BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini dijelaskan teori-teori yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian, kemudian digunakan sebagai landasan dalam menganalisis data yang terdapat pada Bab tiga. 2.1 Sintaksis Sintaksis adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara kata dengan satuan lain yang lebih besar, dan kata tersebut membentuk suatu kalimat atau kelompok-kelompok kalimat seperti yang diungkapkan oleh Robert (1964: 1) “Syntax is concerned with the relationship of words in sentence, the ways in which they are put together to form sentence.” Sintaktis menyangkut hubungan kata-kata dalam kalimat, maupun cara kata-kata tersebut di susun untuk membentuk kalimat. Tidak berbeda jauh dengan Robert, Stork (1976: 231) menjelaskan bahwa “Syntax is the branch of grammar which is concerned with the study of the arrangements of words in sentence and of the means by which such relationship are shown.” Maksudnya sintaktis merupakan cabang ilmu bahasa yang berkaitan dengan studi pengaturan kata-kata di dalam kalimat dan makna seputar hubungan yang diturunkan. Selain itu, menurut Verhaar (1996: 161), “Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antara kata dalam kalimat, yang pada intinya sintaksis dianggap menyangkut hubungan gramatikal antar kata di dalam kalimat.” Dalam sintaktis terdapat istilah kategori sintaktis, kategori sintaktis terbagi dua macam yaitu leksikal kategori dan non-leksikal kategori dan memengaruhi struktur kalimat seperti yang diungkapkan O‟Grady et al. (1993: 182-183) Dari kelima definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sintaktis adalah cabang tata bahasa yang mempelajari struktur yang ada dalam kalimat atau hubungan antar kata dengan unsur-unsur lainnya yang kemudian bergabung kalimat, klausa, frasa, dan kata. 2.1.1 Kategori Sintaktis Kategori sintaktis adalah istilah dalam kajian sintaktis sedangkan dalam istilah kajian gramatikal adalah part of speech. Dalam buku berjudul Syntax: A Generative Introduction karya Andrew Conie menyatakan bahwa “Part of speech also known as syntactic category.” Penelitian yang diteliti adalah repetition, bila dikaitkan dengan sintaktis yang dimana dalam sintaktis di dalamnya terdapat kategori sintaktis. Kategori sintaktis terbagi menjadi dua yaitu content words dan function words. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Radford (2009: 2) bahwa kata terbagi menjadi dua jenis yaitu content words dan function words. Repetition ini dikenal juga sebagai repetition of word, kata yang sering kali diulang adalah „kata isi‟ (content words). Repetition yang terjadi tidak bisa sembarang mengulangi kata, frasa, klausa atau kalimat. Dalam sebuah wacana bahasa Inggris tentu terkandung function words dan content words. Repetitionmemang seringkali menggunakan content words namun tidak memungkiri penggunaan function words karena repetitionitu sendiri memiliki fungsi masing-masing. Content words adalah kata yang secara leksikal memiliki makna dan dapat mengalami perubahan morfologi. Content words merupakan kelas kata terbuka yang dapat berdiri sendiri. Sebaliknya, function words adalah kata non leksikal yang dimana tidak memiliki makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan kelas kata tertutup dan di dalam penuturan tidak dapat berdiri sendiri. Berdasarkan jenis kata ini maka Radford (2009: 2) mengategorikan bahwa kategori leksikal atau content words adalah noun, verb, adjective, adverb, dan preposition, dan yang termasuk ke dalam kategori non-leksikal atau function words adalah determiner, qualifier, pronoun, auxiliary verb, conjunction (2009: 4-6). 2.1.1.1 Kategori Leksikal Kategori leksikal merupakan kelas kata terbuka yang dapat berdiri sendiri, memiliki makna dan dapat mengalami perubahan morfologi. Kategori leksikal atau Content words terdiri dari noun, verb, adjective, adverb, dan preposition seperti yang diungkapkan Radford (2009: 2). 1. Nomina Menurut Allsop (1990: 10) bahwa “Nouns are used to identify or put names to people, things and qualities in the world around us”. Maksud pernyataan ini adalah nomina digunakan untuk mengidentikasi seseorang, suatu benda di sekitar kita. Hal serupa dikemukakan oleh Schmidt, Izzan dan Cowan. Schmidt (1995: 335) mengemukakan“A noun is a word for name people, place, things, and idea”. Menurut Cowan (2007:1) “Nouns refer to people, places, and things”. Hal ini diperkuat oleh Izzan (2008: 15) bahwa “A noun is the word which is used for naming a person or thing”. Hal tersebut diperkuat seperti yang dituliskan dalam website http://www.pronuncian.com/Lessons/Default.aspx?Lesson=58 bahwa nomina menjelaskan orang, tempat, benda dan ide misalnya Patty, Seattle, cars, happiness. Dapat disimpulkan dari empat pernyatan di atas bahwa nomina adalah kata untuk menandai atau menamai orang, benda, tempat, dan gagasan di sekitar kita. 2. Verba Kata kerja atau verba adalah kata yang menyatakan sesuatu atau terdapat aktivitas didalamnya seperti yang diungkapkan oleh Schmidt (1995: 337) bahwa “Verbs are generally action or state-of-being-words” Klammer menambahkan bahwa “Verbs have been defined traditionally as a word that express an action.” Hal ini diperkuat oleh pendapat Kroeger (2005: 33) “Verbs is a word that names an action or event.” Pada website http://www.pronuncian.com/Lessons/Default.aspx?Lesson=58 menyatakan bahwa verba yang ada pada kategori leksikal adalah verba utama tanpa auxiliary seperti ran, swim, thinks. 3. Ajektiva Ajektiva adalah kategori sintaktis yang menjelaskan dan memodifikasi nomina seperti yang diungkapkan oleh Schmidt (1995: 335) “An adjective is a word use to modify noun, pronoun, so adjective describes noun.” Frank (1972: 109) menambahkan ajektiva pada dasarnya berfungsi sebagai modifier. Ajektiva dapat memodifikasi nomina ataupun ajektiva yang lain yang berfungsi sebagai head dalam suatu frasa. Lalu pada website American English Pronunciation memaparkan hal yang sama, ajektiva adalah kelas kata yang menjelaskan nomina misalnya red, soft, careful. Carnie (2007: 43) menambahkan bahwa “Adjectives can appear between determiners such as the, a, these, etc and nouns: (the big peanut). They also can follow the auxiliary am, is, are, were, be, been, being. Frequently, adjectives can be modified by the adverb very ex: those people are very kind.” Menurut pendapat di atas bahwa ajektiva memiliki beberapa fungsi, tidak hanya memodifikasi nomina. 4. Adverbia Kategori adverbia pada dasarnya berfungsi sebagai modifier seperti halnya kategori ajektiva yang sudah dijelaskan pada poin sebelumnya. Menurut Frank (1972: 141) adverbia dapat memodifikasi verba atau juga melengkapi suatu ajektiva atau melengkapi suatu adverbia yang mengikutinya. Tidak berbeda jauh dengan Frank, Alwasilah (1993: 48) menyatakan bahwa adverbia adalah kelas kata yang menerangkan verba, ajektiva, dan adverbia yang lain. Adverbia juga merupakan kata yang digunakan untuk menspesifikasi kelas kata manapun kecuali nomina dan promonia. Website American English Pronunciation menyatakan hal yang sama, adverbia adalah kelas kata yang menjelaskan verba contohnya calmly, quickly, carefully. 5. Preposisi Menurut Quirk (1999: 71) kategori preposisi tergolong dalam kelompok closed group. Closed group adalah kategori yang tidak berubah bentuknya, dengan kata lain closed group adalah kategori yang tidak bisa dimodifikasi oleh morfem apapun atau hanya bisa dimodifikasi oleh konsituen lain dalam struktur kalimat. Menurut Frank (1972: 163) menyatakan bahwa kategori preposisi pada umumnya diikuti oleh satuan kata berkategori nomina atau frasa dan memberi penekanan pada posisi, tempat dan waktu pada suatu nomina. Sementara bila preposisi menjadi head pada suatu frasa dapat berfungsi sebagai penghubung nomina atau pronomina dengan verba, ajektiva, ataupun nomina lain. Tidak berbeda jauh dengan dua pendapat tersebut, pada website American English Pronunciation menjelaskan bahwa preposisi adalah “words that tell relation to other words” contohnya at, on, to, near. 2.1.1.2 Kategori Non-leksikal Kategori di atas merupakan open class. Leksikal kategori merupakan kategori yang menyediakan makna dalam satu kalimat sedangkan kategori fungsional merupakan kategori yang menyediakan informasi secara gramatikal (Carnie 2007: 46). Non-leksikal dikenal juga sebagai kategori fungsional, Radford (2009) yang mengungkapkan hal ini dimana pernyataan yang Ia sampaikan tidak berbeda jauh dengan pernyataan Carnie. Radford (2009: 2) mengungkapkan function words adalah kata leksikal yang dimana tidak memiliki makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan kelas kata tertutup dan di dalam penuturan tidak dapat berdiri sendiri. Radford (2009: 4-6) mengategorikan kategori non-leksikal atau function words adalah determiner, qualifier, pronoun, auxiliary verb, conjunction. 1. Determiners Wishon & Burks (1980: 95) menyatakan bahwa “Determiners give differentially degrees of specify to the noun as modify”. Maksud dari peryataan ini, determiner berfungsi untuk memodifikasi kata benda atau nomina. Determiner diletakan di depan kata benda, seperti yang diungkapkan oleh Klammer (2002: 92) bahwa “Determiner is structure words that precedes and modifies a noun. We could define a determiner, in fact as a structure words that can be substitute for a or an or the”. Carnie menambahkan (2007: 46) kategori determiners sedikit lebih luas karena terdiri dari beberapa sub kategori. Hal ini diperkuat oleh Cowan (2008: 118), Cowan membagi determiner menjadi sepuluh tipe yaitu : a. Articles : a/an, the b. Cardinal numbers : one, two, 25 c. Ordinal numbers : first, second, 70th, last, next d. Multipliers: triple, twice, 10 times e. Fractions: one-half, one-tenth f. Demonstrative determiners : this/that, these/those g. Possessive determiners : my, your, their h. Noun as possessive determiners : Sarah‟s, president‟s i. Quantifiers : both, any, many, much, few j. Partitives : slice of, bottle of Dapat disimpulkan dari penjelasan di atas bahwa determiner adalah kata atau kelompok kata yang ditempatkan di depan kata benda, masing-masing determiner memiliki fungsi tersendiri seperti membatasi atau memperjelas makna kata benda tersebut. 2. Qualifier Pada website http://grammar.about.com/od/pq/g/qualifierterm.htm menyatakan bahwa “A qualifier is a word or phrase (such as very) that precedes an adjective or adverb, increasing or decreasing the quality signified by the word it modifies.” Beberapa contoh qualifier (meskipun beberapa diantaranya memiliki fungsi lain) antara lain: very, quite, rather, somewhat, more, most, less, least, too, so, just, enough, indeed, still, almost, fairly, really, pretty, even, a bit, a little, a (whole) lot, a good deal, a great deal, kind of, sort of. 3. Pronomina Pronomina adalah kata yang dapat menggabungkan nomina atau kata yang berfungsi sebagai nomina di dalam kalimat seperti yang diungkapkan oleh Alwasilah (1993: 48) “A word used instead of noun or noun equivalent”. Pronomina memiliki beberapa jenis, Frank (1977: 11-27) membagi jenis pronomina menjadi enam jenis yaitu : a) Personal pronoun (kata ganti orang) terdiri dari pembicara, orang yang diajak bicara atau orang yang dibicarakan. b) Possessive pronoun (kata ganti kepemilikan) kata benda kepunyaan seperti my, your, mine, her, his, their. c) Reflexive Pronoun (kata ganti diri) ditujukan untuk mengulang kembali subjek refleksif pronomina yang digunakan sebagai objek kata kerja transitif dan objek preposisi. d) Demonstrative pronoun (kata ganti penunjuk benda) berfungsi untuk menunjuk sesuatu seperti orang atau benda contohnya this, that, these. e) Interrogative pronoun (kata ganti tanya) digunakan untuk menanyakan seseorang atau sesuatu. Who and whom digunakan untuk menanyakan subjek + objek, what digunakan untuk menanyakan benda, which digunakan untuk menanyakan benda yang dikehendaki dan whose digunakan untuk menanyakan kepemilikan. f) Relative pronoun (kata ganti penghubung) yang merupakan relative pronoun adalah who, whom, whose, which that. Kata ganti penghubung sering digunakan dalam bentuk subordinate adjective clause. 4. Auxiliary Verbs Menurut Hallan (1998: 182) auxiliary verb ialah verba pembantu yang membantu membentuk tense. Hallan membagi auxiliary verbs menjadi dua, yaitu: a) Primary auxiliary (kata bantu utama), disebut juga anomalous finites artinya kata kerja bantu yang tak beraturan seperti: - To be (am, is, are, was, were) - To do (does, did) - To have (has, had) b) Modal auxiliary, menurut Webster‟s new collegiate dictionary (1981:741) bahwa “Modal is a distinction of form or particular set inflectional form of a verb to express whether the action or state it donates conceived as a fact or in some other manner (as command possibility,or,wish)”. Maksud dari definisi tersebut adalah perbedaan bentuk atau seperangkat bentuk infleksi kata kerja untuk mengungkapkan apakah kegiatan atau keadaan yang dinyatakan kata kerja itu dianggap sebagai fakta atau sikap tertentu (perintah, kemungkinan, atau harapan) contohnya will, would, shall, should, can, could, may, might, must. 5. Konjungsi Alwasilah (1993: 48) mengatakan bahwa konjungsi adalah sebuah kata yang digunakan untuk menggabungkan kata-kata atau sejumlah frasa, atau menggabungkan klausa satu dengan yang lainnya. Kata sambung adalah kata-kata yang menghubungkan dua atau lebih frasa bersama-sama dalam tingkatan yang sama. Kata-kata yang termasuk kata sambung contohnya adalah and, or, nor, neither..nor, either...or.(Carnie 2007: 46) 2.1.2 Tataran Sintaktis Bahasa memiliki stukturnya masing-masing, ilmu yang mempelajari struktur dalam bahasa inggris adalah grammar dan sintaksis. Pada poin 2.1 kita mendapat simpulan bahwa sintaksis merupakan ilmu yang yang mempelajari struktur yang ada pada kalimat atau kata dengan unsur-unsur lainnya. Simpulan di atas semakin diperkuat oleh pernyataan Tallerman (2015: 24) bahwa “… a language doesn‟t just consist of strings of words, but that the words group together to form phrases, and the phrases group together to form larger phrases and sentences. Linguists describe this phrases-within-phrases pattern as hierarchical structure”. 2.1.2.1 Kata Kata adalah bentuk bebas terkecil dalam bahasa. Pengertian tersebut seperti yang dijelaskan oleh O‟Grady (1996: 131) bahwa kata adalah “The smallest free forms found in language”. Tidak berbeda jauh dengan O‟Grady, Trask (1999: 342) menjelaskan bahwa kata adalah “A linguistic unit typically larger than a morpheme but smaller than a phrase”. Maksud dari definisi tersebut adalah kata merupakan sebuah satuan linguistik yang lebih besar tingkatannya dari sebuah morfem namun lebih kecil dari frasa. Menurut Richard et al. (1985: 123) kata adalah “the smallest unit of spoken which has meaning and can stand alone”, dan menambahkan bahwa kata “One or more sound which can spoken to represent an idea, object, action, etc”. Kumpulan kata dapat membentuk suatu kalimat karena kata merupakan unit terkecil dari kalimat. Kata memiliki makna dan dapat berdiri sendiri tanpa diikuti kata lain sehingga dapat menyampaikan ide, gagasan dan pesan pada orang lain secara lisan maupun tulisan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kata merupakan unit terkecil dalam tataran sintaksis suatu bahasa yang mempunyai makna, dapat berdiri sendiri, dan mengandung suatu gagasan atau ide dalam bahasa. 2.1.2.2 Frasa Berbeda dengan kata, frasa merupakan kelompok kata yang terdiri dari dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif. Trask (1999: 237) menyatakan bahwa frasa “A grammatical unit which is smaller than clause. The term phrase is the ancient one, and it has long been used to denote a grammatical unit which typically (thought not invariably) consist of two or more words but which does not contain all of the thing found in the clause”. Frasa memiliki kedudukan satu tingkat di bawah klausa dan satu tingkat di atas kata. Dalam sejarah linguistik istilah frasa banyak digunakan dengan pengertian yang berbeda-beda. Frasa atau phrase dalam bahasa Inggris oleh Richards et al. (1985: 39) didefinisikan sebagai berikut: “… a phrase is a group of words which form a grammatical unit”. Yang berarti bahwa suatu frasa adalah suatu kelompok kata yang membentuk unit gramatikal.. Frasa tidak memiliki struktur subjek-predikat. Satu hal yang perlu diingat, karena frasa itu tidak dapat dipindahkan sendiri jika ingin dipindah harus secara keseluruhan sebagai suatu kesatuan. Quirk et al. (1985: 62) membagi frasa menjadi lima bagian berdasarkan beberapa kategori tergantung pada jenis pembedanya, tidak berbeda jauh dengan Quirk et al. menurut Greenbaum (1996) frasa dibagi menjadi lima bagian menurut head word-nya yaitu 1) noun phrase 2) verb phrase 3) adjective phrase 4) adverbial phrase 5) prepositional phrase Frasa diklasifikasikan ke dalam lima jenis menurut fungsinya di dalam kalimat : a) Frasa Nomina Frasa nomina merupakan frasa yang terdiri dari head (unsur utama) yang berkelas kata nomina dan elemen lain yang menjelaskannya seperti yang diungkapkan oleh Quirk et al. (1985: 62) bahwa “Noun phrases consists of a head which is typically a noun, and of elements which (either obligatory or optionally) determine the head and (optionally) modify the head or complement another elements in the phrase.” Yang dimaksud pernyataan ini adalah frasa nomina terdiri dari inti (head) yang berjenis nomina dan elemen-elemen (wajib, harus atau pilihan) menentukan inti (head) dan (pilihan) menerangkan inti (head) atau pelengkap elemen lain dalam frasa. Menurut Greenbaum (1996) frasa nomina merupakan frasa yang mana nomina menjadi head dari frasa tersebut. Namun selain nomina, pronomina, numeralia, dan ajektiva nominal juga dapat menjadi head dari frasa nomina. Contoh : 1) I remember Alice‟s wedding 2) I remember that girl with the red hair Contoh 1) dikategorikan sebagai frasa nomina karena frasa Alice‟s wedding seluruhnya adalah nomina. Pada contoh 2) yang menjadi head adalah that girl yang dimana „that‟ adalah determiner yang berfungsi memperkenalkan nomina yaitu kata „girl‟. b) Frasa Verba Menurut Quirk et al. (1985: 62) bahwa “Verb phrase consist of a main verb which either stands alone as the entire verb phrase, or is preceded by up to four verbs in an auxiliary function. Maksud pernyataan di atas adalah bahwa frasa verba terdiri dari verba utama yang salah satunya berdiri sendiri sebagai frasa verba sepenuhnya atau frasa verba yang didahului oleh empat verba fungsi kata kerja bantu. Sedangkan menurut Greenbaum (1996) frasa verba merupakan frasa yang mana verba merupakan head dari frasa tersebut. Contoh: 3) The ship was sinking 4) The ship has been sunk Contoh 3) dan 4) dikategorikan sebagai frasa verba karena head dari frasa tersebut adalah verba yaitu 3) was dan 4) has been c) Frasa Ajektiva Quirk et al. (1985: 63) mengungkapkan “Adjective phrases consist of an adjective as head, optionally preceded and followed by modififying elements.” Maksud dari pernyataan di atas adalah frasa ajektiva terdiri dari ajektiva sebagai kepala atau inti, dan biasanya diawali dan diikuti dengan menerangkan elemenelemen. Hal ini serupa seperti yang diungkapkan oleh Greenbaum (1996) bahwa frasa ajektiva merupakan frasa yang mengandung ajektiva sebagai head-nya. Contoh : 5) The weather was too hot to enjoyable 6) The weather was pleasant enough Contoh 5) dikategorikan frasa ajektiva karena head dari frasa tersebut adalah ajektiva, too hot. Pada contoh 6) head dari frasa tersebut adalah pleasant. Kedua frasa yang terdapat pada contoh tersebut, keduanya memiliki fungsi untuk menerangkan the weather. d) Frasa Adverbial Menurut Quirk et al. (1985: 63) mengungkapkan “Adverb phrases are similar to adjective phrases in their structure except that they have an adverb, instead of an adjective, as their head.” Frasa adverbial sama dengan ajektiva memiliki adverbia sebagai pengganti ajektiva sebagai head. Hal ini tidak berbeda jauh dengan yang diungkapkan oleh Greenbaum (1996) bahwa frasa adverbial adalah frasa yang dimana mengandung adverbia sebagai head-nya yang biasanya didahului oleh pre-modifier dan sangat jarang diikuti oleh post-modifier. Contoh : 7) I spoke to him quite often 8) Tony drives a car very slowly Contoh 7) dikategorikan sebagai frasa adverbial karena head dari frasa tersebut adalah adverbia, kata quite dan often adalah sebuah adverbia. Sama seperti pada contoh 7), contoh 8) memiliki head adverbia karena kata very dan slowly adalah sebuah adverbia. e) Frasa Preposisi Menurut Quirk et al. (1985: 143) “Prepositional phrases consist of preposition followed by a prepositional complement, which is normally a noun phrase.” Frasa-frasa preposisi terdiri dari preposisi yang diikuti oleh complement yakni preposisi yang biasanya merupakan frasa nomina. Greenbaum (1996) mengungkapkan bahwa frasa preposisi merupakan frasa yang mana preposisi merupakan head dari frasa tersebut. Contoh : 9) I met her for lunch 10) I met her at the corner of the street Contoh 9) dikategorikan sebagai frasa preposisi karena kata „for‟ merupakan preposisi yang menjadi head pada frasa tersebut dan berfungsi memodifikasi pronomina sebelumnya. Sama seperti contoh 9), pada contoh 10) head pada frasa tersebut „at‟ yang dimana adalah sebuah preposisi dan juga berfungsi untuk memodifikasi proromina „her‟ yang terletak sebelum frasa preposisi. 2.1.2.3 Klausa Klausa merupakan salah satu bentuk susunan atau gabungan kata yang membentuk unit gramatikal dimana komponennya sudah memiliki subjek dan predikat. Menurut Richard (1985: 39) “Clause is a group of words which forms a grammatical unit and which contains a subject and a finite verb. A clause forms a sentence or part of a sentence and often functions as a noun, adjective or adverb.” Maksud dari penjelasan tersebut ialah gabungan kata yang membutuhkan unit gramatikal, mempunyai sebuah subjek dan sebuah finite verb. Klausa membentuk sebuah kalimat atau bagian dari suatu kalimat atau sering berkategori nomina, ajektiva, atau adverbia. Menurut Frank (1972: 22) mendefinisikan klausa sebagai “A full prediction that contains a subject and predicate with a finite verb”. Menurut Frank (1972: 228) ada tiga jenis klausa yaitu noun clause, adjective clause, adjective clause, dan adverb clause. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa klausa adalah sebuah kalimat atau bagian dari suatu kalimat yang memiliki subjek dan predikat di dalamnya, dan memiliki tiga jenis di antaranya yaitu klausa nomina, klausa ajektiva dan klausa adverbia. a) Klausa Nomina Menurut Frank (1972: 228) “Noun clause is clause which performs the function of a noun called a noun clause.” Altenberg dan Vago (2010: 118) menyatakan “Noun clauses look just like other dependent clauses; they beginning with a subordinating conjunction and contain both a subject and a verb phrase. When a sentence has a noun clause, the rest of the sentence cannot always stand alone; it needs clause to be complete.” Maksudnya adalah klausa nomina terlihat seperti klausa terikat lainnya yang dimulai dengan konjungsi subordinatif dan paling sedikitnya mengandung unsur satu subject dan verb. Ketika sebuah kalimat mengandung noun clause di dalamnya, maka main clause tidak dapat berdiri sendiri, sehingga membutuhkan noun clause untuk menjadikan kalimat menjadi lengkap. Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat Lester (2009: 91) yang menyatakan bahwa : “Noun clauses are dependent clauses that function as noun phrases (dependent clause have their own subjects and verbs but they are not able to stand alone as complete sentences) noun clauses, like gerunds and infinitives used as nouns, are singular, and thus they can always be replaced by the third-person singular pronoun it.” Ketiga pendapat di atas memiliki kesamaan gagasan yang menunjukkan bahwa klausa nomina adalah jenis subordinate clause yang berfungsi sama seperti noun, yaitu dapat mengisi fungsi sebagai subject, object dan complement di dalam kalimat. Klausa nomina pada dasarnya diawali dengan adanya subordinate conjunction sebagai kata penghubung noun clause dengan main clause, kehadiran subordinate clause juga dapat menjadi penghubung antara main clause dengan noun clause. Contoh : 11) I don‟t know whether they still live there Contoh 11) dikategorikan sebagai klausa nomina karena di samping terdapat adanya subordinate conjunction yang menjadi penghubung main clause dengan noun clause, fungsi klausa nomina pada pada data di atas adalah sebagai objek. b) Klausa Ajektiva Adjective clause atau relative clause adalah jenis subordinate clause yang berfungsi untuk menjelaskan noun atau pronoun. Selain itu adjective clause berfungsi untuk memberikan informasi tambahan serta menyatakan kepunyaan seperti yang dinyatakan Frank (1972: 228) “Adjective clause is any clause which performs the function of an adjective may be called adjective clause.”, dan ditambahkan oleh Swan (2000: 487) menyatakan “Clauses beginning with the question word (e.g who, which, where) are often used to modify noun and some pronouns to identify people and things, or to give information about them. Clauses used like this are called relative clause.” Hal tersebut semakin diperkuat oleh pernyataan Miller (2002: 65) bahwa “Relative clause are called adjective clause, reflecting the fact that adjective also modify nouns.” Artinya, relative clause yang juga disebut klausa ajektiva mencerminkan fakta bahwa ajektiva juga memodifikasi nomina. Dari ketiga pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa adjective clause adalah sebuah klausa yang pada dasarnya diawali oleh dengan subordinate conjunction seperti who, that, which, where, whom, whose, when, where, how, that. Selain itu, klausa ajektiva berfungsi untuk memberikan informasi tambahan terhadap nomina dan pronomina seperti pada contoh (12) 12) The student who gets the highest grades will receive an award Pada contoh 12) klausa ditandai dengan subordinate conjunction „who‟ dan klausa tersebut berfungsi untuk memberikan informasi tambahan terhadap frasa nomina yaitu the student. c) Klausa Adverbial Menurut Frank (1972: 228) “Adverb clause is any clause performs the junction of adverb is called an adverb clause.” Klausa adverbial merupakan subordinate clause yang memodifikasi atau memberikan informasi tambahan terhadap verba. Maurer (2000: 352) menyatakan bahwa “Adverb clause are dependent clauses that answer the question how, where, or why in the same way that single adverb do. They introduced by subordinating conjunctions, which can be either single words or phrases.” Di dalam kalimat, adverbial clause ditandai dengan adanya subordinate conjunction seperti because, although, before, after, when, where, while, since, contohnya: 13) The concert was cancelled because the soloist became ill Contoh 13) dikategorikan sebagai klausa adverbial karena klausa di atas, di samping klausa tersebut ditandai dengan subordinate conjunction „because‟, klausa tersebut berfungsi untuk memodifikasi frasa verba sebelumnya yaitu was cancelled. 2.1.2.4 Kalimat Kalimat merupakan unit gramatikal terbesar dimana kelas kata dam kelompok gramatikal berperan di dalamnya seperti yang diungkapkan oleh Richards et al. (1985: 225), Ia menjelaskan bahwa “Sentence in grammar is the largest unit of grammatical organization within which parts of speech (e.g noun, verbs, adverbs) and grammatical classes (e.g word, phrase, clause) are said to function.” Quirk et al. (1985: 47) menambahkan “The sentence is the highest ranking units of grammar, and hence that the purpose of a grammatical description of English is to define, by means whatever descriptive apparatus may be necessary (rule, categories, etc), want counts a grammatical sentence in English.” Selanjutnya Menurut Downing dan Locke (2006: 272) berdasarkan strukturnya kalimat dapat dibagi menjadi empat macam yaitu: a) Kalimat Tunggal Downing dan Locke (2006: 272) mengemukakan bahwa “The simple sentence consist basically is one independent clause.” artinya kalimat sederhana yang pada dasarnya terdiri dari satu klausa bebas. Meskipun simple sentence memiliki hanya satu klausa bebas tapi kalimat tersebut telah memiliki makna utuh, misalnya: 14) Sam brought the ticket Contoh nomor 14) hanya memiliki satu kata kerja yaitu brought dan terdiri dari satu klausa bebas (independent clause). b) Kalimat Majemuk Schmidt (1995: 359) menyatakan “Coordinating conjunctions and conjunctive adver connect simple sentences in order to form compound sentences.” Downing dan Locke (2006: 272) mengemukakan “The compound sentences consist basically of two independent clauses, linked in a relationship of coordination.” Artinya kalimat majemuk pada dasarnya terdiri dari dua klausa bebas (independent clause) yang dihubungkan oleh kata penghubung. Dua pendapat tersebut memaparkan hal yang serupa yaitu kalimat majemuk terdiri dari dua kata kerja atau lebih atau terdiri dari dua atau lebih induk kalimat (independent clause) yang dihubungkan oleh kata penghubung seperti for, and, nor, but, or, yet, so dimana kata penghubung tersebut menghubungkan dua gagasan atau lebih. Contoh : 15) She is a beautiful but she is loyal Contoh 15) merupakan kalimat majemuk (compound sentence) yang terdiri dari atas dua independent clauses yang dihubungkan oleh coordinate conjunction „but‟ yaitu she is beautiful dan she is loyal. c) Kalimat Bertingkat Klammer dan Schulz (2000: 282) mengemukakan bahwa “The result from contains one independent clause and one dependent clause become one sentence called a complex sentence.” artinya penggabungan dari satu klausa bebas dan satu klausa terikat menjadi satu kalimat disebut kalimat bertingkat. Schmidt (1995: 359) menambahkan bahwa “Complex sentences are made up of at least one dependent clause introduced by a subordinate conjunction e.g : after, although, unless, since, then, because (relative pronoun), who, which, whom, that, whose, when, why, where, etc.” Artinya, kalimat bertingkat terbentuk oleh kurang lebih satu klausa terikat (dependent clause) yang diawali oleh subordinate conjunction. Dua pendapat mendukung satu sama lain, pendapat kedua memperjelas pendapat pertama dengan memaparkan bahwa pada kalimat bertingkat ditandai dengan adanya subordinate conjunction seperti pada contoh: 16) Andy who speaks English well is the best student Contoh 16) merupakan kalimat bertingkat yang terdiri dari satu independent clause yaitu Andy is the best student , dan satu dependent clause yaitu diawali oleh subordinate conjunction „who‟ -- who speaks English well. d) Kalimat Majemuk Bertingkat Klammer dan Schulz (2000: 283) mengemukakan bahwa: Another way of combining sentences is to embed a clause within one or both of sentence halves in a compound sentence, this producing a form which is compound-complex sentence. Maksud dari pertanyaan ini adalah untuk menghubungkan kalimat dengan cara menambahkan klausa dengan satu dengan dua kalimat yang setengahnya adalah kalimat setara (compound sentence) untuk menghasilkan kalimat yang disebut kalimat majemuk bertingkat. Schmidt (1995: 359) menambahkan bahwa “Compund-complex sentence are made up of combination of at least one compound sentence and at least one of dependent clause.” artinya kalimat majemuk bertingkat terbentuk dari kombinasi minimal satu kalimat majemuk dan satu klausa terikat. Dua pendapat ini menyatakan hal yang serupa mengenai kalimat majemuk bertingkat yaitu kalimat majemuk bertingkat terbentuk kurang lebih satu kalimat majemuk dan satu klausa terikat, hal ini terlihat pada contoh 17): 17) The rat runs away when the cat appears but it (the cat) keeps quiet Contoh 17) the rat runs away dan it (the cat) keeps quiet adalah kalimat majemuk yang dihubungkan oleh coordinate conjunction yaitu „but‟. Kalimat when the cat appears merupakan klausa terikat (dependent clause) yang tidak dapat berdiri sendiri. Penjelasan di atas merupakan penjelasan dari sudut sintaktis sedangkan penjelasan berikutnya akan menjelaskan dari sisi analisis wacana yaitu tentang wacana, koherensi dan kohesi, dan salah satu piranti kohesi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu repetition. 2.2 Teks dan Wacana Teks adalah bagian dari wacana. Teks direalisasikan atau diwujudkan dalam bentuk wacana dan lebih bersifat konseptual. Teks dapat berbentuk tulisan dan lisan seperti yang diungkapkan oleh Halliday (1985: 290) “Text is something that happens, in the form of talking or writing, listening or reading”. Trask (1999: 312) mengungkapkan bahwa teks yaitu “Text is a continuous piece of spoken or written language, especially one with recognizable beginning and ending. For some linguists, a text is no different from a discourse”. Maksud pendapat tersebut, teks bukan hanya serangkaian kata atau kalimat yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang diciptakan atau disusun dengan cara tertentu sehingga mengandung pengertian dalam konteks tertentu dan berfungsi sebagai penyampaian suatu pesan. Dari pengertian Halliday dan Trask mengenai teks dapat dikenali bahwa teks dapat berupa lisan maupun tulisan. Hal ini sejalan dengan pengertian teks yang diungkapan oleh O‟Grady dan Dobrovolsky (1993: 455) yaitu “The written version of any utterance or body of distance is called a text”. Teks berisi rangkaian kalimat yang memiliki hubungan dan kesatuan yang utuh sehingga memberikan pemahaman yang jelas tentang isi dan maknanya. Dalam pemahaman ini O‟Grady dan Dobrovolsky hanya mengungkapkan definisi teks untuk ungkapan tertulis. Suatu teks memiliki susunan karena fungsi susunan tersebut adalah sebagai pemersatu antara kalimat satu dengan kalimat lainnya. Susunan tersebut ditentukan oleh kelengkapan struktur kalimat atau kohesi. Teks dan wacana saling berhubungan karena teks berada dalam suatu wacana. O‟Grady dan Dobrovolsky (1993: 455) menunjukan keterkaitan teks dan wacana “The field that deals with the organization of texts, way in which parts of texts are connected, and the devices used for achieving textual structure is discourse analysis” . Analisis wacana digunakan untuk menghasilkan atau menjelaskan teks secara tersusun dan saling berhubungan. Seperti yang diungkapan oleh Trask (1999: 79) mengenai analisis wacana yaitu “Discourse analysis is an attempt to extend our highly successful analysis of sentence structure to units larger than the sentence”. Wacana merupakan suatu teks yang berkaitan dan memiliki makna antar kalimatnya secara keseluruhan. Pendapat yang masih sejalan mengenai definisi wacana diungkapkan pula Swan (1995: 151) yaitu : “Discourse means „pieces of language longer than a sentence. Some words and expressions are used to show how discourse is constructed. They can show the connection between what a speaker is saying and what has already been said or what is going to be said: they can help to make clear the structure of what is being said: they can indicate what speakers think about what they are saying or what others have said”. Ada pula definisi wacana menurut Trask (1999: 78), wacana adalah “Any connected piece speech or writing.” Pada kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis wacana digunakan untuk menunjukan bagaimana wacana terbentuk, wacana dapat menunjukan hubungan antara apa yang dibicarakan dan apa yang sudah dibicarakan, sehingga memberikan pemahaman yang jelas mengenai isi dan topik dalam tersebut. Wacana adalah kesatuan dari beberapa kalimat yang satu dengan yang lainnya terikat dengan erat. Tarigan (1987: 27) mengungkapkan definisi wacana yaitu “Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tulisan”. Sejalan dengan Tarigan, Kridalaksana (1987: 259) mengungkapkan pengertian wacana dalam kamus linguistik yaitu “Satuan bahasa yang terlengkap dalam hierarki gramatikal yang merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku seri, ensiklopedia), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap”. Dari penjelasan di atas mengenai teks dan wacana, maka dapat disimpulkan bahwa teks dan wacana saling berhubungan. Teks merupakan bentuk utuh dari wacana sedangkan wacana adalah satuan bahasa yang tertinggi dan merupakan proses pembentukan teks. Teks merupakan serangkaian kata atau kalimat, baik disampaikan secara lisan atau tulisan. Wacana merupakan satuan bahasa atau serangkaian kalimat yang memiliki makna dan antar kalimatnya saling berkaitan memiliki awal dan akhir yang tersusun dan sistematis. 2.3 Koherensi dan Kohesi Koherensi dan kohesi diperlukan dalam mempelajari sebuah wacana, seperti yang dijelaskan Trask (1999: 79) “Two fundamental terms in the study of discourse are cohesion and coherence”. Sebuah wacana memiliki koherensi dan kohesi antar kalimatnya yang berfungsi untuk menghubungkan kalimat-kalimat agar saling berkaitan sehingga dapat memberikan makna yang jelas. Analisis kohesi dan koherensi disusun karena bila keduanya diterapkan dalam sebuah wacana makna wacana tersebut akan jelas, dan menambahkan keindahan bahasa didalamnya. Dalam hal ini, kohesi melihat hubungan atau ikatan wacana sedangkan koherensi melihat keutuhan makna yang disampaikan sebuah wacana. Penjelasan lebih jauh mengenai koherensi dan kohesi akan diuraikan pada poin selanjutnya. 2.3.1 Koherensi Koherensi dan kohesi mendukung suatu teks agar memiliki kesesuaian antar kalimat. Koherensi dapat dikatakan sebagai eksternal aspek, wacana dilihat dari keterkaitannya dengan penonton, pendengar atau pembaca seperti sifatnya wacana yang membentuk perilaku bahasa yang efektif dalam kaitanya dengan tujuan-tujuan komunikatif. Trask (1999: 39) memberikan definisi mengenai koherensi yaitu “Coherence is the degree to which a piece of discourse „makes sense‟”. Wacana yang baik adalah wacana yang dapat mudah dimengerti oleh pendengar atau pembaca. Menurut Schmidt antara koherensi dan kohesi berkaitan erat. Pendapat mengenai pengertian koherensi menunjukan adanya kelogisan dalam susunan kalimat. Schmidt (1995: 41&125) menjelaskan“Coherence is synonym for cohesion, but it relates more to the order and consistency of ideas and statements and it means that all parts of a piece of writing are clearly related to one another in a logical sequence”. Dapat disimpulkan dari dua definisi tersebut, bahwa wacana lebih mudah dipahami apabila serangkaian kalimatnya memiliki kohesi dan koherensi. Kohesi berfungsi agar kalimat-kalimat yang terdapat pada sebuah wacana saling berkaitan dan memiliki kepaduan. Disisi lain, koherensi berfungsi agar makna pada suatu wacana tersebut jelas dan masuk akal, atau bisa dikatakan bahwa serangkaian kalimat tersebut memiliki makna yang logis dan dapat dimengerti oleh pembaca atau pendengar. 2.3.2 Kohesi Kohesi atau kepaduan dalam suatu wacana mutlak diperlukan agar teks yang disajikan memiliki hubungan yang saling berkaitan secara logis dan sistematis. Kohesi pada dasarnya mengacu kepada bentuk struktur tulisan. Kohesi berfungsi menyambungkan sumber-sumber yang tidak terstruktur di dalam wacana seperti yang diungkapkan Halliday (1985: 288) kohesi adalah “The non-structural resources for discourse are what referred to by the term cohesion”. Pendapat lain terkait pengertian kohesi diutarakan juga oleh Schmidt (1995: 125) “Cohesion means that different parts of some stick together”. Unsur-unsur dalam wacana saling mengikat sehingga memberikan makna yang saling berkaitan. Sejalan dengan pengertian sebelumnya, Halliday dan Hasan (1976: 299) mengungkapkan definisi mengenai kohesi yaitu “Cohesion expresses the continuity that exist one part of the text and another”. Kohesi menunjukkan kelancaran antara kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam suatu teks. Menurut Trask (1999: 40) “Cohesion is the presence in a discourse of explicit linguistic links which provide structure”. Kohesi menjadikan kalimat dalam setiap wacana memiliki kepaduan dan struktur yang mudah dipahami, setiap alur dalam kalimatnya memiliki makna yang saling berhubungan. Agar tercapainya tujuan tersebut, dibutuhkan adanya perangkat kohesi. Piranti kohesi terdiri dari gramatikal dan leksikalisasi. Gramatikal seperti referensi, konjungsi, elipsis dan substitusi, dan alat leksikalisasi seperti pengulangan, sinonim, antonim, hiponimi dan meronimi. Pada penelitian ini, penulis hanya memfokuskan pada salah satu piranti kohesi yaitu pengulangan. Repetition dapat menjadikan wacana menjadi kohesif dan koheren. Contoh : 18) The boys climbed the trees, the trees weren‟t too tall for them. Contoh 18) merupakan kohesi karena setiap kalimat memiliki makna yang saling berhubungan. Kalimat pertama menerangkan the boys yang memanjat the trees lalu kalimat selanjutnya menerangkan the tree yang tidak terlalu tinggi bagi mereka. Dengan kata lain, repetition ini menjadi salah satu cara untuk membuat kalimat menjadi kohesif. 2.4 Repetition Halliday dan Hasan (1976: 278) mendefinisikan repetition adalah penyebutan kembali satu unit leksikal yang sama yang telah disebutkan sebelumnya, repetition kata, frasa atau klausa. Tidak berbeda dengan Halliday dan Hasan, Keraf (1994: 127129) mendefinisikan repetition yaitu pengulangan satuan lingual bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingua yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat. Repitition pada umumnya sangat berperan penting dan banyak ditemukan pada lagu, puisi, ketika perkataan dari lirik lagu sering diulang maka dapat disebut repetition. Contoh : 19) We promise we will win the exhibition. Dalam contoh kalimat 19) terdapat repetition kata we promise yang merupakan bagian dari repetition. Repetition merupakan penekanan kata untuk meyakinkan sesuatu agar lebih jelas. Menurut Johnstone (1991: 11) “That Repetition is thereby a central process through which language is created in discourse”, dan dia pun menambahkan (1994: 4) “The underlying structural principle in text in which repetition is a discourse structuring device”. Dengan kata lain, repetition adalah hal inti yang mendasar dalam teks dimana repetition tersebut adalah perangkat dalam pembentukan struktur wacana. Menurut McArthur repetition adalah dasar komunikasi pada umumnya dan bahasa pada khususnya. “….doing, saying or writing the same thing more than once (..) The reccurence of processes, structures, elements and motifs is fundamental to communication in general and language in particular”. (McArthur, 1992 :861) . Jadi repetition adalah segala sesuatu yang muncul lebih dari sekali dapat dianggap sebagai pengulangan. Dengan demikian repetition merupakan elemen penting yang muncul dalam hal-hal yang ada disekitar kita, seperti percakapan sehari-hari, lagu, dan puisi. Repetition yang terjadi tidak bisa sembarang mengulangi kata, frasa, klausa atau kalimat. Dalam sebuah wacana bahasa Inggris tentu terkandung content words dan function words. Namun penggunaan keduanya terkait dengan repetition dan sisi eksternalnya dimana hal tersebut berhubungan dengan makna, content words digunakan dalam repetition dalam wacana karena bila kita telaah lagi dengan hubungan fungsi repetition itu sendiri, content words yang dimana memiliki makna digunakan dalam pengulangan. Meskipun tidak memungkiri penggunaan function words karena repetition itu sendiri memiliki fungsi masing-masing. Menurut Aitchison (1994 : 16) terdapat beberapa jenis repetition seperti : a) Anadiplosis : Starting a clause or phrase with the word or phrase that ended the preceding unit. Maksud pernyataan ini bahwa jenis repetition ini terjadi pada awal klausa atau frasa dengan kata atau frasa yang berakhir pada unit sebelumnya. b) Anaphora : The repetition of a word or group at the beginning of successive clauses or phrases. Artinya, bahwa jenis repetition ini adalah pengulangan kata atau kumpulan kata pada klausa atau frasa yang berturut-turut pada awal kalimat. c) Episthrope : Ending a series of phrases or clauses with the same word or words. Jenis ini adalah kebalikan dari Anaphora, jenis repetition adalah jenis repetition kata atau kumpulan kata pada akhir frasa atau klausa. d) Isocolon : A series similiarly structured phrases. Maksud pernyataan ini adalah bahwa Isocolon adalah jenis repetition yang memiliki kesamaan pada struktur frasa. e) Ploche : The repetition of the same word in a short span of text. Artinya, repetition kata yang sama dalam satu teks. f) Polyptoton : The repetition of a word, but in a different form. (i.e the repetition of a stem, with a difference in affixes). Repetition jenis ini adalah jenis pengulangan kata dengan bentuk yang berbeda (pengulangan sebuah asal suku kata dengan perbedaan dalam afiks) g) Polysyndeton : Employing many conjunctions between clauses, often slowing the tempo or rhythm. Maksudnya, jenis ini menggunakan banyak konjungsi diantara klausa, sering dipakai untuk memperlambat tempo dan ritme. Dari ketujuh repetition menurut Aitchison (1994) sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, akan diuraikan lebih rinci pada poin 2.4.1 sampai dengan 2.4.7. oleh berbagai sumber yaitu Preminger dan Brogan (1993), James Jashinki (2001), Avery (2001), Duke (2004), Hunter (2006), Brett Zimmerman (2005), Moran dan Holder (2007), Farnsworth (2010) dan Fahnstock (2011). 2.4.1 Anadiplosis Menurut Preminger dan Brogan (1993: 39) menyebutkan bahwa anadiplosis adalah bentuk pengulangan kata yang menghubungkan dua frasa, klausa, baris, atau bait dengan mengulangi kata di akhir yang pertama pada awal kedua. “Anadiplosis is a figure of word repetition that links two phrases, clauses, lines, or stanzas by repeating the word at the end of the first one at the beginning of the second”. (1993: 69). Hal serupa diungkapkan oleh James Jashinki (2001: 543) bahwa “Anadisplosis is when a word at or near the clause or sentence is used to begin the following clause or sentence”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa ketika sebuah kata atau dekat akhir suatu kalimat yang digunakan untuk memulai klausa atau kalimat selanjutnya. Contohnya: 20) Comfort it is for man to have a wife. Wife chast, and wise, and lowly all her life. 21) Suffering breeds character. Character breeds faith, in the end. Contoh 20) kata wife berakhir di kalimat sebelumnya dan di sambung dengan kata wife di awal kalimat. Sama halnya dengan contoh 20), contoh 21) terdapat repetition yaitu kata character. Pada kalimat pertama kata character ditulis di akhir kalimat dan pada kalimat selanjutnya kata character ditulis pada awal kalimat. Menurut Brett Zimmerman (2005: 111) bahwa “Anadiplosis can express emotion” dan menurut Ward Farnworth (2010: 58) bahwa “Anadiplosis is a helpful tool for describing an ascent”. Jadi anadiplosis ialah pengulangan kata yang menghubungkan frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, yang terjadi di bagian akhir kalimat dan diulang di awal kalimat selanjutnya. Anadiplosis juga adalah sebuah pengulangan yang berguna untuk menggambarkan sebuah penekanan dan juga dapat mengekspresikan emosi. 2.4.2 Anaphora Anaphora adalah pengulangan kata yang sama atau kata-kata pada awal frasa, klausa, atau kalimat berturut-turut. Hal ini diungkapkan oleh Levin (1986: 114) bahwa “The anaphora is beginning of successive clauses with the same word or group of words”. Anaphora disebut juga ephanaphora karena memiliki pengertianyang sama seperti yang diungkapkan oleh Preminger dan Brogan (1993: 73) bahwa “Also epanaphora, the repetition of the same word or words at the beginning of successive phrases, clauses, sentences, or lines”. Contoh : 22) Ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country. Contoh di atas merupakan anaphora karena kata ask terdapat pada dua kalimat dan diulang pada awal kalimat berturut-turut. Menurut Moran dan Holder (2007: 287) repetition ini diulang pada awal dua kalimat atau lebih secara berturut-turut. “Specific type of repetition word, phrase, or clause repeated at the beginning of two more sentences in row”. Kebalikan dari anaphora ialah epistrophe. Jika anaphora ialah repetition kata pada awal frasa, klausa, atau kalimat. Epistrophe ialah repetition kata pada akhir kalimat, seperti yang diungkapkan oleh Preminger dan Brogan (1993: 73) bahwa “The opposite of anaphora is epistrophe which repeats words at the ends of clauses, lines or stanzas”. Contoh : 23) Sweet Portia, If you did know to I whom I gave the ring If you did know whom I gave the ring And would conceive for what I gave the ring And how unwillingly I left the ring. Pada contoh 23) terdapat dua jenis repetition yaitu anaphora dan epistrophe. Repetition kata the ring terdapat pada akhir kalimat yang diulang sebanyak tiga kali termasuk jenis epistrophe. Berbeda dengan anaphora yang diulang diawal kalimat seperti pada klausa if you did know yang telah dijelaskan pada poin 2.4.2 2.4.3 Epistrophe Jenis repetition Epistrohpe adalah kebalikan dari anaphora. Bila anaphora adalah repetition yang terjadi pada awal frasa, klausa, atau kalimat. Maka, epistrophe adalah jenis repetition yang terjadi di akhir frasa, klausa, atau kalimat. Seperti yang diungkapkan Preminger dan Brogan (1993: 73) bahwa “The opposite of anaphora is epistrophe which repeats words at the ends of clauses, lines or stanzas” Menurut Duke (2004: 283) bahwa “In contrast to anaphora, epistrophe involves “like-sentence endings”. Each sentence in a series ends with the same word or phrase”. Dalam kutipan di atas menerangkan bahwa epistrophe adalah lawan dari anaphora, epistrophe adalah jenis repetition pada akhir kalimat. Hunter (2006: 90) menyebutkan bahwa contoh yang dikenal sebagai epistrophe didefinisikan sebagai repetition kata yang sama pada akhir kalimat atau klausa yang berurutan. Oleh karena itu, kebalikan dari anaphora dimana awal kalimat adalah sama. “The figure known as Epistrophe is defined as the repetition of the same word(s) at the end of successive sentences or clauses. Thus, it is opposite of Anaphora in which the beginning of sentences is the same”. Hal serupa dijelaskan oleh Farnsworth (2010: 32) “Epistrophe sometimes also known as antistophe, the repetition of a word or phrase at the end of series of sentences or clauses”. Contoh : 24) “For no government is better than the men who compose it, and I want the best, and we need the best, and we deserve the best,” Contoh 24) merupakan jenis epistrophe karena frasa “the best” terdapat pada tiga kalimat berturut-turut pada akhir kalimat. Berbeda dengan anaphora, repetition yang terjadi pada awal kalimat. Dapat disimpulkan bahwa anaphora ialah repetition yang terjadi pada awal frasa, klausa atau kalimat sedangkan epistrophe ialah repetition yang terjadi di akhir frasa, klausa atau kalimat. 2.4.4 Isocolon Farnsworth (2010: 74) menyebutkan bahwa isocolon adalah salah satu contoh retoris yang paling umum dan penting yaitu penggunaan kalimat berturut-turut, klausa, atau frasa yang sama panjang dan sejajar dan struktur. “Isocolon, one of the most common and important rhetorical figures, is the use of successive senteces, clauses, or phrases similar in length and parallel in structure.” (2010: 74) Contoh : 25) “Come then : let us to the last, to the battle, to the toil—each to our part, each to our station. Fill the armies, rule the air, pour out the munitions, strangle the U-boats, sweep the mines, plow the land, build the ships, guard the streets, succor the wounded, uplift the downcast and honor the brave.” Contoh 25) merupakan jenis Isocolon karena frasa “to the last, to the battle, to the toil” dan “fill the armies, rule the air, pour out the munitions, strangle the U-boats” dan seterusnya memiliki struktur yang sejajar yang diulang pada setiap frasanya. Pada data to the last, to the battle, to the toil terdapat kesamaan jumlah kata yaitu terdiri dari tiga buah kata yang menjadikan data tersebut adalah frasa. Frasa to the last, to the battle, to the toil memiliki kesamaan struktur yaitu terdiri dari preposisi dan frasa nomina. Tidak berbeda jauh dengan data tersebut, pada data Fill the armies, rule the air, pour out the munitions, strangle the U-boats … masing-masing memiliki tiga buah kata pula, namun sedikit berbeda dengan data sebelumnya, struktur pada data Fill the armies, rule the air, pour out the munitions, strangle the U-boats … yaitu terdiri dari ajektiva dan frasa nomina. 2.4.5 Ploche Fahnestock (2011: 133) menyebutkan bahwa ploche melambangkan argumen yang didasarkan pada bentuk yang sama dari sebuah kata yang terus-menerus dalam sebuah argumen, hal tersebut terkadang digolongkan dengan contoh repetition yang ditentukan dimana kata atau frasa akan muncul kembali, misalnya: 26) “I know what‟s going on. I may be from Ohio, but I‟m not from Ohio.” Contoh 26) merupakan jenis ploche karena frasa “from Ohio” muncul pada kalimat kedua yang merupakan bentuk yang sama seperti repetition yang ditentukan dimana kata, frasa, atau klausa muncul kembali dengan makna yang berbeda, setelah adanya intervensi dari satu kata lainnya atau lebih. 2.4.6 Polyptoton Menurut Avery (2001: 182) bahwa “Polyptoton is a repetition of the same word or root of the word with different grammatical functions or forms.” Ungkapan ini menunjukan bahwa polyptoton adalah repetition kata yang sama atau kata dasar dengan gramatikal yang berbeda fungsi atau bentuk. Contoh : 27) “I dreamed a dream in times gone by, when hope was high, and life worth living” Contoh 27) merupakan jenis polyptoton karena pada kalimat pertama, kata “dreamed” menggunakan akhiran –ed dan “dream” adalah kata dasarnya. 2.4.7 Polysyndeton Baldick (2008: 199) mengungkapkan bahwa “Term for repeated use of conjunctions to link together a succession of words, clauses, or sentences.” Baldick mengungkapkan bahwa pengulangan polysyndeton digunakan untuk mengulang konjungsi yang menghubungkan urutan kata-kata, klausa, atau kalimat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Farnsworth (2010: 128) bahwa “Polypsyndeton is the repeated use of conjunction.” Farnsworth Ward mengungkapkan bahwa polysyndeton ialah pengulangan penggunaan konjungsi. Contoh : 28) A generation that uses their own creativity and talent and technologhy Contoh 28) adalah contoh polysyndeton karena adanya pengulangan konjungsi dalam satu kalimat. Konjungsi yang diulang ialah konjungsi and.