KESADARAN HUKUM DOKTER DAN PARAMEDIS TENTANG

advertisement
KESADARAN HUKUM DOKTER DAN PARAMEDIS TENTANG
STANDAR PELAYANAN KESEHATAN PADA INSTALASI GAWAT
DARURAT
(Studi di RSUD Cilacap)
SKRIPSI
Oleh:
GITA WISDHA KUMALA
E1A007349
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2011
KESADARAN HUKUM DOKTER DAN PARAMEDIS TENTANG
STANDAR PELAYANAN KESEHATAN PADA INSTALASI GAWAT
DARURAT
(Studi di RSUD Cilacap).
Oleh :
GITA WISDHA KUMALA
E1A007349
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal Februari 2011
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji
SARYONO HANADI, S.H.,
M.H.
NIP. 19570329 196801 1 001
TEDI SUDRAJAT, S.H., M.H.
NIP. 19800403 200604 1 001
HARYANTO DWI A., S.H.,
M.Hum.
NIP. 19570225 198702 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. ROCHANI URIP SALAMI, S.H., M.S.
NIP. 19520603 198003 2 001
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya:
Nama
: GITA WISDHA KUMALA
NIM
: E1A007349
Judul skripsi
: KESADARAN
HUKUM
DOKTER
DAN
PARAMEDIS TENTANG STANDAR PELAYANAN
KESEHATAN
PADA
INSTALASI
GAWAT
DARURAT (Studi di RSUD Cilacap).
Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah hasil karya saya sendiri
dan tidak menjiplak hasil karya orang lain.
Bila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi apapun dari
fakultas.
Purwokerto,
Februari 2011
GITA WISDHA KUMALA
E1A007349
KATA PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah S.W.T. atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Kesadaran Hukum Dokter dan
Paramedis tentang Standar Pelayanan Kesehatan Pada Instalasi Gawat
Darurat (Studi di RSUD Cilacap)” sebagai persyaratan untuk mendapatkan
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
Ketika dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima saran,
masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak, untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1.
Ibu dan semua keluarga yang telah memberi support dalam bentuk materiil
maupun immateriil.
2.
Teman-teman semua yang telah membantu dan setia menjadi teman
untukku.
3.
Dan semua yang tidak dapt disebutkan satu per satu.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah S.W.T. atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Kesadaran Hukum Dokter dan
Paramedis tentang Standar Pelayanan Kesehatan Pada Instalasi Gawat
Darurat (Studi di RSUD Cilacap)” sebagai persyaratan untuk mendapatkan
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
Ketika dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima saran,
masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak, untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, untuk dedikasi, kepemimpinan, dan
kebijakannya.
2. Bapak Saryono Hanadi, SH., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum
Kemasyarakatan dan Pembimbing Skripsi, untuk setiap bimbingannya,
kesabarannya dan motivasinya dalam penyusunan karya akademik pamungkas
ini.
3. Bapak Tedi Sudrajat, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi, untuk
setiap sudut dedikasi dan ketelitiannya dalam membimbing karya sederhana
ini.
4. Bapak Haryanto Dwi A., S.H., M.Hum. Selaku dosen penguji skripsi, untuk
setiap bentuk evaluasi atas karya ini.
5. Bapak Rahadi Wasi Bintoro, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing akademik,
untuk setiap dorongan, motivasi, dan bantuannya dalam menyelesaikan studi
penulis di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, terima kasih
untuk ilmu yang sangat bermanfaat yang telah bapak/ ibu berikan..
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu
penelitian lebih lanjut berdasarkan skripsi ini sangat terbuka sebagai sumbangan
terhadap ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Purwokerto,
Februari 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................
i
HALAMAN JUDUL...................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN....................................................................
iv
KATA PENGANTAR................................................................................
v
DAFTAR ISI............................................................................................... vii
ABSTRAK..................................................................................................
x
ABSTRACT.................................................................................................
xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................
1
B. Perumusan Masalah..............................................................
7
C. Tujuan Penelitian..................................................................
7
D. Kegunaan Penelitian.............................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum tentang Pelayanan Kesehatan................................
10
1. Pengertian dan Pengaturan..........................................
10
2. Asas-asas Hukum tentang Pelayanan Kesehatan.........
12
3. Hubungan Hukum Dokter dan Pasien.........................
20
4. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien........................
28
5. Standar Pelayanan Kesehatan pada Instalasi Gawat
Darurat............................................................................
39
B. Kesadaran Hukum.............................................................
43
1. Pengertian Hukum dan Kesadaran Hukum..................
43
a. Pengertian Hukum...............................................
43
b. Pengertian Kesadaran Hukum.............................
46
2. Teori-teori Kesadaran Hukum.....................................
49
3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Kesadaran
BAB III
Hukum.......................................................................
54
a. Faktor Motivasi.................................................
54
b. Faktor Komunikasi............................................
58
METODOLOGI PENELITIAN
1. Metode Pendekatan.........................................................
62
2. Metode Penelitian............................................................
62
3. Spesifikasi Penelitian......................................................
63
4. Lokasi Penelitian.............................................................
63
5. Populasi Penelitian.........................................................
64
6. Metode Pengambilan Sampel.........................................
64
7. Jenis dan Sumber Data...................................................
65
a. Data Primer..............................................................
65
b. Data Sekunder.........................................................
65
8. Data yang diperlukan.....................................................
65
BAB IV
9. Metode Pengumpulan Data...........................................
66
10. Metode Pengolaan Data...............................................
67
11. Metode Penyajian Data.................................................
68
12. Definisi Operasional Variabel.......................................
68
13. Metode Analisa Data.....................................................
69
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat
di RSUD Cilacap...........................................................
71
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesadaran Hukum Dokter dan
Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada
Pelayanan Gawat Darurat..............................................
BAB V
90
PENUTUP
A. Simpulan.........................................................................
102
B. Saran...............................................................................
103
DAFTAR PUSTAKA
KESADARAN HUKUM DOKTER DAN PARAMEDIS TENTANG
STANDAR PELAYANAN KESEHATAN PADA INSTALASI GAWAT
DARURAT (Studi di RSUD Cilacap)
Oleh :
GITA WISDHA KUMALA
E1A007349
ABSTRAK
Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memiliki kekuatan
sanksi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh negara/aparat penyelenggara
negara. Dalam kehidupan sehari-hari hukum mengikat segala macam kegiatan
manusia. Untuk menegakkan hukum di dalam masyarakat kita perlu mengukur
tingkat kesadaran hukum masyarakat. Tingkat kesadaran hukum dapat dilihat dari
indikator pengetahuan hukum, pengetahuan isi hukum, sikap hukum dan pola
perilaku hukum.
Dalam penelitian ini penulis mengukur tingkat kesadaran hukum dokter dan
paramedis tentang standar pelayanan kesehatan pada instalasi gawat darurat.
Dengan metode turidi sosiologis penulis membedah tingkat kesadaran hukum
melalui angka-angka. Hasil penelitian menggambarkan bahwa tingkat kesadaran
hukum dokter dan paramedis tentang standar pelayanan minimal Rumah Sakit
pada pelayanan gawat darurat relatif tinggi, faktor-faktor dominan yang
cenderung mempengaruhi terhadap kesadaran hukum dokter dan paramedis
adalah faktor motivasi dan faktor komunikasi. Berkebalikan dengan faktor
lamanya masa kerja, yang berdampak negatif terhadap kesadaran hukum tersebut.
Kata kunci : Kesadaran hukum, faktor motivasi, faktor komunikasi, fakor lamanya
masa kerja.
KESADARAN HUKUM DOKTER DAN PARAMEDIS TENTANG
STANDAR PELAYANAN KESEHATAN PADA INSTALASI GAWAT
DARURAT (Studi di RSUD Cilacap)
Oleh :
GITA WISDHA KUMALA
E1A007349
ABSTRACT
Law is a set of rules or norms that have the power to implement sanctions
that can be imposed by the state or the state apparatus. In everyday life all kinds
of binding law of human activity to enforce the law in our society can be seen
from the indicator of law awareness, law acquaintance, law attitude, law
behaviour. In this study authors measured the level of legal awareness of doctors
and paramedics on the standard of health care in the emergency department.
With juridical studies of sociological method to dissect of awareness of the
writter through the numbers. The result illustrate that the level legal awareness of
doctors and paramedics on the minimum standard of service at the Hospital
emergency services are relativity high, the dominant factors that tend to influence
the legal awareness of legal awareness of doctors and paramedics on the
minimum standard of service at the Hospital emergency services are is factor of
motivation and factor communication. In contrast to factor the length of working
lives, which impact negatively on the legal consciousness.
Keywords : Legal awareness, factor of motivation and factor communication,
factor the length of working lives.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan seperti yang telah
diamanatkan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pelayanan kesehatan1 adalah setiap upaya baik yang
diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati
penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap perorangan,
kelompok atau masyarakat.
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya kesehatan,
yang bertujuan mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat. Pengaturan tentang pelayanan kesehatan terdapat dalam UndangUndang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, walaupun di antara keduanya tidak didapatkan
pengertian tentang pelayanan kesehatan, namun dapat dimengerti dari adanya
pengertian upaya kesehatan.
Dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 11 Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan hanya dirumuskan pengertian mengenai upaya kesehatan, yang
menentukan bahwa :
1
Kesehatan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental spiritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
“Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, dan
pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”.
Ketentuan tersebut di atas dapat ditafsirkan bahwa, pada dasarnya masalah
pelayanan kesehatan telah jelas diatur dalam Undang-Undang Kesehatan, oleh
karena pelayanan kesehatan merupakan bagian integral dari upaya kesehatan,
yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan secara perseorangan maupun
kelompok atau masyarakat dengan berbagai pendekatan upaya kesehatan. Hal ini
tercermin dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) huruf a, yang menyatakan bahwa,
“Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 47
dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan”.
Berkaitan dengan hal di atas, terdapat korelasi antara para pihak di dalam
pelayanan kesehatan yaitu hubungan hukum antara pasien dan dokter. Pengaturan
hubungan tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menegaskan
hak dan kewajiban antara pasien dan dokter. Hak dan kewajiban tersebut tidak
terbatas pada apa yang telah disepakati ataupun yang ditentukan oleh Undangundang saja, tetapi juga yang timbul dari kebiasaan dan kepatutan di dunia
kedokteran.
Sifat yang mendasari hubungan ini adalah relationship (hubungan),
sedangkan hubungan vertikal paternalistik antara dokter dan pasien dengan sifat
father know the best (dokter mempunyai keputusan yang terbaik). Sifat dari
hubungan yang kedua merupakan istilah yang dipakai sebelum adanya
perkembangan Hukum Kesehatan.
Terdapat pengaturan hubungan antara dokter dan pasien, bertujuan agar
dokter dalam melakukan kewajibannya disertai dengan perlindungan hukum, di
pihak lain seorang pasien mendapat pelayanan kesehatan berdasarkan haknya
sesuai prosedur yang berlaku.
Menurut Rano Indradi,2 secara umum pasien mempunyai 2 (dua) hak yang
bersifat individual, yaitu hak atas informasi atau the right to information dan hak
untuk menentukan nasib sendiri atau the right to self determination yang dimiliki
oleh pasien. Hak itu sendiri adalah kebebasan untuk berbuat sesuatu berdasarkan
hukum. Kedua hak tersebut yang menjadi pedoman seorang pasien mendapatkan
kelayakan untuk dipahami selama dalam proses pelayanan kesehatan.
Hak yang pertama, the right to information adalah hak atas informasi.
Dalam hak ini berkaitan dengan persetujuan pasien atau Informed Consent. Segala
tindakan medis yang akan dilakukan kepadanya, Dokter wajib memberikan
informasi-informasi terkait sesuai prosedur kepada pasien dan/atau keluarganya.
Hak yang kedua, the right to self determination adalah hak untuk
menentukan nasib sendiri. Setelah mendapatkan informasi dari Dokter maka
pasien dan/atau keluarganya yang berhak dapat mengambil sebuah keputusan
tentang tindakan medis yang akan dilakukan.
Memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh pasien, berdasarkan upaya
peningkatan pelayanan kesehatan terdapat hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak, sehingga diperlukan adanya kesadaran hukum dokter dalam melakukan
Rano Indradi, 25 January 2007, Informed Consent, Hak-Hak Pasien dalam Menyatakan
Persetujuan Rencana Tindakan Medis, dapat diakses http://ranocenter.blogspot.com/ (online), 7
Juli 2010.
kewajibannya yaitu memberikan pelayanan kesehatan. Menurut Veronika
Komalawati,3 Dokter sebagai pengemban profesi adalah orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui
pendidikan di bidang kedokteran yang memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan.
Berdasarkan pembahasan di atas, dokter dan paramedis dalam menjalankan
kewajibannya didasari oleh Standar Pelayanan Kesehatan yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mewujudkan hak-hak
pasien dan juga memenuhi kewajiban dari pihak dokter dan paramedis, maka
harus memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit (SPMRS). Dengan demikian sangatlah penting upayaupaya pelayanan kesehatan melalui pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
standar pelayanan yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.
129/MENKES/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan tersebut, terdapat banyak ketentuanketentuan termasuk pelayanan gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, bedah
sentral, dan lain sebagainya. Salah satu standar pelayanan kesehatan Rumah sakit
dilaksanakan pada instalasi gawat darurat, sebagai ujung tombak penyelamatan
pasien yang memanfaatkan pelayanan kesehatan pada setiap rumah sakit.
Pelayanan pada instalasi gawat darurat yang merupakan bagian pada pelayanan
umum Rumah sakit, harus pula tunduk pada standar pelayanan minimal Rumah
sakit.
3
Veronika Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeuti Studi
Tinjauan Yuridis, Cetakan Kedua, Citra Aditya Bhakti, Bandung. Hlm. 17.
Berkaitan tentang pelayanan gawat darurat, terdiri dari 9 (sembilan)
ketentuan yang harus dilaksanakan. Pelayanan Gawat Darurat di Rumah sakit
harus memenuhi standar antara lain 9 (sembilan) indikator tersebut yaitu :
1. Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa, dengan standar 100%.
2. Jam buka pelayanan Gawat Darurat, dengan standar 24 jam.
3. Pemberi pelayanan Gawat Darurat yang bersertifikat dan masih berlaku
BLS/PPGD/GELS/ALS, dengan standar 100%.
4. Ketersediaan tim penanggulangan bencana, dengan standar 1 (satu) tim.
5. Waktu tanggap pelayanan Dokter di Gawat Darurat, dengan standar kurang
dari 5 menit terlayani, setelah pasien datang.
6. Kepuasan pelanggan, dengan standar lebih dari 70%.
7. Kematian pasien kurang dari 24 jam, dengan standar kurang dari dua per
seribu ( pindah ke pelayanan rawat inap setelah delapan jam).
8. Khusus untuk Rumah Sakit Jiwa pasien dapat ditenangkan dalam waktu
kurang lebih 48 jam, dengan standar 100%.
9. Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka, dengan standar
100%.
Membahas lebih lanjut tentang pelayanan kesehatan, tidak sedikit fenomena
di dalam praktik kedokteran yang menjadi perhatian publik bahkan sampai
jenjang sengketa medis, dan tidak jarang pula sampai lembaga peradilan.
Fenomena tersebut seperti kasus Prita Mulyasari di Rumah sakit Omni
Internasional Alam Sutra Serpong Tangerang, gugatan Yan Young Joon4 di
Rumah sakit Jakarta, kasus dr. Setyoningrum5 di Pati yang melalui peradilan
tingkat pertama sampai dengan tingkat ketiga, kasus Aborsi di Rumah sakit dr.
Soetomo Surabaya, kasus-kasus pengambilan ginjal yang tidak berfungsi,
tertinggalnya kain kasa disaluran kencing di Rumah sakit Banyumas.
Di antara banyak fenomena yang telah saya sebutkan di atas, masih banyak
pula kasus-kasus lainnya yang tidak sempat terungkap di media massa, baik cetak
maupun elektronik. Fenomena-fenomena tersebut merupakan gambaran yang
menarik untuk dikaji yang pada prinsipnya kesemuanya disebabkan karena
pelayanan kesehatan di Rumah sakit yang tidak baik dan tidak memenuhi
memenuhi standar pelayanan minimal Rumah sakit (SPMRS).
Berkaitan dengan hal tersebut, hak-hak pasien, kewajiban dokter dan
paramedis serta SPMRS tersebut harus diketahui dan dipahami baik oleh pasien,
dokter dan paramedis maupun pihak rumah sakit. Hal tersebut ditujukan agar
pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan sesuai dengan tuntutan pasien yaitu
pelayanan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang bermutu tersebut harus
didasarkan pada sikap dan perilaku dokter dan paramedis sesuai dengan SPMRS.
Pelayanan kesehatan yang bermutu itu dapat diwujudkan apabila dokter dan
paramedis mengetahui dan memahami isi standar pelayanan kesehatan. Oleh
karena itu dalam pelaksanaan standar pelayanan kesehatan dalam Rumah sakit
diperlukan kesadaran hukum tentang standar pelayanan minimal itu sendiri.
4
5
Safitri Handayani, 2005, Sengketa Medik, alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter
dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta. Hlm. 65.
Anny Isfandyarie, 2005, Malpraktek dan ResikoMedik dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi
Pustaka Pulisher, Jakarta. Hlm. 13.
Pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum
dalam pelayanan kesehatan merupakan indikator-indikator yang harus dipenuhi
oleh dokter dalam menjalankan kewajibannya.
Berdasarkan pada hal tersebut diatas, maka penelitian ini memiliki arti
penting, terutama dalam rangka menganalisis pengetahuan, pemahaman, sikap dan
pola perilaku dokter dan paramedis yang berkaitan dengan SPMRS tersebut, yang
merupakan unsur-unsur yang terintegrasi dalam membentuk kesadaran hukum
dokter dan paramedis. Berdasarkan pada pemikiran tersebut, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian dengan merumuskan ke dalam judul Skripsi tentang
Kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan
Kesehatan pada Instalasi Gawat Darurat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditarik perumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tingkat kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat?
2. Bagaimanakah pengaruh faktor motivasi, komunikasi dan lamanya masa kerja
terhadap tingkat kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
2. Untuk mengetahui pengaruh faktor motivasi, komunikasi dan lamanya masa
kerja terhadap tingkat kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Gawat Darurat.
D.
Kegunaan Penelitian
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan antara lain :
1. Kegunaan yang bersifat Teoritis
a. Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari hukum kesehatan yang
keberadaannya masih baru dan penelitian-penelitian yang berkaitan
dengan SPMRS masih tergolong langka terutama dalam Strata Satu (S1).
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai informasi ilmiah dalam
rangka pengembangan dan pembaharuan ilmu dan pengetahuan hukum
pada umumnya dan hukum kesehatan pada khususnya.
b. SPMRS merupakan parameter pelayanan kesehatan yang masih jarang
dilakukan penenlitian secara empiris. Hasil penelitian ini dapat berguna
sebagai acuan dan perbandingan bagi peneliti-peneliti sejenis di masamasa mendatang.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan materi
secara teoritis yang baik pada perguruan tinggi maupun pada Rumah
Sakit-Rumah Sakit dalam rangka mencapai tujuan pelayanan kesehatan
yang bermutu sebagai tuntutan dari pasien.
2. Kegunaan yang bersifat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai input atau masukan
bagi perancang pembangunan hukum kesehatan, pembuat peraturan perUndang-undangan, dan pembuatan kebijakan Rumah Sakit itu sendiri,
dalam rangka peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat atau pasien
dan pengembangan institusi Rumah Sakit sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan yang mengembangkan amanat Undang-undang No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah bagi praktisi
hukum maupun praktisi medis di Rumah Sakit dalam rangka memecahkan
masalah-masalah yang mungkin timbul yang sekaligus mencegah
sengketa-sengketa medis dalam pelayanan kesehatan terutama yang dapat
merugikan baik pasien, reputasi dokter dan paramedis serta nama baik
Rumah Sakit itu sendiri.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan ilmiah
untuk mengembangkan kerjasama personal maupun bilateral antar
lembaga yang terkait dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang
sesuai dengan pelayanan minimal Rumah Sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum tentang Pelayanan Kesehatan
1. Pengertian dan Pengaturan
Di awali dengan pengertian pelayanan kesehatan, Pelayanan kesehatan
(health care service) merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau
masyarakat secara keseluruhan. Menurut Lavey dan Loomba sebagaimana dikutip
oleh Hendrojono Soewono6 mengatakan bahwa ;
“Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya baik
yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu
organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah
penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang
ditujukan terhadap perorangan, kelompok atau masyarakat”.
Pengertian pelayanan kesehatan di atas, senada dengan pendapatnya Abdul
Bari Syaifudin7 yang menyatakan bahwa ;
“Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan
secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan,
keluarga, kelompok dan/atau masyarakat”.
Pengertian pelayanan kesehatan menurut Soerjono Soekanto8, menyatakan
bahwa :
6
Hendrojono Soewono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Kedokteran dalam
Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya. Hlm. 100-101.
7
Abdul Bari Syaifudin, 2002. Buku acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,
Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, Hlm. 17.
“Pelayanan kesehatan merupakan suatu usaha profesi kesehatan untuk
mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan pada setiap orang
atau masyarakat yang lebih baik dari keadaan kesehatan sebelumnya,
secara terus menerus dan berkesinambungan agar dapat hidup
sejahtera serta produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan
kondisi, situasi dan kemampuan yang nyata dari setiap orang ataupun
masyarakat”.
Menurut Wiku Adisasmito9 dalam studinya tentang analisis kebijakan
kesehatan berpendapat bahwa ;
“Pelayanan kesehatan adalah segala bentuk kegiatan yang ditujukan
untuk meningkatkan derajat suatu masyarakat yang mencakup
kegiatan penyuluhan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
penyembuhan dan pemulihan kesehatan yang diselenggarakan secara
terpadu dan berkesinambungan yang secara sinergis berhasil guna dan
berdaya guna sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat setinggitingginya”.
Azrul Anwar,10 berpendapat bahwa dari pengertian-pengertian pelayanan
kesehatan di atas, dapat ditarik kesimpulan, berbagai bentuk dan jenis pelayanan
kesehatan, ditentukan oleh :
a. Pengorganisasian pelayanan, apakah diselenggarakan secara mandiri atau
secara bersama-sama dalam suatu organisasi;
b. Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan
kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan
penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya;
8
Soerjono Soekanto, 1990. Segi-segi Hukum Hak dan kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum
Kesehatan, CV. Mandar Maju, Bandung, Hlm. 12.
9
Wiku Adisasmito, 2008. Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group
(DRG), Kelayakan Penerapannya di Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia, Jakarta, Hlm. 9.
10
Azrul Anwar, 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara, Jakarta,
Hlm. 36.
c. Sasaran pelayanan kesehatan, apakah untuk perseorangan, keluarga, kelompok
ataupun untuk masyarakat secara keseluruhan.
Pengaturan tentang pelayanan kesehatan terdapat dalam Undang-Undang
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, walaupun di antara keduanya tidak didapatkan
pengertian tentang pelayanan kesehatan, namun dapat dimengerti dari adanya
pengertian upaya kesehatan.
2. Asas-asas Hukum tentang Pelayanan Kesehatan
Menurut Soedikno Mertokusumo,11 mengatakan bahwa setiap ada hukum, di
dalamnya terdapat asas-asas yang menjadi dasarnya. Pengertian asas hukum
menurut Belefroid, asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum
positif yang oleh ilmu hukum dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih
umum, asas hukum merupakan pengendapan dari positif. Membahas asas hukum
menurut Scholten, asas hukum kecenderungan-kecenderungan yang diisyaratkan
oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum
dengan keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum tetapi harus ada.
Asas hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas hukum umum dan asas
hukum khusus. Asas hukum umum adalah asas hukum yang berhubungan dengan
seluruh bidang hukum, seperti asas restititio in integrum, asas lex posteriori
derogat legi priori, asas bahwa apa yang lahirnya tampak sebagai benar (sah)
11
Soedikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Hlm. 11.
untuk sementara harus dipertahankan demikian sampai diputus oleh Pengadilan,
asas demi kepastian hukum, asas nebis in idem.
Asas hukum yang kedua ialah asas hukum khusus, berfungsi dalam bidang
yang lebih sempit, seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, dan
sebagainya. Asas hukum khusus merupakan penjabaran dari hukum khusus,
meliputi pacta sunt servanda, asas konsesualisme, asas yang tercantum dalam
pasal 1977 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, asas praduga tak bersalah.
Membahas tentang Asas Hukum Pelayanan Kesehatan yang merupakan asas
hukum khusus, di dalamnya juga terdapat asas hukum. Menurut Veronica
Komalawati12, yang mengatakan bahwa, asas-asas hukum yang berlaku dan
mendasari pelayanan kesehatan dapat disimpulkan secara garis besarnya sebagai
berikut :
a. Asas Legalitas
Asas ini pada dasarnya tersirat di dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3)
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa:
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan;
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
bidang keahlian yang dimiliki;
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tenaga kesehatan
wajib memiliki izin dari pemerintah.
Ketentuan yang mengatur point (3), tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) dan
(3); Pasal 36; Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. Dari ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa, keseluruhan
12
Veronica Komalawati, 2002. Op. Cit. Hlm. 126-133.
persyaratan tersebut merupakan landasan legalitasnya dokter dan dokter gigi
dalam menjalankan pelayanan kesehatan. Artinya, “asas legalitas” dalam
pelayanan kesehatan secara laten tersirat dalam Undang-Undang No. 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran.
b. Asas Keseimbangan
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara
seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara fisik
dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam pelayanan kesehatan dapat
pula diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan
hasil, antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari pelayanan kesehatan yang
dilakukan. Dengan demikian berlakunya asas keseimbangan di dalam pelayanan
kesehatan sangat berkaitan erat dengan masalah keadilan yang bersifat kasustis,
karena berhubungan dengan alokasi sumber daya dalam pelayanan kesehatan.
c. Asas Tepat Waktu
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, asas tepat waktu merupakan
asas yang cukup krusial, karena sangat berkaitan dengan akibat hukum yang
timbul dari pelayanan kesehatan. Dicontohkan dengan sebuah kelalaian dokter
untuk memberikan pertolongan tepat pada saat yang dibutuhkan, dapat berakibat
menimbulkan kerugian pada pasien. Berlakunya asas ini harus diperhatikan
dokter, karena tidak dapat menerima alasan apapun dalam hal keselamatan nyawa
pasien yang terancam yang disebabkan karena keterlambatan dokter dalam
menangani pasiennya.
d. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik ini pada dasarnya bersumber pada prinsip etis untuk berbuat
baik pada umumnya yang perlu pula diaplikasikan dalam pelaksanaan kewajiban
dokter terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Dokter sebagai pengemban
profesi, penerapan asas itikad baik akan tercermin pada sikap penghormatan
terhadap hak-hak pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu patuh
dan taat terhadap standar profesi. Kewajiban untuk berbuat baik ini tentunya
bukan tanpa batas, karena berbuat baik harus tidak boleh sampai menimbulkan
kerugian pada diri sendiri.
e. Asas Kejujuran
Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat
menumbuhkan kepercayaan pasien kepada dokter dalam pelayanan kesehatan.
Berlandaskan asas kejujuran, dokter berkewajiban untuk memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien, yakni sesuai standar profesinya.
Penggunaan berbagai sarana yang tersedia pada institusi pelayanan kesehatan,
hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan.
Asas kejujuran merupakan dasar bagi terlaksananya penyampaian informasi
yang benar, baik dari pasien maupun dokter dalam berkomunikasi. Kejujuran
dalam menyampaikan informasi dapat sangat membantu dalam kesembuhan
pasien. Kebenaran informasi berhubungan dengan hak setiap manusia untuk
mengetahui kebenaran.
f. Asas Kehati-hatian
Kedudukan dokter sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan, tindakan
dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung
jawabnya dalam pelayanan kesehatan. Kecerobohan dalam bertindak dapat
mengakibatkan terancamnya jiwa pasien, dan berakibat dokter terkena tuntutan
pidana. Asas kehati-hatian ini secara yuridis tersirat di dalam Pasal 58 ayat (1)
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menentukan bahwa:
“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Dalam pelaksanaan kewajiban dokter, asas kehati-hatian ini diaplikasikan
dengan mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien terutama hak atas
informasi dan hak untuk memberikan persetujuan yang erat kaitannya dalam
transaksi terapeutik.
g. Asas Keterbukaan
Salah satu asas yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun
2009 tentang Kesehatan adalah asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban,
yang secara tersirat di dalamnya terkandung asas keterbukaan. Hal ini dapat
diinterpretasikan dari Penjelasan Pasal 2 angka (9) yang berbunyi ; “Asas
penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan
dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan
kedudukan hukum”.
Pelayanan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna hanya dapat
tercapai bilamana ada keterbukaan dan kesamaan kedudukan dalam hukum antara
dokter dan pasien dengan didasarkan pada sikap saling percaya. Sikap tersebut
dapat tumbuh apabila dapat terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan
pasien, dimana pasien dapat memperoleh penjelasan dari dokter dalam
komunikasi yang transparan atau terbuka.
Munir Fuady sebagaimana dikutip oleh Anny Isfandyarie13 mengemukakan
pendapatnya bahwa, di dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan terdapat
beberapa asas etika modern dari praktik kedokteran yang disebutkan oleh
Catherine Tay Swee Kian antara lain sebagai berikut :
a. Asas Otonom
Asas ini menghendaki agar pasien yang mempunyai kapasitas sebagai
subyek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk menentukan
pilihannya secara rasional sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasinya
untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dokter tetap harus menghormati pilihan pasien dan berusaha untuk
menjelaskan dengan sebenarnya menurut pengetahuan dan keahlian profesional
dokter tersebut, agar pasien benar-benar mengerti dan memahami tentang akibat
yang akan timbul saat pilihannya tidak sesuai dengan anjuran dokter. Suatu
kewajiban dokter untuk memberikan masukan kepada pasien tentang dampak
negatif yang mungkin timbul sebagai akibat ditolaknya anjuran dokter tersebut.
b. Asas Murah Hati
Asas ini mengajarkan kepada dokter untuk selalu bersifat murah hati dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Berbuat kebajikan, kebaikan
dan dermawan merupakan anjuran yang berlaku umum bagi setiap individu. Hal
ini hendaknya dapat diaplikasikan dokter dalam pengabdian profesinya dalam
13
Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab dan Sanksi Bagi Dokter Buku I dan II, Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta. Hlm. 83-86
pelayanan kesehatan yang dilakukan baik terhadap individu pasien maupun
terhadap kesehatan masyarakat.
c. Asas Tidak Menyakiti
Dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien, dokter hendaknya
mengusahakan untuk tidak menyakiti pasien tersebut, walaupun hal ini sangat
sulit dilakukan, karena kadang-kadang dokter harus melakukan pengobatan yang
justru menimbulkan rasa sakit kepada pasiennya. Dalam hal terjadi demikian,
maka dokter harus memberikan informasi kepada pasien tentang rasa sakit yang
mungkin timbul sebagai akibat tindakan yang dilakukan guna kesembuhan pasien
tersebut dan agar pasien tidak menganggap apa yang telah dilakukan dokter
bertentangan dengan asas tidak menyakiti.
d. Asas Keadilan
Keadilan harus dilakukan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan
dalam artian bahwa dokter harus memberikan pengobatan secara adil kepada
pasien dengan tidak memandang status sosial ekonomi mereka. Di samping itu,
asas ini juga mengharuskan dokter untuk menghormati semua hak pasien antara
lain hak atas kerahasiaan, hak atas informasi dan hak memberikan persetujuannya
dalam pelayanan kesehatan.
e. Asas Kesetiaan
Asas kesetiaan mengajarkan bahwa dokter harus dapat dipercaya dan setia
terhadap amanah yang diberikan pasien kepadanya. Pasien berobat kepada dokter,
karena percaya bahwa dokter akan menolongnya untuk mengatasi penyakit yang
dideritanya. Hal ini merupakan amanah yang harus dilaksanakan dokter dengan
penuh tanggung jawab untuk menggunakan segala pengetahuan dan keahlian yang
dimilikinya demi keselamatan pasiennya.
f. Asas Kejujuran
Menurut M. I. Wiwik Yuni Hastuti dalam Tesisnya,14 asas ini mengajarkan
bahwa, dalam pelayanan kesehatan menghendaki adanya kejujuran dari kedua
belah pihak, baik dokter maupun pasiennya. Dokter harus secara jujur
mengemukakah hasil pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan kepada pasien,
dan pasien pun harus secara jujur mengungkapkan riwayat perjalanan
penyakitnya. Dalam praktik pelayanan kesehatan, pelaksanaan Informed Consent
harus berorientasi pada kejujuran.
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan ditetapkan bahwa, “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan
berasaskan
perikemanusiaan,
keseimbangan,
manfaat,
perlindungan,
penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminasi
dan norma-norma agama”. Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyebutkan bahwa,
“Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai
ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan
keselamatan pasien”.
3. Hubungan Hukum Dokter dan Pasien
14
M. I. Wiwik Yuni Hastuti, 2010, Penyelesaian Sengketa Medik (Studi tentang Aspirasi dan
Motivasi Pemilihan Model Penyelesaian Sengketa Medik Dokter dan Pasien dengan Pendekatan
Non-Litigasi dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Banyumas), Tesis, Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto. Hlm. 19-25.
Dalam dunia kesehatan saat ini, semakin meningkatnya kebutuhan
masyarakat kepada pelayanan kesehatan dan meningkatnya perhatian terhadap
hak pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan, menjadikan semakin
meningkat pula peranan hukum dalam pelayanan kesehatan untuk mengatur
hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan.
Menurut Hermien Hadiati Koewadji,15 hubungan antara dokter dan pasien,
terdapat jenis sifat di dalamnya. Sifat father know the best dalam hubungan antara
pasien dan Dokter yang terjadi beberapa tahun lalu. Dunia kedokteran sebenarnya
sudah memiliki model hubungan terapeutik yang mapan, yaitu suatu hubungan
paternalistik atas dasar kepercayaan. Dokter mempunyai kewenangan besar
terhadap pasien, termasuk dalam pengambilan keputusan dan dianggap yang
terbaik bagi pasien karena dokter mengetahui tentang segala hal sesuatu yang
berkaitan dengan penyakit, sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang penyakit,
terlebih tentang bagaimana penyembuhannya.
Beralih dari sifat hubungan father know the best menjadi sifat relationship
pada saat ini kedudukan dokter dan pasien adalah sama. Kedudukan tersebut
bersifat horizontal kontraktual, yaitu sederajat dan berdasarkan perjanjian yang
telah disepakati keduanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pihak yang
membutuhkan. Dalam hal ini dokter wajib memberikan waktu bagi pasien untuk
berfikir, menimbang dan memutuskan tindakan yang akan dilakukan kepadanya
atas informasi dari dokter.
Hermien Hadiati Koewadji, 1999, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum Dalam
Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bhakti, Bandung. Hlm. 66.
Soerjono Soekanto,16 mengatakan bahwa perubahan pola hubungan hukum
antara dokter dengan pasien tersebut, terjadi karena disebabkan beberapa faktor
antara lain :
a. Kepercayaan tidak lagi tertuju pada dokter pribadi, akan tetapi
pada keampuhan ilmu dan teknologi kesehatan;
b. Masyarakat menganggap bahwa tugas dokter tidak hanya
menyembuhkan, akan tetapi lebih ditekankan pada perawatan;
c. Ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan bukan
lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi lebih berarti
kesejahteraan fisik, mental dan sosial;
d. Semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan
hukum kepada pasien, sehingga pasien semakin mengetahui dan
memahami hak-haknya dalam hubungan dengan dokter;
e. Tingkat kecerdasan masyarakat mengenai kesehatan semakin
meningkat dan mampu mengadakan penilaian.
Kedudukan para pihak di dalam pelayanan kesehatan, dokter dapat dilihat
dalam kedudukannya selaku profesional di bidang medik yang harus berperan
aktif, dan pasien dapat dilihat dalam kedudukannya sebagai penerima layanan
medik yang mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan
medik yang diterimanya. Hal ini disebabkan, dokter bukan hanya melaksanakan
pekerjaan melayani atau memberi pertolongan semata-mata, tetapi juga
melaksanakan pekerjaan profesi yang terkait pada suatu kode etik kedokteran.
Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian tentang hubungan antara
dokter dan pasien, baik di bidang medis, sosiologis maupun antropologi
sebagaimana dikutip oleh Veronica Komalawati17 menyatakan sebagai berikut :
a. Russel, menyatakan bahwa hubungan antara dokter dan pasien
lebih merupakan hubungan kekuasaan, yaitu hubungan antara
pihak yang memiliki wewenang (dokter) sebagai pihak yang aktif,
16
Soerjono Soekanto, 1989, Masalah Pelayanan Dokter kepada Pasien, Ind-Hill-Co, Jakarta,
Hlm. 149.
17
Veronica Komalawati, Op. Cit., hal. 43-45. Lihat juga Anny Isfandyarie, Op. Cit., Hlm. 91-92.
b.
c.
d.
e.
dengan pasien yang menjalankan peran kebergantungan sebagai
pihak yang pasif dan lemah;
Freidson, Freeborn dan Darsky, menyebutkan bahwa hubungan
antara dokter dan pasien merupakan pelaksanaan kekuasaan medis
oleh dokter terhadap pasien;
Schwarz dan Kart, mengungkapkan adanya pengaruh jenis praktik
dokter terhadap perimbangan kekuasaan antara pasien dengan
dokter dalam hubungan pelayanan kesehatan. Dalam praktik dokter
umum, kendali ada pada pasien karena kedatangannya sangat
diharapkan oleh dokter tersebut, sedangkan pada praktik dokter
spesialis, kendali ada pada dokter umum sebagai pihak yang
merujuk pasiennya untuk berkonsultasi pada dokter spesialis yang
dipilihnya. Hal ini berarti bahwa hubungan pasien dengan dokter
umum lebih seimbang daripada hubungan pasien dengan dokter
spesialis.
Kisch dan Reeder, meneliti seberapa jauh pasien dapat memegang
kendali hubungan dan menilai penampilan kerja suatu mutu
pelayanan medis yang diberikan dokter kepada pasiennya. Dalam
penelitian ini ditemukan adanya beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi peran pasien dalam hubungan pelayanan medis,
antara lain jenis praktik dokter (praktik individual atau praktik
bersama), atau sebagai dokter dalam suatu lembaga kedokteran.
Masing-masing kedudukan tersebut merupakan variabel yang
diperlukan yang dapat memberikan dampak terhadap mutu
pelayanan medis yang diterimanya;
Szasz dan Hollender, mengemukakan tiga jenis prototip hubungan
antara dokter dan pasiennya, yaitu hubungan antara orang tua dan
anak, antara orang tua dan remaja, dan prototip hubungan antara
orang dewasa.
Masih dalam hubungannya dengan hubungan hukum dokter dan pasien,
Thiroux seperti yang dikutip oleh Anny Isfandyarie18 membagi hubungan yang
seharusnya antara dokter dan pasien dalam 3 (tiga) sudut pandang, yakni :
a. Pandangan Paternalisme, menghendaki dokter untuk berperan
sebagai orang tua terhadap pasien atau keluarganya. Menurut
pandangan ini, segala keputusan tentang pengobatan dan
perawatan berada dalam tangan dokter sebagai pihak yang
mempunyai pengetahuan tentang pengobatan, sementara pasien
dianggap tidak mempunyai pengetahuan di bidang pengobatan.
Informasi yang dapat diberikan kepada pasien seluruhnya
18
Anny Isfandyarie, Op. Cit., Hlm. 91-92.
merupakan kewenangan dokter dan asisten profesionalnya, dan
pasien tidak boleh ikut campur di dalam pengobatan yang
dianjurkan;
b. Pandangan Individualisme, beranggapan bahwa pasien mempunyai
hak mutlak atas tubuh dan nyawanya sendiri. Oleh karena itu,
semua keputusan tentang pengobatan dan perawatan sepenuhnya
berada di tangan pasien yang mempunyai hak atas dirinya sendiri;
c. Pandangan Resiprocal dan Collegial, yang mengelompokkan
pasien dan keluarganya sebagai inti, dalam kelompok, sedangkan
dokter, perawat dan para profesional kesehatan lainnya harus
bekerja sama untuk melakukan yang terbaik bagi pasien dan
keluarganya. Hak pasien atas tubuh dan nyawanya tidak dipandang
sebagai hal yang mutlak menjadi kewenangan pasien, tatapi dokter
dan staf medis lainnya harus memandang tubuh dan nyawa pasien
sebagai prioritas utama yang menjadi tujuan pelayanan kesehatan
yang dilakukan. Keputusan yang diambil dalam perawatan dan
pengobatan harus bersifat resiprokal yang artinya bersifat memberi
dan menerima, dan collegial yang berarti pendekatan yang
dilakukan merupakan pendekatan kelompok yang setiap
anggotanya mempunyai masukan dan tujuan yang sama.
Menurut Hermein Hadiati Koeswadji19 hubungan antara dokter dan pasien
terdapat 2 (dua) pola hubungan, yakni : pola hubungan vertikal yang paternalistik
dan pola hubungan horizontal yang kontraktual. Dalam hubungan vertikal,
kedudukan antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat
dengan pasien sebagai pengguna/penerima jasa pelayanan kesehatan, sedangkan
dalam pola hubungan horizontal yang kontraktual, kedudukan antara penerima
jasa layanan kesehatan dan pemberi jasa pelayanan kesehatan mempunyai
kedudukan yang sederajat.
Dalam
hubungannya
dengan
hal
di
atas
mengemukakan pendapatnya yang mengatakan bahwa :
19
20
Hermein Hadiati Koeswadji, 1999, Op. Cit., Hlm. 46.
Soejono Soekanto, 1990. Op. Cit., Hlm. 4.
Soerjono
Soekanto20
“Hubungan antara dokter dan pasien pada dasarnya merupakan
hubungan hukum keperdataan, di mana pasien datang kepada dokter
untuk disembuhkan penyakitnya dan dokter berjanji akan berusaha
mengobati atau menyembuhkan penyakit pasien tersebut. Hubungan
keperdataan merupakan hubungan hukum yang dilakukan oleh pihakpihak yang berada dalam kedudukan yang sederajat”.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan
disebut dengan “Transaksi Terapeutik”,21 yang didasarkan pada perjanjian, yakni
perjanjian di mana dokter berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan
pasien dari penderitaan sakitnya. Dalam hal ini yang dituntut bukan perjanjian
hasil atau kepastian adanya kesembuhan atau keberhasilan, namun perjanjian
tersebut berupa upaya atau usaha semaksimal mungkin dari dokter dalam
upayanya melakukan penyembuhan terhadap pasiennya secara hati-hati dan
cermat didasarkan pada ilmu pengetahuan yang layak.22
Perjanjian antara dokter dengan pasien merupakan perjanjian yang bersifat
timbal balik, yang mengandung arti bahwa perjanjianlah yang melahirkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak. Oleh karena itu, hubungan hukum dokter
dan pasien dalam pelayanan kesehatan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan
umum perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW).
21
Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang dimaksud dengan Transaksi Terapeutik adalah
hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya, serta
senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
22
Syahrul Machmud, 2008, Penegakkan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang
Diduga Melakukan Medical Malpraktik, Mandar Maju, Bandung. Hlm. 46.
Dalam hukum perjanjian secara teoritis dikenal dengan adanya 2 (dua)
macam perjanjian, yakni :23
1. Ispanningverbintenis, yakni suatu perjanjian di mana masing-masing pihak
berupaya atau berusaha semaksimal mungkin mewujudkan atau menghasilkan
perjanjian yang dimaksud. Dalam hal ini yang diutamakan adalah upaya atau
ikhtiar.
2. Resultaatverbintenis, yakni suatu perjanjian yang didasarkan pada hasil atau
resultaat yang diperjanjikan. Masing-masing pihak berusaha semaksimal
mungkin menghasilkan atau mewujudkan apa yang diperjanjikan. Dalam hal
ini yang diutamakan adalah hasilnya.
Berkaitan dengan kedua macam perjanjian di atas bila dihubungkan dengan
perjanjian terapeutik, maka perjanjian terapeutik tersebut dapat dikategorisasikan
pada perjanjian Ispanningverbintenis, karena dokter akan sulit atau tidak mungkin
dituntut untuk pasti dapat menyembuhkan pasiennya. Jadi yang dituntut dari
seorang dokter adalah usaha maksimal dan sungguh-sungguh dalam melakukan
penyembuhan dengan didasarkan pada standar ilmu pengetahuan kedokteran yang
baik. Demikian pula bagi pasien, dituntut untuk berupaya melaksanakan anjuran
dan perintah-perintah dokter agar sakitnya dapat disembuhkan. Kedua belah pihak
yaitu dokter dan pasien dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin
menyembuhkan suatu penyakit.
23
Ibid., Hlm. 47.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, Veronica Komalawati24
memberikan gambaran tentang kekhususan transaksi terapeutik dibandingkan
dengan perjanjian pada umumnya sebagai berikut :
a. Subyek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien.
Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik profesional
yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian
pertolongan. Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan
tertentu sebagai tenaga profesional di bidang medik yang
berkompeten memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien,
sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan
kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter, berkewajiban
membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang
diberikan dokter tersebut;
b. Obyek perjanjian berupa upaya medik profesional yang bercirikan
pemberi pertolongan;
c. Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif).
Di dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
hubungan hukum antara dokter dan pasien ini terkandung dalam ketentuan Pasal
39, yang menyatakan bahwa :
“Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan
antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit dan pemulihan kesehatan”.
Ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum antara dokter dan pasien
merupakan hubungan hukum keperdataan yang didasarkan pada kesepakatan para
pihak. Pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan upaya pengobatan dan
24
Veronica Komalawati, Op. Cit., Hlm. 145.
penyembuhan terhadap penyakitnya, demikian pula dokter harus mempercayai
pasien tentang semua keluhannya agar dokter dapat memberikan terapi yang tepat.
Sebagai sebuah profesi, dokter atau tenaga kesehatan lainnya diikat oleh
sebuah kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan serta dijadikan pedoman
dalam menjalankan profesi kedokterannya. Kode etik kedokteran secara yuridis
tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Men.Kes/X/1983 tentang
berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang menyebutkan secara khusus
hubungan hukum dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan, sebagai berikut :
(1) Transaksi Terapeutik ini hanya khusus mengatur hubungan hukum antara
dokter dan pasien;
(2) Dilakukan dalam nuansa saling percaya atau konfidensial, yang mengandung
makna bahwa pasien atau keluarga pasien harus percaya kepada dokter yang
melakukan upaya pengobatan penyembuhan terhadap sakit pasien, demikian
pula dokter harus mempercayai pasien. Pasien harus jujur menceritakan
tentang segala keluhannya dan segala ketidaktahuannya terhadap obat-obat
tertentu, agar dokter dapat memberikan terapi yang tepat;
(3) Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang bersifat khusus ini meliputi
pula hubungan emosional, harapan dan kekhawatiran makhluk insani atas
kesembuhan pasien.
4. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien
Dalam pelayanan kesehatan yang di dalamnya terkandung hubungan hukum
antara dokter dan pasien dalam perjanjian terapeutik secara otomatis timbul hak
dan kewajiban dokter dan pasien sebagai akibat hukum dari adanya hubungan
hukum pelayanan kesehatan tersebut.
Menurut
Soedikno
Mertokusumo,25
berkaitan
dengan
pembahasan
sebelumnya tentang perjanjian terapeutik, apabila telah dilakukan perjanjian
terapeutik dengan baik, maka masing-masing pihak baik dokter maupun pasien
memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi oleh undang-undang Semua hak
melahirkan kewajiban, demikian juga sebaliknya. Hak memberi kenikmatan dan
keleluasaan kepada individu di dalam pelaksanaannya, sedangkan kewajiban
pembatasan dan beban bagi individu tersebut.
Nila Ismani,26 yang menyatakan bahwa, “Hak di dalam pengertian secara
umum adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan
pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas”. Oleh karena itu, hak
merupakan suatu kepentingan yang dilindungi undang-undang, sedangkan
kepentingan merupakan tuntutan perseorangan atau kelompok yang diharapkan
dipenuhi.
Berkaitan dengan masalah hak ini, Soedikno Mertokusumo27 mengatakan
bahwa, terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam suatu hak, yakni :
a. Subyek hukum : segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan
dibebani kewajiban. Kewenangan untuk menyandang hak dan
kewajiban ini disebut “Kewenangan Hukum”.
b. Obyek hukum : segala sesuatu yang menjadi fokus atau tujuan
diadakannya hubungan hukum
c. Hubungan hukum : hubungan yang timbul dan terjalin karena
suatu peristiwa hukum;
25
Soedikno Mertokusumo, Op. cit., Hlm. 39.
Nila Ismani, 2001. Dasar-dasar Etika Keperawatan, Widya Medika, Jakarta, Hlm. 20.
27
Soedikno Mertokusumo, Op. Cit., Hlm. 38-39.
26
d. Perlindungan hukum : segala sesuatu yang mengatur dan
menentukan hak serta kewajiban masing-masing pihak yang
melakukan hubungan hukum, sehingga kepentingannya
terlindungi.
Di bagian lain Soedikno Mertokusumo28 juga menyatakan bahwa, ada 2
(dua) macam hak yang melekat pada setiap individu, yaitu :
a. Hak absolut : yakni hak yang memberikan wewenang pada
pemegangnya untuk berbuat atau tidak berbuat yang pada dasarnya
dapat dilaksanakan siapa saja dan melibatkan setiap orang. Isi hak
absolut ini ditentukan oleh kewenangan pemegang hak itu sendiri.
b. Hak relatif : yakni hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak
yang dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu.
Di bidang kesehatan, hak dan kewajiban menjadi hal yang sangat penting
dan mutlak untuk dilaksanakan. Mengingat kelalaian untuk memenuhi hak dan
kewajiban akan menimbulkan akibat yang tidak kecil, yakni berupa tuntutan ganti
kerugian ataupun dapat diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan
sanksi pidana seperti hukuman mati, penjara maupun denda bahkan sanksi
pencabutan hak-hak yang melekat pada setiap individu tersebut.
Syarat utama dan pertama dalam hubungan Dokter dan pasien adalah
membangun rasa saling percaya dan memahami hak dan kewajiban masingmasing. Hak-hak Dokter terinci sebagai berikut :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
standar profesi dan standar prosedur operasional
b. Memberikan pelayanan menurut standar profesi dan standar operasional
prosedur
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya
d. Menerima imbalan jasa
Diantara hak-hak yang dimiliki, Dokter wajib melakukan :
28
Soedikno Mertokusumo, Ibid., Hlm. 40
a. Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar
operasional prosedur
b. Merujuk pasien ke Dokter atau Dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melaksanakan
suatu pemeriksaan atau pengobatan
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran.
Di pihak lain pasien juga mempunyai hak :
a.
b.
c.
d.
e.
Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
Meminta pendapat Dokter lain
Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
Menolak tindakan medis
Mendapatkan isi rekaman medis
Berdampingan dengan hak yang dimiliki, pasien mempunyai kewajiban
untuk :
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya
b. Mematuhi nasihat dan petujuk Dokter
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku pada sarana pelayanan kesehatan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Mengacu kepada pendapat Alexandra Indriyanti Dewi29, dikemukakan
beberapa hak dan kewajiban dokter dalam pelayanan kesehatan. Adapun hak-hak
dokter yang dimaksud berupa:
a. Hak untuk melakukan praktik kedokteran setelah memperoleh surat
izin dokter dan surat izin praktik;
b. Hak untuk memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari
pasiennya tentang penyakitnya;
c. Hak untuk bekerja sesuai dengan standar profesinya;
d. Hak untuk menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan
dengan etika, hukum, agama dan hati nuraninya;
29
Alexandra Indriyanti Dewi, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher,
Yogyakarta, Hlm. 144-148.
e. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasiennya, jika menurut
penilaiannya kerja sama dengan pasiennya tidak ada gunanya lagi
kecuali dalam keadaan darurat;
f. Hak atas privasi dokter dalam kehidupan pribadinya;
g. Hak untuk memperoleh ketenteraman bekerja dengan jaminan yang
layak di dalam memberikan kenyamanan dan suasana kerja yang
baik;
h. Hak untuk mengeluarkan surat-surat keterangan dokter;
i. Hak untuk menerima imbalan jasa;
j. Hak untuk menjadi anggota perhimpunan profesi
k. Hak untuk membela diri.
Berkaitan dengan perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien,
Veronica Komalawati30 mengemukakan pendapatnya tentang hak-hak dokter
dalam pelayanan kesehatan secara ringkas sebagai berikut :
a. hak atas informasi pasien mengenai keluhan-keluhan yang diderita;
b. hak atas imbalan jasa atau honorarium;
c. hak mengakhiri hubungan dengan pasien, jika pasien tidak mematuhi
nasehat yang diberikan;
d. hak atas etikad baik dari pasien dalam pelaksanaan transaksi
terapeutik;
e. hak atas privasi.
Hak-hak dokter yang dapat dinikmati dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan sebagaimana diuraikan di atas, diatur lebih tegas dalam ketentuan Pasal
50 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang
menyatakan antara lain sebagai berikut :
“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
30
Veronica Komalawati, 1989. Hukum dan Etika Dalam Parktik Kedokteran, PT Pustaka Sina
Harapan, Jakarta, Hlm. 99.
d. Menerima imbalan jasa”.
Dokter sebagai pengemban profesi dalam pelayanan kesehatan, dibebani
pula dengan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikemukakan oleh Alexandra
Indriyanti Dewi31 antara lain sebagai berikut :
a. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah kedokteran;
b. Setiap dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut
ukuran tertinggi;
c. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi;
d. Setiap dokter wajib melindungi makhluk insani;
e. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus
mengutamakan kepentingan masyarakat dan memperhatikan
semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya;
f. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala
ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita;
g. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan setelah penderita
meninggal dunia;
h. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai tugas
kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
mampu memberikannya;
i. Setiap dokter tidak diperbolehkan mengambil alih penderita dari
teman sejawatnya tanpa persetujuannya.
Menurut
Leenen
sebagaimana
dikutip
oleh
Danny
Wiradharma32
mengatakan bahwa, kewajiban dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan
pada prinsipnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yakni :
a. Kewajiban yang timbul dari sifat keperawatan medik di mana
dokter harus bertindak sesuai dengan standar profesi medik atau
menjalankan praktik kedokterannya secara “lege artis”
b. kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien yang bersumber dari
hak-hak asasi manusia dalam bidang kesehatan;
31
32
Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., Hlm. 138-143.
Danny Wiradharma, 1996. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara, Jakarta,
Hlm. 74.
c. kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan.
Hendrojono
Soewono33
berpendapat
bahwa
ditinjau
dari
segi
profesionalisme, secara normatif dokter mempunyai kewajiban-kewajiban
profesionalisme yang harus diamalkan dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang meliputi :
a. Kewajiban mempertahankan dan meningkatkan kompetensi
profesionalnya (Commitment to professional competence);
b.Kewajiban untuk berkata dan berlaku jujur kepada pasien
(Commitment to honesty with patient);
c. Kewajiban melindungi kerahasiaan pasien (Commitment to patient
confidentially);
d.Kewajiban untuk memelihara hubungan dan komunikasi yang
sepantasnya dengan pasien (Commitment to maintaining appropriate
relations with patient);
e. Kewajiban untuk meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien
(Commitment to improving quality of care);
f. Kewajiban meningkatkan jangkauan pelayanan pasien (Commitment
to improving acces to care);
g.Kewajiban menyesuaikan distribusi pelayanan dalam hal
keterbatasan fasilitas (Commitment to adjust distribution of finite
resources);
h.Kewajiban terhadap ilmu pengetahuan (Commitment to Scientifiec
knowledge);
i. Kewajiban memelihara kepercayaan dengan pengelolaan konflik
kepentingan secara baik (Commitment to maintaining Trust by
managing conflicts of interest).
Kewajiban-kewajiban
dokter
terhadap
pasien
dalam
melaksanakan
pelayanan kesehatan sebagaimana diuraikan di atas, diatur lebih konkret dalam
ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, yang menyatakan bahwa ;
“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban :
33
Hendrojono Soewono, Op. Cit., Hlm. 25-26.
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b.Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan dan pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d.Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya;
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi”.
Masih dalam hubungannya dengan kewajiban dokter, Hermein Hadiati
Koeswadji34 menyatakan bahwa ;
“Dari Kode Etik Kedokteran dapat dirumuskan kewajiban-kewajiban
pokok Dokter sebagai berikut ;
a. Dokter wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang
dimiliki secara adekuat;
b.Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri sesuai dengan yang telah
diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya
seseorang yang mewakilinya;
c. Dokter wajib memberikan informasi kepada pasiennya mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit penderitanya.
Terdapat beberapa tindakan-tindakan yang dilarang dilakukan oleh dokter,
karena hal tersebut dianggap bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran, antara
lain :35
a. Melakukan suatu perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri;
b. Ikut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala bentuk
tanpa kebebasan profesi;
34
35
Hermein Hadiati Koeswadji, Op. Cit,. Hlm. 148-149.
Fred Amin, 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, Hlm. 57. Lihat
pula Sutrisno, 1992. Medical Malpractice, Bunga Rampai Tentang Medical Malpractice,
Mahkamah Agung RI, Jakarta, Hlm. 7.
c. Menerima uang lain selain dari imbalan yang layak sesuai dengan jasanya
meskipun dengan pengetahuan pasien.
Selain hak dan kewajiban dokter sebagaimana dipaparkan di atas, dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan juga timbul hak dan kewajiban pasien, baik
karena perjanjian terapeutik maupun secara tegas dalam undang-undang. Menurut
Alexandra Indriyanti Dewi,36 kedudukan pasien sebagai pihak penerima jasa
medis dalam pelayanan kesehatan secara umum mempunyai hak-hak sebagai
berikut :
a. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati
secara wajar;
b. Memperoleh pelayanan kedokteran dan keperawatan secara
manusiawi sesuai dengan standar profesi baik kedokteran maupun
keperawatan;
c. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan;
d. Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran dan keperawatan
yang akan diikutinya;
e. Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kesehatan
dan kedokteran;
f. Dirujuk kepada dokter spesialis bilamana diperlukan;
g. Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi;
h. Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit;
i. Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasehat rohani dan
memperoleh perincian pembiayaan.
Berkaitan dengan hak pasien dalam pelayanan kesehatan ini, Soerjono
Seokanto mengatakan bahwa :
“Secara umum hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan meliputi
antara lain :
a. Hak pasien atas perawatan dan pengurusan;
b. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan
merawatnya;
c. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu;
d. Hak atas informasi;
36
Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., Hlm. 158-159.
e. Hak atas rasa aman dan tidak diganggu;
f. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan.
Secara normatif, pasien dalam pelayanan kesehatan juga diberikan hak yang
secara tegas ditentukan dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 29 tahun 2004
tentang Praktik kedokteran, yang menyatakan sebagai berikut :
“Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran
mempunyai hak, antara lain :
a.
Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
b. Meminta pendapat dokter lain;
c.
Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e.
Mendapatkan isi rekam medis”.
Menurut Anny Isfandyarie,37 selain yang ditentukan dalam Undang-Undang
Praktik kedokteran tersebut di atas, Kode Etik Kedokteran Indonesia juga
menyebutkan beberapa hak pasien yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai
berikut :
a. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati
secara wajar;
b. Hak memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai
dengan standar profesi kedokteran;
c. Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari
dokter yang mengobatinya;
d. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang
direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik;
e. Hak untuk memperoleh penjelasan tenaga riset kedokteran yang
akan diikutinya serta menolak atau menerima keikutsertaannya
dalam riset kedokteran tersebut;
f. Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis bila perlu, dan
dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai
konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau
tindak lanjut;
g. Hak atar kerahasiaan atau rekam medik yang bersifat pribadi;
h. Hak untuk memperoleh penjelasan peraturan rumah sakit;
37
Anny Isfandyarie, Op. Cit., Hlm. 98-102.
i. Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasehat atau
rohaniawan dan lain-lainnya yang diperlukan selama perawatan di
rumah sakit;
j. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat
inap, obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen,
ultrasonografi, CT-scan, biaya kamar bedah, kamar bersalin,
imbalan jasa dokter dan lain-lain.
Hak-hak pasien sebagaimana dikemukakan di atas, dalam pelayanan
kesehatan pasien juga mempunyai beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan.
Menurut Alexandra Indriyanti Dewi,38 dikatakan bahwa pasien dalam pelayanan
kesehatan mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. Kewajiban untuk memeriksakan diri sedini mungkin kepada
dokter;
b. Kewajiban memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang
penyakitnya;
c. Kewajiban mematuhi nasehat dan petunjuk dokter;
d. Kewajiban menandatangani surat-surat persetujuan tindakan medis
atau Informed Consent, surat jaminan dirawat di rumah sakit;
e. Wajib yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh;
f. Kewajiban melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya
pengobatan serta honorarium dokter.
Berkaitan dengan kewajiban pasien ini, Bahder Johan Nasution memberikan
pendapatnya yang agak berbeda pada beberapa kewajiban pasien dengan
Alexandra Indriyanti Dewi, namun mengandung makna yang sama. Menurut
Bahder Johan Nasution,39 kewajiban pasien yang harus dilaksanakan dalam
pelayanan kesehatan mencakup :
a. Kewajiban memberikan informasi;
b. Kewajiban melaksanakan nasehat dokter atau tenaga kesehatan
lainnya;
c. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam
hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan;
38
39
Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., Hlm. 158.
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Pertanggung Jawaban Dokter, Rineka Cipta,
Jakarta. Hlm. 34.
d. Kewajiban memberikan imbalan jasa;
e. Kewajiban memberikan ganti rugi apabila tindakannya merugikan
dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
Ditinjau dari hukum positif yang berlaku, kewajiban pasien dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan telah ditentukan secara tegas dalam
ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, yang menyatakan bahwa ;
“Pasien dalam menerima pelayanan kesehatan pada praktik kedokteran
mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
b. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;
dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Berdasarkan pada kewajiban-kewajiban pasien tersebut di atas dapat
diinterpretasikan bahwa, meskipun kewajiban pasien tersebut telah ditentukan
secara tegas dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, tetapi pasien
berkewajiban secara moral, yakni menjaga kesehatannya dan menjalankan aturanaturan perawatan sesuai dengan nasehat dan petunjuk dokter yang merawatnya.
Upaya-upaya yang dibentuk oleh pemerintah ditujukan pada penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang tertib dan merata sesuai dengan hak dan kewajiban
yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
5. Standar Pelayanan Kesehatan pada Instalasi Gawat Darurat
Setiap tenaga kesehatan, termasuk di dalamnya seorang Dokter dan
paramedis, di saat melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi tenaga kesehatan. Sebagaimana dimaksud dengan Standart Operasional
Prosedure (SOP) yang menjadi pedoman bagi tenaga medis adalah Lege Artis.
Menurut Leenen,40 Lege artis adalah hakikat sebagai suatu tindakan yang
dilakukan sesuai dengan Standart Profesi Medik atau Tenaga Kesehatan yaitu :
”bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama; sesuai dengan ukuran
medis; sesuai dengan kemampuan rata-rata / sebanding dengan dokter
lain dalam kategori keahlian medis yang sama; dalam keadaan yang
sebanding; dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan
tujuan konkrit tindakan medis tersebut.”
Berdasarkan uraian di atas, komunikasi antara dokter dengan pasien sangat
penting dilakukan untuk menimbulkan kepercayaan yang akan mempererat
hubungan berdasarkan kepercayaan. Keputusan pasien mengenai tindakan medik
atau perawatan medik harus dilakukan secara kolaboratif antara pasien dengan
dokter. Hal tersebut menjadikan motifasi seorang dokter untuk melakukan
kewajibannya sesuai dengan standar dan prosedur yang berlaku.
Dalam pelayanan kesehatan, sebelumnya didahului dengan pengajuan
pemberian tindakan medis. Komunikasi antara dokter dan pasien, terdiri dari tiga
bagian yaitu :
1. Mengungkapkan keluhan dan penyakit yang diderita oleh pasien, riwayat
penyakitnya, dan penyebab-penyebab timbulnya penyakit.
2. Pemeriksaan dan penjelasan oleh dokter kepada pasien dalam bahasa yang
dapat dimengerti oleh pasien, dan dihindari menggunakan bahasa medik.
Tedi Sudrajat, Handout Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto. Hlm. 6
3. Memastikan bahwa pasien mengerti dengan apa yang telah dijelaskan
kepadanya, pasien telah menerima resiko-resiko tersebut dan pasien
mengizinkan dilakukan prosedur tindakan.
Membahas tentang hubungan antara Dokter sebagai pemberi pelayanan
kesehatan dan pasien sebagai pihak yang membutuhkan, terdapat karakteristik
hubungan profesional yaitu :
a. Berkewajiban membina bantuan kepada pasien untuk mampu menolong
dirinya sendiri dan menjadi mandiri,
b. Berkewajiban membina hubungan profesional berdasarkan rasa percaya,
c. Bertanggung jawab terhadap penyelesaian masalah pasien,
d. Berorientasi pada kebutuhan pasien,
e. Diarahkan pada pencapaian tujuan,
f. Memahami kondisi pasien dengan berbagai keterbatasan,
g. Memberi penilaian berdasarkan norma yang disepakati oleh Dokter dan
pasien,
h. Bekerja sesuai kaidah etik untuk menjaga kerahasiaan dan hanya
menggunakan informasi untuk kepentingan dan persetujuan pasien.
Pembahasan tentang kewajiban dan kriteria pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh dokter, merupakan pemenuhan dari standar pelayanan. Dokter dan
paramedis sebagai tenaga medis di rumah sakit, berkewajiban memenuhi standar
pelayanan minimal rumah sakit, yang di dalamnya terdapat kriteria-kriteria di
setiap poli. Termasuk pada Instalasi Gawat Darurat, terdapat 9 (sembilan)
indikator, yaitu:
1. Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa, dengan standar 100%.
2. Jam buka pelayanan Gawat Darurat, dengan standar 24 jam.
3. Pemberi pelayanan Gawat Darurat yang bersertifikat dan masih berlaku
BLS/PPGD/GELS/ALS, dengan standar 100%.
4. Ketersediaan tim penanggulangan bencana, dengan standar 1 (satu) tim.
5. Waktu tanggap pelayanan Dokter di Gawat Darurat, dengan standar kurang
dari 5 menit terlayani, setelah pasien datang.
6. Kepuasan pelanggan, dengan standar lebih dari 70%.
7. Kematian pasien kurang dari 24 jam, dengan standar kurang dari dua per
seribu (pindah ke pelayanan rawat inap setelah delapan jam).
8. Khusus untuk Rumah Sakit Jiwa pasien dapat ditenangkan dalam waktu
kurang lebih 48 jam, dengan standar 100%.
9. Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka, dengan standar
100%.
Dalam suatu keadaan gawat darurat (emergency), sebuah pelayanan
kesehatan harus segera diberikan. Hal tersebut dapt dilakukan tanpa permohonan
pengajuan persetujuan pelayanan kesehatan, yang ditujukan untuk penyelematan
nyawa
pasien
dengan
tetap
harus
dilakukan
sesuai
dengan
standar
pelayanan/prosedur medis yang berlaku dan disertai profesionalisme yang
dijunjung tinggi.
Menurut Afsara,41 terdapat dasar dari uraian tersebut, yaitu Doktrin tidak
berlaku pengajuan persetujuan pasien dalam lima keadaan, yaitu :
1)
2)
3)
4)
Keadaan darurat medis;
Ancaman terhadap kesehatan masyarakat;
Pelepasan hak memberi consent (waiver);
Clinical Privilege (penggunaan clinical previlege hanya dapat
dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan
consent;
5) Pasien tanpa pendamping yang kompeten memnerikan consent.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008,
menyatakan bahwa dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa
pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan
kedokteran. Keputusan tersebut dicatat pada Rekam medik, dan dalam hal
tindakan tersebut Dokter wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada
pasien setelah sadar atau kepada keluarga terdekat.
B. Kesadaran Hukum
1. Pengertian Hukum dan Kesadaran Hukum
a. Pengertian Hukum
Manusia adalah makluk sosial. Sejak awal kelahirannya, manusia telah
membutuhkan manusia lain untuk bertahan hidup. Untuk bertahan hidup ini
manusia harus memenuhi beberapa kebutuhan dasar (esteem needs). Para ahli
ekonomi sendiri telah membagi kebutuhan manusia menjadi tiga macam, yaitu
kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier. Kebutuhan-
Informed Consent, 29 Januari 2009, dapat diakses http://afsarara.blogspot.com/ (online), 10 Juli
2010.
kebutuhan ini dalam praktiknya hanya dapat dipenuhi apabila manusia bekerja
sama satu sama lain.
Kebutuhan manusia semakin banyak dan berkembang sesuai perkembangan
jaman. Kebutuhan manusia yang semakin banyak ini membutuhkan pemenuhan
yang segera. Pemenuhan kebutuhan ini, dilakukan salah satunya dengan cara
saling berkomunikasi. Semakin banyak komunikasi maka semakin banyak
peluang terjadinya gesekan atau konflik. Konflik ini membutuhkan sarana
penyelesaiannya. Manusia kemudian menciptakan hukum untuk menyelesaikan
konflik yang berlangsung.
Hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyelesaian sengketa, namun
juga mengatur kehidupan manusia secara luas karena hukum berisi seperangkat
aturan yang mengatur sebagian besar kehidupan manusia. Hukum adalah
seperangkat aturan atau norma yang memiliki kekuatan sanksi yang pelaksaannya
dapat dipaksakan oleh negara/aparat penyelenggara negara.
Bambang Purnomo42 mengatakan bahwa, hukum dapat diberikan pengertian
menurut sudut pandang seseorang dari mana aspek hukum diperhatikan. Beberapa
ahli mencoba memberikan definisi hukum menurut penggolongan sifatnya yang
imperatif, definisi menurut hubungannya dengan proses peradilan, dan definisi
hukum sebagai kenyataan sosial. Tidak ada satu konsepsi rumusan yang
memuaskan, akan tetapi satu prinsip yang jelas bahwa hukum mempunyai ciri
yang tetap yaitu : hukum merupakan satu organ peraturan-peraturan abstrak dan
42
Bambang Purnomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hlm. 1.
hukum merupakan suatu proses sosial untuk mengadakan tertib hukum dan
mengatur kepentingan-kepentingan manusia.
Duguit43 mengatakan dalam memberikan pengertian dari hukum :
Hukum pada hakekatnya merupakan hasil kenyataan-kenyataan sosial,
bahwa manusia hidup ditengah-tengah masyarakt yang terkait oleh
kepentingan-kepentingannya sendiri menurut aturan untuk turut serta
dalam kehidupan bersama, bahwa hukum tidak tergantung terhadap
kehendak seseorang atau penguasa atau negara karena semua itu
tunduk kepada hukum. Sebuah peraturan dapat menjadi hukum
sebelum diakui oleh Negara, apabila peraturan itu mendapat dukungan
efektif dari masyarakat. Hal tersebut dikarenakan undang-undang tidak
menciptakan hukum melainkan hanya menentukan yang sudah ada.
Pengertian hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja,44 Hukum sebagai
kaidah sosial tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku di dalam masyarakat.
Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya
sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat itu.
Berkaitan dengan hukum, khususnya kesiapan dalam menyongsong
globalisasi pelayanan kesehatan di Indonesia, yang terlebih dahulu diperlukan
untuk diketahui adalah hakekat (the nature) dan fungsi (the fuction) hukum dalam
suatu masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan kegunaan atau manfaat hukum
dalam proses tersebut.
43
44
Ibid, Hlm. 18.
Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung. Hlm. 10.
Menurut Hermien Hadiati Koeswadji,45 kegunanan/manfaat hukum pada
dasarnya dapat berfungsi ganda, yaitu :
1. untuk membentuk hukum baru (the develop new laws)
2. memperkuat hukum yang sudah ada (to strengthen the existing laws)
3. memperjelas batas ruang lingkup dan fungsi hukum yang sudah ada (to clarity
the scope and function of the existing laws).
Soerjono Soekanto,46 mengemukakan pendapat bahwa hukum merupakan
alat penting yang luwes guna mencapai tujuan, yakni menciptakan suatu iklim
yang menguntungkan sehingga dapat membantu kelancaran usaha-usaha baru
dalam masyarakat yang menunjang pembangunan. H. Iswanto47 mengatakan
terdapat tujuan lain dari hukum, hukum bertugas memenuhi kehendak masyarakat
yang menginginkan keamanan umum, menurut pengertian yang paling rendah
dinyatakan sebagai tujuan ketertiban umum. Dalam pengertian ini berarti yang
diutamakan adalah ketertiban umum, sedangkan kebutuhan perorangan atau
kepentingan masyarakat tidak dipedulikan atau dikorbankan demi kepentingan
hukum.
Menurut Aristoteles,48 tujuan hukum adalah keadilan, artinya suatu keadaan
yang di dalamnya setiap orang tetap berada di dalam lingkungan yang ditunjuk
baginya. Pertama-tama kita harus mempertimbangkan hubungan yang timbul oleh
tidak adanya persamaan memperlakukan orang menurut nilai batinnya. Kedua,
45
Hermien Hadiati Keoswadji, Op. Cit. Hlm. 174.
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta.
Hlm. 9.
47
H. Iswanto, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Hlm.
39.
48
Ibid. Hlm. 41.
46
mempertimbangkan hubungan persamaan di dalam golongan, yang nilai batin
setiap orang menunjuk tempatnya kesana.
b. Pengertian Kesadaran Hukum
Sebuah hukum dapat dikatakan efektif jika terpenuhi faktor-faktornya, salah
satu faktor yaitu warga masyarakat. Dalam hal ini adalah kesadaran untuk
mematuhi suatu hukum atau atau peraturan perundang-undangan, yang sering
disebut dengan derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum. Di samping itu, masyarakat juga sebagai pendukung hak dan
kewajiban atau subyek hukum yang memiliki peranan besar dalam pelaksanaan
hukum.
Berdasarkan tahap pembentukan hukum yaitu formulasi peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan keadaan masyarakat itu sendiri.
Pembentukan hukum tanpa didasarkan pada nilai dan keadaan masyarakat akan
membawa pengaruh hukum yang akan tidak berjalan secara efektif dalam
masyarakat. Hal ini berdampak pada semangat dan kesadaran masyarakat untuk
menaati hukum. Tanpa adanya kesadaran ukum masyarakat maka hukum hanya
akan menjadi aturan semata. Hukum tidak akan berfungsi secara sempurna dalam
masyarakat. Permasalahan mengenai berfungsi atau tidaknya hukum dalam
masyarakat adalah permasalahan mengenai kesadaran hukum masyarakat.
Soerjono Soekanto,49 berpendapat sejarah persoalan kesadaran hukum
timbul dalam rangka mencari dasar syahnya hukum. Pada awalnya, masalah
kesadaran hukum muncul dalam penerapan hukum positif tertulis. Di dalam
kerangka proses tersebut timbul masalah yaitu apakah dasar syahnya hukum
adalah pengendali sosial oleh penguasa ataukah kesadaran masyarakat. Masalah
tersebut timbul oleh karena adanya hukum positif tertulis yang tidak dipatuhi oleh
warga masyarakat.
Membahas tentang kesadaran hukum, menurut Otje Salman,50 kesadaran
hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu
masyarakat. Dengan demikian masyarakat menaati hukum bukan karena paksaan,
melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Oleh karena itu diharapkan hukum yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang
sesuai dengan fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.
Pada hakekatnya kesadaran hukum terdiri dari dua kata yaitu kesadaran dan
hukum. Kesadaran dapat diartikan sebagai perasaan memahami keadaan di sekitar
kita yang menimbulkan keyakinan dan dapat menentukan perilaku seseorang
dalam setiap tindakan. Hukum mengandung beberapa unsur yaitu Mengatur
tingkah laku manusia, Dibuat oleh badan yang berwenang, Bersifat memaksa dan
dapat dipaksakan, serta Memiliki sanksi bila dilanggar.
49
50
Soerjono Soekanto, 1982, Op. cit, Hlm. 145.
Otje Salman, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung.
Hlm. 39-40.
Pendapat Kuitchky, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto,51
mengatakan :
Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat
dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada dalam konsepsi-konsepsi abstrak didalam diri manusia,
tentang keserasian dan ketertiban dengan ketentraman yang
dikehendaki atau yang sepantasnya.
Menurut Fatahilla52 mengartikan bahwa kesadaran hukum :
Kesadaran hukum sebagai perasaan sadar dari seorang manusia akan
seperangkat aturan yang memberikan perlindungan terhadap dirinya.
Perasaan sadar ini berupa perasaan akan kebutuhan dan pemahaman
terhadap hukum sehingga mempengaruhi seseorang kaitannya dengan
ketaatan atas peraturan hukum.
Kesadaran hukum masyarakat menyangkut faktor-faktor apakah suatu
ketentuan hukum diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Hal ini menjadikan
kesadaran hukum seseorang mempengaruhi pemahaman seseorang akan hukum
dan tingkat kepatuhan serta ketaatan terhadap hukum.
Mencermati pengertian-pengertian yang telah diuraikan di atas mengenai
kesadaran hukum, bahwa setiap manusia pada hakekatnya memiliki kesadaran
hukum, namun tingkat kesadaran hukum setiap orang berbeda-beda. Hal tersebut
tergantung pada pemahamannya terhadap hukum, seseorang yang memiliki
kesadaran hukum yang tinggi maka akan memahami hukum sebagai sebuah
kebutuhan, bukan sebagai sebuah paksaan. Diharapkan ketaatan akan muncul
dengan sendirinya.
51
Soerjono Soekanto, 1982, op. cit. Hlm. 159.
wongbanyumas, tgl 23 november 2009, Negara Hukum Indonesia, dapat diakses
http://fatahilla.blogspot.com/ (online), 5 juli 2010.
Setelah mengetahui tentang pengertian kesadaran hukum, maka mempelajari
lebih lanjut tentang pembagiannya, kesadaran hukum terbagi menjadi 2, yaitu : 53
Sadar akan kewajiban hukum, bahwa setiap orang dianggap paham dan
mengetahui sebuah aturan hukum meskipun ternyata orang tersebut tidak
mengetahui isi peraturan hukum tersebut. Yang kedua adalah Sadar akan hak
hukum, seseorang juga harus menyadari haknya yang dilindungi oleh hukum,
untuk menghindarkan adanya penyalahgunaan dan pembodohan terhadap
masyarakat.
2. Teori-teori Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum merupakan nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia
tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekan adalah nilai-nilai
tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadiankejadian konkret dalam masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Soerjono Soekanto dan Otje Salman,54 berkaitan dengan masalah
kesadaran hukum, berikut ini dikemukakan pandangan-pandangan yang
menyatakan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu nilai atau pandangan
mengenai kebaikan atau keburukan hukum yang berlaku dan diharapkan.
Pandangan-pandangan tersebut dapat diidentifikasi melalui beberapa teori yaitu
Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness), Pengetahuan
tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance), Sikap terhadap
wongbanyumas, tgl 23 november 2009, Negara Hukum Indonesia, dapat diakses
http://fatahilla.blogspot.com/ (online), 5 juli 2010.
54
Soerjono Soekanto dan Otje Salman, 1988, Disiplin Hukum Sosial, CV. Rajawali, Jakarta. Hlm.
217.
peraturan-peraturan hukum (legal attitude), Pola-pola perilakuan hukum (legal
behavior).55
1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness)
Di awali dengan
pengertian pengetahuan
menurut Notoatmodjo,56
pengetahuan merupakan hasil “Tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan
ini terjadi melalui panca indera manusia y akni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Menurut Otje Salman,57 pengetahuan hukum mempunyai arti bahwa
seseorang mengetahui perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan
tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang maupun perilaku yang
diperbolehkan oleh hukum. Dapat dilihat dalam masyarakat bahwa umumnya
seseorang mengetahui bahwa membunuh, mencuri, dan seterusnya dilarang oleh
hukum. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat
dianggap
mengetahui
isi
peraturan
manakala
suatu
peraturan
tersebut
diundangkan.
2. Pengetahuan Isi Peraturan-peraturan Hukum (law acquaintance)
Membahas lebih lanjut tentang pengetahuan, teori yang kedua adalah
Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum, maka sama dengan
pengertian pengetahuan, namun berkaitan dengan isi peraturan hukumnya.
55
Soerjono Soekanto, 1982, Op. Cit. Hlm. 159.
Pengertian (Definisi) dan tingkat Pengetahuan, dapat diakses http://www.canboyz.co.cc/
(online), 6 Januari 2011.
57
Otje Salman, Op. cit, Hlm. 40.
56
Menurut Otje Salman, teori kesadaran hukum yang kedua ini dinamakan dengan
Pemahaman Hukum.
Menurut Em Zul, Fajri & Ratu Aprilia Senja,58 Pemahaman berasal dari kata
paham yang mempunyai arti mengerti benar, sedangkan pemahaman merupakan
proses perbuatan cara memahami. Pengertian dari pemahaman hukum, yaitu
seseorang memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan
tertentu, terutama mengenai isinya.
Pemahaman hukum dalam arti bahwa sebanyak informasi yang dimiliki
seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, dengan kata lain
pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu
peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta
manfaatnya bagi para pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan
tersebut. Dalam hal pemahaman hukum, tidak diisyaratkan seseorang terlebih
dahulu mengetahui adanya suatu peraturan tertulis yang mengatur suatu hal.59
3. Sikap Hukum (legal attitude)
Pengertian sikap menurut D. Krech and R.S. Crutchfield,60 sikap adalah
organisasi yang tetap dari proses motivasi, emosi dan presepsi atau pengamatan
atas suatu aspek dari kehidupan individu. L. L. Thursione, sikap sebagai tingkatan
kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek
psikologi. Objek psikologi disini meliputi : simbol, kata-kata, slogan, orang,
58
Pengertian Pemahaman, 17 Desember 2010, dapat diakses http://ian43.wordpress.com/ (online),
6 Januari 2011.
59
Ibid Hlm. 41.
60
Abu Ahmadi, 2007, Psikologi Sosial, Rineka Cipta, Jakarta. Hlm. 156-158.
lembaga, ide, dan sebagainya. Zimbardo dan Ebbesen, sikap adalah suatu
predisposisi (keadaan mudah terpengaruh).
Sikap timbul karena ada stimulus. Terbentuknya suatu sikap itu banyak
dipengaruhi perangsang oleh lingkungan sosial dan kebudayaan, misalnya :
keluarga, norma, golongan agama, dan adat istiadat. Sikap seseorang tidak
selamanya tetap. Sikap dapat berkembang apabila mendapat pengaruh, baik dari
dalam maupun dari luar yang bersifat positif dan mengesankan.
Dalam hal ini, Sherif61 mengemukakan bahwa sikap dapat diubah atau
dibentuk apabila :
a. Terdapat hubungan timbal balik yang langsung antara manusia
b. Adanya komunikasi (yaitu hubungan langsung) dari satu pihak.
Pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Sikap
terbentuk dalam hubunganya dengan suatu objek, orang, kelompok, lembaga,
nilai, melalui hubungan antar individu, hubungan di dalam kelompok, komunikasi
surat kabar, buku, poster, radio, televisi dan sebagainya, terdapat banyak
kemungkinan yang mempengaruhi timbulnya sikap.
Setelah membahas tentang pengertian sikap dan dasar pembentuknya, sikap
hukum, dapat diartikan bahwa seseorang mempunyai kecenderungan untuk
mengadakan penelitian tertentu terhadap hukum. Sikap hukum adalah suatu
kecenderungan seseorang untuk menerima hukum karena adanya penghargaan
terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaaat atau menguntungkan jika
hukum itu ditaati.
61
Abu Ahmadi, Ibid.
Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam
masyarakat. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum
yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga
masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.62
4. Pola Perilaku Hukum (legal behavior)
Pengertian dari perilaku adalah perbuatan atau tindakan dan perkataan
seseorang yang sifatnya diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun
orang yang melakukannya. Miftah Thoha mengatakan bahwa, perilaku manusia
adalah sebagai suatu fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan
lingkungannya.63
Menurut Otje Salman,64 perilaku hukum artinya seseorang berperilaku
sesuai dengan hukum yang berlaku. Pola perilaku hukum merupakan hal yang
utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan
berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh
kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum dalam
masyarakat.
Uraian tersebut dapat disimpulkan, apabila indikator-indikator dari
kesadaran hukum dapat dipatuhi, maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu
pula sebaliknya. Apabila derajat kesadaran hukum rendah maka derajat ketaatan
terhadap hukum juga rendah.65
62
Ibid Hlm. 42.
Miftah Thoha, 1996, Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, PT. RajaGrafindo,
Jakarta. Hlm. 29
64
Loc. Cit. Hlm. 43.
65
Loc. Cit.
63
3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Kesadaran Hukum
a. Faktor Motivasi
Seseorang dapat merasakan bahwa terdapat kemungkinan yang tertinggi
dalam suatu kinerja maka akan mendapatkan penghargaan, atau penghargaan yang
diterima didasarkan atas kinerja yang baik, sehingga motivasi orang untuk
berusaha mencapai sasaran yang telah ditetapkan akan tinggi. Di sisi lain terdapat
kemungkinan yang rendah suatu kinerja memperoleh penghargaan, maka motivasi
orang untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan juga akan rendah.
Menurut Mulyadi,66 motivasi yang rendah akan terwujud dalam bentuk
kurangnya kepedulian karyawan terhadap pekerjaannya. Seseorang dalam
merumuskan sasaran yang memberikan tantangan maka akan menjadikan
motivasi bagi dirinya. Suatu sasaran yang mudah dicapai mengakibatkan
berkurangnya motivasi orang untuk mencapainya karena orang akan menganggap
pencapaian sasaran tersebut tidak berharga.
Berkaitan dengan motivasi tersebut, Kartini Kartono67 menyatakan bahwa
motivasi adalah suatu sebab alasan dasar, fikiran dasar, dorongan bagi setiap
orang untuk berbuat, atau ide pokok yang selalu berpengaruh besar terhadap
tingkah laku manusia.
Konsep motivasi dikembangkan oleh William G. Scott68 sebagai rangkaian
pemberian dorongan kepada seseorang untuk melakukan tindakan guna mencapai
66
Mulyadi 1993, Akuntansi Manajemen, Bagian Penerbitan STIE YKPN, Yogyakarta. Hlm. 421.
Kartini Kartono, 1985, Psikologi Sosial Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri, CV.
Rajawali, Jakarta. Hlm. 157.
68
Fred N. Kerlinger dan Elazar J. Pedhazur, 1987, Korelasi dan Analisis Regresi Ganda, Nur
Cahaya, Yogyakarta. Hlm. 161.
67
tujuan yang diinginkan. Masih dalam hubungan dengan motivasi, Atkinson
memandang kekuatan motivasi sama dengan fungsi. Kekuatan yang berada dalam
motivasi untuk melakukan beberapa kegiatan adalah suatu fungsi dari :
a. Kekuatan yang menjadi alasan bergerak adalah suatu keadaan dimana di
dalam diri setiap orang, tingkatan alasan atau motive-motive yang
menggerakkan tersebut menggambarkan tingkat untuk memenuhi suatu
kepentingan.
b. Harapan atau expentancy adalah dimana kemungkinan atau keyakinan
perbuatan akan mencapai tujuan.
c. Nilai dari incentive dimana ganjaran-ganjaran demi tercapainya tujuan.
Ketiga hal tersebut merupakan faktor-faktor motivasi, berikut penjelasan
masing-masingnya :69
1. Motive
Menurut Fremout E. Kast dan James E. Roseinzweig, motive merupakan
suatu dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk melakukan atau
sedikitnya merupakan suatu kecenderungan menyumbangkan perbuatan tertentu.
Dorongan untuk melakukan sesuatu perbuatan tersebut datang dari luar ataupun
dapat merupakan hasil dari suatu proses pemikiran dari dalam diri seseorang.
Selanjutnya menurut Willam G. Scott,
70
mengemukakan bahwa motive adalah
kebutuhan yang belum terpuaskan yang mendorong untuk mencapai tujuan
tertentu.
69
70
Ibid. Hlm. 163.
Ibid. Hlm. 164.
Dikaji secara mendalam masalah motive, terdapat alasan-alasan yang
mendorong manusia melakukan sesuatu karena mempunyai kebutuhan-kebutuhan
untuk dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut oleh Buchari Zainun diklompokan
menjadi lima kebutuhan yaitu :
1. kebutuhan pokok manusia sehari-hari untuk makan, minum, berpakaian,
bertempat tinggal dan kebutuhan fisik lainnya.
2. kebutuhan untuk memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan atau
perlindungan dari ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup dari
kehidupan dengan segala aspeknya.
3. kebutuhan untuk disukai dan menyukai, disenangi dan menyenangi, dicintai
dan mencintai, kebutuhan untuk bergaul, berkelompok, bermasyarakat dan
bernegara.
4. kebutuhan
untuk
memperoleh
kehormatan,
penghormatan,
pujian,
penghargaan dan pengakuan.
5. kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan, keagungan, kekaguman dan
kemashuran sebagai seseorang yang mampu dan berhasil mewujudkan potensi
bakatnya dengan hasil prestasi yang luar biasa.
Kebutuhan-kebutuhan manusia di atas sifatnya memunculkan dorongandorongan, yakni suatu desakan yang alami untuk memuaskan kebutuhan hidup
dan merupakan kecenderungan untuk mempertahankan hidup. Dorongan ini sudah
ada sejak manusia lahir dan erat kaitannya dengan perasaan-perasaan yang paling
dalam. Kuantitas dan kualitas dorongan berbeda-beda pada setiap individu.
Kebutuhan dan dorongan-dorongan yang tidak terpenuhi menyebabkan timbulnya
ketegangan-ketegangan, yang cenderung akan meningkat bila kebutuhan dan
dorongan tersebut semakin kumulatif terkumpul, dan sebaliknya ketegangan
cenderung menurun dan berkurang jika kebutuhan-kebutuhan terpenuhi atau
terpuaskan.
2. Expectation (Harapan)
Unsur lain yang tidak kalah penting untuk membentuk motivasi adalah
expectation (harapan), dimana motivasi seseorang untuk mewujudkan usahanya
didasarkan kepada keyakinan/pengharapan untuk sukses. Pengharapan merupakan
kemungkinan bahwa dengan perbuatan akan mencapai tujuan.71
3. Incentive
Incentive72 merupakan perangsang yang menjadikan sebab berlangsungnya
kegiatan, memelihara kegiatan mengarah langsung satu tujuan yang lebih baik
dari yang lain. Menurut Morris S. Viteles,
73
Incentive adalah keadaaan yang
membangkitkan kekuatan dinamis-manusia, atau persiapan-persiapan dari pada
keadaan yang mengantarkan dengan harapan dapat mempengaruhi atau merubah
sikap atau tingkah laku manusia.
Di bagian lain Morris S. Viteles, membagi Incentive dalam dua bentuk yaitu:
a. Incentive dapat bersifat positif, dalam arti mau berbuat sesuatu untuk
membantu melancarkan atau mengembangkan bentuk dan tingkah laku,
seperti : hadiah-hadiah yang berupa material, pujian, merasa berhasil dengan
baik dan sebagainya.
71
Miftah Thoha, 1996, Perilaku Organisasi , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hlm. 40-41.
Ibid. Hlm. 39.
73
Fred N. Kerlinger dan Elazar J. Pedhazur, 1987, Op. Cit. Hlm. 168.
72
b. Incentive dalam arti tanggapan atau reaksi yang melarang dan menghalanghalangi serta menghambat atau sejenisnya, seperti : celaan, teguran, hukuman,
pemecatan dan atau penghapusan hak-hak istimewa dan sebagainya.
Ditarik sebuah kesimpulan bahwa penting sebuah unsur incentive dalam
menumbuhkan suatu motivasi seseorang. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan oleh Joseph Tiffin,74 mengenai pentinganya incentive dalam usaha
pimpinan memberikan motivasi pada karyawan, lebih lanjut dijelaskan bahwa
seseorang tidak banyak mengetahui tentang sesuatu hal apabila mereka tidak
dibekali dengan incentive secara cukup.
Beberapa kriteria tentang incentive yang dikemukakan oleh Austin S.
Igleheart, antara lain : menimbulkan minat kerja, kepastian kerja, menimbulkan
minat untuk menerima seseorang sebagai anggota kelompok, kesempatan untuk
berkembang, keadaan kerja yang menyenangkan, pengaduan dari para karyawan,
gaji/upah, pengawasan yang tepat, mengenali pekerjaan orang lain, liburan, dan
jam-jam kerja.
b. Faktor Komunikasi
Di awali dengan Istilah komunikasi berasal dari kata Latin Communicare
atau Communis yang berarti sama atau menjadikan milik bersama. Kalau kita
berkomunikasi dengan orang lain, berarti kita berusaha agar apa yang
disampaikan kepada orang lain tersebut menjadi miliknya. Hewitt75 menjabarkan
tujuan penggunaan proses komunikasi secara spesifik sebagai berikut:
74
75
Ibid. Hlm. 169.
Komunikasi, dapat diakses http://www.scribd.com/ (online), 20 Desember 2010.
1. Mempelajari atau mengajarkan sesuatu;
2. Mempengaruhi perilaku seseorang;
3. Mengungkapkan perasaan;
4. Menjelaskan perilaku sendiri atau perilaku orang lain;
5. Berhubungan dengan orang lain;
6. Menyelesaian sebuah masalah;
7. Mencapai sebuah tujuan;
8. Menurunkan ketegangan dan menyelesaian konflik;
9. Menstimulasi minat pada diri sendiri atau orang lain.
Dance76 mengartikan komunikasi dalam kerangka Psikologi Behaviorisme
sebagai usaha menimbulkan respon melalui lambang-lambang verbal, ketika
lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli. Raymond S. Ross,77
mendefinisikan komunikasi sebagai, Proses transaksional yang meliputi
pemisahan dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehinga
membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau
respons yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber.
Pengertian Komunikasi,78 Komunikasi adalah proses pengiriman dan
penerimaan informasi atau pesan antara dua orang atau lebih dengan cara yang
efektif, sehingga pesan yang dimaksud dapat dimengerti. Dalam penyampaian
76
Jalaludin Rahmat, 1991, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, PT. Remaja Posdakarya, Bandung.
Hlm. 3.
77
Jalaludin Rahmat, Ibid.
78
Pengertian Komunikasi, dapat diakses http://id.shvoong.com/ (online), 20 Desember 2010.
atau penerimaan informasi ada dua pihak yang terlibat yaitu : Komunikator adalah
Orang atau kelompok orang yang menyampaikan informasi atau pesan. Di pihak
lain, Komunikan yaitu orang atau kelompok orang yang menerima pesan.
Dalam berkomunikasi keberhasilan komunikator atau komunikan sangat
ditentukan oleh beberapa faktor yaitu Cakap, Pengetahuan, Sikap, Sistem Sosial,
Kondisi lahiriah. Terdapat Analisis Definisi Komunikasi Menurut Harold
Lasswell,79 yaitu :
1. Who? (siapa/sumber). Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak
yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu
komunikasi, bisa seorang individu, kelompok, organisasi, maupun suatu negara
sebagai komunikator.
2. Says What? (pesan). Apa yang akan disampaikan/dikomunikasikan kepada
penerima (komunikan), dari sumber (komunikator) atau isi informasi. Merupakan
seperangkat
simbol
verbal/non
verbal
yang
mewakili
perasaan,
nilai,
gagasan/maksud sumber tadi. Ada 3 komponen pesan yaitu makna, simbol untuk
menyampaikan makna, dan bentuk/organisasi pesan.
3. In Which Channel? (saluran/media). Wahana/alat untuk menyampaikan
pesan dari komunikator (sumber) kepada komunikan (penerima) baik secara
langsung (tatap muka), maupun tidak langsung (melalui media cetak/elektronik
dll).
4. To Whom? (untuk siapa/penerima). Orang/kelompok/organisasi/suatu
Analisis Pengertian Komunikasi Dan 5 (Lima) Unsur Komunikasi Menurut Harold Lasswell, 11
November 2007, dapat diakses http://organisasi.org/ (online), 20 Desember 2010.
negara yang menerima pesan dari sumber. Disebut tujuan (destination)/pendengar
(listener)/khalayak (audience)/komunikan/penafsir/penyandi balik (decoder).
5. With What Effect? (dampak/efek). Dampak/efek yang terjadi pada
komunikan (penerima) setelah menerima pesan dari sumber, seperti perubahan
sikap, bertambahnya pengetahuan, dll.
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa Komunikasi adalah pesan yang
disampaikan kepada komunikan (penerima) dari komunikator (sumber) melalui
saluran-saluran tertentu baik secara langsung/tidak langsung dengan maksud
memberikan dampak/effect kepada komunikan sesuai dengan yang diingikan
komunikator.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan penelitian yuridis sosiologis dengan pendekatan analisis
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif memusatkan perhatian kepada gejala-gejala
yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia yang
dinamakan variabel. Pendekatan tersebut ditujukan untuk menunjukan
hubungan antar variabel yang dianalisis dengan bantuan statistik atau angkaangka.
Pengunaan metode ini didasarkan pada alasan bahwa dalam penelitian
ini hukum dikonsepsikan sebagai pola-pola perilaku sosial yang timbul dalam
proses bekerjanya hukum dalam masyarakat.
2. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode penelitian antara lain:
a. Survey lapangan merupakan prosedur penentuan responden melalui
pengisian kuesioner. Survey lapangan dimaksudkan untuk mengetahui
keadaan nyata objek penelitian.
b. Studi
pustaka
merupakan
cara
memperoleh
data-data
dengan
memfokuskan pada data yang ada pada pustaka-pustaka baik yang
terorganisir maupun yang tidak. Studi pustaka dimaksudkan untuk mencari
data-data sekunder yang dibutuhkan guna menjelaskan data-data primer.
c. Studi dokumentasi merupakan suatu cara yang dilakukan guna
memperoleh data yang bersifat dokumen-dokumen resmi baik dari
lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Studi dokumentasi
bertujuan menerangkan data primer dan juga data sekunder.
3. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara
Deskriptif, yaitu sesuatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran tentang tingkat kesadaran hukum Dokter dan Paramedis terhadap
SPMRS pada pelayanan gawat darurat, serta berpengaruhnya faktor motivasi,
komunikasi dan lamanya masa kerja terhadap tingkat kesadaran hukum.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap, Jalan
Jend. Gatot Subroto No. 28 Cilacap. Lokasi tersebut dipilih karena tempat
tersebut dianggap sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pertimbangan yang lain
yaitu efisiensi biaya dan waktu karena penulis merupakan penduduk dari
Kabupaten Cilacap. Hal ini terkait dengan objek penelitian yang akan dikaji
oleh peneliti.
5. Populasi Penelitian
Dalam penelitian ini populasi meliputi Dokter dan Paramedis pada
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap, dengan populasi
sasaran adalah Dokter dan Paramedis yang secara yuridis bertugas di Instalasi
Gawat Darurat RSUD Cilacap. Penelitian diadakan pada IGD karena terdapat
standar pelayanan gawat darurat dengan ketentuan indikator-indikator yang
telah ditentukan dengan perundang-undangan yang berlaku.
6. Metode Pengambilan Sampel
Sampel diambil dari populasi dengan metode Simple Random Sampling
yakni suatu metode pengambilan sampel yang memberikan kesempatan
kepada setiap sampel untuk menjadi responden (Acak Sederhana).
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti,
diperoleh data bahwa pada IGD RSUD Cilacap tercatat 83 tenaga kerja yang
terdiri dari Dokter, Perawat, Tenaga Radiologi, Tenaga Laboratorium, Tenaga
Kefarmasian, dan Tenaga Administratif. Dari jumlah tersebut, diambil sampel
secara acak (random) sebesar 50% dari yang bertugas di IGD tersebut.
Dapat diambil sampel sejumlah 42 orang yang berkedudukan sebagai
responden dalam penelitian ini. Pengambilan sampel sejumlah tersebut
diasumsikan cukup representatif, dengan didasarkan pada pertimbangan oleh
tingkat homogenitas responden yang tinggi. Dapat dilihat dari :
1. Semua responden secara registrasi tercatat sebagai tenaga medis di bidang
IGD RSUD Cilacap.
2. Semua responden memiliki budaya dan kebiasaan yang sama yakni budaya
dan kebiasaan Banyumasan.
3. Semua responden memiliki tugas dan kewajiban yang sudah terstandarisir
dalam Standar Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit.
4. Semua responden berdomisili di wilayah Kebupaten Cilacap.
7. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 macam data agar tercapai
kelengkapan dan keterpaduan data, yaitu :
a. Data Primer
Data primer bersumber pada individu Dokter, Paramedis dan Tenaga
Pendukung yang menjadi responden dalam penelitian ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder yang bersumber pada buku-buku, peraturan perundangundangan, jurnal ilmiah, majalah ilmiah, hasil-hasil penelitian ilmiah,
internet, hasil-hasil pertemuan ilmiah dan dokumen-dokumen resmi yang
berada pada RSUD Cilacap yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
8. Data yang diperlukan
1. Pengetahuan Dokter, para medis dan tenaga pendukung terhadap standar
pelayanan kesehatan.
2. Pemahaman Dokter, para medis dan tenaga pendukung tentang isi standar
pelayanan kesehatan.
3. Sikap dokter, para medis dan tenaga pendukung terhadap standar
pelayanan kesehatan.
4. Perilaku-perilaku (kegiatan-kegiatan) Dokter, paramedis dan tenaga
pendukung dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan kesehatan.
5. Motif penggunaan pelayanan kesehatan.
6. Harapan digunakan standar pelayanan kesehatan.
7. Penghargaan yang diharapkan dengan digunakannya standar pelayanan
kesehatan.
8. Arus komunikasi Dokter, paramedis dan tenaga pendukung baik secara
vertikal maupun horizontal.
9. Lamanya bekerja Dokter, paramedis dan tenaga pendukung di IGD RSUD
Cilacap.
10. Dokumen-dokumen resmi yang ada diRSUD Cilacap, antara lain rekam
medis, kuantitas (jumlah pasien dalam setiap bulan), dan tingkat
pelayanan.
9. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan metode antara lain :
1. Metode angket, dengan instrumen penelitian yang berupa kuesioner yang
bersifat tertutup.
2. Metode interview, dengan instrumen yang bersifat outline, dengan tape
recorder dan kamera, yang dipilih model interview bebas terpimpin.
3. Metode pustaka dengan instrumen penelitian berupa katalog, blanko
perpustakaan dan instrumen lain.
4. Metode dokumentasi dengan instrumen penelitian berupan form
penelitian.
10.
Metode Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, data yang telah terkumpul dilakukan pengolahan data
dengan metode sbagai berikut :
a. Coding data, yakni pengolahan data dengan cara memberikan kode pada
setiap angket jawaban responden berdasarkan urutan masuknya data
kepada peneliti.
b. Editing data, yakni pengolahan data dengan cara klasifikasi yaitu dengan
mengedit yakni menyempurnakan jawaban yang masih kurang dan
membuang jawaban yang dianggap tidak diperlukan dalam penelitian.
Dilakukan pada setiap angket sesuai dengan urutan pertanyaan yang
diajukan kepada setiap responden.
c. Tabulasi data, dengan cara mengadakan perhitungan baik secara individual
maupun komprehensif dengan membubuhkan Tally tabulasi pada setiap
angket. Tabulasi ini dilakukan baik secara distribusi frekuensi maupun
prosentase.
11.
Metode Penyajian Data
Data yang telah diolah dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk
tabel, terutama tabel distribusi frekuensi dan tabel silang. Di samping itu juga
disajikan dengan teks naratif, yaitu uraian-uraian yang disusun secara sistematis
yakni diawali dengan penyajian data kuantitatif tentang kesadaran hukum Dokter
dan Paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat dan diakhiri
dengan pengaruh faktor motivasi, komunikasi, dan lamanya masa kerja Dokter
dan Paramedis.
12.
Definisi Operasional Variabel
1. Kesadaran hukum yakni konsep terintegrasi dari pengetahuan, pemahaman,
sikap dan perilaku Dokter dan Paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan
Gawat Darurat yang dapat dinyatakan dalam kesadaran hukum tinggi, sedang
dan rendah.
2. Pengetahuan hukum yakni suatu kemampuan mengetahui terhadap maksud
dan tujuan standar pelayanan kesehatan yang dapat dinyatakan dalam
pengetahuan tinggi, sedang dan rendah.
3. Pengetahuan isi hukum yakni pengetahuan yang mendalam tentang isi standar
pelayanan kesehatan yang dapat dinyatakan dalam tinggi, sedang dan rendah.
4. Sikap hukum yakni ungkapan perasaan tentang baik dan buruk, benar dan
salah, sesuai dan tidak sesuai tentang standar pelayanan kesehatan yang dapat
dinyatakan dalam sikap positif, netral, dan negatif.
5. Pola perilaku hukum adalah wujud (kewajiban) Dokter dan Paramedis dalam
pelayanan kesehatan yang berlandaskan pada standar pelayanan kesehatan
yang dinyatakan pada perilaku sesuai, kurang sesuai dan tidak sesuai.
6. Motivasi adalah keinginan yang mendorong Dokter dan Paramedis untuk
melaksanakan kewajiban sesuai dengan standar pelayanan kesehatan dengan
dinyatakan tinggi, sedang dan rendah.
7. Komunikasi adalah arus tukar menukar informasi individu maupun kelompok,
baik bersifat vertikal dan horizontal antara Dokter dan Paramedis serta pasien
yang dapat dinyatakan dalam tinggi, sedang dan rendah.
8. Lamanya masa kerja adalah tenggang waktu kinerja Dokter dan Paramedis
sebagai pegawai Rumah Sakit dalam satuan tahun yang dapat dinyatakan
dalam lama, sedang, pendek.
13.
Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini data yang akan dianalisis dengan metode kuantitatif dan
kualitatif. Analisis kuantitatif ditujukan pada data yang bersifat kuantitatif dan
analisis kualitatif ditujukan pada data yang bersifat kualitatif. Analisis kuantitatif
akan digunakan dengan metode statistik sederhana, terutama menekankan pada
model distribusi frekuensi analisis dan tabel silang analisis.
Analisis kualitatif akan digunakan model komperatif analisis, yakni satu
analisis yang membandingkan data yang satu dengan yang lainnya, sedangkan
model interpretasi data yang digunakan adalah satu analogi dengan teknik analisis
secara Teoritical Interpretation yakni suatu analisis yang mendialogkan antara
data disatu pihak dengan teori hukum, doktrin hukum dan norma hukum di lain
pihak dengan dialog yang demikian (kesimpulan) sekecil mungkin dapat
dihindari.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis Tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat di
Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat
kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit (SPMRS) pada Pelayanan Gawat Darurat, maka penulis terlebih
dahulu mengemukakan teori kesadaran hukum dari Kuitchky sebagaimana dikutip
oleh Soerjono Soekanto80 sebagai berikut :
Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau
tentang hukum yang diharapkan ada dan konsepsi-konsepsi abstrak
di dalam diri manusia, tentang keserasian dan ketertiban dengan
ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Sebenarnya
yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan
suatu penelitian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkret
dalam masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Soerjono Soekanto dan Otje Salman,81 berkaitan dengan pendapat
tersebut, berikut ini dikemukakan pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa
kesadaran hukum merupakan suatu nilai atau pandangan mengenai kebaikan atau
keburukan hukum yang berlaku dan diharapkan. Pandangan-pandangan tersebut
dapat diidentifikasi melalui beberapa teori yaitu Pengetahuan tentang peraturan-
80
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta.
Hlm. 159.
81
Soerjono Soekanto dan Otje Salman, 1988, Disiplin Hukum Sosial, CV. Rajawali, Jakarta. Hlm.
217.
peraturan hukum (law awareness), Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan
hukum (law acquaintance), Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal
attitude), Pola-pola perilakuan hukum (legal behavior).82
Membahas tentang Standar Pelayanan Kesehatan, Standar pelayanan
kesehatan adalah panduan bagi dokter dan paramedis dalam melaksanakan
perencanaan,
pelaksanaan
dan
pengendalian
serta
pengawasan
dan
penanggungjawaban penyelenggaraan pelayanan kesehatan agar sesuai dengan
kebutuhan pasien. Dalam pembahasan hasil penelitian ini membahas Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit (SPMRS) pada pelayanan gawat darurat dalam
Lampiran Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/Menkes/SK/II/2008.
Pelayanan gawat darurat tersebut, terdapat 9 (sembilan) indikator yang harus
dipenuhi oleh tenaga medis dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, yaitu:
1. Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa, dengan standar 100%.
2. Jam buka pelayanan Gawat Darurat, dengan standar 24 jam.
3. Pemberi pelayanan Gawat Darurat yang bersertifikat dan masih berlaku
BLS/PPGD/GELS/ALS, dengan standar 100%.
4. Ketersediaan tim penanggulangan bencana, dengan standar 1 (satu) tim.
5. Waktu tanggap pelayanan Dokter di Gawat Darurat, dengan standar kurang
dari 5 menit terlayani, setelah pasien datang.
6. Kepuasan pelanggan, dengan standar lebih dari 70%.
7. Kematian pasien kurang dari 24 jam, dengan standar kurang dari dua per
seribu (pindah ke pelayanan rawat inap setelah delapan jam).
82
Soerjono Soekanto, 1982, Loc. Cit.
8. Khusus untuk Rumah Sakit Jiwa pasien dapat ditenangkan dalam waktu
kurang lebih 48 jam, dengan standar 100%.
9. Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka, dengan standar
100%.
Semua indikator di atas apabila diterapkan ke dalam tingkat kesadaran
hukum dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Kesehatan pada Instalasi
Gawat Darurat, maka dapat dirumuskan bahwa kesadaran hukum tersebut dapat
diperoleh dengan indikator-indikator yang ditetapkan yaitu :
1. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat,
2. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat,
3. Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat,
4. Pola perilaku dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan
Minimal pada Pelayanan Gawat Darurat.
Penelitian ini selanjutnya diajukan dengan pertanyaan sebanyak 65 kepada
42 responden yang diambil sebagai sampel, yang terbagi dalam 32 pertanyaan
dengan masing-masing indikatornya 8 pertanyaan, variabel Motivasi sebanyak 15
pertanyaan, variabel Komunikasi sebanyak 18 pertanyaan dan variabel Lamanya
masa kerja yang diwujudkan dalam satuan tahun.
Sejumlah pertanyaan tersebut diajukan kepada responden yang menjadi
sampel dalam penelitian ini, meliputi Dokter IGD, Perawat IGD, Tenaga
Laboratorium, Tenaga Radiologi, Tenaga Kefarmasian, dan Tenaga Administratif
IGD RSUD Cilacap.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan dan berdasarkan hasil skor
(penilaian) pada masing-masing responden, maka dapat data yang dituangkan
dalam tabel berikut :
Tabel 1 : Distribusi Nilai Masing-masing Indikator Kesadaran Hukum dan
Variabel menurut 42 responden.
Kesadaran Hukum
No.
Responden
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
X1
21
22
17
22
23
23
22
20
24
24
22
24
21
24
22
24
24
21
24
24
24
21
22
17
22
23
23
22
20
X2
20
22
21
23
23
24
21
22
24
23
17
24
21
23
22
22
24
21
24
24
22
20
22
21
23
23
24
21
22
X3
19
21
21
22
22
24
22
24
24
24
15
24
24
24
24
20
24
24
24
24
24
19
21
21
22
22
24
22
24
X4
24
23
19
24
24
22
20
22
24
22
17
24
24
22
21
22
24
24
24
24
24
24
23
19
24
24
22
20
22
X
84
88
68
91
92
93
85
88
96
93
71
96
90
93
89
88
96
90
96
96
94
84
88
68
91
92
93
85
88
Mtv
Kms
LMK
Nilai
39
36
37
34
34
33
38
39
45
39
36
43
45
43
42
44
45
44
44
40
44
39
36
37
34
34
33
38
39
Nilai
32
31
33
28
30
38
39
36
54
50
42
47
54
45
36
48
48
51
52
47
50
32
31
33
28
30
38
39
36
Tahun
20
7
13
17
5
40
21
4
10
8
20
19
19
7
13
3
18
3
12
18
15
20
7
13
17
5
40
21
4
Kesadaran Hukum
No.
X
Responden X1 X2 X3 X4
30
24 24 24 24
96
31
24 23 24 22
93
32
22 17 15 17
71
33
24 24 24 24
96
34
21 21 24 24
90
35
24 23 24 22
93
36
22 22 24 21
89
37
24 22 20 22
88
38
24 24 24 24
96
39
21 21 24 24
90
40
24 24 24 24
96
41
24 24 24 24
96
42
24 22 24 24
94
Sumber : Data Primer yang telah diolah.
Mtv
Nilai
45
39
36
43
45
43
42
44
45
44
44
40
44
Kms
Nilai
54
50
42
47
54
45
36
48
48
51
52
47
50
LMK
Tahun
10
8
20
19
19
7
13
3
18
3
12
18
15
Keterangan :
X1
= Pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat
Darurat,
X2
= Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi SPMRS pada Pelayanan
Gawat Darurat,
X3
= Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan
Gawat Darurat,
X4
= Pola perilaku dokter dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada
Pelayanan Gawat Darurat.
X= Kesadaran Hukum SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat.
Untuk mengetahui tingkatan indikator Kesadaran Hukum dan variabel,
maka diperhitungkan interval klas, dengan rumus :
i=
R
K
Keterangan : I : Besarnya interval klas yang diinginkan;
R : Range adalah nilai tertinggi dikurangi nilai terendah;
K : Klas yang dikehendaki, yakni 3 klas;
Ditinjau dari masing-masing unsur kesadaran hukum yang telah
disebutkan dalam tabel 1 di atas, maka dapat diperoleh besarnya interval klas
berdasarkan rumus di atas pada masing-masing indikator dan variabel. Apabila
jumlah klas ditetapkan sebanyak tiga tingkat yaitu : klasifikasi tinggi, klasifikasi
sedang dan klasifikasi rendah. Dengan demikian besarnya interval klasnya,
sebagai berikut :
1. Indikator Pengetahuan dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat :
a. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat rendah, intervalnya antara
nilai ≤ 19.
b. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sedang, intervalnya antara
nilai 20-22.
c. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi, intervalnya antara
nilai ≥ 23.
2. Indikator Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat :
a. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat rendah, intervalnya antara
nilai ≤ 19.
b. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sedang, intervalnya antara
nilai 20-22.
c. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi, intervalnya antara
nilai ≥ 23.
3. Indikator Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat :
a. Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat negatif, intervalnya
antara nilai 15-17.
b. Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat netral, intervalnya
antara nilai 18-20.
c. Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat positif, intervalnya
antara nilai 21-24.
4. Indikator Pola Perilaku dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat :
a. Pola perilaku hukum dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tidak
sesuai, intervalnya antara nilai ≤ 19.
b. Pola perilaku dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat kurang
sesuai, intervalnya antara nilai 20-22.
c. Pola perilaku dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sesuai,
intervalnya antara nilai ≥ 23.
5. Variabel Motivasi dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat :
a. Variabel motivasi dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat rendah,
intervalnya antara nilai 33-36.
b. Variabel motivasi dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sedang,
intervalnya antara nilai 37-40.
c. Variabel motivasi dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi,
intervalnya antara nilai 41-45.
6. Variabel Komunikasi dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat :
a. Variabel komunikasi dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat rendah, intervalnya
antara nilai 28-36.
b. Variabel komunikasi dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sedang, intervalnya
antara nilai 37-45.
c. Variabel komunikasi dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi, intervalnya
antara nilai 46-54.
7. Variabel Lamanya Masa Kerja dokter dan paramedis tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat :
a. Variabel Lamanya Masa Kerja dokter dan paramedis tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat rendah,
intervalnya antara nilai 3-15.
b. Variabel Lamanya Masa Kerja dokter dan paramedis tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sedang,
intervalnya antara nilai 16-28.
c. Variabel Lamanya Masa Kerja dokter dan paramedis tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi,
intervalnya antara nilai 29-40.
Ditinjau dari segi indikator Pengetahuan dokter dan paramedis tentang
SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat maka hasil penelitian ditampilkan
sebagaimana dituliskan dalam tabel di bawah ini :
Tabel 2 : Tingkat Pengetahuan Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
Klasifikasi
No.
Interval
Pengetahuan
Frekuensi (F)
Prosentase (%)
Hukum
1
≤ 19
Rendah
2
4,76
2
20-22
Sedang
16
38,10
3
≥ 23
Tinggi
24
57,14
42
100,00
Total
Sumber : Data Primer yang diolah.
Menurut tabel Tingkat Pengetahuan Dokter dan Paramedis tentang
SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat di atas dapat dijelaskan bahwa dari
sebanyak 42 responden, sebesar 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat
pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat
Darurat yang rendah, kemudian sebanyak 16 (38,10 %) responden menunjukan
tingkat pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat
Darurat yang sedang, dan sebesar 24 (57,14 %) responden menunjukan tingkat
pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat
Darurat yang tinggi.
Dilihat dari tabel di atas, sebagian besar responden menunjukan tingkat
pengetahuan tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat adalah tinggi.
Kenyataan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa tingginya pengetahuan
dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat akan
menentukan pada tingkat kesadaran hukum. Berkaitan dengan pengetahuan dokter
dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat, Otje Salman83
sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya mengatakan : Pengetahuan hukum
erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu
peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan.
Data di atas apabila diinterpretasikan berdasarkan pada pendapat Otje
Salman, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya pengetahuan dokter dan
paramedis tentang SPMRS, sebagaimana dituangkan dalam Surat Keputusan
Menteri Kesehatan No. 129/Menkes/SK/II/2008 yang berlaku sejak tanggal
ditetapkan 6 Februari 2008, maka dokter dan paramedis dianggap mengetahui
SPMRS tersebut, dan diterapkan dalam memberikan pelayanan yang kesehatan
yang baik.
Hal ini mengandung arti bahwa manakala suatu peraturan telah
diundangkan, maka dokter dan paramedis dianggap mengetahui tentang peraturan
tersebut, sebagai landasan penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada pelayanan
gawat darurat.
Kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan
gawat darurat selanjutnya dapat ditinjau dari indikator pengetahuannya tentang isi
SPMRS, hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa sebagian besar responden
sama-sama menunjukan tingkat pengetahuan yang tinggi dan sedang terhadap
SPMRS, hal ini dibuktikan dengan melihat data yang dituangkan dalam tabel
berikut:
83
Otje Salman, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung.
Hlm. 40.
Tabel 3 : Tingkat Pengetahuan Dokter dan Paramedis tentang Isi Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
Klasifikasi
No.
Interval
Pengetahuan Isi
Frekuensi (F)
Prosentase (%)
Hukum
1
≤ 19
Rendah
2
4,76
2
20-22
Sedang
20
47,62
3
≥ 23
Tinggi
20
47,62
42
100,00
Total
Sumber : Data Primer yang diolah.
Menurut tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa dari sebanyak 42
responden, sebesar 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat pengetahuan dokter
dan paramedis tentang isi SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang rendah,
kemudian sebanyak 20 (47,62 %) responden menunjukan tingkat pengetahuan
dokter dan paramedis tentang isi SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang
sedang, dan sebesar 20 (47,62 %) responden menunjukan tingkat pengetahuan
dokter dan paramedis tentang isi SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang
tinggi.
Dilihat dari tabel tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa besar responden
berpengetahuan tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi dan sedang
adalah setara jumlahnya. Dari data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar dokter dan paramedis mengetahui dan kurang mengetahui tentang
isi SPMRS, artinya bahwa isi SPMRS ternyata diketahui oleh setiap dokter dan
para medis. Hal ini disebabkan pengetahuan mereka tentang isi standar pelayanan
rumah sakit menunjukan pada klasifikasi yang tinggi dan sedang.
Data dalam tabel 3 ini dihubungkan dengan data pada tabel 2 maka dapat
diinterpretasikan bahwa pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada
pelayanan gawat darurat tidak semuanya didasarkan pada pengetahuan mereka
pada isi SPMRS tersebut. Apabila kenyataan pada tabel tersebut di atas
diinterpretasikan oleh pendapat Otje Salman84 : Pemahaman hukum dalam arti ini
adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari
suatu hukum tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak setiap dokter
dan paramedis memahami isi SPMRS meski pada dasarnya sudah ada peraturan
yang sebelumnya.
Berdasarkan pendapat Otje Salman tersebut di atas, yang juga termasuk
adegium berlakunya undang-undang tidak efektif untuk mengukur pengetahuan isi
peraturan perundang-undangan. Hal ini mengandung arti bahwa peraturan
perundang-undangan dalam hal ini Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.
129/Menkes/SK/II/2008 telah diundangkan, namun dalam kenyataannya tidak
setiap dokter dan paramedis mengetahui dan memahami isi tentang SPMRS pada
pelayanan gawat darurat.
Tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada
pelayanan gawat darurat dapat dilihat dari indikator sikap hukumnya, hasil
penelitian menggambarkan dalam tabel dibawah ini :
84
Ibid. Hlm. 41.
Tabel 4 : Tingkat Sikap Dokter dan Paramedis dalam Melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit Pada Pelayanan Gawat Darurat
No.
Interval
1
15-17
2
3
Klasifikasi
Frekuensi (F)
Prosentase (%)
Negatif
2
4,76
18-20
Netral
4
9,53
21-24
Positif
36
85,71
42
100,00
Sikap Hukum
Total
Sumber : Data Primer yang diolah.
Menurut tabel 4 di atas dapat dijelaskan bahwa dari sebanyak 42
responden, sebesar 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat sikap dokter dan
paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan gawat darurat yang
Negatif, kemudian sebanyak 4 (9,53 %) responden menunjukan tingkat sikap
dokter dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan gawat darurat
yang Netral, dan sebesar 36 (85,71 %) responden menunjukan tingkat sikap dokter
dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan gawat darurat yang
Positif.
Dilihat dari tabel tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa sebagian besar
responden mempunyai sikap yang Positif dalam melaksanakan SPMRS pada
Pelayanan Gawat Darurat. Hal ini mengandung arti bahwa sebagian besar dokter
dan paramedis yang bertugas pada IGD RSUD Cilacap pada dasarnya menyetujui
terhadap SPMRS sebagai parameter minimal dalam pemberian pelayanan
kesehatan kepada pasien. Oleh karena itu pelayanan kesehatan pada setiap rumah
sakit haruslah mengacu pada SPMRS tersebut.
Sikap yang positif sebagaimana digambarkan di atas adalah wajar, oleh
karena dokter dan paramedis telah menempuh pendidikan yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Apabila data dalam tabel 4 ini dikaitkan dengan data dalam tabel 2 dan 3 maka
dapat diinterpretasikan bahwa tidak semua sikap yang positif tersebut didasarkan
pada pengetahuan dan pemahaman tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat.
Hal ini mengandung makna sebagian dokter dan paramedis menunjukkan sikap
yang apriori atau bersikap ikut-ikutan menyetujui karena orang lain yang positif.
Berkaitan dengan sikap, Otje Salman85 mengatakan : Sikap hukum adalah
suatu kecenderungan masyarakat menerima hukum karena dianggap bermanfaat
atau menguntungkan jika ditaati. Apabila data tersebut dalam tabel 4
diinterpretasikan berdasarkan pendapat Otje Salman ini maka dapat disimpulkan
bahwa positifnya sikap dokter dan paramedis cenderung disebabkan karena dokter
dan paramedis baik langsung maupun tidak langsung menerima SPMRS sebagai
parameter pelayanan kesehatan yang baik, manakala tiap-tiap standar pelayanan
kesehatan diterapkan pada yang seharusnya, yang menggambarkan suatu ketaatan
dokter dan para medis dalam menjalakan profesinya.
Penerapan SPMRS pada pelayanan gawat darurat, diharapkan dapat
diwujudkan pelayanan kesehatan yang baik. Penilaian pelayanan kesehatan yang
baik terutama penilaian dari pasien, karena dapat memuaskan pasien adalah
penghargaan tersendiri pada pelayanan kesehatan di RSUD Cilacap. Masih dalam
85
Ibid. Hlm. 42.
hubungan dengan hal tersebut, Miftah Thoha86 menyebutkan : suatu hal yang
menentukan sifat, hakikat, baik perbuatan sekarang maupun perbuatan yang akan
datang.
Kesadaran hukum dokter dan paramedis tenatang SPMRS dilihat dari
indikator yang terakhir yaitu pola perilaku dalam menjalankannya, sebagaimana
dituliskan dalam tabel di bawah ini :
Tabel 5 : Tingkat Pola Perilaku Dokter dan Paramedis dalam menjalankan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
Klasifikasi
No.
Interval
Pola Perilaku
Frekuensi (F)
Prosentase (%)
Hukum
1
≤ 19
Tidak sesuai
4
9,53
2
20-22
Kurang sesuai
14
33,33
3
≥ 23
Sesuai
24
57,14
42
100,00
Total
Sumber : Data Primer yang diolah.
Menurut tabel Tingkat Pola Perilaku Dokter dan Paramedis dalam
menjalankan SPMRS pada pelayanan gawat darurat di atas dapat dijelaskan
bahwa dari sebanyak 42 responden, sebesar 4 (9,53 %) responden menunjukan
tingkat pola perilaku dalam menjalankan SPMRS pada pelayanan gawat darurat
yang tidak sesuai, kemudian sebanyak 14 (33,33 %) responden menunjukan
tingkat pola perilaku dalam menjalankan SPMRS pada pelayanan gawat darurat
yang kurang sesuai, dan sebesar 24 (57,14 %) responden menunjukan tingkat pola
perilaku dalam menjalankan SPMRS pada pelayanan gawat darurat yang sesuai.
86
Miftah Thoha, 1996, Perilaku Organisasi , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hlm. 148.
Dilihat dari tabel tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa sebagian besar
responden berpola perilaku sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Dari data tersebut diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa sebagian besar dokter dan paramedis dalam memberikan
pelayanan kesehatan menunjukkan pola perilaku yang sesuai dengan SPMRS pada
pelayanan gawat darurat. Hal ini menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan
gawat darurat RSUD Cilacap pada dasarnya telah mendasarkan pada SPMRS,
dimana standar ini merupakan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan.
Pola perilaku dokter dan paramedis yang sesuai dengan SPMRS tersebut
mencerminkan kegiatan-kegiatan medis yang diberikan kepada pasien baik
mengenai penyelamatan jiwa pasien, jam buka, kompetensi sumber daya manusia,
ketersediaan tim, waktu tanggap, kepuasan pelanggan, kematian pasien,
penenangan pasien pada rumah sakit jiwa, dan tidak adanya pembayaran uang
muka.
Data dalam tabel 5 ini dihubungkan dengan data dalam tabel 4, 3, dan 2
maka dapat diinterpretasikan bahwa pola perilaku dokter dan paramedis yang
sesuai itu didasarkan pada sikap yang positif tentang SPMRS, meskipun pola
perilaku tersebut tidak didasarkan pada pemahaman tentang isi SPMRS dan pada
pengetahuannya tersebut. Dengan demikian terdapat sebagian dokter dan
paramedis yang meskipun pola perilakunya sesuai dengan SPMRS pada
penyelenggaraan pelayanan kesehatan namun tidak didasarkan pada pengetahuan
yang baik mengenai isi dan pengetahuan secara umum.
Hal ini diasumsikan bahwa dokter dan paramedis yang menunjukkan pola
perilaku yang sesuai tersebut menggambarkan kepatuhannya terhadap SPMRS
dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien, khusunya pada pelayanan
gawat darurat.
Menurut pendapat Miftah Thoha,87 pengertian perilaku adalah perbuatan
atau tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya diamati, digambarkan dan
dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya. Hal ini mendasari
bahwa perilaku sesorang dinilai dari perbuatan dan perkataannya. Berkaitan
dengan kesadaran hukum dokter dan pasien tentang SPMRS dinilai dari
perbuatannya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.
Dapat dijelaskan bahwa untuk mendapatkan data tentang tingginya tingkat
kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat
Darurat maka peneliti mengolah data sesuai dengan prosedur yang telah ada yaitu
dengan mengolah data tabel 1 di dalam kolom 2, 3, 4, dan 5 yang dijumlahkan
sehingga diperoleh skor nilai yang dapat dinyatakan dalam klasifikasi kesadaran
hukum rendah, sedang, dan tinggi.
Berdasarkan data dari tabel-tabel tersebut di atas dapat diperoleh data
tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan
Gawat Darurat sebagaimana yang tertulis dalam tabel di bawah ini :
87
Ibid. Hlm. 29.
Tabel 6 : Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
Klasifikasi
No.
Interval
Kesadaran
Frekuensi (F)
Prosentase (%)
Hukum
1
68-77
Rendah
4
9,52
2
78-86
Sedang
4
9,52
3
87-96
Tinggi
34
80,96
42
100
Total
Sumber : Data Primer yang diolah.
Tabel 6 tersebut di atas memberi penjelasan bahwa sebanyak 42
responden, yaitu sebanyak 4 (9,52 %) responden menyebutkan tingkat kesadaran
hukum yang rendah tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 4
(9,52 %) responden menyebutkan tingkat kesadaran hukum yang sedang tentang
SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 34 (80,96 %) responden
menyebutkan tingkat kesadaran hukum yang tinggi tentang SPMRS pada
Pelayanan Gawat Darurat.
Data tersebut dapat diolah dan ditarik kesimpulan sementara bahwa tingkat
kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang tentang SPMRS pada Pelayanan
Gawat Darurat menunjukan tingkat kesadaran hukum yang tinggi. Jika data tabel
1, kolom 5 (Kesadaran Hukum) dihubungkan dengan data kolom 2 (Pengetahuan
Hukum), maka dapat diinterpretasikan bahwa tingginya kesadaran hukum pada
hakekatnya didukung oleh pengetahuan hukum, pengetahuan isi hukum, sikap
hukum, dan pola perilaku hukum yang tinggi pula.
Antar indikatornya dalam kesadaran hukum juga mempunyai hubungan
satu dengan yang lain, pengetahuan yang tinggi menjadi dasar pengetahuan isi
hukum yang tinggi, sikap hukum yang positif dan pola perilaku yang sesuai, dan
seterusnya.
Fakta tersebut didialogkan dengan teori Kesadarann Hukum yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto pada bahasan di awal, maka dapat
diinterpretasikan bahwa teori tersebut masih relevan untuk diterapkan dalam
menentukan tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada
Pelayanan Gawat Darurat. Hal ini didasarkan pada kesadaran dalam diri dokter
dan paramedis tentang SPMRS untuk memenuhi penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang baik bagi pasien.
B.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesadaran Hukum Dokter
dan Para Medis Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
pada Pelayanan Gawat Darurat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam satu lokasi sebagimana
diuraikan di atas, bahwa tingginya tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis
tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat ternyata dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain faktor Motivasi, faktor Komunikasi, dan faktor
lamanya masa kerja.
Tabel 7 : Tingkat Motivasi dokter dan paramedis dalam Melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
Klasisifasi
No.
Interval
Frekuensi (F)
Prosentase (%)
Motivasi
1
33-37
Rendah
12
28,58
2
38-41
Sedang
10
23,80
3
42-45
Tinggi
20
47,62
42
100
Total
Sumber : Data Primer yang diolah.
Data tabel Tingkat Motivasi tersebut di atas dapat dijelaskan dari sebanyak
12 (28,58 %) responden menyebutkan tingkat motivasi yang rendah dalam
melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 10 (23,80 %)
responden menyebutkan tingkat motivasi dalam melaksanakan SPMRS pada
Pelayanan Gawat Darurat yang sedang, sebanyak 20 (47,62 %) responden
menyebutkan tingkat motivasi dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan
Gawat Darurat yang tinggi.
Dapat disimpulkan sementara bahwa tingkat motivasi responden sebagian
besar memiliki tingkat motivasi dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan
Gawat Darurat yang tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa pelaksanaan SPMRS
didorong oleh keinginan atau motivasi yang didasarkan alasan, SPMRS
merupakan acuan bagi Rumah Sakit. Di sisi lain terdapat harapan tujuan
Pelayanan Kesehatan dapat tercapai sehingga pasien mempunyai kepercayaan atas
pelayanan kesehatan tersebut pada IGD RSUD Cilacap.
Berkaitan dengan konsep motivasi yang dikembangkan oleh William G.
Scott,88 motivasi sebagai rangkaian pemberian dorongan kepada seseorang untuk
melakukan tindakan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Jika orang merasakan
terdapat kemungkinan yang tinggi mutu kinerja yang baik akan mendapatkan
penghargaan/penghargaan yang diterima didasarkan atas kinerja yang baik,
motivasi orang untuk berusaha mencapai sasaran yang ditetapkan akan tinggi,
sebaliknya jika terdapat kemungkinan yang rendah suatu kinerja memperoleh
penghargaan, motivasi orang untuk mencapai sasaran yang ditetapkan akan
rendah pula.
Data dalam tabel 7 di atas apabila diinterpretasikan berdasarkan pendapat
Williams G. Scott, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan SPMRS pada
pelayanan gawat darurat pada dasarnya didasarkan oleh keinginan Rumah Sakit,
dalam hal ini dokter dan paramedis untuk melakukan pelayanan kesehatan yang
sesuai dengan Standar Profesional, Standar Operasional Prosedure, maupun
Standar Kebutuhan yang diinginkan oleh pasien dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan yang baik.
Tingkat motivasi yang tinggi untuk melaksanakan SPMRS yang dimiliki
oleh dokter dan paramedis sangat menentukan terpenuhinya SPMRS tersebut.
Pelaksanaan dari SPMRS tidaklah cukup didorong oleh faktor motivasi saja,
melainkan diperlukannya pengetahuan dan pemahaman tentang SPMRS serta
sikap yang positif dan pola perilaku yang sesuai dalam melaksanakan SPMRS.
88
Fred N. Kerlinger, dan Elazar J. Pedhazur, 1987, Korelasi dan Analisis Regresi Ganda, Nur
Cahaya, Yogyakarta. Hlm. 161.
Berdasarkan pada kenyataan di atas, dapat diasumsikan bahwa ada
kecenderungan aspek motivasi berpengaruh terhadap kesadaran hukum dokter dan
paramedis dalam pelaksanaan SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat, hal ini
dapat dibuktikan
dengan menghubungkan antara faktor motivasi dengan
kesadaran hukum pdokter dan paramedis dalam pelaksanaan SPMRS,
sebagaimana dalam tabel di bawah ini :
Tabel 8 : Pengaruh Faktor Motivasi Terhadap Tingkat Kesadaran Hukum Dokter
dan Paramedis dalam Melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
Kesadaran
Hukum
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
F
%
F
%
F
%
F
%
Rendah
3
7,14
2
4,76
7
16,67
12
28,58
Sedang
1
2,38
2
4,76
7
16,66
10
23,80
Tinggi
-
-
-
-
20
47,62
20
47,62
Total
4
9,52
4
9,52
34
80,95
42
100
Motivasi
Sumber : Data Primer yang diolah.
Tabel Pengaruh Faktor Motivasi Terhadap Tingkat Kesadaran Hukum
Dokter dan Paramedis di atas mengungkapkan bahwa secara umum ada
kecenderungan pengaruh motivasi terhadap kesadaran hukum dokter dan
paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan gawat darurat. Hal ini
dapat digambarkan secara parsial pada masing-masing tingkat dan motivasi dan
kesadaran hukum.
Pada tingkat motivasi rendah yang dimiliki oleh dokter dan paramedis,
terdapat sebanyak 3 (7,14 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum
dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang rendah,
sebanyak 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam
melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak
7 (16,66 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam
melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang tinggi.
Tabel 8 di atas menjelaskan bahwa dari 42 responden yang memiliki
tingkat motivasi sedang dapat terdapat sebanyak 1 (2,38 %) responden
menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada
Pelayanan Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 4 (9,52 %) responden
menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada
Pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 7 (16,66 %) responden
menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada
Pelayanan Gawat Darurat yang tinggi.
Data dalam tabel 8 dapat diungkapkan bahwa dari 42 responden memiliki
tingkat motivasi tinggi terdapat sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat
kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat
yang rendah, sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum
dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan
sebanyak 20 (47,62 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam
melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang tinggi.
Data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan
pengaruh secara positif faktor motivasi terhadap tingkat kesadaran hukum dokter
dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat.
Artinya semakin tinggi tingkat motivasi maka semakin tinggi pula tingkat
kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat
Darurat.
Berdasarkan pada kenyataan hasil penelitian dapat diinterpretasikan bahwa
tingginya tingkat kesadaran hukum responden tentang SPMRS pada pelayanan
Gawat Darurat didasarkan atas pertimbangan bahwa SPMRS merupakan acuan
pada pelaksaan pelayanan gawat darurat, yang diharapkan dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang baik serta reputasi Rumah Sakit sebagai organ
penyelenggara pelayanan kesehatan.
Tingkat motivasi dokter dan paramedis yang tinggi didorong oleh tingkat
pengetahuan dan pemahaman yang tinggi tentang SPMRS, serta sikap hukum
yang positif dan pola perilaku yang sesuai dalam melaksanakan SPMRS pada
pelayanan Gawat Darurat. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa ada
pengaruh yang positif tingkat motivasi terhadap kesadaran hukum dokter dan
paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat.
Faktor motivasi sebagaimana telah dipaparkan di atas, faktor komunikasi
tidak kalah penting mempunyai kontribusi dalam pelayanan kesehatan yang dapat
mengacu tingginya pelaksanaan SPMRS. Hasil penelitian yang telah dilakukan
menunjukan bahwa secara umum tingkat komunikasi dokter dan paramedis yang
bertugas pada IGD RSUD Cilacap sebagaimana dituliskan dalam tabel di bawah
ini :
Tabel 9 : Tingkat Komunikasi dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat
Klasifikasi
No.
Interval
Frekuensi (F)
Prosentase (%)
Komunikasi
1
28-36
Rendah
14
33,33
2
37-45
Sedang
8
19,05
3
46-54
Tinggi
20
47,62
42
100
Total
Sumber : Data Primer yang diolah.
Tabel 9 tersebut di atas dapat dijelaskan dari sebanyak 14 (33,33 %)
responden menyebutkan tingkat komunikasi yang rendah tentang SPMRS pada
pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 8 (19,05 %) responden menyebutkan tingkat
komunikasi tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan
sebanyak 20 (47,62 %) responden menyebutkan tingkat komunikasi tentang
SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi.
Ditinjau dari pengertian Komunikasi,89 Komunikasi adalah proses
pengiriman dan penerimaan informasi atau pesan antara dua orang atau lebih
dengan cara yang efektif, sehingga pesan yang dimaksud dapat dimengerti.
Komunikasi dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat
yaitu antara para pihak dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Pada IGD sebuah Rumah Sakit terdapat dokter, paramedis, tenaga
pendukung dan pihak lain yang berhubungan dalam pelayanan kesehatan, dengan
harapan terdapat komunikasi antara para pihak dalam memberikan informasi-
89
Pengertian Komunikasi, dapat diakses http://id.shvoong.com/ (online), 20 Desember 2010.
informasi yang diperlukan, sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
informasi untuk menunjang pelayanan kesehatan yang baik.
Dapat disimpulkan sementara bahwa tingkat komunikasi responden,
sebagian besar memiliki tingkat komunikasi yang tinggi tentang SPMRS pada
pelayanan Gawat Darurat. Bilamana tingkat kesadaran hukum dokter dan
paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat dilihat dari pengaruh
faktor komunikasi, maka akan diperoleh hasil penelitian sebagaimana tercantum
dalam tabel berikut ini :
Tabel 10 : Pengaruh Faktor Komunikasi Terhadap Tingkat Kesadaran Hukum
Dokter dan Paramedis Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
Kesadaran
Hukum
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
F
%
F
%
F
%
F
%
Rendah
4
9,52
4
9,52
6
14,28
14
33,33
Sedang
-
-
-
-
8
19,05
8
19,05
Tinggi
-
-
-
-
20
47,62
20
47,62
Total
4
9,52
4
9,52
34
80,95
42
100
Komunikasi
Sumber : Data Primer yang diolah.
Berdasarkan data tabel di atas, jika dilihat dari tingkat komunikasi rendah
yang dimiliki oleh dokter dan paramedis, terdapat sebanyak 4 (9,52 %) responden
menunjukan tingkat kesadaran hukum yang rendah tentang SPMRS pada
pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 4 (9,52 %) responden menunjukan tingkat
kesadaran hukum yang sedang tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat,
dan sebanyak 6 (14,33 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum yang
tinggi tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat.
Data dalam tabel 10 menjelaskan bahwa dari 42 responden apabila dari
tingkat komunikasi sedang dapat diperoleh data bahwa sebanyak 0 (0 %)
responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan
Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat
kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang,
dan sebanyak 8 (19,05 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum
tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi.
Di dalam tingkat komunikasi tinggi terdapat sebanyak 0 (0 %) responden
menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat
Darurat yang rendah, sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran
hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan
sebanyak 20 (47,62 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang
SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi.
Dapat disimpulkan dari data di atas bahwa faktor komunikasi cenderung
berpengaruh secara positif terhadap tingkat kesadaran hukum dokter dan
paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat. Artinya semakin
tinggi tingkat komuniksi maka semakin tinggi pula tingkat kesadaran hukum
dokter dan paramedis.
Komunikasi yang berlangsung antara dokter dan paramedis tentang
SPMRS sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, ditujukan
agar tersebarnya informasi-informasi penting tentang pelayanan kesehatan dapat
diketahui oleh semua pihak, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara satu
dengan yang lain. Informasi-informasi tersebut menjadikan terpenuhinya
ketentuan-ketentuan dalam pengetahuan, pemahaman dan sikap serta pola
perilaku dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Komunikasi antara atasan dengan bawahan, komunikasi antara teman
kerja, komunikasi dengan pihak lain yang bersangkutan, maupun komunikasi
dengan pasien, dapat menimbulkan suatu situasi yang baik dalam hubungan pada
pelayanan gawat darurat, yang dapat mengakibatkan pula kesadaran hukum antara
dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat.
Menurut penelitian yang telah dilakukan, jika melihat dari faktor lamanya
masa kerja, maka dapat diperoleh data hasil penelitian sebagaimana dapat
dijelaskan dalam tabel berikut di bawah ini :
Tabel 11 : Tingkat Lamanya Masa Kerja dokter dan paramedis tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat
Klasifikasi
No.
Interval
Lamanya Masa
Frekuensi (F)
Prosentase (%)
Kerja
1
3-14
Pendek
24
57,14
2
15-26
Sedang
16
38,10
3
27-40
Lama
2
4,76
42
100
Total
Sumber : Data Primer yang diolah.
Penjelasan dari tabel 11 di atas, sebanyak 24 (57,14 %) responden
menyebutkan tingkat lamanya masa kerja yang pendek tentang SPMRS pada
pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 16 (38,10 %) responden menyebutkan tingkat
lamanya masa kerja yang sedang, dan sebanyak 2 (4,76 %) responden
menyebutkan tingkat lamanya masa kerja yang lama. Dengan demikian dapat
disimpulkan sementara bahwa tingkat lamanya masa kerja responden sebagian
besar memiliki tingkat lamanya masa kerja yang pendek.
Bilamana dilihat dari faktor lamanya masa kerja yang diprediksikan
cenderung tidak mempengaruhi terhadap tingkat kesadaran hukum dokter dan
paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat, maka akan diperoleh
hasil penelitian sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini :
Tabel 12 : Pengaruh Faktor Lamanya Masa kerja Terhadap Tingkat Kesadaran
Hukum Dokter dan Paramedis Tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
Kesadaran
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Hukum
F
%
F
%
F
%
F
%
Pendek
2
4,76
2
4,76
20
47,62
24
57,14
Sedang
2
4,76
2
4,76
12
28,57
16
38,10
Lama
-
-
-
-
2
4,76
2
4,76
Total
4
9,52
4
9,52
34
80,95
42
100
Lamanya Masa Kerja
Sumber : Data Primer yang diolah.
Dilihat dari tingkat lamanya masa kerja pendek yang dimiliki oleh dokter
dan paramedis, terdapat sebanyak 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat
kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang rendah,
sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang
SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 20 (47,62 %)
responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan
Gawat Darurat yang tinggi.
Tabel 12 menjelaskan bahwa dari 42 responden apabila dari tingkat
lamanya masa kerja sedang dapat diperoleh data bahwa sebanyak 2 (4,76 %)
responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan
Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 4 (9,52 %) responden menunjukan tingkat
kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang,
dan sebanyak 12 (28,57 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum
tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi.
Penjelasan pada data tabel 12 di atas menjelaskan bahwa dari 42
responden, apabila tingkat lamanya masa kerja lama terdapat sebanyak 0 (0 %)
responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan
Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat
kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang,
dan sebanyak 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang
SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi.
Berdasarkan data tersebut di atas dapat disimpulkan sementara bahwa
faktor lamanya masa kerja cenderung berpengaruh secara negatif terhadap tingkat
kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat
Darurat. Artinya semakin lama tingkat lamanya masa kerja maka semakin rendah
tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat adalah tinggi, hal ini
dapat dibuktikan langsung dengan indikator :
a. Tingginya tingkat Pengetahuan hukum Dokter dan Paramedis tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
b. Tingginya tingkat Pengetahuan isi hukum Dokter dan Paramedis tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
c. Positifnya Sikap Dokter dan Paramedis dalam Melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Instalasi Gawat Darurat.
d. Sesuainya Pola Perilaku Dokter dan Paramedis dalam Melaksanakan
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan
Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan
Gawat Darurat yaitu faktor motivasi dan komunikasi yang cenderung
berpengaruh secara positif dalam Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit
Umum Daerah Cilacap, artinya semakin tinggi tingkat motivasi dan
komunikasi dokter dan paramedis maka semakin tinggi pula tingkat Kesadaran
Hukumnya. Namun, tidak demikian dengan faktor lamanya masa kerja yang
cenderung berpengaruh secara negatif tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit, artinya semakin lama tingkat motivasi Dokter dan Paramedis
maka semakin rendah tingkat Kesadaran Hukumnya.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkat Kesadaran
Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat cenderung berpengaruh positif secara
umum apabila dihubungkan dengan faktor motivasi, komunikasi dan negatif
jika dihubungkan dengan faktor lamanya masa kerja.
Tingginya tingkat positif sikap Dokter dan Paramedis yang menjadikan
tinggi pula kesadaran hukumnya, bila dilihat dari hubungan antar keempat
indikator, sikap Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat
tidak didukung oleh
Pengetahuan dan Pengetahuan Paramedis tentang isi Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.
Penulis mengajukan saran atau masukan agar dapat dijadikan sebagai
pertimbangan di dalam Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat, agar
Dokter, Paramedis dan Tenaga Pendukung pada IGD RSUD Cilacap tidak
bersikap apriori atau ikut-ikutan dalam melaksanakan kewajibannya untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Daftar Pustaka
a.
Buku
Adisasmito, Wiku, 2008, Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis
Related Group (DRG), Kelayakan Penerapannya di Indonesia, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta.
Ahmadi, Abu, 2007, Psikologi Sosial, Rineka Cipta, Jakarta.
Amin, Fred, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Anwar, Azrul, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa
Aksara, Jakarta.
Dewi, Alexandra Indriyanti, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book
Publisher, Yogyakarta.
Handayani, Safitri, 2005, Sengketa Medik, alternatif Penyelesaian Perselisihan
Antara Dokter dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta.
Isfandyarie, Anny, 2005, Malpraktek dan ResikoMedik dalam Kajian Hukum
Pidana, Prestasi Pustaka Pulisher, Jakarta.
-----------, 2006, Tanggung Jawab dan Sanksi Bagi Dokter Buku I dan II, Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta.
Ismani, Nila, 2001, Dasar-dasar Etika Keperawatan, Widya Medika, Jakarta.
Iswanto, H., 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto.
Kartono, Kartini, 1985, Psikologi Sosial Untuk Manajemen Perusahaan dan
Industri, CV. Rajawali, Jakarta.
Koeswadji, Hermien Hadiati, 1999, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan
Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya
Bhakti, Bandung.
Kerlinger, Fred N., dan Elazar J. Pedhazur, 1987, Korelasi dan Analisis Regresi
Ganda, Nur Cahaya, Yogyakarta.
Komalawati, Veronika, 1989, Hukum dan Etika Dalam Parktik Kedokteran, PT
Pustaka Sina Harapan, Jakarta.
------------, 2002, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeuti Studi
Tinjauan Yuridis, Cetakan Kedua, Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Kusumaatmadja, Mochtar, 2002, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,
Alumni, Bandung.
Machmud, Syahrul, 2008, Penegakkan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi
Dokter yang Diduga Melakukan Medical Malpraktik, Mandar Maju,
Bandung.
Mertokusumo, Soedikno, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Mulyadi, 1993, Akuntansi Manajemen, Bagian Penerbitan STIE YKPN,
Yogyakarta.
Purnomo, Bambang, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Rahmat, Jalaludin, 1991, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, PT. Remaja
Posdakarya, Bandung.
Salman, Otje, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,
Alumni, Bandung.
Soekanto, Soerjono, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV.
Rajawali, Jakarta.
------------, 1989, Masalah Pelayanan Dokter kepada Pasien, Ind-Hill-Co, Jakarta.
------------, 1990, Segi-segi Hukum Hak dan kewajiban Pasien Dalam Kerangka
Hukum Kesehatan, CV. Mandar Maju, Bandung,
Soekanto, Soerjono dan Salman, Otje, 1988, Disiplin Hukum Sosial, CV Rajawali,
Jakarta.
Soewono, Hendrojono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik
Kedokteran dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya.
Syaifudin, Abdul Bari, 2002, Buku acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta
Thoha, Miftah, 1996, Perilaku Organisasi , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Wiradharma, Danny, 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa
Aksara, Jakarta
b.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan perubahan dari UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang kesehatan.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 436/MENKES/SK/VI/1993 tentang
Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/MENKES/SK/II/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
c.
Sumber Lain
Afsara,
Informed
Consent,
29
Januari
2009,
http://afsarara.blogspot.com/ (online), 10 Juli 2010.
dapat
diakses
Direksi RSUP Sanglah Denpasar, tanpa tahun, Informed Consent, dapat diakses
http://www.sanglahhospitalbali.com/ (online), 4 juli 2010.
Dwiatmodjo, Haryanto, 2010, Handout Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Indradi, Rano, 25 January 2007, Informed Consent, Hak-Hak Pasien dalam
Menyatakan Persetujuan Rencana Tindakan Medis,
dapat diakses
http://ranocenter.blogspot.com/ (online), 7 Juli 2010.
Kasalang, Ronny Junaidy, 1 April 2010, Hukum Kesehatan, Dalam Perspektif
Pelayanan
Kesehatan Masyarakat Modern,
dapat
diakses
http://www.legalitas.org/ (online), 7 Juli 2010.
Sudrajat, Tedi, Handout Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto.
Wandy’s Weblog, 1 November 2007, Mengenal “Informed Consent”, dapat
diakses http://irwandykapalawi.wordpress.com/ (online), 7 Juli 2010.
wongbanyumas, tgl 23 november 2009, Negara Hukum Indonesia, dapat diakses
http://fatahilla.blogspot.com/ (online), 5 juli 2010.
Yuni Hastuti, M. I. Wiwik, 2010, Penyelesaian Sengketa Medik (Studi tentang
Aspirasi dan Motivasi Pemilihan Model Penyelesaian Sengketa Medik
Dokter dan Pasien dengan Pendekatan Non-Litigasi dalam Pelayanan
Kesehatan di RSUD Banyumas), Tesis, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto.
Download