TINGKAT KESIAPSIAGAAN RUMAH TANGGA MENGAHADAPI BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI KELURAHAN BATTANG BARAT KECAMATAN WARA BARAT KOTA PALOPO TAHUN 2012 PREPARENESS LEVEL OF HOUSEHOLD IN FACING FLOOD IN BATTANGBARAT,WARASUBDISTRICT, PALOPO CITY IN 2012 AnsharRante,Farid Nur Mantu,Ilhamjaya Patellongi Program StudiIlmuBiomedikKonsentrasi Emergency And Disaster Management PascasarjanaUniversitasHasanuddin Makassar AlamatKorespondensi: AnsharRante AkperSawerigadingPemdaLuwuPAlopo No Hp: 08124244184 Email: [email protected] ABSTRAK Potensi bencana alam yang tinggi yang dimiliki wilayah-wilayah di Indonesia pada dasarnya merupakan refleksi dari kondisi geografis yang sangat khas untuk wilayah tanah air kita.Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh faktor pengetahuan, sikap dan pendidikan pengalaman keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalammenghadapi di Kelurahan Battang barat Kecamatan Wara Barat, Kota Palopo.Jenis penelitian Metode survei yang dibatasi pada survei sampel. Populasi dalam penelitian seluruh keluarga di di Kelurahan Battang barat sebanyak 247 KK. Sampel penelitian sebanyak 71 KK yang diambil dengan menggunakan teknik proportional sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan melakukan observasi tentang tempat tinggal responden, dianalisis dengan regresi logistik pada taraf kepercayaan 95%.Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel pendidikan pengetahuan, sikap dan pengalaman anggota keluarga berpengaruh terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi longsor. Variabel pengetahuan dan sikap merupakan aspek paling dominan memengaruhi kesiapsiagaan rumah tangga. Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Pendidikan,pengalaman dan Kesiapsiagaan ABSTRACT Potential natural disasters are owned high areas in Indonesia is basically a reflection of the geographical conditions are very typical for the area of our homeland. This study aims to analyse the influence of several factors,including knowledge,attitude,education and family experience on household preparedness in facing Earth Slide Natural Disaster at Battang Barat Village,Wara Barat Subdistrict,Palopo City. The research was conducted by using a sample survey.The population including all families at Battang Barat vilage (247 families).The sample (71 families) were selected by using proportional sampling method.The data were obtained by using interviews (with questionnaires) and observations of respondents living places.The analysis was conducted by using logistic regression at a significance level of 95%. The results reveal that statistically,the variables of education knowledge,attitude,and experience of family members have influence on the preparedness of the households in facing earth slide natual disaster.Knowledge and attitide variables are the most dominant aspects. Keyword : Knowledge,attitude,education,experience,preparedness PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan tempat bertemunya tiga lempeng besar dunia bertemu, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Interaksi antar lempeng-lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki aktivitas kegunungapian dan kegempabumian yang cukup tinggi. Lebih dari itu, proses dinamika lempeng yang cukup intensif juga telah membentuk relief permukaan bumi yang khas dan sangat bervariasi, dari wilayah pegunungan dengan lereng-lerengnya yang curam dan seakan menyiratkan potensi longsoryang tinggi hingga wilayah yang landai sepanjang pantai dengan potensi ancaman banjir, penurunan tanah, dan tsunaminya. Permasalahannya adalah sudahkah kita mengenal dengan baik berbagai jenis dan karakter bahaya alam tersebut dan siapkah kita dalam mengantisipasinya. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi. Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alarn mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah Kontribusi pengurangan kuat geser tanah pada lereng alam yang mengalami longsor disebabkan oleh faktor yang dapat berasal dari alam itu sendiri, erat kaitannya dengan kondisi geologi antara lain jenis tanah, tekstur (komposisi) dari pada tanah pembentuk lereng sangat berpengaruh terjadinya longsoran, misalnya sensivitas sifatsifat tanah lempung, adanya lapisan tanah shale, loess, pasir lepas, dan bahan organik. Longsor terjadi karena proses alami dalam perubahan struktur muka bumi, yakni adanya gangguan kestabilan pada tanah atau batuan penyusun lereng. Gangguan kestabilan lereng ini dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi terutama faktor kemiringan lereng, kondisi batuan ataupun tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Meskipun longsor merupakan gejala fisik alami, namun beberapa hasil aktifitas manusia yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam juga dapat menjadi faktor penyebab ketidakstabilan lereng yang dapat mengakibatkan terjadinya longsor, yaitu ketika aktifitas manusia ini beresonansi dengan kerentanan dari kondisi alam yang telah disebutkan di atas. Faktor-faktor aktifitas manusia ini antara lain pola tanam, pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, konstruksi bangunan, kepadatan penduduk dan usaha mitigasi. Dengan demikian dalam upaya pembangunan berkelanjutan melalui penciptaan keseimbangan lingkungan diperlukan pedoman penataan ruang kawasan rawan bencana longsor. Sejumlah peristiwa bencana tanah longsor yang terjadi di wilayah indonesia selama tahun 2009 terjadi bencana longsor sebanyak 225 dari jumlah tersebut yang paling banyak memakan korban jiwa adalah tanah longsor yang terjadi di Jawa Tengah dengan 23 meninggal dan hilang 13 jiwa terluka kerusakan 1770 unit rumah dan 11 unit fasilitas umum.Di Propinsi Sulawesi Selatan menelan korban meninggal dan hilang 14 jiwa sedang propinsi jawa barat menelan korban 13 jiwa (BNPB data bencana Indonesia Tahun 2009) Salah satu dari pedoman tersebut adalah pedoman penyusunan dan peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten, dan kawasan perkotaan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang. Pedoman ini juga disusun dalam rangka menjabarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang antara lain Pasal 3 beserta penjelasannya dan penjelasan umum angka 2. Selain itu pedoman ini juga menjabarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana khususnya Pasal 42 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Pada Tanggal 9 nopember 2009 tepatnya pada hari senin pukul 04.00 WITA terjadi musibah tanah longsor di Kecamatan Wara Barat, Kota Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel) Akibat bencana 14 orang dilaporkan tewas. Berawal dari uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkenaan dengan pengetahuan masyarakat Battang Barat dalam menghadapi bencana alam tanah longsor. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kesiapsiagaan Rumah Tangga Dalam Menghadapi Bencana alam Tanah Longsor Di Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo. METODE PENELITIAN Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Battang barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo.Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Metode survei yang dibatasi pada survei sampel. Populasi dan Sampel Populasi yang ada pada daerah penelitian ini yaitu seluruh rumah tangga yang tinggal di Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo sebanyak 247 rumah tangga Penentuan besar sampel sebanyak 71 orang Pengambilan sampel anggota keluarga menggunakan metode simple random sampling Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah observasi lapangan, wawancara, studi dokumentasi, studi literatur dan angket. Selain observasi lapangan, teknik lain yang dapat dilakukan adalah teknik wawancara (interview). Analisa Data Untuk mengolah data-data yang terkumpul, dalam penelitian ini menggunakan beberapa macam analisis, yaitu analisis kualitatif, kuantitatif. HASIL Karakteristik Sampel Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok umur yang paling banyak pada usia muda 20-40 tahun 48 orang ( 67,6%).Tingkat pendidikan adalah pendidikan rendah sebanyak 57 responden (80,3%).Pekerjaan responden adalah petani sebanyak 29 orang (40,8%). Pengetahuan responden cukup sebanyak 36 (50,7%).Pengalaman adalah responden yang mengalami bencana sebanyak 59 (83,1%) Sikap rsponden yang positif sebanyak 42 (59,2%) sedangkan kesiapsiagaan responden terhadap bencana siap sebanyak 27 responden ( 38%) dan yang tidak siap sebanyak 44 (62%). Pengaruh karakteristik tehadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsor Berdasarkan tabel 2 sebagian responden berusia muda sebanyak 48 orang dengan rentang umur 20-40 tahun lebih banyak yang tidak siap terhadap bencana yaitu 64,6% dari pada yang siap terhadap bencana sebanyak 35,4%. Sedangkan responden yang berusia tua dengan rentang umur 41-55 tahun sebanyak 23 orang menunjukkan tidak siap terhadap bencana sebanyak 56,5% dan yang siap terhadap bencana sebanyak 43,5%. Hasil uji chisquare menunjukkan nilai p = 0,513 artinya hasil uji statistik tidak signifikan, sehingga umur tidak berpengaruh terhadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsor . Pada Tingkat pendidikan sebagian besar responden berpendidikan rendah sebanyak 57 orang yang tidak siap sebanyak 68,4% dari pada yang siap sebanyak 31,2 % demikian juga dengan responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 14 orang yang tidak siap terhadap bencana sebanyak 35,7% sedangkan yang siap terhadap bencana sebanyak 64,3% hasil uji chi-square menunjukkan p = 0.024 artinya hasil uji statistik signifikan sehingga pendidikan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsor. Pada pekerjaan responden menunjukkan bahwa sebagian besar bekerja sebagai petani sebanyak 29 orang yang tidak siap menghadapi bencana sebanyak 69% dan yang siap terhadap bencana sebanyak 31%.Pada responden yang bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 28 orang yang tidak siap terhadap bencana sebanyak 60,7% dan yang siap terhadap bencana sebanyak 39,3% kemudian pada responden IRT sebanyak 14 orang yang tidak siap terhadap bencana sebanyak 50% Hasil uji chi-square menunjukkan p = 0,479 artinya hasil uji statistik tidak signifikan, sehingga pekerjaan tidak berpengaruh terhadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsor Pada tingkat pengetahuan menunjukan bahwa tingkat pengetahuan yang cukup sebanyak 36 orang yang siap menghadapi bencana 52,8 % dan yang tidak siap menghadapi bencana sebanyak 47,2% pengetahuan yang kurang sebanyak 35 orang yang sedangkan tingkat tidak siap menghadapi bencana sebanyak 77,1% dan yang siap menghadapi bencana sebanyak 22,9%. Hasil uji chi-square menunjukan dengan didukung oleh nilai p sebesar 0.009 (0.009 < 0.05) artinya hasil uji statistik signifikan, sehingga tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsor. Pengalaman menunjukan bahwa responden yang mengalami bencana secara langsung sebanyak 59 orang yang tidak siap menghadapi bencana 55,9% sedangkan yang siap menghadapi bencana sebanyak 44,1% pada responden yang tidak mengalami bencana sebanyak 12 orang yang tidak siap terhadap bencana sebanyak 91,7% dan yang siap menghadapi bencana sebanyak 8,3%. Hasil uji chi-square dengan didukung oleh nilai p sebesar 0.020 (0.020 < 0.05) artinya hasil uji statistik signifikan, sehingga pengalaman berpengaruh terhadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsor Sikap responden menunjukan bahwa sikap positif sebanyak 42 orang yang tidak siap menghadapi bencana 42,9% dan yang siap sebanyak 57,1% sedangkan sikap responden yang negatif sebanyak 29 orang menunjukkan yang tidak siap menghadapi bencana sebanyak 89,7% dan yang siap menghadapi bencana sebanyak 10,3%. Hasil uji chi-square menunjukan dengan didukung oleh nilai p sebesar 0.000 (0.000 < 0.05) artinya hasil uji statistik signifikan, sehingga sikap berpengaruh terhadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsor. Analisis Multivariat Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa dari 4 variabel yang diikutkan dalam uji regresi logistik. Responden yang memiliki pengalaman terhadap bencana berpeluang 10,075 kali siap terhadap bencana dibanding dengan responden yang tidak mengalami bencana. Dari ke empat variabel indevenden maka variabel pengalaman merupakan variabel yang paling beresiko terhadap tingkat kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam dengan Exp (B) 10,075. PEMBAHASAN Hasil yang diperolehmenunjukkanbahwa kebanyakan rumah tangga di Kelurahan Battang barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo belum siap menghadapi bencana alam tanah longsor, dimana 44 Rumah Tangga (62%) tidak siap menghadapi bencana alam tanah longsor dan hanya 27 Rumah Tangga (38%) yang menunjukkan kesiapan keluarga menghadapi bencana . Tidak siapnya rumah tangga di Kelurahan Battang barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo menghadapi longsor ,menunjukkan bahwa mereka belum memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana longsor yang meliputi rendahnya kemampuan mengenali bencana yang berpotensi terjadi di lingkungan tempat tinggal, kemampuan mengenali tanda-tanda akan terjadinya bencana, dan kesadaran untuk mengelola lingkungan tempat tinggal yang ramah bencana.Ketidaksiapan dalam rumah tangga dalam menghadapi bencana alam tanah longsor akan menimbulkan kerugian bagi rumah tangga berupa rusaknya lahan perkebunan,perumahan dan terputusnya jalan Menurut Syamsul Ma’arif (2007) salah satu penyebab timbulnya korban jiwa dan kerusakan/kerugian akibat bencana adalah karena kekurangan kesiapsiagaan rumah tangga.Untuk mengurangi dampak dari banjir maka diperlukan kesiapsiagaan rumah tangga.Menurut Susanto (2006) bahwa tak gampang untuk menerapkan berbagai kebijakan dalam suasana bencana. Karenanya dalam masa-masa normal perlu terus dilakukan kesiapan yang meliputi pencegahan, mitigasi termasuk lagkah-langkah kesiapsiagaan. Juga harus terus dilakukan penyuluhan dan sosialisasi secara luas agar masyarakat memiliki kemampuan dan mau berperan aktif mencegah dan menyiapkan langkah-langkah antisipasi meskipun dengan skala kecil. Tingkat pendidikan anggota Keluarga di Kelurahan Battang Barat kecamatan wara barat Kota Palopo yang berpendidikan rendah ( SD sampai SMA) sebanyak 57 (80,3%) sedangkan yang berpendidikan tinggi 14 ( 19,7%) .Hasil uji statistik chi-Square menunjukkan variabel pendidikan berpengaruh (p>0,05) terhadap kesiapsiagaan bencana longsor . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anggota keluarga di Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo yang mempunyai pendidikan rendah dan tinggi mempengaruhi kesiapsiagaan menghadapi bencana alam tanah longsor . Hal ini sesuai juga dengan yang disampaikan oleh Priyanto (2006), bahwa pada masyarakat yang berpendidikan tinggi lebih mampu dalam mengurangi risiko,meningkatkan kemampuan dan menurunkan dampak terhadap kesehatan sehingga akan berpartisipasi baik sebagai individu atau masyarakat dalam menyiapkan diri untuk bereaksi terhadap bencana. Aktifitas pendidikan disamping untuk penyediaan informasi adalah mempelajari keterampilan dan pemberdayaan diri sedemikian rupa sehingga mampu melakukan tindakan yang memungkinkan untuk mengurangi resiko bahaya bencana. Menurut pendapat Kodoati dan Syarief (2006), bahwa tindakan-tindakan mengurangi dampak banjir pada individu dan masyarakat dilakukan dengan informasi dan pendidikan, sehingga untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi banjir akan lebih efektif lewat jalur pendidikan. Oleh Karena itu pemahaman tentang sumber bahaya dan potensi bencana kepada masyarakat hendaknya diintensifkan dengan diselenggarakannya pendidikan dan latihan, penyebaran brosur, pamflet, sehingga dapat meningkatkan kesadaran publik akan bencana. Implementasi hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan peran kepalakeluarga di rumah masing-masing . Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang pengurangan resiko bencana sangat diperlukan akan memberikan dasar bagi pemanduan pengurangan resiko bencana melalui sistem pendidikan formal dan non formal dalam upaya mengubah pola pikir, sikap dan perilaku dalam upaya mengurangi resiko bencana serta menjadikan upaya pengurangan resiko bencana menjadi budaya masyarakat. Pengetahuan anggota keluarga di Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo tentang bencana longsor menunjukkan dari 71 jumlah responden pengetahuan yang baik sebanyak 36 (50,7%) dan pengetahuan yang kurang sebanyak 35 (49,3). Hasil analisis multivariat dengan uji statistik regresi logistik menunjukkan variabel pengetahuan berpengaruh (p<0,05) terhadap kesiapsiagaan bencana.Mengacu kepada hasil uji secara statistik dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi pengetahuan bencana longsor yang dihadapi anggota keluarga maka pengetahuan semakin meningkat pada daerah rawan longsor. Pengetahuan anggota keluarga yang rendah terutama pada aspek tindakan yang harus dilakukan untuk mengantisipasi bencana, keluarga tidak mengetahui keharusan untuk membuat keputusan mengenai tempat evakuasi dalam keadaan darurat , sehingga pada saat terjadi longsor keluarga merasa kebingungan untuk menentukan tempat mengungsi. Keluarga juga tidak mengetahui perlunya memiliki peralatan-peralatan dalam mengantisipasi longsor, banyak keluarga yang tidak menyimpan kotak P3K. Hal ini terjadi karena selama ini informasi tentang pengetahuan ini memang masih terbatas, bahkan untuk mereka yang berpendidikan menengah dan tinggi sekalipun. Menurut Nasution (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dalam masyarakat antara lain sosial ekonomi, kultur (budaya dan agama), pendidikan dan pengalaman. Kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah suatu kondisi suatu masyarakat yang baik secara invidu maupun kelompok yang memiliki kemampuan secara fisik dan psikis dalam menghadapi bencana.Pengetahuan yang dimiliki kepala keluarga di Kelurahan Battang barat belum diikuti dengan kesiapsiagaan dalam kebijakan, rencana untuk keadaan darurat, sistim peringatan dini bencana, maupun mobilisasi sumber daya yang cukup, sehingga kurang mendukung kesiapsiagaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan masyarakat yang rendah dalam mengantisipasi bencana. Hal ini sesuai dengan pendapat Priyanto (2006), bahwa Pengetahuan terkait dengan persiapan menghadapi bencana pada kelompok rentan bencana menjadi fokus utama. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kesiapan menghadapi bencana ini seringkali terabaikan pada masyarakat yang belum memiliki pengalaman langsung dengan bencana. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Triutomo (2007), bahwa masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya mereka percaya bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga merasa tidak perlu lagi berusaha untuk mempelajari langkah-langkah pencegahan.Ilmu pengetahuan didukung oleh teori dan teknologi yang canggih dapat menjelaskan bencana secara objektif, rasional dan berdasarkan pada perilaku alam apa adanya (faktual).Hasil penelitian ini juga sejalan dengan yang disampaikan Priyanto (2006) bahwa pengetahuan partisipan mengenai gempa bumi berhubungan dengan tingkat kesiapannya menghadapi gempa bumi. Penemuan ini mengimplikasikan jika program-program mempertimbangkan pengetahuan saat ini dan berupaya menghilangkan miskonsepsi pengetahuan, akan meningkatkan kemampuan penduduk mempersiapkan diri dengan lebih baik atas gempa bumi atau bencana lain.Sesuai dengan hasil penelitian LIPI (2006), menunjukkan pengaruh paling besar dalam perhitungan tingkat kesiapsiagaan masyarakat perdesaan Aceh adalah tingkat pengetahuan yang dinilai cukup baik untuk individu/rumah tangga, sehingga nilai indeks pengetahuan rumah tangga sebesar 72 yang dapat dikategorikan siap .Apabila pengetahuan masyarakat akan bahaya, kerentanan, risiko dan kegiatan-kegiatan pengurangan risiko cukup memadai maka akan dapat menciptakan aksi masyarakat yang efektif (baik secara sendiri maupun bekerjasama dengan para pemangku kepentingan lainnya) dalam menghadapi bencana. Pada penelitian menunjukan bahwa responden yang mengalami bencana secara langsung lebih siap menghadapi bencana 44,1% sedangkan yang tidak mengalami bencana 91,7% menunjukkan tidak siap menghadapi bencana. Hasil analisis bivariat menunjukan dengan didukung oleh nilai p sebesar 0.020 (0.020 < 0.05) artinya hasil uji statistik signifikan, sehingga pengalaman berpengaruh terhadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsorTerdapat tiga faktor yang memengaruhi persepsi,yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu memandang kepada objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya,penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi,yaitu pengalaman masa lalu, seperti melihat, merasakan dan lain-lain. Dalam menghadapi bencana tanah longsor tahun 2009 di Battang Barat, masingmasing Masyarakat mempunyai pengalaman yang berbeda-beda. Masyarakat Aceh yang mempunyai pengalaman buruk maka akan selalu berhati-hati dan mawas diri terhadap bencana yang sama di masa yang akan datang. Menurut Notoatmodjo (2003), pengalaman memengaruhi pengetahuan seseorang tentang suatu objek yang mengandung 2 (dua) aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek inilah yang menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Dalam hal ini Pengalaman buruk yang dirasakan seperti kehilangan rumah, sanak keluarga dan kerugian lainnya seperti kehilangan harta benda merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi.Kejadian longsor 2009 dijadikan pelajaran yang berharga sehingga Masyarakat mempersiapkan diri dan keluarga apabila ada tanda-tanda longsor masyarakat berlari ke luar rumah. mencari tempat yang aman . Pada penelitian menunjukan bahwa sikap positif yang lebih siap menghadapi bencana 56,3 % sedangkan sikap yang negatif 100% menunjukkan tidak siap menghadapi bencana. Hasil analisis bivariat menunjukan dengan didukung oleh nilai p sebesar 0.000 (0.000 < 0.05) artinya hasil uji statistik signifikan, sehingga sikap berpengaruh terhadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsor Sesuai dengan penelitian LIPI (2006), bahwa pengaruh paling besar dalam perhitungan tingkat kesiapsiagaan masyarakat perdesaan Aceh adalah tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat (KA) yang dinilai cukup baik untuk individu/rumah tangga, Hal ini berarti masyarakat cukup memahami bencana dan mengetahui tindakan yang harus dilakukan, apabila terjadi bencana.Menurut pendapat Sunaryo (2004), Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari prilaku yang tertutup. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respons terhadap stimulus tertentu. Hal ini apabila dikaitkan dengan hasilpenelitian ini menunjukkan apabila sikapnya positif maka akan terjadi kesesuaian dengan stimulus yaitu kesiapan menghadapi bencana Menurut Yulaelawati (2008), Sikap pada fase preparedness, berbentuk adanya perilaku yang berlebih pada masyarakat tersebut karena minimnya informasi mengenai cara mencegah dan memodifikasi bahaya akibat bencana jika terjadi. Berita yang berisi hebatnya akibat bencana tanpa materi pendidikan seringkali membuat masyarakat menjadi gelisah dan memunculkan tindakan yang tidak realistis terhadap suatu isu.Penelitian ini sejalan dengan Azwar (2007), menyatakan bahwa sikap yang positif terhadap sesuatu mencerminkan perilaku yang positif. Adapun sikap yang positif dalam penelitian ini adalah keluarga mampu mengantisipasi terjadinya bencana longsor , ada menyimpan telepon penting yang terkait dengan keadaan bencana, memantau curah hujan kemudian adanya kesepakatan keluarga mengungsi jika sudah ada tanda-tanda longsor . Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu.Sikap negatif keluarga di Battang Barat salah satunya adalah kurangnya upaya penghijauan karena sebagian lahan hanya ditanami tanaman jangka pendek,mengabaikan keharusan hidup bersih dan sehat, tidak menyiapkan kotak P3K di rumah, tidak menentukan lokasi mengungsi. sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai objek tertentu. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan mengenai pengaruh faktor pendidikan pengetahuan, pengalaman dan sikap anggota keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana alam tanah longsor sebagai berikut:Variabel pendidikan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana longsor (p< 0,05)Variabel pengetahuan berpengaruh terhadap kesiagsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana longsor (p<0,05)Variabel pengalaman berpengaruh terhadap kesiagsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana longsor (p<0,05)Variabel sikap berpengaruh terhadap kesiapsiagaan rumah dalam menghadapi bencana longsor (p<0,05)Variabel pengetahuan dan sikap merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi longsor berdasarkan uji regresi logistik diperoleh nilai untuk variabel pengetahuan p =0.021 β= 4,382.Sikap (p=0,004) dengan nilai variabel pengetahuan β= 8,980. Disarankan kepada Kepala dan anggota Keluarga agar memiliki sikap positif (merespon, menghargai,dan bertanggung jawab) dalam kesiapsiagaan rumah tangga, sehingga dapat meminimalkan kerugian dan korban longsor.Kepala dan anggota keluarga memperoleh pendidikan bencana melalui pendidikan bencana.Pemerintah non formal Kota Palopo yaitu dengan memfasilitasi pelatihan-pelatihan dan masyarakat meningkatkan untuk simulasi kesiapsiagaan rumah tangga untuk menghadapi longsor berupa dukungan fasilitas dan dana dalam pelatihan dan simulasi bencana. DAFTAR PUSTAKA Anonim, (2006). Pengembangan Framework Untuk Mengukur Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bencana Alam. LIPI- UNESCO/ISDR Azwar. (2007). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Pustaka Sinar. Kent, Rundolph (1994). Kesiapan Bencana II. Program Pelatihan Manajemen Bencana. DHAUNDP.LIPI – UNESCO/ISDR. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Deputi Ilmu Jakarta. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2007. Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,Jakarta. Kodoatie, Robert dan Roestam. (2006). Pengelolaan Bencana Terpadu : Banjir, Longsor, Kekeringan dan Tsunami.Yusuf Watampone Press. Jakarta. LIPI – UNESCO/ISDR. (2006). Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Notoadmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi.Cetakan Pertama, PT Rineka Cipta, Jakarta. Notoadmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi.Cetakan Pertama, PT Rineka Cipta, Jakarta. Nasution, (1999), Didatik Azas-Azas Mengajar, Jakarta : Bumi Aksara Priyanto. A. (2006). Promosi Kesehatan Pada Situasi Emergensi. Edisi 2, Jakarta. Susanto. (2006). Disaster Manajemen di Negeri Rawan Bencana. Cetakan Pertama, PT Aksara Grafika Pratama, Jakarta. Syamsul, M. (2007). Pedoman Penanggulangan Bencana Banjir. Jakarta. Sunaryo. (2004). PsikologiuntukKeperawatan. Jakarta: EGC Triutomo, Sugeng. (2007). Pengenalan Karakteristi Bencana dan Upaya Mitigasi di Indonesia. Edisi II, Bakornas PB, Jakarta. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang pengurangan resiko bencana Yulaewati, Ella danSyihab, Usman. (2008). MencerdasiBencana. Jakarta:PT. Grasindo. Tabel 1 Distribusi Karakteristik responden Penelitian Terhadap Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Alam Tanah Longsor Di Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo Tahun 2012 Kategori Frekuensi Presentase Muda (20-40 tahun) Tua (41-55 tahun) 48 23 67,6 32,4 Pendidikan Pendidikan Tinggi Pendidikan Rendah 14 57 19,7 80,3 Pekerjaan Petani Wiraswasta IRT 29 28 14 Umur Pengetahuan Cukup Kurang Pengalaman Mengalami bencana Tidak mengalami bencana 40,8 39,5 19,7 36 35 50,7 49,3 59 12 83,1 16,9 Sikap Positif Negatif 42 29 Kesiapsiagaan Bencana Siap Tidak siap 27 44 59,2 40,8 38 62 Tabel 2 Pengaruh karakteristik terhadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsor di kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo Kesiapsiagaan Jumlah Kategori Siap Tidak siap Nilai P n % n % n % Umur Muda(20-40 tahun) 17 35,4 31 64,6 48 100 0,513 Tua (41-55 tahun) 10 43,5 13 56,5 23 100 Pendidikan 0,024 Pendidikan Tinggi 9 64,3 5 35,7 14 100 Pendidikan Rendah 18 31,6 39 68,4 57 100 Pekerjaan 0,479 Petani 9 31 20 69 29 100 Wiraswasta 11 39,3 17 60,7 28 100 IRT 7 50 7 50 14 100 Pengetahuan 0,009 Cukup 19 52,8 17 47,2 36 100 Kurang 8 22,9 27 77,1 35 100 Pengalaman 0,020 Mengalami bencana 26 44,1 33 55,9 59 100 Tidak mengalami 1 8,3 11 91,7 12 100 bencana Sikap 0,000 Positif 24 57,1 18 42,9 42 100 Negatif 3 10,3 26 89,7 29 100 Tabel. 4.3: Pengaruh pendidikan Pengetahuan pengalaman dan Sikap terhadap kesiapsiagaan anggota keluarga menghadapi bencana alam tanah longsor di kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo tahun 2012 Variables in the Equation 95% C.I.for EXP(B) B a Step 1 S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper pendidikan 1.103 .807 1.868 1 .172 3.014 .619 14.666 pengetahuan 1.478 .639 5.342 1 .021 4.382 1.252 15.343 pengalaman 2.310 1.253 3.401 1 .065 10.075 .865 117.332 sikap 2.195 .756 8.424 1 .004 8.980 2.040 39.537 2.603 12.223 1 .000 .000 Constant -9.102 a. Variable(s) entered on step 1: pendidikan, pengetahuan, pengalaman, sikap