BAB II KAJIAN TEORI A. Hasil Belajar 1. Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar lebih sering digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa jauh siswa menguasai bahan yang sudah diajarkan. Pengertian hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu hasil dan belajar. Pengertian hasil (product) merupakan suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktifitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input secara fungsional (Patton, 2006). Dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), istilah hasil lebih sering digunakan untuk melihat berubahnya perilaku siswa setelah memperoleh pengajaran. Definisi kata belajar lebih mengarah pada proses interaksi yang dilakukan oleh siswa dengan lingkunganya untuk mendapatkan perubahan dalam berperilaku (Purwanto, 2008). Aktivitas mental dan psikis siswa selama berinteraksi aktif dengan lingkunganya dapat menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap. Perubahan tersebut diperoleh dengan usaha menetap dalam waktu yang relative lama sebagai hasil dari pengalaman. Menurut John Locke dalam Purwanto (2008): Pendekatan modern secara garis besar terdiri dari dua aliran yang menghasilkan teori hasil belajar perilaku dan teori belajar kognitif. Kedua teori ini diilhami oleh aliran empirisme dalam pendidikan. Menurut aliran ini, satu-satunya determinan perkembangan manusia adalah lingkungan. Semua pengalaman lingkungan merupakan akibat dari interaksi individu dengan lingkungan. Pengalaman datangnya dari Indera (sensory). Pengalaman Inderawi adalah sumber utama pengetahuan dan perubahan perilaku (Hlm. 40). Pengertian belajar dalam pandangan behavioristik lebih mengacu pada sebuah usaha yang dilakukan untuk membuat hubungan antara stimulus (S) dan respons (R), kemudian memperkuatnya (Dahar, 2011). Pengertian dan pemahaman tersebut dapat diperkuat dengan menghubungkan stimulus dan 8 9 respons secara berulang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar dan menghasilkan perubahan yang diinginkan. Perubahan perilaku siswa dapat diamati dengan memberikan stimulus dan respons secara berkaitan sesuai kaidah prinsip mekanistik (Purwanto, 2008). Asosiasi antara kesan (Impression) dengan disertai dorongan untuk berbuat (Implus to action) dapat membentuk dasar-dasar belajar yang efektif. Kedua komponen tersebut dapat memberikan pengaruh secara efektif terhadap peningkatan hasil belajar jika terdapat peningkatan motivasi dan hilangnya kebiasaan-kebiasaan buruk dari dalam diri siswa (Bower & Hilgard, 1981). Proses belajar merupakan proses yang unik dan kompleks. Keunikan tersebut disebabkan karena hasil belajar hanya terjadi pada individu yang belajar, tidak orang lain, dan setiap individu menampilkan perilaku belajar yang berbeda. Perbedaan disebabkan oleh karakteristik individual yang khas seperti; minat intelegensi, perhatian, bakat dan sebagainya. Penggunaan istilah hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak ditemui pada instansi-instansi yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Sebab pengertian hasil belajar lebih mengacu pada perubahan perilaku yang ditunjukan oleh siswa sebagai akibat dari proses pembelajaran. Perubahan tersebut diupayakan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Setiap proses pembelajaran mempengaruhi perubahan perilaku pada domain tertentu pada diri siswa, tergantung perubahan yang diinginkan terjadi sesuai dengan tujuan pendidikan. Perubahan perilaku akibat kegiatan belajar mengakibatkan siswa memiliki penguasaan terhadap materi pengajaran yang disampaikan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran. Pemberian tekanan penguasaan materi juga dilakukan oleh guru sebagai akibat perubahan dalam diri siswa setelah mengikuti pembelajaran. Suatu pengajaran dapat dikatakan berhasil jika tingkat penguasaan materi yang dicapai siswa telah sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan (Soedjiarto, 1993). Kesimpulan dari beberapa teori yang telah dikemukakan pada tulisan diatas menunjukkan bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku siswa 10 setelah mengikuti proses belajar sesuai dengan tujuan pendidikan. Perubahan perilaku terjadi karena siswa telah mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Pencapaian tersebut didasarkan pada tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sehingga dapat menghasilkan perubahan dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. 2. Domain Hasil Belajar Kognitif Domain atau ranah yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan siswa sangat tergantung pada tujuan pendidikanya. Setiap siswa mempunyai potensi untuk dididik. Potensi tersebut merupakan perilaku yang dapat diwujudkan menjadi kemampuan nyata. Gagne dalam Dahar (2011) berpendapat: Ada lima kemampuan ditinjau dari segi-segi yang diharapkan dari suatu pengajaran atau instruksi, kemampuan itu perlu dibedakan karena kemampuan itu memungkinkan berbagai macam penampilan manusia dan juga karena kondisi-kondisi untuk memperoleh berbagai kemampuan itu berbeda. Perlu dikemukakan bahwa urutan antara kelima hasil belajar atau kemampuan ini tidak perlu dipermasalahkan (hlm. 140). Potensi jiwa yang dapat diubah melalui pendidikan meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan atau pembelajaran dapat disebut sebagai usaha untuk mengubah potensi perilaku kejiwaan agar berwujud menjadi kemampuan (Purwanto, 2008). Perubahan perilaku yang terjadi dalam kawasan kognisi disebut sebagai hasil belajar kognitif memungkinkan penggunaan (Suparno, seseorang simbol-simbol 2001). berinteraksi atau Keterampilan dengan intelektual lingkunganya gagasan-gagasan. Aktifitas dengan belajar keterampilan intelektual ini sudah dimulai sejak tingkat pertama sekolah dasar dan dilanjutkan sesuai dengan perhatian dan kemampuan intelektual seseorang. Strategi kognitif dalam teori belajar modern merupakan suatu proses control yang digunakan siswa (Orang yang belajar) untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat, dan berpikir. Dalam teori belajar kognitif, kemampuan intelektual siswa perlu ditingkatkan 11 dengan melibatkan otak untuk memecahkan suatu masalah. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pendapat dari Purwanto (2008) yang mengemukakan bahwa: Proses belajar yang melibatkan kognisi meliputi kegiatan sejak dari penerimaan stimulus eksternal oleh sensori, penyimpanan dan pengolahan dalam otak menjadi informasi hingga pemanggilan kembali informasi ketika diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Karena belajar melibatkan otak maka perubahan perilaku akibatnya juga terjadi dalam otak berupa kemampuan tertentu oleh otak untuk menyelesaikan masalah (hlm.50). Aliran rasionalisme dalam filsafat juga mengilhami pembentukan teori belajar kognitif. Suatu pengetahuan selalu bersumber pada penalaran untuk memperoleh sumber-sumber pembelajaran yang valid. Penggunaan panca indera siswa dapat memberikan pengaruh terhadap daya penalaran siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran. Siswa dalam teori belajar kognitif dapat dikatakan belajar jika telah memahami secara keseluruhan persoalan secara mendalam. Pemahaman tersebut berkaitan dengan proses mental dan kemampuan otak yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah (Dahar, 2011). Hasil belajar kognitif tidak merupakan kemampuan tunggal. Kemampuan yang menimbulkan perubahan perilaku dalam domain kognitif meliputi beberapa tingkat atau jenjang (Suparno, 2011). Menghafal (Knowledge) merupakan kemampuan kognitif yang paling rendah. Kemampuan tersebut merupakan cara memanggil kembali fakta yang disimpan dalam otak digunakan untuk merespons suatu masalah. Pemahaman (comprehension) merupakan kemampuan kognitif yang digunakan untuk melihat hubungan fakta dengan kejadian. Menghafal suatu peristiwa tidak lagi cukup karena pemahaman menuntut pengetahuan akan fakta dan hubunganya. Kemampuan penerapan (application) dalam kognitif berfungsi untuk memahami aturan, hukum, rumus dan sebagainya sebagai upaya dalam memecahkan suatu masalah. Kemampuan analisis (analysis) merupakan cara untuk memahami sesuatu dengan menguraikanya ke dalam unsur-unsur. Dalam domain kognitif, 12 kemampuan tersebut berguna untuk melatih siswa agar mampu menganalisa seluruh materi yang telah diberikan saat pembelajaran. Fungsi kemampuan sintesis (Synthesis) dalam pembelajaran juga sangat penting bagi siswa karena digunakan untuk memahami materi dengan mengorganisasikan bagian-bagian kedalam kesatuan (Purwanto, 2008). Selain itu siswa juga diharuskan untuk menguasai kemampuan evaluasi agar mampu membuat penilaian dan mengambil setiap keputusan dengan tepat. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Kognitif Keharusan akan perlunya pengertian dan pemahaman dalam belajar menjadi kondisi yang harus terpenuhi dalam pandangan teori belajar kognitif (Nata, 2011). Berlangsungnya pembelajaran dapat dikatakan berhasil apabila dalam pikiran siswa sudah mencapai tingkat pemahaman tertinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam proses belajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor intern dan faktor ekstern (Khomsiyah, 2012). Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu. Berikut penjelasan dari kedua factor tersebut: a. Faktor Intern 1) Faktor Jasmani Faktor jasmani terdiri dari dua komponen, yaitu kesehatan dan cacat tubuh. Keberhasilan setiap peserta didik sangat dipengaruhi oleh kedua permasalahan tersebut. 2) Faktor Psikologis Terdapat tujuh aspek yang tergolong dalam faktor psikologi yang mempengaruhi belajar, yaitu: intelegensi, perhatian, minat, bakat, kematangan dan kesiapan. 3) Faktor Kelelahan Kelelahan pada seseorang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah 13 lunglainya tubuh sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang. b. Faktor Ekstern 1) Faktor keluarga Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan. 2) Faktor sekolah Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini adalah mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran diatas ukuran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah. 3) Faktor Masyarakat Masyarakat sangat berpengaruh terhadap belajar siswa. Pengaruh itu terjadi karena keberadaannya siswa dalam masyarakat. Faktor ini meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, media massa, teman bergaul, dan bentuk kehidupan dalam masyarakat. Selama berlangsungnya proses belajar, peserta didik tidak memenuhi kedua faktor tersebut dengan baik maka akan berpengaruh terhadap hasil belajar yang dicapai. Untuk mencapai hasil belajar yang telah direncanakan, seorang guru harus memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik. B. Pembelajaran Sejarah Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks. Interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup dapat diartikan sebagai pembelajaran (Sariyatun, 2010). Dari pengertian tersebut dapat dimaknai bahwa pengalaman yang dialami oleh setiap individu baik secara 14 langsung maupun tidak langsung dapat dijadikan sebagai pembelajaran dalam merubah sikap dan tingkah laku agar menjadi lebih baik. Pembelajaran pada hakikatnya merupakan usaha sadar dari seorang guru untuk menyampaiakan pelajaran kepada siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber-sumber belajar lainya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Interaksi dua arah dari seseorang guru dan peserta didik, dimana antara keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah merupakan target yang diharapkan dari pembelajaran (Khomsiyah, 2012). Pengertian Sejarah dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang telah dialami manusia pada waktu lampau sehingga jejak-jejak yang ditinggalkan bisa dilihat di waktu sekarang (Kartodirdjo, 1992). Penekanan perhatian diletakkan secara khusus pada aspek terjadinya suatu peristiwa sejarah terutama yang bersifat khusus dari segi-segi urutan perkembangannya untuk kemudian disusun dalam suatu cerita sejarah. Sejarah merupakan peristiwa yang dilakukan manusia pada masa lampau, terjadi hanya sekali dan tidak terulang kembali menjadi sejarah yang harus diketahui manusia pada masa berikutnya (Sukaryanto, 2007). Karena itu mempelajari sejarah menjadi penting agar dapat menentukan tindakan yang tepat guna melanjutkan masa depan yang sesuai dengan harapan masa lampau. Jadi, dapat diartikan bahwa pembelajaran sejarah merupakan sebuah instrumen bagi siswa untuk mempelajari peristiwa-peristiwa di masa lalu agar dapat dijadikan sebagai pengalaman guna memperoleh kehidupan yang lebih baik. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Dalam pernyataan yang sudah cukup umum didengar tersebut tersirat bahwa sejarah memerankan peran yang sentral dalam menentukan besarnya sebuah bangsa. Ir. Soekarano yang merupakan presiden pertama Indonesia sudah lama mengingatkan kepada masyarakat bahwa jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Hal tersebut tentunya bukan tanpa alasan, karena sejarah sangat erat kaitanya dengan pembentukan karakter bangsa serta semangat nasionalisme yang sangat dibutuhkan dalam membangun sebuah bangsa. 15 Belajar sejarah dapat diartikan sebagai proses yang dilakukan manusia untuk memahami peristiwa atau kejadian dimasa kini maupun dimasa lampau. Melalui sejarah manusia dapat menemukan identitas dirinya, mengenal diri sendiri berarti mengetahui apa yang akan dilakukanya. Satu-satunya petunjuk yang dapat dijadikan dasar adalah dengan mempelajari dan mengetahui apa yang telah dilakukan orang lain. Mengajarkan apa yang telah dilakukan orang lain adalah fungsi esensi dari sejarah (Kartodirdjo, 1992). Sejarah menyangkut persoalan kesinambungan dan perubahan yang dapat dijadikan pelajaran bagi seluruh umat manusia. Generasi sekarang tentu tidak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dimasa lalu. Sedangkan keberhasilan patut dicontoh dan ditingkatkan lagi. Orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyataanya bahwa sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban dan di sepanjang waktu, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu (Kuntowijoyo, 2005). Tujuan pembelajaran Sejarah bukan sekedar transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Nilai-nilai luhur dari mata pelajaran sejarah terarah pada pencerahan jiwa dalam berbagai aspek seperti memupuk jiwa demokratis dan kemanusiaan, mengembangkan sikap jujur, adil, serta kerelaan berkorban serta yang tidak kalah pentingnya menanamkan dan menumbuhkan jiwa nasionalisme dan patriotisme di kalangan generasi muda sehingga sadar dan insyaf untuk mencintai bangsa dan negaranya. Pemahaman Sejarah perlu dimiliki setiap orang sejak dini agar mengetahui dan memahami makna dari peristiwa masa lampau sehingga dapat digunakan sebagai landasan sikap dalam meghadapi kenyataan pada masa sekarang serta menentukan masa yang akan datang (Sariyatun, 2010). Artinya sejarah perlu dipelajari sejak dini oleh setiap individu baik secara formal maupun non formal, keterkaitan individu dengan masyarakat atau bangsanya memerlukan terbentuknya kesadaran pentingnya sejarah terhadap persoalan kehidupan bersama seperti: Nasionalisme, persatuan, solidaritas dan integritas nasional. Terwujudnya cita-cita suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh generasi penerus yang mampu memahami sejarah masyarakat atau 16 bangsanya. Pembangunan karakter bangsa (national character Building) menjadi altenatif dalam mewujudkan generasi bangsa yang memahami jati diri bangsanya secara komprehensif. salah satu upaya pembangunan karakter bangsa dapat dilakukan melalui pendidikan sejarah yang mulai diberikan sejak pendidikan dasar. Pendidikan sejarah diharapkan dapat memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode dalam upaya pembentukan sikap dan perilaku siswa. Pembelajaran sejarah merupakan bagian struktur pokok kurikulum di SMA. Diperkirakan dengan mempelajari sejarah siswa dapat mengetahui dan menjelaskan berbagai perkembangan sejarah seperti perkembangan masyarakat, politik, tekhnologi dan sebagainya, sekaligus menarik subjek dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pengembangan nilai-nilai dan kecakapan-kecakapan sosial bagi peserta didik berupa nilai-nilai demokrasi, nasionalisme, patriotisme, tanggung jawab dan mandiri, menunjukkan betapa pentingnya peran pendidikan bagi kelangsungan serta kemajuan suatu bangsa (Isjoni & Ismail, 2008). Secara keseluruhan semua aspek yang dapat mengilhami peserta didik agar mencintai bangsa dan tanah airnya sendiri dapat dikembangkan melaui pemberian pelajaran sejarah di sekolah. Pelajaran sejarah pada tingkat pendidikan Sekolah menengah Atas (SMA) sudah pasti memberikan kesempatan kepada siswa untuk memanfaatkan apa yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan yang nyata di sekelilingnya. Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sejarah di SMA memiliki tujuan untuk mampu mengembangkan kualitas manusia indonesia pada masa mendatang yang meliputi: 1. Semangat dan perasaan kebangsaan yang kuat. 2. Kemampuan berpikir baik yang bersifat proaktif maupun yang reaktif. 3. Memilki kemampuan mencari, memilih, menerima, mengolah dan memanfaatkan maklumat melalui berbagai media. 4. Mengambil Inisiatif. 5. Tingkat Kreatifitas yang tinggi dan 6. Kerjasama yang tinggi. 17 Keseluruhan nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran sejarah juga dapat berintegrasi dengan nilai adat atau norma-norma yang berlaku di daerah setempat. Memperkuat pendapat tersebut, Gottschalk dalam Isjoni dan Ismail (2008) menyatakan: Pembelajaran dan pendidikan moral bangsa menuntut pembelajaran sejarah berorientasi pada pendidikan kemanusiaan (humaniora) yang memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma, hasil pembelajaran sejarah menjadikan peserta didik berkepribadian kuat, mengerti sesuatu agar dapat menentukan sikapnya. Pentingnya pengertian tentang sejarah untuk kehidupan sehari-hari membuat peserta didik mempunyai alat untuk menyingkap tabir rahasia gerak masyarakat. Dengan sejarah dapat diketahui hasil-hasil perjuangan sejak zaman dahulu (hlm 160-161). Sejarah dapat diibaratkan pendidik, karena dapat mendidik jiwa manusia agar memiliki pemahaman dan kepedulian pada nilai-nilai etika dasar, serta tindakan atas dasar inti nilai etika yang murni. Penyelenggarakan pembelajaran sejarah di sekolah bertujuan untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkanya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. C. Model STAD Pembelajaran dengan menggunakan model STAD merupakan salah satu tipe dari model Pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran STAD dipandang sebagai yang paling sederhana di antara model pembelajaran kooperatif lainya. Menurut Slavin dalam Trianto (2009), “Model pembelajaran STAD terdiri dari lima komponen utama seperti presentasi kelas, kerja tim, kuis, skor perbaikan individu dan penghargaan tim” (Hlm. 71). Berikut penjelasan secara rinci dari kelima komponen tersebut: 1. Presentasi Kelas Bahan ajar diperkenalkan oleh guru dalam suatu presentasi kelas. Presentasi ini paling sering menggunakan pengajaran langsung atau ceramah diskusi yang dilakukan oleh guru, namun dapat meliputi presentasi audiovisual atau kegiatan penemuan kelompok. Pada kegiatan ini siswa bekerja untuk menemukan informasi atau mempelajari konsep-konsep atas upaya 18 mereka sendiri sebelum pengajaran guru. Presentasi kelas dalam STAD harus berfokus pada unit STAD tersebut. Dengan cara ini siswa menyadari bahwa mereka harus memperhatikan presentasi kelas, karena dengan begitu akan membantu mereka mengerjakan kuis dengan baik. 2. Kerja Tim Tim atau kelompok tersusun dari empat atau lima siswa yang mewakili heterogenitas kelas dalam kinerja akademik, jenis kelamin maupun suku. Fungsi utama tim adalah menyiapkan anggotanya berhasil menghadapi kuis. Setelah presentasi bahan ajar, tim berkumpul untuk mempelajari LKS atau bahan yang lain. Kerja tim merupakan ciri terpenting STAD. Pada setiap saat penekanan diberikan pada anggota tim agar melakukan yang terbaik untuk timnya, dan pada tim agar melakukan yang terbaik untuk membantu anggotanya. Tim tersebut menyediakan dukungan teman sebaya untuk kinerja akademik yang memiliki pengaruh berarti pada pembelajaran, menunjukkan saling peduli dan hormat yang memiliki pengaruh berarti bagi hasil belajar, seperti hubungan antar kelompok, harga diri dan penerimaan terhadap kebanyakan siswa. 3. Kuis Setelah berlangsungnya presentasi kelas oleh guru dan latihan tim, siswa dikenai kuis (tes) individual. Siswa tidak dibenarkan saling membantu selama kuis tersebut. Ini menjamin agar siswa secara individual bertanggung jawab untuk memahami bahan ajar. 4. Skor Perbaikan Individu Setiap siswa dapat menyumbang poin maksimum kepada timnya, namun tidak seorang siswa pun dapat melakukan seperti itu tanpa menunjukkan perbaikan atas kinerja masa lalu. Setiap siswa diberikan suatu skor dasar, yang dihitung dari kinerja rata-rata siswa pada kuis serupa sebelumnya. Kemudian siswa memperoleh poin untuk tim mereka didasarkan pada berapa banyak skor kuis mereka melampaui skor dasar mereka. 19 5. Penghargaan Tim Tim dapat memperoleh penghargaan apabila dapat menampilkan kualitas presentasi dengan baik. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran sejarah juga membutuhkan persiapan yang matang. Seluruh rencana persiapan disesuaiakan dengan kondisi yang ada pada obyek tindakan. Semua tahapan persiapan yang dilakukan oleh peneliti ditujukan untuk menunjang keberhasilan siswa dalam memperoleh hasil belajar sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Berikut penjelasan dari seluruh persiapan yang telah disusun peneliti seperti tertera pada halaman berikutnya: 1. Perangkat Pembelajaran Peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang meliputi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), buku siswa, lembar kegiatan siswa (LKS) beserta lembar jawabanya. 2. Membentuk Kelompok Kooperatif Menentukan anggota kelompok diusahakan agar kemampuan siswa dalam kelompok adalah heterogen dan kemampuan antar satu kelompok dengan kelompok lainya relative homogen. Apabila memungkinkan kelompok kooperatif perlu memerhatikan ras, agama, jenis kelamin, dan latar belakang sosial. Jika didalam kelas terdiri atas ras dan latar belakang yang relative sama, maka pembentukan kelompok dapat didasarkan pada prestasi akademik, yaitu: a. Siswa dalam kelas terlebih dahulu di ranking sesuai kepandaian dalam mata pelajaran sejarah. Tujuanya adalah untuk mengurutkan siswa sesuai kemampuan sejarahnya dan digunakan mengelompokkan siswa ke dalam kelompok. b. Menentukan tujuh kelompok yang akan berpartsipasi dalam kegiatan diskusi kelompok. Ketujuh kelompok tersebut terdiri dari kelompok atas, kelompok menengah, dan kelompok bawah. Kelompok atas sebanyak 25% dari seluruh siswa yang diambil dari siswa ranking satu, kelompok tengah 50% dari seluruh siswa yang diambil dari urutan setelah diambil kelompok atas, 20 dan kelompok bawah sebanyak 25% dari seluruh siswa yaitu terdiri atas siswa setelah diambil kelompok atas dan kelompok menengah. 3. Menentukan Skor Awal Skor awal yang dapat digunakan dalam kelas kooperatif adalah nilai ulangan sebelumnya. Setelah diselenggarakanya kuis, skor awal dapat berubah sesuai dengan hasil yang diraih masing-masing siswa. Pada pembelajaran lebih lanjut dan setelah diadakan ujian, maka hasil dari tes dari masing-masing individu tersebut dapat dijadikan sebagai skor awal. 4. Pengaturan Tempat duduk Pengaturan tempat duduk dalam kelas kooperatif perlu juga diatur dengan baik. Hal ini dilakukan untuk menunjang keberhasilan pembelajaran kooperatif apabila tidak ada pengaturan tempat duduk dapat menimbulkan kekacauan yang menyebabkan gagalnya pembelajaran pada kelas kooperatif. 5. Kerja Kelompok Upaya mencegah adanya hambatan pada pembelajaran kooperatif tipe STAD, dilakukan dengan memberikan pelatian mengenai kerja sama kelompok. Pelatian tersebut diimplementasikan lewat kegiatan diskusi untuk membuat kerja sama antar anggota kelompok menjadi padu. Hal ini bertujuan untuk lebih jauh mengenalkan masing-masing individu dalam kelompok. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif STAD ini didasarkan pada model pembelajaran kooperatif karena merupakan model pembelajaran yang menekankan adanya kerjasama, yakni kerja sama antar siswa dalam kelompoknya untuk mencapai tujuan belajar. Setiap anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan diri dan anggota lainnya. Kondisi tersebut mengharuskan setiap anggota harus saling bekerjasama dan saling membantu dalam memahami bahan pelajaran sehingga setiap anggota kelompok akan mencapai potensi optimal yang mungkin diraihnya. Model pembelajaran kooperatif STAD sangat menguntungkan baik bagi siswa yang berkemampuan rendah maupun yang berkemampuan tinggi. Siswa berkemampuan tinggi dapat menjadi tutor bagi siswa yang berkemampuan rendah dan juga dapat menambah pengetahuannya. Sedangkan bagi siswa yang 21 berkemampuan rendah dapat meningkatkan motivasi belajarnya sehingga nanti akan meningkatkan prestasi belajar siswa. Berikut penjelasan dari fase-fase pembelajaran menggunakan model STAD seperti termuat dalam tabel dibawah ini. Tabel 2.1 Fase-fase Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Fase Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi Siswa Kegiatan Guru Menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Fase 2 Menyajikan/menyampaikan informasi. Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan. Menjelaskan kepada siswa bagaimana Fase 3 Mengorganisasikan siswa dalam kelompok- caranya membentuk kelompok belajar dan kelompok belajar. membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Fase 4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar. Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. Fase 5 Evaluasi Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah diajarkan atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase 6 Memberikan penghargaan Mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. (Sumber: Trianto, 2009:71) 6. Tahapan-Tahapan Penerapan STAD a. Menghitung skor individu Skor perkembangan individu dihitung berdasarkan nilai tes yang didapatkan. Setiap siswa diberikan suatu skor dasar, yang dihitung dari nilai ujian (kuis) pada siklus I dan II. Penghargaan akan diberikan oleh peneliti kepada siswa yang mendapatkan nilai tertinggi di setiap akhir siklus pembelajaran. Berikut penjelasan secara rinci seperti termuat dalam tabel 2.2 pada halaman selanjutnya. 22 Tabel 2.2 Perhitungan skor Perkembangan Nilai Tes Skor perkembangan Lebih dari 10 point di bawah skor dasar 5 1-10 point di bawah skor dasar 10 Skor dasar sampai 10 poin di atas skor dasar 20 Lebih dari 10 poin di atas skor dasar 30 Hasil sempurna (tidak mempertimbangkan skor 30 dasar) (Sumber: Trianto, 2009:72) b. Menghitung skor kelompok Skor kelompok ini dihitung dengan membuat rata-rata skor perkembangan anggota kelompok. Cara tersebut dilakukan dengan menjumlah semua skor perkembangan yang diperoleh anggota kelompok dibagi dengan jumlah anggota kelompok. Bagi kelompok yang mendapatkan nilai/skor tertinggi akan diberikan penghargaan (reward) oleh peneliti pada akhir penelitian. Berikut penjelasan yang menunjukkan ratarata skor perkembangan kelompok, diperoleh dari kategori skor kelompok seperti tercantum didalam tabel 2.3. Penyajian tabel tersebut akan disajikan pada halaman berikutnya. Tabel 2.3 Predikat Keberhasilan Kelompok Kriteria Nilai Perkembangan Excellent 22,6 – 30 The best teams 15,1 – 22,5 Good teams 7,6 – 15,0 General teams ≥7,5 (Sumber: Trianto, 2009:72) 23 c. Pemberian hadiah dan pengakuan skor kelompok Setelah masing-masing kelompok memperoleh predikat, guru memberikan hadiah/penghargaan kepada masing-masing kelompok sesuai dengan predikat dan hasil yang diperoleh dalam kegiatan diskusi. D. Media Audio Visual Media pendidikan erat kaitanya dengan pemberdayaan teknologi dalam pendidikan. Menurut Syukur (2008), “Media merupakan suatu alat atau perantara yang berguna untuk memudahkan proses belajar mengajar, dalam rangka mengefektifkan komunikasi antara guru dan murid” (hlm. 117). Hal ini sangat membantu guru dalam mengajar dan memudahkan murid menerima dan memahami pelajaran. Proses ini membutuhkan guru yang professional dan mampu menyelaraskan antara media pendidikan dan metode penelitian Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan serta perubahan sikap masyarakat membawa pengaruh yang besar dalam bidang pendidikan. Tugas media bukan sekedar mengkomunikasikan hubungan antara pengajar dan murid. Media merupakan bagian integral yang saling berkaitan antara komponen satu dengan yang lainya sehingga dapat berinteraksi dan saling memengaruhi. Kondisi tersebut mendorong setiap lembaga pendidikan untuk mengembangkan lembaganya menjadi lebih maju dengan memanfaatkan teknologi modern dan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai media pengajaran. Perkembangan psikologi belajar siswa juga sangat berkaitan dengan pemakaian media pendidikan karena pemanfaatan sebuah media dalam pendidikan dirasa perlu memperhatikan teori-teori belajar. Fungsi media dalam kegiatan belajar mengajar dapat memberikan pengalaman visual serta motivasi belajar kepada siswa untuk terus mengembangkan potensi dan kemampuanya (Syukur, 2008). Pada era kemajuan teknologi sepeti saat ini, media juga memiliki peran besar dalam setiap pengajaran yang meliputi: 1. Membantu pendidik (guru) dalam kegiatan belajar mengajar. 2. Membuat jalanya pembelajaran menjadi tidak membosankan. 3. Lebih menarik perhatian dan minat murid dalam pembelajaran. 24 4. Dapat mengaktifkan seluruh indera siswa. Penggunaan media dalam pembelajaran dapat mempertinggi proses dan hasil belajar yang berkenaan dengan kemampuan berfikir siswa (Azhar, 2010). Taraf berfikir siswa terdiri dari berbagai proses tahapan - tahapan yang menyertainya dalam setiap kegiatan. Dimulai dari proses berfikir dari yang kongkret menuju abstrak, dari yang sederhana menuju abstrak dan dari proses sederhana menuju yang komplek. Dalam hubungan tersebut penggunaan media pengajaran berkaitan erat dengan tahapan-tahapan berfikir siswa. Media pembelajaran berbasis audio visual adalah media penyaluran pesan dengan memanfaatkan indera pendengaran dan penglihatan (Ishak & Deni, 2013). Dalam studi teknologi pendidikan, ada perbedaan gradual antara alat audio visual (Audiovisual aids) dan media audio visual. Unsur suara dan unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman video, slide, suara, dan sebagainya adalah unsurunsur dari media audio visual (Purwono, dkk., 2014). Pemanfaatan media audio visual dalam setiap kegiatan pembelajaran mampu memberikan kontribusi yang besar dalam kemajuan maupun peningkatan mutu di suatu lembaga pendidikan. Dengan memakai media tersebut peserta didik akan lebih mudah mencerna dan memahami suatu pelajaran sehingga tujuan pendidikan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Untuk mencapai pendidikan tersebut guru perlu memberikan peran yang penting untuk menghantarkan keberhasilan anak didik. Dibutuhkan komunikasi yang baik antara guru dan murid untuk menyeimbangkan antara media pengajaran dan metode pengajaran sehingga informasi yang disampaikan guru dapat diterima dengan baik oleh siswa Keefektifan pengembangan atau penggunaan media audio visual dalam proses belajar-mengajar juga dapat dilihat dari kemampuan guru menciptakan dan menampilkan materi pembelajaran yang dikemas secara menarik (Azhar, 2010). Pernyataan tersebut juga didukung oleh pendapat Spaukling dalam Soeparno, dkk. (1998) yang menyatakan, “Video gambar bersuara yang dikemas dan ditampilkan oleh pendidik dalam bentuk menarik merupakan sebuah perangkat pengajaran yang dapat menarik minat siswa secara efektif” (hlm.25). 25 Kemampuan setiap pendidik dalam mengoperasikan media audio visual juga harus disertai dengan peningkatan kompetensi yang dimiliki. Pendidik juga dirasa perlu untuk mengaitkan dan memasukkan unsur-unsur di kehidupan nyata dalam setiap media pembelajaran yang akan digunakan. Strategi ini bertujuan mengakomodir masuknya kebudayaan-kebudayaan lokal sehingga keinginan siswa untuk mempelajari budaya setempat dapat terpenuhi. Selain itu, media audio visual juga banyak berperan dalam membantu para siswa untuk membaca buku pelajaran terutama dalam menafsirkan dan mengingat-ingat isi materi teks yang menyertainya. Media audio visual pada hakikatnya merupakan suatu representasi penyajian realitas, terutama melalui pengindraan penglihatan dan pendengaran yang bertujuan untuk mempertunjukkan pengalaman-pengalaman pendidikan yang nyata kepada siswa (Syukur, 2008). Cara ini dianggap lebih tepat, cepat, dan mudah dibandingkan dengan melalui pembicaraan, pemikiran, dan ceria mengenai pengalaman pendidikan. Dengan demikian media pendidikan berfungsi ganda, yakni sebagai pembawa, penyalur pesan/informasi dan sebagai unsur penunjang proses pembelajaran. Penyampaikan pesan-pesan pendidikan kepada para peserta didik pada dasarnya mendayagunakan media audio visual sebagai media pembelajaran (Ishak & Deni, 2013). Pendayagunaan media tersebut dapat secara mandiri atau kombinasi beberapa media. Keterlibatan pendidik dalam komunikasi bergantung pada jenis media yang digunakan, jenis informasi yang disampaikan, metode komunikasi yang dilaksanakan, pemanfaatan waktu dan tempat secara tepat, serta kemampuan komunikator/pendidik yang bersangkutan. Jenis-jenis media audio visual yang akan digunakan dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah sebagai berikut: 1. Slide Bahan informasi tersusun dalam satu unit yang dibagi-bagi menjadi perangkat slide yang disusun secara sistematis dan disajikan secara berurutan. Slide satu dengan yang lainya terlepas-lepas dan tidak bersuara. Bentuk komunikasi ini lebih efektif bila disertai dengan penjelasan lisan atau dibarengi 26 dengan rekaman yang telah disiapkan untuk menunjang sajian melalui slide tersebut. 2. Filmstrip Satuan informasi dalam media ini disajikan secara berkesinambungan, tidak terlepas-lepas, tapi sebagai satu unit bahan yang utuh. Media ini tidak bersuara, dan karenanya perlu dibantu dan dilengkapi dengan penjelasan verbal atau dikombinasikan dengan penjelasan melalui rekaman. 3. Film Mengkombinasikan media audio visual dan media audio. Suatu rangkaian cerita yang disajikan dalam bentuk gambar pada layar putih disertai gerakan-gerakan dari para pelakunya. Keseluruhan bahan informasi disajikan lebih menarik dengan nada dan gaya serta tata warna, sehingga lebih merangsang minat dan perhatian penonton atau penerima pesan. 4. Komputer Penggunaan computer dalam komunikasi pembelajaran pada prinsipnya sama dengan Computerized Assisted Instruction (CAI). Kemampuanya menerima informasi, menyimpan dan mengolah serta memproduksinya dalam jumlah yang banyak dan jangka waktu yang lama, serta setiap saat dapat digunakan dan dapat menggandakan informasi dalam jumlah tak terbatas, merupakan suatu media yang canggih. Adapun teknik penggunaanya dalam bentuk: a. Belajar mandiri berdasarkan pada bahan yang telah direkam dalam alat khusus, yang memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah antara individu dan computer. b. Menyimpan bahan informasi dalam alat penyimpan pada computer, yang pada waktu tertentu dapat diungkapkan kembali dan dipelajari. c. Belajar bahasa computer yang memiliki ciri khas. d. Belajar dengan bantuan tutor dalam prosedur belajar komputerisasi. Perkembanganya hingga saat ini media audio visual yang dikemas dalam bentuk system spesifikasi computer yang selalu melakukan updating keterbacaan secara audio dan visual telah diiringi dengan ragam model yang 27 dikembangkan. Hal ini sangat membantu memberikan pilihan terhadap peneliti untuk menerapkan media audio visual dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar sejarah siswa. E. Penelitian Yang Relevan Peneliti menggunakan empat jurnal penelitian yang sudah terpublikasi. pemilihan jurnal oleh peneliti selalu memperhatikan dan mengutamakan unsur kerelavansian dengan penelitian yang akan dilakukan. Berikut penjelasan dari keempat jurnal penelitian tersebut seperti tertulis dibawah ini: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Rifka Isnaini pada tahun 2011 pada siswa Kelas XI IPS 1 di SMAN 2 Ngawi dengan judul, “Upaya meningkatkan Hasil Belajar Sejarah Siswa Kelas XI IPS 1melalui Model Pembelajaran Jigsaw di SMAN 2 Ngawi”. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa 30 nilai hasil belajar siswa Kelas XI IPS 1 SMAN 2 Ngawi rendah. 20 siswa tuntas setelah melalui proses remidial, hal yang hampir sama juga terjadi pada tahun –tahun sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari dominasi guru dalam proses pembelajaran tersebut dapat menyebabkan siswa lebih bersifat pasif, guru hanya menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan sehingga mereka lebih banyak menunggu sajian guru daripada mencari, menemukan sendiri pengetahuan atau sikap dalam pembelajaran Sejarah. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Joni Purnomo, Sri Yutmini, dan Sri Anitah pada tahun 2013 pada siswa kelas VII, VIII, dan IX di SMP Negeri 1 Pacitan dengan judul, ”Penggunaan Media Audio Visual pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pacitan”. Hasil belajar siswa setelah guru menggunakan media audio visual meningkat dengan dibuktikan hasil ulangan siswa nilai rata-rata kelas dan daya serap siswa dalam menerima pelajaran meningkat. Peningkatan dirasakan saat guru menggunakan media audio visual, ketika menjelaskan materi siswa menyimak dengan baik dan siswa sangat termotivasi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar sehingga berakibat pada peningkatan hasil belajar siswa. Prosentase Kriteria 28 Ketuntasan Minimal (KKM) hasil belajar siswa setelah penggunaan media audiovisual mengalami peningkatan, dibandingkan dengan sebelumnya. 3. Penelitian yang dilakukan Ni Putu Ayu Widiastiti, I Wayan. Darsana, I Ngurah Sundayana (2014) di kelas V SD gugus satu Mengwi Badung dengan judul “Pengaruh Model Koperatif Pembelajaran STAD berbantuan dengan Media Audio Visual terhadap hasil belajar IPA kelas V SD gugus Mengwi Badung”. Penelitian ini menggunakan eksperimen semu dengan desain Nonequivalent Control Group Design. Data dalam penelitian ini siswa kelas V di SD No. 2 Cemagi sebagai kelompok eksperimen yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan media audio visual, kedua kelompok kontrol yaitu SD No. 4 Cemagi menggunakan pembelajaran konvensional. Data hasil belajar IPA diperoleh setelah dilakukan post test dengan jumlah butir soal sebanyak 30 soal. Berdasarkan hasil analisis nilai ulangan umum siswa menunjukkan keadaan data yang normal dan sampel yang homogen. Artinya data berdistribusi normal dan memiliki varians yang tidak berbeda secara signifikan. Hal Ini menunjukkan bahwa sebelum diberiperlakuan kedua kelas mempunyai kemampuan awal yang sama. Setelah ditentukan kelompok-kelompok penelitian, maka kelompok eksperimen diberikan perlakuan yaitu model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan media audio visual dan kelas control menggunakan pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan media audio visual dengan siswa yang dibelajarkan secara konvensional pada kelas V Gugus 1 Mengwi. 4. Penelitian yang dilakukan Andini Lia Susanti, I Ketut Mahardika, Subiki di kelas X SMA Negeri 4 Jember dengan Judul “Penerapan Model Pembelajaran Koperatif tipe STAD disertai Media Audio visual dalam pembelajaran Fisika berbasis Multirepresentasi di kelas X SMA Negeri 4 Jember”. Berdasarkan nilai kemampuan multirepresentasi fisika siswa dapat diketahui bahwa model pembelajarankooperatif tipe STAD disertai media audio visual berpengaruh 29 terhadap kemampuan multirepresentasi fisika siswa pada kelas eksperimen. Menurut hipotesis statistic bahwa Ha didefinisikan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan multirepresentasi fisika antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol dan diketahui bahwa nilai rata rata eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Perhitungan uji Independent sample Test SPSS 16 dari data nilai post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD disertai media audio visual dalam pembelajaran fisika berbasis multirepresentasi dapat membuat siswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa juga lebih baik. Namun demikian, keberhasilan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD disertai media audio visual berbasis multirepresentasi ini tidak terlepas dari kendala-kendala yang dihadapi. Salah satu kendala yang dihadapi adalah alokasi waktu dalam penerapan model. Hal ini dikarenakan siswa cenderung ramai pada saat penggabungan kelompok pada masing masing kelompok. Selain itu, siswa belum terbiasa melakukan presentasi, hal ini menyebabkan kinerja kognitif proses siswa kurang maksimal. Oleh karena itu, harus ada pendampingan yang lebih pada pada saat penggabungan dan presentasi kelas berlangsung. Namun, jika semua faktor yang ada dalam model pembelajaran ini dapat dikelola secara baik maka akan sangat dimungkinkan tercapainya tujuan pembelajaran secara maksimal. Berdasarkan isi dari keempat jurnal penelitian menunjukkan adanya relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Relevansi tersebut ditunjukkan dengan adanya kesamaan dalam menggunakan model pembelajaran kooperatif STAD serta media audio visual sebagai media pembelajaran. Perbedaan terletak pada jumlah siswa, dan metode pembelajaran yang digunakan. Selain itu, inovasi pembelajaran juga perlu dilakukan oleh peneliti agar dapat membuat siswa menjadi nyaman dalam saat mengikuti pelajaran sehingga mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan hasil belajar siswa. 30 F. Kerangka Berpikir Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa metode pembelajaran yang diterapkan di kelas XI IPS 2 masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah dan mengharapkan siswa duduk, diam, dengar, catat dan hafal sehingga kegiatan pembelajaran menjadi monoton. Minat belajar sebagian besar siswa juga masih rendah karena pembelajaran hanya berpusat di guru. Metode konvensional yang diterapkan oleh guru mengakibatkan penyampaian materi kepada siswa menjadi tidak efektif mengingat materi yang harus dipelajari sangat luas dengan alokasi waktu yang tersedia sangat sedikit (3 jam/minggu). Selain itu, hasil observasi juga menunjukkan bahwa asih ada beberapa siswa yang berbicara sendiri ketika pembelajaran sejarah berlangsung. Kondisi tersebut menunjukkan sikap siswa yang kurang bisa menghargai keberadaan guru sebagai pendidik. Data hasil belajar sejarah siswa juga menunjukkan bahwa kualitas proses dan hasil pembelajaran yang terjadi di kelas XI IPS 2 SMAN 2 Boyolali masih rendah. Kondisi tersebut dapat dilihat dari nilai rata – rata ujian akhir semester 1 tahun pelajaran 2015/2016. Jumlah siswa yang memperoleh nilai sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) masih tergolong sedikit. Dari keseluruhan siswa yang berjumlah 28 orang, hanya 10 siswa dapat dikategorikan tuntas karena mendapatkan nilai sesuai dengan KKM. Sedangkan 19 siswa dipastikan tidak tuntas karena memperoleh nilai dibawah KKM. Perolehan nilai yang didominasi oleh siswa yang mengalami ketidaktuntasan hasil belajar menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kelas XI IPS 2 mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran sejarah. Berdasarkan pada permasalahan tersebut disepakati bahwa pemecahan masalah akan dilakukan dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD dan media audio visual. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menigkatkan kualitas hasil belajar sejarah pada siswa klas XI IPS 2 melalui penggunaan model belajar kooperatif tipe STAD dan media audio visual. Berdasarkan paparan diatas, maka disajikan kerangka Penelitian Tindakan Kelas dapat disajikan seperti pada gambar di halaman berikutnya: 31 Hasil belajar Akibatnya siswa kurang aktif Pembelajaran sejarah rendah dalam kegiatan pembelajaran masih didominasi Sejarah. guru. Penjelasan tentang pembelajaran Kooperatif STAD dan media Audio Penerapan model Refleksi dari hasil pembelajaran siklus mengenai kooperatif STAD dan penerapan model media Audio Visual. pembelajaran Visual. Koperatif STAD dan media Audio Visual. Peningkatan hasil belajar sejarah siswa. Gambar 2.4 Alur Kerangka Berfikir G. Hipotesis Tindakan Penerapan model pembelajaran kooperatif STAD dan Media Audio Visual Meningkatkan prestasi belajar sejarah siswa kelas XI IPS 2 SMAN 2 Boyolali.