20 Iswantoro - AIFIS

advertisement
Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
Oleh: Iswantoro *
Abstrak
Ada dalam kerangka pencapaian tujuan perwujudan cita-cita keadilan sosial
yang menjadi semangat dan roh UUPA, pemerintah Orde Lama mengeluarkan
berbagai peraturan hukum di bidang pertanahan, antara lain Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian, Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil, PP No. 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian yang kesemuanya disiapkan
untuk pelaksanaan program landreform.
Sementara itu, rezim Orde Baru melaksanakan HMN ini didasarkan pada
semangat pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi yang ternyata kemudian justru
mengingkari semangat dan roh UUPA. Berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkait dengan alokasi sumber-sumber agraria diterbitkan untuk memfasilitasi
pertumbuhan modal.
Pada masa transisi, semenjak tahun 1998, tidak ada suatu realisasi yang
adekuat terhadap imbauan-imbauan dan peringatan yang telah diberikan oleh
sejumlah Ornop maupun organisasi tani agar sengketa-sengketa pertanahan/agraria
yang telah dan sedang terjadi ketika ada pergantian kekuasaan.
Kata kunci: perkembangan, landreform
A. Pendahuluan
Tanah merupakan salah satu permasalahan kompleks yang tidak ada
habisnya di negeri ini. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah
merupakan masalah yang sangat kritis di Indonesia. Desakan liberalisasi
perdagangan dengan menempatkan “tanah sebagai komoditi” membuat
wilayah masalah ini semakin kompleks, di mana rakyat, terutama petani
kecil diposisikan sebagai “korban” arus kapitalisme global yang nyaris
tanpa jalan keluar.1
Kondisi ini memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menandatangani Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional. Perpres No. 10 Tahun 2006 (selanjutnya
* Dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
1 Andik Hardiyanto, “Landreform by Leverage di Indonesia”, dalam Kertas Posisi
KPA (Position Paper) No. 001/1998.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
848
Perpres 10) menggariskan bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN)
sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Presiden.2 Dengan demikian, peraturan ini
mengakhiri posisi dilematik BPN yang pernah berwujud Kementerian
Agraria, yang kemudian diposisikan di bawah Departemen Dalam Negeri,
bahkan pernah akan dibubarkan. 3
Terbitnya Pepres 10 jelas menandakan adanya ketidakjelasan
struktur fungsional dalam lembaga pertanahan nasional. Meskipun
demikian, secara objektif dan optimistik kehadiran Perpres 10 dapat
dipandang sebagai upaya Presiden menjawab tuntutan masyarakat atas
pembaruan agraria, yang diantaranya ditempuh melalui penataan
kelembagaan pertanahan yang ada.
Jika dicermati, kewenangan BPN menurut perpres ini tampak kian
luas karena kini BPN bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral (pasal 2).
Semangat nasionalisme tergurat jelas pada bagian Menimbang (b); “bahwa
tanah merupakan perekat NKRI, karenanya perlu diatur dan dikelola
secara nasional...”. Tantangannya adalah bagaimana koordinasi dan sinergi
BPN yang vertikal ini dengan pemerintahan daerah yang persoalan
agrarianya pastilah beragam dengan konstalasi politik yang juga cenderung
pelangi. Dalam hal ini, perlu kepiawaian politik dan kesediaan berbagi
peran secara proporsional antar sesama penyelenggara negara yang
mengurus hajat hidup khalayak ramai, apalagi menyangkut tanah sebagai
urusuan yang asasi.
Kegiatan pembangunan yang dikembangkan negara, terutama
semenjak rezim Orde Baru memegang tampuk pemerintahan, secara pasti
menunjukkan sosok yang makin intensif dan ekstraktif. Dikatakan intensif
karena, misalnya, telah terjadi akumulasi dan pertumbuhan (per tahun)
investasi, baik modal dalam negeri maupun luar negeri, dalam berbagai
sektor kegiatan ekonomi. Peran sektor swasta juga semakin membesar dari
waktu ke waktu. Bahkan, untuk memperbesar peran sektor swasta ini,
negara tidak segan-segan menunjukkan keberpihakannya. Berbagai
2
Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional
Pasal 1.
3
Setiawan, Usep, 2006, “Krisis Kelembagaan Pertanahan? (Catatan atas
Kontroversi
Perpres
No.
10
Tahun
2006
tentang
BPN)”,
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15176&cl=
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
849
kemudahan berusaha pun diagendakan, agar nilai investasi dan volume
produksi harus meningkat terus.4
Makin ekstraktif karena sektor kegiatan ekonomi pun makin
beragam. Boleh dikatakan hampir tidak ada sumberdaya alam yang belum
tergarap. Bersamaan dengan itu, wilayah operasi berbagai perusahaan yang
menjadi pelaksana misi pembangunan itu pun makin menyebar. Selain itu,
hampir tidak ada wilayah negeri ini yang tidak terjamah kegiatan
pembangunan, hingga ke daerah-daerah terpencil sekalipun. Dapat
dikatakan, saat ini hampir tidak ada wilayah negeri ini yang tidak
bersentuhan dengan kegiatan-kegiatan pembangunan itu, bahkan ke
pelosok-pelosok yang terpencil sekalipun. Luasan ruang yang digunakan
untuk menampung berbagai kegiatan pembangunan (ekonomi) itu sendiri
telah mencapai ratusan ribu hektar per unit kegiatan.5
Tulisan ini membahas tentang perkembangan landreform dalam
pemerintahan Indonesia yang dikupas menggunakan pendekatan Analysis
System. Analysis System merupakan pendekatan hukum yang akan
menguraikan bagaimana perkembangan dan proses landreform pada masa
orde lama dan orde baru yang menghasilkan output berupa perkembangan
landreform pada era reformasi.6
B. Pembahasan
1. Landreform zaman Orde Lama
Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai
kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat
pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain
pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari
pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan
melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia,
seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar
dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS
RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan
filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia
oleh manusia (lâ exploitation de lâ homme per lâ homme); kemandirian
4
Yando R. Zakaria, “Kemajemukan Masyarakat Bangsa Indonesia dan
Penegakan Hak-hak Masyarakat Adat”, dalam Kertas Posisi KPA (Position Paper) No.
005/1998.
5 Ibid.
6 Mengadaptasi artikel Gunter Teubner “Substantive And Reflexive Elements in
Modern Law” (Gunter Teubner, 1983), p. 244, dalam Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum
Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, (Arkola Offset, Surbaya, 2002), p. 4.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
850
ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme
dengan landreform sebagai agenda pokoknya.7
Diberlakukannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria atau yang biasa dikenal dengan Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA) membawa angin perubahan besar dan fundamental
terhadap buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Hukum
Agraria/Pertanahan di Indonesia. Sejak diperkenalkannya UU tersebut,
seluruh ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak berkenaan dengan bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di hapuskan dari buku
ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai Hipotik.8
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undangundang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai
Negara. Meskipun dalam Pasal 33 UUD 1945 hak tersebut sudah
dijelaskan dan menjadi dasar konstitusional pembentukan dan perumusan
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini
adalah sejak awal telah diterima bahwa negara ikut campur untuk
mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan
tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang
satu tidak mengabaikan yang lain.
Namun, rumusan baku Hak Negara untuk menguasai bumi, air
beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pertama kalinya
secara formal dijelaskan dalam UUPA 1960, di mana UU tersebut
memberi wewenang kepada negara untuk:9
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
7
Lilis Nur Faizah, "Landreform Sejarah Dari Masa Ke Masa", tugas Mata Kuliah
Landreform, (UGM, Yogyakarta, 2007) dalam www.zeilla.wordpress.com, p. 6.
8 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hak Jaminan Atas Tanah, cet.
IV, (Yogyakarta: Liberty, 1981), p. 1.
9 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 2 UUPA. Menurut beberapa tokoh, paham ini
dipengaruhi paham negara integralistik yang berkembang saat itu dan didukung terutama
oleh Soekarno dan Supomo. Kesatuan antara masyarakat dan negara di mana
kepentingan individu dan kelompok larut dalam kepentingan negara (mirip dengan
konsep Rousseau tentang masyarakat organis) sehingga tidak terjadi pertentangan hak
dan kepentingan warga masyarakat dan negara. Individu ditempatkan di bawah nilai
masyarakat sebagai keseluruhan. Lihat Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis,
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), pp. 94-96.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
851
Kewenangan tersebut dipahami sebagai hubungan antara negara
dengan bumi, air dan kekayaan alam dalam konteks penguasaan, bukan
kepemilikan seperti di negara Barat maupun di negara-negara komunis.
Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa tingkat tertinggi mempunyai
wewenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan
dan mengatur tata hukum berkenaan dengan tanah.10
Dalam hal ini kewenangan negara ini harus dibatasi dua
hal:11Pertama, dibatasi UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara
tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh
UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan
menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran
tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan
hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut.
Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan
yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai
yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan ini tidak
dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan
umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta
yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik
kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.
Dianutnya prinsip fungsi sosial dalam UUPA tidak lepas dari
konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat itu. Agar tidak terjadi
akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur
masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak
individu ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu
maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar,
karena itu lahirlah peraturan landreform. Pengaturan batas pemilikan atas
tanah oleh perseorangan dilakukan sehingga pemilikan itu hanya
dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan yang layak,
atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan perindustrian
rumah.
Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang
dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama
10 Maria SW Sumardjono, "Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep
Penguasaan Tanah oleh Negara", Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta.
11 Ibid. Dua pembatasan tersebut menjadi penting mengingat HMN merupakan
suatu konsepsi pokok dalam UUPA yang kemudian dijadikan sumber dari Undangundang atau pun regulasi lainnya yang dirumuskan berdasarkan perkembangan dan
kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, pembatasan Konstitusi. Dengan semakin kuatnya
pengakuan konstitusi pasca Amandemen terhadap hak asasi manusia, maka pengaturan
tentang pengambilalihan hak milik atas tanah harus benar-benar memperhatikan asas ini.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
852
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan
tanah16. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite
kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang
mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang
benar-benar menggarapnya”. Mereka yang memiliki tanah luas adalah
telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini
terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan
konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari
pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas
luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai
penghisapan. Golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap
kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal
tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno
dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam
perumusan UUPA menjadi anggotanya.12
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran
tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk
mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan
penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi
batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada
sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.13
Tujuan pokok dari diundangkannya UUPA adalah: (i) meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria, yang merupakan alat untuk
membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan
rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur; (ii) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan; (iii) meletakkan dasar-dasar
untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya.
Latar belakang dari agenda atau tujuan pokok dari UUPA di atas
adalah karena realitas pengaturan hukum agraria yang diwariskan oleh
pemerintah jajahan sangat bertentangan dengan kepentingan rakyat dan
bangsa, melahirkan sifat dualisme hukum agraria, dan tidak memberikan
jaminan kepastian hukum bagi rakyat asli Indonesia. Semua itu harus
dihapus dan digantikan dengan semangat yang didasarkan pada
kepentingan rakyat dan bangsa berdasar UUD 1945.
12 Noer
Fauzi, Petani &Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia,
(Yogyakarta: Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 1999), p. 141.
13 Lilis Nur Faizah, "Landreform, p. 8.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
853
Kembalinya dasar pengaturan hukum agraria kepada hukum asli
Indonesia terdapat dalam Pasal 5 UUPA, bahwa hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini
dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur hukum pada hukum agama.
Namun demikian, UUPA sendiri juga memberikan banyak
pembatasan bagi pelaksanaan hukum adat ini: Pertama, di bawah kendali
Hak Menguasai Negara (HMN) dilakukan penyederhanaan atas pluralitas
atau keberagaman hukum asli yang banyak tersebar di wilayah Indonesia.
Tidak ada langkah-langkah konkrit untuk menggali hukum adat tersebut
yang sesungguhnya dinyatakan oleh UUPA sebagai dasar hukum agraria
nasional.
Kedua, Pelaksanaan hukum adat yang lokal itu tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih
tinggi. Di sini hukum adat di suatu daerah tidak lagi dominan dan mandiri.
Jika undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi bersikap
bertentangan dengan hukum adat tersebut, maka perundang-undanganlah
yang berlaku.
Sementara itu, berdasarkan HMN, Negara dapat menentukan
macam-macam hak atas sumber-sumber agraria, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Macam-macam hak
atas tanah dalam sistem pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria
menurut UUPA dibedakan dalam dua kategori: (1) semua hak yang
diperoleh langsung dari Negara, disebut hak primer; (2) semua hak yang
berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian
bersama, disebut hak sekunder. Kedua kategori hak atas sumber-sumber
agraria tersebut pada umumnya mempunyai persamaan di mana
pemegangnya berhak untuk menggunakan sumber-sumber agraria yang
dikuasainya untuk dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari
orang lain melalui perjanjian di mana satu pihak memberikan hak
sekunder pada pihak lain. Dalam Pasal 16 UUPA dapat ditemukan jenisjenis hak atas tanah sebagai hak primer dan hak sekunder tersebut.
Dalam pelaksanaannya, berbagai hambatan serta kelemahan
administrasi seringkali menyulitkan redistribusi tanah. Kondisi ini turut
diperburuk oleh kurangnya dukungan rakyat, organisasi petani, organisasi
politik, tokoh-tokoh maupun panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
854
menyebabknan terjadinya aksi sepihak yang kemudian melahirkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.14
2. Landreform Zaman Orde Baru
UUPA sesungguhnya merupakan produk perundang-undangan yang
hendak difungsikan untuk mengubah karakter negara kolonial menuju
negara nasional yang merdeka, serta menghapuskan segara bentuk
kolonialisme dan feodalisme yang menghambat kemajuan rakyat. Para
pembuat UUPA bermaksud untuk membawa rakyat ke arah keadilan
sosial, kemakmuran dan kemajuan melalui penataan ulang penguasaan,
peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, namun
demikian dalam perumusan undang-undang tersebut, kepentingan rakyat
telah diletakkan di bawah kepentingan nasional yang diemban oleh negara
sebagai Badan Penguasa.15
Rezim Orde Baru, sejak awal langkah pemerintahannya, telah
meninggalkan roh dan semangat Undang-undang Pokok Agraria No. 5
Tahun 1960 (UUPA) yang populis dan digantikan dengan kebijakan
memfasilitasi akumulasi modal. Kebijakan tersebut dapat dilihat dengan
banyak dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang ditujukan
untuk eksploitasi sumber-sumber agraria dengan menyandarkan
aktivitasnya kepada lembaga-lembaga pembangunan multilateral dan
lembaga keuangan internasional. Bahkan didapati, peraturan perundangundangan berkenaan dengan alokasi sumber-sumber agraria tersebut
justru sama sekali tidak merujuk UUPA dan menjadikan pengaturan
masalah ini menjadi masalah sektoral.16
Di bawah rejim Orde Baru, kedudukan negara yang dominan
semakin dikukuhkan oleh UU No.5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan dan Peraturan Pemerintah di bawahnya, dan UU No.
11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan
Peraturan Pemerintah di bawahnya. Dalam praktiknya, kedudukan negara
yang dominan tersebut -- sebagaimana terkonsepsi dalam apa yang disebut
14 Noer
Fauzi, Petani &Penguasa, p. 124.
Lihat Konsorsium Pembaruan Agraria, Usulan Revisi Undang-undang Pokok
Agraria, Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat atas Sumber-sumber Agraria, Jakarta,
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1998, p.
2.
16 Noer Fauzi dan Ifdhal Kasim, Sengketa Agraria dan Agenda Penyelesaiannya,
Makalah yang disampaiakan pada Roundtable Discussion, bertema “Agenda yang
mendesak: Menuju RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Adil, Berkelanjutan dan
Menyejahterakan Masyarakat”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM
bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, ELSAM, YLBHI, KPA
dan ICEL, Kampus FH UGM Bulaksumur Yogyakarta, 16 September 2000.
15
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
855
sebagai Hak Menguasai dari Negara (HMN)13—terbukti telah
dimanfaatkan oleh pemerintahan dan pengusaha kroninya untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi dalam bentuk usaha-usaha peningkatan
produktifitas, tanpa memberi rakyat peran yang memadai untuk
berpartisipasi dalam penguasaan, peruntukan, pengelolaan dan
pemanfaatan sumber-sumber agraria itu, serta menikmati hasilnya.17
Pengamat soal agraria biasanya mengevaluasi bahwa rejim Orde
Baru yang lalu gagal menjamin kepastian penguasaan tanah bagi
komunitas lokal yang telah memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam
yang menyertainya. Bahkan, sebaliknya menyingkirkan akses dan kontrol
rakyat terhadap tanah dan sumberdaya alam yang telah dimanfaatkannya
turun temurun.18
Lebih lanjut, kebijakan yang memfokuskan pembangunan pada
pertumbuhan ekonomi, semakin dikukuhkan dengan dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya
alam.Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah teknis, atau
sebagai program rutin birokrasi pembangunan.19
Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi
pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7
Tahun 1970 yang menghapus Undang-undang tentang Pengadilan
Landreform dan Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara
sosiologis tidak diberlakukan pada era ini. Landreform yang menjadi
program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru
lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan
ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai
swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil
pertanian ke sejumlah negara lain.
Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan
tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut:
17 Noer Fauzi, Restitusi Hak Atas Tanah: Mewujudkan Keadilan Agraria di Masa
Transisi, pengembangan lebih lanjut dari makalah yang berjudul “Keadilan Agraria di
Masa Transisi” pada Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia VI yang bertemakan
“Transitional Justice (Keadilan Transisional) menentukan Kualitas Demokrasi di
Indonesia Masa Depan”, yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak-hak Asasi
Manusia bekerjasama dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya,
Surabaya 21 s/d 24 November 2000.
18 Lihat Endang Suhendar dkk, Petani dan Konflik Agraria, (Bandung: Akatiga,
1998)
19 Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia,
(UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006), pp. 64-65.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
856
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
(1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah
seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai
lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan
ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian
tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga
tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720
atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46
hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data
tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian ratarata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata
penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar23. Data tersebut
menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang
didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan
akan hutan dan sumber daya agraria lainnya.20
Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian
mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga
keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk
Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah
melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini
adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah
melalui sertifikat.
Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah
dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis
dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam
stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang
sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas
tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah miliknya
meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam
peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif
sesuai dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi
dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.
Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167
hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah
787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah
tangga tani.21
20 Biro
Pusat Statistik 1993.
SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi,
edisi revisi, (Jakarta: Kompas, 2001), p. 51.
21 Maria
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
857
Perampasan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya dimulai
dari adanya negaraisasi atau nasionalisasi tanah dan kekayaaan alam
kepunyaan penduduk, dan atas dasar klaim negara itu, pemerintah
memberikan ijin-ijin dan hak-hak pemanfaatan di atas bidang tanah
termaksud untuk perusahaan bermodal besar atau proyek-proyek
pembangunan, baik yang dimiliki badan usaha swasta maupun pemerintah.
Secara fenomenal, sering penduduk korban menganggap bahwa
perusahaan atau proyek yang beroperasi secara langsung pada tanah-tanah
mereka adalah “perampas tanah”. Padahal, secara legal, perusahaanperusahaan atau proyek-proyek tersebut bekerja atas dasar pemberian hakhak pemanfaatan (use rights) dari pemerintah (pusat) yang mengasumsikan
bahwa tanah di mana use rights tersebut diberikan adalah Tanah Negara.
Jadi, dasar masalahnya adalah asumsi politik hukum yang terkandung
dalam perundang-undangan pertanahan dan sumberdaya alam (land and
natural resources related laws) dan peraturan-peraturan pelaksananya
(government regulations), yang berisi pengabaian bahkan pengingkaran hakhak rakyat atas tanah dan kekayaan alam kepunyaan penduduk.
Di masa transisi dewasa ini, penduduk korban semakin
menggencarkan kembali klaim kembali atas tanah dan kekayaan alam
miliknya yang telah dikuasai dan digunakan oleh perusahaan-perusahaan
dan proyek-proyek raksasa. Sengketa agraria semacam ini merupakan
warisan yang tidak (belum?) terselesaikan, yang diperkirakan telah
mencapai ribuan kasus yang berkaitan dengan eksploitasi sumberdaya
hutan alam, hutan tanaman industri, hutan jati, kawasan konservasi,
perkebunan dan lain-lain.
Sudah umum diketahui bahwa persengketaan yang pada mulanya
sederhana ini pada gilirannya berubah menjadi konflik yang sangat rumit,
karena kewenangan dan manajemen yang sentralistik itu pada
penerapannya dikawal oleh mesin birokrasi yang otoriter dan praktikpraktik manipulasi dan kekerasan terhadap penduduk yang
mempertahankan hak asasinya. Sementara itu badan peradilan yang
disediakan untuk memperkarakan keputusan-keputusan pejabat publik,
yakni Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak dapat dijangkau oleh
penduduk-penduduk korban dan para pembelanya karena masalah
aksesibilitas, terutama batasan kedaluarsanya masa gugatan yang hanya
berlaku paling lama 90 hari setelah keputusan dikeluarkan.22
22 Menurut Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung SH, staff Litbang Mahkamah
Agung, masalah pertanahan mendominasi perkara di PTUN dan PTTUN. “Dari
penelitian saya, sejak 14 PTUN dan empat Pengadilan Tinggi TUN (PTTUN) didirikan,
perkara yang diterima sebagian besar adalah masalah pertanahan” (sebagaimana dimuat di
Kompas, 21 Oktober 1996).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
858
Perkembangan terakhir, pelibatan lembaga-lembaga pembangunan
multilateral (World Bank Group) dan Lembaga Keuangan Internasional
(IMF) semakin nyata dalam pengintegrasian alokasi sumber-sumber
agraria dengan liberasi perdagangan. Kasus ini dapat dilihat dalam proses
dan keluaran Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration
Project), seperti dengan diterbitkannya PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang mencabut salah satu fondasi pelaksanaan
landreform, yakni PP No. 10 Tahun 1961. Arah politik agraria di atas pada
akhirnya menghasilkan kekacauan dalam sistem pemilikan dan penguasaan
tanah (land tenure system) dan berujung pada semakin meluasnya
ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia.23
Di tengah semakin meluasnya ketidakadilan yang dialami rakyat
yang dihasilkan dari kondisi di atas, jelas sangat dibutuhkan jalan keluar
yang didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan mereka, yakni petani
kecil (berlahan sempit) dan buruh tani. Jalan keluar itu ditujukan pada
perubahan mendasar terhadap kondisi sistem dan struktur penguasaan dan
pemilikan agraria yang telah melahirkan ketidakadilan agraria tersebut di
atas kearah yang lebih jujur dan adil. Hal ini semacam ikhtiar penciptaan
sistem penguasaan dan pemilikan tanah yang jujur dan adil, yang sama
sekali baru dengan berbasiskan pada kepentingan petani kecil dan buruh
tani.24
Gagasan berkenaan dengan pembaruan agraria yang didasarkan
pada pemberdayaan rakyat di atas dikenal dengan sebutan landreform by
leverage sebagai lawan dari pelaksanaan landreform by grace. Reform by
grace pada kenyataannya didasarkan pada kedermawanan pemerintah, dan
itu sangat bergantung pada pasar politik, “begitu pemerintah berganti, elit
penguasa yang baru dapat berganti haluan, dan membalikkan keadaan.
Bahkan, sekalipun pembaruan itu lahir dari sebuah revolusi seperti
Meksiko.” Inilah titik penting dari reform by leverage, “dalam kondisi
bagaimanapun, jika posisi tawar petani atau rakyat kecil kuat, maka hasilhasil pembaruan sebelumnya tidak begitu mudah dibalikkan.”25
3. Landreform di Era Reformasi
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang
semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka
semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan
Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan
23 Andik
Hariyanto, “Landreform by, p. 1.
Wiradi, Pembaruan Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: KPA,
Insist Press bekerjasama dengan Pustaka pelajar, 2000), p. 41.
25 Andik Hariyanto, “Landreform by, p. 2.
24 G.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
859
dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan
perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria)
dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998.
Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang
justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.
Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan
agraria, yaitu disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001
bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria adalah:
a. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan
memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat;
b. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan
registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas,
pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun
2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada
masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha
untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di
bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera,
dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi
konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis,
maupun tanah bekas swapraja.26
Era pasca reformasi, pendekatan-pendekatan dan konsep-konsep
baru dalam melihat hukum mulai bermunculan, antara lain sampai pada
beberapa tesis, bahwa berbagai wilayah sosial memang memproduksi
tatanan hukum yang plural dengan latar belakang konteks yang berbedabeda. Argumen ini tidak hanya bersifat antropologis tetapi juga
mengakomodasi hak masyarakat adat/lokal yang dalam kerangka hukum
Internasional dimasukan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Karena
itu, pluralisme hukum menyangkal sentralisme hukum yang tidak hanya
memperkenalkan dan memaksakan berlakunya hukum negara atas situasi
hukum konkrit tetapi juga telah mengingkari hak-hak masyarakat
adat/lokal.
Dalam konteks perubahan sosial hukum, pluralisme hukum bisa
digunakan sebagai konsep yang bisa menjelaskan sekaligus dipakai untuk
memberi ruang bagi hukum lokal. Pluralisme hukum memberi jalan bagi
26
Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30
Januari 2007.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
860
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
hukum masyarakat adat untuk bertemu dengan banyak hukum lain, tanpa
harus didominasi dan direduksi dengan berbagai syarat yang ditetapkan
secara semena-mena oleh hukum negara. Karena itu, berbagai upaya untuk
memperkuat dan meneguhkan kembali hukum-hukum lokal atau
membentuk hukum-hukum baru, diperjuangkan oleh banyak komunitas,
paling tidak sebagai salah satu cara untuk mendapat legitimasi atas hak
mereka yang telah dirampas di masa lalu dengan menggunakan hukum
negara.
Namun, upaya-upaya itu masih berhadapan dan juga menimbulkan
tantangan politik tersendiri. Pertama-tama, berbagai cita-cita unifikasi
hukum sudah berkali-kali tertuang dalam rencana pembangunan hukum
nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009,
persoalan pluralisme hukum, tidak dilihat sebagai masalah serius dalam
pelaksanaan dan penegakan hukum negara. Artinya, politik hukum negara
memang lebih berminat untuk memaksakan penggunaan hukum yang satu
dan sama dari Sabang sampai Merauke atau unifikasi hukum, daripada
membuka diri untuk berdialog dengan hukum-hukum lokal untuk
menentukan batas, syarat dan negosiasi lainnya yang berhubungan dengan
hukum negara-hukum lokal.
Dalam hal ini, negara Indonesia merdeka sebetulnya tidak berbeda
jauh dengan periode kolonial Hindia Belanda. Bahkan dalam hal tertentu
periode Indonesia Merdeka bisa dikatakan sebagai langkah mundur dari
era Kolonial Belanda, karena Pemerintah Kolonial Belanda masih
mengakui struktur-struktur adat dan dinamika-dinamika hukumnya, meski
pengakuan itu bergerak dalam ruang ekonomi politik kolonial. Kedua,
komunitas hukum lokal juga sangat majemuk dan dibarengi dengan
perubahan-perubahan sosial yang cukup cepat. Kesulitan tetapnya adalah
dalam situasi mana dan dengan definisi serta kategori mana saja, suatu
kelompok bisa mengklaim haknya berbasis keistimewaan historisgenealogis sebagai masyarakat adat. Persoalannya makin pelik karena
pertikaian dalam wacana antropologis juga marak dalam pertarungan
politik, dalam arti politik untuk kekuasaan. Di sini, hubungan-hubungan
patron lama dimasak ulang untuk mereproduksi kekuasaan dalam
hubungan-hubungan politik baru dalam berbagai perubahan politik. Di
tingkat lokal, kehadiran otonomi daerah selain berdampak pada ambisi
ekonomi politik, juga mempunyai beberapa akibat politik tidak sehat,
antara lain karena konstelasi tradisional masyarakat politik Indonesia
memang berkawan dekat dengan feodalisme.
Setidaknya, dua tantangan politik ini juga bisa dikerjakan dalam
diskusi pluralisme hukum. Definisi, peran dan tugas negara perlu
dibicarakan ulang, sebelum mendorong pluralisme hukum sebagai
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
861
kebijakan politik. Sepanjang politik hukum yang dibayangkan adalah
unifikasi hukum maka sepanjang itu pula tidak akan ada pengakuan
terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal yang berbasis hukum lokal. Di
sisi lain, pluralisme hukum, juga perlu mendiskusikan persoalan
ketimpangan struktural dalam hukum-hukum lokal. Di sana, hubungannya
dengan hak asasi manusia tidak hanya penting tetapi harus dikerjakan.
Dalam hal ini, prinsip-prinsip makro perlu mempertemukan berbagai isuisu analitis dari perspektif antropologi dengan kebutuhan normatif dari
perspektif hukum.
C. Penutup
Pengembangan dan pembaruan sistem agraria merupakan tanggung
jawab bersama antara pemerintah dan rakyat, di mana organisasiorganisasi rakyat yang indepen di lapangan agraria—seperti: organisasiorganisasi tani dan nelayan yang independen, organisasi-organisasi
masyarakat adat, serta-serta organisasi-organisasi kaum miskin di
perkotaan, dan organisasi rakyat lainnya—perlu diberi ruang untuk
berkembang menjadi lebih kuat. Pada pokoknya, tidak satu rencana
keagrariaan pun dapat dibuat sepihak oleh pemerintah tanpa persetujuan
dan mendengarkan kehendak rakyat yang akan terpengaruh oleh rencana
tersebut (prinsip free and prior informed concent).
Dengan mengintegrasikan pengakuan hak dan pemulihan korbankorban perampasan tanah dan kekayaan alam ke dalam agenda pembaruan
agraria maka terlebih dahulu harus dianut suatu paradigma baru mengenai
hubungan kekuasaan (kewenangan) antara negara dengan rakyat dalam
soal-soal agraria. Paradigma baru ini merupakan suatu koreksi yang
mendasar terhadap paradigma lama, yang menjadi sumber dari praktikpraktik perampasan tanah dan kekayaan alam penduduk beserta
pelanggaran HAM lain yang menyertainya.
Hakekat dari koreksi ini tentu bukan hanya teknis, melainkan
seharusnya dimulai dari koreksi filosofis tentang hubungan negara dan
rakyat, yang intinya kekuasaan negara terbatas dan dibatasi. Koreksi ini
akan dan harus diefektifkan untuk dua hal pokok, yaitu:
a. Memberikan dasar kesahan hukum (legalitas) dan sekaligus
pembenaran (legitimasi) bagi rakyat agar mereka secara lebih bermakna
dapat berpartisipasi dalam setiap aktivitas pembangunan, khususnya
yang berkenaan dengan ihwal pemilikan, pemanfaatan dan pengelolaan
sumber-sumber agrarianya dan ikut menghaki dengan lebih bermakna
hasil-hasil pembangunan itu; dan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
862
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
b. Memberikan dasar-dasar kesahan hukum (legalitas) dan pembenaran
(legitimasi) pada masyarakat (termasuk masyarakat adat) untuk
menentukan sendiri pengelolaan hidup dan lingkungan hidupnya
berdasarkan kebudayaannya.
Dengan dasar-dasar tersebut, fungsi-fungsi sumber-sumber agraria
ditempatkan sebagai sarana pemberdaya rakyat untuk melepaskan diri dari
ketergantungan atau dari kemungkinan tereksploitasi kekuatan-kekuatan
ekonomi besar.
Dalam konteks sistem agraria yang majemuk seperti di Indonesia,
negara harus secara tegas menjamin pengakuan hak-hak penduduk atas
hutan, padang-padang penggembalaan ternak, belukar bekas ladangladang, tanah-tanah pertanian yang dikerjakan secara berputar (rotasi),
penambangan tradisional dan pencarian ikan di sungai dan laut. Jaminan
yang sama harus diberikan kepada kelompok-kelompok miskin dan kaum
tuna kisma di perkotaan yang kebutuhannya akan tanah untuk pemukiman
mereka nyaris lepas dari perhatian pemerintah, bahkan dihadapi sebagai
musuh yang menghambat perkembangan kota besar. Jaminan yang sama
juga harus diberikan kepada kelompok petani subsisten, petani tak
bertanah dan para buruh tani di pedesaan. Jaminan ini merupakan realisasi
dari prinsip tidak seorang pun dapat dipaksa mengubah pencarian
hidupnya bertentangan dengan kehendak dan keyakinannya. Hal ini juga
erat kaitannya dengan hak rakyat untuk menguasai tanah dan kekayaan
alamnya guna memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Bagaimanapun,
negara wajib bertanggung jawab menjamin kelompok-kelompok ini untuk
memperoleh kesempatan yang sama untuk membangun, menentukan arah
pembangunan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
863
Daftar Pustaka
Biro Pusat Statistik 1993.
Faizah, Lilis Nur, Landreform Sejarah Dari Masa Ke Masa, tugas Mata Kuliah
Landreform, Yogyakarta: UGM, www.zeilla.wordpress.com., 2007.
Fauzi, Noer dan Ifdhal Kasim, Sengketa Agraria dan Agenda
Penyelesaiannya, Makalah pada Roundtable Discussion, bertema
“Agenda yang mendesak: Menuju RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam yang
Adil, Berkelanjutan dan Menyejahterakan Masyarakat”, diselenggarakan
Fakultas Hukum UGM bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup, ELSAM, YLBHI, KPA dan ICEL, Kampus FH
UGM Bulaksumur Yogyakarta, 16 September 2000.
Fauzi, Noer, Petani & Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di
Indonesia, Yogyakarta: kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka
Pelajar, 1999.
Fauzi, Noer, Restitusi Hak Atas Tanah: Mewujudkan Keadilan Agraria di
Masa Transisi, pengembangan makalah yang berjudul “Keadilan
Agraria di Masa Transisi” pada Lokakarya Nasional Hak Asasi
Manusia VI yang bertemakan “Transitional Justice (Keadilan
Transisional) menentukan Kualitas Demokrasi di Indonesia Masa Depan”,
diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia
bekerjasama dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Surabaya, Surabaya 21 s/d 24 November 2000.
Hardiyanto, Andik, “Landreform by Leverage di Indonesia”, dalam Kertas
Posisi KPA (Position Paper) No. 001/1998.
Konsorsium Pembaruan Agraria, Usulan Revisi Undang-undang Pokok
Agraria, Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat atas Sumber-sumber
Agraria, Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan
Konsorsium Pembaruan Agraria, 1998.
Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional Pasal 1.
Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung SH, staff Litbang Mahkamah Agung,
masalah pertanahan mendominasi perkara di PTUN dan PTTUN.
“Dari penelitian saya, sejak 14 PTUN dan empat Pengadilan Tinggi
TUN (PTTUN) didirikan, perkara yang diterima sebagian besar
adalah masalah pertanahan” (sebagaimana dimuat di Kompas, 21
Oktober 1996).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
864
Iswantoro: Perkembangan Landreform dalam Pemerintahan Indonesia
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Setiawan, Usep, “Krisis Kelembagaan Pertanahan? (Catatan atas
Kontroversi Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang BPN)”,
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15176&cl=
Simarmata, Rikardo, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di
Indonesia, Bangkok: UNDP Regional Centre, 2006.
Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia,
Surabaya: Arkola Offset, 2002.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata: Hak Jaminan Atas Tanah,
Yogyakarta: Liberty, 1981.
Suhendar, Endang, dkk, Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Akatiga,
1998.
Sumardjono, Maria SW, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan
Implementasi, edisi revisi, Kompas: Jakarta, 2001.
Sumardjono, Maria SW, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep
Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998
di Yogyakarta, 1998.
Suseno, Frans Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius,
1993.
Wiradi, G., Pembaruan Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta:
KPA, Insist Press bekerjasama dengan Pustaka pelajar, 2000.
Zakaria, Yando R., “Kemajemukan Masyarakat Bangsa Indonesia dan
Penegakan Hak-hak Masyarakat Adat”, dalam Kertas Posisi KPA
(Position Paper) No. 005/1998.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Download