KESADARAN HUKUM DOKTER DAN PARAMEDIS TENTANG STANDAR PELAYANAN KESEHATAN PADA INSTALASI GAWAT DARURAT (Studi di RSUD Cilacap) SKRIPSI Oleh: GITA WISDHA KUMALA E1A007349 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011 KESADARAN HUKUM DOKTER DAN PARAMEDIS TENTANG STANDAR PELAYANAN KESEHATAN PADA INSTALASI GAWAT DARURAT (Studi di RSUD Cilacap). Oleh : GITA WISDHA KUMALA E1A007349 Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan Pada Tanggal Februari 2011 Pembimbing I Pembimbing II Penguji SARYONO HANADI, S.H., M.H. NIP. 19570329 196801 1 001 TEDI SUDRAJAT, S.H., M.H. NIP. 19800403 200604 1 001 HARYANTO DWI A., S.H., M.Hum. NIP. 19570225 198702 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hj. ROCHANI URIP SALAMI, S.H., M.S. NIP. 19520603 198003 2 001 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya: Nama : GITA WISDHA KUMALA NIM : E1A007349 Judul skripsi : KESADARAN HUKUM DOKTER DAN PARAMEDIS TENTANG STANDAR PELAYANAN KESEHATAN PADA INSTALASI GAWAT DARURAT (Studi di RSUD Cilacap). Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain. Bila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi apapun dari fakultas. Purwokerto, Februari 2011 GITA WISDHA KUMALA E1A007349 KATA PERSEMBAHAN Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T. atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Kesehatan Pada Instalasi Gawat Darurat (Studi di RSUD Cilacap)” sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Ketika dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima saran, masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ibu dan semua keluarga yang telah memberi support dalam bentuk materiil maupun immateriil. 2. Teman-teman semua yang telah membantu dan setia menjadi teman untukku. 3. Dan semua yang tidak dapt disebutkan satu per satu. KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T. atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Kesehatan Pada Instalasi Gawat Darurat (Studi di RSUD Cilacap)” sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Ketika dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima saran, masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, untuk dedikasi, kepemimpinan, dan kebijakannya. 2. Bapak Saryono Hanadi, SH., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum Kemasyarakatan dan Pembimbing Skripsi, untuk setiap bimbingannya, kesabarannya dan motivasinya dalam penyusunan karya akademik pamungkas ini. 3. Bapak Tedi Sudrajat, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi, untuk setiap sudut dedikasi dan ketelitiannya dalam membimbing karya sederhana ini. 4. Bapak Haryanto Dwi A., S.H., M.Hum. Selaku dosen penguji skripsi, untuk setiap bentuk evaluasi atas karya ini. 5. Bapak Rahadi Wasi Bintoro, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing akademik, untuk setiap dorongan, motivasi, dan bantuannya dalam menyelesaikan studi penulis di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, terima kasih untuk ilmu yang sangat bermanfaat yang telah bapak/ ibu berikan.. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut berdasarkan skripsi ini sangat terbuka sebagai sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Purwokerto, Februari 2011 Penyusun DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL................................................................................ i HALAMAN JUDUL................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN.................................................................... iv KATA PENGANTAR................................................................................ v DAFTAR ISI............................................................................................... vii ABSTRAK.................................................................................................. x ABSTRACT................................................................................................. xi BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah....................................................... 1 B. Perumusan Masalah.............................................................. 7 C. Tujuan Penelitian.................................................................. 7 D. Kegunaan Penelitian............................................................. 8 TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum tentang Pelayanan Kesehatan................................ 10 1. Pengertian dan Pengaturan.......................................... 10 2. Asas-asas Hukum tentang Pelayanan Kesehatan......... 12 3. Hubungan Hukum Dokter dan Pasien......................... 20 4. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien........................ 28 5. Standar Pelayanan Kesehatan pada Instalasi Gawat Darurat............................................................................ 39 B. Kesadaran Hukum............................................................. 43 1. Pengertian Hukum dan Kesadaran Hukum.................. 43 a. Pengertian Hukum............................................... 43 b. Pengertian Kesadaran Hukum............................. 46 2. Teori-teori Kesadaran Hukum..................................... 49 3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Kesadaran BAB III Hukum....................................................................... 54 a. Faktor Motivasi................................................. 54 b. Faktor Komunikasi............................................ 58 METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Pendekatan......................................................... 62 2. Metode Penelitian............................................................ 62 3. Spesifikasi Penelitian...................................................... 63 4. Lokasi Penelitian............................................................. 63 5. Populasi Penelitian......................................................... 64 6. Metode Pengambilan Sampel......................................... 64 7. Jenis dan Sumber Data................................................... 65 a. Data Primer.............................................................. 65 b. Data Sekunder......................................................... 65 8. Data yang diperlukan..................................................... 65 BAB IV 9. Metode Pengumpulan Data........................................... 66 10. Metode Pengolaan Data............................................... 67 11. Metode Penyajian Data................................................. 68 12. Definisi Operasional Variabel....................................... 68 13. Metode Analisa Data..................................................... 69 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat di RSUD Cilacap........................................................... 71 B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat.............................................. BAB V 90 PENUTUP A. Simpulan......................................................................... 102 B. Saran............................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA KESADARAN HUKUM DOKTER DAN PARAMEDIS TENTANG STANDAR PELAYANAN KESEHATAN PADA INSTALASI GAWAT DARURAT (Studi di RSUD Cilacap) Oleh : GITA WISDHA KUMALA E1A007349 ABSTRAK Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memiliki kekuatan sanksi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh negara/aparat penyelenggara negara. Dalam kehidupan sehari-hari hukum mengikat segala macam kegiatan manusia. Untuk menegakkan hukum di dalam masyarakat kita perlu mengukur tingkat kesadaran hukum masyarakat. Tingkat kesadaran hukum dapat dilihat dari indikator pengetahuan hukum, pengetahuan isi hukum, sikap hukum dan pola perilaku hukum. Dalam penelitian ini penulis mengukur tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang standar pelayanan kesehatan pada instalasi gawat darurat. Dengan metode turidi sosiologis penulis membedah tingkat kesadaran hukum melalui angka-angka. Hasil penelitian menggambarkan bahwa tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang standar pelayanan minimal Rumah Sakit pada pelayanan gawat darurat relatif tinggi, faktor-faktor dominan yang cenderung mempengaruhi terhadap kesadaran hukum dokter dan paramedis adalah faktor motivasi dan faktor komunikasi. Berkebalikan dengan faktor lamanya masa kerja, yang berdampak negatif terhadap kesadaran hukum tersebut. Kata kunci : Kesadaran hukum, faktor motivasi, faktor komunikasi, fakor lamanya masa kerja. KESADARAN HUKUM DOKTER DAN PARAMEDIS TENTANG STANDAR PELAYANAN KESEHATAN PADA INSTALASI GAWAT DARURAT (Studi di RSUD Cilacap) Oleh : GITA WISDHA KUMALA E1A007349 ABSTRACT Law is a set of rules or norms that have the power to implement sanctions that can be imposed by the state or the state apparatus. In everyday life all kinds of binding law of human activity to enforce the law in our society can be seen from the indicator of law awareness, law acquaintance, law attitude, law behaviour. In this study authors measured the level of legal awareness of doctors and paramedics on the standard of health care in the emergency department. With juridical studies of sociological method to dissect of awareness of the writter through the numbers. The result illustrate that the level legal awareness of doctors and paramedics on the minimum standard of service at the Hospital emergency services are relativity high, the dominant factors that tend to influence the legal awareness of legal awareness of doctors and paramedics on the minimum standard of service at the Hospital emergency services are is factor of motivation and factor communication. In contrast to factor the length of working lives, which impact negatively on the legal consciousness. Keywords : Legal awareness, factor of motivation and factor communication, factor the length of working lives. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan seperti yang telah diamanatkan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelayanan kesehatan1 adalah setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap perorangan, kelompok atau masyarakat. Pelayanan kesehatan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya kesehatan, yang bertujuan mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Pengaturan tentang pelayanan kesehatan terdapat dalam UndangUndang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, walaupun di antara keduanya tidak didapatkan pengertian tentang pelayanan kesehatan, namun dapat dimengerti dari adanya pengertian upaya kesehatan. Dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 11 Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan hanya dirumuskan pengertian mengenai upaya kesehatan, yang menentukan bahwa : 1 Kesehatan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. “Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”. Ketentuan tersebut di atas dapat ditafsirkan bahwa, pada dasarnya masalah pelayanan kesehatan telah jelas diatur dalam Undang-Undang Kesehatan, oleh karena pelayanan kesehatan merupakan bagian integral dari upaya kesehatan, yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan secara perseorangan maupun kelompok atau masyarakat dengan berbagai pendekatan upaya kesehatan. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) huruf a, yang menyatakan bahwa, “Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan”. Berkaitan dengan hal di atas, terdapat korelasi antara para pihak di dalam pelayanan kesehatan yaitu hubungan hukum antara pasien dan dokter. Pengaturan hubungan tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menegaskan hak dan kewajiban antara pasien dan dokter. Hak dan kewajiban tersebut tidak terbatas pada apa yang telah disepakati ataupun yang ditentukan oleh Undangundang saja, tetapi juga yang timbul dari kebiasaan dan kepatutan di dunia kedokteran. Sifat yang mendasari hubungan ini adalah relationship (hubungan), sedangkan hubungan vertikal paternalistik antara dokter dan pasien dengan sifat father know the best (dokter mempunyai keputusan yang terbaik). Sifat dari hubungan yang kedua merupakan istilah yang dipakai sebelum adanya perkembangan Hukum Kesehatan. Terdapat pengaturan hubungan antara dokter dan pasien, bertujuan agar dokter dalam melakukan kewajibannya disertai dengan perlindungan hukum, di pihak lain seorang pasien mendapat pelayanan kesehatan berdasarkan haknya sesuai prosedur yang berlaku. Menurut Rano Indradi,2 secara umum pasien mempunyai 2 (dua) hak yang bersifat individual, yaitu hak atas informasi atau the right to information dan hak untuk menentukan nasib sendiri atau the right to self determination yang dimiliki oleh pasien. Hak itu sendiri adalah kebebasan untuk berbuat sesuatu berdasarkan hukum. Kedua hak tersebut yang menjadi pedoman seorang pasien mendapatkan kelayakan untuk dipahami selama dalam proses pelayanan kesehatan. Hak yang pertama, the right to information adalah hak atas informasi. Dalam hak ini berkaitan dengan persetujuan pasien atau Informed Consent. Segala tindakan medis yang akan dilakukan kepadanya, Dokter wajib memberikan informasi-informasi terkait sesuai prosedur kepada pasien dan/atau keluarganya. Hak yang kedua, the right to self determination adalah hak untuk menentukan nasib sendiri. Setelah mendapatkan informasi dari Dokter maka pasien dan/atau keluarganya yang berhak dapat mengambil sebuah keputusan tentang tindakan medis yang akan dilakukan. Memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh pasien, berdasarkan upaya peningkatan pelayanan kesehatan terdapat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, sehingga diperlukan adanya kesadaran hukum dokter dalam melakukan Rano Indradi, 25 January 2007, Informed Consent, Hak-Hak Pasien dalam Menyatakan Persetujuan Rencana Tindakan Medis, dapat diakses http://ranocenter.blogspot.com/ (online), 7 Juli 2010. kewajibannya yaitu memberikan pelayanan kesehatan. Menurut Veronika Komalawati,3 Dokter sebagai pengemban profesi adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Berdasarkan pembahasan di atas, dokter dan paramedis dalam menjalankan kewajibannya didasari oleh Standar Pelayanan Kesehatan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mewujudkan hak-hak pasien dan juga memenuhi kewajiban dari pihak dokter dan paramedis, maka harus memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit (SPMRS). Dengan demikian sangatlah penting upayaupaya pelayanan kesehatan melalui pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/MENKES/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan tersebut, terdapat banyak ketentuanketentuan termasuk pelayanan gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, bedah sentral, dan lain sebagainya. Salah satu standar pelayanan kesehatan Rumah sakit dilaksanakan pada instalasi gawat darurat, sebagai ujung tombak penyelamatan pasien yang memanfaatkan pelayanan kesehatan pada setiap rumah sakit. Pelayanan pada instalasi gawat darurat yang merupakan bagian pada pelayanan umum Rumah sakit, harus pula tunduk pada standar pelayanan minimal Rumah sakit. 3 Veronika Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeuti Studi Tinjauan Yuridis, Cetakan Kedua, Citra Aditya Bhakti, Bandung. Hlm. 17. Berkaitan tentang pelayanan gawat darurat, terdiri dari 9 (sembilan) ketentuan yang harus dilaksanakan. Pelayanan Gawat Darurat di Rumah sakit harus memenuhi standar antara lain 9 (sembilan) indikator tersebut yaitu : 1. Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa, dengan standar 100%. 2. Jam buka pelayanan Gawat Darurat, dengan standar 24 jam. 3. Pemberi pelayanan Gawat Darurat yang bersertifikat dan masih berlaku BLS/PPGD/GELS/ALS, dengan standar 100%. 4. Ketersediaan tim penanggulangan bencana, dengan standar 1 (satu) tim. 5. Waktu tanggap pelayanan Dokter di Gawat Darurat, dengan standar kurang dari 5 menit terlayani, setelah pasien datang. 6. Kepuasan pelanggan, dengan standar lebih dari 70%. 7. Kematian pasien kurang dari 24 jam, dengan standar kurang dari dua per seribu ( pindah ke pelayanan rawat inap setelah delapan jam). 8. Khusus untuk Rumah Sakit Jiwa pasien dapat ditenangkan dalam waktu kurang lebih 48 jam, dengan standar 100%. 9. Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka, dengan standar 100%. Membahas lebih lanjut tentang pelayanan kesehatan, tidak sedikit fenomena di dalam praktik kedokteran yang menjadi perhatian publik bahkan sampai jenjang sengketa medis, dan tidak jarang pula sampai lembaga peradilan. Fenomena tersebut seperti kasus Prita Mulyasari di Rumah sakit Omni Internasional Alam Sutra Serpong Tangerang, gugatan Yan Young Joon4 di Rumah sakit Jakarta, kasus dr. Setyoningrum5 di Pati yang melalui peradilan tingkat pertama sampai dengan tingkat ketiga, kasus Aborsi di Rumah sakit dr. Soetomo Surabaya, kasus-kasus pengambilan ginjal yang tidak berfungsi, tertinggalnya kain kasa disaluran kencing di Rumah sakit Banyumas. Di antara banyak fenomena yang telah saya sebutkan di atas, masih banyak pula kasus-kasus lainnya yang tidak sempat terungkap di media massa, baik cetak maupun elektronik. Fenomena-fenomena tersebut merupakan gambaran yang menarik untuk dikaji yang pada prinsipnya kesemuanya disebabkan karena pelayanan kesehatan di Rumah sakit yang tidak baik dan tidak memenuhi memenuhi standar pelayanan minimal Rumah sakit (SPMRS). Berkaitan dengan hal tersebut, hak-hak pasien, kewajiban dokter dan paramedis serta SPMRS tersebut harus diketahui dan dipahami baik oleh pasien, dokter dan paramedis maupun pihak rumah sakit. Hal tersebut ditujukan agar pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan sesuai dengan tuntutan pasien yaitu pelayanan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang bermutu tersebut harus didasarkan pada sikap dan perilaku dokter dan paramedis sesuai dengan SPMRS. Pelayanan kesehatan yang bermutu itu dapat diwujudkan apabila dokter dan paramedis mengetahui dan memahami isi standar pelayanan kesehatan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan standar pelayanan kesehatan dalam Rumah sakit diperlukan kesadaran hukum tentang standar pelayanan minimal itu sendiri. 4 5 Safitri Handayani, 2005, Sengketa Medik, alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta. Hlm. 65. Anny Isfandyarie, 2005, Malpraktek dan ResikoMedik dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka Pulisher, Jakarta. Hlm. 13. Pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum dalam pelayanan kesehatan merupakan indikator-indikator yang harus dipenuhi oleh dokter dalam menjalankan kewajibannya. Berdasarkan pada hal tersebut diatas, maka penelitian ini memiliki arti penting, terutama dalam rangka menganalisis pengetahuan, pemahaman, sikap dan pola perilaku dokter dan paramedis yang berkaitan dengan SPMRS tersebut, yang merupakan unsur-unsur yang terintegrasi dalam membentuk kesadaran hukum dokter dan paramedis. Berdasarkan pada pemikiran tersebut, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan merumuskan ke dalam judul Skripsi tentang Kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Kesehatan pada Instalasi Gawat Darurat. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah tingkat kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat? 2. Bagaimanakah pengaruh faktor motivasi, komunikasi dan lamanya masa kerja terhadap tingkat kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. 2. Untuk mengetahui pengaruh faktor motivasi, komunikasi dan lamanya masa kerja terhadap tingkat kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Gawat Darurat. D. Kegunaan Penelitian Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan antara lain : 1. Kegunaan yang bersifat Teoritis a. Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari hukum kesehatan yang keberadaannya masih baru dan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan SPMRS masih tergolong langka terutama dalam Strata Satu (S1). Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai informasi ilmiah dalam rangka pengembangan dan pembaharuan ilmu dan pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum kesehatan pada khususnya. b. SPMRS merupakan parameter pelayanan kesehatan yang masih jarang dilakukan penenlitian secara empiris. Hasil penelitian ini dapat berguna sebagai acuan dan perbandingan bagi peneliti-peneliti sejenis di masamasa mendatang. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan materi secara teoritis yang baik pada perguruan tinggi maupun pada Rumah Sakit-Rumah Sakit dalam rangka mencapai tujuan pelayanan kesehatan yang bermutu sebagai tuntutan dari pasien. 2. Kegunaan yang bersifat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai input atau masukan bagi perancang pembangunan hukum kesehatan, pembuat peraturan perUndang-undangan, dan pembuatan kebijakan Rumah Sakit itu sendiri, dalam rangka peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat atau pasien dan pengembangan institusi Rumah Sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang mengembangkan amanat Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah bagi praktisi hukum maupun praktisi medis di Rumah Sakit dalam rangka memecahkan masalah-masalah yang mungkin timbul yang sekaligus mencegah sengketa-sengketa medis dalam pelayanan kesehatan terutama yang dapat merugikan baik pasien, reputasi dokter dan paramedis serta nama baik Rumah Sakit itu sendiri. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan ilmiah untuk mengembangkan kerjasama personal maupun bilateral antar lembaga yang terkait dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang sesuai dengan pelayanan minimal Rumah Sakit. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum tentang Pelayanan Kesehatan 1. Pengertian dan Pengaturan Di awali dengan pengertian pelayanan kesehatan, Pelayanan kesehatan (health care service) merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Menurut Lavey dan Loomba sebagaimana dikutip oleh Hendrojono Soewono6 mengatakan bahwa ; “Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap perorangan, kelompok atau masyarakat”. Pengertian pelayanan kesehatan di atas, senada dengan pendapatnya Abdul Bari Syaifudin7 yang menyatakan bahwa ; “Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat”. Pengertian pelayanan kesehatan menurut Soerjono Soekanto8, menyatakan bahwa : 6 Hendrojono Soewono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Kedokteran dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya. Hlm. 100-101. 7 Abdul Bari Syaifudin, 2002. Buku acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, Hlm. 17. “Pelayanan kesehatan merupakan suatu usaha profesi kesehatan untuk mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan pada setiap orang atau masyarakat yang lebih baik dari keadaan kesehatan sebelumnya, secara terus menerus dan berkesinambungan agar dapat hidup sejahtera serta produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan kondisi, situasi dan kemampuan yang nyata dari setiap orang ataupun masyarakat”. Menurut Wiku Adisasmito9 dalam studinya tentang analisis kebijakan kesehatan berpendapat bahwa ; “Pelayanan kesehatan adalah segala bentuk kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan derajat suatu masyarakat yang mencakup kegiatan penyuluhan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan kesehatan yang diselenggarakan secara terpadu dan berkesinambungan yang secara sinergis berhasil guna dan berdaya guna sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat setinggitingginya”. Azrul Anwar,10 berpendapat bahwa dari pengertian-pengertian pelayanan kesehatan di atas, dapat ditarik kesimpulan, berbagai bentuk dan jenis pelayanan kesehatan, ditentukan oleh : a. Pengorganisasian pelayanan, apakah diselenggarakan secara mandiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi; b. Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya; 8 Soerjono Soekanto, 1990. Segi-segi Hukum Hak dan kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum Kesehatan, CV. Mandar Maju, Bandung, Hlm. 12. 9 Wiku Adisasmito, 2008. Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group (DRG), Kelayakan Penerapannya di Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta, Hlm. 9. 10 Azrul Anwar, 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara, Jakarta, Hlm. 36. c. Sasaran pelayanan kesehatan, apakah untuk perseorangan, keluarga, kelompok ataupun untuk masyarakat secara keseluruhan. Pengaturan tentang pelayanan kesehatan terdapat dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, walaupun di antara keduanya tidak didapatkan pengertian tentang pelayanan kesehatan, namun dapat dimengerti dari adanya pengertian upaya kesehatan. 2. Asas-asas Hukum tentang Pelayanan Kesehatan Menurut Soedikno Mertokusumo,11 mengatakan bahwa setiap ada hukum, di dalamnya terdapat asas-asas yang menjadi dasarnya. Pengertian asas hukum menurut Belefroid, asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif yang oleh ilmu hukum dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum, asas hukum merupakan pengendapan dari positif. Membahas asas hukum menurut Scholten, asas hukum kecenderungan-kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum tetapi harus ada. Asas hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas hukum umum dan asas hukum khusus. Asas hukum umum adalah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti asas restititio in integrum, asas lex posteriori derogat legi priori, asas bahwa apa yang lahirnya tampak sebagai benar (sah) 11 Soedikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Hlm. 11. untuk sementara harus dipertahankan demikian sampai diputus oleh Pengadilan, asas demi kepastian hukum, asas nebis in idem. Asas hukum yang kedua ialah asas hukum khusus, berfungsi dalam bidang yang lebih sempit, seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, dan sebagainya. Asas hukum khusus merupakan penjabaran dari hukum khusus, meliputi pacta sunt servanda, asas konsesualisme, asas yang tercantum dalam pasal 1977 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, asas praduga tak bersalah. Membahas tentang Asas Hukum Pelayanan Kesehatan yang merupakan asas hukum khusus, di dalamnya juga terdapat asas hukum. Menurut Veronica Komalawati12, yang mengatakan bahwa, asas-asas hukum yang berlaku dan mendasari pelayanan kesehatan dapat disimpulkan secara garis besarnya sebagai berikut : a. Asas Legalitas Asas ini pada dasarnya tersirat di dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa: (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan; (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki; (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Ketentuan yang mengatur point (3), tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) dan (3); Pasal 36; Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dari ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa, keseluruhan 12 Veronica Komalawati, 2002. Op. Cit. Hlm. 126-133. persyaratan tersebut merupakan landasan legalitasnya dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan. Artinya, “asas legalitas” dalam pelayanan kesehatan secara laten tersirat dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. b. Asas Keseimbangan Penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam pelayanan kesehatan dapat pula diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari pelayanan kesehatan yang dilakukan. Dengan demikian berlakunya asas keseimbangan di dalam pelayanan kesehatan sangat berkaitan erat dengan masalah keadilan yang bersifat kasustis, karena berhubungan dengan alokasi sumber daya dalam pelayanan kesehatan. c. Asas Tepat Waktu Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, asas tepat waktu merupakan asas yang cukup krusial, karena sangat berkaitan dengan akibat hukum yang timbul dari pelayanan kesehatan. Dicontohkan dengan sebuah kelalaian dokter untuk memberikan pertolongan tepat pada saat yang dibutuhkan, dapat berakibat menimbulkan kerugian pada pasien. Berlakunya asas ini harus diperhatikan dokter, karena tidak dapat menerima alasan apapun dalam hal keselamatan nyawa pasien yang terancam yang disebabkan karena keterlambatan dokter dalam menangani pasiennya. d. Asas Itikad Baik Asas itikad baik ini pada dasarnya bersumber pada prinsip etis untuk berbuat baik pada umumnya yang perlu pula diaplikasikan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Dokter sebagai pengemban profesi, penerapan asas itikad baik akan tercermin pada sikap penghormatan terhadap hak-hak pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu patuh dan taat terhadap standar profesi. Kewajiban untuk berbuat baik ini tentunya bukan tanpa batas, karena berbuat baik harus tidak boleh sampai menimbulkan kerugian pada diri sendiri. e. Asas Kejujuran Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat menumbuhkan kepercayaan pasien kepada dokter dalam pelayanan kesehatan. Berlandaskan asas kejujuran, dokter berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien, yakni sesuai standar profesinya. Penggunaan berbagai sarana yang tersedia pada institusi pelayanan kesehatan, hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan. Asas kejujuran merupakan dasar bagi terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baik dari pasien maupun dokter dalam berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan informasi dapat sangat membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi berhubungan dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran. f. Asas Kehati-hatian Kedudukan dokter sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan, tindakan dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dalam pelayanan kesehatan. Kecerobohan dalam bertindak dapat mengakibatkan terancamnya jiwa pasien, dan berakibat dokter terkena tuntutan pidana. Asas kehati-hatian ini secara yuridis tersirat di dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menentukan bahwa: “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”. Dalam pelaksanaan kewajiban dokter, asas kehati-hatian ini diaplikasikan dengan mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien terutama hak atas informasi dan hak untuk memberikan persetujuan yang erat kaitannya dalam transaksi terapeutik. g. Asas Keterbukaan Salah satu asas yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan adalah asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, yang secara tersirat di dalamnya terkandung asas keterbukaan. Hal ini dapat diinterpretasikan dari Penjelasan Pasal 2 angka (9) yang berbunyi ; “Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum”. Pelayanan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna hanya dapat tercapai bilamana ada keterbukaan dan kesamaan kedudukan dalam hukum antara dokter dan pasien dengan didasarkan pada sikap saling percaya. Sikap tersebut dapat tumbuh apabila dapat terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien, dimana pasien dapat memperoleh penjelasan dari dokter dalam komunikasi yang transparan atau terbuka. Munir Fuady sebagaimana dikutip oleh Anny Isfandyarie13 mengemukakan pendapatnya bahwa, di dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan terdapat beberapa asas etika modern dari praktik kedokteran yang disebutkan oleh Catherine Tay Swee Kian antara lain sebagai berikut : a. Asas Otonom Asas ini menghendaki agar pasien yang mempunyai kapasitas sebagai subyek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara rasional sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasinya untuk menentukan nasibnya sendiri. Dokter tetap harus menghormati pilihan pasien dan berusaha untuk menjelaskan dengan sebenarnya menurut pengetahuan dan keahlian profesional dokter tersebut, agar pasien benar-benar mengerti dan memahami tentang akibat yang akan timbul saat pilihannya tidak sesuai dengan anjuran dokter. Suatu kewajiban dokter untuk memberikan masukan kepada pasien tentang dampak negatif yang mungkin timbul sebagai akibat ditolaknya anjuran dokter tersebut. b. Asas Murah Hati Asas ini mengajarkan kepada dokter untuk selalu bersifat murah hati dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Berbuat kebajikan, kebaikan dan dermawan merupakan anjuran yang berlaku umum bagi setiap individu. Hal ini hendaknya dapat diaplikasikan dokter dalam pengabdian profesinya dalam 13 Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab dan Sanksi Bagi Dokter Buku I dan II, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Hlm. 83-86 pelayanan kesehatan yang dilakukan baik terhadap individu pasien maupun terhadap kesehatan masyarakat. c. Asas Tidak Menyakiti Dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien, dokter hendaknya mengusahakan untuk tidak menyakiti pasien tersebut, walaupun hal ini sangat sulit dilakukan, karena kadang-kadang dokter harus melakukan pengobatan yang justru menimbulkan rasa sakit kepada pasiennya. Dalam hal terjadi demikian, maka dokter harus memberikan informasi kepada pasien tentang rasa sakit yang mungkin timbul sebagai akibat tindakan yang dilakukan guna kesembuhan pasien tersebut dan agar pasien tidak menganggap apa yang telah dilakukan dokter bertentangan dengan asas tidak menyakiti. d. Asas Keadilan Keadilan harus dilakukan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam artian bahwa dokter harus memberikan pengobatan secara adil kepada pasien dengan tidak memandang status sosial ekonomi mereka. Di samping itu, asas ini juga mengharuskan dokter untuk menghormati semua hak pasien antara lain hak atas kerahasiaan, hak atas informasi dan hak memberikan persetujuannya dalam pelayanan kesehatan. e. Asas Kesetiaan Asas kesetiaan mengajarkan bahwa dokter harus dapat dipercaya dan setia terhadap amanah yang diberikan pasien kepadanya. Pasien berobat kepada dokter, karena percaya bahwa dokter akan menolongnya untuk mengatasi penyakit yang dideritanya. Hal ini merupakan amanah yang harus dilaksanakan dokter dengan penuh tanggung jawab untuk menggunakan segala pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya demi keselamatan pasiennya. f. Asas Kejujuran Menurut M. I. Wiwik Yuni Hastuti dalam Tesisnya,14 asas ini mengajarkan bahwa, dalam pelayanan kesehatan menghendaki adanya kejujuran dari kedua belah pihak, baik dokter maupun pasiennya. Dokter harus secara jujur mengemukakah hasil pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan kepada pasien, dan pasien pun harus secara jujur mengungkapkan riwayat perjalanan penyakitnya. Dalam praktik pelayanan kesehatan, pelaksanaan Informed Consent harus berorientasi pada kejujuran. Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa, “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminasi dan norma-norma agama”. Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyebutkan bahwa, “Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien”. 3. Hubungan Hukum Dokter dan Pasien 14 M. I. Wiwik Yuni Hastuti, 2010, Penyelesaian Sengketa Medik (Studi tentang Aspirasi dan Motivasi Pemilihan Model Penyelesaian Sengketa Medik Dokter dan Pasien dengan Pendekatan Non-Litigasi dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Banyumas), Tesis, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Hlm. 19-25. Dalam dunia kesehatan saat ini, semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat kepada pelayanan kesehatan dan meningkatnya perhatian terhadap hak pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan, menjadikan semakin meningkat pula peranan hukum dalam pelayanan kesehatan untuk mengatur hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan. Menurut Hermien Hadiati Koewadji,15 hubungan antara dokter dan pasien, terdapat jenis sifat di dalamnya. Sifat father know the best dalam hubungan antara pasien dan Dokter yang terjadi beberapa tahun lalu. Dunia kedokteran sebenarnya sudah memiliki model hubungan terapeutik yang mapan, yaitu suatu hubungan paternalistik atas dasar kepercayaan. Dokter mempunyai kewenangan besar terhadap pasien, termasuk dalam pengambilan keputusan dan dianggap yang terbaik bagi pasien karena dokter mengetahui tentang segala hal sesuatu yang berkaitan dengan penyakit, sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang penyakit, terlebih tentang bagaimana penyembuhannya. Beralih dari sifat hubungan father know the best menjadi sifat relationship pada saat ini kedudukan dokter dan pasien adalah sama. Kedudukan tersebut bersifat horizontal kontraktual, yaitu sederajat dan berdasarkan perjanjian yang telah disepakati keduanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pihak yang membutuhkan. Dalam hal ini dokter wajib memberikan waktu bagi pasien untuk berfikir, menimbang dan memutuskan tindakan yang akan dilakukan kepadanya atas informasi dari dokter. Hermien Hadiati Koewadji, 1999, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bhakti, Bandung. Hlm. 66. Soerjono Soekanto,16 mengatakan bahwa perubahan pola hubungan hukum antara dokter dengan pasien tersebut, terjadi karena disebabkan beberapa faktor antara lain : a. Kepercayaan tidak lagi tertuju pada dokter pribadi, akan tetapi pada keampuhan ilmu dan teknologi kesehatan; b. Masyarakat menganggap bahwa tugas dokter tidak hanya menyembuhkan, akan tetapi lebih ditekankan pada perawatan; c. Ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan bukan lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi lebih berarti kesejahteraan fisik, mental dan sosial; d. Semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien, sehingga pasien semakin mengetahui dan memahami hak-haknya dalam hubungan dengan dokter; e. Tingkat kecerdasan masyarakat mengenai kesehatan semakin meningkat dan mampu mengadakan penilaian. Kedudukan para pihak di dalam pelayanan kesehatan, dokter dapat dilihat dalam kedudukannya selaku profesional di bidang medik yang harus berperan aktif, dan pasien dapat dilihat dalam kedudukannya sebagai penerima layanan medik yang mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan medik yang diterimanya. Hal ini disebabkan, dokter bukan hanya melaksanakan pekerjaan melayani atau memberi pertolongan semata-mata, tetapi juga melaksanakan pekerjaan profesi yang terkait pada suatu kode etik kedokteran. Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian tentang hubungan antara dokter dan pasien, baik di bidang medis, sosiologis maupun antropologi sebagaimana dikutip oleh Veronica Komalawati17 menyatakan sebagai berikut : a. Russel, menyatakan bahwa hubungan antara dokter dan pasien lebih merupakan hubungan kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang memiliki wewenang (dokter) sebagai pihak yang aktif, 16 Soerjono Soekanto, 1989, Masalah Pelayanan Dokter kepada Pasien, Ind-Hill-Co, Jakarta, Hlm. 149. 17 Veronica Komalawati, Op. Cit., hal. 43-45. Lihat juga Anny Isfandyarie, Op. Cit., Hlm. 91-92. b. c. d. e. dengan pasien yang menjalankan peran kebergantungan sebagai pihak yang pasif dan lemah; Freidson, Freeborn dan Darsky, menyebutkan bahwa hubungan antara dokter dan pasien merupakan pelaksanaan kekuasaan medis oleh dokter terhadap pasien; Schwarz dan Kart, mengungkapkan adanya pengaruh jenis praktik dokter terhadap perimbangan kekuasaan antara pasien dengan dokter dalam hubungan pelayanan kesehatan. Dalam praktik dokter umum, kendali ada pada pasien karena kedatangannya sangat diharapkan oleh dokter tersebut, sedangkan pada praktik dokter spesialis, kendali ada pada dokter umum sebagai pihak yang merujuk pasiennya untuk berkonsultasi pada dokter spesialis yang dipilihnya. Hal ini berarti bahwa hubungan pasien dengan dokter umum lebih seimbang daripada hubungan pasien dengan dokter spesialis. Kisch dan Reeder, meneliti seberapa jauh pasien dapat memegang kendali hubungan dan menilai penampilan kerja suatu mutu pelayanan medis yang diberikan dokter kepada pasiennya. Dalam penelitian ini ditemukan adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peran pasien dalam hubungan pelayanan medis, antara lain jenis praktik dokter (praktik individual atau praktik bersama), atau sebagai dokter dalam suatu lembaga kedokteran. Masing-masing kedudukan tersebut merupakan variabel yang diperlukan yang dapat memberikan dampak terhadap mutu pelayanan medis yang diterimanya; Szasz dan Hollender, mengemukakan tiga jenis prototip hubungan antara dokter dan pasiennya, yaitu hubungan antara orang tua dan anak, antara orang tua dan remaja, dan prototip hubungan antara orang dewasa. Masih dalam hubungannya dengan hubungan hukum dokter dan pasien, Thiroux seperti yang dikutip oleh Anny Isfandyarie18 membagi hubungan yang seharusnya antara dokter dan pasien dalam 3 (tiga) sudut pandang, yakni : a. Pandangan Paternalisme, menghendaki dokter untuk berperan sebagai orang tua terhadap pasien atau keluarganya. Menurut pandangan ini, segala keputusan tentang pengobatan dan perawatan berada dalam tangan dokter sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan tentang pengobatan, sementara pasien dianggap tidak mempunyai pengetahuan di bidang pengobatan. Informasi yang dapat diberikan kepada pasien seluruhnya 18 Anny Isfandyarie, Op. Cit., Hlm. 91-92. merupakan kewenangan dokter dan asisten profesionalnya, dan pasien tidak boleh ikut campur di dalam pengobatan yang dianjurkan; b. Pandangan Individualisme, beranggapan bahwa pasien mempunyai hak mutlak atas tubuh dan nyawanya sendiri. Oleh karena itu, semua keputusan tentang pengobatan dan perawatan sepenuhnya berada di tangan pasien yang mempunyai hak atas dirinya sendiri; c. Pandangan Resiprocal dan Collegial, yang mengelompokkan pasien dan keluarganya sebagai inti, dalam kelompok, sedangkan dokter, perawat dan para profesional kesehatan lainnya harus bekerja sama untuk melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Hak pasien atas tubuh dan nyawanya tidak dipandang sebagai hal yang mutlak menjadi kewenangan pasien, tatapi dokter dan staf medis lainnya harus memandang tubuh dan nyawa pasien sebagai prioritas utama yang menjadi tujuan pelayanan kesehatan yang dilakukan. Keputusan yang diambil dalam perawatan dan pengobatan harus bersifat resiprokal yang artinya bersifat memberi dan menerima, dan collegial yang berarti pendekatan yang dilakukan merupakan pendekatan kelompok yang setiap anggotanya mempunyai masukan dan tujuan yang sama. Menurut Hermein Hadiati Koeswadji19 hubungan antara dokter dan pasien terdapat 2 (dua) pola hubungan, yakni : pola hubungan vertikal yang paternalistik dan pola hubungan horizontal yang kontraktual. Dalam hubungan vertikal, kedudukan antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat dengan pasien sebagai pengguna/penerima jasa pelayanan kesehatan, sedangkan dalam pola hubungan horizontal yang kontraktual, kedudukan antara penerima jasa layanan kesehatan dan pemberi jasa pelayanan kesehatan mempunyai kedudukan yang sederajat. Dalam hubungannya dengan hal di atas mengemukakan pendapatnya yang mengatakan bahwa : 19 20 Hermein Hadiati Koeswadji, 1999, Op. Cit., Hlm. 46. Soejono Soekanto, 1990. Op. Cit., Hlm. 4. Soerjono Soekanto20 “Hubungan antara dokter dan pasien pada dasarnya merupakan hubungan hukum keperdataan, di mana pasien datang kepada dokter untuk disembuhkan penyakitnya dan dokter berjanji akan berusaha mengobati atau menyembuhkan penyakit pasien tersebut. Hubungan keperdataan merupakan hubungan hukum yang dilakukan oleh pihakpihak yang berada dalam kedudukan yang sederajat”. Hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan disebut dengan “Transaksi Terapeutik”,21 yang didasarkan pada perjanjian, yakni perjanjian di mana dokter berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien dari penderitaan sakitnya. Dalam hal ini yang dituntut bukan perjanjian hasil atau kepastian adanya kesembuhan atau keberhasilan, namun perjanjian tersebut berupa upaya atau usaha semaksimal mungkin dari dokter dalam upayanya melakukan penyembuhan terhadap pasiennya secara hati-hati dan cermat didasarkan pada ilmu pengetahuan yang layak.22 Perjanjian antara dokter dengan pasien merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik, yang mengandung arti bahwa perjanjianlah yang melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Oleh karena itu, hubungan hukum dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). 21 Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang dimaksud dengan Transaksi Terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya, serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani. 22 Syahrul Machmud, 2008, Penegakkan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medical Malpraktik, Mandar Maju, Bandung. Hlm. 46. Dalam hukum perjanjian secara teoritis dikenal dengan adanya 2 (dua) macam perjanjian, yakni :23 1. Ispanningverbintenis, yakni suatu perjanjian di mana masing-masing pihak berupaya atau berusaha semaksimal mungkin mewujudkan atau menghasilkan perjanjian yang dimaksud. Dalam hal ini yang diutamakan adalah upaya atau ikhtiar. 2. Resultaatverbintenis, yakni suatu perjanjian yang didasarkan pada hasil atau resultaat yang diperjanjikan. Masing-masing pihak berusaha semaksimal mungkin menghasilkan atau mewujudkan apa yang diperjanjikan. Dalam hal ini yang diutamakan adalah hasilnya. Berkaitan dengan kedua macam perjanjian di atas bila dihubungkan dengan perjanjian terapeutik, maka perjanjian terapeutik tersebut dapat dikategorisasikan pada perjanjian Ispanningverbintenis, karena dokter akan sulit atau tidak mungkin dituntut untuk pasti dapat menyembuhkan pasiennya. Jadi yang dituntut dari seorang dokter adalah usaha maksimal dan sungguh-sungguh dalam melakukan penyembuhan dengan didasarkan pada standar ilmu pengetahuan kedokteran yang baik. Demikian pula bagi pasien, dituntut untuk berupaya melaksanakan anjuran dan perintah-perintah dokter agar sakitnya dapat disembuhkan. Kedua belah pihak yaitu dokter dan pasien dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin menyembuhkan suatu penyakit. 23 Ibid., Hlm. 47. Dalam hubungannya dengan hal di atas, Veronica Komalawati24 memberikan gambaran tentang kekhususan transaksi terapeutik dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya sebagai berikut : a. Subyek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenaga profesional di bidang medik yang berkompeten memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter, berkewajiban membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang diberikan dokter tersebut; b. Obyek perjanjian berupa upaya medik profesional yang bercirikan pemberi pertolongan; c. Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Di dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, hubungan hukum antara dokter dan pasien ini terkandung dalam ketentuan Pasal 39, yang menyatakan bahwa : “Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan”. Ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum antara dokter dan pasien merupakan hubungan hukum keperdataan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak. Pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan upaya pengobatan dan 24 Veronica Komalawati, Op. Cit., Hlm. 145. penyembuhan terhadap penyakitnya, demikian pula dokter harus mempercayai pasien tentang semua keluhannya agar dokter dapat memberikan terapi yang tepat. Sebagai sebuah profesi, dokter atau tenaga kesehatan lainnya diikat oleh sebuah kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan serta dijadikan pedoman dalam menjalankan profesi kedokterannya. Kode etik kedokteran secara yuridis tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Men.Kes/X/1983 tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang menyebutkan secara khusus hubungan hukum dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan, sebagai berikut : (1) Transaksi Terapeutik ini hanya khusus mengatur hubungan hukum antara dokter dan pasien; (2) Dilakukan dalam nuansa saling percaya atau konfidensial, yang mengandung makna bahwa pasien atau keluarga pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan upaya pengobatan penyembuhan terhadap sakit pasien, demikian pula dokter harus mempercayai pasien. Pasien harus jujur menceritakan tentang segala keluhannya dan segala ketidaktahuannya terhadap obat-obat tertentu, agar dokter dapat memberikan terapi yang tepat; (3) Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang bersifat khusus ini meliputi pula hubungan emosional, harapan dan kekhawatiran makhluk insani atas kesembuhan pasien. 4. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien Dalam pelayanan kesehatan yang di dalamnya terkandung hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam perjanjian terapeutik secara otomatis timbul hak dan kewajiban dokter dan pasien sebagai akibat hukum dari adanya hubungan hukum pelayanan kesehatan tersebut. Menurut Soedikno Mertokusumo,25 berkaitan dengan pembahasan sebelumnya tentang perjanjian terapeutik, apabila telah dilakukan perjanjian terapeutik dengan baik, maka masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi oleh undang-undang Semua hak melahirkan kewajiban, demikian juga sebaliknya. Hak memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu di dalam pelaksanaannya, sedangkan kewajiban pembatasan dan beban bagi individu tersebut. Nila Ismani,26 yang menyatakan bahwa, “Hak di dalam pengertian secara umum adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas”. Oleh karena itu, hak merupakan suatu kepentingan yang dilindungi undang-undang, sedangkan kepentingan merupakan tuntutan perseorangan atau kelompok yang diharapkan dipenuhi. Berkaitan dengan masalah hak ini, Soedikno Mertokusumo27 mengatakan bahwa, terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam suatu hak, yakni : a. Subyek hukum : segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan dibebani kewajiban. Kewenangan untuk menyandang hak dan kewajiban ini disebut “Kewenangan Hukum”. b. Obyek hukum : segala sesuatu yang menjadi fokus atau tujuan diadakannya hubungan hukum c. Hubungan hukum : hubungan yang timbul dan terjalin karena suatu peristiwa hukum; 25 Soedikno Mertokusumo, Op. cit., Hlm. 39. Nila Ismani, 2001. Dasar-dasar Etika Keperawatan, Widya Medika, Jakarta, Hlm. 20. 27 Soedikno Mertokusumo, Op. Cit., Hlm. 38-39. 26 d. Perlindungan hukum : segala sesuatu yang mengatur dan menentukan hak serta kewajiban masing-masing pihak yang melakukan hubungan hukum, sehingga kepentingannya terlindungi. Di bagian lain Soedikno Mertokusumo28 juga menyatakan bahwa, ada 2 (dua) macam hak yang melekat pada setiap individu, yaitu : a. Hak absolut : yakni hak yang memberikan wewenang pada pemegangnya untuk berbuat atau tidak berbuat yang pada dasarnya dapat dilaksanakan siapa saja dan melibatkan setiap orang. Isi hak absolut ini ditentukan oleh kewenangan pemegang hak itu sendiri. b. Hak relatif : yakni hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu. Di bidang kesehatan, hak dan kewajiban menjadi hal yang sangat penting dan mutlak untuk dilaksanakan. Mengingat kelalaian untuk memenuhi hak dan kewajiban akan menimbulkan akibat yang tidak kecil, yakni berupa tuntutan ganti kerugian ataupun dapat diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana seperti hukuman mati, penjara maupun denda bahkan sanksi pencabutan hak-hak yang melekat pada setiap individu tersebut. Syarat utama dan pertama dalam hubungan Dokter dan pasien adalah membangun rasa saling percaya dan memahami hak dan kewajiban masingmasing. Hak-hak Dokter terinci sebagai berikut : a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional b. Memberikan pelayanan menurut standar profesi dan standar operasional prosedur c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya d. Menerima imbalan jasa Diantara hak-hak yang dimiliki, Dokter wajib melakukan : 28 Soedikno Mertokusumo, Ibid., Hlm. 40 a. Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur b. Merujuk pasien ke Dokter atau Dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melaksanakan suatu pemeriksaan atau pengobatan c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. Di pihak lain pasien juga mempunyai hak : a. b. c. d. e. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis Meminta pendapat Dokter lain Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis Menolak tindakan medis Mendapatkan isi rekaman medis Berdampingan dengan hak yang dimiliki, pasien mempunyai kewajiban untuk : a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya b. Mematuhi nasihat dan petujuk Dokter c. Mematuhi ketentuan yang berlaku pada sarana pelayanan kesehatan d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Mengacu kepada pendapat Alexandra Indriyanti Dewi29, dikemukakan beberapa hak dan kewajiban dokter dalam pelayanan kesehatan. Adapun hak-hak dokter yang dimaksud berupa: a. Hak untuk melakukan praktik kedokteran setelah memperoleh surat izin dokter dan surat izin praktik; b. Hak untuk memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasiennya tentang penyakitnya; c. Hak untuk bekerja sesuai dengan standar profesinya; d. Hak untuk menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum, agama dan hati nuraninya; 29 Alexandra Indriyanti Dewi, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, Hlm. 144-148. e. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasiennya, jika menurut penilaiannya kerja sama dengan pasiennya tidak ada gunanya lagi kecuali dalam keadaan darurat; f. Hak atas privasi dokter dalam kehidupan pribadinya; g. Hak untuk memperoleh ketenteraman bekerja dengan jaminan yang layak di dalam memberikan kenyamanan dan suasana kerja yang baik; h. Hak untuk mengeluarkan surat-surat keterangan dokter; i. Hak untuk menerima imbalan jasa; j. Hak untuk menjadi anggota perhimpunan profesi k. Hak untuk membela diri. Berkaitan dengan perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien, Veronica Komalawati30 mengemukakan pendapatnya tentang hak-hak dokter dalam pelayanan kesehatan secara ringkas sebagai berikut : a. hak atas informasi pasien mengenai keluhan-keluhan yang diderita; b. hak atas imbalan jasa atau honorarium; c. hak mengakhiri hubungan dengan pasien, jika pasien tidak mematuhi nasehat yang diberikan; d. hak atas etikad baik dari pasien dalam pelaksanaan transaksi terapeutik; e. hak atas privasi. Hak-hak dokter yang dapat dinikmati dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana diuraikan di atas, diatur lebih tegas dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan antara lain sebagai berikut : “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak : a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional; c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan 30 Veronica Komalawati, 1989. Hukum dan Etika Dalam Parktik Kedokteran, PT Pustaka Sina Harapan, Jakarta, Hlm. 99. d. Menerima imbalan jasa”. Dokter sebagai pengemban profesi dalam pelayanan kesehatan, dibebani pula dengan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikemukakan oleh Alexandra Indriyanti Dewi31 antara lain sebagai berikut : a. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah kedokteran; b. Setiap dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi; c. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi; d. Setiap dokter wajib melindungi makhluk insani; e. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya; f. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita; g. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan setelah penderita meninggal dunia; h. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai tugas kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya; i. Setiap dokter tidak diperbolehkan mengambil alih penderita dari teman sejawatnya tanpa persetujuannya. Menurut Leenen sebagaimana dikutip oleh Danny Wiradharma32 mengatakan bahwa, kewajiban dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan pada prinsipnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yakni : a. Kewajiban yang timbul dari sifat keperawatan medik di mana dokter harus bertindak sesuai dengan standar profesi medik atau menjalankan praktik kedokterannya secara “lege artis” b. kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien yang bersumber dari hak-hak asasi manusia dalam bidang kesehatan; 31 32 Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., Hlm. 138-143. Danny Wiradharma, 1996. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara, Jakarta, Hlm. 74. c. kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan. Hendrojono Soewono33 berpendapat bahwa ditinjau dari segi profesionalisme, secara normatif dokter mempunyai kewajiban-kewajiban profesionalisme yang harus diamalkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang meliputi : a. Kewajiban mempertahankan dan meningkatkan kompetensi profesionalnya (Commitment to professional competence); b.Kewajiban untuk berkata dan berlaku jujur kepada pasien (Commitment to honesty with patient); c. Kewajiban melindungi kerahasiaan pasien (Commitment to patient confidentially); d.Kewajiban untuk memelihara hubungan dan komunikasi yang sepantasnya dengan pasien (Commitment to maintaining appropriate relations with patient); e. Kewajiban untuk meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien (Commitment to improving quality of care); f. Kewajiban meningkatkan jangkauan pelayanan pasien (Commitment to improving acces to care); g.Kewajiban menyesuaikan distribusi pelayanan dalam hal keterbatasan fasilitas (Commitment to adjust distribution of finite resources); h.Kewajiban terhadap ilmu pengetahuan (Commitment to Scientifiec knowledge); i. Kewajiban memelihara kepercayaan dengan pengelolaan konflik kepentingan secara baik (Commitment to maintaining Trust by managing conflicts of interest). Kewajiban-kewajiban dokter terhadap pasien dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana diuraikan di atas, diatur lebih konkret dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa ; “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : 33 Hendrojono Soewono, Op. Cit., Hlm. 25-26. a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; b.Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan dan pengobatan; c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; d.Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi”. Masih dalam hubungannya dengan kewajiban dokter, Hermein Hadiati Koeswadji34 menyatakan bahwa ; “Dari Kode Etik Kedokteran dapat dirumuskan kewajiban-kewajiban pokok Dokter sebagai berikut ; a. Dokter wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang dimiliki secara adekuat; b.Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakilinya; c. Dokter wajib memberikan informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit penderitanya. Terdapat beberapa tindakan-tindakan yang dilarang dilakukan oleh dokter, karena hal tersebut dianggap bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran, antara lain :35 a. Melakukan suatu perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri; b. Ikut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala bentuk tanpa kebebasan profesi; 34 35 Hermein Hadiati Koeswadji, Op. Cit,. Hlm. 148-149. Fred Amin, 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, Hlm. 57. Lihat pula Sutrisno, 1992. Medical Malpractice, Bunga Rampai Tentang Medical Malpractice, Mahkamah Agung RI, Jakarta, Hlm. 7. c. Menerima uang lain selain dari imbalan yang layak sesuai dengan jasanya meskipun dengan pengetahuan pasien. Selain hak dan kewajiban dokter sebagaimana dipaparkan di atas, dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan juga timbul hak dan kewajiban pasien, baik karena perjanjian terapeutik maupun secara tegas dalam undang-undang. Menurut Alexandra Indriyanti Dewi,36 kedudukan pasien sebagai pihak penerima jasa medis dalam pelayanan kesehatan secara umum mempunyai hak-hak sebagai berikut : a. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar; b. Memperoleh pelayanan kedokteran dan keperawatan secara manusiawi sesuai dengan standar profesi baik kedokteran maupun keperawatan; c. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan; d. Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran dan keperawatan yang akan diikutinya; e. Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kesehatan dan kedokteran; f. Dirujuk kepada dokter spesialis bilamana diperlukan; g. Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi; h. Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit; i. Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasehat rohani dan memperoleh perincian pembiayaan. Berkaitan dengan hak pasien dalam pelayanan kesehatan ini, Soerjono Seokanto mengatakan bahwa : “Secara umum hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan meliputi antara lain : a. Hak pasien atas perawatan dan pengurusan; b. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawatnya; c. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu; d. Hak atas informasi; 36 Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., Hlm. 158-159. e. Hak atas rasa aman dan tidak diganggu; f. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan. Secara normatif, pasien dalam pelayanan kesehatan juga diberikan hak yang secara tegas ditentukan dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran, yang menyatakan sebagai berikut : “Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak, antara lain : a. Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; b. Meminta pendapat dokter lain; c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. Menolak tindakan medis; dan e. Mendapatkan isi rekam medis”. Menurut Anny Isfandyarie,37 selain yang ditentukan dalam Undang-Undang Praktik kedokteran tersebut di atas, Kode Etik Kedokteran Indonesia juga menyebutkan beberapa hak pasien yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut : a. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar; b. Hak memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar profesi kedokteran; c. Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya; d. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik; e. Hak untuk memperoleh penjelasan tenaga riset kedokteran yang akan diikutinya serta menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran tersebut; f. Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis bila perlu, dan dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut; g. Hak atar kerahasiaan atau rekam medik yang bersifat pribadi; h. Hak untuk memperoleh penjelasan peraturan rumah sakit; 37 Anny Isfandyarie, Op. Cit., Hlm. 98-102. i. Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasehat atau rohaniawan dan lain-lainnya yang diperlukan selama perawatan di rumah sakit; j. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap, obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen, ultrasonografi, CT-scan, biaya kamar bedah, kamar bersalin, imbalan jasa dokter dan lain-lain. Hak-hak pasien sebagaimana dikemukakan di atas, dalam pelayanan kesehatan pasien juga mempunyai beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan. Menurut Alexandra Indriyanti Dewi,38 dikatakan bahwa pasien dalam pelayanan kesehatan mempunyai kewajiban sebagai berikut : a. Kewajiban untuk memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter; b. Kewajiban memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya; c. Kewajiban mematuhi nasehat dan petunjuk dokter; d. Kewajiban menandatangani surat-surat persetujuan tindakan medis atau Informed Consent, surat jaminan dirawat di rumah sakit; e. Wajib yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh; f. Kewajiban melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pengobatan serta honorarium dokter. Berkaitan dengan kewajiban pasien ini, Bahder Johan Nasution memberikan pendapatnya yang agak berbeda pada beberapa kewajiban pasien dengan Alexandra Indriyanti Dewi, namun mengandung makna yang sama. Menurut Bahder Johan Nasution,39 kewajiban pasien yang harus dilaksanakan dalam pelayanan kesehatan mencakup : a. Kewajiban memberikan informasi; b. Kewajiban melaksanakan nasehat dokter atau tenaga kesehatan lainnya; c. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan; 38 39 Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., Hlm. 158. Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan, Pertanggung Jawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta. Hlm. 34. d. Kewajiban memberikan imbalan jasa; e. Kewajiban memberikan ganti rugi apabila tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Ditinjau dari hukum positif yang berlaku, kewajiban pasien dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan telah ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa ; “Pasien dalam menerima pelayanan kesehatan pada praktik kedokteran mempunyai kewajiban sebagai berikut : a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; b. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berdasarkan pada kewajiban-kewajiban pasien tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa, meskipun kewajiban pasien tersebut telah ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, tetapi pasien berkewajiban secara moral, yakni menjaga kesehatannya dan menjalankan aturanaturan perawatan sesuai dengan nasehat dan petunjuk dokter yang merawatnya. Upaya-upaya yang dibentuk oleh pemerintah ditujukan pada penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang tertib dan merata sesuai dengan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pihak. 5. Standar Pelayanan Kesehatan pada Instalasi Gawat Darurat Setiap tenaga kesehatan, termasuk di dalamnya seorang Dokter dan paramedis, di saat melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan. Sebagaimana dimaksud dengan Standart Operasional Prosedure (SOP) yang menjadi pedoman bagi tenaga medis adalah Lege Artis. Menurut Leenen,40 Lege artis adalah hakikat sebagai suatu tindakan yang dilakukan sesuai dengan Standart Profesi Medik atau Tenaga Kesehatan yaitu : ”bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama; sesuai dengan ukuran medis; sesuai dengan kemampuan rata-rata / sebanding dengan dokter lain dalam kategori keahlian medis yang sama; dalam keadaan yang sebanding; dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan konkrit tindakan medis tersebut.” Berdasarkan uraian di atas, komunikasi antara dokter dengan pasien sangat penting dilakukan untuk menimbulkan kepercayaan yang akan mempererat hubungan berdasarkan kepercayaan. Keputusan pasien mengenai tindakan medik atau perawatan medik harus dilakukan secara kolaboratif antara pasien dengan dokter. Hal tersebut menjadikan motifasi seorang dokter untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan standar dan prosedur yang berlaku. Dalam pelayanan kesehatan, sebelumnya didahului dengan pengajuan pemberian tindakan medis. Komunikasi antara dokter dan pasien, terdiri dari tiga bagian yaitu : 1. Mengungkapkan keluhan dan penyakit yang diderita oleh pasien, riwayat penyakitnya, dan penyebab-penyebab timbulnya penyakit. 2. Pemeriksaan dan penjelasan oleh dokter kepada pasien dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien, dan dihindari menggunakan bahasa medik. Tedi Sudrajat, Handout Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Hlm. 6 3. Memastikan bahwa pasien mengerti dengan apa yang telah dijelaskan kepadanya, pasien telah menerima resiko-resiko tersebut dan pasien mengizinkan dilakukan prosedur tindakan. Membahas tentang hubungan antara Dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pasien sebagai pihak yang membutuhkan, terdapat karakteristik hubungan profesional yaitu : a. Berkewajiban membina bantuan kepada pasien untuk mampu menolong dirinya sendiri dan menjadi mandiri, b. Berkewajiban membina hubungan profesional berdasarkan rasa percaya, c. Bertanggung jawab terhadap penyelesaian masalah pasien, d. Berorientasi pada kebutuhan pasien, e. Diarahkan pada pencapaian tujuan, f. Memahami kondisi pasien dengan berbagai keterbatasan, g. Memberi penilaian berdasarkan norma yang disepakati oleh Dokter dan pasien, h. Bekerja sesuai kaidah etik untuk menjaga kerahasiaan dan hanya menggunakan informasi untuk kepentingan dan persetujuan pasien. Pembahasan tentang kewajiban dan kriteria pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter, merupakan pemenuhan dari standar pelayanan. Dokter dan paramedis sebagai tenaga medis di rumah sakit, berkewajiban memenuhi standar pelayanan minimal rumah sakit, yang di dalamnya terdapat kriteria-kriteria di setiap poli. Termasuk pada Instalasi Gawat Darurat, terdapat 9 (sembilan) indikator, yaitu: 1. Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa, dengan standar 100%. 2. Jam buka pelayanan Gawat Darurat, dengan standar 24 jam. 3. Pemberi pelayanan Gawat Darurat yang bersertifikat dan masih berlaku BLS/PPGD/GELS/ALS, dengan standar 100%. 4. Ketersediaan tim penanggulangan bencana, dengan standar 1 (satu) tim. 5. Waktu tanggap pelayanan Dokter di Gawat Darurat, dengan standar kurang dari 5 menit terlayani, setelah pasien datang. 6. Kepuasan pelanggan, dengan standar lebih dari 70%. 7. Kematian pasien kurang dari 24 jam, dengan standar kurang dari dua per seribu (pindah ke pelayanan rawat inap setelah delapan jam). 8. Khusus untuk Rumah Sakit Jiwa pasien dapat ditenangkan dalam waktu kurang lebih 48 jam, dengan standar 100%. 9. Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka, dengan standar 100%. Dalam suatu keadaan gawat darurat (emergency), sebuah pelayanan kesehatan harus segera diberikan. Hal tersebut dapt dilakukan tanpa permohonan pengajuan persetujuan pelayanan kesehatan, yang ditujukan untuk penyelematan nyawa pasien dengan tetap harus dilakukan sesuai dengan standar pelayanan/prosedur medis yang berlaku dan disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi. Menurut Afsara,41 terdapat dasar dari uraian tersebut, yaitu Doktrin tidak berlaku pengajuan persetujuan pasien dalam lima keadaan, yaitu : 1) 2) 3) 4) Keadaan darurat medis; Ancaman terhadap kesehatan masyarakat; Pelepasan hak memberi consent (waiver); Clinical Privilege (penggunaan clinical previlege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent; 5) Pasien tanpa pendamping yang kompeten memnerikan consent. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008, menyatakan bahwa dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Keputusan tersebut dicatat pada Rekam medik, dan dalam hal tindakan tersebut Dokter wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah sadar atau kepada keluarga terdekat. B. Kesadaran Hukum 1. Pengertian Hukum dan Kesadaran Hukum a. Pengertian Hukum Manusia adalah makluk sosial. Sejak awal kelahirannya, manusia telah membutuhkan manusia lain untuk bertahan hidup. Untuk bertahan hidup ini manusia harus memenuhi beberapa kebutuhan dasar (esteem needs). Para ahli ekonomi sendiri telah membagi kebutuhan manusia menjadi tiga macam, yaitu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier. Kebutuhan- Informed Consent, 29 Januari 2009, dapat diakses http://afsarara.blogspot.com/ (online), 10 Juli 2010. kebutuhan ini dalam praktiknya hanya dapat dipenuhi apabila manusia bekerja sama satu sama lain. Kebutuhan manusia semakin banyak dan berkembang sesuai perkembangan jaman. Kebutuhan manusia yang semakin banyak ini membutuhkan pemenuhan yang segera. Pemenuhan kebutuhan ini, dilakukan salah satunya dengan cara saling berkomunikasi. Semakin banyak komunikasi maka semakin banyak peluang terjadinya gesekan atau konflik. Konflik ini membutuhkan sarana penyelesaiannya. Manusia kemudian menciptakan hukum untuk menyelesaikan konflik yang berlangsung. Hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyelesaian sengketa, namun juga mengatur kehidupan manusia secara luas karena hukum berisi seperangkat aturan yang mengatur sebagian besar kehidupan manusia. Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memiliki kekuatan sanksi yang pelaksaannya dapat dipaksakan oleh negara/aparat penyelenggara negara. Bambang Purnomo42 mengatakan bahwa, hukum dapat diberikan pengertian menurut sudut pandang seseorang dari mana aspek hukum diperhatikan. Beberapa ahli mencoba memberikan definisi hukum menurut penggolongan sifatnya yang imperatif, definisi menurut hubungannya dengan proses peradilan, dan definisi hukum sebagai kenyataan sosial. Tidak ada satu konsepsi rumusan yang memuaskan, akan tetapi satu prinsip yang jelas bahwa hukum mempunyai ciri yang tetap yaitu : hukum merupakan satu organ peraturan-peraturan abstrak dan 42 Bambang Purnomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hlm. 1. hukum merupakan suatu proses sosial untuk mengadakan tertib hukum dan mengatur kepentingan-kepentingan manusia. Duguit43 mengatakan dalam memberikan pengertian dari hukum : Hukum pada hakekatnya merupakan hasil kenyataan-kenyataan sosial, bahwa manusia hidup ditengah-tengah masyarakt yang terkait oleh kepentingan-kepentingannya sendiri menurut aturan untuk turut serta dalam kehidupan bersama, bahwa hukum tidak tergantung terhadap kehendak seseorang atau penguasa atau negara karena semua itu tunduk kepada hukum. Sebuah peraturan dapat menjadi hukum sebelum diakui oleh Negara, apabila peraturan itu mendapat dukungan efektif dari masyarakat. Hal tersebut dikarenakan undang-undang tidak menciptakan hukum melainkan hanya menentukan yang sudah ada. Pengertian hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja,44 Hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku di dalam masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Berkaitan dengan hukum, khususnya kesiapan dalam menyongsong globalisasi pelayanan kesehatan di Indonesia, yang terlebih dahulu diperlukan untuk diketahui adalah hakekat (the nature) dan fungsi (the fuction) hukum dalam suatu masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan kegunaan atau manfaat hukum dalam proses tersebut. 43 44 Ibid, Hlm. 18. Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung. Hlm. 10. Menurut Hermien Hadiati Koeswadji,45 kegunanan/manfaat hukum pada dasarnya dapat berfungsi ganda, yaitu : 1. untuk membentuk hukum baru (the develop new laws) 2. memperkuat hukum yang sudah ada (to strengthen the existing laws) 3. memperjelas batas ruang lingkup dan fungsi hukum yang sudah ada (to clarity the scope and function of the existing laws). Soerjono Soekanto,46 mengemukakan pendapat bahwa hukum merupakan alat penting yang luwes guna mencapai tujuan, yakni menciptakan suatu iklim yang menguntungkan sehingga dapat membantu kelancaran usaha-usaha baru dalam masyarakat yang menunjang pembangunan. H. Iswanto47 mengatakan terdapat tujuan lain dari hukum, hukum bertugas memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan umum, menurut pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban umum. Dalam pengertian ini berarti yang diutamakan adalah ketertiban umum, sedangkan kebutuhan perorangan atau kepentingan masyarakat tidak dipedulikan atau dikorbankan demi kepentingan hukum. Menurut Aristoteles,48 tujuan hukum adalah keadilan, artinya suatu keadaan yang di dalamnya setiap orang tetap berada di dalam lingkungan yang ditunjuk baginya. Pertama-tama kita harus mempertimbangkan hubungan yang timbul oleh tidak adanya persamaan memperlakukan orang menurut nilai batinnya. Kedua, 45 Hermien Hadiati Keoswadji, Op. Cit. Hlm. 174. Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta. Hlm. 9. 47 H. Iswanto, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Hlm. 39. 48 Ibid. Hlm. 41. 46 mempertimbangkan hubungan persamaan di dalam golongan, yang nilai batin setiap orang menunjuk tempatnya kesana. b. Pengertian Kesadaran Hukum Sebuah hukum dapat dikatakan efektif jika terpenuhi faktor-faktornya, salah satu faktor yaitu warga masyarakat. Dalam hal ini adalah kesadaran untuk mematuhi suatu hukum atau atau peraturan perundang-undangan, yang sering disebut dengan derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Di samping itu, masyarakat juga sebagai pendukung hak dan kewajiban atau subyek hukum yang memiliki peranan besar dalam pelaksanaan hukum. Berdasarkan tahap pembentukan hukum yaitu formulasi peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keadaan masyarakat itu sendiri. Pembentukan hukum tanpa didasarkan pada nilai dan keadaan masyarakat akan membawa pengaruh hukum yang akan tidak berjalan secara efektif dalam masyarakat. Hal ini berdampak pada semangat dan kesadaran masyarakat untuk menaati hukum. Tanpa adanya kesadaran ukum masyarakat maka hukum hanya akan menjadi aturan semata. Hukum tidak akan berfungsi secara sempurna dalam masyarakat. Permasalahan mengenai berfungsi atau tidaknya hukum dalam masyarakat adalah permasalahan mengenai kesadaran hukum masyarakat. Soerjono Soekanto,49 berpendapat sejarah persoalan kesadaran hukum timbul dalam rangka mencari dasar syahnya hukum. Pada awalnya, masalah kesadaran hukum muncul dalam penerapan hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses tersebut timbul masalah yaitu apakah dasar syahnya hukum adalah pengendali sosial oleh penguasa ataukah kesadaran masyarakat. Masalah tersebut timbul oleh karena adanya hukum positif tertulis yang tidak dipatuhi oleh warga masyarakat. Membahas tentang kesadaran hukum, menurut Otje Salman,50 kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat menaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu diharapkan hukum yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat. Pada hakekatnya kesadaran hukum terdiri dari dua kata yaitu kesadaran dan hukum. Kesadaran dapat diartikan sebagai perasaan memahami keadaan di sekitar kita yang menimbulkan keyakinan dan dapat menentukan perilaku seseorang dalam setiap tindakan. Hukum mengandung beberapa unsur yaitu Mengatur tingkah laku manusia, Dibuat oleh badan yang berwenang, Bersifat memaksa dan dapat dipaksakan, serta Memiliki sanksi bila dilanggar. 49 50 Soerjono Soekanto, 1982, Op. cit, Hlm. 145. Otje Salman, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung. Hlm. 39-40. Pendapat Kuitchky, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto,51 mengatakan : Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada dalam konsepsi-konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian dan ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Menurut Fatahilla52 mengartikan bahwa kesadaran hukum : Kesadaran hukum sebagai perasaan sadar dari seorang manusia akan seperangkat aturan yang memberikan perlindungan terhadap dirinya. Perasaan sadar ini berupa perasaan akan kebutuhan dan pemahaman terhadap hukum sehingga mempengaruhi seseorang kaitannya dengan ketaatan atas peraturan hukum. Kesadaran hukum masyarakat menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Hal ini menjadikan kesadaran hukum seseorang mempengaruhi pemahaman seseorang akan hukum dan tingkat kepatuhan serta ketaatan terhadap hukum. Mencermati pengertian-pengertian yang telah diuraikan di atas mengenai kesadaran hukum, bahwa setiap manusia pada hakekatnya memiliki kesadaran hukum, namun tingkat kesadaran hukum setiap orang berbeda-beda. Hal tersebut tergantung pada pemahamannya terhadap hukum, seseorang yang memiliki kesadaran hukum yang tinggi maka akan memahami hukum sebagai sebuah kebutuhan, bukan sebagai sebuah paksaan. Diharapkan ketaatan akan muncul dengan sendirinya. 51 Soerjono Soekanto, 1982, op. cit. Hlm. 159. wongbanyumas, tgl 23 november 2009, Negara Hukum Indonesia, dapat diakses http://fatahilla.blogspot.com/ (online), 5 juli 2010. Setelah mengetahui tentang pengertian kesadaran hukum, maka mempelajari lebih lanjut tentang pembagiannya, kesadaran hukum terbagi menjadi 2, yaitu : 53 Sadar akan kewajiban hukum, bahwa setiap orang dianggap paham dan mengetahui sebuah aturan hukum meskipun ternyata orang tersebut tidak mengetahui isi peraturan hukum tersebut. Yang kedua adalah Sadar akan hak hukum, seseorang juga harus menyadari haknya yang dilindungi oleh hukum, untuk menghindarkan adanya penyalahgunaan dan pembodohan terhadap masyarakat. 2. Teori-teori Kesadaran Hukum Kesadaran hukum merupakan nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadiankejadian konkret dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut Soerjono Soekanto dan Otje Salman,54 berkaitan dengan masalah kesadaran hukum, berikut ini dikemukakan pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu nilai atau pandangan mengenai kebaikan atau keburukan hukum yang berlaku dan diharapkan. Pandangan-pandangan tersebut dapat diidentifikasi melalui beberapa teori yaitu Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness), Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance), Sikap terhadap wongbanyumas, tgl 23 november 2009, Negara Hukum Indonesia, dapat diakses http://fatahilla.blogspot.com/ (online), 5 juli 2010. 54 Soerjono Soekanto dan Otje Salman, 1988, Disiplin Hukum Sosial, CV. Rajawali, Jakarta. Hlm. 217. peraturan-peraturan hukum (legal attitude), Pola-pola perilakuan hukum (legal behavior).55 1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness) Di awali dengan pengertian pengetahuan menurut Notoatmodjo,56 pengetahuan merupakan hasil “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia y akni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut Otje Salman,57 pengetahuan hukum mempunyai arti bahwa seseorang mengetahui perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Dapat dilihat dalam masyarakat bahwa umumnya seseorang mengetahui bahwa membunuh, mencuri, dan seterusnya dilarang oleh hukum. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi peraturan manakala suatu peraturan tersebut diundangkan. 2. Pengetahuan Isi Peraturan-peraturan Hukum (law acquaintance) Membahas lebih lanjut tentang pengetahuan, teori yang kedua adalah Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum, maka sama dengan pengertian pengetahuan, namun berkaitan dengan isi peraturan hukumnya. 55 Soerjono Soekanto, 1982, Op. Cit. Hlm. 159. Pengertian (Definisi) dan tingkat Pengetahuan, dapat diakses http://www.canboyz.co.cc/ (online), 6 Januari 2011. 57 Otje Salman, Op. cit, Hlm. 40. 56 Menurut Otje Salman, teori kesadaran hukum yang kedua ini dinamakan dengan Pemahaman Hukum. Menurut Em Zul, Fajri & Ratu Aprilia Senja,58 Pemahaman berasal dari kata paham yang mempunyai arti mengerti benar, sedangkan pemahaman merupakan proses perbuatan cara memahami. Pengertian dari pemahaman hukum, yaitu seseorang memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, terutama mengenai isinya. Pemahaman hukum dalam arti bahwa sebanyak informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, dengan kata lain pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi para pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman hukum, tidak diisyaratkan seseorang terlebih dahulu mengetahui adanya suatu peraturan tertulis yang mengatur suatu hal.59 3. Sikap Hukum (legal attitude) Pengertian sikap menurut D. Krech and R.S. Crutchfield,60 sikap adalah organisasi yang tetap dari proses motivasi, emosi dan presepsi atau pengamatan atas suatu aspek dari kehidupan individu. L. L. Thursione, sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Objek psikologi disini meliputi : simbol, kata-kata, slogan, orang, 58 Pengertian Pemahaman, 17 Desember 2010, dapat diakses http://ian43.wordpress.com/ (online), 6 Januari 2011. 59 Ibid Hlm. 41. 60 Abu Ahmadi, 2007, Psikologi Sosial, Rineka Cipta, Jakarta. Hlm. 156-158. lembaga, ide, dan sebagainya. Zimbardo dan Ebbesen, sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh). Sikap timbul karena ada stimulus. Terbentuknya suatu sikap itu banyak dipengaruhi perangsang oleh lingkungan sosial dan kebudayaan, misalnya : keluarga, norma, golongan agama, dan adat istiadat. Sikap seseorang tidak selamanya tetap. Sikap dapat berkembang apabila mendapat pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar yang bersifat positif dan mengesankan. Dalam hal ini, Sherif61 mengemukakan bahwa sikap dapat diubah atau dibentuk apabila : a. Terdapat hubungan timbal balik yang langsung antara manusia b. Adanya komunikasi (yaitu hubungan langsung) dari satu pihak. Pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Sikap terbentuk dalam hubunganya dengan suatu objek, orang, kelompok, lembaga, nilai, melalui hubungan antar individu, hubungan di dalam kelompok, komunikasi surat kabar, buku, poster, radio, televisi dan sebagainya, terdapat banyak kemungkinan yang mempengaruhi timbulnya sikap. Setelah membahas tentang pengertian sikap dan dasar pembentuknya, sikap hukum, dapat diartikan bahwa seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penelitian tertentu terhadap hukum. Sikap hukum adalah suatu kecenderungan seseorang untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. 61 Abu Ahmadi, Ibid. Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.62 4. Pola Perilaku Hukum (legal behavior) Pengertian dari perilaku adalah perbuatan atau tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya. Miftah Thoha mengatakan bahwa, perilaku manusia adalah sebagai suatu fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya.63 Menurut Otje Salman,64 perilaku hukum artinya seseorang berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku. Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum dalam masyarakat. Uraian tersebut dapat disimpulkan, apabila indikator-indikator dari kesadaran hukum dapat dipatuhi, maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu pula sebaliknya. Apabila derajat kesadaran hukum rendah maka derajat ketaatan terhadap hukum juga rendah.65 62 Ibid Hlm. 42. Miftah Thoha, 1996, Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, PT. RajaGrafindo, Jakarta. Hlm. 29 64 Loc. Cit. Hlm. 43. 65 Loc. Cit. 63 3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Kesadaran Hukum a. Faktor Motivasi Seseorang dapat merasakan bahwa terdapat kemungkinan yang tertinggi dalam suatu kinerja maka akan mendapatkan penghargaan, atau penghargaan yang diterima didasarkan atas kinerja yang baik, sehingga motivasi orang untuk berusaha mencapai sasaran yang telah ditetapkan akan tinggi. Di sisi lain terdapat kemungkinan yang rendah suatu kinerja memperoleh penghargaan, maka motivasi orang untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan juga akan rendah. Menurut Mulyadi,66 motivasi yang rendah akan terwujud dalam bentuk kurangnya kepedulian karyawan terhadap pekerjaannya. Seseorang dalam merumuskan sasaran yang memberikan tantangan maka akan menjadikan motivasi bagi dirinya. Suatu sasaran yang mudah dicapai mengakibatkan berkurangnya motivasi orang untuk mencapainya karena orang akan menganggap pencapaian sasaran tersebut tidak berharga. Berkaitan dengan motivasi tersebut, Kartini Kartono67 menyatakan bahwa motivasi adalah suatu sebab alasan dasar, fikiran dasar, dorongan bagi setiap orang untuk berbuat, atau ide pokok yang selalu berpengaruh besar terhadap tingkah laku manusia. Konsep motivasi dikembangkan oleh William G. Scott68 sebagai rangkaian pemberian dorongan kepada seseorang untuk melakukan tindakan guna mencapai 66 Mulyadi 1993, Akuntansi Manajemen, Bagian Penerbitan STIE YKPN, Yogyakarta. Hlm. 421. Kartini Kartono, 1985, Psikologi Sosial Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri, CV. Rajawali, Jakarta. Hlm. 157. 68 Fred N. Kerlinger dan Elazar J. Pedhazur, 1987, Korelasi dan Analisis Regresi Ganda, Nur Cahaya, Yogyakarta. Hlm. 161. 67 tujuan yang diinginkan. Masih dalam hubungan dengan motivasi, Atkinson memandang kekuatan motivasi sama dengan fungsi. Kekuatan yang berada dalam motivasi untuk melakukan beberapa kegiatan adalah suatu fungsi dari : a. Kekuatan yang menjadi alasan bergerak adalah suatu keadaan dimana di dalam diri setiap orang, tingkatan alasan atau motive-motive yang menggerakkan tersebut menggambarkan tingkat untuk memenuhi suatu kepentingan. b. Harapan atau expentancy adalah dimana kemungkinan atau keyakinan perbuatan akan mencapai tujuan. c. Nilai dari incentive dimana ganjaran-ganjaran demi tercapainya tujuan. Ketiga hal tersebut merupakan faktor-faktor motivasi, berikut penjelasan masing-masingnya :69 1. Motive Menurut Fremout E. Kast dan James E. Roseinzweig, motive merupakan suatu dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk melakukan atau sedikitnya merupakan suatu kecenderungan menyumbangkan perbuatan tertentu. Dorongan untuk melakukan sesuatu perbuatan tersebut datang dari luar ataupun dapat merupakan hasil dari suatu proses pemikiran dari dalam diri seseorang. Selanjutnya menurut Willam G. Scott, 70 mengemukakan bahwa motive adalah kebutuhan yang belum terpuaskan yang mendorong untuk mencapai tujuan tertentu. 69 70 Ibid. Hlm. 163. Ibid. Hlm. 164. Dikaji secara mendalam masalah motive, terdapat alasan-alasan yang mendorong manusia melakukan sesuatu karena mempunyai kebutuhan-kebutuhan untuk dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut oleh Buchari Zainun diklompokan menjadi lima kebutuhan yaitu : 1. kebutuhan pokok manusia sehari-hari untuk makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal dan kebutuhan fisik lainnya. 2. kebutuhan untuk memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan atau perlindungan dari ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup dari kehidupan dengan segala aspeknya. 3. kebutuhan untuk disukai dan menyukai, disenangi dan menyenangi, dicintai dan mencintai, kebutuhan untuk bergaul, berkelompok, bermasyarakat dan bernegara. 4. kebutuhan untuk memperoleh kehormatan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pengakuan. 5. kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan, keagungan, kekaguman dan kemashuran sebagai seseorang yang mampu dan berhasil mewujudkan potensi bakatnya dengan hasil prestasi yang luar biasa. Kebutuhan-kebutuhan manusia di atas sifatnya memunculkan dorongandorongan, yakni suatu desakan yang alami untuk memuaskan kebutuhan hidup dan merupakan kecenderungan untuk mempertahankan hidup. Dorongan ini sudah ada sejak manusia lahir dan erat kaitannya dengan perasaan-perasaan yang paling dalam. Kuantitas dan kualitas dorongan berbeda-beda pada setiap individu. Kebutuhan dan dorongan-dorongan yang tidak terpenuhi menyebabkan timbulnya ketegangan-ketegangan, yang cenderung akan meningkat bila kebutuhan dan dorongan tersebut semakin kumulatif terkumpul, dan sebaliknya ketegangan cenderung menurun dan berkurang jika kebutuhan-kebutuhan terpenuhi atau terpuaskan. 2. Expectation (Harapan) Unsur lain yang tidak kalah penting untuk membentuk motivasi adalah expectation (harapan), dimana motivasi seseorang untuk mewujudkan usahanya didasarkan kepada keyakinan/pengharapan untuk sukses. Pengharapan merupakan kemungkinan bahwa dengan perbuatan akan mencapai tujuan.71 3. Incentive Incentive72 merupakan perangsang yang menjadikan sebab berlangsungnya kegiatan, memelihara kegiatan mengarah langsung satu tujuan yang lebih baik dari yang lain. Menurut Morris S. Viteles, 73 Incentive adalah keadaaan yang membangkitkan kekuatan dinamis-manusia, atau persiapan-persiapan dari pada keadaan yang mengantarkan dengan harapan dapat mempengaruhi atau merubah sikap atau tingkah laku manusia. Di bagian lain Morris S. Viteles, membagi Incentive dalam dua bentuk yaitu: a. Incentive dapat bersifat positif, dalam arti mau berbuat sesuatu untuk membantu melancarkan atau mengembangkan bentuk dan tingkah laku, seperti : hadiah-hadiah yang berupa material, pujian, merasa berhasil dengan baik dan sebagainya. 71 Miftah Thoha, 1996, Perilaku Organisasi , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hlm. 40-41. Ibid. Hlm. 39. 73 Fred N. Kerlinger dan Elazar J. Pedhazur, 1987, Op. Cit. Hlm. 168. 72 b. Incentive dalam arti tanggapan atau reaksi yang melarang dan menghalanghalangi serta menghambat atau sejenisnya, seperti : celaan, teguran, hukuman, pemecatan dan atau penghapusan hak-hak istimewa dan sebagainya. Ditarik sebuah kesimpulan bahwa penting sebuah unsur incentive dalam menumbuhkan suatu motivasi seseorang. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Joseph Tiffin,74 mengenai pentinganya incentive dalam usaha pimpinan memberikan motivasi pada karyawan, lebih lanjut dijelaskan bahwa seseorang tidak banyak mengetahui tentang sesuatu hal apabila mereka tidak dibekali dengan incentive secara cukup. Beberapa kriteria tentang incentive yang dikemukakan oleh Austin S. Igleheart, antara lain : menimbulkan minat kerja, kepastian kerja, menimbulkan minat untuk menerima seseorang sebagai anggota kelompok, kesempatan untuk berkembang, keadaan kerja yang menyenangkan, pengaduan dari para karyawan, gaji/upah, pengawasan yang tepat, mengenali pekerjaan orang lain, liburan, dan jam-jam kerja. b. Faktor Komunikasi Di awali dengan Istilah komunikasi berasal dari kata Latin Communicare atau Communis yang berarti sama atau menjadikan milik bersama. Kalau kita berkomunikasi dengan orang lain, berarti kita berusaha agar apa yang disampaikan kepada orang lain tersebut menjadi miliknya. Hewitt75 menjabarkan tujuan penggunaan proses komunikasi secara spesifik sebagai berikut: 74 75 Ibid. Hlm. 169. Komunikasi, dapat diakses http://www.scribd.com/ (online), 20 Desember 2010. 1. Mempelajari atau mengajarkan sesuatu; 2. Mempengaruhi perilaku seseorang; 3. Mengungkapkan perasaan; 4. Menjelaskan perilaku sendiri atau perilaku orang lain; 5. Berhubungan dengan orang lain; 6. Menyelesaian sebuah masalah; 7. Mencapai sebuah tujuan; 8. Menurunkan ketegangan dan menyelesaian konflik; 9. Menstimulasi minat pada diri sendiri atau orang lain. Dance76 mengartikan komunikasi dalam kerangka Psikologi Behaviorisme sebagai usaha menimbulkan respon melalui lambang-lambang verbal, ketika lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli. Raymond S. Ross,77 mendefinisikan komunikasi sebagai, Proses transaksional yang meliputi pemisahan dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehinga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respons yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber. Pengertian Komunikasi,78 Komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan informasi atau pesan antara dua orang atau lebih dengan cara yang efektif, sehingga pesan yang dimaksud dapat dimengerti. Dalam penyampaian 76 Jalaludin Rahmat, 1991, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, PT. Remaja Posdakarya, Bandung. Hlm. 3. 77 Jalaludin Rahmat, Ibid. 78 Pengertian Komunikasi, dapat diakses http://id.shvoong.com/ (online), 20 Desember 2010. atau penerimaan informasi ada dua pihak yang terlibat yaitu : Komunikator adalah Orang atau kelompok orang yang menyampaikan informasi atau pesan. Di pihak lain, Komunikan yaitu orang atau kelompok orang yang menerima pesan. Dalam berkomunikasi keberhasilan komunikator atau komunikan sangat ditentukan oleh beberapa faktor yaitu Cakap, Pengetahuan, Sikap, Sistem Sosial, Kondisi lahiriah. Terdapat Analisis Definisi Komunikasi Menurut Harold Lasswell,79 yaitu : 1. Who? (siapa/sumber). Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu komunikasi, bisa seorang individu, kelompok, organisasi, maupun suatu negara sebagai komunikator. 2. Says What? (pesan). Apa yang akan disampaikan/dikomunikasikan kepada penerima (komunikan), dari sumber (komunikator) atau isi informasi. Merupakan seperangkat simbol verbal/non verbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan/maksud sumber tadi. Ada 3 komponen pesan yaitu makna, simbol untuk menyampaikan makna, dan bentuk/organisasi pesan. 3. In Which Channel? (saluran/media). Wahana/alat untuk menyampaikan pesan dari komunikator (sumber) kepada komunikan (penerima) baik secara langsung (tatap muka), maupun tidak langsung (melalui media cetak/elektronik dll). 4. To Whom? (untuk siapa/penerima). Orang/kelompok/organisasi/suatu Analisis Pengertian Komunikasi Dan 5 (Lima) Unsur Komunikasi Menurut Harold Lasswell, 11 November 2007, dapat diakses http://organisasi.org/ (online), 20 Desember 2010. negara yang menerima pesan dari sumber. Disebut tujuan (destination)/pendengar (listener)/khalayak (audience)/komunikan/penafsir/penyandi balik (decoder). 5. With What Effect? (dampak/efek). Dampak/efek yang terjadi pada komunikan (penerima) setelah menerima pesan dari sumber, seperti perubahan sikap, bertambahnya pengetahuan, dll. Dapat ditarik kesimpulan, bahwa Komunikasi adalah pesan yang disampaikan kepada komunikan (penerima) dari komunikator (sumber) melalui saluran-saluran tertentu baik secara langsung/tidak langsung dengan maksud memberikan dampak/effect kepada komunikan sesuai dengan yang diingikan komunikator. BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian yuridis sosiologis dengan pendekatan analisis kuantitatif. Pendekatan kuantitatif memusatkan perhatian kepada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia yang dinamakan variabel. Pendekatan tersebut ditujukan untuk menunjukan hubungan antar variabel yang dianalisis dengan bantuan statistik atau angkaangka. Pengunaan metode ini didasarkan pada alasan bahwa dalam penelitian ini hukum dikonsepsikan sebagai pola-pola perilaku sosial yang timbul dalam proses bekerjanya hukum dalam masyarakat. 2. Metode Penelitian Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode penelitian antara lain: a. Survey lapangan merupakan prosedur penentuan responden melalui pengisian kuesioner. Survey lapangan dimaksudkan untuk mengetahui keadaan nyata objek penelitian. b. Studi pustaka merupakan cara memperoleh data-data dengan memfokuskan pada data yang ada pada pustaka-pustaka baik yang terorganisir maupun yang tidak. Studi pustaka dimaksudkan untuk mencari data-data sekunder yang dibutuhkan guna menjelaskan data-data primer. c. Studi dokumentasi merupakan suatu cara yang dilakukan guna memperoleh data yang bersifat dokumen-dokumen resmi baik dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Studi dokumentasi bertujuan menerangkan data primer dan juga data sekunder. 3. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara Deskriptif, yaitu sesuatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kesadaran hukum Dokter dan Paramedis terhadap SPMRS pada pelayanan gawat darurat, serta berpengaruhnya faktor motivasi, komunikasi dan lamanya masa kerja terhadap tingkat kesadaran hukum. 4. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap, Jalan Jend. Gatot Subroto No. 28 Cilacap. Lokasi tersebut dipilih karena tempat tersebut dianggap sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pertimbangan yang lain yaitu efisiensi biaya dan waktu karena penulis merupakan penduduk dari Kabupaten Cilacap. Hal ini terkait dengan objek penelitian yang akan dikaji oleh peneliti. 5. Populasi Penelitian Dalam penelitian ini populasi meliputi Dokter dan Paramedis pada Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap, dengan populasi sasaran adalah Dokter dan Paramedis yang secara yuridis bertugas di Instalasi Gawat Darurat RSUD Cilacap. Penelitian diadakan pada IGD karena terdapat standar pelayanan gawat darurat dengan ketentuan indikator-indikator yang telah ditentukan dengan perundang-undangan yang berlaku. 6. Metode Pengambilan Sampel Sampel diambil dari populasi dengan metode Simple Random Sampling yakni suatu metode pengambilan sampel yang memberikan kesempatan kepada setiap sampel untuk menjadi responden (Acak Sederhana). Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh data bahwa pada IGD RSUD Cilacap tercatat 83 tenaga kerja yang terdiri dari Dokter, Perawat, Tenaga Radiologi, Tenaga Laboratorium, Tenaga Kefarmasian, dan Tenaga Administratif. Dari jumlah tersebut, diambil sampel secara acak (random) sebesar 50% dari yang bertugas di IGD tersebut. Dapat diambil sampel sejumlah 42 orang yang berkedudukan sebagai responden dalam penelitian ini. Pengambilan sampel sejumlah tersebut diasumsikan cukup representatif, dengan didasarkan pada pertimbangan oleh tingkat homogenitas responden yang tinggi. Dapat dilihat dari : 1. Semua responden secara registrasi tercatat sebagai tenaga medis di bidang IGD RSUD Cilacap. 2. Semua responden memiliki budaya dan kebiasaan yang sama yakni budaya dan kebiasaan Banyumasan. 3. Semua responden memiliki tugas dan kewajiban yang sudah terstandarisir dalam Standar Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit. 4. Semua responden berdomisili di wilayah Kebupaten Cilacap. 7. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 macam data agar tercapai kelengkapan dan keterpaduan data, yaitu : a. Data Primer Data primer bersumber pada individu Dokter, Paramedis dan Tenaga Pendukung yang menjadi responden dalam penelitian ini. b. Data Sekunder Data sekunder yang bersumber pada buku-buku, peraturan perundangundangan, jurnal ilmiah, majalah ilmiah, hasil-hasil penelitian ilmiah, internet, hasil-hasil pertemuan ilmiah dan dokumen-dokumen resmi yang berada pada RSUD Cilacap yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 8. Data yang diperlukan 1. Pengetahuan Dokter, para medis dan tenaga pendukung terhadap standar pelayanan kesehatan. 2. Pemahaman Dokter, para medis dan tenaga pendukung tentang isi standar pelayanan kesehatan. 3. Sikap dokter, para medis dan tenaga pendukung terhadap standar pelayanan kesehatan. 4. Perilaku-perilaku (kegiatan-kegiatan) Dokter, paramedis dan tenaga pendukung dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan. 5. Motif penggunaan pelayanan kesehatan. 6. Harapan digunakan standar pelayanan kesehatan. 7. Penghargaan yang diharapkan dengan digunakannya standar pelayanan kesehatan. 8. Arus komunikasi Dokter, paramedis dan tenaga pendukung baik secara vertikal maupun horizontal. 9. Lamanya bekerja Dokter, paramedis dan tenaga pendukung di IGD RSUD Cilacap. 10. Dokumen-dokumen resmi yang ada diRSUD Cilacap, antara lain rekam medis, kuantitas (jumlah pasien dalam setiap bulan), dan tingkat pelayanan. 9. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan metode antara lain : 1. Metode angket, dengan instrumen penelitian yang berupa kuesioner yang bersifat tertutup. 2. Metode interview, dengan instrumen yang bersifat outline, dengan tape recorder dan kamera, yang dipilih model interview bebas terpimpin. 3. Metode pustaka dengan instrumen penelitian berupa katalog, blanko perpustakaan dan instrumen lain. 4. Metode dokumentasi dengan instrumen penelitian berupan form penelitian. 10. Metode Pengolahan Data Dalam penelitian ini, data yang telah terkumpul dilakukan pengolahan data dengan metode sbagai berikut : a. Coding data, yakni pengolahan data dengan cara memberikan kode pada setiap angket jawaban responden berdasarkan urutan masuknya data kepada peneliti. b. Editing data, yakni pengolahan data dengan cara klasifikasi yaitu dengan mengedit yakni menyempurnakan jawaban yang masih kurang dan membuang jawaban yang dianggap tidak diperlukan dalam penelitian. Dilakukan pada setiap angket sesuai dengan urutan pertanyaan yang diajukan kepada setiap responden. c. Tabulasi data, dengan cara mengadakan perhitungan baik secara individual maupun komprehensif dengan membubuhkan Tally tabulasi pada setiap angket. Tabulasi ini dilakukan baik secara distribusi frekuensi maupun prosentase. 11. Metode Penyajian Data Data yang telah diolah dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk tabel, terutama tabel distribusi frekuensi dan tabel silang. Di samping itu juga disajikan dengan teks naratif, yaitu uraian-uraian yang disusun secara sistematis yakni diawali dengan penyajian data kuantitatif tentang kesadaran hukum Dokter dan Paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat dan diakhiri dengan pengaruh faktor motivasi, komunikasi, dan lamanya masa kerja Dokter dan Paramedis. 12. Definisi Operasional Variabel 1. Kesadaran hukum yakni konsep terintegrasi dari pengetahuan, pemahaman, sikap dan perilaku Dokter dan Paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang dapat dinyatakan dalam kesadaran hukum tinggi, sedang dan rendah. 2. Pengetahuan hukum yakni suatu kemampuan mengetahui terhadap maksud dan tujuan standar pelayanan kesehatan yang dapat dinyatakan dalam pengetahuan tinggi, sedang dan rendah. 3. Pengetahuan isi hukum yakni pengetahuan yang mendalam tentang isi standar pelayanan kesehatan yang dapat dinyatakan dalam tinggi, sedang dan rendah. 4. Sikap hukum yakni ungkapan perasaan tentang baik dan buruk, benar dan salah, sesuai dan tidak sesuai tentang standar pelayanan kesehatan yang dapat dinyatakan dalam sikap positif, netral, dan negatif. 5. Pola perilaku hukum adalah wujud (kewajiban) Dokter dan Paramedis dalam pelayanan kesehatan yang berlandaskan pada standar pelayanan kesehatan yang dinyatakan pada perilaku sesuai, kurang sesuai dan tidak sesuai. 6. Motivasi adalah keinginan yang mendorong Dokter dan Paramedis untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan standar pelayanan kesehatan dengan dinyatakan tinggi, sedang dan rendah. 7. Komunikasi adalah arus tukar menukar informasi individu maupun kelompok, baik bersifat vertikal dan horizontal antara Dokter dan Paramedis serta pasien yang dapat dinyatakan dalam tinggi, sedang dan rendah. 8. Lamanya masa kerja adalah tenggang waktu kinerja Dokter dan Paramedis sebagai pegawai Rumah Sakit dalam satuan tahun yang dapat dinyatakan dalam lama, sedang, pendek. 13. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini data yang akan dianalisis dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif ditujukan pada data yang bersifat kuantitatif dan analisis kualitatif ditujukan pada data yang bersifat kualitatif. Analisis kuantitatif akan digunakan dengan metode statistik sederhana, terutama menekankan pada model distribusi frekuensi analisis dan tabel silang analisis. Analisis kualitatif akan digunakan model komperatif analisis, yakni satu analisis yang membandingkan data yang satu dengan yang lainnya, sedangkan model interpretasi data yang digunakan adalah satu analogi dengan teknik analisis secara Teoritical Interpretation yakni suatu analisis yang mendialogkan antara data disatu pihak dengan teori hukum, doktrin hukum dan norma hukum di lain pihak dengan dialog yang demikian (kesimpulan) sekecil mungkin dapat dihindari. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit (SPMRS) pada Pelayanan Gawat Darurat, maka penulis terlebih dahulu mengemukakan teori kesadaran hukum dari Kuitchky sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto80 sebagai berikut : Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada dan konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian dan ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penelitian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkret dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut Soerjono Soekanto dan Otje Salman,81 berkaitan dengan pendapat tersebut, berikut ini dikemukakan pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu nilai atau pandangan mengenai kebaikan atau keburukan hukum yang berlaku dan diharapkan. Pandangan-pandangan tersebut dapat diidentifikasi melalui beberapa teori yaitu Pengetahuan tentang peraturan- 80 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta. Hlm. 159. 81 Soerjono Soekanto dan Otje Salman, 1988, Disiplin Hukum Sosial, CV. Rajawali, Jakarta. Hlm. 217. peraturan hukum (law awareness), Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance), Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude), Pola-pola perilakuan hukum (legal behavior).82 Membahas tentang Standar Pelayanan Kesehatan, Standar pelayanan kesehatan adalah panduan bagi dokter dan paramedis dalam melaksanakan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian serta pengawasan dan penanggungjawaban penyelenggaraan pelayanan kesehatan agar sesuai dengan kebutuhan pasien. Dalam pembahasan hasil penelitian ini membahas Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit (SPMRS) pada pelayanan gawat darurat dalam Lampiran Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/Menkes/SK/II/2008. Pelayanan gawat darurat tersebut, terdapat 9 (sembilan) indikator yang harus dipenuhi oleh tenaga medis dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, yaitu: 1. Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa, dengan standar 100%. 2. Jam buka pelayanan Gawat Darurat, dengan standar 24 jam. 3. Pemberi pelayanan Gawat Darurat yang bersertifikat dan masih berlaku BLS/PPGD/GELS/ALS, dengan standar 100%. 4. Ketersediaan tim penanggulangan bencana, dengan standar 1 (satu) tim. 5. Waktu tanggap pelayanan Dokter di Gawat Darurat, dengan standar kurang dari 5 menit terlayani, setelah pasien datang. 6. Kepuasan pelanggan, dengan standar lebih dari 70%. 7. Kematian pasien kurang dari 24 jam, dengan standar kurang dari dua per seribu (pindah ke pelayanan rawat inap setelah delapan jam). 82 Soerjono Soekanto, 1982, Loc. Cit. 8. Khusus untuk Rumah Sakit Jiwa pasien dapat ditenangkan dalam waktu kurang lebih 48 jam, dengan standar 100%. 9. Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka, dengan standar 100%. Semua indikator di atas apabila diterapkan ke dalam tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Kesehatan pada Instalasi Gawat Darurat, maka dapat dirumuskan bahwa kesadaran hukum tersebut dapat diperoleh dengan indikator-indikator yang ditetapkan yaitu : 1. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat, 2. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat, 3. Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat, 4. Pola perilaku dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal pada Pelayanan Gawat Darurat. Penelitian ini selanjutnya diajukan dengan pertanyaan sebanyak 65 kepada 42 responden yang diambil sebagai sampel, yang terbagi dalam 32 pertanyaan dengan masing-masing indikatornya 8 pertanyaan, variabel Motivasi sebanyak 15 pertanyaan, variabel Komunikasi sebanyak 18 pertanyaan dan variabel Lamanya masa kerja yang diwujudkan dalam satuan tahun. Sejumlah pertanyaan tersebut diajukan kepada responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini, meliputi Dokter IGD, Perawat IGD, Tenaga Laboratorium, Tenaga Radiologi, Tenaga Kefarmasian, dan Tenaga Administratif IGD RSUD Cilacap. Menurut hasil penelitian yang dilakukan dan berdasarkan hasil skor (penilaian) pada masing-masing responden, maka dapat data yang dituangkan dalam tabel berikut : Tabel 1 : Distribusi Nilai Masing-masing Indikator Kesadaran Hukum dan Variabel menurut 42 responden. Kesadaran Hukum No. Responden 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 X1 21 22 17 22 23 23 22 20 24 24 22 24 21 24 22 24 24 21 24 24 24 21 22 17 22 23 23 22 20 X2 20 22 21 23 23 24 21 22 24 23 17 24 21 23 22 22 24 21 24 24 22 20 22 21 23 23 24 21 22 X3 19 21 21 22 22 24 22 24 24 24 15 24 24 24 24 20 24 24 24 24 24 19 21 21 22 22 24 22 24 X4 24 23 19 24 24 22 20 22 24 22 17 24 24 22 21 22 24 24 24 24 24 24 23 19 24 24 22 20 22 X 84 88 68 91 92 93 85 88 96 93 71 96 90 93 89 88 96 90 96 96 94 84 88 68 91 92 93 85 88 Mtv Kms LMK Nilai 39 36 37 34 34 33 38 39 45 39 36 43 45 43 42 44 45 44 44 40 44 39 36 37 34 34 33 38 39 Nilai 32 31 33 28 30 38 39 36 54 50 42 47 54 45 36 48 48 51 52 47 50 32 31 33 28 30 38 39 36 Tahun 20 7 13 17 5 40 21 4 10 8 20 19 19 7 13 3 18 3 12 18 15 20 7 13 17 5 40 21 4 Kesadaran Hukum No. X Responden X1 X2 X3 X4 30 24 24 24 24 96 31 24 23 24 22 93 32 22 17 15 17 71 33 24 24 24 24 96 34 21 21 24 24 90 35 24 23 24 22 93 36 22 22 24 21 89 37 24 22 20 22 88 38 24 24 24 24 96 39 21 21 24 24 90 40 24 24 24 24 96 41 24 24 24 24 96 42 24 22 24 24 94 Sumber : Data Primer yang telah diolah. Mtv Nilai 45 39 36 43 45 43 42 44 45 44 44 40 44 Kms Nilai 54 50 42 47 54 45 36 48 48 51 52 47 50 LMK Tahun 10 8 20 19 19 7 13 3 18 3 12 18 15 Keterangan : X1 = Pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat, X2 = Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat, X3 = Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat, X4 = Pola perilaku dokter dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat. X= Kesadaran Hukum SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat. Untuk mengetahui tingkatan indikator Kesadaran Hukum dan variabel, maka diperhitungkan interval klas, dengan rumus : i= R K Keterangan : I : Besarnya interval klas yang diinginkan; R : Range adalah nilai tertinggi dikurangi nilai terendah; K : Klas yang dikehendaki, yakni 3 klas; Ditinjau dari masing-masing unsur kesadaran hukum yang telah disebutkan dalam tabel 1 di atas, maka dapat diperoleh besarnya interval klas berdasarkan rumus di atas pada masing-masing indikator dan variabel. Apabila jumlah klas ditetapkan sebanyak tiga tingkat yaitu : klasifikasi tinggi, klasifikasi sedang dan klasifikasi rendah. Dengan demikian besarnya interval klasnya, sebagai berikut : 1. Indikator Pengetahuan dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat : a. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat rendah, intervalnya antara nilai ≤ 19. b. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sedang, intervalnya antara nilai 20-22. c. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi, intervalnya antara nilai ≥ 23. 2. Indikator Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat : a. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat rendah, intervalnya antara nilai ≤ 19. b. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sedang, intervalnya antara nilai 20-22. c. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi, intervalnya antara nilai ≥ 23. 3. Indikator Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat : a. Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat negatif, intervalnya antara nilai 15-17. b. Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat netral, intervalnya antara nilai 18-20. c. Sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat positif, intervalnya antara nilai 21-24. 4. Indikator Pola Perilaku dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat : a. Pola perilaku hukum dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tidak sesuai, intervalnya antara nilai ≤ 19. b. Pola perilaku dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat kurang sesuai, intervalnya antara nilai 20-22. c. Pola perilaku dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sesuai, intervalnya antara nilai ≥ 23. 5. Variabel Motivasi dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat : a. Variabel motivasi dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat rendah, intervalnya antara nilai 33-36. b. Variabel motivasi dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sedang, intervalnya antara nilai 37-40. c. Variabel motivasi dokter dan paramedis dalam melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi, intervalnya antara nilai 41-45. 6. Variabel Komunikasi dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat : a. Variabel komunikasi dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat rendah, intervalnya antara nilai 28-36. b. Variabel komunikasi dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sedang, intervalnya antara nilai 37-45. c. Variabel komunikasi dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi, intervalnya antara nilai 46-54. 7. Variabel Lamanya Masa Kerja dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat : a. Variabel Lamanya Masa Kerja dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat rendah, intervalnya antara nilai 3-15. b. Variabel Lamanya Masa Kerja dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat sedang, intervalnya antara nilai 16-28. c. Variabel Lamanya Masa Kerja dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi, intervalnya antara nilai 29-40. Ditinjau dari segi indikator Pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat maka hasil penelitian ditampilkan sebagaimana dituliskan dalam tabel di bawah ini : Tabel 2 : Tingkat Pengetahuan Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Klasifikasi No. Interval Pengetahuan Frekuensi (F) Prosentase (%) Hukum 1 ≤ 19 Rendah 2 4,76 2 20-22 Sedang 16 38,10 3 ≥ 23 Tinggi 24 57,14 42 100,00 Total Sumber : Data Primer yang diolah. Menurut tabel Tingkat Pengetahuan Dokter dan Paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat di atas dapat dijelaskan bahwa dari sebanyak 42 responden, sebesar 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang rendah, kemudian sebanyak 16 (38,10 %) responden menunjukan tingkat pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebesar 24 (57,14 %) responden menunjukan tingkat pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Dilihat dari tabel di atas, sebagian besar responden menunjukan tingkat pengetahuan tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat adalah tinggi. Kenyataan tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa tingginya pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat akan menentukan pada tingkat kesadaran hukum. Berkaitan dengan pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat, Otje Salman83 sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya mengatakan : Pengetahuan hukum erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan. Data di atas apabila diinterpretasikan berdasarkan pada pendapat Otje Salman, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS, sebagaimana dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/Menkes/SK/II/2008 yang berlaku sejak tanggal ditetapkan 6 Februari 2008, maka dokter dan paramedis dianggap mengetahui SPMRS tersebut, dan diterapkan dalam memberikan pelayanan yang kesehatan yang baik. Hal ini mengandung arti bahwa manakala suatu peraturan telah diundangkan, maka dokter dan paramedis dianggap mengetahui tentang peraturan tersebut, sebagai landasan penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada pelayanan gawat darurat. Kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat selanjutnya dapat ditinjau dari indikator pengetahuannya tentang isi SPMRS, hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa sebagian besar responden sama-sama menunjukan tingkat pengetahuan yang tinggi dan sedang terhadap SPMRS, hal ini dibuktikan dengan melihat data yang dituangkan dalam tabel berikut: 83 Otje Salman, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung. Hlm. 40. Tabel 3 : Tingkat Pengetahuan Dokter dan Paramedis tentang Isi Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Klasifikasi No. Interval Pengetahuan Isi Frekuensi (F) Prosentase (%) Hukum 1 ≤ 19 Rendah 2 4,76 2 20-22 Sedang 20 47,62 3 ≥ 23 Tinggi 20 47,62 42 100,00 Total Sumber : Data Primer yang diolah. Menurut tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa dari sebanyak 42 responden, sebesar 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang rendah, kemudian sebanyak 20 (47,62 %) responden menunjukan tingkat pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebesar 20 (47,62 %) responden menunjukan tingkat pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Dilihat dari tabel tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa besar responden berpengetahuan tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat tinggi dan sedang adalah setara jumlahnya. Dari data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dokter dan paramedis mengetahui dan kurang mengetahui tentang isi SPMRS, artinya bahwa isi SPMRS ternyata diketahui oleh setiap dokter dan para medis. Hal ini disebabkan pengetahuan mereka tentang isi standar pelayanan rumah sakit menunjukan pada klasifikasi yang tinggi dan sedang. Data dalam tabel 3 ini dihubungkan dengan data pada tabel 2 maka dapat diinterpretasikan bahwa pengetahuan dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat tidak semuanya didasarkan pada pengetahuan mereka pada isi SPMRS tersebut. Apabila kenyataan pada tabel tersebut di atas diinterpretasikan oleh pendapat Otje Salman84 : Pemahaman hukum dalam arti ini adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak setiap dokter dan paramedis memahami isi SPMRS meski pada dasarnya sudah ada peraturan yang sebelumnya. Berdasarkan pendapat Otje Salman tersebut di atas, yang juga termasuk adegium berlakunya undang-undang tidak efektif untuk mengukur pengetahuan isi peraturan perundang-undangan. Hal ini mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan dalam hal ini Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/Menkes/SK/II/2008 telah diundangkan, namun dalam kenyataannya tidak setiap dokter dan paramedis mengetahui dan memahami isi tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat. Tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat dapat dilihat dari indikator sikap hukumnya, hasil penelitian menggambarkan dalam tabel dibawah ini : 84 Ibid. Hlm. 41. Tabel 4 : Tingkat Sikap Dokter dan Paramedis dalam Melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Pada Pelayanan Gawat Darurat No. Interval 1 15-17 2 3 Klasifikasi Frekuensi (F) Prosentase (%) Negatif 2 4,76 18-20 Netral 4 9,53 21-24 Positif 36 85,71 42 100,00 Sikap Hukum Total Sumber : Data Primer yang diolah. Menurut tabel 4 di atas dapat dijelaskan bahwa dari sebanyak 42 responden, sebesar 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan gawat darurat yang Negatif, kemudian sebanyak 4 (9,53 %) responden menunjukan tingkat sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan gawat darurat yang Netral, dan sebesar 36 (85,71 %) responden menunjukan tingkat sikap dokter dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan gawat darurat yang Positif. Dilihat dari tabel tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden mempunyai sikap yang Positif dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat. Hal ini mengandung arti bahwa sebagian besar dokter dan paramedis yang bertugas pada IGD RSUD Cilacap pada dasarnya menyetujui terhadap SPMRS sebagai parameter minimal dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien. Oleh karena itu pelayanan kesehatan pada setiap rumah sakit haruslah mengacu pada SPMRS tersebut. Sikap yang positif sebagaimana digambarkan di atas adalah wajar, oleh karena dokter dan paramedis telah menempuh pendidikan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Apabila data dalam tabel 4 ini dikaitkan dengan data dalam tabel 2 dan 3 maka dapat diinterpretasikan bahwa tidak semua sikap yang positif tersebut didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat. Hal ini mengandung makna sebagian dokter dan paramedis menunjukkan sikap yang apriori atau bersikap ikut-ikutan menyetujui karena orang lain yang positif. Berkaitan dengan sikap, Otje Salman85 mengatakan : Sikap hukum adalah suatu kecenderungan masyarakat menerima hukum karena dianggap bermanfaat atau menguntungkan jika ditaati. Apabila data tersebut dalam tabel 4 diinterpretasikan berdasarkan pendapat Otje Salman ini maka dapat disimpulkan bahwa positifnya sikap dokter dan paramedis cenderung disebabkan karena dokter dan paramedis baik langsung maupun tidak langsung menerima SPMRS sebagai parameter pelayanan kesehatan yang baik, manakala tiap-tiap standar pelayanan kesehatan diterapkan pada yang seharusnya, yang menggambarkan suatu ketaatan dokter dan para medis dalam menjalakan profesinya. Penerapan SPMRS pada pelayanan gawat darurat, diharapkan dapat diwujudkan pelayanan kesehatan yang baik. Penilaian pelayanan kesehatan yang baik terutama penilaian dari pasien, karena dapat memuaskan pasien adalah penghargaan tersendiri pada pelayanan kesehatan di RSUD Cilacap. Masih dalam 85 Ibid. Hlm. 42. hubungan dengan hal tersebut, Miftah Thoha86 menyebutkan : suatu hal yang menentukan sifat, hakikat, baik perbuatan sekarang maupun perbuatan yang akan datang. Kesadaran hukum dokter dan paramedis tenatang SPMRS dilihat dari indikator yang terakhir yaitu pola perilaku dalam menjalankannya, sebagaimana dituliskan dalam tabel di bawah ini : Tabel 5 : Tingkat Pola Perilaku Dokter dan Paramedis dalam menjalankan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Klasifikasi No. Interval Pola Perilaku Frekuensi (F) Prosentase (%) Hukum 1 ≤ 19 Tidak sesuai 4 9,53 2 20-22 Kurang sesuai 14 33,33 3 ≥ 23 Sesuai 24 57,14 42 100,00 Total Sumber : Data Primer yang diolah. Menurut tabel Tingkat Pola Perilaku Dokter dan Paramedis dalam menjalankan SPMRS pada pelayanan gawat darurat di atas dapat dijelaskan bahwa dari sebanyak 42 responden, sebesar 4 (9,53 %) responden menunjukan tingkat pola perilaku dalam menjalankan SPMRS pada pelayanan gawat darurat yang tidak sesuai, kemudian sebanyak 14 (33,33 %) responden menunjukan tingkat pola perilaku dalam menjalankan SPMRS pada pelayanan gawat darurat yang kurang sesuai, dan sebesar 24 (57,14 %) responden menunjukan tingkat pola perilaku dalam menjalankan SPMRS pada pelayanan gawat darurat yang sesuai. 86 Miftah Thoha, 1996, Perilaku Organisasi , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hlm. 148. Dilihat dari tabel tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden berpola perilaku sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Dari data tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar dokter dan paramedis dalam memberikan pelayanan kesehatan menunjukkan pola perilaku yang sesuai dengan SPMRS pada pelayanan gawat darurat. Hal ini menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan gawat darurat RSUD Cilacap pada dasarnya telah mendasarkan pada SPMRS, dimana standar ini merupakan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pola perilaku dokter dan paramedis yang sesuai dengan SPMRS tersebut mencerminkan kegiatan-kegiatan medis yang diberikan kepada pasien baik mengenai penyelamatan jiwa pasien, jam buka, kompetensi sumber daya manusia, ketersediaan tim, waktu tanggap, kepuasan pelanggan, kematian pasien, penenangan pasien pada rumah sakit jiwa, dan tidak adanya pembayaran uang muka. Data dalam tabel 5 ini dihubungkan dengan data dalam tabel 4, 3, dan 2 maka dapat diinterpretasikan bahwa pola perilaku dokter dan paramedis yang sesuai itu didasarkan pada sikap yang positif tentang SPMRS, meskipun pola perilaku tersebut tidak didasarkan pada pemahaman tentang isi SPMRS dan pada pengetahuannya tersebut. Dengan demikian terdapat sebagian dokter dan paramedis yang meskipun pola perilakunya sesuai dengan SPMRS pada penyelenggaraan pelayanan kesehatan namun tidak didasarkan pada pengetahuan yang baik mengenai isi dan pengetahuan secara umum. Hal ini diasumsikan bahwa dokter dan paramedis yang menunjukkan pola perilaku yang sesuai tersebut menggambarkan kepatuhannya terhadap SPMRS dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien, khusunya pada pelayanan gawat darurat. Menurut pendapat Miftah Thoha,87 pengertian perilaku adalah perbuatan atau tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya. Hal ini mendasari bahwa perilaku sesorang dinilai dari perbuatan dan perkataannya. Berkaitan dengan kesadaran hukum dokter dan pasien tentang SPMRS dinilai dari perbuatannya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Dapat dijelaskan bahwa untuk mendapatkan data tentang tingginya tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat maka peneliti mengolah data sesuai dengan prosedur yang telah ada yaitu dengan mengolah data tabel 1 di dalam kolom 2, 3, 4, dan 5 yang dijumlahkan sehingga diperoleh skor nilai yang dapat dinyatakan dalam klasifikasi kesadaran hukum rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan data dari tabel-tabel tersebut di atas dapat diperoleh data tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat sebagaimana yang tertulis dalam tabel di bawah ini : 87 Ibid. Hlm. 29. Tabel 6 : Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Klasifikasi No. Interval Kesadaran Frekuensi (F) Prosentase (%) Hukum 1 68-77 Rendah 4 9,52 2 78-86 Sedang 4 9,52 3 87-96 Tinggi 34 80,96 42 100 Total Sumber : Data Primer yang diolah. Tabel 6 tersebut di atas memberi penjelasan bahwa sebanyak 42 responden, yaitu sebanyak 4 (9,52 %) responden menyebutkan tingkat kesadaran hukum yang rendah tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 4 (9,52 %) responden menyebutkan tingkat kesadaran hukum yang sedang tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 34 (80,96 %) responden menyebutkan tingkat kesadaran hukum yang tinggi tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat. Data tersebut dapat diolah dan ditarik kesimpulan sementara bahwa tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat menunjukan tingkat kesadaran hukum yang tinggi. Jika data tabel 1, kolom 5 (Kesadaran Hukum) dihubungkan dengan data kolom 2 (Pengetahuan Hukum), maka dapat diinterpretasikan bahwa tingginya kesadaran hukum pada hakekatnya didukung oleh pengetahuan hukum, pengetahuan isi hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum yang tinggi pula. Antar indikatornya dalam kesadaran hukum juga mempunyai hubungan satu dengan yang lain, pengetahuan yang tinggi menjadi dasar pengetahuan isi hukum yang tinggi, sikap hukum yang positif dan pola perilaku yang sesuai, dan seterusnya. Fakta tersebut didialogkan dengan teori Kesadarann Hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto pada bahasan di awal, maka dapat diinterpretasikan bahwa teori tersebut masih relevan untuk diterapkan dalam menentukan tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat. Hal ini didasarkan pada kesadaran dalam diri dokter dan paramedis tentang SPMRS untuk memenuhi penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik bagi pasien. B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Para Medis Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam satu lokasi sebagimana diuraikan di atas, bahwa tingginya tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor Motivasi, faktor Komunikasi, dan faktor lamanya masa kerja. Tabel 7 : Tingkat Motivasi dokter dan paramedis dalam Melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Klasisifasi No. Interval Frekuensi (F) Prosentase (%) Motivasi 1 33-37 Rendah 12 28,58 2 38-41 Sedang 10 23,80 3 42-45 Tinggi 20 47,62 42 100 Total Sumber : Data Primer yang diolah. Data tabel Tingkat Motivasi tersebut di atas dapat dijelaskan dari sebanyak 12 (28,58 %) responden menyebutkan tingkat motivasi yang rendah dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 10 (23,80 %) responden menyebutkan tingkat motivasi dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang sedang, sebanyak 20 (47,62 %) responden menyebutkan tingkat motivasi dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Dapat disimpulkan sementara bahwa tingkat motivasi responden sebagian besar memiliki tingkat motivasi dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa pelaksanaan SPMRS didorong oleh keinginan atau motivasi yang didasarkan alasan, SPMRS merupakan acuan bagi Rumah Sakit. Di sisi lain terdapat harapan tujuan Pelayanan Kesehatan dapat tercapai sehingga pasien mempunyai kepercayaan atas pelayanan kesehatan tersebut pada IGD RSUD Cilacap. Berkaitan dengan konsep motivasi yang dikembangkan oleh William G. Scott,88 motivasi sebagai rangkaian pemberian dorongan kepada seseorang untuk melakukan tindakan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Jika orang merasakan terdapat kemungkinan yang tinggi mutu kinerja yang baik akan mendapatkan penghargaan/penghargaan yang diterima didasarkan atas kinerja yang baik, motivasi orang untuk berusaha mencapai sasaran yang ditetapkan akan tinggi, sebaliknya jika terdapat kemungkinan yang rendah suatu kinerja memperoleh penghargaan, motivasi orang untuk mencapai sasaran yang ditetapkan akan rendah pula. Data dalam tabel 7 di atas apabila diinterpretasikan berdasarkan pendapat Williams G. Scott, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan SPMRS pada pelayanan gawat darurat pada dasarnya didasarkan oleh keinginan Rumah Sakit, dalam hal ini dokter dan paramedis untuk melakukan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan Standar Profesional, Standar Operasional Prosedure, maupun Standar Kebutuhan yang diinginkan oleh pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Tingkat motivasi yang tinggi untuk melaksanakan SPMRS yang dimiliki oleh dokter dan paramedis sangat menentukan terpenuhinya SPMRS tersebut. Pelaksanaan dari SPMRS tidaklah cukup didorong oleh faktor motivasi saja, melainkan diperlukannya pengetahuan dan pemahaman tentang SPMRS serta sikap yang positif dan pola perilaku yang sesuai dalam melaksanakan SPMRS. 88 Fred N. Kerlinger, dan Elazar J. Pedhazur, 1987, Korelasi dan Analisis Regresi Ganda, Nur Cahaya, Yogyakarta. Hlm. 161. Berdasarkan pada kenyataan di atas, dapat diasumsikan bahwa ada kecenderungan aspek motivasi berpengaruh terhadap kesadaran hukum dokter dan paramedis dalam pelaksanaan SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat, hal ini dapat dibuktikan dengan menghubungkan antara faktor motivasi dengan kesadaran hukum pdokter dan paramedis dalam pelaksanaan SPMRS, sebagaimana dalam tabel di bawah ini : Tabel 8 : Pengaruh Faktor Motivasi Terhadap Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis dalam Melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Kesadaran Hukum Rendah Sedang Tinggi Total F % F % F % F % Rendah 3 7,14 2 4,76 7 16,67 12 28,58 Sedang 1 2,38 2 4,76 7 16,66 10 23,80 Tinggi - - - - 20 47,62 20 47,62 Total 4 9,52 4 9,52 34 80,95 42 100 Motivasi Sumber : Data Primer yang diolah. Tabel Pengaruh Faktor Motivasi Terhadap Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis di atas mengungkapkan bahwa secara umum ada kecenderungan pengaruh motivasi terhadap kesadaran hukum dokter dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan gawat darurat. Hal ini dapat digambarkan secara parsial pada masing-masing tingkat dan motivasi dan kesadaran hukum. Pada tingkat motivasi rendah yang dimiliki oleh dokter dan paramedis, terdapat sebanyak 3 (7,14 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 7 (16,66 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Tabel 8 di atas menjelaskan bahwa dari 42 responden yang memiliki tingkat motivasi sedang dapat terdapat sebanyak 1 (2,38 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 4 (9,52 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 7 (16,66 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Data dalam tabel 8 dapat diungkapkan bahwa dari 42 responden memiliki tingkat motivasi tinggi terdapat sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 20 (47,62 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum dalam melaksanakan SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan pengaruh secara positif faktor motivasi terhadap tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat. Artinya semakin tinggi tingkat motivasi maka semakin tinggi pula tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat. Berdasarkan pada kenyataan hasil penelitian dapat diinterpretasikan bahwa tingginya tingkat kesadaran hukum responden tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat didasarkan atas pertimbangan bahwa SPMRS merupakan acuan pada pelaksaan pelayanan gawat darurat, yang diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik serta reputasi Rumah Sakit sebagai organ penyelenggara pelayanan kesehatan. Tingkat motivasi dokter dan paramedis yang tinggi didorong oleh tingkat pengetahuan dan pemahaman yang tinggi tentang SPMRS, serta sikap hukum yang positif dan pola perilaku yang sesuai dalam melaksanakan SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa ada pengaruh yang positif tingkat motivasi terhadap kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat. Faktor motivasi sebagaimana telah dipaparkan di atas, faktor komunikasi tidak kalah penting mempunyai kontribusi dalam pelayanan kesehatan yang dapat mengacu tingginya pelaksanaan SPMRS. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa secara umum tingkat komunikasi dokter dan paramedis yang bertugas pada IGD RSUD Cilacap sebagaimana dituliskan dalam tabel di bawah ini : Tabel 9 : Tingkat Komunikasi dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat Klasifikasi No. Interval Frekuensi (F) Prosentase (%) Komunikasi 1 28-36 Rendah 14 33,33 2 37-45 Sedang 8 19,05 3 46-54 Tinggi 20 47,62 42 100 Total Sumber : Data Primer yang diolah. Tabel 9 tersebut di atas dapat dijelaskan dari sebanyak 14 (33,33 %) responden menyebutkan tingkat komunikasi yang rendah tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 8 (19,05 %) responden menyebutkan tingkat komunikasi tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 20 (47,62 %) responden menyebutkan tingkat komunikasi tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Ditinjau dari pengertian Komunikasi,89 Komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan informasi atau pesan antara dua orang atau lebih dengan cara yang efektif, sehingga pesan yang dimaksud dapat dimengerti. Komunikasi dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yaitu antara para pihak dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pada IGD sebuah Rumah Sakit terdapat dokter, paramedis, tenaga pendukung dan pihak lain yang berhubungan dalam pelayanan kesehatan, dengan harapan terdapat komunikasi antara para pihak dalam memberikan informasi- 89 Pengertian Komunikasi, dapat diakses http://id.shvoong.com/ (online), 20 Desember 2010. informasi yang diperlukan, sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan informasi untuk menunjang pelayanan kesehatan yang baik. Dapat disimpulkan sementara bahwa tingkat komunikasi responden, sebagian besar memiliki tingkat komunikasi yang tinggi tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat. Bilamana tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat dilihat dari pengaruh faktor komunikasi, maka akan diperoleh hasil penelitian sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini : Tabel 10 : Pengaruh Faktor Komunikasi Terhadap Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Kesadaran Hukum Rendah Sedang Tinggi Total F % F % F % F % Rendah 4 9,52 4 9,52 6 14,28 14 33,33 Sedang - - - - 8 19,05 8 19,05 Tinggi - - - - 20 47,62 20 47,62 Total 4 9,52 4 9,52 34 80,95 42 100 Komunikasi Sumber : Data Primer yang diolah. Berdasarkan data tabel di atas, jika dilihat dari tingkat komunikasi rendah yang dimiliki oleh dokter dan paramedis, terdapat sebanyak 4 (9,52 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum yang rendah tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 4 (9,52 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum yang sedang tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat, dan sebanyak 6 (14,33 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum yang tinggi tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat. Data dalam tabel 10 menjelaskan bahwa dari 42 responden apabila dari tingkat komunikasi sedang dapat diperoleh data bahwa sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 8 (19,05 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Di dalam tingkat komunikasi tinggi terdapat sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 20 (47,62 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Dapat disimpulkan dari data di atas bahwa faktor komunikasi cenderung berpengaruh secara positif terhadap tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat. Artinya semakin tinggi tingkat komuniksi maka semakin tinggi pula tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis. Komunikasi yang berlangsung antara dokter dan paramedis tentang SPMRS sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, ditujukan agar tersebarnya informasi-informasi penting tentang pelayanan kesehatan dapat diketahui oleh semua pihak, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara satu dengan yang lain. Informasi-informasi tersebut menjadikan terpenuhinya ketentuan-ketentuan dalam pengetahuan, pemahaman dan sikap serta pola perilaku dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Komunikasi antara atasan dengan bawahan, komunikasi antara teman kerja, komunikasi dengan pihak lain yang bersangkutan, maupun komunikasi dengan pasien, dapat menimbulkan suatu situasi yang baik dalam hubungan pada pelayanan gawat darurat, yang dapat mengakibatkan pula kesadaran hukum antara dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan gawat darurat. Menurut penelitian yang telah dilakukan, jika melihat dari faktor lamanya masa kerja, maka dapat diperoleh data hasil penelitian sebagaimana dapat dijelaskan dalam tabel berikut di bawah ini : Tabel 11 : Tingkat Lamanya Masa Kerja dokter dan paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat Klasifikasi No. Interval Lamanya Masa Frekuensi (F) Prosentase (%) Kerja 1 3-14 Pendek 24 57,14 2 15-26 Sedang 16 38,10 3 27-40 Lama 2 4,76 42 100 Total Sumber : Data Primer yang diolah. Penjelasan dari tabel 11 di atas, sebanyak 24 (57,14 %) responden menyebutkan tingkat lamanya masa kerja yang pendek tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat, sebanyak 16 (38,10 %) responden menyebutkan tingkat lamanya masa kerja yang sedang, dan sebanyak 2 (4,76 %) responden menyebutkan tingkat lamanya masa kerja yang lama. Dengan demikian dapat disimpulkan sementara bahwa tingkat lamanya masa kerja responden sebagian besar memiliki tingkat lamanya masa kerja yang pendek. Bilamana dilihat dari faktor lamanya masa kerja yang diprediksikan cenderung tidak mempengaruhi terhadap tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat, maka akan diperoleh hasil penelitian sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini : Tabel 12 : Pengaruh Faktor Lamanya Masa kerja Terhadap Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Kesadaran Rendah Sedang Tinggi Total Hukum F % F % F % F % Pendek 2 4,76 2 4,76 20 47,62 24 57,14 Sedang 2 4,76 2 4,76 12 28,57 16 38,10 Lama - - - - 2 4,76 2 4,76 Total 4 9,52 4 9,52 34 80,95 42 100 Lamanya Masa Kerja Sumber : Data Primer yang diolah. Dilihat dari tingkat lamanya masa kerja pendek yang dimiliki oleh dokter dan paramedis, terdapat sebanyak 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 20 (47,62 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Tabel 12 menjelaskan bahwa dari 42 responden apabila dari tingkat lamanya masa kerja sedang dapat diperoleh data bahwa sebanyak 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 4 (9,52 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 12 (28,57 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Penjelasan pada data tabel 12 di atas menjelaskan bahwa dari 42 responden, apabila tingkat lamanya masa kerja lama terdapat sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang rendah, sebanyak 0 (0 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang sedang, dan sebanyak 2 (4,76 %) responden menunjukan tingkat kesadaran hukum tentang SPMRS pada pelayanan Gawat Darurat yang tinggi. Berdasarkan data tersebut di atas dapat disimpulkan sementara bahwa faktor lamanya masa kerja cenderung berpengaruh secara negatif terhadap tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis tentang SPMRS pada Pelayanan Gawat Darurat. Artinya semakin lama tingkat lamanya masa kerja maka semakin rendah tingkat kesadaran hukum dokter dan paramedis. BAB V PENUTUP A. Simpulan 1. Tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat adalah tinggi, hal ini dapat dibuktikan langsung dengan indikator : a. Tingginya tingkat Pengetahuan hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. b. Tingginya tingkat Pengetahuan isi hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. c. Positifnya Sikap Dokter dan Paramedis dalam Melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Instalasi Gawat Darurat. d. Sesuainya Pola Perilaku Dokter dan Paramedis dalam Melaksanakan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat yaitu faktor motivasi dan komunikasi yang cenderung berpengaruh secara positif dalam Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap, artinya semakin tinggi tingkat motivasi dan komunikasi dokter dan paramedis maka semakin tinggi pula tingkat Kesadaran Hukumnya. Namun, tidak demikian dengan faktor lamanya masa kerja yang cenderung berpengaruh secara negatif tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, artinya semakin lama tingkat motivasi Dokter dan Paramedis maka semakin rendah tingkat Kesadaran Hukumnya. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkat Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat cenderung berpengaruh positif secara umum apabila dihubungkan dengan faktor motivasi, komunikasi dan negatif jika dihubungkan dengan faktor lamanya masa kerja. Tingginya tingkat positif sikap Dokter dan Paramedis yang menjadikan tinggi pula kesadaran hukumnya, bila dilihat dari hubungan antar keempat indikator, sikap Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat tidak didukung oleh Pengetahuan dan Pengetahuan Paramedis tentang isi Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat. Penulis mengajukan saran atau masukan agar dapat dijadikan sebagai pertimbangan di dalam Kesadaran Hukum Dokter dan Paramedis tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit pada Pelayanan Gawat Darurat, agar Dokter, Paramedis dan Tenaga Pendukung pada IGD RSUD Cilacap tidak bersikap apriori atau ikut-ikutan dalam melaksanakan kewajibannya untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daftar Pustaka a. Buku Adisasmito, Wiku, 2008, Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group (DRG), Kelayakan Penerapannya di Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. Ahmadi, Abu, 2007, Psikologi Sosial, Rineka Cipta, Jakarta. Amin, Fred, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta. Anwar, Azrul, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara, Jakarta. Dewi, Alexandra Indriyanti, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta. Handayani, Safitri, 2005, Sengketa Medik, alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien, Diadit Media, Jakarta. Isfandyarie, Anny, 2005, Malpraktek dan ResikoMedik dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka Pulisher, Jakarta. -----------, 2006, Tanggung Jawab dan Sanksi Bagi Dokter Buku I dan II, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Ismani, Nila, 2001, Dasar-dasar Etika Keperawatan, Widya Medika, Jakarta. Iswanto, H., 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Kartono, Kartini, 1985, Psikologi Sosial Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri, CV. Rajawali, Jakarta. Koeswadji, Hermien Hadiati, 1999, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bhakti, Bandung. Kerlinger, Fred N., dan Elazar J. Pedhazur, 1987, Korelasi dan Analisis Regresi Ganda, Nur Cahaya, Yogyakarta. Komalawati, Veronika, 1989, Hukum dan Etika Dalam Parktik Kedokteran, PT Pustaka Sina Harapan, Jakarta. ------------, 2002, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeuti Studi Tinjauan Yuridis, Cetakan Kedua, Citra Aditya Bhakti, Bandung. Kusumaatmadja, Mochtar, 2002, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung. Machmud, Syahrul, 2008, Penegakkan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medical Malpraktik, Mandar Maju, Bandung. Mertokusumo, Soedikno, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Mulyadi, 1993, Akuntansi Manajemen, Bagian Penerbitan STIE YKPN, Yogyakarta. Purnomo, Bambang, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Rahmat, Jalaludin, 1991, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, PT. Remaja Posdakarya, Bandung. Salman, Otje, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung. Soekanto, Soerjono, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta. ------------, 1989, Masalah Pelayanan Dokter kepada Pasien, Ind-Hill-Co, Jakarta. ------------, 1990, Segi-segi Hukum Hak dan kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum Kesehatan, CV. Mandar Maju, Bandung, Soekanto, Soerjono dan Salman, Otje, 1988, Disiplin Hukum Sosial, CV Rajawali, Jakarta. Soewono, Hendrojono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Kedokteran dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya. Syaifudin, Abdul Bari, 2002, Buku acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta Thoha, Miftah, 1996, Perilaku Organisasi , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wiradharma, Danny, 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara, Jakarta b. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan perubahan dari UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang kesehatan. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 436/MENKES/SK/VI/1993 tentang Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/MENKES/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. c. Sumber Lain Afsara, Informed Consent, 29 Januari 2009, http://afsarara.blogspot.com/ (online), 10 Juli 2010. dapat diakses Direksi RSUP Sanglah Denpasar, tanpa tahun, Informed Consent, dapat diakses http://www.sanglahhospitalbali.com/ (online), 4 juli 2010. Dwiatmodjo, Haryanto, 2010, Handout Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Indradi, Rano, 25 January 2007, Informed Consent, Hak-Hak Pasien dalam Menyatakan Persetujuan Rencana Tindakan Medis, dapat diakses http://ranocenter.blogspot.com/ (online), 7 Juli 2010. Kasalang, Ronny Junaidy, 1 April 2010, Hukum Kesehatan, Dalam Perspektif Pelayanan Kesehatan Masyarakat Modern, dapat diakses http://www.legalitas.org/ (online), 7 Juli 2010. Sudrajat, Tedi, Handout Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Wandy’s Weblog, 1 November 2007, Mengenal “Informed Consent”, dapat diakses http://irwandykapalawi.wordpress.com/ (online), 7 Juli 2010. wongbanyumas, tgl 23 november 2009, Negara Hukum Indonesia, dapat diakses http://fatahilla.blogspot.com/ (online), 5 juli 2010. Yuni Hastuti, M. I. Wiwik, 2010, Penyelesaian Sengketa Medik (Studi tentang Aspirasi dan Motivasi Pemilihan Model Penyelesaian Sengketa Medik Dokter dan Pasien dengan Pendekatan Non-Litigasi dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Banyumas), Tesis, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.