu saat ini ilmu kesehatan kerja semakin berkembang. Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan pekerja dengan cara pencegahan kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja (PAK), pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi (KepMenkes-RI, 2010). Kesehatan dan Keselamatan kerja juga merupakan promosi dan pemeliharaan tertinggi tingkat fisik, mental dan kesejahteraan sosial, dimana ada pencegahan risiko mengalami kecelakaan kerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, ada perlindungan pekerja dari resiko yang dapat merugikan kesehatan menempatkan dan memelihara pekerja dalam lingkungan kerja yang disesuaikan dengan peralatan fisiologis yang tidak membahayakan nyawa (Suma’mur, 2009). Secara implisit kesehatan kerja mencangkup sebagai alat mencapai derajat kesehatan tenaga kerja setinggi-tingginya, yang terdiri dari pekerja informal dan formal, dan sebagai alat untuk meningkatkan produksi yang berlandaskan kepada meningkatnya efisiensi dan produktivitas. Melalui upaya kesehatan kerja akan terwujud tenaga kerja yang sehat dan produktif hingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan keluarganya serta masyarakat yang luas. Tenaga kerja tidak saja diharapkan sehat dan produktif selama masa kerjanya tetapi juga sesudahnya, sehingga ia dapat menjalani masa pensiun dan hari tuanya tanpa diganggu oleh berbagai penyakit dan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pekerjaan maupun lingkungan kerja pada waktu masih aktif bekerja. Oleh karena salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). 47 Kondisi Keselamatan dam Kesehatan Kerja (K3) dalam lingkungan kerja di Indonesia cukup memprihatinkan sehingga angka kecelakaan kerja yang mengakibatkan tenaga kerja mengalami cacat dan meninggal dunia cukup tinggi. Berdasarkan data dari PT Jamsostek selama Tahun 2010, petugas setiap hari melayani klaim asuransi kematian sebanyak 52 kasus dan kecelakaan kerja berupa jatuh dan lainnya sebanyak 400 kasus dan jumlah itu meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena faktor perilaki 31.776 kasus (32,06% dari total kasus), dan kondisiyang tidak aman 57.626 kasus (58,15%) dari total kasus. PT Hidup Baru adalah industri formal yang bergerak di bidang kilang papan. Pada olahan produksinya memiliki potensi bahaya yaitu debu yang dihasilkan oleh serpihan kayu yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi paru, serpihan kayu yang dapat menyebabkan tertusuknya tangan hingga terluka, suara mesin yang bising yang lama kelamaan dapat menggangu pendegaran para pekerja dan potensi bahaya lainnya yaitu tertimpa balok kayu saat memindahkan kayu. Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemempuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tubuh tenaga kerja dari bahaya di tempat kerja. Alat pelindung diri dipakai setelah usaha rekayasa (engineering) dan cara kerja yang aman telah maksimun (Depnakertrans RI, 2004). Penggunakan alat pelindung diri sangat dipengaruhi oleh motivasi pekerja. Pekerja sering merasa remeh dan menganggap ringan potensi bahaya kerja yang ada di tempat kerja. Perilaku demikian disebabkan karena kurangnya pengetahuan, sikap para pekerja dalam menjaga dirinya dari potensi bahaya kesehatan dan kecelakaan kerja. Dari survei pendahuluan yang dilakukan pada kilang papan di PT Hidup Baru. Saat ini pihak manajemennya tidak menyediakan APD seperti masker, sarung tangan, ear plug, maupun pakaian ganti dahulu pihak manajemen menyediakan alat pelindung diri bagi pekerjanya seperti masker dan sarung tangan, akan tetapi banyak pekerja yang tidak mau menggunakan, sehingga perusahaan tidak lagi menyediakan APD. Sebagian kecil pekerja sudah memakai APD, walaupun APD yang mereka gunakan masih belum lengkap ada yang hanya menggunakan masker saja ataupun hanya menggunakan sarung tangan saja dan sebagian besar dari pekerja tersebut tidak menggunakan APD. Dari Pendahuluan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian analisa faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku karyawan kilang papan dalam penggunaan alat pelindung diri di PT Hidup Baru Kota Binjai Tahun 2014. PERMASALAHAN Penggunaan alat pelindung diri merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya bahaya kesehatan dan kecelakaan kerja, namun hasil observasi yang dilakukan di lapangan masih banyak pekerja yang tidak menggunkan APD. Maka peneliti ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku karyawan kilang papan 48 dalam tindakan penggunaan alat pelindung diri di PT Hidup Baru Kota Binjai Tahun 2014. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku karyawan kilang papan dalam tindakan penggunaan alat pelindung diri di PT Hidup Baru Kota Binjai Tahun 2014. MANFAAT PENELITIAN Memberikan masukan bagi PT Hidup Baru Kota Binjai dalam meningkatkan perilaku pekerja dalam penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) untuk mencapai derajat kesehatan pekerja setinggi-tingginya sehingga dapat meningkatkan kualitas produktivitas kerja. METODE Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan desain cross sectional. Penelitian dilaksanakan di di PT Hidup Baru Kota Binjai Tahun 2014. Penelitian dilaksanakan mulai Mei 2014. Sampel penelitian adalah 43 karyawan. Data penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Analisis data dilakukan menggunakan analisis univariat, dan analisis bivariat(ujiChi-square). HASIL 1. Karakteristik Responden proporsi umur responden tertinggi pada kelompok 21-40 tahun sebesar 88,4%. Sebesar 100% karyawan yang bekerja di kilang papan berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan pendidikan, proporsi pendidikan yang paling banyak tamat SMA yaitu sebesar 53,5%.Pada perusahaan kilang papan di bagian pabriknya sangatlah dibutuhkan tenaga laki-laki sehingga perekrutan bagi pekerja wanita tidak ada. Para pekerja sebagian besar adalah tamatan SMA, hal ini disebabkan saat ini perekurutan pekerja lebih banyak diutamakan tamatan SMA Selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1 Distribusi Karakteristik Karyawan Kilang Papan di PT Hidup Baru Kota Binjai No Identitas Responden n Persentase 1 Umur ≤ 20 tahun 2 4,7 21-40 tahun 38 88,4 ≥ 41 tahun 3 7,0 2 Jenis Kelamin Laki-laki 43 100,0 Perempuan 0 0,0 3 Pendidikan SD 4 9,3 SMP 16 37,2 SMA 23 53,5 Total 43 100,0 2. Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Motivasi dengan Tindakan Penggunaan Alat Pelindung Diri Hasil penelitian didapatkan terdapat hubungan antara pengetahuandengan tindakan penggunaan alat pelindung diridi PT Hidup Baru Kota Binjai dengan nilai p=0,038. Hasil penelitian ini sesuai dengan Mulyanti (2008) tentangpenggunaan alat pelindung diri dalam asuhan persalinan normal di Rumah Sakit Meuraxa Banda Aceh tahun 2008, dimana hasil penelitiannya menyatakan variabel pengetahuan mempengaruhi perilaku terhadap penggunaan APD.Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Hasil penelitian didapatkan terdapat hubungan antara antara sikapdengan tindakan penggunaan alat pelindung diridi PT Hidup Baru Kota Binjaidengan nilai p=0,014, dengan demikian terdapat hubungan. Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. Dalam penelitian ini sikap yang baik menunjukkan perilaku yang baik terhadap penggunaan APD saat bekerja. Sikap karyawan tersebut terwujud dari tingkat pemahamannya tentang kegunaan APD, akibat yang ditimbulkan jika tidak menggunakan APD. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Ratnaningsih (2010)) di PT.X Semarang (Studi proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sikap dengan praktik pemakaian APD. Hasil penelitian ini dapat menunjukkan bahwa seseorang bertindak yang baik bukan hanya karena memiliki sikap yang positif saja tetapi juga bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Akan tetapi, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Farida (2006) yang berjudul Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) pada juru las listrik diwilayah Kecamatan Tembalang Kota Semarang yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara sikap responden dengan pemakaian APD. Hasil penelitian didapatkan tidak terdapat hubungan antara antara motivasidengan tindakan penggunaan alat pelindung diridi PT Hidup Baru Kota Binjai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada motivasi dari pihak perusahaan hal ini dikarenakan tidak ada peraturan yang ditetapkan, sehingga pihak perusahaan kurang peduli kepada karyawan yang menggunakan atau tidak menggunakan APD. Tabel 2 Hubungan Variabel Pengetahuan. Sikap, dan Motivasi Motivasi dengan Tindakan Penggunaan Alat Pelindung Diri di PT Hidup Baru Kota Binjai Variabel Pengetahuan Rendah Tinggi Sikap Negatif Positif Tindakan Penggunaan APD Tidak Ya n % n % n % 22 12 91,7% 63,2% 2 8,3% 7 36,8% 24 19 100,0 100,0 26 8 89,7% 57,1% 3 10,3% 6 42,9% 29 14 100,0 100,0 Jumlah p 0,022 0,014 Motivasi Tidak ada Ada 34 0 79,1% 0,0 9 20,9% 0 0,0 43 0 100,0 100,0 - 3. Pengetahuan dan Sikap terhadap Tindakan Penggunaan Alat Pelindung Diri di PT Hidup Baru Kota Binjai Hasil analisa bivariat yang dilakukan terhadap variabel bebas dan variabel terikat ternyata yang mempunyai hubungan bermakna adalah variabel pengetahuan dan sikapsecara bersama-sama dihubungkan dengan tindakan penggunaan alat pelindung diri melalui regresi ganda, maka ternyata pengetahuan dan sikapyang berpengaruh terhadap tindakan penggunaan alat pelindung diri Variabel yang terpilih dalam model akhir regresi logistik seperti pada Tabel berikut : Tabel 3 Pengaruh Pengetahuan dan Sikap terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri di PT Hidup Baru Kota Binjai Exponen Variabel Koefisien B (B)/ Odds p Ratio Pengetahuan 1,991 7,323 0,038 Sikap 2,002 7,405 0,026 Constant -3,362 Uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan variabel pengetahuan menunjukkan adapengaruh terhadap tindakan penggunaan APD dengan nilai p= 0,022 <α=0,05.Hal ini dikarenakan perilaku karyawan dipengaruhi oleh pengetahuan. Seorang karyawan akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu pengetahuan akan menimbulkan kesadaran dan akhirnya menyebakan karyawan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu yang lama karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri bukan karena paksaan. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Farida (2006) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) pada juru las listrik diwilayah kecamatan Tembalang kota Semarang mengatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan responden dengan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dengan tingkat keeratan sedang Uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan variabel sikap menunjukkan adapengaruh terhadap tindakan penggunaan APD dengan nilai p= 0,026 <α=0,05.Green dan Kreuter (2005) juga menyatakan sikap merupakan faktor untuk mempermudah terjadinya perubahan perilaku.Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (2007) antara lain pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama serta pengaruh factor emosional. Menurut Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan selain diperoleh dari bangku pendidikan, juga dapat diperoleh dari pengalaman langsung seperti informasi yang diterima dari pelayanan yang sering 49 dikunjungi dan pengalaman tidak langsung seperti informasi yang didapatkan dari media massa dan media elektronik, hal ini dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan.Oleh karena itu pihak perusahaan perlu meningkatkan pengetahuan karyawan terutama pentingnya penggunaan APD saat bekerja sehingga resiko terjadinya cedera dan kecelakaan kerja dapat diminimalis atau bahkan meniadakan kecelakaan kerja dan meningkatkan pengetahuan pekerja tentang keselamatan kerja, yaitu lebih diberikan arahan atau pelatihan oleh manajemen perusahaan agar semua pekerja memiliki pengetahuan yang cukup tentang penggunaan APD. Pelatihan dapat dilakuakan dengan cara simulasi yang tidak perlu terlalu lambat, sehingga tidak menggangu proses produksi perusahaan. Selain itu perusahaan dapat melakukan berbagai cara dalam mengingatkan kembali para karyawannya dengan cara menempelkan poster-poster ataupun arahan-arahan mengenai penggunaan APD. Sikap mempunyai segi motivasi berarti segi dinamis menuju suatu tujuan berusaha mencapai suatu tujuan. Sikap dapat merupakan suatu pengetahuan, tetapi pengetahuan yang disertai kesediaan kecenderungan bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Sikap juga akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang. Sikap juga di pengaruhi oleh nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam bermasyarakat. Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa sikap ditentukan oleh beberapa faktor salah satunya adalah pengetahuan. Sikap negatif yang ditampilakan oleh karyawan bukan hanya dipengaruhi oleh pengetahuan karyawan, tetapi juga faktor lain. Kebiasaan menganggap remeh dan merasa bahwa pemakaian APD tidak begitu penting tidak begitu penting justru memberikan efek buruk bagi keselamatan kerja karyawan. Pembentukan sikap dapat dilakukan secara berlahan dan dapat memberikan hasil saat dilakukan dengan disiplin. Kesimpulan 1. Ada pengaruh pengetahuan karyawan (p = 0,038) terhadap tindakan penggunaan Alat Pelindung diri di PT Hidup Baru Kota Binjai. 2. Ada pengaruh Sikap karyawan (p = 0,026) terhadap tindakan penggunaan Alat Pelindung diri di PT Hidup Baru Kota Binjai. 3. Tidak ada pengaruh motivasi terhadap tindakan penggunaan Alat Pelindung diri di PT Hidup Baru Kota Binjai. 4. Sikap merupakan pengaruh yang paling dominan terhadap tindakan APD yaitu karyawan yang memiliki sikap positif mempunyai peluang untuk menggunakan APD 7 kali lebih besar dibandingkan dengan karyawan yang sikapnya negatif. 50 Saran 1. Disarankan kepada manajemen pabrik kilang papan, PT Hidup Baru Kota Binjaiuntuk meningkatkan pengetahuan karyawan mengenai resiko pekerjaan di setiap bagian produksi, menjelaskan perilaku yang aman bagi pekerja, menjelaskan cara menghadapi resiko pekerjaan di setiap bagian produksi, memberikan pelatihan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja bagi karyawan dan menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung kesehatan dan keselamatan pekerja. 2. Diharapkan agar para pekerja meningkatkan pengetahuan dan sikap atas keselamatan mereka disaat bekerja, dan berperilaku aman. 3. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap penggunaan APD DAFTAR PUSTAKA Depnakertrans RI. 2004. Pengawasan K3 Lingkungan Kerja. Jakarta: Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Farida, A, M. 2006. Faktor-faktor yagberhubungan dengan pemakaian AlatPelindung Diri (APD) pada jurulaslistrik di wilayah Kecamatan TembalangKota Semarang. Semarang: Skripsi FKM UNDIP Green, L. W. dan Kreuter, M. W. 2005. Health Program Planning: An Educational and Ecological Approach. Fourth edition. New York: MC GrawHil Kementerian Kesehatan RI. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar Jakarta: PT Rineka Cipta Suardi, Rudi .2007. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, seri Manajemen Operasi No.11, PMM, Jakarta Pusat Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta : Sagung Seto. HUBUNGAN PERILAKU CARING PERAWAT TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI RUANGAN PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2016 Suriani Ginting Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan Abstrak Caring adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dengan praktik aktivitas manusia itu sendiri, karena caring memiliki sifat yang holistik yang terarah pada iman, harap dan kasih. Teori Jean Watson yang telah diaplikasikan dalam keperawatan yaitu Human Science and Human Care, yang menjadi menjadi prinsip utama dalam teori ini adalah care dan cinta yang merupakan energi utama dan universal yang menjadi syarat hidup utama pada manusia. Kepuasan klien menjadi prioritas utama dalam lingkungan yang penuh ketegangan atau kesibukan seperti unit rawat inap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku caring perawat terhadap kepuasan pasien di ruangan penyakit dalam. Desain penelitian cross sectional, sampel penelitian sebanyak 40 orang, pengambilan sampel purpose sampling, menggunakan kriteria inklusi dalam penentuan sampel. Dari hasil penelitian ini didapatkan 38 (95,2%) orang pasien mengatakan perilaku caring perawat baik dan 2 (4,7%) orang pasien mengatakan perilaku caring perawat kurang baik. Untuk nilai kepuasan 38 (95,2%) orang pasien mengatakan baik dan 2 (4,7%) orang mengatakan kurang baik. Hasil uji chi-square P=0,000 yang berarti p< 0,05, disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara perilaku caring perawat terhadap kepuasan pasien. Dalam hal ini caring merupakan kunci utama dalam keperawatan sehingga caring harus selalu ditingkatkan dalam pelayanan keperawatan bagi setiap perawat dengan mengadakan pembinaan seminar maupun pelatihan-pelatihan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan terhadap perawat dan diharapkan untuk peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian ini dirumah sakit yang berbeda. Kata kunci : perilaku caring perawat, kepuasan pasien PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan merupakan suatu organisasi yang sangat kompleks, karena bergerak dalam pelayanan jasa yang melibatkan berbagai kelompok profesi dengan berbagai Pendahuluan pendidikan dan kehidupannya. Kelompok keperawatan merupakan salah satu komponen profesi yang dianggap sebagai kunci dari keberhasilan asuhan kesehatan di rumah sakit. Hal ini terjadi karena perawat harus selalu berada di samping pasien, sentuhan asuhan keperawatan telah di rasakan pasien sejak dia masuk ke rumah sakit, selama dirawat dan pada waktu pulang (Sumijatun, 2010). Keperawatan mempunyai pengetahuan tersendiri yaitu teoritis dan praktis. elemen, dan fase dari sebuah konsep keperawatan. Tujuan pengetahuan teoritis merangsang pemikiran, kreasi dan praktik disiplin keperawatan, sedangkan pengetahuan praktis merupakan dasar pengalaman perawat dalam memberikan pelayanan kepada klien (Potter & Perry, 2009). Perilaku caring dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu pengetahuan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun nonfisik seperti: iklim, manusia, sosial, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya (Retno, 2010). Kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas pelayanan rumah sakit, klien, dan profesional kesehatan lain. Perawat yang berkomunikasi secara efektif lebih mampu membina hubungan antara diri mereka sendiri dan orang lain, termasuk klien dan keluarga serta komponen masyarakat lainnya. Untuk perilaku caring perawat sangat diperlukan dalam membina hubungan agar tercipta hubungan yang baik antara perawat, klien, dan keluarga (Yuni, 2009). Caring adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dan pada saat yang sama mengindikasikan bahwa beberapa aktivitas praktik dilakukan dalam proses caring di lingkungan keperawatan. Sudut pandang ini diperluas oleh Grifin (1980, 1983) dalam kutipan Morrison & Burnard (2009) yang membagi konsep caring ke dalam dua domain utama. Salah satu konsep caring ini berkenaan dengan sikap dan emosi perawat, sementara konsep caring yang lain terfokus pada aktivitas yang dilakukan perawat saat melaksanakan fungsi keperawatannya (Morrison & Burnard, 2009). Periaku caring merupakan suatu sikap, rasa peduli, hormat dan menghargai orang lain, artinya memberikan 51 perhatian yang lebih kepada sesorang dan bagaimana seseorang bertindak. Perilaku caring merupakan perpaduan perilaku manusia yang berguna dalam peningkatan derajat kesehatan dalam membantu klien yang sakit. Perilaku caring sangat penting dalam pelayanan keperawatan karena akan memberikan kepuasan pada klien dalam perawatan akan lebih memahami konsep caring, khususnya perilaku caring dan mengaplikasikan dalam pelayanan keperawatan (Kozier, 2010). Tidak semua klien sama, setiap individu mempunyai Pendahuluan pengalaman, nilai-nilai, dan kultur dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Caring bersifat khusus bergantung pada hubungan perawat-klien. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki perawat, mereka biasanya akan mempelajari bahwa caring membantu mereka untuk fokus pada klien yang mereka layani. Caring memfasilitasi kemampuan perawat untuk mengenali masalah klien dan mencari serta melaksanakan solusinya (Perry & Potter, 2009). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan di ruangan penyakit dalam, dari 10 responden yang diwawancarai, 5 pasien mengatakan puas terhadap pelayanan rumah sakit dan perawat, mereka mengatakan perawatnya sangat ramah dan selalu ada apabila pasien membutuhkan. Tetapi 5 pasien mengatakan kurang puas terhadap pelayanannya terutama perawat yang terkadang kurang ramah, terkadang muka tampak cemberut ketika melakukan suatu tindakan keperawatan. Dan berdasarkan hasil praktek klinik yang pernah peneliti lakukan di salah satu ruangan penyakit dalam Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan bahwa ada pasien yang mengatakan bahwa perawat kurang care dan kurang ramah pada saat melakukan tindakan keperawatan. Berdasarkan hasil data rekam medis Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016 didapatkan jumlah pasien yang dirawat diruangan penyakit dalam yaitu sebesar 6547 pasien yang mencakup ruangan St. Melania, St. Ignasius, St. Pia, St. Yosef, St. Fransiskus, St. Laura, St. Pauline. Berdasarkan data tersebut maka sekitar 35,73% pasien mengatakan puas terhadap pelayanan yang dilakukan oleh perawat dan sekitar 29,73% pasien kurang puas terhadap pelayanan yang dilakukan oleh perawat. METODE Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menuntun peneliti untuk dapat memperoleh jawaban peneliti. Dalam pengertian yang lebih luas desain penelitian mencakup pelbagai hal yang dilakukan peneliti, mulai dari identifikasi masalah, rumusan hipotesis, operasionalisasi hipotesis, cara pengumpulan data. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik dengan menggunakan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan terkhusus di ruangan penyakit dalam, sampel adalah pasien yang rawat inap kurang lebih tiga hari yang sudah dirawat terkhusus diruangan penyakit dalam di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. Adapun jumlah sampel dalam penelitian 52 ini yaitu sebanyak 40 orang yang diambil dari data yang sesuai dengan kriteria inklusi yaitu St. Melania 85 orang, St. Ignasius 48 orang, St. Pia 38 orang, St. Yosef 35 orang, St. Fransiskus 92 orang, St. Laura 38 orang, dan St. Pauline 32 orang dengan jumlah populasi secara keseluruhan yaitu 368 orang. HASIL Kepuasan pasien rawat inap dinilai berdasarkan jawaban responden dalam menjawab kuisioner yang telah dibagikan. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Data Demografi Pasien tehadap perilaku caring perawat dan Kepuasan Pasien n = 40 Kategori Jenis Kelamin F % Laki-laki 23 57.5 Perempuan 17 42.5 Total 40 100% Kategori Jenis Kelamin F % Tidak sekolah 0 0 SD 1 2.5 SMP 13 32.5 SMA 18 45.0 PT 8 20.0 Total 40 100% Berdasarkan tabel 1 di atas didapatkan bahwa jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki dengan 53 (57,5%), untuk jenis pendidikan responden mayoritas berpendidikan SMA sekitar 18 (45%) Tabel 2. Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Perilaku Caring Perawat Yang di Berikan Kepada Pasien n=40 Perilaku Caring Perawat F % Baik 38 95.2 Kurang baik 2 4.7 Total 40 100% Berdasarkan tabel 2 di atas diperoleh data bahwa 95,2% perilaku caring perawat sudah baik dan sekitar 4,7% dikatakan kurang baik. Tabel 3 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Kepuasan Pasien Rawat Inap di rumah Sakit Santa Elisabeth Tahun 2013 n=40 Kepuasan Pasien Baik Kurang baik Total F 38 2 40 % 95.2 4.7 100% Berdasarkan tabel 3 di atas diperoleh data bahwa 38 orang (95,2%) kepuasan pasien yang baik dan kepuasan pasien yang kurang baik sekitar 2 orang (4,7%). Tabel 4 Tabulasi Hubungan Perilaku Caring Perawat Terhadap Kepuasan Pasien di ruangan penyakit dalam Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016 n=40 Kepuasan Pasien Total Perilaku Tidak Baik caring perawat Baik F % F % F % Perilaku caring Baik 38 95.2 0 0 38 100 Kurang baik 0 0 2 4.7 2 100 Berdasarkan tabel 4 diperoleh hasil bahwa perilaku caringnya baik dan kepuasan pasien yang baik sebanyak 38 orang (95,2%), perawat perilaku caringnya dan kepuasan pasien kurang baik sebanyak 2 orang (4,7%). PEMBAHASAN 1. Perilaku caring perawat Hasil penelitian yang didapat diketahui distribusi proporsi caring perawat di ruangan penyakit dalam Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016, perawat yang memiliki perilaku caring yang baik sebesar 95,2%, perawat yang perilaku caring tidak baik sebesar 4,7%. Jean Watson mengemukakan praktek caring merupakan pusat/inti dari perawatan. Prinsip utama yang mendasari nilai keperawatan ini adalah care dan cinta yang merupakan energi utama dan universal yang menjadi syarat hidup pada manusia. Caring juga tidak dapat terpisahkan terhadap praktik hidup manusia karena caring memiliki suatu sifat yang holistik yaitu iman, harap dan kasih. Caring dapat di dilihat dari setiap perilaku seseorang yang sedang melakukan tugasnya misalkan kelengkapan seragam (uniform), ketamakan dalam melakukan tindakan dalam pemberian asuhan keperawatan. Morrison dan Burnard (2002) mendefenisikan Caring sebagai sesuatu yang tidak dapat terpisahkan antara praktik dalam aktivitas manusia itu sendiri. Dimana teori ini memiliki dua konsep domain yang utama yaitu sikap dan emosi. Sementara konsep caring yang lain terfokus pada aktivitas yang dilakukan perawat saat melaksanakan fungsi keperawatannya dari reaksi. Sikap merupakan pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap yang ada, jadi sikap senantiasa terarah terhadap suatu hal yang mempunyai bermacam-macam komponen antara lain bagian evaluasi atau perasaan terhadap objek, keyakinan dan behavioural (perilaku). Sikap tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Dalam sikap positif kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu sedangkan sikap yeng bersifat negatif memiliki kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu. Begitu juga halnya dengan perawat, sikap sangat mempengaruhi respon yang diterima oleh pasien yang dalam arti perawat menyesuaikan sikapnya kepada pasien sehingga pasien dapat berespon terhadap sikap yang diekspresikan oleh seorang perawat. Perilaku perawat yang caring membuat pasien merasa dihargai, sehingga hal tersebut memberi kepuasan yang sesuai dengan harapan pasien, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil analisa data memperlihatkan 94,3% perilaku caring perawat baik sehingga pasien memiliki harapan yang tinggi terhadap caring dan sekitar 78,6% pasien merasa puas terhadap perilaku caring perawat (Novayanti Tanjung, 2012). Responden mengatakan perilaku caring yang dilakukan tidak baik karena sebagian besar perawatnya angkuh saat melakukan tindakan keperawatan, jarang untuk memperkenalkan diri kepada pasien, dan sebagian perawat bersikap ceroboh dalam melakukan tindakan keperawatan kepada pasien. Perilaku caring tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas pribadi dan sikap tetapi juga dapat dipengaruhi dari gaya kerja perawat, pendekatan interpersonal, tingkat motivasi, perhatian terhadap orang lain dan penggunaan waktu. Hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti bahwa perilaku caring yang dilakukan oleh seseorang itu sangat dipengaruhi oleh sikap, keramahan dan kedekatan kepeda seseorang, sehingga apabila seseorang telah melakukan perilaku tersebut maka caring akan tercapai dengan sebaik-baiknya. 2. Kepuasan pasien yang rawat inap di ruangan penyakit dalam rumah sakit Santa Elisabeth Medan Hasil penelitian yang didapat, diketahui distribusi proporsi kepuasan pasien yang rawat inap di ruangan penyakit dalam yang dikategorikan baik adalah sekitar 95,2% sedangkan kepuasan pasien yang tidak baik adalah 4,7%. Menurut asumsi Burnard dan Suddarth, menunjukkan bahwa pasien yang merasa puas lebih cenderung lebih mematuhi regimen medis dan perawat memainkan peran penting dalam menyampaikan dan menguatkan instruksi serta menjadi agen promosi kesehatan. Pasien yang merasa puas dengan asuhan profesional lebih cenderung menggunakan pelayanan di waktu mendatang sehingga asuhan psikologis yang baik dapat membuat perbedaan yang signifikan pada konsumen. Fokus lain dalam literatur adalah konsep ketidak berdayaan yang dipelajari dalam rumah sakit. Penelitian mengenai pengalaman pasien selama di rawat di rumah sakit khususnya diruangan penyakit dalam menguatkan pendapat bahwa rasa ketidakberdayaan yang dipelajari menggabarkan keadaan psikologis yang sangat baik, ini merupakan asumsi salah yang dimiliki pasien. Hasil penelitian Wike Diah (2009) mengatakan bahwa kepuasan bagi pasien adalah jika perawat banyak senyum, ramah, terampil, dan cepat dalam penanganan, sehingga pasien nyaman dan tenang. Dalam penelitiannya, pasien tidak berani berkomentar banyak mengenai ketidakpuasan yang dialaminya. Kualitas pelayanan kesehatan sebenarnya menunjukkan kepada penampilan (fermormance), dari pelayanan kesehatan. Secara umum disebutkan bahwa semakin sempurna penampilan pelayanan kesehatan, maka semakin sempurna pula kualitasnya. 53 Penelitian ini dilakukan dengan membagikan kuesioner terhadap pasien yang dirawat diruangan penyakit dalam bahwa pasien sudah merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh perawat maupun rumah sakit, akan tetapi sebagian kecil pasien merasa tidak puas akan pelayanan perawat dan pelayanan rumah sakit yang diberikan kepada pasien terutama dalam perawat yang tidak menanyakan kecukupan dan rasa makanan pasien setiap hari, kelengkapan dan peralatan yang tersedia tampak tidak bersih dan rapi dan tidak tersedianya kecukupan kursi untuk keluarga. Seseorang merasa puas apabila perawat telah melakukan tugasnya dengan baik, terutama dalam pemberian asuhan keperawatan kepada pasien. Apabila perilaku tersebut sudah tercapai maka seseorang akan merasa puas. 3. Hubungan perilaku caring perawat terhadap kepuasan pasien di ruangan penyakit dalam rumah sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016 Berdasarkan tabel 3 diperoleh hasil bahwa diperoleh hasil bahwa perilaku caringnya baik dan kepuasan pasien yang baik sebanyak 38 orang (95,2%), perawat perilaku caringnya dan kepuasan pasien kurang baik sebanyak 2 orang(4,7%). Hasil uji SPSS 14 didapat data pada Tabel crosstab ada dua cell yang expected count kurang dari 0,05, maka didapatkan p = 0,000 sehingga p < 0,05 dimana nilai alpha yaitu 0,03. Angka tersebut menunjukkan Ho ditolak dan Ha diterima sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku caring perawat dengan kepuasan pasien. Maka dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku caring perawat terhadap kepuasan pasien di ruangan penyakit dalam rumah sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016. Terdapat hubungan yang positif antara perilaku caring perawat dengan kepuasan pasien, yaitu perilaku caring perawat baik dan kepuasan pasien sudah baik atau puas. Hipotesis menunjukkan perilaku caring perawat berhubungan dengan kepuasan pasien di ruangan penyakit dalam rumah sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016. Perilaku caring perawat yang baik akan menunjukkan kepuasan yang tinggi terhadap pelanggan. Dimana kepuasan pasien dapat dipengaruhi oleh pengalaman, kemampuan dalam berkomunikasi, peka terhadap kesulitan orang lain,memiliki rasa percaya diri, ketanggapan dalam melaksanakan tindakan keperawatan dan adanya sikap yang ramah dan tidak sombong kepada pasien selama memberikan asuhan keperawatan. Perilaku caring yang tidak baik dan menurunnya angka kepuasan pasien dipengaruhi oleh perawat yang bekerja dengan tidak sungguh-sungguh dan tidak menyadari akan profesinya sendiri dan tidak bertanggung jawab akan tindakannya dan kurang tepat dalam melakukan setiap tindakan keperawatannya. Perawat merupakan sumber daya terbanyak di rumah sakit, diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk membantu pasien mengembalikan dan mencapai keseimbangan dirinya. Perilaku caring perawat sangat dibutuhkan dalam memberi asuhan keperawatan, 54 hendaknyabperawat menempatkan caring sebagai pusat perhatian yang sangat mendasar dalam praktek keperawatan. Perilaku caring perawat juga berdampak pada peningkatan rasa percaya diri perawat, walaupun kenyataan yang dihadapi hingga saat ini perawat masih melaksanakan tugas yang berorientasi pada proses penyakit dan tindakan medik. KESIMPULAN 1. 2. 3. Perilaku caring perawat di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016 ditemukan 95,2% baik. Kepuasaan pasien di ruangan penyakit dalam rumah sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016 sudah baik atau pasien sudah merasa cukup puas terhadap tindakan yang telah diberikan bahwa sebagian besar responden mengatakan sudah merasa puas akan pelayanan yang telah diberikan oleh perawat maupun rumah sakit. Kepuasan sangat berpengaruh terhadap tindakan atau perilaku yang diberikan kepada seseorang khususnya dalam bidang keperawatan. Adanya hubungan yang signifikan antara perilaku caring perawat dengan kepuasan pasien, dimana diperoleh nilai alpha yaitu 0,03 dimana angka tersebut menunjukkan Ho ditolak dan Ha diterima. SARAN 1. 2. 3. Bagi instansi rumah sakit Kepada pihak rumah sakit agar lebih menekankan dalam pemberian informasi mengenai perilaku caring khususnya kepada perawat dalam pemberian asuhan keperawatan misalnya dalam mengadakan seminar ataupun pelatihan kepada perawat. Bagi perawat Kepada perawat agar lebih meningkatkan skillnya misalkan perawat mengikuti suatu pelatihan atau seminar mengenai caring, apabila perilaku caring perawat kurang terhadap pasien terutama dalam pemberian asuhan keperawatan maka kepuasan pasien belum tercapai secara optimal. Bagi peneliti Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang hubungan perilaku caring perawat terhadap kepuasan pasien diruangan penyakit dalam Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2016. Peneliti mengharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melanjutkan penelitian ini dirumah sakit lain. DAFTAR PUSTAKA Kozier. (2010). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan praktik, edisi.7 vol. 1. Jakarta: EGC Morisson & Burnard, 2008. Caring & Communicating. Jakarta: EGC Potter & Perry, 2009. Fundamental Keperawatan, buku 1 edisi 7. Jakarta. Salemba Medika Retno. 2010. Tingkat Steres Kerja Dan Perilaku Caring Perawat. Journal Ners. Volume 5 (2). 165-171 Sumijatun. 2010. Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. Jakarta: Trans Info Media (TIM). Wike Diah. 2009. Kepuasan Pasien Rawat Inap Terhadap Pelayanan Perawat di RSUD Tugu Rejo Semarang. eprints. undip.ac.Indonesia / 23824 / 1/ WIKE_DIAH_ANJARYANI.pdf Yuni.dkk. 2009. Perilaku Caring Perawat Meningkatkan Kepuasan Ibu Pasien. Journal Ners.Volume 4 (2)146-145. 55 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERNIKAHAN USIA MUDA DI DESA SARIBUDOLOK KECAMATAN SILIMAKUTA TAHUN 2016 Wiwik Dwi Arianti Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan Abstrak Pernikahan usia muda merupakan pernikahan yang terjadi dimana salah satu pasangan berusia kurang dari 18 tahun atau remaja, atau sedang mengikuti pendidikan sekolah menengah atas. Faktor – faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda adalah Pendahuluan pendidikan orangtua, status ekonomi orangtua, tanggungjawab orangtua, serta pengaruh lingkungan masyarakat. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan desain Cross Sectional, teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara teknik total sampel, dimana semua populasi dijadikan sampel. Data dikumpulkan dengan cara membagikan kuesioner kepada responden sebanyak 38 orang. Dari hasil penelitian diperoleh berdasarkan Pendahuluan pendidikan orangtua responden mayoritas SD sebanyak 16 orang (42%). Status ekonomi orangtua yang mempengaruhi pernikahan usia muda adalah pada Keluarga Sejahtera Tahap I yaitu sebanyak 21 orang (55%). Berdasarkan tanggungjawab orangtua, mayoritas responden mendapatkan tanggungjawab kurang dari orangtua, yaitu sebanyak 16 orang (42%), sedangkan berdasarkan pengaruh lingkungan masyarakat mayoritas responden menikah karena MBA (married by accident), yaitu sebanyak 24 orang (63%). Mengingat banyaknya dampak dari pernikahan usia muda, maka peran profesional pihak promosi kesehatan sangat dibutuhkan dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada para remaja yang beresiko menikah di usia muda. Kata kunci : Faktor yang mempengaruhi : pernikahan muda PENDAHULUAN Pernikahan di usia muda pada era sekarang ini masih sering terjadi. Mayoritas perempuan muda di sebagian wilayah dunia, menikah pada usia belasan tahun. Jumlah wanita muda yang menikah di usia muda, seperti di Negara Amerika Latin dan Karabia sekitar 50%-75%. Di Negara-negara maju mencapai 75% atau bahkan lebih, dan berbagai Negara di Afrika Sub Sahara ada 9 dari 10 wanita yang menikah di usia muda. Di Negara Afrika Sub Sahara paling sedikit 50% perempuan muda mulai hidup bersama sebelum usia 18 tahun, ini terjadi melalui pernikahan formal secara agama atau hukum atau keputusan bersama, yang menuju pernikahan. Tetapi di beberapa Negara di wilayah itu, hal demikian hanya dilakukan oleh satu dari tujuh wanita muda. Di Amerika Latin dan Karabia terdapat 20-40% wanita yang menikah di usia muda. Di Afrika Utara dan Timur Tengah, jumlah wanita muda yang menikah di usia muda sekitar 30%. Di Asia kemungkinan pernikahan muda berbeda sekali. Sekitar 73% perempuan di Bangladesh memasuki kehidupan bersama sebelum usia 18 tahun, Srilangka 14%, dan sekitar 5% di Cina. Di Negara Perancis, Inggris, dan Amerika sekitar 10-11% yang menikah di usia muda, 56 tetapi di Jerman dan Polandia hanya 3-4% yang menikah di usia muda. Pernikahan di usia muda sudah berkurang dibandingkan generasi yang lalu, walau terdapat perbedaan di dalam daerah, misalnya di Afrika Sub Sahara, proporsi wanita yang menikah sebelum 18 tahun sudah hampir 39% dari 40-44 tahun dibanding usia 20-24 tahun. Di Pantai Gading (49% dibanding 44%), tetapi di Kenya telah menurun dengan tajam (47% dibanding 28%), penurunan hebat juga terjadi di wilayah Asia, sedangkan di Amerika latin dan Karabia tingkat pernikahan di usia muda boleh dikatakan tidak stabil. Di Indonesia jumlah pasangan yang menikah di usia muda sekitar 45%, dan tidak sedikit dari mereka yang menikah di bawah umur 17 tahun. Berdasarkan catatan kantor Pengadilan Agama, di Malang angka pernikahan di bawah usia 15 tahun meningkat 50% dibanding 2010, hingga September 2011 tercatat 10 pernikahan di usia pengantin perempuannya yang masih anak-anak. Tingginya angka pernikahan di usia muda disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya lingkungan, status ekonomi, dan orangtua. Begitu juga yang terjadi di Kabupaten Nias, berdasarkan hasil penelitian PKPA tahun 2008, angka pernikahan antara 13-18 tahun 9,4% dari 218 responden perempuan yang telah menikah dan akan menikah. Angka pernikahan di usia muda bagi anak perempuan 3 kali lebih besar dibanding anak laki-laki (Arini, 2009). Beberapa daerah Indonesia berdasarkan laporan pencapaian Millennium Development Goal’s (MDG’s) Indonesia 2007 yang diterbitkan oleh Bappenas (Badan Pengawasan Nasional) menyebutkan, bahwa Penelitian Monitoring Pendidikan oleh Education Network for Justice pada enam desa/kelurahan di Kabupaten Serdang Badagai (Sumatera Utara), Kota Bogor (Jawa Barat), dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) menemukan 28,10 % informan menikah pada usia di bawah 18 tahun. Mayoritas dari mereka adalah perempuan yakni sebanyak 76,03 % (Hafizh, 2011). Remaja merupakan individu yang akan melaksanakan pernikahan di usia muda tersebut, sedangkan orangtua adalah orang yang paling bertanggungjawab kepada anak-anaknya, terutama anak remajanya. Faktor-faktor terjadinya pernikahan usia muda dapat disebabkan dari segi remaja. Hal ini sesuai dengan pendapat Algies Rachim bahwa : “Faktor pergaulan dengan teman, masalah seks remaja, masalah status sosial remaja. Masalah remaja adalah masa yang penuh gejolak untuk menuju ke masa dewasa. Pada masa remaja ini kematangan fisik, mental, sosial dan materialnya belum cukup matang karena pada masa remaja ini remaja mempunyai sifat-sifat yang ingin memberontak dan kurang percaya diri” Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada diri remaja akan timbul minat pada lawan jenis, apabila pada masa ini remaja tidak bisa mengendalikan dirinya, akan berakibat buruk terhadap remaja itu sendiri. Akibatakibat tersebut misalnya terjadinya pergaulan bebas, kehamilan di luar nikah, dan akhirnya remaja tersebut akan putus sekolah. Terjadinya masalah-masalah yang dihadapi oleh remaja tidak terlepas dari peranan orangtua terhadap anak remajanya. Apabila terjadi hal-hal seperti kehamilan, maka orangtua akan cepat-cepat menikahkan anaknya, walaupun usia anaknya belum cukup untuk melaksanakan pernikahan, sehingga akan terjadi pernikahan di usia muda. Berdasarkan survey pendahuluan yang telah dilakukan penulis, dari Kepala desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta pada tahun 2016 sekitar 276 orang remaja yang ada di desa tersebut ditemukan 38 remaja yang menikah di usia muda, yaitu laki-laki di bawah umur 19 tahun dan perempuan di bawah umur 17 tahun. Setelah itu peneliti mengadakan penelitian sementara pada 10 remaja di desa tersebut. Setelah diwawancarai, 5 dari pasangan remaja tersebut memiliki orangtua dengan Pendahuluan pendidikan SD dan SMP, dan menikah karena hamil di luar nikah, 3 pasangan lainnya menikah karena status ekonomi, 2 pasangan lainnya menikah karena faktor pergaulan atau sudah merasa cocok dengan pasangannya. Oleh karena meningkatnya pernikahan di usia muda Kepala Desa setempat merencanakan program KB bagi seluruh penduduk di Desa Saribudolok khususnya pada remaja yang menikah di usia muda. METODE Jenis penilitian yang digunakan adalah dengan jenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda di desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Tahun 2016.Desain penelitian yang digunakan adalah metode cross sectional yaitu suatu metode yang dapat menggali beberapa variabel dalam satu waktu yang sama. Populasi penelitian ini adalah remaja yang menikah di usia muda, dan berdomisili di Desa Saribudolok Kec. Silimakuta dengan batasan laki-laki menikah di bawah 19 tahun dan perempuan menikah di bawah usia 17 tahun yaitu 38 orang. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik total sampling, dimana seluruh populasi dijadikan sebagai sampel. HASIL Faktor- faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda yang telah dilaksanakan pada bulan Juni di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun dengan jumlah responden 38 orang dan gambaran umum responden adalah sebagai berikut: Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pernikahan Usia Muda Berdasarkan Pendahuluan Pendidikan Orangtua di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Tahun 2016 Pendidikan Jumlah Persentase (%) 16 42 SD 11 29 SLTP 8 21 SLTA 3 8 P. TINGGI Jumlah 38 100 % Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa responden yang menikah usia muda di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta memiliki Pendahuluan pendidikan orangtua mayoritas SD yaitu 16 orang (42 %), sedangkan Pendahuluan pendidikan SLTP 11 orang (29 %), pendididikan SLTA 8 orang (21%) dan minoritas responden memiliki orangtua dengan Pendahuluan pendidikan Perguruan Tinggi yaitu 3 orang (8 %). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pernikahan Usia Muda Berdasarkan Status Ekonomi Orangtua di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Tahun 2016 Status Ekonomi Frekuensi Persentase Keluarga Pra Sejahtera 5 13 Keluarga Sejahtera I 21 55 Keluarga Sejahtera II 4 11 Keluarga Sejahtera III 5 13 Keluarga Sejahtera Plus 3 8 Jumlah 38 100 % Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa responden yang menikah usia muda di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta memiliki orangtua dengan status 57 ekonomi keluarga Pra Sejahtera yaitu sebanyak 5 orang (13 %), status ekonomi Sejahtera Tahap I sebanyak 21 orang (55%), status ekonomi Sejahtera Tahap II sebesar 4 orang (11%), keluarga dengan status ekonomi Sejahtera Tahap III sebanyak 5 orang (13%), dan status ekonomi Keluarga Sejahtera III Plus yaitu sebanyak 3 orang (8 %). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pernikahan Usia Muda Berdasarkan Tanggungjawab Orangtua di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Tanggungjawab Frekuensi Persentase Baik 8 21 Cukup 14 37 Kurang 16 42 Jumlah 38 100 % Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa responden yang melakukan pernikahan usia muda di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta memiliki orangtua yang mayoritas bertanggungjawab baik yaitu sebanyak 8 orang (21 %), orangtua dengan tanggungjawab kurang sebanyak 16 orang (42%), dan orangtua dengan tanggungjawab cukup sebanyak 14 orang (37%). Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pernikahan Usia Muda Berdasarkan Lingkungan Masyarakat yang Mempengaruhi di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Tahun 2016 Ling. Masyarakat Frekuensi Persentase yang Mempengaruhi MBA (married by 24 63 accident) Bukan MBA (married 14 37 by accident) Jumlah 38 100 % Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa responden yang melakukan pernikahan usia muda di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta akibat dari MBA (hamil di luar pernikahan) berjumlah 24 orang (63 %) dan jumlah responden yang menikah bukan karena MBA adalah 14 orang (37 %). PEMBAHASAN 1. Berdasarkan Pendahuluan Pendidikan Orangtua Pendidikan adalah suatu hal yang membentuk watak dan pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan bakat minat dan kemampuan dan sebagai pembentuk sikap manusia. Dengan tingkat pendidikan yang berbeda akan mempunyai pandangan yang berbeda pula dalam menanggapi sesuatu (Aputra, 2005). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa responden yang melakukan pernikahan usia muda mayoritas memiliki orang tua dengan Pendahuluan pendidikan SD sebanyak 16 orang (42%) dan minoritas orangtua memiliki Pendahuluan pendidikan Perguruan Tinggi sebanyak 3 orang (8%). 58 Hal ini dapat dikaitkan pendapat Jasman Aputra, dkk bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pandangannya terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan memberikan tanggapan yang lebih rasional dibandingkan dengan orang yang berpendidikan lebih rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Menurut peneliti, Pendahuluan pendidikan orangtua yang tinggi pendidikannya, mereka tidak setuju menikahkan anak mereka pada usia muda karena orangtua telah memiliki wawasan yang luas untuk era zaman sekarang dan merupakan hal yang tidak wajar jika orangtua yang memiliki pendidikan yang tinggi menikahkan anak di usia muda. Sementara itu, bagi orangtua yang memiliki pendidikan yang lebih rendah atau bahkan tidak berpendidikan sama sekali akan lebih mudah menikahkan anaknya di usia muda karena kurangnya wawasan pada orangtua. 2. Status Sosial Ekonomi Orangtua Ekonomi merupakan salah satu faktor yang sangat mendukung dalam mendukung terjadinya pernikahan usia muda, karena hal ini berhubungan dengan tingkat finansial ataupun tingkat kesejaahteraan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan hidup sehari- hari , kebutuhan perkembangan, kesehatan, dan kebutuhan hidup lainnya. Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang melakukan pernikahan usia muda memiliki orangtua yang memiliki status ekonomi Sejahtera Tahap I yaitu sebanyak 55% (21 orang), dan monoritas orangtua memilki status ekonomi dengan Keluarga Sejahtera Tahap III Plus yaitu 3 orang (8%). Keluarga dengan status ekonomi Sejahtera Tahap I merupakan keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya namun secara minimal, namun belum dapat memenuhi kebutuhan psikologisnya, yaitu kebutuhan akan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal dan transportasi, karena kategori UMP keluarga Sejahtera tahap I adalah = Rp. 1. 200.000,Menurut peneliti, UMP dengan Keluarga Sejahtera Tahap I akan lebih rentan terhadap pernikahan usia muda. Hal ini disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis remaja, seperti misalnya pendidikan. Jika remaja memiliki pendidikan yang rendah, atau tidak berpendidikan sama sekali tentu saja tingkat pengetahuannya/wawasan yang tidak luas. Ini akan mendorong terjadinya pernikahan usia muda. Lain halnya dengan keadaan sosial ekonomi orangtua yang kurang mencukupi kebutuhan anggota keluarga tidak akan terpenuhi, dan anak – mereka tidak mempunyai kesempatan yang luas. Orang tua yang memiliki ekonomi rendah akan cepat – cepat menikahkan anaknya khususnya anak gadisnya yang belum cukup umur menikah. Istilahnya apabila anaknya telah menikah, maka orangtua telah lepas tanggungjawab, atau mengurangi beban. (Mustafa, 2005). 3. Berdasarkan Tanggungjawab Orangtua Berdasarkan tabel 3 diperoleh data bahwa responden yang menikah di usia muda mayoritas mendapatkan tanggung jawab yang kurang dari orangtua yaitu sekitar 16 orang (42%). Sementara yang mendapatkan tanggungjawab orangtua secara penuh / baik minoritas adalah sekitar 8 orang (21%). Menurut peneliti, sesuai dengan pendapat Sulastri bahwa tanggungjawab orangtua sangat berperan dalam terjadinya pernikahan usia muda. Responden yang mendapatkan tanggungjawab kurang dari orangtua akan lebih rentan terhadap pernikahan usia muda. Karena salah satu tanggungjawab orangtua yang tidak didapatkan anak akan mempengaruhi psikososial anak. Lingkungan Sosial Masyarakat Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis. Dalam hal ini lingkungan sosial masyarakat yang mempengaruhi adalah pergaulan yaitu pergaulan bebas. Pada remaja berpengaruh dalam terjadinya pernikahan di usia Pergaulan muda. Pergaulan dalam hal ini adalah pergaulan bebas. Zaman modern sekarang dikenal istilah MBA (married by accident). Faktor inilah yang selama ini identik dengan pernikahan usia muda. Tak jarang ketika orang mendengar tentang pernikahan dini, asumsi pertama yang muncul, MBA (Married By Accident) adalah penyebabnya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui dari tabel 4 bahwa mayoritas responden melakukan pernikahan usia muda adalah karena MBA (married by accident) atau lebih dikenal dengan menikah akibat hamil di luar pernikahan sebanyak 24 orang dari 38 responden atau sekitar 63%. Sedangkan yang menikah bukan karena hamil di luar pernikahan adalah hanya sekitar 14 orang dari 38 responden atau sekitar 37%. Menurut teori Sri Sulastri, masa remaja merupakan masa yang mengalamii perubahan jasmani, kepribadian maupun pengaruh lingkungan. Proses perkembangan yang dialami remaja dan sekelilingnya khususnya orangtua, di dalam masa perubahan remaja tersebut ingin mencari identitas diri. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yaitu mayoritas remaja menikah di usia muda adalah karena faktor kehamilan di luar pernikahan akibat pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Menurut peneliti, MBA (married by accident) merupakan hal yang paling mendukung dalam pernikahan usia muda. Dalam hal ini, MBA (married by accident) terjadi karena remaja merupakan masa- masa yang labil, masa dimana mereka belum mampe sepenuhnya dalam mengontrol diri dan emosi. Hal inilah terkadang yang menjadi penyebab MBA (married by accident). Jika MBA (married by accident ) sudah terjadi, tentu saja harus melaksanakan pernikahan. Dan memang fenomena yang sering dilihat, hamil di luar nikah kerap menjadi alasan para remaja zaman sekarang melakukan pernikahan usia muda ini. Banyak generasi yang gagal membangun hidupnya hanya dikarenakan kesalahan mereka dalam memanage apa yang seharusnya mereka lakukan. Ketika mereka sudah dalam kondisi under control, rasio mereka kalah. Sehingga potensi kegagalan semakin besar, apalagi didukung dengan tingkat emosional mereka yang cenderung labil. Faktor inilah yang menjadi salah satu poros munculnya konotasi negatif. KESIMPULAN 1. 4. 2. 3. 4. Berdasarkan Pendahuluan pendidikan orangtua, responden yang menikah usia muda mayoritas memiliki orangtua dengan Pendahuluan pendidikan SD yaitu sebanyak 16 orang atau sekitar 42%, dan minoritas orangtua responden memiliki Pendahuluan pendidikan Perguruan Tinggi yaitu sebanyak 3 orang atau sekitar 8%. Berdasarkan status ekonomi orangtua, dapat diketahui bahwa mayoritas orangtua responden memiliki status ekonomi Sejahtera Tahap I yaitu sekitar 21 orang (55%), dan minoritas dengan status ekonomi Keluarga Sejahtera Tahap III Plus yaitu 3 orang (8%). Berdasarkan tanggungjawab orangtua, dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang menikah di usia muda memiliki orangtua dengan tanggungjawab kurang yaitu sekitar 16 orang (42%). Dan minoritas responden memiliki orangtua dengan tanggungjawab penuh hanya sekitar 8 orang (21%). Berdasarkan faktor dari pengaruh lingkungan masyarakat, dapat diketahui bahwa responden yang melakukan pernikahan di usia muda adalah mayoritas karena MBA (married by accident) , yaitu sekitar 24 orang dari 38 responden (63%) dan minoritas responden menikah bukan karena MBA (married by accident) hanya sekitar 14 orang dari 38 orang (37%). SARAN 1. 2. 3. 4. 5. Kepada petugas promosi kesehatan agar meningkatkan dan menggalakkan perhatian, penyuluhan tentang dampak pernikahan usia muda. Kepada remaja yang menikah di usia muda agar memanfaatkan Program pemerintah, yaitu program KB. Karena pernikahan usia muda sangat memungkinkan terjadinya angka kelahiran yang tinggi sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan. Kepada orangtua yang memiliki anak remaja, agar lebih memberikan perhatian dan tanggungjawab sebagai orangtua karena remaja merupakan masa labil. Kepada para remaja agar menghindari pergaulan bebas MBA (married by accident) dengan cara mengembangkan bakat dan minat yang kreatif dan inovatif. Kepada orangtua, agar lebih meningkatkan status ekonomi yang dapat mencukupi kebutuhan remaja, seperti pendidikan dan kebutuhan sosial lainnya. 59 6. Dan diharapkan orangtua tidak mudah memberi izin kepada remaja untuk menikah di usia muda hanya karena status ekonomi. Kepada orangtua yang kurang berpendidikan atau bahkan tidak berpendidikan sama sekali diharapkan agar tetap menikahkan anak sesuai umur yang telah ditetapkan oleh undang-undang negara, sehingga anak memiliki kesiapan untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang sejahtera. DAFTAR PUSTAKA Aputra, J. et al., 2005. Buku Sumber Pendidikan KB. BKKBN. Jakarta: EGC Mustafa, K., 2005. Tanggung Jawab Orangtua. Semarang: Kharisma Putra Hafizh., 2010. Perkawinan di Usia Muda http://.agiusa.org.com.2010.perkawinan di.usia.muda Arini., 2009. Pasangan yang Menikah di Usia Muda http://ratna.arini.com.2009. pasangan-yangmenikah-di-usia-muda 60 Rahman., 2011. Pernikahan Dini di Indonesia http://.referensimakalah. com.2011 /08/pernikahan-dini-di-indonesia 1271.html Supryanto., M.Kes. 2011. Konsep Pernikahan Dini http://dr.supryanto.blg. spot.com/2011/02/konsep-pernikahan-dinihtml Supryanto., M.Kes. 2011. Konsep Orangtua http://dr.supryanto. blg.spot.com /2011/02/konsep-orangtua-html. EFEKTIFITAS PERAWATAN LUKA MENGGUNAKAN MADU DENGAN LOMATULLE TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN LUKA DIABETIK Sri Siswati, Syammar Kurnia Nasution Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan Abstrak Diabetes mellitus adalah gangguan hormonal kronik yang menyebabkan glukosa dalam darah berlebih disertai dengan berbagai kelainan metabolik, yang menimbulkan berbagai komplikasi pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan efektivitas perawatan luka menggunakan madu dan lomatulle terhadap proses penyembuhan luka diabetik pasien diabetes mellitus. Desain penelitian yang digunakan adalah quasy-experimental dengan rancangan non randomized control grouppretest-posttest design. Sampel penelitian ini adalah 20 pasien diabetes mellitus yang mengalami luka diabetik derajat I, II dan III yang dibagi menjadi dua kelompok dengan rincian 10 pasien sebagai kelompok eksperimen perawatan luka menggunakan madu dan 10 pasien lainnya sebagai kelompok eksperimen perawatan luka menggunakan lomatulle. Teknik analisa data yang digunakan adalah uji beda parametrik yaitu independen t-test dengan nilai α = 0,01. Hasil uji statistik parametrik menggunakan independent t-test menunjukkan nilai rata-rata selisih skor penilaian luka sebelum dan sesudah dilakukan perawatan luka menggunakan madu adalah 20,2. Rata-rata selisih skor penilaian luka sebelum dan sesudah dilakukan perawatan luka menggunakan Lomatulle adalah 6,6. P value = 0,000 < a (a = 0,01) berada pada nilai kemaknaan p < 0,001, maka hasil yang diperoleh amat sangat bermakna. Secara statistik Ho ditolak, sehingga hipotesis penelitian (Ha) gagal ditolak, artinya ada perbedaan efektivitas perawatan luka menggunakan madu dan lomatulle terhadap proses penyembuhan luka diabetik pasien diabetes mellitus di RS Sembiring Delitua dan RS Grand medistra Lubuk Pakam. Kata kunci : Diabetes Mellitus, Luka Diabetik, Madu dan Lomatulle PENDAHULUAN Diabetes merupakan penyakit tidak menular yang semakin meningkat keberadaannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Diabetes mellitus adalah gangguan hormonal kronik yang menyebabkan glukosa dalam darah berlebih disertai dengan berbagai kelainan metabolik, yang menimbulkan berbagai komplikasi pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron (Mansjoer et al, 2000). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pasien diabetes mellitus diatas usia 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian yaitu pada tahun 2025, jumlah tersebut akan meningkat menjadi 300 juta orang (Sudoyo et al, 2006). Prevalensi diabetes mellitus di dunia mengalami peningkatan yang cukup besar. Pasien diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 8,4 juta dan diperkirakan akan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (WHO, 2008). Berdasarkan data WHO dan Departemen Kesehatan (Depkes) pada tahun 2008, prevalensi pasien diabetes mellitus di Indonesia mencapai 5,7% dari jumlah penduduk atau sekitar 12,4 juta jiwa. Tingginya angka tersebut menjadikan Indonesia peringkat kelima jumlah pasien diabetes mellitus terbanyak di dunia setelah India, Cina, Amerika Serikat dan Pakistan (Sudoyo et al, 2006; Rumah Diabetes Indonesia, 2012). Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi yang tercatat jumlah pasien diabetes mellitus cukup tinggi. Pada tahun 2010 tercatat 8.557 pasien dengan rincian 2.745 pasien diabetes mellitus tipe I dan 5.812 pasien diabetes mellitus tipe II (DINKES SUMUT, 2011). Pada tahun 2015 jumlah pasien diabetes mellitus di Provinsi SUMUT mengalami kenaikan sebesar 3.030 dibanding tahun 2013, tercatat 11.587 pasien dengan rincian 4.204 pasien diabetes mellitus tipe I dan 7.383 pasien diabetes mellitus tipe II. (DINKES SUMUT, 2015). Saat ini Kota Medan memiliki pelayanan kesehatan yang cukup canggih. Sehingga banyak Rumah Sakit besar yang berdiri untuk melayani berbagai penyakit.Salah satu Rumah Sakit tersebut adalah RS Sembiring Delitua dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam. Berdasarkan data rekam medis di RS Sembiring Delitua diperoleh data tahun 2014 rata-rata pertahun jumlah pasien dengan luka diabetik sebanyak 101 orang, dan tahun 2015 meningkat menjadi 125 orang. Sedangkan di RS Grand Medistra Lubuk Pakam diperoleh data tahun 2014 rata-rata pertahun jumlah pasien dengan luka diabetik sebanyak 135 orang, dan tahun 2015 meningkat menjadi 165 orang (Rekam Medik, 2015). 61 Luka diabetik mudah berkembang menjadi infeksi akibat masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman (Sudoyo et al, 2006). Apabila luka diabetik tidak ditangani dengan tepat akan menimbulkan kecacatan bahkan berujung pada amputasi (Misnadiarly, 2006; Iqbal, 2008 dalam Situmorang, 2009). Madu telah digunakan sebagai obat alami untuk berbagai penyembuhan penyakit sejak ribuan tahun yang lalu (Mwipatayi et al., 2004). Orang terdahulu telah menggunakan madu sebagai sebuah terapi pengobatan selama beberapa milenium dan belakangan ini ditemukan kembali sebagai pengobatan yang potensial dalam perawatan luka (Marshall, 2002). Yapuca et al (2007) menyebutkan bahwa madu dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Subrahmanyam et al (1998) tentang perbedaan efektivitas perawatan luka antara menggunakan madu dansilver sulphadiazin menyebutkan bahwa pada hari ke-21, seluruh luka yang dirawat dengan madu mengalami epitelisasi, sedangkan luka yang dirawat dengansilver sulphadiazin hanya 84% yang mengalami epitelisasi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan efektivitas perawatan luka menggunakan madu dan lomatulle terhadap proses penyembuhan luka diabetik pasien diabetes mellitus di RS Sembiring Delitua dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam. Manfaat Penelitian a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi instansi pendidikan keperawatan dalam prosedur perawatan luka dan sebagai referensi baru yang menarik untuk dikembangkan pada penelitian selanjutnya. b. Menggugah keinginan perawat dalam mengembangkan keilmuannya khususnya dalam perawatan luka serta dapat dijadikan sebagai informasi dan studi pustaka tambahan untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan perawatan luka menggunakan madu dan lomatulle terhadap proses penyembuhan luka. c. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat terutama bagi pasien diabetes mellitus dengan luka diabetik untuk dapat menggunakan madu atau lomatulle dalam melakukan perawatan luka. TINJAUAN PUSTAKA Diabetes mellitus adalah gangguan hormonal kronik yang menyebabkan glukosa dalam darah berlebih disertai dengan berbagai kelainan metabolik, yang menimbulkan berbagai komplikasi pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron (Mansjoer et al, 2000). 62 Luka diabetik adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan pada saraf, pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Apabila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi (Prabowo, 2007 dalam Situmorang, 2009). Gangren adalah luka diabetik yang ditandai dengan kematian jaringan dan umumnya diikuti dengan kehilangan preparat vaskular (nutrisi) dan diikuti dengan invasi bakteri dan pembusukan (Dorland, 2002). Beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka, antara lain: nutrisi, kelembaban, usia, gangguan oksigenasi, gangguan suplai darah dan pengaruh hipoksia, eksudat yang berlebihan, jaringan nekrotik, krusta yang berlebihan dan benda asing, perawatan luka, obat-obatan, stres luka. Madu Madu adalah produk alami dari lebah jenis Apis dan Meliponinae. Lebah- lebah mengumpulkan nektar dari bunga tumbuh-tumbuhan, nektar kemudian diproses secara enzimatik In Vivo yang kedua kegiatan tersebut yaitu pengumpulan dan proses pembuatan madu dilakukan di dalam sarang lebah (Namias, 2003). Dalam madu terdapat kandungan zat gula berupa fruktosa dan glukosa yang merupakan jenis gula monosakarida yang mudah diserap oleh usus. Selain itu, madu mengandung vitamin, mineral, asam amino, hormon, antibiotik dan bahan-bahan aromatik. (Nuryati, Tanpa Tahun). Pada umumnya madu tersusun atas 17,1% air, 82,4% karbohidrat total, 0,5% protein, asam amino, vitamin dan mineral. Selain asam amino nonesensial ada juga asam amino esensial di antaranya lysin, histadin, triptofan, dll. Karbohidrat yang terkandung dalam madu termasuk tipe karbohidrat sederhana. Karbohidrat tersebut utamanya terdiri dari 38,5% fruktosa dan 31% glukosa. Sisanya, 12,9% karbohidrat yang tersusun dari maltosa, sukrosa, dan gula lain (Intanwidya, 2005; Khan et al, dalam Kartini, 2009). Lomatulle Lomatulle adalah kasa steril yang telah direndam dalam antibiotik (Asnamusad, 2008). Lomatulle adalah kasa yang diresapi dengan salep yang mengandung lanoparaffin framycetin sulphate 1%. Lomatulle merupakan antibiotik untuk organisme yang sensitif terhadap framycetin (Carville, 1998). Metode Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian quasy-experimental dengan rancangan non randomized control grouppretest-posttest design. Non randomized control grouppretest-posttest design adalahrancangan yang tidak ada kelompok pembanding (kontrol) dan tidak dilakukan secara random namun sudahdilakukan observasi pertama(pretest) yang memungkinkan peneliti dapat mengujiperubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (Notoatmodjo, & Fathoni, 2010). yang terdiri dari 10 orangkelompok perlakuan dengan madu dan 10 orang kelompok perlakuan dengan lomatulle. Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling dengan pendekatan accidental samplingyaitu teknik untuk menentukan sampel daripopulasi dengan pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki oleh peneliti(Setiadi, 2007). Peneliti memilih sampel penelitian yang memiliki variasi derajat luka diabetik sama pada masing-masing kelompok. Lokasi penelitian dilaksanakan di RS Sembiring Delitua dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam. Pelaksanaan intervensi dan pengambilan data pasien dilaksanakan di RS saat melakukan kontrak penelitian. Madu Luka Diabetik Perawatan Luka Analisis Perbedaan Lomatulle a. Ukuran Luka b. Kedalaman Luka c. Lama Sembuh Populasi dalam penelitian ini berjumlah 125 orang di RS Sembiring Delitua dan 165 orang di RS Grand Medistra Lubuk Pakam.Sampel pada penelitian ini diperoleh pada saat dilakukannya penelitian dengan pengambilan accidental sampling yaitu sebanyak 20 orang HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Golongan Jenis Kelamin, LokasiLuka dan Derajat Luka Diabetik pada Kelompok Madu dan KelompokLomatulle Karakteristik Responden Jenis Kelamin a. Laki-laki b. perempuan Total Lokasi Luka a. Ekstremitas atas b. Ekstremitas bawah Total Derajat Luka Diabetik a. Derajat I b. Derajat II c. Derajat III Total Kelompok Madu Jumlah (%) Kelompok Lomatulle Jumlah (%) 6 4 10 60 40 100 8 2 10 80 20 100 0 10 10 0 100 100 0 10 10 0 100 100 2 4 4 10 20 40 40 100 2 4 4 10 20 40 40 100 Sumber: Data Primer (2016) Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Kadar Glukosa DarahSewaktu a. b. Variabel Usia Responden (tahun) Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dl) 1. KGD I (hari kerja ke-1) 2. KGD II (hari kerja ke-8) 3. KGD III (hari kerja ke-15) Mean 59,4 SD 5,98517 Min-Max 46-67 302,7 277,6 267,3 65,16654 111,02772 102,53677 214-390 117-438 159-437 Sumber: Data Primer (2016) Tabel 5.3 Distribusi Skor Luka Diabetik Sebelum dan Sesudah Perawatan Luka MenggunakanMadu dan Lomatulle Parameter 1. Ukuran Luka a. 0 = P dan/atau L tetap b. 1 = P dan/atau L mengecil < 0,5 cm c. 2 = P dan/atau L mengecil 0,5-1 cm d. 3 = P dan/atau L mengecil 1-1,5 cm e. 4 = P dan/ atau L mengecil >1,5 cm Total 2. Kedalaman Luka a. 0 = mengenai otot, tulang / tendon b. 1 = nekrosis yang tidak jelas c. 2 = tidak melewati fascia dibawahnya d. 3 = epidermis dan/ atau dermis hilang e. 4 = eritema pada kulit utuh Total Madu Sebelum Sesudah Jlh/ % Jlh/ % Lomatulle Sebelum Sesudah Jlh/ % Jlh/ % 10/ 100 0 0 0 0 10 0 0 0 2/ 20 8/ 80 10 10/ 100 0 0 0 0 10 2/ 20 0 0 2/ 20 6/ 60 10 4/ 40 0 6/ 60 0 0 10 2/ 20 0 6/ 60 2/ 20 0 10 6/ 60 0 4/ 40 0 0 10 4/ 40 0 6/ 60 0 0 10 63 3. Jenis Jaringan Nekrotik a. 0 = eschar sangat lengket b. 1 = eschar lengket c. 2 = jaringan kuning/ putih dan lengket d. 3 = jaringan putih/ kuning dan tidak lengket e. 4 = tidak terlihat nekrotik Total 4. Jumlah Jaringan Nekrotik a. 0 = 75% hingga 100% b. 1 = > 50% dan < 75% c. 2 = 25% hingga 50% d. 3 = < 25% e. 4 = tidak terdapat nekrotik Total 5. Jenis Eksudat a. 0 = sangat purulent b. 1 = purulent c. 2 = serosa d. 3 = serosanguinosa e. 4 = tidak ada atau disertai berdarah Total 6. Jumlah Eksudat a. 0 = banyak b. 1 = sedang c. 2 = sedikit d. 3 = sangat sedikit e. 4 = tidak ada Total 7. Warna kulit di sekitar luka a. 0 = hitam atau hiperpigmentasi b. 1 = merah gelap atau ungu c. 2 = putih pucat atau hipopigmentasi d. 3 = merah terang dan/atau pucat e. 4 = kulit normal Total 8. Edema Jaringan Perifer a. 0 = pitting edema ≥ 4 cm b. 1 = pitting edema < 4 cm c. 2 = non-pitting edema ≥ 4 cm d. 3 = non-pitting edema < 4 cm e. 4 = sedikit pembengkakan Total 9. Granulasi Jaringan a. 0 = tidak ada jaringan granulasi b. 1 = merah muda ≤ 25% luka c. 2 = merah terang < 75% &> 25% d. 3 = merah terang 75% hingga 100% e. 4 = kulit utuh Total 10. Epitelisasi Jaringan a. 0 = < 25% b. 1 = 25% hingga < 50% c. 2 = 50% hingga < 75% d. 3 = 75% hingga 100% e. 4 = permukaan luka utuh Total P = panjang luka dan L = lebar luka Sumber: Data Primer (2016) 64 2/ 20 0 6/ 60 2/ 20 0 10/ 100 0 0 0 2/ 20 8/ 80 10/ 100 0 2/ 20 6/ 60 2/ 20 0 10/ 100 0 0 6/ 60 4/ 40 0 10/ 100 4/ 40 4/ 40 0 2/ 20 0 10/ 100 0 0 0 2/ 20 8/ 80 10/ 100 2/ 20 0 6/ 60 2/ 20 0 10/ 100 0 2/ 20 4/ 40 4/ 40 0 10/ 100 4/ 40 0 2/ 20 4/ 40 0 10/ 100 0 0 2/ 20 0 8/ 80 10/ 100 2/ 20 2/ 20 6/ 60 0 0 10/ 100 2/ 20 0 2/ 20 6/ 60 0 10/ 100 4/ 40 0 2/ 20 4/ 40 0 10/ 100 0 0 4/ 40 0 6/ 60 10/ 100 2/ 20 0 6/ 60 2/ 20 0 10/ 100 2/ 20 0 4/ 40 4/ 40 0 10/ 100 0 8/ 80 0 0 4/ 40 0 0 4/ 40 0 0 2/ 20 4/ 40 0 2/ 20 10/ 100 0 6/ 60 10/ 100 0 6/ 60 10/ 100 0 4/ 40 10/ 100 8/ 80 0 2/ 20 0 0 10/ 100 2/ 20 0 4/ 40 0 4/ 40 10/ 100 2/ 20 0 4/ 40 2/ 20 2/ 20 10/ 100 4/ 40 0 2/ 20 0 4/ 40 10/ 100 2/ 20 8/ 80 0 0 0 0 0 10/ 100 0 0 4/ 40 0 0 10/ 100 0 6/ 60 0 10/ 100 0 10/ 100 0 10/ 100 0 10/ 100 10/ 100 0 0 0 0 10/ 100 2/ 20 2/ 20 0 6/ 60 0 10/ 100 10/ 100 0 0 0 0 10/ 100 2/ 20 0 0 8/ 80 0 10/ 100 Tabel 5.4 Distribusi Rata-rata Selisih Skor Luka Diabetik Sebelum dan SesudahPerawatan Luka antara Menggunakan Madu danLomatulle Variabel Perawatan Luka Madu Lomatulle Mean SD SE p value N 20,20 6,60 3,63 2,96 1,62 1,32 0,000 10 10 Sumber: Data Primer (2016) b. Pembahasan Karakteristik responden penelitian (jenis kelamin responden) pada tabel5.1 menunjukkan bahwa 14 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 6 perempuan.Peneliti menganalisa bahwa pasien laki-laki memiliki aktivitas lebih beratdaripada pasien perempuan. Aktivitas sebanding dengan tekanan, semakin tinggiaktivitas pasien semakin tinggi pula tekanan yang diperoleh, sehingga pasien laki-laki memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami luka diabetik. Pendapattersebut didukung oleh teori yang menyatakan bahwa tekanan dan kekuatangesekan akan mengganggu sirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksiaserta memperbesar pembuangan metabolik yang dapat menyebabkan nekrosis(Morison, 2004). Seluruh pasien memiliki luka diabetik di ekstremitas bawah (kaki). Hal inisesuai dengan pendapat Riyadi dan Sukarmin (2008) dan Iqbal (2008 dalamSitumorang, 2009) yang menyatakan bahwa komplikasi yang sering terjadi padapasien diabetes mellitus adalah perubahan patologis anggota gerak ekstremitasbawah akibat gangguan sirkulasi, penurunan sensasi dan hilangnya fungsi sarafsensorik yang bisa menyebabkan luka atau tidak terkontrolnya infeksi sehinggadapat mengakibatkan luka gangren. Peneliti berpendapat bahwa anggota tubuh ekstremitas bawah pasiendiabetes mellitus memiliki risiko yang lebih besar mengalami luka diabetikdibandingkan anggota tubuh ektremitas atas. Selain itu, penurunan sensasi rasapada kaki dan bagian tubuh lainya akan meningkatkan resiko terjadinya luka yangtidak disadari oleh pasien. Pasien diabetes mellitus pada masing-masing kelompok (baik kelompokmadu maupun kelompoklomatulle) yang memiliki luka diabetik derajat Isejumlah 2 orang, derajat II sejumlah 4 orang dan derajat III sejumlah 4 orang.Variasi derajat luka diabetik sama pada masing-masing kelompok perawatan luka.Hal ini sesuai dengan teknik pemilihan sampel yang digunakan oleh peneliti.Peneliti memilih sampel penelitian yang memiliki variasi derajat luka diabetiksama pada masing-masing kelompok. Derajat luka diabetik responden penelitianditentukan berdasarkan klasifikasi Wagner. Wagner mengklasifikasikan lukadiabetik berdasarkan luas dan kedalaman luka. Luka diabetik derajat I yaituterdapat ulkus superfisial, terbatas hanya pada kulit. Luka diabetik derajat II, yaituulkus yang dalam sampai tendon/tulang. Luka diabetik derajat III, yaitu ulkusdengan atau tanpa osteomilitis (Sudoyoat al,2006; Scemons dan Elston, 2009). Tabel 5.2 menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien adalah 59,4 tahun, usiapaling muda 46 tahun sedangkan usia paling tua 67 tahun. Menurut Riyadi danSukarmin (2008), salah satu faktor penyebab resistensi insulin pada diabetesmellitus adalah usia. Setelah usia 40 tahun manusia akan mengalami penurunanfisiologis yang sangat cepat, penurunan ini akan berisiko pada penurunan fungsipankreas untuk memproduksi insulin. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa darahsewaktu pada pengukuran pertama adalah 302,7 mg/dl, KGD paling rendah 214mg/dl dan KGD paling tinggi 390 mg/dl. Rata-rata kadar glukosa darah sewaktupada pengukuran kedua adalah 277,6 mg/dl, KGD paling rendah 117 mg/dl danKGD paling tinggi 438 mg/dl. Rata-rata kadar glukosa darah sewaktu padapengukuran ketiga adalah 267,3 mg/dl, KGD paling rendah 159 mg/dl dan KGDpaling tinggi 437 mg/dl. Diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan berdasarkan keluhan dangejala khas yang dialami pasien ditambah hasil pemeriksaan kadar glukosa darahsewaktu lebih dari 200 mg/dl atau kadar glukosa darah puasa sama dengan ataulebih dari 126 mg/dl (Mansjoeret al,2000). Melihat rata-rata kadar glukosa darahsewaktu pada tiga kali pengukuran menunjukkan rata-rata kadar glukosa darahresponden melebihi batas normal (> 200 mg/dl). Glukosa darah yang normal akan memberikan suasana yang kondusif bagiviskositas darah, perfusi oksigen dan imunitas serta nutrisi ke dalam sel otot, hatidan lemak (Supriyatin, Saryono, dan Latifah, 2007).Sirkulasi darah yang buruk pada pembuluh darah besar dapatmemperlambat penyembuhan luka. Riyadi dan Sukarmin (2008); Iqbal (2008dalam Situmorang, 2009) menyebutkan bahwa akibat gangguan sirkulasi,penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf sensorik bisa menyebabkanterjadinya luka diabetik. Selain itu, infeksi yang tidak terkontrol dapat berujungpada timbulnya luka gangren. Secara umum, sifat penyembuhan pada semua jenis luka sama denganvariasinya yang bergantung pada lokasi luka, tingkat keparahan luka, dan luasatau ukuran luka. Proses penyembuhan luka melibatkan integrasi proses fisiologis.Proses penyembuhan luka juga dipengaruhi oleh kemampuan sel dan jaringantubuh dalam melakukan regenerasi ke struktur normal (Potter dan Perry, 2005b).Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan apabila mengalami fase responinflamasi akut, fasedestruktif, fase proliferatif dan fase maturasi (Morison, 2004).Selain itu juga disertai dengan berkurangnya luas luka, berkurangnya jumlaheksudat, dan jaringan luka semakin membaik (NPUAP, 2009). Secara deskriptif status luka diabetik yang dirawat menggunakan madumenunjukkan hasil berbeda dibandingkan status luka diabetik yang 65 dirawatmenggunakanlomatulle.Hal ini sangat tampak pada hasil penilaian status lukapada semua parameter. Pada kelompok perawatan luka menggunakan madu yangmengalami pengecilan panjang dan/atau lebar luka > 1,5% sebanyak 80% pasiendan tidak ada pasien yang memiliki ukuran luka tetap. Sedangkan pada kelompokperawatan luka menggunakanlomatullehanya 60% yang mengalami pengecilanpanjang dan/atau lebar luka > 1,5 cm dan 20% pasien tidak mengalami perubahanukuran luka (ukuran luka statis). Observasi parameter kedalaman luka menunjukkan bahwa 20% pasienyang dirawat menggunakan madu memiliki kedalaman luka sebatas hilangnyasebagian ketebalan kulit, baik lapisan epidermis dan/atau dermis. Pasien yangdirawat menggunakanlomatullebelum ada yang memiliki kedalaman lukasebatas hilangnya sebagian ketebalan kulit, baik epidermis dan/atau dermis.Sebanyak 20% pasien yang dirawat menggunakan madu memiliki kedalaman lukayang mengalami kerusakan hingga jaringan otot, tulang atau struktur penyanggalainnya. Tetapi 40% pasien yang dirawat menggunakanlomatullemasih memilikikedalaman luka yang mengalami kerusakan hingga jaringan otot, tulang ataustruktur penyangga lainnya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa pengecilan ukuran dankedalaman pada luka diabetik yang dirawat menggunakan madu salah satunyadisebabkan oleh adanya pertumbuhan jaringan granulasi dan jaringan epitel.Granulasi pada luka yang dirawat menggunakan madu tumbuh dengan baikkarena madu dapat memberikan lingkungan yang lembab untuk luka. Hal tersebutsesuai dengan pendapat Molan (2006) yang menyatakan bahwa rata-ratapenyembuhan yang sangat cepat terlihat ketika luka dibalut menggunakan balutanyang diolesi madu karena madu dapat menciptakan kelembaban yang tidakdipengaruhi lingkungan. Berdasarkan teori yang ada, lomatullehanya bertindak sebagai antibiotik.Peneliti berpendapat bahwa perubahan ukuran dan kedalaman luka diabetik yangdirawat menggunakan lomatulle disebabkan oleh penurunan edema pada luka, seiring dengan berkurangnya edema tersebut maka tepi luka akan tertarik ke pusatluka dan ukuran luka tampak mengecil. Hal inilah yang membedakan mekanismeperubahan ukuran luka antara yang dirawat menggunakan madu dan lomatulle.Madu bekerja dengan sifatnya yang lembab sehingga mendukung pertumbuhanjaringan granulasi dan epitelisasi yang dapat mendukung pengecilan ukuran luka.Lomatullebekerja dengan mengurangi edema pada luka, sehingga ukuran lukatampak mengecil. Gambaran jenis jaringan nekrotik menunjukkan sebagian besar (80%)pasien yang dirawat menggunakan madu tidak memiliki jaringan nekrotik.Sebagian kecil (20%) pasien memiliki jaringan nekrotik berupa jaringan yangtidak dapat hidup berwarna putih dan/atau jaringan yang mengelupas berwarnakuning dan tidak lengket. Pada kelompok perawatan luka menggunakanlomatullemenunjukkan 66 bahwa40% pasien masih memiliki jaringan nekrotik berupajaringan yang tidak dapat hidup berwarna putih dan/atau jaringan yangmengelupas berwarna kuning dan tidak lengket. Gambaran jumlah jaringan nekrotik menunjukkan bahwa sebagian besar(80%) pasien yang dirawat menggunakan madu tidak memiliki jaringan nekrotikdan hanya sebagian kecil (20%) pasien yang memiliki jaringan nekrotik denganjumlah < 25% dari dasar luka. Pada kelompok perawatan luka menggunakan lomatulle menunjukkan sebagian (40%) pasien memiliki jaringan nekrotik < 25%dasar luka dan sebagian kecil (20%) pasien lainnya masih memiliki jaringannekrotik > 50% dan < 75% luka. Peneliti berasumsi bahwa efek kelembaban yang ditimbulkan oleh madupada jaringan nekrotik akan melunakkan jaringan nekrotik tersebut sehinggajaringan nekrotik pada luka yang dirawat menggunakan madu lebih mudahdilakukan debridemen dibandingkan dengan jaringan nekrotik pada luka yangdirawat menggunakan lomatulle. Disisi lain, luka yang dirawat menggunakan lomatulle cenderung menimbulkan terbentuknya jaringan nekrotik baru yang lengket dan berwarnaputih pada kulit di sekitar luka. Peneliti menemukan jaringan nekrotik ini pada 3pasien yang dirawat menggunakan lomatulle. Peneliti berasumsi bahwa jaringanputih tersebut adalah penebalan lapisan stratum korneum atau hyperkeratosis. Scemons dan Elston (2009) menyebutkan bahwa hyperkeratosis adalah salah satukondisi yang tidak normal dari fase epitelisasi dalam proses penyembuhan lukadan dapat berujung pada pembentukan lapisan tanduk. Gambaran jenis eksudat luka diabetik yang dirawat menggunakan madudiperoleh bahwa sebagian besar pasien tidak mengeluarkan eksudat atau hanyadisertai darah dan sebagian kecil pasien masih mengeluarkan eksudat serosa.Untuk luka yang dirawat menggunakanlomatulle,sebagian besar pasien masihmemproduksi eksudat jenis serosanguinosa dan sebagian kecil mengeluarkaneksudat yang sangat purulen. Parameter jumlah eksudat pada kelompok perawatanluka menggunakan madu diperoleh sebagian besar pasien tidak mengeluarkaneksudat dan hanya sebagian kecil pasien masih menghasilkan eksudat denganjumlah yang sedikit. Sebagian pasien yang dirawat menggunakanlomatullemenghasilkan eksudat dengan jumlah yang sangat sedikit dan sebagian kecilpasien lainnya masih menghasilkan eksudat dalam jumlah yang banyak. Kandungan air pada madu yang digunakan dalam perawatan luka sebesar18,25% dan AW sebesar 0,58. Hal ini tidak mendukung pertumbuhan kebanyakanbakteri yang membutuhkan AW sebesar 0,940,99 (Bansalet al,2005). Madu bekerja sebagai antibiotik alami yang mampu mengalahkan bakteri.Madu bersifat sangat asam sehingga tidak cocok untuk pertumbuhan danperkembangbiakan bakteri. Madu menghasilkan hidrogen peroksida yangbertindak sebagai antiseptik (Rostita, 2008). Madu yang digunakan dalampenelitian ini memiliki pH 3,95 dan hidrogen peroksida sebesar 0,038 mmol/l.Menurut Molan (1992 dalam Jeffrey dan Echazaretta, 1997) dan Bansalet al(2005) bakteri patogen hanya bisa hidup pada pH antara 4,0-4,5 dan pertumbuhanbakteri dihambat oleh 0,02-0,05 mmol/l hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida pada madu dapat menghambat sekitar 60 jenis bakteriaerob maupun anaerob termasuk bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.Begitupun antioksidan fenolik yang terkandung dalam madu diketahui dapatmenghambat bakteri gram positif maupun gram negatif (Molan, 1992 dalamJeffrey dan Echazaretta, 1997). Hasil yang diperolehini kurang sesuai dengan teori yang ada. Carville (1998) menyebutkan bahwalomatulleadalah antibiotik spektrum luas. Namun beberapa luka yang dirawatmenggunakanlomatullemasih memproduksi eksudat, diantara berupaeksudatyang purulen. Lambatnya proses penyembuhan luka yang dirawatmenggunakanlomatullesalah satunya disebabkan oleh produksi eksudat tersebut. Studi proses penyembuhan luka memperlihatkan bahwa lingkunganlembab lebih diperlukan dalam penyembuhan luka dibandingkan denganlingkungan kering.Lingkungan yang lembabmerupakan hal yang paling penting untuk penyembuhan luka karena lingkunganlembab mempengaruhi kecepatan epitelisasi (Potter dan Perry, 2005b). Semakincepat pertumbuhan jaringan granulasi dan jaringan epitel maka luka akan semakincepat mengalami penyembuhan. Perbedaan yang sangat signifikan antara luka yang dirawat menggunakan madu dan lomatulle terlihat pada parameter jenis dan jumlah jaringan nekrotikserta jenis dan jumlah eksudat. Setelah luka dirawat menggunakan madu selama15 hari, sebagian besar pasien sudah tidak memiliki jaringan nekrotik dan tidak menghasilkan eksudat. Dengan waktu perawatan luka yang sama (15 hari),seluruh luka pasien yang dirawat menggunakanlomatullemasih memilikijaringan nekrotik dan menghasilkan eksudat, diantaranya berupa eksudat yangsangat purulen dan berbau. Secara keseluruhan luka diabetik yang dirawat menggunakan madutampak lebih membaik dan dalam waktu yang sama (15 hari) luka mengalamiproses penyembuhan yang lebih cepat. Hal ini disebabkan karena madu tidakhanya sebagai antibakteri, tetapi juga sebagai aniinflamasi, menstimulasi danmempercepat penyembuhan luka. Sedangkanlomatullehanya sebagai antibiotik(antibakteri) yang dapat menangani infeksi pada luka serta mengurangi traumapada luka. Perbedaan efektivitas perawatan luka menggunakan madu danlomatulleterhadap proses penyembuhan luka diabetik dapat dilihat setelah hasil selisihpenilaian sebelum dan sesudah perawatan luka antara menggunakan madu danlomatullediuji menggunakanindependent t-test.Hasil uji statistik menggunakanindependent t-testdiperoleh nilai rata-rata selisih skor penilaian luka sebelum dansesudah dilakukan perawatan luka menggunakan madu adalah 20,2. Rata- rataselisih skor penilaian luka sebelum dan sesudah dilakukan perawatan lukamenggunakanlomatulle adalah 6,6.P value =0,000 < a (a = 0,01) berada padanilai kemaknaan p < 0,001, maka hasil yang diperoleh amat sangat bermakna(Supadi, 2000). Secara statistik dapat disimpulkan bahwa ada perbedaanefektivitas perawatan luka menggunakan madu danlomatulleterhadap prosespenyembuhan luka diabetik pasien diabetes mellitus di RS Sembiring Delitua dan Grand Medistra Lubuk Pakam. Kesimpulan a. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki, seluruh respondenmemiliki luka diabetik di ektremitas bawah (kaki) dengan derajat I, II dan III,rata-rata usia responden 59,4 tahun, rata-rata kadar glukosa darah sewaktu padatiga kali pengukuran berturut-turut sebesar 302,7 mg/dl, 277,6 mg/dl dan 267,3mg/dl; b. Ada perbedaan efektivitas perawatan luka menggunakan madu dan lomatulle terhadap proses penyembuhan luka diabetik pasien diabetes mellitus di RS Sembiring Delitua dan Grand Medistra Lubuk Pakam (p value= 0,000 < a) Saran a. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai teoridan konsep tentang perawatan luka diabetik antara menggunakan madu danlomatulle.Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk lebih menyempurnakan pembahasan dan penggunaan agen alernatif lain untuk perawatan luka yang dapatmempercepat proses penyembuhan luka. b. Menjadi referensi tambahan bagi perawatyang bergerak di bidang pendidikan terutama bidang keperawatan medikal bedahuntuk dijadikan sebagai suatu prosedur baru dalam penatalaksanaan luka secarakomplementer. c. Dapat dijadikan sebagai langkah awal penelitian selanjutnya untuk mengembangkan asuhan keperawatan berkaitan dengan perawatan luka secara konvensional, modern maupun komplementer yang nantinya dapat memperkaya keilmuanperawat khususnya dalam bidang perawatan luka. d. Masyarakat diharapkan dapat menggunakan madu untuk merawat lukakhususnya luka diabetik untuk mempercepat penyembuhan dan mencegahsemakin parahnya luka. DAFTAR PUSTAKA Carville, K. 1998. Wound Care Manual. 3rd Edition. Western Australia: Silver Chain Foundation. Cooper, R. 2007. ”Honey in Wound Care: Antibacterial Properties”. GMS Krankenhaushygiene Interdisziplinar . Vol 2 (2): 1863-5245. 67 DINKES Sumut. 2010. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2010. Surabaya: Dinas Kesehatan Sumatera Utara. Dorland, W.A.N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Alih Bahasa oleh Huriawati Hartanto et al. Jakarta: EGC. Intanwidya, Y. 2005. Analisa Madu dari Segi Kandungannya Berikut Khasiatnya Masing2. [serial online]. http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg01046.html. [07 Desember 2015] . Mansjoer, A., et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Ulcer, Infeksi, Ganggren . Jakarta: Populer Obor. Morison, M.J. 2004. Manajemen Luka. Alih Bahasa oleh Tyasmono A.F. Jakarta: EGC. Mwipatayi, B.P., et al. 2004. “The Use of Honey in Chronic Leg Ulcers: A Literature Review” . Primary Intention. Vol 12 (3): 107-108, 110-112. Namias, N. 2003. Honey in The Management of Infection . Miami: De Witt Dughtry Family Departement of Surgery, University School of Medicine. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan . Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Nuryati, S. (Tanpa Tahun). “Status dan Potensi Pasar Madu Organis Nasional dan Internasional”. Tidak Diterbitkan. Laporan Penelitian. Bogor: Aliansi Organis Indonesia. Potter, P.A., dan Perry, A.G. 2005a. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, 68 dan Praktik . Vol. 1. Edisi 4. Alih Bahasa oleh Renata Komalasari et al . Jakarta: EGC. Scemons, D., dan Elston, D. 2009. Nurse to Nurse Wound Care: Expert Interventions . United States of America: Mc Graw Hill. Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sudoyo, A.W., et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: FK Universitas Indonesia. Supadi, et al. 2000. Statistika Kesehatan: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: FK UGM. Supriyatin, dkk. 2007. ”Efektivitas Penggunaan Kompres Metronidazol dan NaCl 0,9% terhadap Proses Penyembuhan Luka Diabetik di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto”. The Soedirman Journal of Nursing. Vol. 2 (1): 11-16. Taormina, P.J., Niemira, B.A., dan Beuchat, L.R. 2001. “Inhibitory Activity of Honey Against Foodborne Pathogens as Influenced by The Presence of Hydrogen Peroxide and Level of Antioxidant Power”. Internasional Journal of Food Mycrobiology. Vol 69: 217-225. WHO. 2008. Data and Statistics of Diabetes Mellitus. [serial online]. http://www.who.int/topics/diabetes_mellitus/en/ [13 Desember 2015]. Yapuca et al. 2007. “Effectiveness of a Honey Dressing for Healing Pressure Ulcer”. Journal of Wound, Ostomy, and Continence Nursing (WOCN). Vol (34). AKTIVITAS SEHARI-HARI PASIEN STROKE NON HEMORAGIK DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2016 Solihuddin Harahap, Erika Siringoringo Jurusan Keperawatan Poltekkes Medan Abstrak Stroke Non Hemoragik adalah stroke karena pecahnya pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah otak dan merusaknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada pasien stroke non hemoragik di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien stroke non hemoragik yang dirawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan dari tahun 2015 sampai januari 2016 yang berjumlah 248 orang. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 37 orang dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen pengkajian menggunakan barthel index berupa lembar observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri dalam melakukan aktivitas makan sebanyak 19 orang (51,4%),dan mayoritas pasien stroke non hemoragik membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas mandi sebanyak 25 orang (67,6%), mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri dalam perawatan diri sebanyak 26 orang (70,3%), mayoritas pasien stroke non hemoragik membutuhkan bantuan dalam berpakaian sebanyak 21 orang (56,8%), mayoritas pasien stroke non hemoragik mengalami kontinensia dalam melakukan aktivitas buang air kecil sebanyak 22 orang (59,5%), mayoritas pasien stroke non hemoragik mengalami kontinensia dalam melakukan aktivitas buang air besar sebanyak 25 orang (67,6%), mayoritas pasien stroke non hemoragik membutuhkan bantuan dalam penggunaan toilet sebanyak 21 orang (56,8%), mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri dalam melakukan aktivitas transfer sebanyak 16 orang (43,2%), dan sebanyak 20 orang (54,1%) pasien stroke non hemoragik mandiri dalam melakukan aktivitas mobilitas.Dari hasil penelitian ini bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik mengalami ketergantungan ringan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yaitu sebanyak 43,2% dengan frekuensi 16. Dengan demikian diharapkan kepada pasien untuk memiliki motivasi yang kuat agar selalu berlatih menggerakkan bagian tubuhnya agar terbiasa dan tidak kaku. Kata kunci : Stroke Non Hemoragik, Aktivitas PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk yang memerlukan gerak dan berpindah tempat. Aktivitas pergerakan normal sangat dibutuhkan dalam menunjang aktivitas sehari-hari. Pergerakan yang dilakukan baik secara volunter maupun involunter. Gangguan gerak pada manusia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, dimana salah satunya adalah stroke. Stroke merupakan gangguan serebrovaskular utama dan penyebab kecacatan serius menetap nomor satu di seluruh dunia. Meskipun upaya pencegahan telah membawa penurunan dalam angka kejadian selama beberapa tahun terakhir, stroke masih merupakan penyebab kematian utama setelah jantung dan kanker (Cahyati, 2011) Orang yang menderita stroke, biasanya mengalami banyak gangguan fungsional , seperti gangguan motorik, psikologis atau perilaku,dimana gejala yang paling khas adalah hemiparesis, kehilangan kemampuan sesisi, hilang sensasi wajah,kesulitan bicara dan kehilangan penglihatan sesisi (Irfan, 2010). Data dari 28 rumah sakit di Indonesia, pasien yang mengalami gangguan motorik sekitar 90,5% (Misbach & Soertidewi, 2011). Semua keadaan ini akan menyebabkan gangguan pada aktivitas sehari-hari penderita. Oleh karena itu diperlukan program rehabilitasi medik dengan tujuan utama dapat mencapai kemandirian dalam aktivitas sehari-hari. Menurut World Health Organitation (WHO), terdapat 15 juta orang mengalami stroke setiap tahun dan merupakan penyebab kematian kedua diatas usia 60 tahun dan penyebab kelima pada usia 15-59 tahun. Setiap tahun, hampir 6 juta orang meninggal karena stroke dan merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang tanpa membedakan usia, jenis kelamin, dan etnis (WHO, 2010). Stroke menduduki urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian setelah penyakit jantung koroner dan kanker di negara-negara berkembang. Negara berkembang juga menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke di seluruh dunia. Dua pertiga penderita stroke terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Terdapat sekitar 13 juta korban stroke baru setiap tahun. Menteri kesehatan Republik Indonesia menjelaskan, berdasarkan data hasil Riset Keperawatan 69 (2010) dari tahun 2000 hingga 2010 menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama hampir di seluruh rumah sakit di Indonesia. Sementara data Perhimpunan Rumah Sakit (PERSI) tahun 2012 menunjukkan bahwa penyebab kematian utama di rumah sakit akibat stroke adalah sebesar 15%, artinya 1 dari 7 kematian disebabkan oleh stroke dengan tingkat kecacatan mencapai 65% (DepKes, 2013). Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang juga mengalami peningkatan prevalensi penyakit stroke. Pernyataan di atas di dukung dengan data survey yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam profil kesehatan Indonesia (2013) menunjukkan di kota Medan terdapat peningkatan prevalensi penyakit stroke dari 7 per 1000 penduduk pada tahun 2007 menjadi 10 per 1000 penduduk di tahun 2013. Stroke dibagi menjadi dua kategori yaitu stroke hemoragik dan stroke iskemik atau stroke non hemoragik. Stroke hemoragik adalah stroke karena pecahnya pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah otak dan merusaknya (Pudiastuti,2011). Stroke non hemoragik adalah suatu gangguan peredaran darah otak akibat tersumbatnya pembuluh darah tanpa terjadi suatu perdarahan, hampir sebagian besar pasien atau 83% mengalami stroke non hemoragik (Wiwit, 2010), sehingga pada penelitian ini saya mengambil kasus stroke non hemoragik. Kejadian stroke non hemoragik dapat menimbulkan kecacatan bagi penderita yang mampu bertahan hidup. Salah satunya adalah ketidakmampuan perawatan diri akibat kelemahan pada ekstremitas dan penurunan fungsi mobilitas yang dapat menghambat pemenuhan aktivitas kehidupan seharihari (AKS). Aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (Alvin, 2013) Menurut penelitian Milikan (2003) mengemukakan kira-kira 50% penderita stroke non hemoragik menderita sekuele deficit neurologik yang bermakna yang membatasi kemandirian dan 25% sisanya tergantung total pada orang lain. Bell (1842) dalam Thomas (2003) mengemukakan 67% penderita penyandang disabilitas permanen dan 31% tergantung total dalam melakukan Aktivitas sehari-hari. Tingkat keberhasilan penderita stroke non hemoragik dalam melakukan aktivitas sehari-hari dapat dinilai dengan kemampuan merawat dirinya sendiri. Aktivitas sehari-hari yang rutin dilakukan merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk dapat merawat dirinya secara mandiri, yang meliputi makan, mandi, perawatan diri, berpakaian, buang air kecil, buang air besar, penggunaan toilet, berpindah, dan mobilitas. Kebutuhan fungsional sehari-hari dalam bentuk aktivitas fisik, kognitif dan emosi diusahakan untuk bisa mencapai pemenuhan didalam memaksimalkan kualitas hidup, sehingga harus ada keseimbangan antara perbaikan kesehatan dan fungsional individu. 70 Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan di dapat jumlah data penderita penyakit stroke pada periode Januari-Desember 2015 sebanyak 248 penderita. Sekitar 87 orang atau 35% penderita stroke yang mengalami kelumpuhan dini pada tungkai bawah tidak kembali ke fungsi yang berguna dan tidak dapat berjalan tanpa bantuan fisik lengkap. Dan 161 orang atau 65% penderita stroke tidak dapat melakukan aktivitas yang biasa dilakukannya dengan tangan yang terkena dampak stroke. Berdasarkan Pendahuluan di atas, peneliti ingin meneliti gambaran aktivitas sehari-hari pasien stroke non hemoragik di RSUD DR Pirngadi Medan, dan bagaimana pasien dalam melakukan aktivitasnya tersebut apakah mampu melakukannya secara mandiri atau tergantung total pada orang lain. METODE penelitian ini adalah metode deskriptif yang menggambarkan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari pasien stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2016. Populasi penelitian adalah seluruh pasien stroke yang dirawat diruang rawat inap RSUD Dr. Pirngadi Medan. Jumlah pasien stroke yang dirawat diruang rawat inap pada bulan Januari - Mei tahun 2016 adalah sebanyak 248 orang. Cara pengambilan sample dalam penelitian ini adalah semua pasien yang ada di ruangan RSUD Dr. Pirngadi Medan yang bersedia menjadi responden, maka teknik yang digunakan pada pengambilan sample yaitu purposive sampling yaitu pengambilan sample yang dilakukan dengan sengaja mengambil atau memilih kasus atau responden berdasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang di buat oleh peneliti sendiri. Menurut Arikunto (2006), bila populasi lebih dari 100, maka pengambilan sample 10-15% atau 20-25% dari jumlah populasi, dimana total populasi berjumlah 248 orang dan peneliti mengambil 15% dari total populasi. Maka jumlah sample penelitian ini adalah: 248 x 15% = 37 orang. Namun untuk menghindari pasien yang secara mendadak tidak bersedia untuk menjadi sampel, maka peneliti menambahkan 10% responden tambahan dari 37 orang sampel yaitu sebanyak 4 orang, maka jumlah sampel keseluruhan adalah = 41 orang. Cara pengumpulan data untuk variabel dilakukan dengan lembar observasi (pengamatan) terhadap responden dengan menggunakan instrumen pengkajian barthel indeks. Pengumpulan data dilakukan terlebih dahulu dengan memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan penelitian dan meminta persetujuan ketersediaan menjadi responden. Data yang dikumpul di analisa secara deskriptif dengan cara melihat persentase data yang terkumpul, dan ditulis dalam tabel-tabel distribusi frekuensi sehingga akan di peroleh persentasi dari variabel yang diteliti. Hasil dan Pembahasan A. Makan Hasil penelitian dari 37 pasien stroke non hemoragik dalam tabel 4.1 terdapat mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri dalam melakukan aktivitas makan sebanyak 19 orang (51,4%). Selebihnya sebanyak 16 orang (43,2%) mengalami ketergantungan sedang dalam melakukan aktivitas makan, dan 2 orang (5,4%) mengalami ketergantungan total. Dalam penelitian Raeni (2016) mengemukakan bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri dalam melakukan aktivitas makan sebanyak 23 orang, dan selebihnya mengalami ketergantuan sedang. Berbeda dengan penelitian Westergen et al (2001) dalam Ardi (2011) melaporkan dari 162 pasien stroke mayoritas terdapat 85 orang (52,2%) membutuhkan bantuan untuk makan. Terdiri dari 46 orang membutuhkan bantuan sedang, dan 39 orang membutuhkan bantuan total. Dan hanya 77 orang yang mandiri dalam melakukan aktivitas makan. Hal ini tidak sejalan dengan peneliti karena dalam penelitian ini mayoritas pasien stroke non hemoragik dapat mandiri dalam melakukan aktivitas makan. Peneliti berasumsi bahwa pasien stroke non hemoragik dapat mandiri dalam melakukan aktivitas makan karena motivasi yang kuat pada diri pasien dan mendapat dorongan serta dukungan keluarga dalam melatih bagian tubuh pasien yang mengalami gangguan sehingga pasien stroke non hemoragik terbiasa melakukan aktivitas makan secara mandiri. B. Mandi Hasil penelitian dari 37 pasien stroke non hemoragik dalam tabel 4.2 terdapat mayoritas pasien stroke non hemoragik membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas mandi sebanyak 25 orang (67,6%). Selebihnya sebanyak 12 orang mandiri dalam melakukan aktivitas mandi. Mandi merupakan komponen yang sangat penting dalam perawatan yang bertujuan untuk kebersihan diri. Pasien dengan keterbatasan fisik tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga harus didampingi atau dibantu termasuk mandi (Hilton, 2004 dalam Ardi, 2011). Ketidakmampuan mandi adalah ketidakmampuan untuk mencuci atau mengeringkan tubuh tanpa bantuan orang lain, dipengaruhi oleh usia dan kelemahan fisik (Gill et al, 2007 dalam Ardi 2011) Hal ini sejalan dengan penelitian Raeni (2016) mengatakan bahwa dari 25 responden mayoritas 13 orang mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas mandi. Pasien stroke yang menjalani perawatan, hampir seluruhnya membutuhkan bantuan untuk mandi akibat kelemahan yang dialami. Hal tersebut dapat berlanjut sampai pasien keluar dari rumah sakit. (Maeir et al 2007, dalam Ardi, 2011). C. Perawatan diri Hasil penelitian dari 37 pasien stroke non hemoragik dapat dilihat dari tabel 4.3 bahwa mayoritas responden pasien stroke non hemoragik 26 orang (70,3%) mandiri dalam melakukan aktivitas perawatan diri, dan 11 orang (29,7%) membutuhkan bantuan orang lain. Hal ini sejalan dengan penelitian Raeni (2016) yang mengatakan bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri dalam melakukan aktivitas perawatan diri 17 orang (73,9%) dan minoritas 4 orang (17,4%) tergantung pada orang lain dalam melakukan aktivitas perawatan diri. Perawatan diri meliputi mencuci tangan, membasuh wajah, menyisir rambut, menggosok gigi, dan mencukur. Menurut Hilton (2004) dalam Ardi (2011) beberapa pasien stroke mungkin terlihat mampu untuk melakukan perawatan diri, namun ada juga beberapa pasien yang tidak mampu melakukan perawatan diri, termasuk melakukan tugas sederhana seperti membasuh muka atau menggosok gigi. D. Berpakaian Hasil penelitian dari 37 pasien stroke non hemoragik mayoritas responden 21 orang (56,8%) membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas berpakaian. Sejalan dengan penelitian Raeni (2016) bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik 10 orang (43,5%) membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas berpakaian. Berpakaian memungkinkan pasien untuk mempertahankan konsep diri dan harga diri selain memberi perlindungan. Ketidakmampuan berpakaian yang benar, sering kali terjadi pada lesi hemisfer kanan yang menyebabkan masalah visuospasial berhubungan dengan orintasi terhadap bagian tubuh atau berpakaian (Ginsberg, 2007 dalam Ardi 2011) E. Buang air kecil Hasil penelitian dari 37 pasien stroke non hemoragik mayoritas 22 orang (59,5%) kontinensia dapat mengontrol pengeluaran urine. Hal ini disebabkan karena responden dalam penelitian ini mayoritas terkena stroke non hemoragik sudah lebih dari 8 minggu. Masalah perkemihan yang sering dialami setelah stroke adalah inkontinensia urine yaitu ketidakmampuan untuk mengontrol pengeluaran urine (Konvidha, 2010). Sebagian besar pasien mengalami inkontinensia segera setelah mengalami stroke dan banyak pasien dapat mengontrol kembali pengeluaran urine setelah 8 minggu. (Nazarko, 2010 dalam Ardi 2011). Sejalan dengan penelitian Raeni (2016) yang mengatakan bahwa mayoritas 21 orang (91,3%) pasien stroke non hemoragik mampu mengontrol pengeluaran urine. F. Buang air besar Dapat dilihat dari tabel 4.6 bahwa 25 orang responden (67,6%) pasien stroke non hemoragik kontinensia dalam melakukan aktivitas buang air besar. 71 Sejalan dengan penelitian Raeni (2016) bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik 23 orang kontinensia (teratur) dalam melakukan aktivitas buang air besar. Ini disebabkan karena responden dalam penelitian ini mayoritas terkena stroke sudah lebih dari 4 minggu pertama terkena stroke. Stroke menyebabkan perubahan eliminasi buang air besar. Masalah buang air besar yang paling sering dialami pasien stroke adalah mengalami konstipasi dalam 4 minggu pertama. (Su et al, 2009 dalam Ardi 2011) G. Penggunaan Toilet Berdasarkan pengamatan dalam penelitian ini, terdapat 56,8% pasien stroke non hemoragik mayoritas membutuhkan bantuan dalam penggunaan toilet meskipun dapat melakukan beberapa hal sendiri. Pasien yang mengalami keterbatasan dan ketidakmampuan akan mengalami kesulitan dalam menggunakan toilet. Pasien membutuhkan adaptasi dan harus diberi dorongan serta dukungan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka. (Hilton 2004 dalam Ardi 2011) Hal ini sejalan dengan penelitian Raeni (2016) yaitu mayoritas 18 orang (78,2%) pasien stroke non hemoragik membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas penggunaan toilet H. Transfer (berpindah) Pasien yang mengalami kelemahan akan mengalami kesulitan untuk duduk dan berpindah sehingga membutuhkan bantuan. Pada saat bangkit dari duduk membutuhkan kekuatan yang lebih besar dibandingkan saat akan duduk. Pasien yang lemah membutuhkan bantuan dan penggunaan sabuk sangat berguna pada kondisi seperti ini. Aktivitas ini bertujuan untuk mempertahankan status fungsional dan keselamatan pasien (DeLaune dan Ladner, 2002 dalam Ardi 2011) Hal ini tidak sejalan dengan penelitian, karena tidak semua pasien stroke non hemoragik mengalami kesulitan untuk duduk dan berpindah. Tergantung berapa lamanya pasien terserang stroke pertama kali. Dalam tabel 4.8 sebanyak 20 orang (54,1%) responden sudah mandiri dalam melakukan aktivitas transfer (berpindah). Hal ini didukung oleh lamanya responden setelah terkena stroke non hemoragik, dan mereka sudah dilatih keluarga maupun perawat dalam melakukan aktivitas berpindah dari bed ke kursi. Adapun sebagian responden yang masih membutuhkan bantuan dalam melakukan transfer (berpindah) dikarenakan kurangnya dukungan keluarga dalam melatih responden untuk melakukan aktivitas transfer (berpindah) I. Mobilitas Kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilitas adalah memenuhi kebutuhan dasar termasuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Adanya gangguan yang melibatkan sistem neuromuskular 72 seperti pada penderita stroke dapat mengakibatkan hambatan dalam melakukan mobilitas. Dalam tabel 4.9 bahwa 20 orang (54,1%) responden mandiri dalam melakukan aktivitas mobilitas meskipun menggunakan alat bantu seperti tongkat. Sebagian responden lainnya dapat melakukan aktivitas mobilitas dengan bantuan orang dan kursi roda. Dan 5,4% responden tidak mampu melakukan aktivitas mobilitas. Hal ini sejalan dengan penelitan Raeni (2016) bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri dalam melakukan aktivitas mobilitas. KESIMPULAN Hasil penelitian yang dilakukan mengenai “Gambaran Aktivitas Sehari-hari Pasien Stroke Non Hemoragik Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2016” Hasil penelitian bahwa mayoritas pasien stroke non hemoragik mandiri dalam melakukan aktivitas makan, membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan aktivitas mandi, mandiri dalam melakukan aktivitas perawatan diri, membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas berpakaian, aktivitas buang air kecil mengalami kontinensia (teratus untuk lebih dari 7 hari), melakukan aktivitas buang air besar mengalami kontinensia (teratur, bantuan dalam melakukan aktivitas penggunaan toilet, mandiri dalam melakukan aktivitas transfer (berpindah), mandiri dalam melakukan aktivitas mobilitas SARAN Setelah melakukan penelitian terhadap aktivitas sehari-hari pasien stroke non hemoragik di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2016, maka disarankan agar selalu berlatih untuk menggerakkan bagian tubuhnya yang mengalami gangguan agar terbiasa dan tidak kaku. Sebaiknya mengikuti fisioterapi bila perlu DAFTAR PUSTAKA Ardi, 2011. Analisis Hubungan Ketidakmampuan Fisik Dan Kognitif Dengan Keputusasaan Pada Pasien Stroke Di Makassar. Depok : FIK UI. Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta Cahyati, Yanti, 2011. Perbandingan latihan ROM Unilateral dan Latihan ROM Bilateral Terhadap Kekuatan Otot Pasien Hemiparese Akibat Stroke Iskemik di RSUD Kota Tasikmalaya Tahun 2011. Depok : FIK UI. Deppenkeb, 2005. Pengertian Aktivitas Dalam KBBI. Jakarta Hasil Riskesdas, 2013. Diakses tanggal 20 januari 2015 Henderson,Leila : 2002.Stroke : Panduan Perawatan. Jakarta : Arcan http://eprints.undip.ac.id/12631/1/2003PPDS417 8.pdf Irfan, M. 2010. Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta : Graha Ilmu Kurniawati, 2014. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan Stroke. Padalarang : D-III Keperawatan STIKES St Borromeus. Mutaqqin, Arif, 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika. Notoatmodjo, S, 2012. Metode Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Prakasita, M. 2015. Hubungan Antara Lama Pembacaan CT Scan Terhadap Outcome Penderita Stroke Non Hemoragik http://ejournal.s1.undip.ac.id/index.php/medico Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan, 2015. Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Medan. Pudiastuti, 2011. Penyakit Pemicu Stroke.Yogyakarta : Nuha Medika Santoso, Thomas, 2003. Kemandirian Aktivitas Makan, Mandi, Dan Berpakaian Pada Penderita Stroke 6-24 Bulan Pasca Okupasi Terapi. Semarang : FK UNDIP http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20281864T%20Muhammad%20Ardi.pdf Setiono, 2014. Laporan Pendahuluan Stroke. Jakarta Setyawan, Hilal, 2012. Instrumen Pengkajian ADL dengan Indeks Barthel https://www.scribd.com/doc/138832898/Skala-BarthelAtau-Barthel-Indeks-ADL-Adalah-Skala- Ordinal-Digunakan-Untuk-Mengukur-KinerjaDalam-Aktivitas-Sehari Suharsimi, A. 2013. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta Towarto, Wartonal. 2007. Kebutuhan Dasar & Prose Keperawatan . Edisi 3. Salemba Medika. Jakarta. Utami, P. 2009. Solusi Sehat Mengatasi Stroke. Jakarta Selatan : AgroMedia Wardhana, W.A. 2011. Strategi Mengatasi dan Bangkit dari Stroke. Yogyakarta : Pustaka Belajar Wijaya Andra Saferi & Yessie Mariza Putri, 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2 : Keperawatan Dewasa Teori dan Askep. Yogyakarta : Nuha Medika. 73 UNDANGAN MENULIS DI JURNAL POLTEKKES MEDAN Redaktur Jurnal Poltekkes Medan mengundang para pembaca untuk menulis di jurnal ini. Tulisan ilmiah yang dimuat adalah berupa hasil penelitian atau pemikiran konseptual dalam lingkup kesehatan. Persyaratan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Tulisan adalah naskah asli yang belum pernah dipublikasikan. 2. Tulisan disertai abstrak, ditulis satu spasi dengan bahasa Indonesia atau Inggris, maksimal 200 kata. 3. Kata kunci (keywords) minimal dua kata, ditulis di bawah abstrak. 4. Setiap naskah memiliki sistematika sub judul pendahuluan, diikuti oleh beberapa sub judul lain dan berakhir dengan sub judul penutup atau Kesimpulan. 5. Naskah diketik rapi dua spasi dalam bahasa Indonesia atau Inggris, font: Times New Roman, size: 11, format: A4 justify. 6. Panjang naskah minimal empat dan maksimal 8 halaman, termasuk rujukan. 7. Sistem rujukan adalah yang lazim digunakan dalam tulisan ilmiah, dengan konsistensinya. 8. Sumber rujukan/kutipan dimasukkan dalam tulisan (tanpa footnote) 9. Tulisan dikirim dalam CD, disertai print out-nya satu eksemplar, atau dikirim lewat E-mail. 10. Redaktur berhak mengedit dengan tidak merubah isi dan maksud tulisan. 11. Redaksi memberikan hasil cetak sebanyak satu eksemplar bagi penulis. 12. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan bila dalam pengirimannya disertakan perangko pengembalian, atau diambil langsung dari redaktur. 74